BAB 1 Pendahuluan 1.1.
Latar Belakang Pada masa modern ini, kegiatan berbelanja sudah menjadi kegiatan sehari-hari.
Kegiatan berbelanja sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dalam sebuah keluarga. Menurut Lins dkk (2013) bahwa mayoritas dari individu-individu di negara industri membeli barang dan menggunakan jasa bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Dalam melakukan kegiatan berbelanja, setiap individu biasanya telah mempersiapkan daftar belanja yang berisi barang-barang yang akan dibeli untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap individu dapat berbelanja di pasar ritel atau toko yang menjual semua kebutuhan. Kebutuhan yang dapat dibeli yaitu makanan, minuman, pakaian, perlengkapan mandi, perlengkapan elektronik, buku, majalah maupun rokok. Ketika seseorang akan berbelanja di pasar ritel, ia telah mempersiapkan daftar belanja dan merencanakan barang-barang yang dibutuhkan. Menurut Indonesian Commercial Newsletter (2011), bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta orang merupakan pasar potensial bagi bisnis ritel modern. Hal ini diperkuat dengan data yang diperoleh dari Data Analyst Manager Frontier Consulting Group, bahwa terjadi kenaikan jumlah gerai ritel modern sebesar 17,57% per tahun di Indonesia selama tahun 2007 sampai 2012. Pada tahun 2007, jumlah usaha ritel di Indonesia masih sebanyak 10.365 gerai, dan pada tahun 2012 telah mencapai 18.152 gerai di Indonesia. Pada tahun 2014 diperkirakan perkembangan pasar ritel mencapai angka 9,5% (Pertiwi, 2014). Menurut Levy & Weitz (2001) “Retailing adalah satu rangkaian kegiatan bisnis untuk menambah nilai guna barang dan jasa yang dijual kepada konsumen untuk konsumsi pribadi atau rumah tangga”. Konsumen yang menjadi target sasaran dari pasar ritel adalah konsumen yang membeli produk untuk dikonsumsi sendiri seperti kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Bisnis pasar ritel di Indonesia dapat dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu pasar ritel tradisional dan pasar ritel modern. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (2013), “Pasar ritel tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerja sama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan
melalui tawar menawar”. Keuntungan dari pasar tradisional adalah konsumen dapat menawar harga suatu barang, contohnya seperti konsumen menawar harga pakaian atau makanan yang akan dibeli. Kekurangan yang dimiliki oleh pasar tradisional adalah kenyamanan, kebersihan, pelayanan dan keamanan yang buruk yang telah disediakan dari pihak manajemen pasar tradisional. Pasar ritel modern sebenarnya adalah pengembangan suatu konsep pasar di bagian keamanan, kenyamanan dan harga yang telah ditentukan pada setiap barang, serta konsep pelayanan mandiri. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (2013), “Pasar ritel modern adalah pasar dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store dan hypermarket”. Perbedaan dari setiap tipe pasar ritel modern ini adalah perbedaan luas lahan yang digunakan dan barang yang dijual. Minimarket, supermarket dan hypermarket menjual secara eceran berbagai jenis barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah tangga, sedangkan department store menjual secara eceran berbagai jenis barang konsumsi berupa produk sandang dengan penataan berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia konsumen (Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, 2013). Produk sandang yang tersedia di department store adalah pakaian, celana dan topi. Pada setiap pasar ritel modern terdapat berbagai macam promosi yang diberikan kepada konsumen. Hal ini bertujuan untuk menarik perhatian konsumen sehingga konsumen ingin dan tertarik untuk berbelanja di pasar ritel modern tersebut. Selain promosi yang dilakukan oleh pihak pasar, pihak pasar pun menata semua barang, melakukan display yang sangat menarik secara visual dan menyediakan banyak alternatif produk yang lainnya sehingga konsumen dapat tertarik untuk membeli barang tersebut. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Kurniawan dan Kunto bahwa promosi, display dan banyaknya alternatif produk yang tersedia akan berpengaruh terhadap impulsive buying (Kurniawan & Kunto, 2013). Menurut Lars Perner, sebagai profesor dari Universitas California bahwa semakin terlihat suatu produk yang dijual maka semakin besar juga kemungkinan produk tersebut untuk dibeli oleh konsumen. Cara yang paling baik untuk meningkatkan impulsive buying adalah dengan meningkatkan Visibility. Visibility adalah display produk yang dapat menarik perhatian konsumen untuk membeli produk tersebut (Lars Perner dalam McPherson, 2005). Impulsive buying telah didefinisikan oleh banyak peneliti. Verplanken & Herabadi (2001) mendefinisikan impulsive buying sebagai pembelian yang tidak rasional dan
diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak direncanakan, diikuti oleh adanya konflik pikiran dan dorongan emosional (dalam Dameyasani & Abraham, 2013). Rook dan Fisher (1995) berpendapat bahwa impulsive buying adalah kecenderungan konsumen untuk membeli secara spontan tanpa pertimbangan dan terjadi secara tiba-tiba. Dalam penelitian lainnya Rook & Gardner (1993) menambahkan bahwa impulsive buying behavior adalah perilaku membeli suatu barang yang tidak direncanakan oleh individu, relatif cepat dan secara tiba-tiba muncul dorongan yang kuat dalam membeli suatu barang dan distimulasi oleh faktor emosional (dalam Dameyasani & Abraham, 2013). Selain terjadi di negara-negara Amerika dan Eropa, fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Hal ini diperkuat berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Nielsen dari tahun 2003 sampai 2011 (dalam Dameyasani & Abraham , 2013), bahwa konsumen Indonesia menjadi lebih impulsive dalam membeli barang. Terdapat 5 point yang menjadi temuan dari survey tersebut, yaitu : (1) Terdapat penurunan persentase konsumen Indonesia yang menyatakan bahwa mereka melakukan perencanaan terhadap barang yang akan dibeli dan tidak pernah membeli barang yang tidak terencana; (2) Terdapat kenaikan persentase konsumen yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan perencanaan barang yang akan mereka beli sebelum pergi berbelanja; (3) Terdapat kenaikan persentase konsumen yang menyatakan bahwa mereka selalu membeli barang tambahan padahal mereka telah merencanakan barang yang akan dibelinya; (4) Terdapat kenaikan persentase konsumen yang menyatakan bahwa mereka selalu membeli barang tambahan; (5) Terdapat kenaikan persentase konsumen yang menyatakan bahwa mereka lebih suka datang ke toko yang memberikan penawaran dan kupon yang menarik melalui koran dan brosur. Point-point ini diperoleh dari Nielsen melalui wawancara secara langsung kepada 1.804 responden di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makasar, dan Medan. Untuk mengecilkan ruang lingkup fenomena, peneliti telah melakukan wawancara singkat kepada 5 mahasiswa/i Bina Nusantara. Tujuan dari wawancara singkat ini adalah untuk mengetahui kecenderungan terjadinya impulsive buying yang dimiliki oleh mahasiswa/i Bina Nusantara. Hasil yang didapat adalah terdapat 4 mahasiswa/i Bina Nusantara yang memiliki kecenderungan untuk impulsive buying ketika membeli produk fashion. Menurut Dittmar dan Drury; Rook (dalam Dameyasani & Abraham, 2013) bahwa impulsive buying memiliki karakteristik yaitu memiliki kecenderungan untuk mengabaikan konsekuensi yang ada, membutuhkan waktu yang relatif sedikit dalam mengambil keputusan ketika membeli barang dan memiliki informasi yang sedikit mengenai barang yang dibeli,
contohnya adalah mengeluarkan uang secara berlebihan dan membeli barang yang memiliki kualitas yang rendah. Ketika individu dihadapkan oleh suatu hal yang tidak rasional seperti terjadinya impulsive buying, maka individu akan mengalami ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan ini disebabkan karena melakukan hal yang bertentangan atau berlawanan dengan keyakinan yang dimiliki seseorang. Keyakinan yang dimiliki seseorang tersebut biasanya bersifat positif, sebagai contoh adalah tidak berjudi, tidak berbohong, tidak boros, tidak merokok dan tidak minum minuman beralkohol. Hal ini disebut sebagai cognitive dissonance (Aronson, Wilson & Akert, 2010). Selain karena hal yang tidak rasional, cognitive dissonance juga dapat terjadi ketika sedikitnya informasi yang didapatkan mengenai barang yang akan dibeli (Hawkins, Coney & Best, 2001). Hal ini diperkuat dalam hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Chrisnatalia (2008) & Saleh (2012), menunjukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara unplanned buying dan post-purchase regret pada masyarakat di kota Jakarta dan negara Arab. Unplanned buying adalah salah satu indikator perilaku dari impulsive buying, sedangkan post-purchase regret adalah salah satu kondisi dimana seorang individu gagal mengurangi atau menghilangkan rasa ketidaknyamanan yang dimilikinya yang disebabkan oleh cognitive dissonance. Istilah cognitive dissonance telah digunakan secara luas di dunia, digunakan untuk meneliti tentang perilaku konsumen dalam konteks tahap setelah pembelian barang yang dilakukan oleh konsumen. Jika terjadi cognitive dissonance pada konsumen setelah membeli barang, hal ini disebut sebagai post purchase dissonance (Hasan & Nasreen, 2014; Koller & Salzberger, 2007). Post Purchase Dissonance terjadi karena adanya cognitive dissonance yang terjadi pada konsumen. Menurut Festinger (dalam Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007) cognitive dissonance adalah ketidaksesuaian yang terjadi antara dua elemen kognitif yang tidak konsisten yang menyebabkan ketidaknyamanan psikologis serta memotivasi orang untuk berbuat sesuatu agar disonansi itu dapat dikurangi. Disonansi ini terjadi pada konsumen setelah adanya pembelian suatu barang, hal ini dapat disebut sebagai post purchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Berdasarkan dari latar belakang ini, peneliti ingin melakukan penelitian tentang, “Hubungan Antara Impulsive Buying Dengan Post Purchase Dissonance Pada Mahasiswa/i Bina Nusantara yang Membeli Produk Fashion”.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan dari fenomena yang telah dijelaskan pada latar belakang. Permasalahan yang akan berusaha dijawab dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara impulsive buying dengan post purchase dissonance pada mahasiswa/i Bina Nusantara yang membeli produk fashion?” 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara impulsive buying dengan post purchase dissonance pada mahasiswa/i Bina Nusantara yang membeli produk fashion.