BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang yang memiliki jenis kelamin dan gender yang berbeda, yaitu wanita dengan pria, namun pada kenyataannya orientasi seksual yang berkembang di masyarakat luas dunia bukan hanya heteroseksual, namun ada juga yang disebut homoseksual. Kenyataannya sudah banyak literatur-literatur yang membahas dengan jelas mengenai keberadaan homoseksual di seluruh bagian dunia sejak berabad-abad lamanya, dan homoseksual sendiri bukanlah suatu hal yang tabu dan bahkan suatu hal yang dianggap lumrah dan legal pada masanya. Orientasi seksual disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor lingkungan, kognitif, dan biologis. Pada sebagian besar individu, orientasi seksual terbentuk sejak masa kecil. Hasil penelitian-penelitian sebelumnya menganggap bahwa ada kombinasi antara faktor biologis dan lingkungan sebagai penyebab orientasi seksual homoseksual (Money dalam Feldmen, 1990). Homoseksualitas merupakan salah satu dari orientasi seksual, yang juga merupakan lawan dari heteroseksual, dimana seorang individu, pria maupun wanita, lebih menyukai serta tertarik pada orang lain yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan mereka. Menurut Wierenga (2010) dalam Reksodirdjo (2011) menyatakan bahwa pernikahan yang paling baik di dunia ini sesungguhnya adalah pernikahan antara dua insan yang berbeda jenis kelamin, yaitu perempuan yang memiliki vagina dan laki-laki yang memiliki penis, dengan tujuan prokreasi atau menghasilkan seorang anak. Pandangan ini disebut bimorfis dimana hanya, dan hanya, laki-laki tulen dan perempuan tulen (yang) dapat menikah. Maka dari itu masyarakat menganggap hal ini tabu dan merupakan suatu hal yang salah, salah bukan hanya dari satu aspek kehidupan, namun juga beberapa. Norma tentang keintiman yang dijalin antara feminin dengan maskulin sudah melekat di masyarakat membuat keberadaan homoseksual dianggap hal yang menyimpang di Indonesia. Budaya timur yang melekat di masyarakat membuat hal ini menjadi sebuah masalah yang besar. Berbeda dengan di negara barat, khususnya negara
1
2
Belanda, masyarakatnya telah menerima keberadaan kaum homoseksual dan menghalalkan pernikahan sesama jenis (Rakhmahappin & Prabowo, 2014). Menurut Boellstorff (2006) negara, termasuk Indonesia, mengajarkan kita nilai heteronormatif—asumsi bahwa heteroseksualitas merupakan satu-satunya norma yang normal dan pantas—berperan penting dalam pembentukan negara-bangsa sebagai ‘komuniti yang diimajinasikan’ (imagined communities). Hal ini yang menyebabkan munculnya sebuah istilah homophobic yang memiliki definisi yakni rasa takut untuk berada dalam jarak dekat dengan pria maupun wanita homoseksual diikuti dengan perasaan takut, kebencian, dan ketidaktoleranan yang irasional dari individu heteroseksual kepada pria maupun wanita homoseksual (Adams; Wright; Lohr, 1996). Pada umumnya, homoseksual diartikan sebagai tertarik secara seksual dengan sesama jenis (Santrock, 2000). Homoseksualitas mengacu pada perasaan tertarik, secara perasaan atau erotik, baik secara predominan maupun eksklusif terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa adanya hubungan fisik (Oetomo, 2001). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Danu Dean Asmoro pada tahun 2013 yang melakukan survei tentang jumlah homoseksual berdasarkan berbagai aspek seperti provinsi dan peran seksualnya, tercatat bahwa jumlah persentase gay terbanyak di Indonesia terdapat di provinsi DKI Jakarta dengan angka hingga 43,33% dari jumlah gay keseluruhan, sedangkan persentase terendah terdapat di provinsi Sulawesi Barat dengan angka 0,02%. Kemudian untuk persentase penyebaran homoseksual berdasarkan peran seksualnya, yakni untuk peran top (menyatakan posisi yang lebih dominan dalam hubungan homoseks) terhitung hingga 13,85%, untuk bottom (menyatakan posisi yang kebalikan dari top) terhitung hanya 7,00%, sedangkan untuk peran versatile (menyatakan peran yang lebih fleksibel, dapat menjadi bottom ataupun top) memegang angka tertinggi yakni 20,01%. Selain itu sebagian besar dari mereka yang mengikuti survei ini memilih untuk tidak menuliskan peran apa yang mereka pilih (sebanyak 43,92%). Kaum homoseksual lain (beberapa pria gay) justru dapat menerima apa yang ada di dirinya sebagai suatu bentuk hal yang hakiki. Pribadi semacam ini berani coming out atau menyatakan identitas dirinya yang sesungguhnya sehingga konflik internal dalam dirinya lepas. Coming out itu sendiri dapat diartikan sebagai kesadaran diri atau
3
pengakuan seseorang kepada publik atau orang lain mengenai orientasi seksual yang dimiliki (Fransisca, M., 2009). Kaum homoseksual ini dinamakan egosintonik, tidak dikatakan sebagai kelompok gangguan jiwa karena mereka tidak mengalami distress maupun disability dalam kehidupan mereka. Bahkan mereka yang sukses dengan coming out seperti demikian seringkali lebih produktif dan sukses dalam profesi mereka seperti misalnya perancang baju, penata rias dan rambut, dll. (Manullang, 2014). Namun dalam melewati tahap coming out ini bukanlah merupakan hal yang mudah dan dapat dilewati begitu saja, banyak dampak-dampak yang kemungkinan besar muncul dan dapat mengubah kehidupan seorang gay di kehidupan yang akan datang. Dampak positif yang didapatkan oleh seorang gay yakni berpengaruh pada psychological well-being mereka dengan meningkatnya self esteem serta berkurangnya tingkat distress, mengurangi perilaku yang berisiko, memfasilitasi hubungan pribadi, dan meningkatkan keterikatan dengan lembaga tempat kita bekerja, sekolah atau lainnya (seperti lebih aktif atau rajin mengikuti kegiatan di institusi tersebut). Sedangkan dampak buruk atau kerugian dari coming out jika ternyata lingkungan tidak mendukung adalah kemungkinan besar untuk melakukan aktivitas menyakiti diri sendiri, dijauhi atau diabaikan dari lingkungan sosial, tidak diterimanya di dalam lingkungan sosial, dan berkurangnya self-consciousness serta self-fulfilling (Corrigan dan Matthews, 2003). Banyak peneliti dan advokasi setuju bahwa pokok penting dari psychological well-being pada LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender/Transexual) adalah dengan menerima dan meyakini diri mereka yang sebenarnya (Besner & Spungin, 1995). Hal itu terkait dengan bagaimana dampak positif yang mereka dapatkan setelah proses tersebut. Psychological well-being sendiri pertama kali dicetuskan oleh Ryff pada tahun 1989 dan kemudian dikembangkan oleh Ryff dan Keyes pada tahun 1995. PWB memiliki enam unsur atau dimensi penting yang memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya, enam dimensi tersebut yakni autonomy, selfacceptance, personal growth, purpose in life, positive relation with others, dan environmental mastery (Springer & Hauser, 2003). Enam dimensi tersebut memiliki keterikatan yang sangat erat sehingga tidak mudah untuk menilai PWB seseorang jika berdasarkan dua atau tiga dimensi saja. Jika seseorang sudah mencapai tahapan dimana PWB individu tersebut sudah cukup tinggi, maka individu dapat membangun kualitas hidup yang sangat baik di kehidupan
4
bermasyarakat, bukan hanya mereka yang homoseksual, melainkan untuk mereka yang heteroseksual pun begitu, karena jika seorang individu telah menguasai dan memahami ke-enam dimensi tersebut, maka individu tersebut akan dengan sangat mudah dalam berinteraksi dengan lingkungannya, bersosialisasi serta membangun relasi dengan banyak orang. Namun jika seseorang belum mencapai tingkat PWB yang mumpuni, maka individu tersebut dapat memunculkan negative health seperti depression dan anxiety (Springer & Hauser, 2003). Peneliti lebih berfokus pada anxiety, dimana hal ini merupakan sebuah emosi negatif yang dimiliki setiap manusia namun dengan porsi yang berbeda-beda. Merujuk pada PWB, anxiety memilliki kaitan yang erat karena jika seorang gay tidak memiliki salah satu dari enam dimensi tersebut, maka emosi negatif ini otomatis akan muncul, seperti contoh, seseorang akan merasa resah dan gelisah jika harus berhadapan dengan orang banyak, merasa cemas karena takut akan penolakan dari orang lain atas pendapat yang mereka miliki, merasa cemas jika harus berhadapan dengan banyak orang di lingkungan yang relatif baru, dan sebagainya. Seperti yang dikemukakan Bradburn (2003) bahwa tinggi rendahnya psychological well-being berkaitan erat dengan kecemasan (anxiety), kesehatan, dan afek-afek negatif seseorang. Anxiety sendiri dapat dijelaskan dari berbagai macam teori-teori psikologi seperti teori psikoanalitis dari Freud, teori perilaku atau teori belajar dari Pavlov dan Watson, teori fisiologis dari Panksepp dan Gray, teori fenomenologi atau eksistensi dari Kirkegaard dan Fischer, serta teori kognitif dari Eysenck (Strongman, 1995). Terdapat beberapa dampak yang dapat timbul dari kecemasan dan dikategorikan dari beberapa simtom menurut Semiun (2012) yakni antara lain simtom suasana hati dengan penjelasan bahwa individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman dan bencana yang mengancam dari suatu sumber tertentu yang tidak di ketahui. Kemudian dari simtom kognitif yakni kecemasan dapat menyebabkan kekhawatiran dan keprihatinan pada individu mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi. Selain itu ada simtom motor dengan kriteria yakni orang-orang yang mengalami kecemasan sering merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motor menjadi tanpa arti dan tujuan, misalnya jarijari kaki mengetuk-ngetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba. Penyimpangan serta kelainan yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat Indonesia ini pun yang akhirnya memunculkan pertanyaan besar di benak penulis,
5
yakni, bagaimana seorang gay melakukan coming out? Bagaimana membangun kepercayaan diri mereka terhadap lingkungan mereka yang mayoritas heteroseksual? Penolakan, cemooh, penghindaran, serta caci maki akan banyak terdengar di telinga, dengan hal tersebut, asumsi yang muncul adalah turunnya atau hilangnya rasa percaya diri seorang homoseksual untuk mengemukakan pendapat atau opini mereka sehingga mungkin dapat memunculkan kecemasan yang cukup serius terhadap lingkungannya. Mereka akan merasa diabaikan, dijauhi, dihindari, dibedakan, diremehkan, maupun dilecehkan karena perbedaan yang mereka jalani. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan psychological well-being pada gay yang telah coming out? 2. Apakah terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi autonomy dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out? 3. Apakah terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi environmental mastery dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out? 4. Apakah terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi personal growth dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out? 5. Apakah terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi positive relation with others dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out? 6. Apakah terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi purpose in life dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out? 7. Apakah terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi self-acceptance dalam psychological well-being pada pria gay yang telah coming out?
6
1.3 Tujuan Penelitian Terdapat tujuh poin penting yang menjadi tujuan dari disusunnya penelitian ini, yakni: 1. Mengetahui hubungan antara kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan kesejahteraan psikologis pada gay yang telah coming out. 2. Mengetahui hubungan antara kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi autonomy dalam kesejahteraan psikologi pada pria gay yang telah coming out. 3. Mengetahui hubungan antara kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi environmental mastery dalam kesejahteraan psikologi pada pria gay yang telah coming out. 4. Mengetahui hubungan antara kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi personal growth dalam kesejahteraan psikologi pada pria gay yang telah coming out. 5. Mengetahui hubungan antara kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi positive relation with others dalam kesejahteraan psikologi pada pria gay yang telah coming out. 6. Mengetahui hubungan antara kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi purpose in life dalam kesejahteraan psikologi pada pria gay yang telah coming out. 7. Mengetahui hubungan antara kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi self-acceptance dalam kesejahteraan psikologi pada pria gay yang telah coming out.