BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sebagian besar populasi dunia bermukim dan menjalani kehidupannya di
kawasan pesisir (Bird, 2008), termasuk Indonesia. Kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Semarang merupakan kota yang terletak di kawasan pesisir dan menjadi pusat perekonomian sejak zaman kolonial Belanda (Marfai et al., 2007). Perkembangan perkotaan di kawasan pesisir disertai dengan berkembangnya sektor industri, perdagangan dan jasa, pariwisata, dan sektor ekonomi lainnya di kawasan sekitarnya. Kawasan pesisir yang terletak di perbatasan daratan dan lautan, memiliki dinamika fisik yang tinggi akibat pengaruh yang berasal dari darat maupun laut. Pengaruh tersebut antara lain berasal dari gelombang, pasang surut, angin, dan juga aktivitas manusia yang berlangsung terus menerus sepanjang waktu. Salah satu aspek fisik yang berpengaruh terhadap kawasan pesisir adalah perubahan iklim. Kenaikan suhu permukaan bumi yang lebih dikenal dengan perubahan iklim (climate change) turut mempengaruhi dinamika kawasan pesisir. Perubahan iklim yang mengakibatkan kenaikan muka air laut dan menimbulkan banjir rob merupakan fenomena yang banyak terjadi di kawasan pesisir. Berdasarkan skenario yang dikeluarkan oleh IPCC (2007), rerata kenaikan muka air laut global adalah sebesar 0,18-0,58 m per tahun. Indonesia diprediksi mengalami kenaikan muka air laut sebesar ±3,6 mm/ tahun, dengan intensitas dan frekuensi kenaikan air laut yang berbeda di setiap wilayah. Kenaikan muka air laut yang diikuti terjadinya banjir rob berpotensi mengakibatkan kerugian besar di kawasan pesisir (Marfai et al., 2008) baik secara langsung ataupun tidak langsung. Banjir rob merusak bangunan permukiman, infrastruktur pendukung seperti jalan, jembatan, dan fasilitas pelayanan publik seperti sekolah, dan perkantoran. Hilangnya sumber mata pencaharian akibat tenggelamnya lahan tambak dan sawah, serta laju kegiatan ekonomi yang terhambat akibat terputusnya akses transportasi merupakan contoh kerugian tidak langsung
1
yang ditimbulkan oleh banjir rob. Seringkali kerugian tidak langsung tersebut memiliki nilai yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kerugian langsung yang ditimbulkan. Banjir rob di kawasan pesisir merupakan fenomena alam yang tidak dapat dihindari. Namun demikian, usaha untuk meminimalisir dampak negatif akibat banjir rob tersebut agar tetap berada dalam batas yang dapat ditoleransi terus dilakukan berbagai pihak. Kerangka pengurangan resiko bencana yang dibuat oleh PBB Tahun 2003 mencantumkan 3 tahapan utama yang dapat dilakukan dalam upaya tersebut, yaitu : persiapan (preparedness), tanggap darurat (response), dan pemulihan (recovery). Tahapan yang sama juga tercantum dalam Pedoman Penyelengaraan Penanggulangan Bencana yang diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum (2009) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2012). Tahapan pertama dalam penyusunan rencana mitigasi penanggulangan bencana yaitu melakukan identifikasi potensi bahaya dan kerentanan yang dimiliki suatu wilayah. Karakteristik fisik wilayah yang memiliki potensi bahaya jika berhadapan dengan kondisi sosial ekonomi penduduk yang rentan akan menghasilkan resiko bencana yang tinggi. Resiko bencana tinggi akan sangat merusak dan merugikan, terutama bagi masyarakat. Meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian bencana selalu berbanding lurus dengan besarnya kerugian yang diderita oleh penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana. Lemahnya sistem peringatan dini dan kurangnya mitigasi bencana dapat meningkatkan resiko bencana, sehingga dapat meningkatkan potensi kerugian yang dapat diderita. Saat ini paradigma mitigasi bencana mulai mengalami pergeseran jika dibandingkan dengan beberapa dasawarsa silam. Dahulu penanganan bencana lebih fokus terhadap penanganan bencana dari aspek fisik, seperti lokasi, penyebab, frekuensi, dan besar bencana tersebut (Fekete, 2010). Namun sekarang penanganan bencana mulai menempatkan manusia dan kegiatannya sebagai subjek sekaligus objek yang harus mendapat perhatian serius. Kajian ketahanan masyarakat di kawasan rawan bencana yang mulai marak dilakukan pada awal dasawarsa 90-an mulai disadari sebagai tolak ukur penting bagi pengambil kebijakan untuk
2
memperkecil resiko bencana, terutama terkait dengan bencana yang terkait dengan perubahan iklim (McCarthy et al., 2001, dalam Fussel et al., 2006). Konsep ketahanan masyarakat dalam penyusunan rencana penanggulangan bencana di Indonesia belum banyak digunakan. Ketahanan masyarakat lebih berkembang sebagai kajian akademis dibandingkan dengan penerapannya dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah. Padahal integrasi konsep ketahanan masyarakat dalam dokumen penanggulangan bencana sangat penting karena kebijakan pemerintah sangat berperan dalam meningkatkan ketahanan masyarakat (Cutter et al., 2008). Penilaian kerentanan masyarakat di wilayah terdampak bencana dapat mengukur tingkat kemampuan masyarakat tersebut dalam bertahan menghadapi bencana. Lebih jauh lagi, hasil pengukuran ketahanan masyarakat diharapkan dapat menghasilkan kebijakan untuk mencegah masyarakat jatuh ke dalam tahapan gagal (collapse). Gagal adalah tahapan ketika masyarakat sudah tidak mampu lagi bertahan dan menjadi tidak berdaya menghadapi bencana yang menghantam mereka. 1.2
Permasalahan Penelitian Kabupaten Demak merupakan salah satu kabupaten yang terletak di pantai
utara Provinsi Jawa Tengah. Posisi Kabupaten Demak dalam konstelasi wilayah di Jawa Tengah cukup strategis. Demak berbatasan langsung dengan Kota Semarang yang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah. Kawasan industri yang terletak di Kecamatan Sayung merupakan bagian dari kawasan industri Kota Semarang. Kabupaten Demak juga dilewati oleh Jalur Pantura yang merupakan koridor transportasi dan ekonomi utama di Pulau Jawa bagian utara. Pesisir Kabupaten Demak merupakan salah satu kawasan terdampak banjir rob yang cukup parah. Hingga tahun 2009 terdapat 1200 rumah yang tergenang dan 300 hektar tambak terancam hilang dan menjadi bagian dari laut jawa (DKP Demak, 2009 dalam Susanto, 2010). Tahun 2011 yang lalu, banjir rob yang menggenangi permukiman di Desa Timbulsloko membawa ribuan lintah yang menggangu kenyamanan warga (berita www.okezone.com tanggal 9 Juli 2012). Selain menggenangi kawasan permukiman, banjir rob juga sudah mulai mencapai Kantor 3
Kecamatan dan Polsek Sayung yang tepat berada di Jalur Pantura di ruas Kecamatan Sayung (berita Suara Merdeka, tanggal 4 November 2010). Banjir rob sudah terjadi cukup lama di Kecamatan Sayung. Keterangan yang dihimpun dari penduduk lokal menyebutkan bahwa banjir yang menggenangi kawasan permukiman telah terjadi sejak tahun 1998, dan hingga kini masih berlangsung dengan luasan dan intensitas yang semakin bertambah. Hingga tahun 2012 terdapat 2 dusun di Desa Sriwulan yang telah direlokasi akibat kawasan permukiman yang telah mengalami genangan permanen. Dusun tersebut yaitu Dusun Tambaksari (Senik) dan Rejosari. Kecuali relokasi pada 2 dusun tersebut, upaya mitigasi yang dilakukan hingga saat ini baru terbatas pada upaya pembangunan tanggul di pinggir laut dan penanaman mangrove di kawasan pesisir. Berdasarkan rancangan peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Demak 2011-2031, Kecamatan Sayung ditetapkan sebagai kecamatan yang rawan bencana banjir rob dan abrasi. Desa yang terancam oleh bencana banjir rob dan abrasi meliputi : Bedono, Sriwulan, Timbulsloko, dan Desa Purwosari. Padahal sebagaimana yang ditetapkan dalam dokumen RPJMD tahun 2011-2016, Kecamatan Sayung termasuk dalam SWP (Satuan Wilayah Perencanaan) I Kabupaten Demak. Kawasan SWP I merupakan kawasan utama yang menjadi pusat kegiatan Kabupaten Demak. Kecamatan Sayung diarahkan menjadi pusat kegiatan industri terutama industri pengolahan, yang berlokasi di sepanjang Jalur Pantura. Banjir rob dan abrasi tentu mengancam fungsi Kecamatan Sayung sebagai pusat kegiatan terutama industri di Kabupaten Demak. Kajian ketahanan masyarakat yang menetap di kawasan yang terus menerus terancam banjir rob, ditengah keterbatasan upaya mitigasi yang selama ini dilakukan, merupakan fokus utama penelitian ini. Fokus penelitian tersebut selanjutkan diuraikan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Dimana area yang diproyeksikan tergenang banjir rob di Desa Timbulsloko ? 2. Bagaimana ketahanan masyarakat Desa Timbulsloko menghadapi banjir rob?
4
3. Faktor apa yang mempengaruhi ketahanan masyarakat Desa Timbulsloko menghadapi banjir rob? 4. Rekomendasi strategi mitigasi bencana apa yang dapat dikembangkan di Desa Timbulsloko dalam menghadapi banjir rob?
1.3 Tujuan Penelitian Uraian permasalahan dan pertanyaan penelitian yang terdapat dalam bab 1.2 telah mendasari tersusunnya tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Memproyeksikan area tergenang banjir rob di Desa Timbulsloko 2. Mengukur ketahanan masyarakat Desa Timbulsloko menghadapi banjir rob 3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi ketahanan masyarakat Desa Timbulsloko menghadapi banjir rob. 4. Menyusun rekomendasi strategi mitigasi yang dapat dikembangkan di Desa Timbulsloko dalam menghadapi banjir rob.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memiliki sumbangsih dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal : a.
Analisis terhadap ketahanan masyarakat di wilayah pesisir yang terdampak banjir rob.
2. Memberikan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam hal : a. Memahami faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan masyarakat di wilayah pesisir Kecamatan Sayung, khususnya Desa Timbulsloko. b. Merumuskan rekomendasi strategi mitigasi untuk menghadapi banjir rob di Kecamatan Sayung umumnya dan Desa Timbulsloko khususnya.
5