Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Menurut BNN (Badan Narkotika Nasional) data mengenai individu yang menyalahgunakan narkoba di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 5,1 juta orang. Setiap tahunnya data tersebut mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perluasan peredaran narkoba dengan berbagai jenis yang ditawarkan. Salah satu jenis narkoba yang dikenal luas oleh masyarakat adalah marijuana atau yang biasa disebut ganja. Hal tersebut ditunjukan oleh data penggunaan marijuana dari BNN pada tahun 2015 sebesar 2,8 juta dan setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Adanya data mengenai peningkatan penggunaan narkoba khususnya jenis marijuana, menunjukan banyaknya individu yang menyalahgunakan narkoba di Indonesia. Penyalahgunaan narkoba merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat merusak, paling sedikit satu bulan, sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan, belajar, dan pergaulan (Wicaksana, 1998). Pendapat lain yang sejalan, menyatakan bahwa penyalahgunaan narkoba adalah pemakaian obat secara tetap yang bukan untuk tujuan pengobatan, atau yang digunakan tanpa mengikuti aturan takaran yang seharusnya (Joewana, 1989). Penyalahgunaan narkoba dapat berlanjut menjadi ketergantungan obat yang ditandai dengan adanya toleransi dan sindrom lepas obat. Alasan penyalahgunaan narkoba itupun bermacam-macam. Capuzzi (dalam Fuhrmann, 1990) membagi penyebab penyalahgunaan narkoba ke dalam dua kelompok besar, yaitu: determinan sosial (termasuk didalamnya pengaruh keluarga, afiliasi religius, pengaruh teman sebaya, dan pengaruh sekolah) dan determinan personal (termasuk didalamnya rendah diri, rasa ingin memberontak, dorongan untuk berpetualang, dorongan impulsif, rasa ingin bebas, dan kepercayaan diri yang rendah). Sedangkan, penelitian Jurich, Polton, Jurich, dan Bates (dalam Rice, 1990) menyebutkan bahwa salah satu faktor keluarga penyebab penggunaan narkoba oleh
1
2
remaja adalah kurang dekatnya hubungan remaja orangtua dan kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi antara remaja-orangtua. Melihat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi individu menggunakan narkoba, penelitian ini mewawancarai seorang pria berusia 26 tahun pada tanggal 19 Desember 2015 yang merupakan pengguna marijuana yang aktif dalam menggunakan narkoba jenis tersebut. Alasan menggunakan marijuana tersebut adalah kebenciannya terhadap ayahnya yang selalu menyakiti ibunya sejak ia kecil. Rasa benci, dendam dan kecewa ia lampiaskan dengan menggunakan marijuana. Penggunaan marijuana tersebut dianggap dapat membuat rileks dan tenang, serta tidak memikirkan permasalahannya. Penggunaan marijuana tersebut menjadi sangat penting dan merupakan sesuatu yang harus digunakan ketika memiliki permasalahan kondisi emosi. Ia mengatakan akan terus merasakan emosi negatif jika tidak menggunakan marijuana terutama dalam keadaan putus asa. Wawancara tersebut menunjukan bahwa penggunaan marijuana merupakan tindakan yang digunakan untuk melampiaskan emosi negatif, yang dianggap dapat membantu memperbaiki kondisi emosi maupun membantu mengelola emosi negatif. Padahal tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak tepat karena memiliki banyak efek negatif (Gerrard & Rosenfield, 1964). Ketidakmampuannya dalam menyelesaikan masalah terutama pada permasalahan kondisi emosi negatif dengan melakukan tindakan yang kurang tepat, di golongkan sebagai individu dengan kecerdasan emosi rendah (Goleman, 1995). Hal tersebut mengindikasikan
penggunaan marijuana tersebut
dipengaruhi oleh kecerdasan emosi individu tersebut. Kecerdasan emosi memang berperan penting dalam menentukan tindakan yang tepat untuk penyelesaian permasalahan kondisi emosi. Goleman (1995) mengatakan individu dengan kecerdasan emosi tinggi dicirikan dengan mampu mengendalikan perasaan marah, tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep diri yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan orang lain, mahir dalam berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai. Jika individu memiliki ciri tersebut, maka individu dapat menentukan tindakan yang tepat untuk menyelesaikan
3
permasalahan kondisi emosinya sehingga tidak memiliki permasalahan kondisi emosi yang dapat berdampak pada penggunaan marijuana. Individu berada dalam kecerdasan emosi yang rendah dicirikan dengan bertindak mengikuti perasaan tanpa memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan negatif, memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan kekerasan. Jika individu memiliki kecerdasan emosi yang rendah, maka individu tersebut tidak dapat menentukan tindakan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan kehidupannya (Goleman, 1995). Ketidakmampuan dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan akan berdampak pada permasalahan kondisi emosi yang dapat mempengaruhi individu untuk menggunakan marijuana yang dianggap dapat memperbaiki kondisi emosinya, karena ketidakmampuan individu tersebut dalam memperbaiki kondisi emosinya. Hal tersebut juga sesuai dengan Tomczak (2010) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi yang rendah sangat berasosiasi secara signifikan terhadap tingginya tingkat resiko penyalahgunaan narkoba. Hal ini dikarenakan kecerdasan emosi akan mempengaruhi dan menentukan reaksi individu dalam menghadapi setiap tantangan dalam kehidupan. Apabila individu memiliki kecerdaan emosi yang rendah, maka individu tersebut akan sulit untuk menentukan tindakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan menyelesaikan
kondisi
emosi
permasalahan
yang
dihasilkan
individu.
dari
ketidakmampuan
Ketidakmampuan
dalam
dalam
mengatasi
permasalahan kondisi emosi tersebut akan membuat individu memiliki resiko dalam penyalahgunaan narkoba yang dilakukan sebagai salah satu bentuk interaksi untuk menyelesaikan masalah pada kondisi emosi negatif. Oleh karena pentingnya kecerdasan emosi, yang jika individu memiliki kecerdasan emosi yang rendah akan menjadi salah satu sebab individu menggunakan marijuana, penting untuk mengetahui apa itu kecerdasan emosi dan faktor yang mempengaruhi maupun hal yang terkait dengan kecerdasan emosi. Goleman (1995) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan mengenali perasaan sendiri dan
4
perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain. Kemampuan ini menjadi penting bagi individu untuk dapat efektif dalam melakukan coping terhadap berbagai masalah yang mendorongnya memiliki perasaan-perasaan negatif. Lebih lanjut, Goleman (1995) membagi kecerdasan emosi menjadi lima aspek. Aspek pertama adalah self-awareness (kesadaran-diri) yang merupakan kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam dirinya, perasaannya, pikirannya, dan latar belakang dari tindakannya. Aspek kedua adalah self regulation (kemampuan mengelola emosi) yang merupakan kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangakan emosi-emosi yang dialaminya. Aspek ketiga adalah motivation (optimisme) yang merupakan kemampuan individu untuk memotivasi diri ketika berada dalam keadaan putus asa, mampu berpikir positif, dan menumbuhkan optimisme dalam hidupnya. Aspek keempat adalah social awareness yang merupakan kemampuan individu untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Aspek kelima adalah social skill (keterampilan sosial) yang merupakan kemampuan individu untuk membangun hubungan secara efektif dengan orang lain, mampu mempertahakan hubungan sosial tersebut, dan mampu menangani konflik-konflik interpersonal secara efektif. Kekurangan pada salah satu aspek kecerdasan emosi dapat berpotensi untuk membuat individu mengalami kesulitan dalam mengatasi setiap permasalahan yang akan berdampak pada kondisi emosi mereka. Masalah yang tidak dapat diselesaikan akan menimbulkan emosi-emosi negatif. Ketika individu diharuskan untuk mengatasi emosi-emosi negatif tersebut, individu akan cenderung memilih cara yang tidak tepat untuk mengatasi permasalahan kondisi emosi mereka seperti salah satunya dengan menggunakan narkoba (Schultz, Izard & Abe, 2005). Ada banyak faktor yang dapat terkait dengan kecerdasan emosi seperti genetik, lingkungan keluarga, lingkungan sosial, kondisi fisik dan kesehatan, intelegensi dan kepribadian. Goleman (1995) menyatakan faktor lingkungan keluarga dan faktor non lingkungan
keluarga
dapat
mempengaruhi
kecerdasan
emosi.
Lebih
lanjut,
Dinkmeyer (1965) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak adalah faktor kondisi fisik dan kesehatan, tingkat intelegensi, lingkungan sosial,
5
dan keluarga. Sedangkan Dawda & Hart (2000) menilai kecerdasan emosi cenderung berkorelasi dengan kepribadian. Mengacu pada Dawda & Hart (2000) mengenai adanya keterkaitan antara kecerdasan emosi dan kepribadian, berbagai jurnal menjelaskan adanya keterkaitan antara kecerdasan emosi dengan salah satu trait kepribadian yang dinamakan alexithymia. Veríssimo (2003) pada penelitiannya menyatakan bahwa kecerdasan emosi memiliki hubungan yang positif dengan kontrol emosi dan memiliki hubungan negatif dengan alexithymia. Penelitian ini menjelaskan lebih lanjut mengenai hubungan kecerdasan emosi dengan kontrol emosi dan alexithymia, bahwa jika tingkat kecerdasan emosi tinggi maka tingkat kontrol emosi tinggi dan jika tingkat kecerdasan emosi rendah maka tingkat alexithymia tinggi. Lebih lanjut mengenai keterkaitan kecerdasan emosi dan alexithymia, Felatoni et. al (2012) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecerdasaan emosi yang tinggi, cenderung dapat menyadari emosi secara akurat, yang tidak dimiliki oleh penderita alexithymia. Sedangkan individu yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah, tidak dapat mengenali emosi dalam diri mereka maupun orang lain, yang banyak dimiliki oleh penderita alexithymia. Pembuktian lain mengenai alexithymia terkait erat dengan kecerdasan emosi, terdapat pada penelitian Austin et al. (2005) yang pada hasil penelitiannhya menyatakan kecerdasan emosi memiliki hubungan yang negatif dengan alexithymia. Hal ini didukung oleh Bermond et al. (2006) yang menyatakan bahwa jika seseorang berada pada kecerdasaan emosi yang rendah, kemungkinan ia memiliki kondisi alexithymia. Banyaknya jurnal mengenai keterkaitan antara alexithymia dengan kecerdasan emosi, membuat peneliti ingin melihat hubungan prediktif dalam dua variabel tersebut. Penelitian ini menempatkan alexithymia sebagai trait sebagai prediktor yang dapat memprediksi kecerdasan emosi. Hal tersebut dikarenakan alexithymia dalam penelitian ini adalah alexithymia sebagai trait dan kecerdasan emosi merupakan sebuah kemampuan. Lebih lanjut, alexithymia merupakan kepribadian yang ditandai dengan kekurangan dalam pengolahan secara kognitif untuk menerima informasi emosi dan dalam merasakan emosi. Kesulitan dalam mengidentifikasi, menganalisa dan
6
memverbalisasikan perasaan, kesulitan dalam emotionalizing dan kesulitan dalam berfantasi merupakan karakteristik dari alexithymia (Sifneos; Bagyby dan Taylor 1997). Alexithymia sebagai trait didefinisikan sebagai salah satu karakteristik turunan pada kepribadian sesorang yang dapat disebabkan oleh beberapa kejadian pada masa perkembangan emosi kanak-kanak (Thompson, 2009), yang dicirikan oleh Taylor, Bagby & Parker (1997) sebagai ketidakmampuan dalam mengidentifikasi perasaan dan ketidakmampuan dalam mengenali emosi melalui sensasi tubuh, memiliki kesulitan dalam menggambarkan perasaan terutama dalam pengungkapan perasaan yang dalam melalui kata-kata, serta memiliki gaya berpikir yang terikat dengan dunia luar dan juga dicirikan sebagai karakteristik yang memiliki keterbatasan dalam proses imajinasi serta kurang dapat berfantasi. Penjelasan mengenai bagaimana penelitian ini menempatkan alexithymia sebagai prediktor yang dapat memprediksi kecerdasan emosi ada pada pernyataan Taylor (2000) yang menyatakan bahwa alexithymia merupakan kepribadian yang stabil yang merefleksikan kekurangan pada kemampuan pemrosesan kognitif dari informasi emosi. Individu dengan alexithymia tidak dapat memproses informasi emosi dengan baik. Ketidakmampuan dalam memproses informasi emosi tersebut, akan menghambat kemampuan individu dalam mengenali maupun meregulasi emosi diri sendiri, kemampuan dalam memotivasi diri sendiri, kemampuan dalam memahami perasaan orang lain dan kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain yang merupakan setiap aspek kecerdasan emosi. Dengan kata lain alexithymia sebagai trait dapat menjadi salah satu yang dapat memprediksikan kecerdasan emosi secara keseluruhan. Untuk itu, asumsi penelitian ini adalah penggunaan marijuana dapat disebabkan oleh kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi dikaitkan erat dengan alexithymia sebagai trait. Dikarenakan adanya keterkaitan erat antara kecerdasan emosi dengan alexithymia, untuk itu penelitian ini beranggapan bahwa alexithymia sebagai trait dapat menjadi sebuah prediktor yang dapat memprediksikan kecerdasan emosi pada pengguna marijuana. Penelitian ini ingin meneliti apakah alexithymia memiliki peranan dalam memprediksikan aspek kecerdasan emosi pada pengguna marijuana.
7
1.2 Rumusan Masalah “Bagaimana peranan alexithymia sebagai trait dalam memprediksi kecerdasan emosi pada pengguna marijuana”
1.3 Tujuan Penelitian “Untuk mengetahui peranan alexithymia sebagai trait dalam memprediksi kecerdasan emosi pada pengguna marijuana”
8