BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Globalisasi yang secara harafiah berarti umum atau mendunia, merupakan suatu kondisi dimana perbedaan jarak dan letak geografis tidak lagi menjadi penghalang untuk berkomunikasi. Menurut Thomas L.Friedman, salah satu tokoh globalisasi terkenal mengatakan “World is Flat”, yang tampak dari semakin mudahnya transfer informasi, barang, dan komunikasi antar negara. Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa ransformasi ini membawa kita pada era globalisasi yang erat kaitannya dengan transparansi dan keterbukaan sehingga pengaruh dari luar mempengaruhi negara tersebut dengan mudah. Hal ini juga terjadi di Indonesia, salah satu contoh globalisasi adalah dimana kita dapat melihat berbagai produk luar negri dapat dengan mudah ditemukan di negara Indonesia. Menurut Kennedy dan Cohen, hal ini membawa pengaruh positif dan negatif kepada masyarakat. Di zaman era globalisasi masa kini sungguh memprihatinkan karena dengan seiring perkembangan teknologi, semakin berkurangnya rasa kepedulian dan kepekaan masyarakat akan keadaan lingkungan. Salah satu kondisi masyarakat yang masih kurang mendukung tercapainya generasi yang berkualitas adalah masih banyak remaja-remaja yang menjadi pecandu narkoba. Oleh karena itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) menegaskan bahwa salah satu kasus remaja terbesar adalah penyalahgunaan narkotika yang sudah menjadi permasalahan global dan menjadi ancaman serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dewasa ini kondisi pemakaian narkoba di Indonesia semakin meningkat dan memprihatinkan. Menurut United Nation Office On Drugs and Crime (UNODC), Indonesia termasuk salah satu negara pengguna narkoba terbanyak di dunia, dengan rata-rata 1,5% dari penduduk Indonesia atau 2,9 3,6
juta
baik
laki-laki
maupun
perempuan,
telah
terlibat
dalam
penyalahgunaan narkoba, dan 22% diantaranya adalah remaja. (gambar 1).
1
2
Gambar 1.1. Grafik Pemakaian Narkoba di Indonesia Sumber: Badan Narkotika Nasional
Untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang menyimpang tersebut, perlu
upaya untuk menciptakan lingkungan yang berkelanjutan. Menurut
Haris (2000) dan Fauzi (2014), konsep berkelanjutan dapat dipahami melalui 3 aspek pemahaman, yaitu: keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan sosial. Dalam keberlanjutan sosial, secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, penyediaan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik. Dalam Caring for Earth, IUCN (The World Conservation Union), bersama UNEP (United Nations Environment Programme), dan WWF (World-Wide Fund for Nature), menyebutkan 9 Prinsip Masyarakat Berkelanjutan, yaitu: 1. Menghormati dan peduli akan kehidupan 2. Memperbaiki kualitas hidup manusia 3. Menjaga kekuatan alam dan keanekaragamannya 4. Mengurangi penggunaan sumber daya tak terbarukan 5. Tetap berada dalam kemampuan tanggungan bumi 6. Perubahan/perbaikan sikap dan perbuatan 7. Memberdayakan komunitas untuk peduli pada lingkungannya 8 .Membuat kerangka nasional, antara integrasi pembangunan-konservasi 9. Membuat kerjasama global Dalam memperbaiki kualitas hidup masyarakat, dibutuhkan kondisi dan komunitas yang peduli untuk memulihkan kelompok-kelompok masyarakat yang masih berperilaku menyimpang, sehingga bilamana terdapat kelompok masyarakat yang masih memiliki perilaku menyimpang, hal ini harus ditangani dengan serius karena akan menghambat pertumbuhan kualitas hidup
3
bermasyarakat secara sehat dan berkelanjutan. Masyarakat yang sehat, segala usaha yang dihasilkan akan lebih produktif. The environmental crisis is a design crisis.. It is a consequence of how things are made, buildings are constructed, and landscapes are used (Sim Van der Ryn & Stuart Cowan). Masalah lingkungan menjadi masalah desain, sehingga dibutuhkan kepekaan terhadap kebutuhan lingkungan sekitarnya sehingga hidup lebih produktif dan bangunan yang di desain dapat memberikan dampak berkelanjutan yang baik untuk
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan
penghuninya
dan
masyarakat sekitarnya, juga bangunan tersebut bisa menyatu dengan lingkungan tempatnya berdiri, sehingga meningkatkan mutu hidup, memenuhi kebutuhan hidup sekarang tanpa harus merusak dan merugikan kebutuhan hidup generasi mendatang. Batasan usia remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah 12-24 tahun, umumnya remaja usia ini sedang dalam proses pencarian jati diri, memiliki rasa ingin tahu yang besar, sehingga apabila orang tua kurang memberi pengarahan yang tepat, pada akhirnya para remaja ini akan mencari jalannya sendiri di luar rumah dan seringkali mereka terjerumus pergaulan yang salah. Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devi Rahmawati, menyebutkan, usia remaja dan mahasiswa rentan terpapar narkotika karena belum mencapai tingkat kematangan memadai. “Karena cenderung labil, kelompok pelajar dan mahasiswa kerap menjadi pasar empuk bagi pengedar,” ujarnya. Pengamat pedidikan, Andreas Tambah, menilai ada banyak faktor yang membuat pelajar rentan terkena narkotika. Selain psikologi remaja yang cenderung labil, faktor lain yakni lemahnya kontrol dari pihak sekolah dan keluarga. Dari pengamatannya di lapangan, ditemukan kasus penyalahgunaan narkoba yang bersumber dari kurang harmonisnya keluarga. Meski telah berkomitmen “Indonesia bebas Narkoba dan HIV-AIDS pada tahun 2015” kasus penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya) di Indonesia terus meningkat, menurut BNN dan Puslitekes UI menemukan pengguna narkotika di Indonesia: - Tahun 2008, sebesar 1,99% atau setara 3,1 - 3,6 juta jiwa penduduk. - Tahun 2010, meningkat menjadi 2,21% - Tahun 2011, meningkat lagi menjadi 2,8% atau setara 5,8 juta penduduk Indonesia yang menggunakan narkotika dan obat terlarang.
4
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat minoritas baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi “masalah” dalam masyarakat, perlu diperbaiki hidupnya melalui program rehabilitasi narkoba.
Gambar 1.2. Grafik Pemakaian Narkoba Berdasarkan Gender di Indonesia Sumber: Badan Narkotika Nasional
Sejak terbentuknya “Tim Assesmen Terpadu” BNN menangani para pecandu tidak lagi dengan cara di tindak pidana dengan hukuman penjara dan di rehabilitasi atas permintaan keluarga pecandu, tetapi lebih mewajibkan pecandu langsung di rehabilitasi. Proses Penanganan Kasus Narkoba SEBELUM Terbentuknya “Tim Asesmen Terpadu”
Pecandu narkoba
Rehabilita si atas permintaa n keluarga tersangka
Penyalah gunaan/ pecandu narkotika
Tertangkap
BB di bawah indikator kriteria SEMA 04/2010
penyidik
Di konstruksikan pasal berapa
Pasal. 111, 112, 113, 114, 127
Penuntut hukum
Tuntutan pidana penjara
Pasal. 111, 112, 113, 114, 127
Pasal pengedar diputus penjara
Lapas isinya pengguna narkotika
hakim
Bebas Fakta dalam persidangan tidak sesuai
18 ribu pengguna narkoba ada di lapas (Agustus 2014)
DITAHAN
Gambar 1.3. Proses Penanganan Penyalahgunaan Narkoba Sebelum Terbentuknya “Tim Asesmen Terpadu” Sumber: kantor BNN Cawang - Jakarta
5
Cara yang paling efektif dan efisien dalam mengatasi dampak dari kecanduan narkoba ini adalah dengan mengadakan program rehabilitasi, berdasarkan UU No. 22 tahun 1997 tentang psikotropika pasal 48, 50, 51. Juga melalui Surat Edaran Mahkamah Agung no. 07 tahun 2009 tentang “Menempatkan Pemakai Narkoba Ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitas”. Remaja merupakan generasi penerus bangsa, tetapi banyak sekali isu yang beredar mengenai remaja-remaja pecandu narkoba akibat salah pergaulan. Proses Penanganan Kasus Narkoba SETELAH Terbentuknya “Tim Asesmen Terpadu”
Penyalahguna / pecandu narkoba
tertangkap
BB di bawah indikator kriteria Perber
penyidik
Dimintakan asesmen oleh penyidik
Pasal. 127 plus rekomendasi tim asesmen
Penuntut umum
Tuntutan pidana
Pasal.127
hakim
Proses rehabilitasi
Putusan rehabilitasi
Gambar 1.4. Proses penanganan Penyalahgunaan Narkoba Setelah Terbentuknya “Tim Asesmen Terpadu” Sumber: kantor BNN Cawang - Jakarta
Namun, kelompok usia muda yang sebagian besar pelajar/ mahasiswa merupakan kelompok yang paling rawan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Menurut Resolution Council of European Union (5034/4/03 Cordrogue 1, 13 June 2003) menyatakan faktor-faktor seperti rendahnya prestasi di sekolah, kurang dapat bersosialisasi, kurang memiliki keahlian/ keterampilan, absensi di sekolah tinggi, aktivitas antisosial, tindakan
6
kejahatan, perilaku merusak diri, sikap agresif dan cemas yang berlebihan di kalangan anak muda menyebabkan mereka menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Dampaknya terutama ke penyakit psikis/ mental/ jiwa seperti meningkatnya rasa cemas yang berlebihan, depresi, hingga gangguan jiwa berat, masyarakat resah karena emosi dan kejiwaan pecandu tidak dapat dikontrol lagi sehingga sering menyebabkan tingkat kriminal pada saat mereka membutuhkan obat karena umumnya sudah kekurangan uang untuk membeli obat tersebut, selain itu pecandu dapat terjerumus pergaulan seks bebas yang menyebabkan berbagai macam penyakit yang membuat hidup tidak nyaman & tidak aman, sehingga terjadilah penolakan masyarakat karena malu / stigma terhadap pecandu dan mantan pecandu yang masih kuat. Peningkatan jumlah pengguna dari tahun ke tahun selalu signifikan, narkotika dan obat terlarang juga telah masuk institusi dan berbagai kalangan. Apabila tidak ditangani secara serius dan komperhensif, Indonesia akan mengalami kehilangan generasi. Di Indonesia fasilitas panti rehabilitasi narkoba secara umum masih kurang memadai secara kuantitas. Menurut survey BNN dan Universitas Indonesia (2008), estimasi penyalahgunaan narkotika sebesar 1,99% populasi (kira-kira 3,6 juta jiwa) dengan fasilitas rehabilitasi terdaftar: 1.) Milik Pemerintah = 114 tempat - 101 aktif dan 13 tidak aktif - kapasitas 2134 jiwa 2.) Non pemerintah / masyarakat = 255 tempat - 141 aktif dan 114 tidak - kapasitas 4046 jiwa di seluruh Indonesia yang dapat ditangani dengan tepat dan layak. Data di atas menunjukkan masih kurangnya jumlah panti rehabilitasi narkoba. Untuk mendukung keberhasilan penyembuhan pecandu narkoba, maka perlu rancangan panti yang menerapkan metode Therapeutic Community. Umumnya panti rehabilitasi berbeda dengan RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) karena pada RSKO mereka hanya melewati proses detoksifikasi/ pembuangan racun sehingga kemungkinan besar mereka akan terjerumus lagi karena kesadaran itu belum tumbuh. Pada panti rehabilitasi, usia minimal 15 tahun harus menginap di panti tersebut/ residen. Jika usia
7
pecandu di bawah 15 tahun, tidak perlu menginap, tetapi tiap minggu harus datang bersama orang tuanya untuk menjalani proses penyembuhan. Mereka yang berstatus residen akan mengalami 4 tahap selama kurang lebih 6 bulan dengan dua tahap awal yang tidak boleh ditemui/dikunjungi keluarga yaitu, tahap detoksifikasi (untuk membuang racun - racun pada tubuh) dan tahap entry unit (mengatasi rasa sakit saat tidak mengkonsumsi narkotika dan obat-obat terlarang tersebut). Selanjutnya dua tahap berikutnya adalah tahap primary program dan re-entry dimana para penghuni panti mendapat pelatihan-pelatihan yang berguna dalam suasana kekeluargaan dan partisipasi masyarakat yang berkunjung untuk menumbuhkan motivasi, mengembalikan semangat dan kepercayaan diri saat kembali ke masyarakat. Hal inilah yang membedakan Panti Rehabilitasi Narkoba, dimana tingkat keberhasilan melepaskan diri dari jerat narkoba lebih baik dibandingkan hanya di detoksifikasi zat-zat dan racun narkoba di RSKO. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah bangunan sebagai pusat rehabilitasi remaja yang dapat menyembuhkan dan memulihkan motivasi hidup mereka dengan menumbuhkan kembali kepercayaan diri mereka. Tujuan dari program rehabilitasi adalah memotivasi pecandu untuk melakukan perubahan ke arah positif serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pecandu untuk melakukan perubahan” (Retnowati, dkk, 2005). Rehabilitasi, ditujukan untuk memulihkan kondisi fisik, mental, emosional dan sosial pasien agar dapat berfungsi kembali secara utuh setelah periode penggunaan narkoba yang panjang. Rehabilitasi umumnya berbentuk rawat inap, bersifat jangka panjang dan memiliki program tindak lanjut pasca rawat. BNN menyebutkan beberapa metode yang umumnya dipakai di RSKO maupun di Panti Rehabiliasi, dalam menyembuhkan pecandu dari ketergantungan
obat-obatan
terlarang
agar
abstinensia/
bebas
dari
ketergantungan: 1.) Cold Turkey Pemakaian obat-obatan pada pecandu langsung dihentikan. Ini merupakan metode tertua, dengan mengurung pecandu dalam masa putus obat tanpa memberikan obat-obatan. Setelah gejala putus obat hilang, pecandu di keluarkan dan diikutsertakan dalam sesi konseling
8
(rehabilitasi non medis). Tahapan ini dipakai oleh beberapa panti rehabilitasi dengan pendekatan keagamaan dalam fase detoksifikasi 2.) Metode Alternatif Metode yang masih jarang ini menggunakan cara pengobatan alternatif seperti akupuntur, cakram, dan hypno-therapy. 3.) Program rawat jalan non-rumatan (drug-free outpatient program) Terapi yang membutuhkan kehaidiran pasien di rumah sakit/ lembaga penyedia layanan tanpa harus bermalam, dengan tujuan utama abstinensia. Bantuan medis dapat diberikan pada pasien sesuai dengan gejala-gejalanya yang dialaminya (symptomatic medication) dan tidak bersifat jangka panjang (rumatan). 4.) Program terapi rumatan Metadon Terapi yang menggabungkan antara pendekatan farmakologis menggunakan cairan metadon dan pendekatan psikososial. Metadon adalah opiate agoinst, yang bekerja pada tubuh selama 24-36 jam, dan sangat baik diabsorbsi tubuh melalui organ pencernaan. Program ini bersifat rawat jalan dan jangka panjang. Tujuan utamanya adalah untuk mengatasi ketagihan heroin di otak dengan menggunakan metadon, mengembangkan hubungan yang terapeutik, mencegah transmisi HIV. 5.) Program terapi rumatan Buprenorfin Serupa dengan Metadon, tetapi menggunakan tablet Buprenorfin. Buprenorfin adalah opiate semi-agonist, yang bekerja pada tubuh selama 24-48 jam dan digunakan dengan cara sub-lingual (di bawah lidah). Memiliki tujuan yang serupa pula dengan Metadon. 6.) Program terapi rumatan Buprenofin-Naloxon Serupa dengan Buprenorfin, hanya saja komponen yang memblokade reseptor opiat lebih kuat (Naloxon), sehingga diharapkan pengguna tidak mengalami euphoria sama sekali apabila menyuntikkan heroin ilegal ketika berada dalam program rumatan. 7.) 12 langkah Adalah pendekatan yang ditujukan untuk meraih kondisi bebas zat melalui filosofi spiritualitas. 12 langkah termasuk kelompok bantu diri (self-help group). Filosofi utama pada pendekatan ini adalah
9
bahwa seseorang tidak berdaya atas perilaku penggunaan narkobanya sehingga memerlukan bantuan, kekuatan “yang lebih tinggi” (Tuhan), melakukan hal-hal yang positif dan mengubah segenap kesalahan-kesalahannya, serta menawarkan bantuan bagi orang lain yang mengalami masalah serupa. 8.) Therapeutic Community (TC) Program rehabilitasi terstruktur yang termasuk sebagai kelompok bantu diri (self-help group). TC tidak melihat terapi narkoba sebagai proses yang bersifat satu arah dari staf yang terlatih kepada pasien, tetapi lebih melihat terapi sebagai suatu proses yang timbul dari adanya pembauran total pada semua orang yang terlibat, baik staff maupun pasien, dengan aturan, struktur, dan intervensi terapeutik yang disepakati bersama di antara para anggotanya. Pendekatan TC menggunakan program komunitas sebagai metode untuk mengubah perilaku pecandu (Leon, 2000). 9.) Program pasca rawat (after-care program) Program pemulihan yang diberikan setelah seorang pasien selesai menjalani program rehabilitasi/ rawat inap. Umumnya, menggunakan pendekatan kelompok bantu mandiri (self-help group), dan atau bimbingan lainnya yang diperlukan seperti kewirausahaaan dan pencegahan kambuh. Berdasarkan Jurnal Penyalahgunaan Narkoba (UNDPC, 1990) dan data BNN, metode Therapeutic Community memiliki tingkat keberhasilan sebesar 80%, dengan indikatornya, si penyalahguna di pulihkan melalui komunitas dalam panti rehab dengan penekanan pada pembangunan karakter dan kecerdasan emosi penghuninya ini sehingga berhasil bertahan pada kondisi bebas zat (abstinensia) dalam waktu yang lebih lama, dengan catatan si residen tersebut mengikuti seluruh tahapan hingga selesai. Oleh karena itulah metode ini dipertimbangkan oleh Departemen Sosial, guna mengembangkan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Metode ini pulalah yang banyak diterapkan di pusat - pusat rehabilitasi yang ada di Indonesia, seperti Pusat Rehabilitasi Narkoba milik BNN di Lido, Jawa Barat.
10
1.2.
Rumusan Masalah 1.) Bagaimana membuat pembagian area (zoning) untuk kegiatan-kegiatan dalam panti rehabilitasi narkoba. 2.) Bagaimana merancang ruang yang sesuai dengan kegiatan penghuni panti rehabilitasi narkoba berdasarkan pendekatan metode Therapeutic Community.
1.3.
Tujuan Penelitian 1.) Merancang panti rehabilitasi narkoba dengan pembagian area (zoning) berdasarkan ruang publik, semi publik, dan privat yang sesuai dengan kegiatan-kegiatan yang ada. 2) Merancang ruang berdasarkan kegiatan penghuni panti rehabilitasi narkoba berdasarkan pendekatan metode Therapeutic Community agar residen merasa aman, nyaman, dan termotivasi untuk sembuh sehingga penghuni panti rehabilitasi tidak merasa sakit dan terpenjara.
1.4.
Ruang Lingkup
1.4.1. Obyek Penelitian 1.) Obyek yang diteliti
: Panti Rehabilitasi Narkoba di Jakarta Barat
2.) Faktor manusia
: remaja (laki-laki & perempuan) usia 15 - 24 thn
3.) Metode
: Therapeutic Community
1.4.2. Desain 1.) Obyek hasil
: Panti Rehabilitasi Remaja pecandu narkoba dengan
fungsi ruang yang mengikuti metode Therapeutic Community). 2.) Interior
: memberikan kesan aman, nyaman, memotivasi
3.) Diharapkan lingkungan sekitar bangunan dapat memberi dampak positif terhadap bangunan itu sendiri dan bangunan tersebut juga memberi dampak positif kepada penghuninya sehingga tercapai tujuan menciptakan panti rehabilitasi yang sehat.
1.4.3. Penelitian -
metode penelitian
: kualitatif deskriptif
-
variabel
: - manusia sebagai pecandu - manusia sebagai pengawas residen
11
- manusia sebagai tenaga medis kesehatan - manusia sebagai tenaga psikiater - manusia sebagai tenaga
1.4.4. Lokasi Daerah - daerah di Jakarta rawan dengan penyebaran dan pemakaian narkoba. Oleh karena hal ini, panti rehabilitasi tersebut tidak memungkinkan dibangun di wilayah-wilayah yang cukup rawan narkoba. Sebagai contoh, jika lokasi rehabilitasi berdekatan dengan penyebarannya, tidak menutup kemungkinan “teman-teman” si pecandu yang sedang di rehabilitasi mengunjungi dan menyelundupkan narkoba. Sehingga lebih baik panti rehabilitasi bersifat “terasing”dengan suasana yang asri sehingga mereka dapat memulihkan mental dan fisik mereka. Data BPS (Badan Pusat Statistika) Jakarta, Jumlah Korban Narkoba di Jakarta berdasarkan tabel Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menurut Jenisnya dan Kecamatan di Jakarta: Tabel 1.1. Data Kasus Narkoba di Jakarta Sumber: Jakarta dalam Angka, Badan Pusat Statistika Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Utara Pusat Selatan Timur Barat Kec Data tidak tercatat / belum terdaftar
0
Kec Data tidak tercatat / belum terdaftar
0
Kecamatan -data kumu latif-
Total
Kecamatan - Pasar 4 Rebo - Ciracas 89 - Cipayung 11 - Makasar 6 - Kramat 130 Jati -Jati 29 Negara - Duren 84 Sawit - Cakung 200 - Pulo 211 Gadung - Matraman 68 832 221 Total
Kecamatan - Kembangan - Kebon Jeruk - Palmerah -Grogol petamburan - Tambora - Taman Sari - Cengkareng - Kalideres
Total
18 64 17 23 26 57 22 56
283
Berdasarkan data tersebut, kasus pecandu narkoba di Jakarta Selatan yang paling sedikit, akan tetapi dengan pertimbangan pemerataan keberadaan
12
Panti Rehabilitasi, daftar berikut yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan website menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi. Tabel 1.2. Daftar Panti Rehabilitasi yang Terdaftar di Jakarta Sumber: www.BNN.go.id Jakarta Utara Jakarta Pusat Jakarta Jakarta Timur Jakarta Barat Selatan Kedhaton Pusat Wisma Adiksi Wisma Doulus Yayasan Parahita Pemulihan (Pondok Labu) (Cilangkap) Pondok Bina (Muara Karang) Rumah Anak Kasih Panah (Kalideres) (Kemayoran) Rumah Harapan Narkotika Yayasan Titihan Permadi Siwi Yayasan Insan dan Pemulihan AnonymousRespati (Cawang) Pengasih Betsheda NA (Hang Lekir) Indonesia (Sunter) (Menteng) (Kebayoran Baru) Yayasan Kasih Yayasan ASA Yayasan Tiara Yayasan Pelita Mulia Bangsa Dharma Seta Kampung Bali (Pantai Indah (Jl.PLN) (Lubang Buaya) (Tanah Abang) Kapuk) Forum Silahturahmi Prof.Dr.Dadang Hawari dan rekan Yayasan Terracotta Indonesia (Kemang) Pusat Rehabilitasi Anak Domba Allah (Tebet) 3 panti 2 panti 3 panti 6 panti 3 panti
Dengan membandingkan data antara Jakarta Selatan (221 kasus - 6 panti) dan Jakarta Barat (283 kasus - 3 panti) dipilihlah lokasi di daerah Jakarta Barat. Berdasarkan data kasus narkoba di Jakarta Barat, kecamatan Palmerah dan Kembangan merupakan 2 kecamatan yang memiliki kasus terendah dengan selisih 1 kasus. Panti rehabilitasi narkoba dalam “Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi” memiliki kode peruntukan lahan “S.2” golongan “b”, menjadi S.2.b yaitu: “Zona Pelayanan Umum dan Sosial - Sub Zona Sarana Kesehatan”.
13
Berdasarkan data dari Dinas Tata Kota Jakarta Barat, kecamatan Palmerah memiliki 14 area yang memiliki izin untuk Sub Zona Sarana Kesehatan. Kecamatan Kembangan memiliki 5 area yang memiliki izin untuk Sub Zona Sarana Kesehatan. Berdasarkan pertimbangan bahwa panti rehabilitasi narkoba memerlukan daerah yang cukup tenang, terpilihlah kecamatan Kembangan dengan area/ zona 06.009.S.2.b sebagai lokasi untuk Panti Rehabilitasi Narkoba yang berada di daerah Meruya Utara, tepatnya di Jalan Jomas dengan luas lahan 3831 m2.
site
Gambar 1.5. Lokasi Panti Rehabilitasi Narkoba Sumber: Dinas Tata Kota Jakarta Barat
1.5.
State of the Art Tinjauan pustaka berdasarkan jurnal-jurnal ilmiah yang telah dipublikasi: 1.) INTERNATIONAL JOURNAL OF SOCIAL PSYCHIATRY a.) Judul: “How Therapeutic Communities Work: Specific Factors Related to Positive Outcome” b.) Penulis : Steve Pearce dan Hanna Pickard c.) Pembahasan tentang manfaat dari Therapeutic Community dalam pemulihan kesehatan melalui kelompok kelompok kerja yang saling mendukung dan memberi semangat sehingga per-pribadi terpacu untuksembuh karena ada teman-teman sebagai pembanding dan pemicu dalam peningkatan level pemulihan psikologisnya ke arah yang lebih baik.
2.) DIMENSI INTERIOR a.) Judul: “Peran Warna pada Interior Rumah Sakit Berwawasan
14
“Healing Environment” Terhadap Proses Penyembuhan Pasien” b.) Penulis: Sriti Mayang Sari (Dosen Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni dan Desain-Universitas Kristen Petra Surabaya) c.) Pembahasan tentang, proses penyembuhan manusia merupakan gabungan kondisi fisiologis dan psikologis. Untuk mendukung kesembuhan tersebut, lingkungan sekitar pasien harus menyehatkan, nyaman, dalam arti secara psikologis lingkungan memberikan dukungan positif bagi proses penyembuhan. Desain interior rumah sakit
merupakan
lingkungan
binaan
yang
keberadaannya
berhubungan langsung dengan pasien. Melalui elemen-elemen desain seperti warna, diharapkan dapat menciptakan sebuah lingkungan atau suasana ruang yang dapat mendukung proses penyembuhan.
3.) DIMENSI INTERIOR - vol.2, no.2 (Desember 2004); 166-180 a.) Judul: “Desain Interior Berdasar pada Kebutuhan Sosial dan Material Ekologis b.) Penulis: Ign. Dono Sayoso (Staf Pengajar Lembaga Manusia dan Bangunan -Universitas Katholik Soegijapranata) c.) Pembahasan tentang, Keharmonisan tata ruang tergantung dari kesadaran akan sirkulasi udara, pencahayaan, keamanan dan estetika yang sesuai. Sebuah hunian tidak hanya memberikan perlindungan secara fisik saja , namun juga perlindungan psikologi, seperti kedamaian, keamanan, dan kebahagiaan (kualitas hidup). Rancangan interior dituntut sesuai dengan gaya hidup dan meningkatkan kualitas hidup. Rancangan yang baik tidak sekedar masalah bentuk dan warna, tetapi juga fungsi yang mewakili kebutuhan sosial pemilik. Untuk itu desain interior tidak hanya mempertimbangkan sistem konstruksi dan teknologi, tetapi juga kepekaan masalah pembahanan (material) yang mempengaruhi kualitas hidup yang ekologis.
4.) MODUL a.) Judul: “Kajian Aplikasi Warna Interior Rumah Sakit Ibu dan Anak pada Psikologi Pasien Anak” b.) Penulis: Ayu Wandira, Septana B Pribadi (Jurusan Arsitektur
15
Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Semarang) c.) Pembahasan tentang, warna yang merupakan unsur penting dalam mendesain, karena warna mampu memberikan kesan dan identitas tertentu sesuai pengamatnya. Komposisi dan kombinasi warna pada interior bangunan menciptakan persepsi bagi pengguna bangunan tersebut, sehingga membantu proses pemulihan kesehatan dan psikologisnya.
5.) ITB JOURNAL, VISUAL, ART, & DESIGN a.) Judul: “Relasi Penerapan Elemen Interior Healing Environment pada Ruang Rawat Inap dalam Mereduksi Stress Psikis Pasien”. (Studi Kasus: RSUD. Kanjuruhan, Kabupaten Malang). b.) Penulis: Debri Haryndia Putri, Widiharjo, Andriyanto Wibisono. c.) Pembahasan tentang, Suasana lingkungan medis yang menyenangkan merupakan lingkungan yang bisa membantu adaptasi proses penyembuhan pasien. Bagaimanapun, lingkungan medikal seringkali diidentifikasikan dengan hal yang menakutkan, menggelisahkan, dan ketidakpastian
yang
bisa
menekan
sistem
imunisasi
yang
mengakibatkan pasien tinggal lebih lama dan bahkan bisa menimbulkan komplikasi selama masa penyembuhannya. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis bagaimana mengoptimalkan penerapan elemen interior healing environment (elemen sirkulasi, pencahayaan, warna dan elemen pendukung interior: unsur alam, fasilitas sosial dan televisi) dalam ruang perawatan pasien mempengaruhi aspek psikologis pasien. Penelitian dilaksanakan pada Rumah Sakit Umum Daerah Kanjuruhan, Kabupaten Malang yang memiliki kondisi fisik interior yang sesuai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan yang alami dan menggunakan pencahayaan yang alami memiliki potensi untuk mengurangi stres pasien, memberikan kondisi yang lebih baik bagi mereka yang dekat dengan alam. Perbedaan dalam latar belakang ekonomi, kultur, lingkungan sosial menghasilkan perbedaan persepsi pada cara pandang
terhadap
lingkungannya.
elemen
penyembuhan
pada
pengaturan
16