BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Pada mulanya belanja merupakan suatu konsep yang menunjukan sikap untuk mendapatkan barang yang menjadi keperluan sehari-hari dengan cara menukarkan sejumlah uang untuk mendapatkannya. Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seseorang membutuhkan uang sebagai sebuah sarana yang memiliki nilai yang dapat digunakan untuk ditukarkan dengan barang atau jasa dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di era globalilasi, belanja telah berkembang menjadi sebuah gaya hidup dan menjadi tren pada kalangan masyarakat (Haris, 2005). Berdasarkan data majalah Marketing (2008, dalam Intan 2014) remaja di Indonesia senang mengikuti tren gaya hidup, 75 % senang jalan-jalan di mall, 96% remaja sangat menyukai jajan, 74% remaja telah memiliki telepon genggam pribadi dan mereka hanya memiliki tabungan sebanyak 24% yang diambil kurang dari 50% uang jajan mereka secara keseluruhan. Berdasarkan dari fenomena tersebut, remaja di Indonesia cenderung suka melakukan belanja, hingga menghabiskan uang untuk suatu hal yang kurang berguna, seperti mengikuti tren teman sebaya. Sebagian besar remaja, membeli sesuatu tidak berdasarkan kebutuhan, akan tetapi lebih berdasar pada pemenuhan kebutuhan psikologis. Artinya, berbelanja tidak hanya sekedar untuk mendapatkan produk yang dinginkan, melainkan berbelanja telah menjadi suatu aktivitas yang sifatnya rekreasi untuk mendapatkan kepuasan, berupa motif-motif sosial dan personal (Ekowati, 2009, dalam Arysa 2013). Dengan adanya tujuan tersebut, maka para remaja ingin menunjukkan bahwa mereka dapat mengikuti mode yang sedang tren dalam menunjang penampilan mereka dimuka publik (Hurlock, 1999). Menurut Haris (2005), Belanja merupakan gaya hidup tersendiri yang bahkan menjadi suatu kegemaran oleh sejumlah orang. Konsumen tidak lagi belanja sebuah barang atas dasar untuk memenuhi kebutuhan, melainkan untuk memenuhi hasrat sebagai wujud ekspresi kemakmuran. Dahlan (1978), mengatakan bahwa perilaku konsumtif ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan. Penggunaaan barang atau jasa yang dianggap paling mahal akan memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik
sebesar-besarnya, serta pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh semua keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata-mata. Hal ini diperkuat oleh Anggasari (1997, dalam Lina & Rosyid, 1997), yang mengatakan bahwa perilaku konsumtif di tandai dengan tindakan membeli barang- barang yang kurang berguna atau tidak diperhitungkan sehingga sifatnya menjadi berlebihan. Perilaku konsumtif adalah perilaku membeli dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memiliki kecenderungan untuk mengkonsumsi sesuatu tanpa batas, dimana individu lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan, serta ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan. Penggunaan segala hal yang paling mewah yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik juga merupakan perilaku konsumtif ( Triyaningsih, 2011 ). Membeli barang atas dasar keinginan walaupun masih mempunyai barang yang masih dapat digunakan dan atas dasar mengikuti tren gaya hidup merupakan salah satu perilaku konsumtif. Seiring dengan kondisi masyarakat yang terus bergerak maju, dan teknologi yang semakin berkembang tidak menutup kemungkinan seseorang lebih berperilaku konsumtif terhadap suatu barang atau jasa apapun, karena ketersediaan media-media yang memberikan informasi (iklan), dan ketersediaan sarana dan pra-sarana untuk melakukan sebuah transaksi. Ketersediaan media dalam memberikan sarana dan prasarana sangat mempermudah seseorang dalam melakukan sebuah pembelian atau transaksi. Selain hal tersebut, perilaku konsumtif juga dipengaruhi oleh trend dan lifestyle atau gaya hidup dari perkembangan zaman yang semakin maju (Lina & Rosyid, 1997). Dalam melakukan sebuah pembelian atau transaksi, seseorang cenderung memiliki keinginan dengan mempertimbangkan kriteria produk atau jasa dan selanjutnyamempunyai keputusan untuk membeli, sehingga keputusan menjadi suatu hal yang menentukan terjadi atau tidaknya suatu transaksi atau pembelian. Keputusan muncul dari pemikiran-pemikiran yang berasal dari hasrat atau keinginan. Sebelum dan sesudah mengambil sebuah keputusan, individu cenderung mempunyai dua elemen kognitif yang dapat terjadi secara konsonan atau disonan (Japarianto, 2006). Elemen kognitif adalah sesuatu yang dipercayai oleh seseorang, yang dapat berupa dirinya
sendiri, tingkah laku, dan informasi-informasi yang muncul dari observasi atau pengamatan yang berasal dari lingkungan sekitar (Solomon, dalam Japarianto 2006). Dua elemen kognitif yang terjadi secara disonan adalah dua elemen kognitif yang tidak sejalan. Dari fenomena tersebut muncul pendapat dari para tokoh psikologi sosial yang meneliti mengenai dua elemen kognitif yang disonan tersebut (Sweeney and Soutar, 2003). Dua elemen kognitif yang tidak sejalan atau sesuai disebut dengan disonansi kognitif. Disonansi kognitif menjadi sebuah fenomena yang kontroversial dan mengundang perdebatan yang hebat semenjak Leon Festinger melakukan sebuah penelitian awal yang menunjukan bahwa disonansi kognitif dapat berdampak pada proses pengambilan keputusan rakyat, dan juga dapat berpotensi mempengaruhi sikap konsumen dalam melakukan pembelian terhadap kepuasan dan keputusan konsumen dalam membeli sebuah barang (Sweeney and Soutar, 2003). Leon Festinger (1957) mengungkapkan bahwa teori disonansi kognitif ditujukan untuk menjelaskan keadaan kognitif yang dapat menyebabkan sikap beralih menjadi tidak konsisten terhadap perilaku yang diperbuat. Setiap sebelum dan sesudah melakukan sebuah aksi atau tindakan, akan memunculkan sebuah kognitif yang dapat terjadi secara disonan atau konsonan pada diri seseorang. Dari yang dikemukakan oleh Festinger (1957), dapat diartikan bahwa disonansi kognitif adalah ketidak sesuaian atau perasaan tidak nyaman, sedangkan kebalikan dari disonan adalah konsonan, yang berarti kesesuaian atau kecocokan antara dua elemen kognitif yang dapat menimbulkan kesenangan atau kepuasan. Perilaku konsumtif sangat erat hubungannya dalam memunculkan suatu elemen kognitif yang disonan, atau yang biasa disebut dengan disonansi kognitif pada individu, karena individu mempunyai dua pilihan antara keinginan dan kebutuhan maka dari itu hal tersebut dapat mempengaruhi perasaan seseorang sebelum membeli sebuah barang atau jasa, hingga setelah membeli dan menggunakan barang atau jasa tersebut. Menurut Festinger (1957) disonansi kognitif adalah ketidaksesuaian yang terjadi antara dua elemen kognitif yang tidak konsisten yang menyebabkan ketidak nyamanan psikologis serta memunculkan dorongan pada diri seseorang untuk berbuat sesuatu agar disonansi tersebut dapat dikurangi. Dalam hal ini dorongan yang dimunculkan oleh perilaku konsumtif adalah faktor keinginan yang menimbulkan keadaan kognitif seseorang menjadi tidak sesuai dengan faktor kebutuhan.
Pada penelitian ini, penulis tertarik untuk melihat hubungan antara disonansi kognitif dengan perilaku konsumtif. Bersumber dari beberapa fenomena yang ada, perilaku konsumtif sering terjadi pada kalangan remaja yang masih memiliki keadaan emosi yang kurang stabil, serta keinginan yang tinggi dalam mencoba hal baru. Mengingat mahasiswa termasuk kedalam golongan remaja, maka dari itu penulis memilih Mahasiswa Bina Nusantara sebagai subjek penelitian ini. Dari asumsi penulis, seseorang cenderung mengalami disonansi kognitif saat sebelum melakukan pembelian terhadap barang yang diinginkan dan kembali merasakan disonansi kognitif setelah melakukan sebuah pembelian. Seperti yang telah diuraikan pada teori diatas, apabila seseorang mengalami disonansi kognitif, maka dengan sendirinya, didalam diri seseorang tersebut akan timbul suatu dorongan untuk melakukan sesuatu atau mencari jalan agar disonansi yang terjadi dapat berkurang, dengan cara memenuhi keinginannya. Dalam hal ini dapat disimpulkan, keputusan untuk berperilaku konsumtif disebabkan oleh disonansi kognitif, karena dorongan untuk memenuhi keinginan. Disamping itu Leon Festinger (1957) juga mengungkapkan bahwa teori disonansi kognitif ditujukan untuk menjelaskan kecenderungan sikap yang kadang-kadang beralih menjadi tidak konsisten terhadap perilaku yang diperbuat. Jakarta (YLKI Warta News) - Berbelanja saat diskon memang menyenangkan dan dapat menguntungkan karena jumlah uang yang harus dikeluarkan lebih sedikit dari semestinya. Tentunya ini menjadi salah satu cara untuk berhemat. Bila dalam harga normal tercantum Rp. 200.000,-, tetapi karena mendapatkan diskon 50 persen, konsumen hanya membayar setengah dari harga normal. Namun juga patut dicermati, berapa harga normal sewajarnya sebelum terjadi diskon, sebab sikap dan perilaku konsumtif konsumen tersebut yang diinginkan oleh pelaku usaha. Hingga konsumen terjebak pada kondisi pemenuhan keinginan dibandingkan dengan kebutuhan. Pada tahap ini dasar pertimbangan seseorang membeli produk berdasar pada terpuaskannya emosi memenuhi hasrat memiliki sesuatu yang bisa bermuara pada gengsi dan harga diri. Melihat fakta yang terjadi disekitar kita sebenarnya terdapat fenomena sosial yang dengan tangkas ditangkap pelaku bisnis. Bahwa pelaku usaha agaknya sengaja menyentuh konsumen dengan cara menjual simbol status, gaya hidup, dan pencitraan. Tanpa pemenuhan konsumsi atas produk yang ditawarkan, dikondisikan seolah-olah
hidup seseorang belum lengkap, merasa tidak modern, tidak gaul, tidak modis, dan tidak progresif di lingkungan sosialnya. Diskon atau potongan harga pada produk terkenal (branded) untuk kebutuhan sekunder bagi konsumen adalah merupakan pertaruhan gengsi dan status sosial. Jadi berbelanja tidak lagi didasarkan pada kebutuhan tetapi lebih didasarkan pada keinginan yang bermuara pada gengsi. Hal inilah yang membentuk konsumtif bagi konsumen. Jadi berburu diskon produk bermerek (branded) adalah sekedar memburu gengsi dan status sosial (Sularsi, 2011). Dari beberapa fenomena yang ada, perilaku konsumtif remaja menyebabkan sebuah masalah kehidupan dimasa mendatang, terlebih didalam kehidupan bermasyarakat, karena para remaja cenderung tidak menanamkan sifat untuk hidup hemat, dan sifat yang tidak produktif. Menurut Fromm (1955), Perilaku konsumtif dapat berakibat consumption hungry yaitu
adalah keinginan untuk
mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan demi memenuhi rasa puas yang dapat membuat seseorang menjadi konsumtif. Selanjutnya, Sumartono (2002) mendefinisikan perilaku konsumtif sebagai perilaku yang disebabkan karena adanya keinginan yang didasari oleh pemikiran yang tidak rasional dan bukan berdasarkan kebutuhan pokok. Sehubungan dengan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk mengkaitkan fenomena disonansi kognitif dengan perilaku konsumtif yang terjadi pada seseorang dalam mempengaruhi keadaan kognitif pada kalangan mahasiswa. Pada dasarnya setiap manusia memiliki berbagai macam kebutuhan dalam hidupnya, mulai dari sandang, pangan, dan papan sebagai kebutuhan primer, sampai dengan pada kebutuhan sekunder dan tersiernya yang juga terasa tidak kalah penting dengan kebutuhan tersier, seperti handphone, make up, transportasi, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mencari tahu hubungan antara disonansi kognitif dengan perilaku konsumtif. Seberapa signifikan disonansi kognitif dalam menyebabkan munculnya perilaku konsumtif dan seberapa signifikan pula hubungan perilaku konsumtif dalam menyebabkan disonansi kognitif. Dari kegiatan perilaku konsumtif yang dilakukan oleh seseorang dalam melakukan sebuah pembelian atau transaksi, penulis melihat keadaan kognitif seseorang sebelum dan sesudah melakukan pembelian atau transaksi. Dengan melakukan
penelitian ini, penulis ingin mengetahui seberapa signifikan hubungan antara disonansi kognitif dengan perilaku konsumtif. Setelah mengetahui seberapa besar hubungan disonansi kognitif dengan perilaku konsumtif, hasil dari karya ilmiah peneliti diharapkan dapat menjelaskan kepada mahasiswa untuk mengetahui bagaimana hubungan keadaan kognitif yang disonan (disonansi kognitif) dengan perilaku konsumtif. Kondisi ini mendorong mereka untuk melakukan sebuah tindakan dalam memenuhi keinginan mereka. Dengan mengetahui keadaan kognitif seseorang dalam berperilaku konsumtif, maka seseorang cenderung akan mengurangi perilaku konsumtif tersebut, karena akan mempertimbangkan kembali apa yang akan dilakukan dengan memahami apa yang akan terjadi selanjutnya.
1.1
Masalah penelitian
•
Apakah ada hubungan antara disonansi kognitif dengan perilaku konsumtif pada kalangan mahasiswa Binus
•
Apakah tidak ada hubungan
antara disonansi kognitif dengan perilaku
konsumtif pada kalangan mahasiswa Binus
1.2
Tujuan penelitian Bertitik tolak dari latar belakang dan rumusan masalah diatas, penelitian ini
bertujuan untuk melihat dan mengetahui hubungan antara disonansi kognitif dengan perilaku konsumtif pada kalangan Mahasiswa Bina Nusantara.