BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kasus kenakalan remaja menjadi masalah yang diresahkan oleh banyak masyarakat. Tingginya kasus kenakalan remaja sangat memprihatinkan, terutama yang terjadi di kota besar seperti DKI Jakarta. Berdasarkan Data Biro Statistik Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta (“Kurangi kenakalan remaja dengan YABC”, 2011), DKI Jakarta merupakan 1 dari 5 provinsi di Indonesia yang memiliki angka kenakalan remaja yang tinggi. Data yang terhimpun pada Biro Operasi Polda Metro Jaya menunjukkan bahwa kasus kenakalan remaja di DKI Jakarta meningkat pada tahun 2012 hingga 2013, dimana pada tahun 2012 terdapat 30 kasus sedangkan tahun 2013 meningkat menjadi 42 kasus. Bentuk kenakalan remaja yang marak terjadi di DKI Jakarta antara lain tawuran antar pelajar dan penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan keterangan Bapak H. Nasrul Haryanto selaku Kasi Bintibmas Kasubdit Bintibluh Ditbinmas Polda Metro Jaya, bahwa pada tahun 2012 hingga 2013 terjadi 284 kasus tawuran antar pelajar SMP dan 177 kasus tawuran antar pelajar SMA di wilayah Jakarta. Beliau juga menambahkan bahwa jumlah tawuran antar pelajar yang terjadi sepanjang tahun 2012 hingga 2013 adalah sebanyak 939 kali dengan menelan korban jiwa sebanyak 29 orang. Kemudian selain tawuran antar pelajar, terjadi pula peningkatan kasus narkoba di kalangan remaja di Jakarta. Data tersebut dihimpun oleh Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya yang menunjukkan bahwa pada tahun 2012 hingga 2013 terjadi peningkatan kasus narkoba yang dilakukan oleh remaja di wilayah Jakarta, dimana pada tahun 2012 terjadi 313 kasus sedangkan tahun 2013 meningkat menjadi 360 kasus. Menurut Santrock (2011), kenakalan remaja atau juvenile deliquency mengacu pada berbagai macam perilaku yang dilakukan oleh remaja, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial hingga melanggar hukum, sehingga dikategorikan sebagai perilaku antisosial. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kenakalan remaja adalah adolescent emotional instability atau emosi remaja yang tidak stabil (Bridges, 1927). Menurut Hall (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007), pada masa remaja, individu menyesuaikan perubahan tubuh dan tuntutan kedewasaan disertai
1
2
dengan periode “strom and stress”. Pada periode ini remaja menjadi sangat rentan terhadap gejolak emosional dan rentan terhadap perasaan cemas dan malu, serta sering mengalami perubahan suasana hati atau mood swing (Siegel & Welsh, 2012). Individu pada masa remaja lebih banyak mengalami emosi-emosi yang berlebihan atau ekstrim, seperti kemarahan, kesedihan, dan romantic passion dibandingkan pada masa kanak-kanak atau dewasa (Arnett & Maynard, 2012). Menurut Bridges (1927), kondisi emosi remaja yang berlebihan sering mendorong para remaja untuk bertindak sebelum merenungkan perilakunya terlebih dahulu dan sebelum memeriksa unsur-unsur yang tidak diterima secara sosial dalam perilaku tersebut. Pada penelitian Eisenberg dkk (dalam Cooper, Flanagan, Talley & Micheas, 2006) menunjukkan bahwa tingkat emosi negatif yang tinggi berkaitan dengan tingginya perilaku agresif dan antisosial. Berdasarkan teori dan hasil penelitian yang telah dijabarkan dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja didasari oleh kondisi emosional individu yang tidak stabil dan ektrim pada saat remaja. Emosi negatif dalam kondisi yang ekstrim dapat berkaitan dengan perilaku agresif dan antisosial, seperti kenakalan remaja, maka dari itu kemampuan mengelola atau meregulasi emosi dengan baik menjadi hal penting bagi remaja. Cooper, Wood, Orcutt dan Albino (dalam Aucoin, 2006) menyatakan bahwa kemampuan regulasi emosi yang buruk merupakan karakteristik utama dari perilaku bermasalah selama remaja. Cooper, Flanagan, Talley, dan Micheas (2006) juga menyatakan bahwa kemampuan regulasi emosi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perilaku berisiko, seperti penggunaan narkoba, perilaku kekerasan, dan seks bebas. Faridh (2008) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja, yang berarti bahwa semakin tinggi kemampuan regulasi emosi individu maka semakin rendah kecenderungan kenakalannya. Regulasi emosi mengacu pada kemampuan individu untuk mempengaruhi emosi yang dimiliki, kapan emosi dirasakan, dan bagaimana individu mengalami serta mengekspresikan emosinya (Gross, dalam Gross, 2008). Hsieh (2010) menyatakan bahwa regulasi emosi memainkan peran penting dalam fungsi sosial, hubungan interpersonal, pembentukan kepribadian, pemecahan masalah, manajemen stres, dan
3
kesuksesan karir. Hsieh (2010) juga menegaskan bahwa kemampuan regulasi emosi adalah dasar fungsi sosial yang lebih adaptif dan sangat penting untuk kesehatan mental remaja. Manusia dalam hidupnya memiliki cara untuk meregulasi emosi yang dirasakan. Gross dan John (2003) mengusulkan dua jenis strategi yang digunakan individu untuk meregulasi emosi, yaitu cognitive reappraisal dan expressive suppression. Strategi cognitive reappraisal melibatkan pengubahan cara berpikir tentang situasi untuk mengatur dampak emosional dari suatu kejadian. Berbeda dengan strategi expressive suppression, yaitu strategi regulasi emosi yang melibatkan upaya untuk menghambat terwujudnya keadaan emosional internal. Orang-orang yang menggunakan cognitive reappraisal mengalami perasaan yang lebih positif, cenderung berfungsi lebih baik dalam pengaturan sosial, dan memiliki kesejahteraan diri yang lebih baik daripada mereka yang mengadopsi expressive suppression (Gross & John, 2003). Strategi cognitive reappraisal menjadi strategi yang lebih adaptif dibandingkan dengan expressive suppression, hal ini karena individu yang menggunakan cognitive reappraisal lebih responsif terhadap situasi dan lebih interaktif dengan lingkungan sosial (Hsieh, 2010). Sedangkan menurut Gross, Richards, dan John (2006), expressive suppression menciptakan ketidaksesuaian antara apa yang dialami dalam diri dengan ekspresi yang dimunculkan, hal ini menimbulkan perasaan membohongi diri sendiri dan menghambat perkembangan hubungan dekat secara emosional dengan orang lain. Hasil penelitian Hsieh (2010) menunjukkan bahwa penggunaan strategi cognitive reappraisal secara negatif memprediksi masalah internalisasi (mencakup withdrawal, anxiety, depresi, dan masalah somatis) dan eksternalisasi (mencakup perilaku agresi, anti sosial, dan oposisi), sedangkan penggunaan strategi expressive suppression secara positif memprediksi masalah internalisasi dan eksternalisasi pada individu. Fox dan Calkins (2003) menjelaskan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi regulasi emosi individu, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi temperamental disposision, keterampilan kognitif, dan kematangan sistem saraf dan sistem fisiologis individu yang terlibat dalam proses regulasi emosi. Faktor ekstrinsik meliputi ekspektasi budaya terhadap emosi yang
4
ditampilan, hubungan individu dengan saudara dan peers, dan lingkungan pengasuhan atau keluarga, terutama orang tua (Fox & Calkins, 2003). Menurut Shelleby (2010), orang tua merupakan faktor ekstrinsik yang paling berpengaruh terhadap bagaimana seorang anak mempelajari cara meregulasi emosinya. Terdapat tiga proses utama yang mendasari bagaimana orang tua dapat mempengaruhi regulasi emosi anaknya. Pertama, regulasi emosi dapat anak pelajari melalui observasi, mencakup parental modeling, social referencing, dan emotion contagion. Kedua, regulasi emosi dapat dipengaruhi oleh perilaku orang tua yang dikaitkan dengan sosialisasi emosi seperti parental emotion coaching dan parental reactions to emotions. Ketiga, iklim emosional keluarga yang dipengaruhi oleh parent-child attachment, pola asuh, dan hubungan perkawinan (Morris, Silk, Steinberg, & Robinson, 2007). Kualitas hubungan perkawinan dapat berkurang karena adanya konflik yang terjadi di antara kedua orang tua. Seperti yang dikatakan oleh Grych dan Fincham (2001), walaupun konflik dapat muncul di dalam hampir semua hubungan dekat, namun konflik cenderung lebih sering diketahui sebagai pengikis kualitas hubungan perkawinan. Konflik yang terjadi di antara kedua orang tua dapat bersifat tertutup maupun terbuka. Krishnakumar, Stone, Anthony, Pemberton, Gerard, dan Barber (1998, dalam Caban, 2004) mendefinisikan konflik terbuka sebagai perilaku bermusuhan yang diindikasikan dengan adanya manisfestasi langsung dari hubungan negatif di antara kedua orang tua, sementara konflik tertutup adalah perilaku bermusuhan yang mencerminkan cara pengelolaan konflik yang pasif di antara kedua orang tua. Konflik yang bersifat terbuka memiliki pengaruh yang lebih besar pada anak daripada konflik yang bersifat tertutup. Ketika konflik yang terbuka disaksikan oleh anak, ekspresi dan perilaku kekerasan orang tua dapat berdampak negatif pada diri anak (Buehler dkk, 1997, dalam Grych & Fincham, 2001). Menurut Margolin, Oliver, dan Medina, (2001), anak yang tinggal bersama dengan kedua orang tuanya, umumnya telah terpapar atau terekspos oleh beberapa bentuk konflik orang tua. Santrock (2007) menjelaskan bahwa pengalaman lingkungan dan faktor-faktor sosial dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap emosi remaja dibandingkan faktor biologis seperti perubahan hormonal. Konflik di antara kedua orang tua menjadi faktor sosial yang dapat mempengaruhi kondisi emosional anak. Seperti yang diuraikan oleh Crockenberg dan Langrock (2001), bahwa ketika anak
5
menyaksikan konflik orang tua, perilaku-perilaku yang orang tua tampilkan membentuk suatu aspek pengetahuan untuk anak mengenai suatu kejadian. Pengetahuan tersebut bekerja sebagai data bagi anak yang digunakan untuk mengkonstruksi arti dari konflik tersebut bagi diri anak, yang mana menjadi dasar dari reaksi emosionalnya. Grych dan Fincham (1990) meyakini bahwa pengaruh konflik orang tua terhadap penyesuaian diri anak, yaitu salah satunya memiliki emotional well-being, dimediasi oleh persepsi anak mengenai konflik orang tuanya. Persepsi anak mengenai konflik orang tua adalah pengetahuan, pemahaman, dan penilaian anak terhadap konflik yang terjadi di antara kedua orang tua (Grych, Seid, & Fincham, 1992). Menurut Grych, Seid, dan Fincham (1992), persepsi anak mengenai konflik orang tua terdiri dari beberapa aspek, yakni: Frequency (seberapa sering orang tua bertengkar); Intensity (tingkat dari afek negatif atau kekerasan yang diekspresikan oleh orang tua); Resolution (cara orang tua menangani konflik); Perceived threat (perasaan terancam seperti rasa takut dan cemas yang muncul karena konflik orang tua); Coping efficacy (seberapa terampil anak dalam menghadapi konflik orang tua); Self-blame (perasaan bersalah yang muncul pada diri anak karena merasa sebagai orang yang menyebabkan konflik); dan Content (isi dari konflik yang berkenaan dengan anak). Grych dan Fincham (1990) menyatakan bahwa anak yang menyaksikan konflik orang tua yang intens, sering atau berkepanjangan, dan ditangani dengan buruk dapat mengalami perasaan yang lebih tertekan dari pada anak yang mengamati konflik yang tidak intens, singkat, dan ditangani dengan baik. Davies dan Cummings (dalam Kinsfogel & Grych, 2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa semakin sering anak mengamati konflik orang tua akan membuat anak lebih reaktif secara emosional dan mengganggu kemampuan anak untuk meregulasi emosi yang dirasakan. Kemudian pada penelitian Kim, Parke, dan Leidy (dalam Parke, McDowell, Cladis, & Leidy, 2006) ditemukan bahwa persepsi anak laki-laki kelas 5 SD mengenai konflik orang tua (mencakup frequency, intensity, content, resolution, dan perceived threat) berkaitan dengan kemampuan regulasi emosi yang rendah (keterlibatan dalam perilaku bermasalah). Kim, Parke, dan Leidy (dalam Parke, McDowell, Cladis, & Leidy, 2006) dalam penelitian yang sama juga menemukan bahwa anak perempuan yang menyalahkan dirinya (self-blame) atas konflik orang tua secara positif berkaitan dengan
6
keterlibatan dalam perilaku bermasalah dan secara negatif berhubungan dengan cognitive problem solving sebagai strategi untuk meregulasi emosi. Cumming dan Davies (dalam Whitson & El-Sheikh, 2003) dalam penelitiannya yang lebih lanjut secara konsisten menemukan bahwa tingginya konflik orang tua berkaitan dengan regulasi emosi yang buruk pada anak. Fincham dkk (dalam Gong, 2013) juga menyatakan bahwa konflik orang tua dapat mempengaruhi dan merubah kemampuan regulasi emosi anak, yang mana dampaknya dapat meluas hingga anak memasuki masa emerging adult. Hasil penelitian Leidy dan Parke (dalam Parke, McDowell, Cladis, & Leidy, 2006) menunjukkan bahwa persepsi anak mengenai konflik orang tua secara negatif berkaitan dengan regulasi emosi. Sebagian besar penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa persepsi mengenai konflik orang tua berhubungan dengan regulasi emosi anak secara umum, bukan dengan strategi regulasi emosi yang mencakup strategi cognitive reappraisal dan expressive suppresion. Literatur telah menunjukkan bahwa penggunaan strategi cognitive reappraisal secara negatif memprediksi masalah eksternalisasi perilaku seperti perilaku antisosial atau kenakalan remaja, sebaliknya penggunaan strategi expressive suppression secara positif memprediksi masalah eksternalisasi. Hal ini menarik perhatian peneliti untuk meneliti secara lebih spesifik tentang hubungan antara persepsi mengenai konflik orang tua dengan strategi regulasi emosi pada remaja.
1.2 Rumusan Masalah Terdapat enam rumusan masalah yang berusaha dijawab dalam penelitian ini, yakni: 1.
“Apakah ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua (subskala Conflict Properties) dengan strategi regulasi emosi (subskala Cognitive Reappraisal) pada remaja di DKI Jakarta”.
2.
“Apakah ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua (subskala Conflict Properties) dengan strategi regulasi emosi (subskala Expressive Suppression) pada remaja di DKI Jakarta”.
3.
“Apakah ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua (subskala Self-Blame) dengan strategi regulasi emosi (subskala Cognitive Reappraisal) pada remaja di DKI Jakarta”.
7
4.
“Apakah ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua (subskala Self-Blame) dengan strategi regulasi emosi (subskala Expressive Suppression) pada remaja di DKI Jakarta”.
5.
“Apakah ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua (subskala Threat) dengan strategi regulasi emosi (subskala Cognitive Reappraisal) pada remaja di DKI Jakarta”.
6.
“Apakah ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua (subskala Threat) dengan strategi regulasi emosi (subskala Expressive Suppression) pada remaja di DKI Jakarta”.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris hubungan antara antara persepsi mengenai konflik orang tua (mencakup Conflict Properties, Self-Blame, dan Threat) dengan strategi regulasi emosi (mencakup Cognitive Reappraisal dan Expressive Suppression) pada remaja di DKI Jakarta.
8