BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kesatuan yaitu negara yang tiap daerahnya masuk dalam sistem tata negara yang terintegrasi. Dalam segala hal pimpinan tingkat daerah bertanggung jawab kepada pemerintahan pusat, dan pengaturannya pun dilakukan oleh pemerintah pusat. Namun setelah terbentuknya perundangundangan otonomi daerah yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintahan Di Daerah maka daerah mempunyai wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri namun dengan persetujuan pusat. Wewenang untuk mengatur tersebut dibatasi oleh batas wilayah administrasi, wilayah administrasi merupakan
wilayah
yang
batasnya
ditentukan
berdasarkan
kepentingan
administrasi pemerintahan atau politik, seperti batas administrasi provinsi, kabupaten, kecamatan, desa atau kelurahan. Wilayah dalam pengertian administratif sering disebut juga daerah. Wilayah administrasi berupa provinsi dan kabupaten atau kota merupakan daerah otonom hasil perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penggunaan wilayah administrasi disebabkan oleh dua faktor, yakni yang pertama berdasarkan satuan administrasi dalam melaksanakan kebijakan dan rencana pembangunan wilayah, dan yang kedua wilayah didasarkan pada satuan adminstrasi pemerintahan untuk mempermudah dianalisis dalam pengumpulan data di berbagai bagian wilayah. Daerah administrasi di Indonesia dominan memiliki persinggungan dengan batas administrasi yang lain, batas administrasi pemerintahan di Indonesia sebagian memiliki batas fisik berupa bentuk pilar batas atau sejenisnya, namun sebagian besar masih ditetapkan hanya di atas peta, berbentuk imajiner dan tidak ada bukti fisik di lapangan. Kondisi yang kedua sangat memungkinkan terjadinya kerancuan kepemilikan lahan antar pemerintah bahkan dapat berujung pada konflik. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah Pusat sebagai pemegang wewenang berhak mengembangkan, menambah dan bahkan mengurangi daerah melalui
1
prosedur yang ditetapkan (Manik, 2006). Konflik perbatasan pemerintahan daerah / wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dengan Kota Samarinda muncul sebagai akibat dari adanya perubahan batas yang dilakukan melalui penetapan suatu kebijakan sebelum era otonomi daerah (desentralisasi). Kebijakan tersebut yaitu diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1987, proses penambahan dan pengurangan antar dua pihak yaitu Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Pemerintah Kota Samarinda dahulu dalam pelaksanaannya masih bersifat kualitatif, kesepakatan dilakukan menggunakan peta skala kecil yang tidak mempunyai referensi yang jelas. Kenyataannya benar penetapan tersebut menggunakan peta secara kartografis, namun yang menjadi pertanyaan adalah di lapangan belum dilakukan penegasan batas daerah secara akurat dan jelas. Kerancuan ini tentu akan memunculkan konflik, baik antar pemerintah ataupun masyarakat. Karena perihal batas wilayah juga mencakup pengelolaan wilayah perbatasan hasil kebijakan yang bersifat nasional dan diturunkan ke tingkat regional yang mana sebagai hasil dari proses penetapan dan penegasan garis batas wilayah. Disebutkan dalam Manik, 2006 bahwa pentingnya dilakukan penegasan batas daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang adalah agar ada kejelasan, bahwa suatu daerah secara geografi saling bersinggungan dan ada keterikatan satu sama lain, sehingga dengan demikian dapat melahirkan kesepakatan antar daerah. Konflik batas wilayah dapat dikategorikan sebagai konflik spasial yang disebabkan oleh parameter utama dalam pengkajian ini adalah wilayah, lebih jauh lagi dapat disarikan bahwa permasalahan utama adalah terkait referensi dan kualitas data spasial yang digunakan sebagai acuan dalam penetapan kebijakan perubahan batas administrasi wilayah. Penyelesaian konflik ini telah dilakukan berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan sengketa atau konflik batas wilayah ini, namun prioritas masih berada pada aspek hukum dan politik yang sebagaimana kita tahu belum memberikan perhatian besar terkait akar permalahan yang dapat menjadi titik temu diantara kedua belah pihak. Mengurai konflik batas dari sisi geografis dengan mempertimbangkan parameter- parameter kewilayahan menjadi penting sebagai langkah utama penyelesaian konflik. Perbaikan terhadap kualitas
2
data spasial merupakan langkah utama yang harus dilakukan dan melakukan analisis secara kuantitatif terhadap parameter dari sudut pandang kewilayahan dalam rangka peningkatan kualitas proses pengambilan keputusan. Ini akan menjadi jawaban yang logis bagi masyarakat dan dan masukan yang baik bagi pengambil kebijakan. Bahwa penyelesaian konflik batas wilayah tidak hanya terfokus pada segi politik semata namun dapat diselesaikan dengan sudut pandang kewilayahan. Oleh karena itu integrasi pengolahan citra pengideraan jauh resolusi tinggi yang diintegrasikan sistem informasi geografi menjadi bagian dari penyelesaian masalah karena penggunaan aspek spasial yang terukur. Penggunaan citra penginderaan jauh resolusi tinggi antara lain Worldview-1, Worldview-2, Quickbird atau Geo-Eye dalam menyadap parameter-parameter spasial yang berkaitan akan berguna dalam pengambilan keputusan penetapan batas antar dua wilayah. SIG memiliki kemampuan dalam melakukan input data, manipulasi dan analisis data, baik data grafis maupun data atribut secara cepat dan akurat. Dalam penelitian ini detil analisis yang digunakan yaitu Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE) yaitu pendekatan dan metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan
(decision
making)
yang
analisisnya
mempertimbangkan
dan
mengevaluasi berbagai kriteria secara spasial yang penyajiannya berupa bentuk peta, grafik, tabel, gambar, bagan, serta kalkulasi yang jelas. 1.2. Rumusan Masalah Perihal
sengketa atau
selanjutnya disebut
konflik
bermula sejak
diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1987 dan Permendagri Nomor 26 Tahun 1987 tentang perubahan beberapa wilayah Kota Samarinda yang dialihkan ke Kabupaten Kutai Kartanegara. Proses tukar guling ini mencakup penambahan tiga desa yaitu Desa Sungai Kapih, Desa Sambutan, dan Desa Pulau Atas ke Kecamatan Samarinda Ilir Kota Samarinda yang berasal Kecamatan Anggara, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di lain pihak Pemerintah Kota Samarinda menyerahkan dua kecamatan yaitu Kecamatan Anggana dan Kecamatan Sanga-Sanga ke Kabupaten Kutai Kartanegara. Untuk menanggapi
3
kebijakan tersebut dilakukan penegasan batas wilayah kedua daerah, permasalahan muncul dikarenakan kedua pihak (Pemerintah Kabupaten Kukar dan Pemerintah Kota Samarinda) telah membuat peta wilayahnya masing-masing dan membuat garis batas sepihak tanpa perundingan terlebih dahulu. Perbedaan ini yang menjadi pemicu utama konflik batas wilayah yang berkepanjangan antar dua pihak. Proses saling klaim didasarkan dari fakta sosiologis, historis dan yuridis dari masing-masing pihak. Dari aspek sosiologis banyak terjadi kasus penggarapan lahan dan pemukaan kebun atau aktivitas masyarakat yang saling melampaui batas administratif. Secara historis dan yuridis dapat dijelaskan bahwa setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1987 masing-masing daerah melakukan pembangunan pilar batas utama (PBU) secara sepihak. Pada tahun 1994 terdapat hasil pengukuran oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur namun dalam prosesnya tidak melibatkan Pemerintah Kabupaten Kukar, hanya mengacu dari Pemerintah Kota Samarinda. Tentunya kondisi rancu yang terjadi saat ini merupakan hasil dari tidak jelasnya referensi spasial dari peta yang digunakan sebagai instrumen dari kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 21. Secara detail pada poin ke-12 Dokumen Berita Acara Penyelesaian Konflik Biro Kerjasama, Perbatasan, dan Penataan Wilayah juga dijelaskan permasalahan penerapan Peraturan Pemerintahan No.21 tahun 1987 bahwa Walikota Daerah Tingkat II Samarinda menyerahkan wilayah dengan peta sangat kecil tanpa disertai titik koordinat, sehingga muncul permasalahan masing-masing Pemerintah membuat peta wilayah dan membuat garis batas secara sepihak. Hal ini masih mengulang kejadian saat Pembentukan Daerah Tingkat II terkait pemekaran Daerah Swapraja Kutai yang beberapa bagiannya menjadi Kota Samarinda. Selain hal tersebut, kondisi rancu tersebut ditambah dengan unsur-unsur politis terkait potensi sumber daya alam, infrastuktur dan potensi pengembangan wilayah turut mempengaruhi adu klaim antara kedua belah pihak. Berawal dari tahun 1987 sampai tahun 2002 yang sudah menghabiskan waktu 15 tahun namun belum dapat terselesaikan sepenuhnya segmen-segmen batas wilayah kedua pihak ini sehingga proses selanjutnya sesuai putusan Gubernur bahwa penyelesaian konflik batas ini sepenuhnya dilakukan Tim Pemetaan
4
Batas Wilayah (PBW) Pemerintah Provinsi Kaltim (Berita Acara Penyelesaian Konflik Batas Administrasi Pemerintah Kota Samarinda dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara Biro Kerjasama, Perbatasan, Dan Penataan Wilayah poin ke 31). Dalam hal ini dapat ditarik asumsi penyerahan wewenang ke pihak ketiga yaitu Tim Pemetaan Batas Wilayah (PBW) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur maka dalam penyelesaian penetuan batas wilayah tentu menggunakan asas adil, obyektif, dan sesuai kesepakatan. Konflik wilayah administrasi merupakan konflik spasial yang rumit dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Utamanya yang disoroti dalam penelitian ini adalah buruknya kualitas data spasial yaitu penggunaan peta dan citra skala kecil dalam proses penegasan, sehingga akibatnya sering terjadi kesalahan di lapangan hasil perbedaan atas penafsiran penetapan batas di atas peta. Diperlukan pengambilan keputusan yang mempertimbangkan secara kuantitatif dari kriteria spasial yang terukur dan dibutuhkan model yang dapat mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkonflik dan instrumen yang mendukung pengambilan keputusan yang seadil-adilnya dalam rangka penyelesaian masalah. Salah satu metode yang dapat mengakomodasi pendekatan tersebut adalah metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE) yang biasa digunakan pada kajian evaluasi lahan, namun diperlukan kajian lebih mendalam kaitannya dengan konflik perbatasan. 1.3 Pertanyaan Penelitian Dari permasalahan tersebut, maka diperoleh pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah citra Worldview-2 dapat digunakan sebagai dasar pemetaan kriteria spasial untuk pertimbangan pengambilan keputusan penetapan batas administrasi daerah konflik? 2. Bagaimana membuat model pengambilan keputusan penetapan batas adminstrasi daerah konflik dengan pertimbangan kriteria spasial? 3. Bagaimana metode Spatial Multi Criteria Evaluation dapat menghasilkan analisis dan evaluasi berdasarkan model pengambilan keputusan guna
5
menyusun rekomendasi dalam penetapan batas administrasi alternatif daerah konflik? 1.4 Tujuan 1. Melakukan pemetaan kriteria spasial yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan penetapan batas administrati daerah konflik menggunakan citra Worldview-2. 2. Membuat model pengambilan keputusan penetapan batas administrasi daerah konflik dengan pertimbangan kriteria spasial menggunakan metode Spatial Multi Criteria Evaluation. 3. Melakukan analisis dan evaluasi terhadap rekomendasi batas administrasi alternatif daerah konflik
berdasarkan model pengambilan keputusan
metode Spatial Multi Criteria Evaluation.
1.5 Hasil yang Diharapkan 1. Informasi kriteria-kriteria spasial kuantitatif yang berpengaruh di studi kasus konflik konflik wilayah administrasi antara Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Pemerintah Kota Samarinda. 2. Model pengambilan keputusan dengan metode Spatial Multi Criteria Evaluation. 3. Peta segmen daerah konflik wilayah administrasi antara Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Pemerintah Kota Samarinda secara detil. 4. Peta rekomendasi penetapan batas wilayah alternatif di daerah konflik dan evaluasinya. 1.6 Kegunaan Penelitian 1. Memberikan rekomendasi kepada tim Pemetaan Batas Wilayah (PBW) Biro Kerjasama, Perbatasan, dan Penataan Wilayah Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam pengambilan keputusan penetapan batas wilayah.
6