BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sejak satu dekade terakhir tema peningkatan mutu dan relevansi pendidikan
menjadi orientasi strategis pembangunan pendidikan nasional. Rekayasa pembangunan untuk perluasan ekspansi dan akses pendidikan, termasuk pendidikan tinggi selalu diikuti dengan kewajiban penjaminan kualitas dan relevansi. Dan sejak satu dekade itu pula, pemerintah mencanangkan mutu sebagai sebuah gerakan nasional. Sebuah gerakan perubahan pola pikirdari semula struktur tanggungjawab pengawasan dan penjaminan mutu bersifat
vertikal, dari atas kebawah, menjadisesuatu yang
berkarakteristik horizontal dan merupakan akuntabilitas sosial perguruan tinggi kepada pemangku kepentingan utama. Ia lebih merupakan gerakan internal dan mandiri perguruan tinggi. Gerakan mutu ini dimungkinkan karena adanya reformasi regulasi pendidikan. Bermula dari lahirnya UU No. 30 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memperkenalkan konsep standar nasional pendidikan sebagai basis pengendalian dan penjamian mutu. Dari sini lahir Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Lalu dijabarkan dengan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menginspirasi lahirnya Badan Akreditasi Nasional (BAN, termasuk BAN PT). Lalu lahir UU No. 15 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyebut untuk pertama kali guru dan dosen sebagai pendidik professional yang memiliki hak dan kewajiban layaknya profesi lain. Sebagai agen pembalajaran yang professional mereka harus memenuhi standar mutu, kualifikasi
dan kompetensi minimal, termasuk
pendidikan profesi sebelum menjadi guru dan dosen. Setelah itu berbagai dokumen Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMPT) yang “menginspirasi” termasuk HELTS 2003-2010, sebuah dokumen strategis pembangunan pendidikan tinggi dirilis oleh Dikti. Legislasi paling terakhir hadir adalah UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur secara lex specialis tentang sistem, peran dan fungsi pendidikan tinggi.Undang-Undang mengatur sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi secara komprehensif, diatur dalam satu bab tersendiri. UU mengamanahkan untuk pertama kalinya untuk disusun Standar Nasional Pendidikan Tinggi. UU mempertegas peran Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT)
1
sebagai basis data bagi penjaminan mutu eksternal maupun internal pendidikan tinggi. Untuk pertama kali ditegaskan bahwa akreditasi eksternal program studi dilakukan oleh Lembaga akreditasi mandiri sementara BAN PT lebih berfungsi, setelah masa transisi dilewati, sebagai lembaga pengembang sistem akreditasi. Di luar itu pemerintah juga mengeluarkan KKNI yang mengatur kualitas kompetensi lulusan pendidikan tinggi formal disejajarkan dengan kompetensi yang didapat dari jalur pendidikan informal dan non formal. KKNI menjadi basis paling pokok dalam penetapan kompetensi lulusan baik jalur akademik, vokasional maupun pendidikan profesi.Dan yang paling terkini juga adalah kebijakan Dikti sementara waktu untuk melakukan moratorium pendirian perguruan tinggi dan program studi baru, kecuali satuan pendidikan atau prodi di jalur vokasional, termasuk community colleague, untuk menata mutu. Kendatipun sudah dilakukan upaya yang massif dalam penjaminan mutu, tapi belum mendorong terjadinya gerakan mutu di internal pendidikan tinggi, apalagi memantik kesadaran masyarakat luas. Indikator paling nyata adalah setelah sejak 2003 dicanangkan, pada 2012 masih banyak satuan pendidikan tinggi (yang berjumlah 3000an lebih) dan proram studi (yang berjumlah 17 ribuan lebih) yang tidak terakreditasi sekali. Boleh jadi penyebabnya adalah kapasitas dan kemampuan BAN PT yang kurang untuk melakukan akreditasi, karena jumlah satuan pendidikan dan prodi yang sangat besar. Tapi ini juga menjadi indikasi bahwa ada satuan pendidikan tidak melakukan gerakan apa-apa terkait penjaminan mutu sejak 2003 itu. Masyarakat sepertinya melihat ini lebih merupakan tanggungjawab pemerintah ketimbang perguruan tinggi itu sendiri apalagi masyarakat. Gerakan mutu itu juga terasa dan terjadi di pendidikan tinggi kesehatan. Selain didorong oleh berbagai produk reformasi hukum pendidikan nasional diatas, juga lahir UU No. 14 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang mendorong lahirnya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Lembaga ini kemudian menggodok dan melahirkan standar kompetensi dokter. sejak 2003-2008 juga ada proyek penataan mutu pendidikan kesehatan Health Workforce and Service (HWS, 2003-2008)yang salah satu produknya adalah kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan pembelajaran berbasiskan masalah (PBL) yang mulai diterapkan di pendidikan kedokteran. Sejak 2007 juga diperkenalkan adanya ujian kompetensi dokter dan kompetensi dokter gigi, kendatipun pada waktu itu hanya 50 persen dari peserta yang ikut ujian yang dinyatakan lulus. Dalam rangka penjamiman mutu eksternal pada 2008 berhasil diwujudkan MoU antara KKI dan BAN PT
2
untuk melakukan akreditasi meskipun terjadi tumpang tindih kewenangan, ketidak samaan tools antara Kemenkes dan BAN PT dalam proses akreditasi. Sementara itu selain dokter dan dokter gigi, profesi kesehatan lain nyaris belum melakukan gerakan mutu yang sangat berarti dan bisa dikatakan tertinggal di belakang. Tantangan mutu pendidikan tinggi kesehatan semakin hari semakin hebat. Disamping jumlah satuan pendidikan tinggi kesehatan yang sangat banyak, akan tetapi variabilitas mutunya juga beragam. Antara satu fakultas kedokteran dengan fakultas kedokteran yang lain dan antara akademi dan politeknik kesehatan yang satu dengan kesehatan yang lain di Indonesia tidak semuanya memiliki akreditasi yang sama dan baik. Karenanya sejak 2010 pemerintah memutuskan untuk moratorium pendirian fakultas kedokteran.Selanjutnya dari 2000an lebih program studi kesehatan, sebagian besar tidak terakreditasi baik. Belum lagi kompetensi lulusan pendidikan tinggi kesehatan juga tidak sama. Profesi bidan dan perawat misalnyatidak memiliki keketatan saringan mutu yang sama dengan profesi dokter, seperti tidak adanya sertifikasi profesi dsb. Ini berkait dengan kualitas pelayanan kesehatan yang masih jauh dari harapan. Kasus mall praktik masih sering terjadi. Apatisme masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit dan dokter belum juga pulih.Kita belum menyebut sederet tantangan pembangunan millennium global (MDGs) pada pilar kesehatan yangmasih jauh tertinggal,padahal 2015 batas akhir penuntasan komitmen semakin dekat. HPEQ hadir dalam zeitgeist dan kontinum gerakan mutu ini. HPEQ mengambil lesson learned dari apa yang telah berlalu. Seperti dalil usul fiqhi, HPEQ mencoba mengambil dan meneruskan tradisi yang lama yang masih bagus dan mengembangkan hal yang baru yang lebih baik (Almuhafazah ‘ala qadimissalih dan walakhzu ‘ala jadidil aslah). Praktik baik UKDI, UKDGI dan sebagainya diteruskan untuk dikembangkan lebih baik lagi dan diteruskan ke profesi lain untuk juga mengikuti. Oleh karena itu tiga agenda dan output besar yang sedang dikerjakan oleh HPEQ yaitu pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM PTKes);kedua, Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK) dan sedang dikembangkan juga Program Hibah Kompetensi Pendidikan Dokter, sebuah program kemitraan antara fakultas kedokteran untuk saling mengampu dalam peningkatan status kualitas kelembagaan. Berbagai dokumen dan standar baru (seperti KKNI kesehatan, Standar Pendidikan dan Kompetensi lulusan dsb.) dirumuskan bersama antara organisasi profesi kesehatan dan
3
organisasi pendidikan tinggi kesehatan. Berbagai benchmarking ke berbagai belahan dunia telah dilakukan. PDPT kesehatan ditata lebih baik dan lebih cepat. Alih bina institusi pendidikan tinggi kesehatan kemenkes ke Kemdikbud juga dilakukan. HPEQ melakukan lompatan luar biasa. Untuk pertama sekali di dunia, dirumuskan sebuah lembaga akreditasi dan lembaga uji kompetensi melibatkan lintas profesi kesehatan. Galibnya di beberapa Negara maju, akreditasi dan uji kompetensi hanya dilakukan oleh satu profesi kesehatan mandiri. Karena penjaminan mutu ini adalah upaya yang berkelanjutan, maka semua stakeholder harus teribat dan menjadi pemilik. Di dalam satu dokumen sistem penjaminan mutu perguruan tinggi yang dirilis oleh Dikti disebut sebagai stakeholder-in dan the next process is our stakeholder, dua prinsip utama bagi keberlanjutan penjaminan mutu. Walaupun nantinya HPEQ akan mengeluarkan Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan, bentuk terbaru dari SPME, akan tetapi semangatnya adalah tetap mendorong kepada penguatan kesadaran internal di perguruan tinggi itu sendiri untuk melakukan penjaminan mutu(internally driven). Dan keberlanjutan dan penerimaan masyarakat akan kehadiran penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan ditentukan oleh tingkat pengetahuan dan persepsi mereka terhadap pentingnya penjaminan mutu itu sendiri. Artinya masyarakat pun harus menjadi masyarakat yang peduli akan mutu. Di dalam manajemen strategis modern konsep balanced scorcard yang juga sudah diadaptasi dalam organisasi nirlaba, termasuk perguruan tinggi, disebutkan organisasi yang baik adalah organisasi yang berhasil menyeimbangkan antara empat perspektif (pelanggan,pembelajaran dan pertumbuhan, internal dan keuangan). Dalam organisasi nirlaba perspektif pelanggan adalah dimensi pertama. Retensi, harapan, dan kepuasan pelanggan merupakan gerakgerik yang selalu dilihat dan diukur. Viabilitas suatu lembaga, jasa akan sangat tergantung kepada seberapa besar memberikan nilai lebih kepada masyarakat pengguna. Dalil umum tentang nilai produk/jasa yaitu fungsi dari atribut atau sifat produk (kegunaan, mutu, harga dan waktu), fungsi kesan dan reputasi, serta fungsi hubungan antara pelanggan dan pembuat produk/jasa. Sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan akan berumur panjang tergantung kepada pemahaman masyarakat pemangku kepentingan utama terhadap atribut dan kesan terhadap sistem itu sendiri.
4
Karena pelanggan merupakan asset yang tidak tampak tapi harus dikenali dan menentukan keberlanjutan program, maka
HPEQ mencoba melakukan kajian
pemetaan khalayak penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan Indonesia. Selain itu kajian ini akan melihat juga bagaimana pola perilaku bermedia khalayak penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Hasil dari kajian ini dimanfaatkan untuk menyusun strategi komunikasi yang efektif kepada masyarakat pemangku kepentingan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Program kampanye sosial dalam hal ini merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengubah perilaku sesuatu yang berkenaan dengan kelompok masyarakat, yakni khususnya masyarakat kesehatan, agar menuju ke arah tertentu sesuai dengan gerakan yang dilaksanakan oleh pembuat kampanye. Sebagai upaya intervensi komunikasi tersebut, sebelumnya perlu kiranya dilakukan riset formatif sebagai riset dasar yang dapat membantu dalam membentuk dan menetapkan isi dari intervensi atau kampanye komunikasi. Tujuan dilakukannya riset formatif ini antara lain untuk memahami perilaku apa yang akan dipersuasikan, untuk memahami target audiens (kelompok masyarakat) serta mindset mereka, untuk mengidentifikasi pengetahuan, perilaku, hambatan, dan insentif yang memfasilitasi perubahan, untuk mengidentifikasi tema sentral yang digunakan dalam penyusunan pesan, dan untuk memahami kebiasaan bermedia atau sumber informasi dari target kelompok masyarakat. Menggali informasi mengenai pelbagai hal ini tentu saja bukan perkara mudah, diperlukan suatu pendekatan yang mampu mengelaborasi pola komunikasi yang bersifat kultural dan sosial. Untuk itu, studi khalyak ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan Focus Group Discussion (FGD) sebagai teknik pengumpulan data primer. FGD adalah suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. FGD dipilih menjadi strategi pengumpul data utama dikarenakan masalah yang diteliti tidak dapat dipahami dengan metode survei atau wawancara individu karena pendapat kelompok dinilai sangat penting. Dengan FGD, respon yang dapat diambil menjadi lebih kaya dan cepat karena adanya tekanan peer yang menajamkan opini dalam diskusi. Selanjutnya ini dilakukan untuk memperoleh data kualitatif yang bermutu dalam waktu yang relatif singkat. Selain ini FGD dinilai paling tepat menggali permasalahan yang bersifat spesifik, khas dan lokal dan dapat melibatkan masyarakat kesehatan setempat.
5
Selain itu sebagai data sekunder atau tambahan, dilakukan pula wawancara mendalam dan survei sederhana. Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa informan yang karakteristiknya tidak dapat disatukan dalam kelompok FGD karena akan menyebabkan kelompok FGD tersebut tidak homogen, namun di sisi lain informan tersebut dianggap memiliki informasi berharga yang nantinya dapat memperkaya data penelitian. Selanjutnya, hal lain yang tidak kalah penting adalah pola komunikasi khalayak, yang turunannya termasuk daya akses media (kemampuan ekonomi ataupun teknologi), jenis media yang biasanya dikonsumsi, serta jenis informasi kesehatan yang biasanya dibutuhkan oleh khalayak. Hal ini dilakukan dengan survei untuk mengetahui pola penggunaan media dari para informan yang melaksanakan FGD. Survei ini dilakukan dengan membagikan kuesioner pada peserta FGD dan informasi yang didapat diharapkan dapat menambah data primer penelitian. Dengan demikian, maka dalam studi khalayak akan dilakukan ini setidaknya terdapat dua dimensi utama yang ingin diperlihatkan, yakni persepsi dan pola bermedia dari khalayak yang disasar. Dari FGD yang dilakukan diharapkan para responden yang ada mampu memberikan gambaran awal mengenai bagaimana khalayak dunia kesehatan memaknai pendidikan dunia kesehatan dalam relasinya dengan pelayanan kesehatan. Serta melihat bagaimana pola konsumsi media yang mereka lakukan untuk nantinya bisa digunakan sebagai base line study untuk menentukan format dan strategi penyosialisasian melalui media komunikasi yang tepat.
1.2.
Rumusan Masalah Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada
sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang samadapatditerima secara serentak dan sesaat (Rakhmat, 1991:189) Komunikasi massa merupakan salah satu lingkup studi dalam ilmu komunikasi, yang menekankan pada kajian mengenai proses penyampaian pesan pada khalayak yang luas dan heterogen. Dalam komunikasi massa, studi khalayak dikenal dengan dua pendekatan. Pertama, gagasan mengenai khalayak pasif dan kedua khalayak aktif (Devereaux, 2003).
6
“Khalayak aktif di sini maksudnya adalah khalayak yang diposisikan sebagai pihak yang memiliki kekuatan dalam menciptakan makna secara bebas dan bertindak atau berperilaku sesuai dengan makna yang mereka ciptakan atas teks yang mereka terima” (Aryani,2006). Dalam kerangka pemahaman ingroup dan outgroup khalayak yang disasar pada konteks komunikasi massa terdapat batasan yang dibuat individu. Kelompok kita dan kelompok mereka. Perasaan ingroup diungkapkan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan dan kerjasama (Sumner, 1991). Berangkat dari pemahaman teoretis dan pemaparan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini. Sebagai sebuah studi baseline yang memberikan kontribusi formatif dan evaluatif yang skematik dalam pelaksanaan program HPEQ, maka dibutuhkan sebuah pemetaan khalayak secara strategis. Sasaran khalayaknya adalah khalayak eksternal dan puncak yang bersifat aktif dari program HPEQ. Studi baseline ini memberikan koridor pemetaan terhadap persepsi khalayak mengenai sistem penjaminan mutu institusi pendidikan tinggi kesehatan itu sendiri dan pola perilaku penggunaan media di sasaran penelitian. Untuk dapat memahami hal tersebut akan dilakukan studi kualitatif sebagaimana pengajuan rumusan masalah berikut ini: 1. Bagaimana persepsi publik kesehatan mengenai sistem penjaminan mutu institusi pendidikan tinggi kesehatan? 2. Bagaimana persepsi publik kesehatan mengenai sistem uji kompetensi mutu lulusan pendidikan tinggi kesehatan? 3. Bagaimana kebiasaan bermedia publik kesehatan dalam meraih informasi mengenai penjaminan mutu kesehatan?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan maka dapat
dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui persepsi khalayak mengenai sistem penjaminan mutu kesehatan di Indonesia 2. Untuk mengetahui persepsi khalayak mengenai sistem uji kompetensi mutu lulusan pendidikan tinggi kesehatan 3. Untuk mengetahui pola penggunaan medium khalayak dalam memperoleh informasi mengenai sistem penjaminan mutu kesehatan di Indonesia 7
1.4.
Signifikansi Penelitian
1.4.1. Signifikansi Akademis
Kegunaan teoritis dari penelitian ini yaitu untuk memberikan sumbangan kepada pengembangan kajian komunikasi, khususnya pemaknaan khalayak dan mengenai kampanye sosial.
1.4.2. Signifikansi Praktis
Signifikansi praktis dari penelitian ini adalah sebagai sebuah dasar untuk menyusun strategi komunikasi yang efektif dalam kampanye sosial yang akan dilakukan sebagai tindak lanjutan.
1.5.
Rencana Pelaksanaan
1.5.1. Lokasi FGD FGD akan dilakukan di 13 kota di Indonesia, dengan rincian sebagai berikut : 1. Jawa : Bandung, Yogyakarta, Surabaya 2. Sumatra: Medan, Padang, Aceh 3. Sulawesi : Makasasar , Manado 4. Kalimantan: Banjarmasin 5. Bali: Denpasar 6. Lombok 7. Papua: Jayapura 8. Maluku: Ambon
Sebagai langkah awal pelaksanaan studi khalayak ini, FGD secara paralel akan dilaksanakan di empat kota, yaitu ; Medan, Makassar, Denpasar, dan Surabaya.
8
1.5.2. Waktu Pelaksanaan Tugas Tanggal Pra Kegiatan : Pertemuan dengan tim ahli 1 28 September 2012, Pukul 14.00 – 18.00
Peserta Pertemuan
Pertemuan dengan tim ahli 2
29 September 2012, Pukul 14.00 – 18.00
Tim socmar dan perwakilan Research& Development Pembicara : S. Kunto Adi Wibowo (Dosen metodologi penelitian komunikasi)
Finalisasi detail TOR FGD 5 Oktober 2012, (termasuk detail tata cara) Pukul 13.00 – 18.00
Tim socmar dan perwakilan Research& Development
Tim socmar dan perwakilan Research& Development Pembicara : Prof. Ibnu Hamad (pakar metodologi kualitatif) & Bapak Sukemi (pakar relasi media dan masyarakat)
Pelatihan moderator, 5 - 6 Oktober 2012, fasilitator & scriber, uji coba Pukul 19.00 - selesai FGD, dan pembagian tugas FGD
Kegiatan (Pelaksanaan FGD di 4 daerah) Briefing persiapan FGD 12 Oktober 2012, (moderator, fasilitator, Pukul 19.00 – 22.00 notulen, scriber)
moderator, scriber
fasilitator,
Pelaksanaan di daerah 1 13 – 14 Oktober 2012, moderator, (Medan) Sesi 1 : Pukul 08.00 – 10.00 scriber Sesi 2 : Pukul 11.00 – 13.00 Sesi 3 : Pukul 09.00 – 11.00
fasilitator,
Pelaksanaan di daerah 2 13 – 14 Oktober 2012, moderator, (Makassar) Sesi 1 : Pukul 09.00 – 11.00 scriber Sesi 2 : Pukul 14.00 – 16.00 Sesi 3 : Pukul 09.00 – 11.00
fasilitator,
9
Pelaksanaan di daerah 3 13 – 14 Oktober 2012, moderator, (Surabaya) Sesi 1 : Pukul 09.00 – 11.00 scriber Sesi 2 : Pukul 14.00 – 16.00 Sesi 3 : Hari kedua, Pukul 09.00 – 11.00
fasilitator,
Pelaksanaan di daerah 4 13 – 14 Oktober 2012, moderator, (Surabaya) Sesi 1 : Pukul 09.00 – 11.00 scriber Sesi 2 : Pukul 14.00 – 16.00 Sesi 3 : Pukul 09.00 – 11.00
fasilitator,
Pasca Kegiatan Pengolahan data FGD
20-21 Oktober 2012
Tim socmar dan perwakilan Research & Development
Analisa hasil
27-28 Oktober 2012
Tim socmar dan perwakilan Research & Development
Penulisan hasil
2-3 November 2012
Tim socmar dan perwakilan Research & Development
Presentasi/seminar hasil
7-8 November
tim socmar
Keterangan :
Sesi 1 : Peserta FGD adalah responden yang mewakili institusi pendidikan, yaitu dosen dan pejabat kampus
Sesi 2 : Peserta FGD adalah responden yang mewakili institusi pendidikan, yaitu para mahasiswa
Sesi 3 : Peserta FGD adalah responden yang mewakili pelayanan kesehatan, yaitu para tenaga pelayanan kesehatan, asosiasi RS, wartawan, kepala suku dinas kesehatan, serta pengamat kebijakan publik (jika memungkinkan)
1.5.3. Tenaga Pelaksana
Dalam melaksanakan FGD, dibutuhkan beberapa tenaga pelaksana dengan rincian yaitu : No
Peran
Jumlah
1
Moderator
4 orang
2
Scriber
4 orang
3
Fasilitator
4 orang
Keterangan
10
1.5.4. Alat Pendukung Pelaksanaan No
Alat
Jumlah
1
Perekam suara
2 unit, di setiap lokasi FGD
2
Handycam
1 unit, di setiap lokasi FGD
3
Laptop/netbook
1 unit, di setiap lokasi FGD
4
Sound system
1 unit, di setiap lokasi FGD
11
BAB 2 KERANGKA TEORI
2.1. Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan Melalui LAMPTKes dan LPUK Sejak satu dekade terakhir tema peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menjadi orientasi strategis pembangunan pendidikan nasional. Rekayasa pembangunan untuk perluasan ekspansi dan akses pendidikan, termasuk pendidikan tinggi selalu diikuti dengan kewajiban penjaminan kualitas dan relevansi. Dan sejak satu dekade itu pula, pemerintah mencanangkan mutu sebagai sebuah gerakan nasional. Sebuah gerakan perubahan pola pikir dari semula struktur tanggungjawab pengawasan dan penjaminan mutu bersifat
vertikal, dari atas kebawah, menjadi sesuatu yang
berkarakteristik horizontal dan merupakan akuntabilitas sosial perguruan tinggi kepada pemangku kepentingan utama. Ia lebih merupakan gerakan internal dan mandiri perguruan tinggi. Gerakan mutu ini dimungkinkan karena adanya reformasi regulasi pendidikan. Bermula dari lahirnya UU No. 30 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memperkenalkan konsep standar nasional pendidikan sebagai basis pengendalian dan penjamian mutu. Dari sini lahir Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Lalu dijabarkan dengan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menginspirasi lahirnya Badan Akreditasi Nasional (BAN, termasuk BAN PT). Lalu lahir UU No. 15 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyebut untuk pertama kali guru dan dosen sebagai pendidik professional yang memiliki hak dan kewajiban layaknya profesi lain. Sebagai agen pembelajaran yang professional mereka harus memenuhi standar mutu, kualifikasi
dan kompetensi minimal, termasuk
pendidikan profesi sebelum menjadi guru dan dosen. Setelah itu berbagai dokumen Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMPT) yang “menginspirasi”
termasuk HELTS 2003-2010, sebuah dokumen strategis
pembangunan pendidikan tinggi dirilis oleh Dikti. Legislasi paling terakhir hadir adalah UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur secara lex specialis tentang sistem, peran dan fungsi pendidikan tinggi. Undang-Undang mengatur sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi secara komprehensif, diatur dalam satu bab tersendiri. UU mengamanahkan untuk pertama kalinya untuk disusun Standar Nasional Pendidikan Tinggi. UU mempertegas peran Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT)
12
sebagai basis data bagi penjaminan mutu eksternal maupun internal pendidikan tinggi. Untuk pertama kali ditegaskan bahwa akreditasi eksternal program studi dilakukan oleh Lembaga akreditasi mandiri sementara BAN PT lebih berfungsi, setelah masa transisi dilewati, sebagai lembaga pengembang sistem akreditasi. Di luar itu pemerintah juga mengeluarkan KKNI yang mengatur kualitas kompetensi lulusan pendidikan tinggi formal disejajarkan dengan kompetensi yang didapat dari jalur pendidikan informal dan non formal. KKNI menjadi basis paling pokok dalam penetapan kompetensi lulusan baik jalur akademik, vokasional maupun pendidikan profesi. Dan yang paling terkini juga adalah kebijakan Dikti sementara waktu untuk melakukan moratorium pendirian perguruan tinggi dan program studi baru, kecuali satuan pendidikan atau prodi di jalur vokasional, termasuk community colleague, untuk menata mutu. Kendatipun sudah dilakukan upaya yang massif dalam penjaminan mutu, tapi belum mendorong terjadinya gerakan mutu di internal pendidikan tinggi, apalagi memantik kesadaran masyarakat luas. Indikator paling nyata adalah setelah sejak 2003 dicanangkan, pada 2012 masih banyak satuan pendidikan tinggi (yang berjumlah 3000an lebih) dan proram studi (yang berjumlah 17 ribuan lebih) yang tidak terakreditasi sekali. Boleh jadi penyebabnya adalah kapasitas dan kemampuan BAN PT yang kurang untuk melakukan akreditasi, karena jumlah satuan pendidikan dan prodi yang sangat besar. Tapi ini juga menjadi indikasi bahwa ada satuan pendidikan tidak melakukan gerakan apa-apa terkait penjaminan mutu sejak 2003 itu. Masyarakat sepertinya melihat ini lebih merupakan tanggungjawab pemerintah ketimbang perguruan tinggi itu sendiri apalagi masyarakat. Gerakan mutu itu juga terasa dan terjadi di pendidikan tinggi kesehatan. Selain didorong oleh berbagai produk reformasi hukum pendidikan nasional diatas, juga lahir UU No. 14 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang mendorong lahirnya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Lembaga ini kemudian menggodok dan melahirkan standar kompetensi dokter. sejak 2003-2008 juga ada proyek penataan mutu pendidikan kesehatan Health Workforce and Service (HWS, 2003-2008) yang salah satu produknya adalah kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan pembelajaran berbasiskan masalah (PBL) yang mulai diterapkan di pendidikan kedokteran. Sejak 2007 juga diperkenalkan adanya ujian kompetensi dokter dan kompetensi dokter gigi, kendatipun pada waktu itu hanya 50 persen dari peserta yang ikut ujian yang dinyatakan lulus. Dalam rangka penjamiman mutu eksternal pada 2008 berhasil diwujudkan MoU antara KKI dan BAN PT
13
untuk melakukan akreditasi meskipun terjadi tumpang tindih kewenangan, ketidak samaan tools antara Kemenkes dan BAN PT dalam proses akreditasi. Sementara itu selain dokter dan dokter gigi, profesi kesehatan lain nyaris belum melakukan gerakan mutu yang sangat berarti dan bisa dikatakan tertinggal di belakang. Tantangan mutu pendidikan tinggi kesehatan semakin hari semakin hebat. Disamping jumlah satuan pendidikan tinggi kesehatan yang sangat banyak, akan tetapi variabilitas mutunya juga beragam. Antara satu fakultas kedokteran dengan fakultas kedokteran yang lain dan antara akademi dan politeknik kesehatan yang satu dengan kesehatan yang lain di Indonesia tidak semuanya memiliki akreditasi yang sama dan baik. Karenanya sejak 2010 pemerintah memutuskan untuk moratorium pendirian fakultas kedokteran. Selanjutnya dari 2000an lebih program studi kesehatan, sebagian besar tidak terakreditasi baik. Belum lagi kompetensi lulusan pendidikan tinggi kesehatan juga tidak sama. Profesi bidan dan perawat misalnya tidak memiliki keketatan saringan mutu yang sama dengan profesi dokter, seperti tidak adanya sertifikasi profesi dsb. Ini berkait dengan kualitas pelayanan kesehatan yang masih jauh dari harapan. Kasus malpraktik masih sering terjadi. Apatisme masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit dan dokter belum juga pulih. Kita belum menyebut sederet tantangan pembangunan millennium global (MDGs) pada pilar kesehatan yang masih jauh tertinggal, padahal 2015 batas akhir penuntasan komitmen semakin dekat. HPEQ hadir dalam zeitgeist dan kontinum gerakan mutu ini. HPEQ mengambil lesson learned dari apa yang telah berlalu. Seperti dalil usul fiqhi, HPEQ mencoba mengambil dan meneruskan tradisi yang lama yang masih bagus dan mengembangkan hal yang baru yang lebih baik (Al muhafazah ‘ala qadimissalih dan wal akhzu ‘ala jadidil aslah). Praktik baik UKDI, UKDGI dan sebagainya diteruskan untuk dikembangkan lebih baik lagi dan diteruskan ke profesi lain untuk juga mengikuti. Oleh karena itu tiga agenda dan output besar yang sedang dikerjakan oleh HPEQ yaitu pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM PTKes); kedua, Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK) dan sedang dikembangkan juga Program Hibah Kompetensi Pendidikan Dokter, sebuah program kemitraan antara fakultas kedokteran untuk saling mengampu dalam peningkatan status kualitas kelembagaan. Penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan adalah agenda mulia yang mempertautkan berbagai institusi dan pelaku utama kesehatan dalam satu sistem. Semua pelaku memiliki peranan penting bagi keberlangsungan dan kemajuan sistem.
14
Komitemen, saling percaya dan kerjasama adalah syarat untuk kohesivitas relasi tersebut. Antara pendidikan dan pelayanan kesehatan, keduanya berjalin berkelindan bagikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Ini terlihat dari tiga domain (quality regulator, quality assurance, dan quality culture). Ada kerjasama dan komunikasi yang erat antara Kemdikbud, Kemkes, KKI, MTKI, KFN dalam domain sebagai regulator untuk membuat sistem penjaminan mutu memiliki payung dan landasan yang kokoh. LAM dan LPUK sebagai organisasi mandiri memberikan penguatan penjaminan mutu maupun umpan balik peningkatan mutu di subsistem pendidikan dan pelayanan. Pada akhirnya mutu harus menjadi budaya dan habitus dalam satuan pendidikan dan pelayanan, dimana pola berfikir dan bertindak sivitas akademika dan tenaga kesehatan dituntun oleh prinsip quality first. Pertanggungjawabannya pun lebih berkarakteristik horizontal (social accountability) kepada pemangku kepentingan.
2.1.1. Lahirnya LAMPTKes Lembaga akreditasi mandiri pendidikan tinggi kesehatan (LAMPTKes), jika jadi berdiri pada akhir 2012 atau awal 2013, menjadi LAM pertama yang akan berdiri. Seperti diketahui, dalam sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi, Lembaga akreditasi mandiri dimandatkan untuk melakukan proses akreditasi program studi. Sementara BAN PT akan melakukan akreditasi institusi dan mengembangkan sistem akreditasi, termasuk mengoordinasikan lembaga akreditasi mandiri. Menurut UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, LAM dapat dibentuk oleh asosiasi profesi dan pemerintah. Ketika LAM dibentuk oleh asosiasi profesi, maka asumsinya kepemilikan dan kebutuhan akan mutu menjadi kebutuhan internal. Lembaga akreditasi kesehatan lahir dalam momentum ketika munculnya desakan untuk penataan mutu pendidikan tinggi kesehatan dari masyarakat luas. Apalagi target bahwa semua program studi, termasuk kesehatan, harus diakreditasi pada Mei 2015 ini sejak UU No. 30 tahun 2003 dan PP No. 15 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, tidak tercapai. Secara spesifik, memperhatikan profile mutu pendidikan tinggi, program studi kesehatan, dilihat dari sisi akreditasinya sangat memprihatinkan. Dari sekitar 2.253 program studi kesehatan hanya sekitar 50% yang baru terakreditasi. Kalau didalami lagi, kualitas status akreditasi, mengingat metodenye
15
lebih sumatif dan borang yang dipakai generik maka dimungkinkan, bisa berbeda satu institusi dengan institusi yang lain. LAMPTKes lahir berdasarkan Konsensus antara tujuh asosiasi institusi pendidikan tinggi kesehatan dan tujuh organisasi profesi. Tujuh institusi pendidikan dimaksud adalah AIPKI, AFDOKGI, AIPNI, AIPKIND, AIPGI, APTFI, dan AIPTKMI. Sementara tujuh organisasi profesi adalah IDI, PDGI, PPNI, IBI, PERSAGI, IAI dan IAKMI. Tujuh AIP dan OP ini memanfaatkan proyek HPEQ-Dikti untuk menggalang kesepakatan untuk mendirikan sebuah lembaga akreditasi mandiri bersama. Kesadaran yang muncul bukan saja penguatan profesi, tapi juga kerjasama lintas profesi. LAMPTKes memungkinkan untuk saling belajar antar profesi kesehatan dan asosiasi pendidikan, integrasi antara institusi pendidikan dengan institusi pelayanan untuk pelayanan kesehatan yang prima. LAMPTKes bersifat mandiri. Payung hukum besarnya adalah UU Dikti No. 12 tahun 2012. Payung hukum operasionalnya berdasarkan peraturan kementerian pendidikan dan kebudayan sudah diujipublikkan dan kini dalam tahap harmonisasi dengan Undang-Undang Dikti. Untuk izin pendirian dan operasional diberikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan setelah mendapatkan rekomendasi dari BAN PT. Karena dia merupakan lembaga mandiri secara operasional dan finansial, peranan pemerintah menjadi tidak dominan untuk selanjutnya. Sebagai “bayi baru lahir” tentu akan ada masa transisi. Pada masa ini BAN PT masih akan mengakreditasi program studi. Nilai tambah apa yang ditawarkan LAMPTkes? Melalui kelembagaan baru ini dikembangkan konsep akreditasi yang memberdayakan dan membangkitkan kesadaran mutu di kalangan perguruan tinggi hingga prodi. Akreditasi yang membentuk cara berfikir pelaku pendidikan untuk melakukan pendidikan lintas profesi dan terus berkolaborasi di tataran pelayanan. LAMPTKes yang dikembangkan bersifat sistem hibrida, tidak hanya sekedar dalam bentuk sumatif, tapi juga ada formatifnya. Viabilitas LAMPTkes ditentukan oleh pemahaman dan penerimaan stakeholder utama secara lebih luas, yaitu terutama program studi, mahasiswa, mahasiswa dan segenap sivitas akademika yang ada di sana. Belajar dari backlog tugas BAN PT yang melakuan akreditasi berdasarkan borang yang dikirimkan oleh PT dan Prodi, maka sosialisasi yang efektif dan efisiensi, membangkitkan kebutuhan menjadi keharusan. Dilakukan terus menerus. Karena kesepakatan dan komitmen pada level pimpinan AIP dan OP saja tidak cukup(necessary but not sufficient). Tatarannya masih elitis. Penerima
16
manfaat
adalah
professional
yang
sangat
membanggakan
asosiasi
institusi,
profesionalitasnya. Penerima manfaat atau implementaor memiliki keragaman kualitas standar, sebaran demografi dsb, yang mempengaruhi keutuhan, kecepatan menerima informasi. Memperhatikan roadmap pengembangan LAM PTKes, pada 2012 akhir ini adalah masa yang kritis. Instrumen akreditasi dan rekrutmen, lalu pelatihan asesor telah dimulai dibuat dan dilakukan. Problem lain adalah kendala aspek payung hukum yang tak kunjung rampung. Permendikbud yang menjadi payung hukum bagi LAM secara kesuluruhan yang menjadi dasar bagi SK Mendikbud untuk pengakuan masih dalam tahap penggodokan. Hal ini juga terkait dengan faktor pemahaman pimpinan yang berbeda tercermin dari pernyataan-pernyatan terhadap konsep penjaminan mutu dan peranan akreditasi mandiri, harus menjadi perhatian. Pemahaman yang utuh pimpinan dan percepatan realisasi LAM PTKes adalah prasyarat lain. Belum lagi, pemahaman yang utuh juga diperlukan bagi pelaku penting lain dalam “quality regulator” seperti KKI, MTKI dsb. Kesepahaman dan komitmen diatas ini akan memperkuat komitmen organisasi asosiasi profesi dan institusi pendidikan tinggi kesehatan.
2.1.2. LPUK Salah satu upaya lain dalam penataan mutu pendidikan kesehatan yang sedang diusung oleh HPEQ project adalah pembentukan lembaga pengembangan uji kompetensi. Lembaga mandiri yang bisa disamakan dengan “badan penelitian dan pengembangan, balitbang” untuk memastikan adanya sistem, metodologi, perangkat, implementasi ujian kompetensi lulusan tenaga kesehatan yang sesuai dengan standar kompetensi setiap profesi. Selain memastikan hanya tenaga kesehatan yang kompeten yang melakukan pelayanan, hasil ujian menjadi umpan balik bagi penyempurnaan proses instruksional dan institusional pendidikan tinggi kesehatan agar sesuai standar. Penyempurnaan uji kompetensi menjadi lebih mudah karena sejak 2007, kedokteran dan kedokteran gigi telah melakukan uji kompetensi bagi bakal dokter dan dokter gigi. Praktik baik pelaksanaan uji kompetensi kedokteran diteruskan dan praktik yang masih kurang, disempurnakan kembali menjadi lebih komprehensif, valid dan reliabel. Di dalam LPUK, semua profesi kesehatan mengambil manfaat dari pengalaman ini, minimal oleh tujuh organisasi profesi kesehatan.
17
Pada 2010, Studi banding ke national Board of Medical Examiner (NBME) dan National Council of State Boards of Nursing di Philadelpia, Amerika dilakukan. Dibantu oleh Gordon Page, konsultan internasional dalam bidang uji kompetensi untuk mendapatkan bimbingan teknis. Selanjutnya sejak 2011, tim task force yang terdiri dari pakar/anggota tujuh asosiasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan tinggi kesehatan mulai bekerja. Tim menyusun dokumen naskah akademik, workshop pengembangan metodologi ujian, menetapkan CBT Center dan OSCE Center sebagai lokasi uji, pembuatan blue print dan peningkatan jumlah soal untuk bank soal CBT, perbaikan metode penentuan nilai batas lulus (NBL), termasuk menyiapkan business plan dan bentuk badan hukum, payung hukum lembaga. Saat ini proses yang sedang ditunggu adalah payung hukum bagi pendirian LPUK. Payung hukum yang diinginkan adalah peraturan bersama antara Kementerian Kesehatan dan kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat ini peraturan bersama dalam tahap telaah dan harmonisasi oleh tim hukum Kemdikbud dengan UndangUndang Pendidikan Tinggi, UU NO. 12 tahun 2012. Satu hasil rekomendasi telaahan hukum adalah peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan diperlukan sebagai izin operasional. Jika semua bisa dirampungkan, pada akhir 2012 diharapkan LPUK bisa berdiri. Metodologi yang dikembangkan melalui ujian CBT dan OSCE sudah sangat tepat. Dua ujian ini memadupadankan dua kompetensi utama yaitu pengetahuan dan kemampuan klinis. Peserta diuji secara komprehensif. CBT, ujian berbasiskan komputer lebih menguji faktor pengetahuan, akan tetapi dengan menghindari soal yang sifatnya recall sederhana. CBT dengan segala kompetensi, tinjauan yang ingin dilihat, selalu memulai soalnya dengan vignate, contoh kasus. Peserta diminta memilih jawaban yang tepat. Soal-soal dibuat dan direview oleh para professional dengan memastikan validitas dan realibilitasnya, lalu dimasukkan ke bank soal. Sementara, OSCE melihat kemampuan klinis bakal tenaga kesehatan professional, bukan sekedar pengetahuan lagi. Peserta dihadapkan pada skenario klinik yang mendekati kondisi rill, lalu diminta untuk melakukan tindakan medis yang sesuai. Di dalam ujian OSCE ini akan dilihat kemampuan semisal kemampuan anamnesis, pemeriksaan fisik, penegakkan diagnosis/banding diagnosis, penatalaksanaan baik non farmakoterapi maupun farmakoterapi, dan yang terpenting dilihat juga kemampuan komunikasi, bagaimana mengedukasi pasien dan
18
perilaku profesionalnya apakah dia meminta informed consent, hati-hati dan penuh perhatian. Bagaimana viabilitas dari LPUK ini? Diperlukan sosialisasi yang massif kepada pelaku utama dari uji kompetensi ini. Uji kompetensi apalagi akan menjadi exit exam, sementara profile pemenuhan standar mutu satuan pendidikan di lapangan beragam. Selain itu, kecuali profesi dokter dan dokter gigi, uji kompetensi adalah satu hal yang baru. Selama ini tanpa ujian kompetensi, mereka bisa melakukan dan membuka praktik. Beragamnya kualitas mutu seperti disebutkan, dilihat dari hasil akreditasi, akan menjadi batu uji terberat
dalam implementasi uji kompetensi lulusan. Artinya banyak sekali
satuan pendidikan tinggi kesehatan yang tidak memenuhi syarat dan bisa dipastikan banyak yang tidak lulus.
2.2. Persepsi Secara umum, persepsi adalah proses internal kita memilih mengevaluasi dan mengorganisasikan stimuli dan lingkungan kita. Definisi persepsi lainnya:
Persepsi sebagai proses yang memungkinkan suatu organism menerima dan menganalisis informasi ( Brian Fellows )
Persepsi adalah pengamatan tentang objek, peristiwa, atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan ( Rakhmat )
Persepsi adalah proses menafsirkan informasi indrawi ( Rudolp F.Verderber ) Sebenarnya kita tidak pernah punya kontak langsung dengan relaitas. Segala
sesuatu yang kita alami adalah hasil dari sistem syaraf kita. Ketika para ahli fisika meneliti fenomena alam, atau ketika insinyur menguji mesin, persepsi mereka boleh jadi mendekati akurat. Namun ketika mereka berkomunikasi dengan manusia, baik dengan sesama ilmuwan atau bahkan dengan pasangan hidup mereka masing-masing, persepsi mereka mungkin kurang atau bahkan tidak cermat karena berdasarkan motif, perasaan, nilai, dan kepentingan dan tujuan yang berlainan.
2.2.1. Asumsi-asumsi Mengenai Persepsi
Pola-pola prilaku berdasarkan persepsi mereka mengenai realitas yang telah dipelajari
Oleh karena perbedaan biologis dan pengalaman yang berbeda, tidak ada individu yang mempersepsi realias persis sama
19
Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi individu, maka semakin mudah untuk berkomunikasi
Factor-faktor lingkungan biologis berubah
Adanya feedback yakni mekanisme untuk mengukur ketepatan persepsi
Menurut Kenneth K. Sereno dan Edward M Bodaken , persepsi terdiri dari tiga aktivitas, yaitu seleksi, organisasi dan interpretasi. Seleksi sendiri mencakup sensasi dan atensi. Dan intrepretasi melekat pada organisasi. Dapat dirangkum sebagai berikut: Dalam sensasi , melalui pengindraan kita mengetahui dunia. Sensasi merujuk pada pesan yang dikirimkan ke otak lewat penglihatan, pendengaran sentuhan, penciuman dan pengecapan. Segala macam rangsangan yang diterima kemudian dikirimkan ke otak. Atensi tidak terelakkan karena sebelum kita merespon atau menfsirkan kejadian atau rangsangan apa pun, kita harus terlebih dahulu memperhatikan kejadian atau rangsangan tersebut. Ini berarti bahwa persepsi mensyaratkan kehadiran suatu objek untuk dipersepsi termasuk orang lain dan juga diri sendiri. Tahap terpenting dalam persepsi adalah interpretasi atas informasi yang kita peroleh melalui salah satu atau lebih indera kita. Namun kita tidak bisa menginterpretasikan
makna
setiap
objek
secara
langsung,
melainkan
menginterpreatasikan makna yang kita percayai mewakili objek tersebut. Jadi pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi bukan pengetahuan mengenai objek sebenarnya, melainkan pengetahuan mengenai bagaimana tampaknya objek tersebut.
2.2.2. Faktor- faktor yang Memengaruhi Persepsi Dalam membentuk persepsi, pemikiran-pemikiran yang ada di pengaruhi oleh faktor-faktor dari eksternal dan factor internal yang mempengaruhi persepsi itu sendiri. Faktor pihak pelaku persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti sikap, motivasi, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan. Variabel lain yang ikut menentukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup individu. Persepsi akan berpengaruh pada perilaku khalayak, yang akan mempengaruhi keputusannya dalam menentukan sesuatu. Berikut adalah bagan persepsi menurut Jacobalis dan Samsi (Yogyakarta, 2000)
20
Umur
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
Sosial Ekonomi
PERSEPSI
Pekerjaan
Budaya
Lingkungan Fisik
Kepribadia n dan Pengalama n
Sumber : Jacobalis, Samsi, Beberapa Teknik dalam Manajemen Mutu, Manajemen Rumah Sakit, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, 2000 2.2.3. Persepsi Terhadap Objek (Lingkungan Fisik) Dalam mempersepsi lingkungan fisik, kita terkadang melakukan kekeliruan. Kondisi mempengaruhi kita terhadap suatu benda. Misalnya ketika merasa kepanasan di tengah gurun. Kita tidak jarang akan melihat fatamorgana. Ketika kita disuruh mencicipi suatu masakan, mungkin pendapat kita akan berbeda dengan orang lain karena kita memiliki persepsi yang berbeda. Latar belakang pengalaman, budaya dan suasana psikologis yang berbeda membuat persepsi kita juga bereda atas suatu objek.
2.2.4. Persepsi Terhadap Manusia ( Persepsi Sosial ) Proses menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian yang kita alami dalam lingkungan kita “Manusia selalu memikirkan orang lain dan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya, dan apa yang orang pikirkan mengenai apa yang ia pikirkan mengenai orang lain itu dan seterusnya “ (R.D. Laing)
21
Kita mempersepsi orang dan lingkungan sosial melalui: 1. Proxemics : jarak ketika orang berkomunikasi 2. Kinesis
: Gerakan, isyarat
3. Petunjuk wajah : sedih, senang 4. Paralinguistik : dialek, bahasa, intonasi 5. Artifaktual
2.2.5. Signifikansi Persepsi Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan dilakukan di empat kota di empat propinsi yang berbeda, yaitu Medan, Surabaya, Bali, Makassar, pada bulan Oktober 2012. Wawancara mendalam dilakukan terhadap responden yang terdiri dari tenaga pendidikan kesehatan, tenaga pelayanan, pejabat struktural Rumah Sakit dan perwakilan masyarakat. Responden diskusi kelompok terarah (Focused Group Discussion- FGD) adalah tenaga kesehatan dan tenaga pendidikan kesehatan serta mahasiswa kebinanan, keperawatan, kedokteran dan kedokteran gigi. Terminologi persepsi yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada pengertian persepsi yang terdiri dari tiga aktivitas, yaitu seleksi, organisasi dan interpretasi. Seleksi sendiri mencakup sensasi dan atensi. Dan intrepretasi melekat pada organisasi. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana sasaran khalayak yang telah ditetapkan mencerna informasi dan data mengenai kesehatan. Dengan hal tersebut kami membagi empat kluster pembahasan, yakni mutu, lembaga akreditasi mandiri, uji kompetensi, dan pola konsumsi media. Artinya dalam penelitian ini, yang ingin dilihat melalui teknik pengumpulan data FGD dan indepth interview adalah persepsi khalayak mengenai keempat hal yang disebutkan di atas. Dengan demikian seleksi, pengorganisasian, dan intepretasi realita yang dialami khalayak untuk kemudian menjadi persepsi diasosiasikan sebagai koridor definisi persepsi yang kami gunakan.
2.3. Reception Studies Era modern sering juga ditandai dengan perkembangan dunia Informasi. Seiring dengan berkembangnya industri media cetak (Koran, Buku, Majalah dll) dan elektronik (Televisi, Radio, Online) telah membuat Informasi menjadi begitu mudah diakses, bukan hanya mudah diakses tetapi juga menjadi begitu massive. Kondisi ini telah membawa
22
masayarakat modern kedalam kondisi dimana individu dan kelompok mengkonsumsi begitu banyak informasi yang kemudian mempengaruhi persepsi mereka mengenai dunia tempat mereka tinggal, termasuk mengenai gaya hidup, pendidikan dan profesi. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimana mereka kemudian menyerap informasi atau pesan yang disampaikan oleh media? Sudah menjadi sebuah hal yang umum bagaimana para ilmuan mencoba menggambarkan dan mendefiniskan bagaimana masyarakat, kelompok tertentu atau individu memaknai sebuah text, atau sering disebut sebagai Reception Theory. Pada Reception Theory analisanya mengacu pada studi tentang makna, produksi dan pengalaman khalayak dalam hubungannya berinteraksi dengan teks media. Fokus dari teori ini adalh proses decoding, intrepretasi subjek, serta pemahaman dan bentuk reproduksi pemahaman atas teks. Sedangkan sebelumnya, proses komunikasi dikonseptualisasikan sebagai sirkuit atau loop. Model ini dikritisi karena bentuknya yang linear (sender/message/receiver) yang hanya menakankan kepada level pertukaran pesan dan melupakan konsep kejadian atau pemahaman yang memiliki strukturnya dari berbagai momen sebagai bentuk struktur hubungan social-historis yang kompleks. Kritik tersebut telah membuat Teori itu digunakan tidak hanya untuk melihat bagaimana text diterima atau dimaknai, tetapi bagaimana tindakan membaca dipandang sebagai bagian dari penerimaan atau pemaknaan. Sebagaimana disebutkan oleh Holub bahwa Reception Theory Adalah proses kreatif dalam membaca, karena literary text bukanlah semata-mata text atau subjektivitas pembaca, tetapi kombinasi dari keduanya (2004:4). Dalam pandangan Holub bagaimana membaca sebagai tehnik atu metode adalah bagian dari penerimaan terhadap text itu sendiri. Karena perkembangan dari Reception Theory, membuatnya juga berfokus kepada bagaimana penerimaan atau kadar atensi terhadap pesan komunikasi seperti iklan, kampanye, berita, film dan lainnya. Sebagaimana diuraikan oleh Lindlof and Taylor bahwa reception theory digunakan untuk melihat karakteristik dari logika penemuan dan atensi dari perbedaan format dan detail kehidupan sosial, dan digunakan oleh pendekatan kualitatif untuk melihat pemahaman manusia (2011:40). Logika penemuan dalam melihat pesan juga merupakan pembahasan yang khusus reception theory. Sementara itu Janet Staiger dan Barbara Klinger yang memfokuskan reception theory pada pembentukan makna, menurut mereka interaksi antara konteks historis dan posisi subjek (yang memaknai) telah membantu pembentukan makna (atas media/teks)
23
(2010:5). Konteks histori dalam pengertian Satiger dan Klinger berada pada wilayah sejarah wacana mengenai pesan dan media, sementara posisi subjek adalah sejarah pengetahuan subjek yang membantunya memiliki faktor-faktor dalam memaknai. Seperti bagaimana seorang dokter membaca informasi mengenai kasus mal-praktek atau seorang pengacara membaca kasus yang sama. Konteks posisi subjek dan konteks historis mereka berbeda, sehingga menghasilkan pembacaan dan pemaknaan yang berbeda. Hal yang paling penting dalam memahami reception theory dalam pandangan Saiger dan Klinger adalah posisi subjek juga termasuk ruang sosio-kultural tempat ia membaca pesan, dengan kata lain seorang dokter yang terikat konteks sosio-historis di Medan dan dokter yang ada di Jakarta akan memiliki pemaknaan yang berbeda mengenai satu kasus yang sama bahkan ketika dia membaca melalui media yang sama. Sehingga media/text bukanlah sesuatu yang vital dalam reception theory tapi juga konteks sosial-histori dan subjek yang membaca. Sebagaimana sudah disinggung secara singkat reception theory menurut Holub adalah variasi dari text dan cara membaca, sementara Lindlof and Tylor menekankan reception teori pada logika penemuan dari atensi audience, Satinger and Klinger memfokuskan kepada konteks historis dan posisi subjek. Semua berusaha menjawab bagaimana
pembacaan
terhadap
media/text
dan
faktor
apa
saja
yang
mempengaruhinya. Semuanya juga sepakat bahwa bagaimana audience membaca dan menerima text adalah hal yang unik dan menjadi fokus dalam reception theory. Dalam konteks peneltian ini reception theory sangat berguna bukan hanya dalam konteks melihat bagaimana pembacaan terhadap text, tetapi juga masalah pemetaan audience yang memaknai text. Ketika audience membaca text atau memaknai, maka terdapat tiga posisi hipotekal, yaitu : a) Dominant-hegemonic position, terjadi ketika tanpa sengaja audience memaknai pesan yang terkonotasi. Posisi ini disebut ideal dalam sebuah proses komunikasi dimana setiap individu bertindak terhadap sebuah teks sesuai apa yang didominankan dalam teks. b) Negotiated position ialah ketika audience sudah mampu menerima yang dominan didalam teks dan mereka akan bergerak untuk menindaklanjutinya dengan beberapa pengecualian.
24
c) Oppositional position, digambarkan ketika audience menerima dan telah mengerti, baik secara literal maupun konotasi-konotasi yang diberikan, namun audience menerimnya dengan sangat bertolak belakang. Ini hanya terjadi ketika audience memiliki sudut pandang yang terikat permasalahan subjektivitas dari latar belakang sosio-historis subjek. Dalam konteks LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri) dan LPUK (Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi) dan bagaimana penerimaan audience dari LAM dan LPUK. Dalam konteks ini audience telah terbagi ke dalam tiga kelompok: Kelompok positif yang menerima program dan bisa kita kategorikan kedalam dominant reader, kelompok negatif terhadap program atau oposisi, lalu kelompok negotiatif dengan standar-standar yang perlu diperbaiki.
Dominant
Merasa Program Sudah tepat dan layak.
Memang diperlukan LAM dan LPUK
Oppositional
Program tidak mungkin diterapkan.
Ada masalah dengan kelayakan metode dan
Negotiation
Program mungkin diterapkan apabila dilakukan revisi di dalam beberapa hal.
system program.
Tabel 2.1. Model Pemetaan Audience
Melalui pemetaan audience ini bisa dilihat bagaimana ada tiga kelompok audience, yang lahir dari pola pembacaan terhadap text. Maka bisa kita ketahui setiap pembacaan akan membawa kepada pemaknaan yang berbeda-beda, sehingga penerimaan bukan hanya menjadi hal yang unik tetapi juga pola pembacaan terhadap text yang melibatkan subjektivitas pembaca.
2.4. Formative Research Penelitian ini juga memanfaatkan konsep Formative Research. Sebagaimana sudah disinggung diatas, dalam penelitian ini pengetahuan mengenai audience sangatlah penting. Bukan hanya untuk mengukur bagaimana pemaknaan dan penerimaan audience, tetapi juga melihat prilaku individu mengenai sebuah program atau text dan media komunikasi. Formative Research dalam penelitian ini sangat
25
membantu dalam membentuk dan menetapkan isi dari intervensi atau kampanye komunikasi yang efektif terhadap audience tertentu, dengan ukuran-ukuran tertentu. Peneliti seperti Reigeluth dan Romiszowski mendefinisikan Formative Research sebagai “.. a kind of developmental research or action research that is intended to improve design theory for designing instructional practices or processes.”(2010:1) Mereka merekomendasikan Formative Research untuk mengembangkan pengetahuan dasar yang didapatkan dari Teori Desain-Intruksional, yang bertujuan untuk mengukur tingkat ketertarikan terhadap tindakan, respon atau praktik terhadap suatu program komunikasi tertentu. D. Newman seorang tokoh pendidikan dari Amerika menerapkan Formative Research untuk membuat kampanye mengenai pengajaran computer di Amerika. Penelitiannya dinilai berhasil karena mampu menyediakan konsep komunikasi yang efektif bagi program penggunakan computer di sekolah. Newman menegaskan bahwa Design Theory termasuk Formative Research “are guidelines for practice, which tell us "how to do" education, not "what is."(2010:2) Newman juga memperjelas bahwa yang dicari adalah preferability bukan validity atas data. Sementara itu gap informasi juga menjadi focus penting dalam Formative Research, karena dalam gap informasilah kita bisa mengukur sebuah konsep komunikasi yang akan disampaikan kepada audience. Pendekatan yang digunakan dalam Formative Research adalah pendekatan qualitative. Sebagai panduan dalam penelitian, setidaknya ada sekitar 5 hal yang menjadi tujuan utama dari Formative Research, yaitu sebagai berikut: Memahami perilaku apa yang akan dipromosikan Memahami target audiens serta kebutuhan dan keinginan mereka (mindset) Mengidentifikasi pengetahuan, perilaku, hambatan,dan insentif yang memfasilitasi perubahan Mengidentifikasi tema sentral yang digunakan dalam penyusunan pesan Memahami kebiasaan bermedia atau sumber informasi dari target audiens Ada beberapa proses yang harus dijalanankan dalam Formative Research guna memperlancar penelitian: Mengidentifikasi perilaku Mempelajari faktor-faktor behavioral
26
Mengidentifikasi tema sentral Sebagaimana sudah disinggung diatas bahwa tujuan dari penggunaan Formative Research pada penelitian ini adalah untuk melihat bagaiman kemungkinan-kemungkinan dari perancangan desain komunikasi yang efektif didalam konteks LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri) dan LPUK (Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi), karena itulah fungsi Formative Research adalah memberikan rekomendasi mengenai pola kampanye atau komunikasi, dan juga isi dari pesan tersebut, dengan tujuan memberikan program komunikasi yang efektif.
2.5. Media dan Komunikasi Efektif Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Merujuk pada pengertian Ruben dan Steward (1998: 16) mengenai komunikasi (manusia) yaitu bahwa komunikasi adalah proses yang meilbatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, orgaisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Untuk lebih memahami lagi tentang komunikasi, salah satunya dapat dilihat dari paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya The Structure and Function of Communication in Society, yakni bahwa terdapat cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who says what in which channel to whom with what effect?
Paradigma
Lasswell tersebut menunjukkan lima unsur dalam komunikasi sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan tersebut, yaitu: 1. Komunikator (siapa yang mengatakan); 2. Pesan (mengatakan apa); 3. Media (melalui saluran/ channel/ media apa); 4. Komunikan (kepada siapa); dan 5. Efek (dengan dampak/ efek apa). Jadi melalui paradigma Laswell tersebut, secara sederhana proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk (encode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu. Kesemua unsur di atas penting dalam suatu proses komunikasi. Kaitannya kemudian ialah pada keefektivan dari proses komunikasi yang dilakukan. Apa yang disampaikan, yakni pesan, akan efektif jika dapat di-decoding menyerupai dengan apa yang ingin disampaikan komunikator. Dan ketika komunikator melakukan proses encoding, akan lebih baik ketika mengetahui karakteristik komunikan terlebih dahulu sehingga dapat merancang penyampaiannya, baik itu dalam hal apa yang hendak
27
disampaikan dan bagaimana cara (media/ channel) terbaik dalam menyampaikan suatu pesan. Pemahaman tentang karakteristik komunikan inilah yang menjadi signifikansi dengan penelitian yang akan dilakukan. Selanjutnya ialah mengenai komunikasi efektif. Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, dana, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar diterapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atau jasa dengan mutu tertentu tepat pada waktunya (Siagian, 1997). Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas sebagai suatu kegiatan yang tepat sasaran, berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai tujuan dalam implementasi suatu kegiatan tertentu. Berbicara mengenai komunikasi efektif berarti berbicara mengenai penyampaian pesan sehingga tepat sasaran dan berhasil mencapai tujuan tertentu. Penyampaian pesan yang dimaksud ialah dalam hal pemasaran sosial yang akan dilakukan sebagaimana kegunaan atau signifikansi praktis dari penelitian kali ini, dan hal tersebut merupakan satu dari sekian banyak fungsi komunikasi dalam masyarakat. Menurut Laswell (1948) fungsi dasar dari komunikasi dalam masyarakat ialah sebagai pengawasan lingkungan, korelasi bagian-bagian masyarakat dalam memberikan respons terhadap lingkungannya, dan sebagai transmisi warisan budaya. Wright (1960) mengembangkan skema dasar media untuk menggambarkan efek media yang begitu banyak jumlahnya. Ia juga menambahkan “hiburan” sebagai fungsi media yang keempat. Pada akhirnya kita memperoleh serangkaian ide dasar mengenai tujuan media dalam masyarakat sebagai berikut (McQuail, 2005: 97-98): 1. Informasi -
Menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam masyarakat dan dunia
-
Menunjukkan hubungan kekuasaan
-
Menunjukkan inovasi, adaptasi, dan kemajuan
2. Korelasi -
Menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna peristiwa dan informasi
-
Menunjang otoritas dan norma-norma yang mapan
-
Melakukan sosialisasi
-
Mengkoordinasi beberapa kegiatan
-
Membentuk kesepakatan
-
Menentukan urutan prioritas dan memberikan status relatif
28
3. Kesinambungan -
Mengekspresikan budaya dominan dan mengakui keberadaan kebudayaan khusus (subculture) serta perkembangan budaya baru
-
Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai
4. Hiburan -
Menyediakan hiburan, pengalihan perhatian, dan sarana relaksasi
-
Meredakan ketegangan sosial
5. Mobilisasi -
Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangungn ekonomi, pekerjaan, dan kadang kala juga dalam bidang agama.
Seperti telah disinggung sebelumnya, fungsi mobilisasi ialah menjadi salah satu signifikansi praktis penelitian kali ini, yakni dalam bentuk kampanye. Kampanye menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010) ialah gerakan (tindakan) serentak (untuk melawan, mengadakan aksi, dsb); suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dsb untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara. Namun untuk kali ini, kampanye yang dimaksud bukanlah kampanye politik, bukan demonstrasi, bukan promosi barang atau jasa, yang dimaksud kali ini ialah kampanye sosial. Kampanye sosial adalah upaya yang terencana oleh pihak yang jelas dengan maksud mengubah perilaku publik melalui pengembangan wacana tentang sesuatu yang dianggap penting bagi publik. Dalam hal penyampaian informasi, media menjadi hal penting, terlebih ketika bermaksud untuk melakukan suatu pemasaran sosial yang khususnya dilakukan dengan kampanye. Penggunaan suatu media akan memengaruhi dan memberi dampak yang besar bagi para penggunanya. Menurut Lometti, Reeves, dan Bybee, penggunaan media oleh individu dapat dilihat dari tiga hal, yaitu: 1. Jumlah waktu (frekuensi, intensitas, durasi) 2. Jenis isi media 3. Hubungan antara individu dengan media tersebut Setiap orang yang menggunakan suatu media pasti mengharapkan untuk mendapatkan kepuasan dari media tersebut. Jika kepuasan itu sudah didapat, mereka akan selalu menggunakan media tersebut dan tentunya akan menghabiskan waktunya dengan
29
mengkonsumsi isi media tersebut. Kaitan dengan penelitian kali ini ialah bagaimana pola penggunaan media oleh kelompok tertentu memiliki andil besar dalam hal penyampaian pesan yang nantinya akan dilakukan pada kampanye sosial yang akan dilakukan.
30
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini membahas tentang persepsi khalayak terhadap penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan dan pola penggunaan media dari khalayak sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Berkaitan dengan masalah penelitian dan metode yang digunakan maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sebagai landasannya. Denzin dan Lincoln (1987) mengartikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan metode yang ada. Selain itu, dalam buku Qualitative Research Practice dikatakan bahwa penelitian kualitatif adalah pendekatan naturalistik, interpretatif, menyangkut pemahaman makna yang oleh manusia dilekatkan pada fenomena (tindakan, keputusan, kepercayaan, nilai, dan lainlain) dalam dunia sosial mereka.
3.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Menurut Cresswell studi kasus ialah penelusuran terhadap sebuah sistem yang terbatas, sebuah kasus atau bermacam-macam kasus dalam jangka waktu tertentu sampai kepada hal-hal yang detil. Pengumpulan data yang mendalam termasuk sumber informasi yang kaya dan berasal dari berbagai konteks. (Creswell, 1998:61) Sementara itu, Mulyana (2006:201) menyatakan bahwa studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti. Mereka sering menggunakan berbagai metode: wawancara (riwayat hidup), pengamatan, penelaahan dokumen, (hasil) survei, dan data apa pun untuk menguraikan suatu kasus secara terinci. Dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok, atau suatu kejadian, peneliti bertujuan memberikan pandangan yang lengkap dan mendalam mengenai subjek yang diteliti. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, studi kasus digunakan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai persepsi khalayak terhadap sistem
31
penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Melalui penggunaan metode studi kasus ini, akan diperoleh penjelasan komprehensif mengenai persepsi khalayak sasaran terhadap sistem tersebut. Selain itu, dengan data-data pendukung yang ada, juga dapat dikaji bagaimana pola penggunaan media dari khalayak sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Hasil dari penelitian mengenai pola penggunaan media ini digunakan sebagai dasar rekomendasi media untuk melakukan kampanye social mengenai sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan.
3.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni pengumpulan data primer dan sekunder.
3.3.1 Data Primer Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui FGD (Focused Group Discussion). FGD adalah merupakan bentuk wawancara yang melibatkan dua atau lebih narasumber sekaligus. Menurut Kriyantono (2006:116) FGD biasanya terdiri dari 6-12 orang yang secara bersamaan dikumpulkan, diwawancarai dengan dipandu oleh moderator.
Sedangkan
menurut
Dominic,
FGD
merupakan
metode
yang
mengedepankan kualitas informasi yang didapat ketimbang jumlah orang yang terlibat. FGD menjadi model yang juga diadopsi dalam penelitian komunikasi karena kemampuannnya untuk mengelaborasi proses sosial. Seperti metode kualitatif lainnya (direct observation, indepth interview, dan sebagainya) FGD berupaya menjawab jenisjenis pertanyaan how-and why, bukan jenis-jenis pertanyaan what-and-how-many yang khas untuk metode kuantitatif. Adapun kelebihan FGD bila dibandingkan teknik pengumpulan data lainnya yaitu dapat menghasilkan informasi yang :
bersifat kualitatif yang bermutu dalam waktu yang relatif singkat, mengenai studi khalayak sistem penjaminan mutu kesehatan
bersifat sangat lokal dan spesifik, dan
diyakini tidak dapat diperoleh melalui pendekatan survei dan wawancara individu
Terkait dengan penelitian ini, data yang diperoleh melalui FGD adalah data mengenai persepsi kelompok mengenai sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi
32
kesehatan, baik di level institusi maupun individu (mutu lulusan). Sehingga dapat diamati bahwa yang menjadi fokus analisis dalam FGD ini adalah kecenderungan persepsi masing-masing kelompok mengenai sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan.
3.3.2 Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui in-depth interview dan kuesioner. In-depth interview atau wawancara mendalam digunakan untuk mengetahui secara mendalam bagaimana persepsi khalayak mengenai sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Untuk memperoleh pemahaman mengenai persepsi khalayak tersebut, maka wawancara dilakukan dengan para pemegang jabatan struktural, baik di institusi pelayanan kesehatan maupun di institusi pendidikan tinggi kesehatan. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan wartawan sebagai perwakilan dari masyarakat.
Sedangkan kuesioner digunakan untuk memperoleh informasi
mengenai pola penggunaan media dari khalayak sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan.
3.4 Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini yaitu pernyataan-pernyataan yang disajikan dalam bentuk transkrip FGD kepada dua kelompok besar FGD yaitu: institusi pendidikan dan pelayanan. Yang nantinya akan dipecah lagi menjadi empat kelompok FGD dengan harapan dapat mewakili masing-masing program studi kesehatan. Empat kelompok FGD ini dipisah berdasarkan profesinya antara dosen dan mahasiswa. Kelompok dosen pun dipisah antara dosen FK dan FKG dengan dosen Keperawatan dan Kebidanan. Secara detail akan dijelaskan dalam teknik pengambilan sampel data. Selain transkrip FGD, transkrip wawancara dan kuesioner pun tak luput menajdi unit analisis. Wawancara dilakukan terhadap pejabat struktural baik di Institusi pendidikan maupun pelayanan. Sedangkan kuesioner diisi oleh seluruh peserta FGD, data ini akan membantu menunjang data FGD dan menjadikan hasil analisis menyeluruh.
33
3.5 Teknik Penarikan Sampel Data Teknik pengambilan sampel yang dilakukan untuk penelitian ini menggunakan pengambilan sampling secara purposif di mana sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang diambil sebagai sampel karena dianggap memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitian. Karena pemilihan Informan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu sampel diambil berdasarkan maksud atau tujuan tertentu, maka strategi yang dipilih pun disebut convenience sampling. Adalah melakukan yang cepat dan cocok. Convenience sampling dipilih karena keterbatasan peneliti dan akses mendapatkan informan di istitusi pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan tidaklah mudah. Di dalam pelaksanaannya, FGD dibagi menjadi empat kelompok di setiap kota. Empat kelompok ini dipilih berdasarkan empat profesi tenaga kesehatan, yakni dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat. Berikut tabel pembagian kelompok peserta FGD tersebut, Tabel 3.1 Daftar Kelompok Peserta FGD
Kelompok FGD 1 :
Kelompok FGD 2 :
Kelompok FGD 3 :
Dokter dan Dokter Perawat dan Bidan Mahasiswa Gigi
Kedokteran
1. Dosen FK
1. Dosen FIK
2. Dosen FKG
2. Dosen
3. Dokter 4. Dokter Gigi
Kebidanan 3. Perawat 4. Bidan
Kelompok FGD 4 : Mahasiswa
dan Keperawatan
Kedokteran Gigi
Kebidanan
1. Profesi
1. Profesi
Kedokteran
Keperawatan
2. Profesi
2. Mahasiswa
Kedokteran Gigi 3. Mahasiswa
FK
semester 6 4. Mahasiswa FKG semester 6
dan
D3
Akademi Keperawatan 3. Mahasiswa
D3
Akademi Kebidanan
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, selain FGD, penelitian ini juga menggunakan teknik pengumpulan data lain yaitu in depth interview, dengan keterangan responden sebagai berikut :
34
1. Dekan Fakultas Kedokteran 2. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi 3. Direktur Poltekkes 4. Kepala Rumah Sakit Swasta 5. Kepala Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) 6. Wartawan
3.6 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang peneliti pilih akan disesuaikan dengan teknik pengumpulan data. Data primer yaitu dengan Focus Group Discussion (FGD) akan dianalisis dengan metode koding. Data sekunder terdiri atas dua yaitu Kuesioner dan In Depth Interview. Kuesioner akan dianalisis melalui tabulasi silang sedangkan data In Depth Interview akan sama dengan FGD yaitu menggunakan analisis koding. Dengan koding peneliti akan menemukan elemen-elemen yang nantinya akan dapat menggambarkan persepsi khalayak terhadap penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Sedangkan tabulasi silang membantu menemukan pola penggunaan media dari khalayak sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Neuman menggambarkan bahwa dengan koding peneliti mengembangkan penjelasan atau generalisasi yang mendekati data dan konteks konkrit. Penjelasan cenderung kaya akan detil, sensitif terhadap konteks, dan mampu untuk menunjukkan proses yang kompleks atau urutan kehidupan sosial. Tujuan peneliti adalah untuk mengatur detil spesifik menjadi gambaran, model, atau sekumpulan konsep yang saling terkait, yang koheren. Langkah-langkah koding dalam Neuman (2006:460-464) yaitu: 1. Konseptualisasi Membentuk konsep baru atau menghaluskan konsep yang didasarkan pada data yaitu mengenai konsep penjaminan mutu. Dengan demikian konsep-konsep ini dimaksudkan untuk mengatur data secara keseluruhan. Peneliti kualitatif menganalisa data dengan mengaturnya menjadi beberapa kategori berdasarkan tema, konsep, atau fitur yang serupa. Ia akan mengembangkan konsep baru, memformulakan definisi konseptual, dan memeriksa hubungan antar konsep. Ide dan fakta tergantung secara mutual. Dengan menganalisa situasi, peneliti
35
mengatur data dan mengaplikasikan ide untuk membuat atau menentukan suatu kasus. 2. Koding data kualitatif Peneliti mengatur data mentah ke dalam kategori konseptual dan menciptakan tema atau konsep. Koding merupakan dua kegiatan simultan: mekanik reduksi data dan kategorisasi analitik data. Koding data merupakan pekerjaan yang berat dalam mengurangi sejumlah data mentah yang besar menjadi setumpuk data yang manageable, yang terdiri atas:
Open Coding dilakukan pertama kali melalui data yang telah terkumpul. Open coding membawa tema ke permukaan dari dalam data. Seperti yang telah diingatkan oleh Schataman dan Strauss (1973:121), penting untuk peneliti untuk melihat konsep abstrak dalam data konkrit untuk bergerak maju dan mundur antara konsep abstrak dan detil yang spesifik. Hal yang pertama peneliti lakukan adalah dengan menjabarkan hasil transkrip FGD untuk ditabelkan dan dilabelkan. Peneliti mencari intisari maupun konsep dari jawaban tiap-tiap Informan. Setiap jawaban diberi intisari baru sesuai dengan kategori yang ingin peneliti buat. Intisari yang berupa kalimat pendek ini akan disatukan dengan yang berkategori sama dan diberikan label nama yang baru.
Axial Coding merupakan “second pass” data. (1) Dimulai dengan mengatur sekumpulan kode inisial atau konsep pendahuluan. (2) Fokus pada tema yang telah dikode dari pada fokus pada data. (3) Kode tambahan atau ideide baru mungkin muncul pada fase ini. Tambahan ini jelas harus dicatat, tapi tugas utamanya adalah untuk mereview dan menguji kode inisial. (4) Harus bertanya tentang penyebab dan konsekuensi, kondisi dan interaksi, strategi dan proses, dan mencari kategori atau konsep yang terkumpul. Axial coding tidak hanya merangsang pikiran tentang keterkaitan antara konsep atau tema, tetapi juga menimbulkan pertanyaan baru. Setelah melakukan open coding, sebelum memasukin axial coding, peneliti mengumpulkan jawaban-jawaban Informan yang dinilai sama dan diberi label nama/kategori baru. Agar lebih mudah dalam membantu mengoding, peneliti membuat hierarki koding, yaitu semacam tingkatan yang terdiri dari kategori umum lalu khusus. Hierarki ini sangat membantu peneliti
36
membangun dan mengkonstruksi kategori-kategori kecil menjadi lebih umum. Beginilah cara berpikir induktif, sehingga proses koding yang peneliti lalui sudah berada di jalan yang benar. Setelah menyusun kategori-kategori dan membuat hierarki, selanjutnya peneliti akan menggabungkan menjadi sebuah kalimat dan paragraf baru yang dikenal dengan nama selective coding.
Selective Coding memasuki tahap terkahir dari koding berarti telah menemukan tema besar dari penelitian persepsi khalayak dan pola penggunaan media ini. Selective coding melibatkan pemindaian semua data dan kode-kode sebelumnya. Dimulai setelah mempunyai konsep yang telah berkembang dengan baik dan telah memulai untuk mengatur keseluruhan analisis seputar beberapa inti generalisasi atau ide-ide. Selama selective coding, tema utama atau konsep pada akhirnya menuntun penelitian. Kategori-kategori yang terbentuk dalam axial coding membantu peneliti untuk membuat rangkaian cerita singkat yang akan membentuk selective coding. Rangkaian cerita ini akan menjadi tujuan akhir dari temuan penelitian. Maksud dan tujuan dari Informan akan tersimpulkan dengan jelas dalam bagian koding terakhir ini. Selective coding juga berguna dalam menjabarkan hasil temuan yang diungkapkan dalam bagian hasil dan pembahasan penelitian nanti. Keseluruhan koding yang peneliti buat akan dilampirkan sebagai lampiran di halaman paling belakang penelitian ini.
3.7 Kriteria Kualitas Penelitian Dalam menentukan kriteria kualitas penelitian terkait dengan penelitian ini, peneliti melakukan confirmability dengan melakukan pengecekan ulang antara sesama peneliti. Caranya yaitu dengan membandingkan hasil analisis FGD di satu kota dengan kota lain.
37
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Persepsi Mutu Persepsi mempunyai sifat subyektif, karena persepsi setiap orang terhadap suatu obyek akan berbeda-beda. Persepsi ini dipengaruhi isi memorinya. Menurut Webster,
persepsi
adalah
aktivitas
merasakan
atau
keadaan
emosi
yang
menggembirakan atau menghebohkan. Solomon mendefinisikan bahwa sensasi sebagai tanggapan yang cepat dari indera penerima (mata, telinga, hidung, mulut dan jari) terhadap stimuli dasar seperti cahaya, warna dan suara. Persepsi adalah proses bagaimana stimuli diseleksi, diorganisasi dan diinterpretasikan. Faktor persepsi setidaknya dalam hal ini dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti sikap, motivasi, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan. Variabellain yang ikut menentukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup individu. Namun hal yang terakhir disebut dalam laporan ini hanya akan menjadi variabel komplementer untuk mendukung analisa yang ada. Persepsi dalam hal ini akansanagat berpengaruh pada perilaku khalayak yang disasar dalam FGD yang kami lakukandanjuga akan mempengaruhi keputusannya dalam menentukan pemaknaan bagaimana dunia kesehatan dikenali. Dalam konteks ini kami membagi empat kluster wilayah pembahasan persepsi dalam kaitannya dengan mutu pelayanan kesehatan dan pendidikan kesehatan.Keempat kluster tersebut yakni, institusi pelayanan, sumber daya manusia di pelayanan, institusi pendidikan dan sumber daya manusia di pendidikan. Adapun raison d’etre dalam pembagian tersbut adalah untuk mempermudah pembacaan persepsi mutu yang nantinya akan semakin mengerucut dalam sub pembahasan selanjutnya dan juga demi kesesuaian ajeg tujuan yang telah ditetapkan dalam penelitian ini.
4.1.1 Persepsi Mutu di Institusi Pelayanan Jika ditanya pada publik kesehatan hari ini, apakah yang menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan? Maka kita akan menemukan dua kelompok besar jawaban. Pertama menyangkut dengan masalah institusi dan kedua individu tenaga kesehatan. Terlepas dua kategori tersebut, fasilitas menempati posisi paling atas daftar masalah
38
pelayanan. Hal ini terlihat dari terus berulanganya persoalanfasilitas sebagai sesuatu yang didengungkan oleh berbagai kelompok profesi kesehatan, mulai dari dokter, dokter gigi, perawat dan juga bidan.
“Kakak kelas saya pernah cerita, ada alat untuk foto rongga mulut, nah untuk rumah sakit kita saja itu alatnya sudah sangat tua. Biasanya pasien dirujuk ke rumah sakit. Itu kan sebenarnya yang harus memiliki alat itu sendiri kedokteran gigi, tapi kenapa harus dibawa lagi ke RS Umum” (FGD 3 Makasar). Pernyataan salah seorang informan dari Makassar ini memberikan gambaran mengenai bagaimana keresahan publik kesehatan, yang dalam hal ini, mahasiswa dan mereka yang baru saja menjalani koas atau pendidikan praktek, menghadapi kenyataan mininimnya fasilitas di lapangan. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada mahasiswa yang sedang belajar praktek, sebab faslilitas tersebut juga dipakai untuk pelayanan. Mengingat Rumah Sakit Pendidikan dan Rumah Sakit Umum belum terpisah secara utuh. Problem yang terakhir disebut juga menjadi keresahan yang bersinergi dengan soal fasilitas. Rendahnya mutu tenaga kesehatan, kurangnya pengetahuan dan keterampilan medis, disinyalir diakibatkan oleh minimnya kesempatan belajar praktek dalam kurikulum akibat keterbatasan fasilitas.
Dari mahasiswa dan magangnya jadi dokter, kalau dulu itu masih mantapmantap si ininya kerjanya. Tapi kalau yang sekarang kayaknya asal-asal, suntik saja ga tau. Jadi, kadang kita bertanya ini alumni dari mana? (FGD 1 Makasar) Munculnya istilah “partus pandangan” dalam diskusi, menandai hal tersebut. Banyak mahasiswa di Stikes (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan) kebidanan yang lulus belajar praktek tanpa pernah menolong persalinan. Kurangnya rumah sakit pendidikan dan banyaknya jumlah mahasiswa magang, membuat kesempatan belajar praktek semakin kecil. Pada akhirnya pasien menjadi rebutan. Mereka yang tidak mendapatkan kesempatan menangani persalinan pun terpaksa hanya menjadi penonton. Padahal sejatinya tujuan belajar praktek adalah untuk mengalami dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh di bangku kelas.Minimnya pengalaman praktek, membuat banyak lulusan pendidikan tinggi kesehatan, lebih hapal teori ketimbang cara menolong orang. Dan persis inilah yang disuarakan seornag informan di Medan.
39
“Seperti saya katakan tadi kalau teori dia tahu, tapi di praktek dia ga tau. Kita tau pak,lahan praktek tadi ,mungkin di dalam pendidikan sudah oke. Semua oke, fasilitas lengkap, dosen sudah lengkap. Tapi lahan praktek itu tidak bisa di laboratorium pak karena manusia panthom itu tidak selalu sama dengan manusia hidup” (FGD 2 Medan) Penekanan pentingnya fasilitas dalam masalah pelayanan kesehatan, tidak hanya terungkap dalam hubunganya dengan proses belajar praktek. Keresahan tersebut juga dimiliki oleh tenaga kesehatan yang berada di pelayanan, seperti terungkap dalam salah satu pernyataan kelompok FGD 1 di Bali.
“Pelayanannya sendiri , tapi bagaimana kita melayani dengan benar, sedangkan sebagai orang Indonesia kita punya keterbatasan peralatan, peralatan obat, dan lain sebagainya.” (FGD 1 Bali). Pada pernyataan tersebut tergambar jelas bagaimana hubungan antara fasilitas yang dimaksud informan dengan kualitas pelayanan kesehatan. Teknologi dan peralatan medis juga mencuat sebagai keterbatasan bagi upaya pelayanan. Bahkan dalam salah satu diskusi muncul pernyataan yang mengatakan bahwa minimnya kemampuan dokter untuk mendiagnosa penyakit secara tepat antara lain disumbang oleh minimnya perlatan medis yang terbaru. Jangankan pada hal yang demikian canggih seperti teknologi, obat sebagai kebutuhan mendasar pada prkatek pelayanan kesehatan, masih juga jadi kendala. Terutama pada ujung tombak pelayanan, Rumah Sakit dan Puskesmas, dimana tempat pelbagai kendala kesehatan menemukan tempatnya, pasokan obat pun masih kekurangan.
“misalnya kami butuh obatnya,kami kan bayar nih ke RS, kami butuh obat, lalu kata pegawainya “Maaf dik, obatnya habis” Terus pasien saya gimana dong? Dipulangin lagi”. Jadi maksudnya ya, tidak match antara penyediaan bahan dengan kondisi kami”(FGD 3 Makasar) Pada benak responden, fasilitas mengemuka sebagai faktor paling utama dalam pembentukan mutu layanan. Sementara ada jurang besar yang memisahkan antara harapan dan kenyataan. Inilah mengapa pada pertanyaan menyangkut mutu pelayanan kesehatan dewasa ini, jawaban responden bersifat murung. Tidak terkecuali pada instusi pendidikan.
40
“Teks booknya dari jumlah saja kurang. Kalau pun ada itu keluaran tahun-tahun berapa. Ada yang bagus 1-2. itu juga tidak bisa dipinjam”. “,mereka tidak menyiapkan diri.” (FDD 4 Makasar).
Situasinya menjadi tidak mudah. Apa yang terjadi pada konteks pelayanan diakibatkan juga oleh proses pendidikan dan sebaliknya. Minimnya fasiltas belajar praktek melahirkan lulusan yang inkompeten. Sementara kompetensi individu tenaga kesehatan kadang kali menjadi tidak berguna dihadapan kenyataan minimnya fasilitas layanan. Kesaling terhubungan antara mutu layanan dengan mutu pendidikan juga menjadi catatan yang tidak kalah penting sebagai faktor penentu pelayanan kesehatan.Sebagian dari komplesitas itu terungkap lewat pernyataan responden dibawah ini :
“Mungkin tambahannya adalah bahwa di pelayanan ada fasilitas-fasilitas yang sudah disediakan yang sudah modern tapi dia masih pake fasilitas yang sudah dia biasa. Jadi ketika saya di Maros praktiknya di bagian bayi udah ada incubator baru tapi dia masih pakai incubator yang lama. Parahnya lagi itu kalau kita ukur suhunya itu dia pake suhu normal tapi ternyata suhunya tidak ada sama sekali. Jadi itu bohong ternyata suhunya tidak ada. Padahal incubator yang baru sudah ada tapi tidak dipakai.” (FGD 4 Makassar) Artinya problem ini tidak hanya terkait dengan kurangnya fasilitas, kemampuan tenaga kesehatan mengoperasikan alat, juga jadi masalah lain. Melihat kenyataan ini diungkapkan oleh responden kelompok 4, kencenderunganya menunjuk pada pasa seniornya yang telah lama di pelayanan namun tidak pernah mengembangkan diri dengan pelbagai kemajuan termasuk kemajuan teknologi medis. Bisa dibilang nyaman dengan status quo. Pola konvensional yang sama juga berlaku dalam manajemen administrasi dan birokrasi. Lagi-lagi hal ini jadi keluhan responden kelompok 3(mahasiswa magang). Idealisasi yang mereka terima dikampus dengan istilah “saving time, saving life”, harus bertemu dengan birokrasi pelayanan yang berbelit dan kelambatan dalam penananganan pasien .
41
“Respons time untuk UGD idealnya 5 menit, tapi sampai sekarang, RS Wahidin pun masih ada yang sampai 8 menit. Ini masih jauh di bawah respon time yang seharusnya”(FGD 3 Makasar). Keresahan mengenai birokrasi rumah sakit menempati urutan kedua menyangkut isu pelayanan.Terutama bagi kelompok 3
dan 4.
Pertanyannya apa
pandangan dari kelompok FGD 1 dan 2, mereka cenderung mempersoalkan kebijakan pemerintah. Bagi mereka, persoalan manajemen administrasi dan birokrasi diakibatkan oleh kebijakan pemerintah mengenai Jamkesda (Jaminan kesehatan masyarakat daerah). Kebijakan tersebut dinilai membuat masyarakat “se enaknya” datang dan pergi ke Rumah Sakit. Untuk sakit-sakit yang sebenarnya tidak memerlukan dokter, karena kebijakan kesehatan gratis, membuat masyarakat mendatangi Rumah Sakit dan meminta pelayanan. Alhasil, kebijakan ini membuat peningkatan tajam jumlah pasien. Hal lain adalah minimnya upah dokter yang membuat dokter harus bekerja di beberapa rumah sakit untuk memenuhi kebutuhannya. Waktu kerja yang banyak membuat pelayanan tidak maksimal. Berbeda dengan senior mereka, para mahasiswa menilai institusi pelayanan terlalu berorientasi uang.
“Permasalahan birokrasi mempersulit pasien sendiri contoh misalnya pasien datang, ini pasiennya udah sekarat atau ibu hamil yang udah mau melahirkan, mungkin kan komplikasi kerja lebih parah, jadi pada saat itu pada saat di rekam tiba” minta panjaran uang panjaran uang supaya administrasinya”(FGD3 medan) Tanpa uang pangkal seseorang yang mendesak butuh pertolongan tidak bisa mendapatkannya. Ini adalah suara lazim yang ditemui dari kelompok FGD mahasiswa di empat kota. Institusi pelayanan dianggap telah kehilangan “nilai kemanusiaannya”. Konflik idealisme tampak kentara sekali antara mahasiswa praktek dengan mereka yang telah senior dalam pelayanan. Meski demikian, keduanya sama-sama bermasalah dengan manajemen administrasi. Hanya saja melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Beberapa hal lain yang menjadi catatan responden terkait manajemen administrasi dan birokrasi institusi pelayanan adalah ketersedian tenaga kesehatan dan peningkatan standar pelayanan. Hampir semua kelompk FGD menilai bahwa tenaga kesehatan yang ada jumlahnya masih kurang. Akan tetapi jika diteruskan, maka yang paling besar mengeluhkan hal tersebut adalah mereka yang berada di Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Hal ini terutama diakibatkan oleh keengganan dari tenaga 42
kesehatan untuk bekerja di Puskesmas terkait dengan isu kesejahteraan. Sementara Puskesmas adalah ujung tombak pelayanan, dimana jumalh pasien paling besar disana. Artinya, persoalan bukan terletak pada kurangnya jumlah pasien, melainkan persebarannya. Pada titik ini, responden mulai menilai variasi pelayanan yang timpang pada berbagai institusi sebagai suatu masalah. Ketimpangan ini dianggap sebagai akibat dari kegagalan manajemen administrasi dan birokrasi institusi pelayanan. Baru disinilah, responden masuk pada isu mutu yang sifatnya lebih substansial. Pandangan mengenai variasi pelayanan juga berkorelasi dengan keresahan berbagai kelompok fgd 3 dan 4, yang menilai rumah sakit dan puskesmas tidak memiliki standar pelayanan dan mekanisme untuk pengembangannya. Ragam latar belakang pendidikan tenaga kesehatan menjadi masalah dalam praktek pelayanan. Perbedaan tersebut berimplikasi pada metode pelayanan, sehingga komunikasi dan koordinasi menjadi sulit. Hal ini terutama dirasakan kelompok FGD 1 dan 2, yang lebih berpengalaman dalam praktek.
“.... Nah, itu, kalo masalah standardisasi ini juga jadi masalah antara perguruan tinggi antar centre, misalnya tentang keterampilan ya skill, skill keterampilan, nanti dari Unair bilang urutannya gini gini gini, tetep tidak bisa ketemu.... “ (FGD 1 Medan). Tidak berhenti disitu, para mahasiswa menilai bahwa tidak cukup memiliki standar, tapi juga perlu suatu mekanisme peningkatan standar. Sehingga praktek pelayanan tidak hanya jadi sekedar rutinitas. Peningkatan metode inilah yang dinilai masih belum ada pada institusi pelayanan.
“Perawatan luka masih konvensional. Meskipun ilmunya sudah berkembang namun ilmu itu tidak terpakai karena pelayanan di tempat bekerja masih konvensional. Belum diterapkan perawatan yang modern”. (FGD4 Makasar) Responden menyadari bahwa standarisasi merupakan faktor penting dalam pelayanan, dan hal ini pertama-tama harus dimulai dari pendidikan. Hanya saja, Persoalan ini menjadi isu yang paling terakhir ada dalam benak responden, setelah fasilitas, manajemen administrasi dan birokrasi, dan jumlah tenaga kesehatan.
43
4.1.1.1 Sumber Daya Manusia Institusi Pelayanan Nada murung yang sama dengan situasi institusi pelayanan, juga melingkupi jawabannya responden ketika ditanya soal persepsinya mengenai sumber daya manusia(SDM) di pelayanan. Masalah etika menjadi persoalan utama yang mengemuka. Mulai dari empati terhadap pasien yang dinilai kurang, hingga memosisikan pasien sebagai objek pembelajaran. Pada yang terakhir, hal ini terutama dikeluhkan oleh para mahasiswa yang belajar praktek di puskesmas.
“....jadi kan sepertinya kita itu jadi obyek pembelajaran, khususnya sama ibuibu hamil yang mau bersalin itu kan terus, gimana kan ya rasanya, rasanya kan bagi seorang wanita itu ya sakit, jadi kayaknya tangan itu berkali-kali itu sudah, jadi saya seperti itu, jadi saya sarankan jangan sampai di RS pemerintah.” (FGD 4 Surabaya) Para mahasiswa menilai cara senior mereka memperlakukan pasien amatlah tidak manusiawi. Pasien di posisikan sebagai “alat” belajar. Seperti penggambaran yang diberikan oleh seorang responden di Medan, dimana seorang ibu yang hendak bersalin ditangani oleh beberapa orang mahasiswa belajar praktek, situasi tersebut tentu saja akan membuat pasien tidak nyaman. Mereka saling memberi komentar mengenai kondisi pasien, sementara pasien sedag berjuang melawan rasa sakit, dan butuh kejelasan bahwa ia akan ditolong oleh mereka yang ahli. Praktek demikian juga diakui oleh mereka yang berada pada kelompok FGD 1 dan 2. Hanya saja argumentasi yang dibangun adalah bahwa hal demikian terjadi akibat kebijakan yang salah. Jumlah pasien yang banyak, membuat tenaga kesehatan kehabisan energi untuk memberikan pelayanan yang prima. Sudah menjadi suatu kencenderungan bagi tenaga kesehatan terutama pada kelompok FGD 1 dan 2 untuk melihat permasalahan dari sudut pandang eksternal. Bahwa kekurangan mereka terutama diakibatkan oleh kebijakan yang salah. Sementara hal yang sama juga dikeluhkan pada mahasiswa. Mereka yang telah senior dilapangan kerap kali menilai institusi pendidikan gagal memberikan pembekala etika pada mahasiswa yang belajar praktek di institusi pelayanan. Hal ini terutama akibat dari perilaku mahasiswa yang terlihat tidak peduli dan tidak mau belajar. Mahasiswa seperti tidak memiliki keinginan untuk menambal kekurangannya dengan pengalaman belajar praktek, bahkan cenderung menghindari pekerjaan yang didelegasikan senior pada mereka. Hal lain adalah mereka kurang menghormati senior mereka di Pelayanan.
44
Hal ini diindikasikan oleh keengganan mereka untuk menyapa para senior mereka ataupun menjukkan sikap yang hormat pada senior, seperti mengikuti arahan yang diberikan. Situasi inilah yang kemudian melahirkan pandangan bahwa “Tenaga kesehatan itu kalo baru tamat belum siap pakai” (FGD 2 Bali). Pengertian dari tidak siap pakai yang dimaksud tidak hanya soal etika, melainkan juga kompetensinya. Hal ini terungkap dari pengakuan senior mereka di pelayanan yang menilai mahasiswa hari ini bahkan gagal menguasai kompetensi dasar seperti menyuntik atau memasang cateter. Sementara disisi lain, para mahasiswa menilai senior mereka di pelayanan memiliki persoalan yang sama. seperti diungkapkan oleh salah seorang responden FGD kelompok tiga, berdasar pengalamannya sebagai pasien.
“Iya saya dulu alergi, dikasih (tidak jelas), waktu itu sama dokter... saya ke dokter umum, mereka cuma kasih incidal biasa, terus saya dikasih ini steroid.. saya diberi steroid oral dan diberi kortiko steroid yang dioles, katanya untuk menghilangkan gatal. Ternyata setelah saya pakai gak sembuh-sembuh saya ke dokterspesialis kulit ternyata dia salah, dari awal tu saya bukan alergi yang perlu diberi kortiko steroid oles itu, karena ternyata saya sakitnya alergi tu yang urtikaria. Jadi harusnya langsung aja diberi obat yang seperti.. apa ya.. seperti air liur, gak perlu diberi stereoid oral yang, kan merugikan kan, efek sampingnya besar tapi manfaat obatnya lebih kecil. Gitu. Jadi kan diagnosisnya saja sudah salah.” (FGD 3 Surabaya). Bila para senior menilai masalah kompetensi dari sudut pandangan kebijakan, maka para mahasiswa melihat hal tersebut sebagai akibat dari mengendurnya profesionalisme profesi dalam praktek di pelayanan. Selama ini mereka menilai problem kesalahan penanganan ataupun diagnosa lebih sering terjadi di rumah sakit pemerintah, dimana dokter dibayar dengan gaji yang lebih kecil. Sehingga melahirkan dugaan bahwa profesionalisme dikorbankan demi penghasilan. Nada miring semacam ini menjadi suara yang lazim muncul dalam FGD. Orientasi uang dalam pelayanan tidak hanya menjadi ciri dari institusi melainkan juga individu sdm pelayanan. Responden juga menilai ketidakmampuan untuk menyediakan pelayanan prima, seperti yang ditujukkan pada kasus salah diagnosa tersebut, juga diakibatkan oleh ketidakmampuan untuk membangun komunikasi yang efektif antara tenaga kesehatan dengan pasien. Kebanyakan tenaga kesehatan yang berada dilapangan tidak memiliki skill komunikasi yang baik. Untuk hal yang sifatnya sederhana seperti koordinasi saja, kerap kali menjadi masalah. “Ternyata memang diam di situ pasiennya kan, menunggu hasil laboratorium menunggu hasil foto, sebetulnya ya sudah ada tapi ga dikabari... 45
ternyata missed komunikasi”. Apalagi sesuatu yang sifatnya lebih substansial seperti mmeberi pejelasan mengenai kondisi pasien atau memberi motivasi pada pasien untuk berani menghadapi penyakit yang dideritanya. Mereka tidak biasa atau tidak terbiasa mendengar keluhan pasien dengan seksama. Padahal pada saat yang bersamaan mereka (Kelompok FGD 1 dan 2) menyadari bahwa 75% keberhasilan pengobatan ditentukan oleh kemampuan memahami penyakit yang diderita pasien, dan komuniikasi adalah salah salah satu jalan untuk itu. Lebih jauh dari komunikasi antara pasien dan tenaga kesehatan, komunikasi antar profesi kesehatan pun diakui merupakan masalah yang serius. Pengakun salah seorang responden FGD 1 Medan, mengungkapkan bahwa salah satu kesulitan penanganan penyakit adalah karena tidak adanya kerjasama tim . Dokter dan perawat terkadang tidak memiliki koordinasi yang baik. Masingmasing seolah bekerja dengan caranya sendiri. Situasi ini membuat proses pelayanan menjadi lambat sebab tidak adanya saling pengertian, tiap kali menghadapi pasien satu sama lain harus membangun komunikasi dan koordinasi. Begitu juga halnya diantara dokter-dokter spesialis tidak pernah terjalin komunikasi bersama untuk memecahkan kasus. Tidak ada pertukaran pengalaman dan keahlian dirasakan menjadi penghambat dalam pelayanan. Komunikasi yang terjalin selama ini sifatnya amat formal, dimana satu dokter merujuk pasiennya pada dokter lain. Tentu saja, hal demikian tidak begitu perlu jika hambatan komunikasi diantara satu dokter dengan dokter lainnya bisa diatasi. Alasan ini juga yang menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa pasien di beberapa daerah di Indonesia, lebih menyukai berobat keluar negeri (Malaysia dan Singapura).“Tadi satu kelemahan kita adalah bagaimana package pelayanan, komunikasi dokter kepada pasien, dan kerjasama tim tadi ya. Itu hanya bisa dilakukan kalau orang kerja di satu RS fokus.”(FGD I Medan). Sebagaimana pada persoalan etika, kelompok FGD 1 dan juga 2, memberikan jawaban yang konsisten atas kelemahan komunikasi yang mereka miliki, yaitu dukungan fasilitas dan kebijakan. Salah seorang responden kelompok FGD 1 Medan, mengungkapkan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengatasi persoalan pelayanan, selain penyeseuain upah dokter dan peningkatan fasilitas. Upah dibutuhkan untuk membuat dokter tidak harus bekerja di banyak rumah sakit. Dengan begitu, diharpkan dokter akan lebih fokus, dan pada akhirnya pelayanan akan semakin baik. Dokter akan lebih ramah dan komunikatif bila hanya menghadapi 10 orang dalam sehari, ketimbang 100.
46
Hal lain adalah diperlukannya suatu ruang kerja bersama dimana sesama dokter dan tenaga kesehatan lainnya bisa saling berkomunikasi secara informal, sehingga upaya penyelesaian kasus tidak perlu bersifat formal birokratis. Selama ini, ruang-runag yang ada di rumah Sakit, hanya mengakomodir individu. Para dokter spesialis memiliki ruang masing-masing, dan waktu kerja yang banyak tidak memberi mereka peluang untuk saling bicara mengenai kasus yang dihadapi satu sama lain. Pada akhirnya, tidak berbeda jauh dengan persepsi mengenai institusi pelayanan, pada soal sdm pelayanan pun, responden masih menilai komponen fasilitas sebagai penunjang mutu. Meski terungkap beberapa hal yang sifatnya substansial seperti komunikasi, kerjasama antar profesi, etika, dan kompetensi, sangat sedikit dari responden
yang
mengaitkannya
dengan
persoalan
diri
tenaga
kesehatan.
Kecenderungan umum, terutama pada kelompok FGD 1 dan 2, melihatnya sebagai akibat dari faktor eksternal, yaitu fasilitas dan kebijakan.
4.1.2 Persepsi Mutu di Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Ada beberapa hal yang menarik ketika membicarakan mengenai persepsi mutu di institusi pendidikan.Hal-hal yang berkelindan dalam kompleksitas permasalahan di institusi pendidikan tinggi kesehatan tak bisa terlepas dari hal ihwal kurikulum, dukungan kebijakan pemerintah, fasilitas, dan manajemen pendidikan.Yang terakhir disebut memiliki implikasi teknis terkait komposisi rasio dosen dan mahasiswa. Berangkat dari hal di atas, kemudian dapat diidentifikasi bahwa apa yang dipersepsikan terhadap institusi pendidikan tinggi kesehatan adalah masalah kurikulum dan dukungan pemerintah yang masih dianggap belum mengakomodir kebutuhan mereka. Yang terekam dalam konteks ini dari FGD yang kami lakukan adalah keluhan sekaligus harapan terhadap pembenahan serius di dua sektor tersebut.Apa yang dimaksud serius bagi mereka adalah, pengikutsertaan aktif semua lini yang nantinya akan menjadi bagian dari proses penyelenggaraan pendidikan tinggi kesehatan. Dari sini dapat ditarik hipotesa, bahwa baik shareholders maupun stakeholders dalam institusi pendidikan kesehatan harus diikutsertakan secara aktif. Dalam hal ini partisipasi aktif yang dimaksud bahkan sampai di level penyusunan kebijakan di institusi pendidikan tinggi kesehatan. Secara implisit mereka hendak menyampaikan suara
47
tentang bagaimana seharusnya institusi pendidikan tinggi kesehatan, karena mereka adalah bagian di dalamnya. Mereka secara eksplisit juga mendukung apa yang diinginkan tentang peningkatan mutu, kualitas, dan kompetensi melalui pendidikan. Baik berbentuk sebuah badan akreditasi (yang dalam hal ini seringkali diidentikan sebagai standardisasi) maupun uji kompetensi.Namun dengan syarat, transparansi menyeluruh. Berikut ini pemaparan lebih rinci mengenai apa yang telah dipaparkan sebelumnya. Tekanan pembahasan persepsi mutu di institusi pendidikan tinggi kesehatan akan difokuskan pada faktor dominan yang seringkali berulang diperbincangkan. Yakni kurikulum, dukungan kebijakan pemerintah, fasilitas, dan manajemen pendidikan.
4.1.2.1 Kurikulum Dimulai saat membicarakan mengenai pengelolaan praktikum di institusi pendidikan tinggi kesehatan, kami menemukan hal menarik di dalamnya.Minimnya akses terhadap lahan praktik, susahnya mencari pasien akhirnya menyebabkan munculnya praktik percaloan untuk mendatangkan ‘pasien’ yang digunakan untuk praktikum.Praktikum sebagai bagian yang tidak terpisahkan daalam kurikulum pendidikan tinggi kesehatan memang mendapatkan perhatian yang besar.Ini kamu jumpai melalui pernyataan responden di Surabaya.
“Kenapa kok saya nanyakan ini karena kan sebetulnya saya lihat itu keluhannya di fakultas kedokteran UB itu adalah anak-anak itu susah nyari pasien seperti itu.... dan sekarang yang bikin miris adalah semakin persaingan FKG itu semakin banyak ya.... maksudnya untuk apa ya beda ya antara kedokteran, kedokterann gigi itu beda banget ya, jadi untuk kita terjadi di RS di klinik kan karena RS berdiri sendiri itu kan kita kan cari pasien.... nah sekarang rasakan ya kita lihat ya mbak ya di tempat kita itu karena memang kebutuhan yang meningkat sehingga muncul yang namanya calo-calo itu.” (FGD 1 Surabaya) Selanjutnya, melalui sistem KBK (kurikulum berbasis kompetensi) dosenmahasiswa dinilai lebih efektif dalam menjalankan proses belajar mengajar. Beberapa responden
menyatakan
hal
ini
dikarenakan
system
KBK
merangsang
dan
memperlakukan peserta didik untuk lebih aktif mengisi ruang kelas dengan standar yang ada.Namun memang aspek fasilitas tetap dianggap belum mendukung penerapan system KBK yang ada.
48
“Tapi memang saya lihat memang beda dok kalo... saya ini penilaian saya dari kemarin yang bukan KBK ya bukan KBK mbak ya, mulain ini punya ini, sudah mulai beda... Iya, itu mulai karena kita sudah ada seperti itu memang terus terang waktu kita sebelum ada KBK memang belum ada yang seperti itu memang dari penilaian beda, heh kalo kamu gak boleh begitu sama pasien ginigini tapi kan untuk soalnya yang dilihat iq nya kan skill-skillnya aja jadi nilainya oh kalo kamu dapet... lebih baik ya.. tapi bagaimana perlakuan kita mulai ini anak sam pasien mulai kita memperlakukan sopan santunnya kan ndak pernah kan karena ya terus terang kalo kita di klinik umpamanya dosennya gak ada dilihat dari jauh oh anak segitu banyaknya ya mungkin gak bisa liat satu.” (FGD 1 Surabaya) Kemudian terkait akreditasi, penyelenggaraan standardisasi pendidikan tinggi terbilang sulit dilakukan karena tetap akan berbeda pada praktiknya. Hal ini terungkap dalam pernyataan responden di Surabaya.
“.... Nah, itu, kalo masalah standardisasi ini juga jadi masalah antara perguruan tinggi antar centre, misalnya tentang keterampilan ya skill, skill keterampilan, nanti dari Unair bilang urutannya gini gini gini, tetep tidak bisa ketemu.... “ (FGD 1 Surabaya) Kesadaran akan pentingnya akreditasi muncul seiring dengan kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan tinggi kesehatan, khususnya di ranah pendidikan tinggi kesehatan spesialis (kedokteran dan kedokteran gigi). Ini menunjukan bahwa, hal yang berbeda seperti akreditasi spesialis harus juga mendapatkan perhatian serius. “Kalo kami dispesialis tetap berusaha membuat standar. Karna kalo tidak ada standar kita ga bisa. Harus standar. Tapi ya memang sulit, tapi mau tidak mau kita harus menuju ke suatu standar itu. Sehingga kami calon, calon calon penguji absen, juga distandarisasi. Kita harus punya sim. Sim untuk jadi penguji minimallah, minimal mengurangi perbedaan. Kita harus menuji kesitu. Kalo nda ada standar gimana, kita mengatakan sesuatu udah cukup. Cuma mungkin absolut mungkin, tapi kita harus ada itu standar.” (FGD 1 Surabaya) Di wilayah pembicaraan yang lain mengenai kurikulum ,sistem pembelajaran yang menggunakan teacher centre dan student centre dalam beberapa hal dianggap memiliki keunggulan dan juga kelemahan di lain pihak. Seperti dikutip melalui pernyataan responden di Bali dan Makassar yang memiliki pandangan berbeda, seperti berikut.
49
“Saya kan fakultas sendiri.Pembelajaran saya masih sistem lama pake sistim uts uas jadi setiap 6 bulan sekali baru ujian selama satu bulan. Jadi dulu tuh masih saya pake teacher center tapi kalo skarang pake sistem student centre.” (FGD 1 Bali) “Belum lagi metode.. belum lagi metode.. metode pembelajaran yang ada itu kan metode yang baru, metode yang baru, tidak semua orang dia punya otak lari belajar dari teacher center kemudian menjadi student center” (FGD 1 Makassar) Selanjutnya, bahan ajar yang tidak updatemenjadi kendala dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar di kampus.Hal ini setidaknya menyebabkan beberapa responden dari dosen menilai, bahwa ketidakefektifan mereka mengajar bukan serta merta dibicarakan dalam konteks kompetensi saja, namun juga ketersediaan dan dukungan fasilitas.
“Tapi kembali lagi itupun tidak efektif terlebih kalau modul itu- itu aja dari tahun ke tahun. Maka metode copy paste terpaksa akan jalan. Kalau mau kita pakai jurnal dari luar,karena di luar selalu update. Kita pakai buku tua..” (FGD 1 Makassar) Kembali ke pembicaraan praktikum, menurut responden yang kami temui di Surabaya, sistem praktikum yang ideal seharusnya diarahkan pada pertanggungjawaban secara individual bukan secara kelompok.Ini dikemukakan karena nantinya ukuran kompetensi sebenarnya ditentukan secara individual. “Begini, kalo di instansi kami, itu sudah ada program kerja sama, jadi istilahnya ada dosen dari lahan dan itu kita anggap dosen tapi sebagai pembimbing juga. Itu adalah orang S1 yang ada di ruangan, itu kita lakukan di S1 keperawatan. Jadi lulus atau tidaknya mahasiswa itu juga dari klinik, kalo di kami. Kami sudah melakukan presertorship, dan mahasiswa nanti bertanggung jawab secara individu kalau dia ditugasi misalnya pasien DM. Nanti dia presentasi program sendirian. Kemudian pertanggungjawaban ke perseptornya bagaimana, ke pendidikannya juga bagaimana. Kalau kami begitu, sekarang baru dimulai.” (FGD 2 Surabaya) Dari sini akhirnya mengemuka sejauh apa perlu adanya pendidikan yang terstandar secara nasional dan termonitor. Juga perihal kompetensi yang dianggap perlu terstandar untuk menyaring lulusan karna menjamurnya fakultas kesehatan.Dengan demikian ini memperlihatkan bagaimana mutu institusi pendidikan tinggi kesehatan sebenarnya masih jauh dari yang diharapkan sevcara ideal. Padahal uSeperti yang dikemukakan oleh responden dari Surabaya berikut ini
50
“Perlu. Tapi pelaksanaannya tetap dimonitor, maksudnya jangan hanya membuat tapi.. ehehehe. Tapi pelaksanaannya masih tergantung universitas masing-masing.” (FGD 3 Surabaya)
4.1.2.2 Dukungan Kebijakan Pemerintah Pemantauan terhadap proses pendidikan di institusi-institusi pendidikan tinggi kesehatan kini menurun, dan dianggap tidak baik dari sisi mutu dan waktu. Hal ini terkait dengan logika supply and demand dimana kuota atau jumlah proporsional yang dibutuhkan institusi pelayanan seharusnya disesuaikan dengan jumlah lulusan yang dicetak dari institusi pendidikan tinggi kesehatan.Dengan demikian dapat dikatakan merujuk pada pernyataan responden di Bali berikut ini bahwa kini realitanya hal tersebut jauh berbeda.Maksudnya adalah, begitu banyaknya institusi pendidikan tinggi kesehatan hadir (khususnya stikes keperawatan dan akademi kebidanan) tanpa disertai daya serap pasar yang seimbang.
“ Kalo saya melihat kalau dulu di Kemnterian Kesehatan itu sangat ketat, kuota dibtasi kemudian yang namanya wajib kerja, kebutuhan dan akan di cetak berapa, itu benar-benar terpantau. Nah sekarang dibuka kran tidak ada pemantauan yang baik dari sisi mutu dan waktu” (FGD 2 Bali) Dalam hal ini peran pemerintah dinilai kurang memberikan dukungan nyata pada apa yang terjadi. Alih-alih menjadi regulator yang mengatur dan mengiringi proses pendidikan tinggi kesehatan, pemerintah malah membiarkan dibukanya kran izin pendirian institusi-institusi pendidikan tinggi kesehatan melalui kebijakan yang tidak jelas.
“Kalau teman-teman lihat itu ada 36 institusi yang ada di Makassar. Itu minimal melahirkan 100-500 partus pertahun. Jadi, dari kuantitas itu masalah dimana dia dipersoalkaan ini, di pendidikan..tidak diiringi dengan aturan yang ada.” (FGD 2 Makassar) “Iya iya dan tahun 2009 itu sudah ada edaran dikti bahwa tidak lagi diberi ruang untuk buka pendidikan di wilayah sulawesi, 2010 masih ada pak, yang dibutuhkan masih ada pak, padahal itu sudah diedarkan pak itu penyampaian bahwa tidak akan ada lagi pendidikan kesehatan di buka khususnya perawat dan bidan di wilayah sulawesi selatan, tapi 2010 masih ada pak, 2011 masih ada pak” (FGD 2 Makassar)
51
4.1.2.3 Manajemen Pendidikan Rasio dosen dan mahasiswa yang timpang.Dimana komposisi mahasiswa jauh melebihi komposisi dosen yang ada.Ini mengakibatkan efektifitas pengajaran tidak berjalan dengan semestinya.Ini tersirat dari pernyataan responden di Bali,“ Ujungujungnya kan jumlah, quota, quota antara dosen dan mahasiswa itu rasionya itu mahasiswanya itu terlalu banyak” (FGD 2 Bali) Hal yang demikian dikarenakan sistem pengelolaan institusi pendidikan tinggi kesehatan lebih berorientasi pada kualitas tanpa mengindahkan aspek kualitas lulusannya.Begitu banyak dan mudahnya pembukaan untuk calon mahasiswa baru tidak disertai dengan mekanisme seleksi yang ketat. Akibatnya load pengajaran yang harus dipenuhi dosen membludak dan berimbas pada mahasiswa yang merasa tidak dengan baik menyerap materi ajar di kampus. Ini memperlihatkan lingkaran masalah yang sulit diputus. Masalah manajemen pendidikan juga terkait dengan pemerintah dalam konteks tertentu.Seperti pemberian izin pendirian yang begitu mudahnya, sehingga persiapan institusi pendidikan kesehatan pun akhirnya dipersiapkan seadanya tanpa menejerial pendidikan yang baik.Seperti dapat dicermati dari penyataan responden di Medan berikut ini. “Udah parah sekali sebenarnya jadi menurut saya sebenarnya itu kalo mau mendirikan yayasan itu harusnya ada syaratnya, syaratnya hanya punya duit punya ijin dikti depkes pasti ada di belakang”nya yang perlu di perhatikan pada akhirnya kasian mereka juga sih” (FGD 4 Medan)
4.1.2.4 Fasilitas Bicara mengenai fasilitas, ketersedian yang memadai yang dibutuhkan sebuah lab diungkapkan responden sebagai berikut.Hal ini mengindikasikan bahwa faktor fasilitas juga menjadi hal yang penting.Walaupun diungkapkan sebagai keluhan, namun harapan dan idealisasi mengenai pembenahannya tersirat jelas dari sebagian besar responden.Berikut salah satu contoh pernyataan mengenai fasilitas dari responden di Makassar.
“Itu alat yang kita punya di laboratorium tidak sesuai dengan yang di lapangan. nach itu kami paham, tapi siapa yang mau mengadakan ini. atau mereka tidak tahu mengadakan itu alat modern sementara seperti di RS swasta tidak memandang kemampuan ekonomi.Misalkan di laboratorium hanya 1:5
52
misalnya.Kewalahan nanti mahasiswa.Dan itu ternyata banyak sekolah-sekolah yang tidak memiliki laboratorium.” (FGD 2 Makassar) “Kalau dari UMI,masih kurang sarana dan pra sarananya. Misalnya akses wifi itu kan, ada sih. Biasa jaringannya kurang bagus. Teks booknya dari jumlah saja kurang. Kalau pun ada itu keluaran tahun-tahun berapa. Ada yang bagus 1-2. itu juga tidak bisa dipinjam. mereka tidak menyiapkan diri.” (FGD 3 Makassar) Kemudian kurangnya rumah sakit pendidikan ternyata juga menjadi poin pembicaraan yang penting untuk diangkat.Salah seorang responden di Makassar menyatakan, bagaimana lulusan suatu institusi pendidikan tinggi kesehatan mampu mengaplikasika ilmunnya ke lapangan kalau fasilitas pendukungnya belum memadai, seperti RS.Pendidikan. Hal tersebut tergambar dari apa yang dikemukakan oleh responden di Makassar.
“Pada saat masuk ke klinik gagap kita, pendidikan kedokteran kan pendidikan yang berbasis pada melihat dan melakukan, sementara di makassar, ada 3 fakultas kedokteran, sementara RS pendidikan yang besar Cuma Wahidin. Sekarang kan banyak di wahidin tapi residen juga banyak ini.” (FGD 3 Makassar)
Ini mengartikan pada kami mengenai bagaimana fasilitas di daerah (dalam hal ini contohnya di Makassar) memang masih jauh diperhatikan.Kesenjangan antara ekspektasi mutu dari sebuah institusi pendidikan tinggi kesehatan dengan realita yang ada ternyata masih cukup tinggi. []
4.1.2.5 Sumber Daya Manusia Pendidikan Tinggi Kesehatan Institusi pendidikan kesehatan senantiasa berupaya untuk menghasilkan kualitas pendidikan kesehatan yang baik terutama untukmenuju mutu pelayanan kesehatan terhadap masyarakat di institusi layanan prima.Untuk meraih tujuan tersebut harus memiliki unsur-unsur penting, salah satunya adalah kompetensi.Kompetensi adalah kemampuan minimal dalam bidang pengetahuan, keterampilan, serta sikap dan perilaku profesional untuk dapat melakukan kegiatan di masyarakat secara mandiri.Oleh karena itu, dalam bagian pembahasan ini yang dilihat lebih lanjut adalah mengenai persepsi terhadap SDM pendidikan kesehatan yang sesungguhnya berhubungan dengan institusi layanan kesehatan. Hal ini diperkuat dalam beberapa temuan FGD yang kami lakukan, bahwasanya pembicaraan mengenai kompetensi tenaga pengajar serta sistem kurikulum
53
pembelajaran di pendidikan tinggi kesehatan mendapatkan penekanan yang kuat dalam beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain, keluhan mengenai sistem praktikum yang kurangnya up grade metode pengajaran.
“Kadang ada staf pengajar yang udah tua tu, kalo ngajar rindik-rindik, terus kadang ada yang gak mengupdate ilmu juga, gitu, atau masih sangat konvensional cara belajarnya, itu juga masih ada. Masih pake OHP juga ada juga.” (FGD 3 Surabaya) Pengaturan mekanisme praktikum menjadi penting dalam kurikulum pendidikan tinggi kesehatan secara keseluruhan.Setidaknya ini menjadi bagian penting dari bagaimana relasi antara SDM pendidikan kesehatan dengan kurikulum pendidikan kesehatan terlihat efektif.Sistem pendidikan yang integral melingkupi pengaturan praktikum dianggap berpengaruh dalam pembentukan kompetensi lulusan.Seperti terlihat dalam pernyataan salah satu responden mahasiswa di Medan.
“Kita gak dapet tindakan karena banyakanya mahasiswa yang dinas kemudian banyaknya senior yang memberikan tindakan pada juniornya jadi seperti institusi apa ya lebih di jalankan lagi ditegakkan lagi sistem dinas di pendiidkan itu jadi kan pada saat kita lulus kita lebih berkompetensi”(FGD 4 Medan) Kemudian kuantitas pengajar dan kompetensi pengajar juga mengemuka berulang kali dalam konteks kemampuan penguasaan materi dan pengalaman mengajar.Ini setidaknya ternyata terkait dengan jenis institusi pendidikan yang ada, yakni negeri dan swasta.Vis a vis keduanya begitu mengental terlihat tidak hanya dari segi kualitas namun juga kredibilitas. Hal ini dapat ditilik dalam penggalan pernyataan dari responden berikut ini.
“Kita to the point aja, kalau kita di negeri itu kan sudah terstandar ya? Kalau kita make dosen luar lebih banyak maka kualitas kita jelek. Nah, kalau swasta inikan rata2 masih banyak memakai dosen dari luar. Mengapa seperti itu? Bahwa mereka berarti belum memenuhi kriteria itu” (FGD 1 Makassar) Ditambah lagi idealisasi yang terekam dalam penyataan berikut memperlihatkan kaitan standar pendidikan dosen yang seharusnya minimal memiliki title S2 ternyata berkaitan dengan kualitas pengajaran yang diberikan. Di lain pihak faktor pengalaman juga dibicarakan dalam kerangka standar pendidikan atau title tenaga pengajarnya. Ini
54
memberikan gambaran bahwa sistem standarisasi dalam pengelolaan pendidikan dibidang SDM pendidikan belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, “Sekarang memang ya bagus juga bagus juga,,sekarang s1..s2...dosen harus s2 minimal jadi kualitasnya juga lebih baik. skrang s1 tidak bisa memberi pengajaran” (FGD 1 Bali)
“Lalu soal pengalaman, kan sudah ada aturan pendidik harus yang punya pengalaman, tetapi kenyataan di dalam penerimaan mahasiswa misalnya untuk D4 kan mereka diajarkan untuk jadi calon pendidik, tapi kok angkatan 2010 di tahun 2011 sudah diangkat sebagai pendidik, nah bagaimana dengan syarat pengalamannya? Nah apakah pengalamannya itu hanya diitung dari pengalaman yang didapat ketika D3?” (FGD 4 Makassar) Di lain pihak namun masih terkait dengan masalah kompetensi adalah kemampuan berbahasa Inggris yang dimiliki oleh SDM pendidikan tinggi kesehatan juga dirasa kurang. Padahal kemampuan dan penguasaan secera aktif terhadap bahasa Inggris menjadi poin penting tambahan.Dengan iklim kompetisi global yang semakin menguat, beberapa responden mahasiswa menjawab bahwa hal tersebut sangat diperlukan untuk bisa bersaing secara global.Namun pada kenyataannya hal tersebut belum efektif terasa dalam iklim pendidikan tinggi kesehatan.Ini tergambar dalam pernyataan berikut.
“.....yang kedua adalah mmm ini kemampuan berbahasa inggris.nah kita itu mungkin mungkin kalo kemampuan pasif mungkin bisa ya.tapi kemampuan aktif kurang.tapi kata-kata saya bisa itukan standarnya sesama teman, tapi kalo dibandingkan dengan negara lain, indonesia itu sangat tidak bagus bahasa inggrisnya.” (FGD 3 Surabaya) Selanjutnya, selain kemampuan berbahasa asing, ternyata temuan di lapangan juga membicarakan mengenai pentingnya aspek teknologi komunikasi sebagai sebuah faktor pendukung dalam pendidikan. Yang dirasakan adalah tenaga pengajar yang tidak familiar dengan teknologi komunikasi menjadi kendala tersendiri dalam proses belajar mengajar. Hal ini tentunya memberikan pengertian bagaimana kompetensi SDM pendidikan dilihat tidak hanya dari segi akademis.Namun demikian juga penting dicermati sebenarnya bagaimana SDM pendidikan awareterhadap perkembangan yang terjadi seputar pendidikan melalui teknologi komunikasi yang ada.
55
“Ya.. ya pengalaman juga dulu waktu kuliah dosenku malas sekali, balas emailnya,.. Kita jadi susah konsultasi, konsultasinya di fakultas toh… padahal diluar itu, mau dimanapun dosennya lagi ngajar di China, ngajar di Jepang, di singapura itu, kita itu dikasih feedback.. 5 menit sudah ada feedback., ada feedback disini ya… hehe” (FGD 4 Surabaya) Lebih jauh dari hal demikian, faktor fasilitas pun masih mencuat sebagai suatu keresahan
tersendiri,
dimana
beberapa
responden
di
kota
yang
berbeda
mengemukakan hal tersebut. Namun demikian, sebagian besar informan menganggap kebutuhan oleh institusi pendidikan masih jauh dengan ketersediaan fasilitas yang ada saat ini. Institusi pendidikan pemerintah mempunyai standar operasional prosedur (SOP) penanganan kasus yang harus ditaati dokter, sedangkan di praktik swasta tidak ada SOP.Ditambah lagi dengan kesenjangan fasilitas lab bagi kedokteran atau kedokteran gigi di negeri dan swasta.Ini setidaknya memperlihatkan adanya ekses diskriminasi yang dirasakan antara tenaga pendidikan negeri dan swasta yang berimbas pada lulusannya. Seperti yang dikatakan oleh responden dari Surabaya, “Kalo menurut saya sih sempet ada diskriminasi antara swasta dan negeri, dari institusi swasta dan negeri lulusannya” (FGD 4 Surabaya) Sebagai tambahan beberapa hal yang dirasakan oleh responden dalam konteks fasilitas yakni ketersediaan obat dan pengenalan jenis-jenisnya, dokter perlu diberikan pengenalan sedari awal di Fakultas Kedokteran sebelum mereka terjun di masyarakat adalah terutama tentang penggunaan obat atau pengobatan yang rasional dan evidence based medicine yang sekarang banyak dibicarakan. Kemudian usulnya dapatdiberikan penyegaran kembali melalui seminar oleh IDI melalui kampus-kampus.Berikut cuplikan pendapat dokter dokter di RSUP Bali.
“…perlu ditambah untuk pengobatan rasional dengan obat yang ada. Ilmu berkembang jadi perlu diberikan sesuai keperluan. Misal sekarang masalahlansia, CVD …, belum pakai evidence base, kecuali yg dikasih di kuliah saja.” (FGD 2 Bali) Pilihan pada keberulangan isu yang demikian menjadikan pembacaan mengenai SDM di pendidikan kesehatan ternyata setali tiga uang dengan yang terjadi di Institusi pelayanan dan SDM pelayanan.Korelasi yang begitu nyata terlihat dalam aspek fasilitas dan kompetensi SDM yang tersedia.Bahwa minimnya dukungan fasilitas dalam berbagai segi, seperti lab (dalam konteks praktikum) dan buku penunjang materi pengajaran yang
56
kurang disinyalir menjadi faktor kendala yang cukup kuat memengaruhi mutu SDM di pendidikan kesehatan.Seperti disinggung di atas bahwa perkara fasilitas lab ini juga mencuat menjadi satu yang penting terlihat dalam pernyataan berikut.
“Seperti saya katakan tadi kalau teori dia tahu, tapi di praktek dia ga tau. Kita tau pak,lahan praktek tadi ,mungkin di dalam pendidikan sudah oke. Semua oke, fasilitas lengkap, dosen sudah lengkap. Tapi lahan praktek itu tidak bisa di laboratorium pak karena manusia panthom itu tidak slalu sama dengan manusia hidup” (FGD 2 Medan) Ditambah lagi dengan kompetensi pengajar dan mahasiswa pendidikan tinggi kesehatan, yang mana penguasaan terhadap keilmuan dan hal yang berkaitan dengannya (teknologi dan bahasa asing, e.g inggris) sangat kurang. Hal ini memperlihatkan bahwa ada semacam tendensi dalam realita SDM di pendidikan kesehatan belum cukup siap memenuhi apa yang ingin diharapkan semestinya dari kualitas SDM pendidikan tinggi kesehatan. Seperti yang mengemuka pada pernyataan berikut ini bahwa dalam pengajaran, tenaga pengajar maupun mahasiswa merasa tidak maksimal dalam mengaplikasikan ilmu melalui praktikum.
“Pendidikan rasanya itu ya tidak kurang-kurangnya ya. Tapi saya merasakan pada saat pre klinik. Kan pendidikan itu kan bagus, sudah disimulasi dulu sebelum sampai ke pasien. Tiba pada saat dengan manusia yang sesungguhnya kan dia sudah ahli. Tapi kenyataannya, lalu di klinik itukan pasien segitu banyaknhya, terutama Dr. Soetomo tidak usah dicari, mbludak sekali jadi kalo untuk belajar itu cukup, tapi kemauan untuk memeriksa, untuk apa, padahal perangkat untuk untuk belajar tuh sudah, tapi tidak melaksanakan. Apakah bener ya bener ya disekolah yang sebelum klinik itu jadi waktu disitu dia sudah lelah ato bagaimana. Saya masih bingung, saya masih mencari. Jadi kenyataannya kalo kita tanyakan stake holder, ko lulusannya tidak kayak dulu.” Kendala lainnya yang dirasakan dalam kaitanya dengan peningkatan kompetensi dosen adalah sedikitnya waktu yang diluangkan para tenaga pengajar untuk menulis di jurnal
ilmiah
kesehatan.Hal
ini
ditemui
dalam
FGD
yang
dilakukan
di
Medan.Mengomentari pertanyaan mengenai kualitas pengajar di Medan, secara garis besar responden menyatakan bahwa tenaga pengajar yang ada kurang dikenal dalam beberapa literatur jurnal ilmiah kesehatan.Padahal mereka merasa bahwa hal yang demikian semestinya diharuskan dan sangatlah baik bagi dunia pendidikan kesehatan.Namun kendala waktu mengajar dan kesibukan lainnya di luar mengajar
57
menyebabkan sebagian besar SDM pendidikan yang ada tidak melakukan hal tersebut.Ini seperti terungkap dalam salah satu pernyataan yang ada dalam FGD di Medan, “Dosennya harus sering nulis di jurnal.. nah, dosennya kan ada yang ngawas seperti literatur ini, dosennya mengajar lagi” (FGD 1 Medan) Berbicara mengenai pendidikan, tentunya proses belajar mengar yang terjadi juga menumbuhkan motivasi belajar yang kuat. Dalam hubungannya dengan sistem pendidikan yang ada, satidaknya dapat dilihat bagaimana proses civitas akademik membangun atmosfer akademis terjalin. Di Medan, hal yang demikian diungkapkan sebagai sistem stimuli dalam proses belajar mengajar. Artinya melalui kurikulum KBK dirasa mahasiswa dapat terangsang untuk lebih aktif dan berefek baik bagi peningkatan keilmuan mereka. Namun jika tidak ada dorongan dari pihak institusi pendidikan tinggi kesehatan itu sendiri, maka mahasiswa akan pasif menunggu tanpa dukungan yang sistemik untuk proses pendidikan mereka. Kebutuhan kurikulum yang sesuai ini yang terpotret menjadi kebutuhan yang juga penting.Motivasi belajar artinya juga berkorelasi aktif dalam penyusunan kurikulum pembelajaran yang sesuai.
“Jadi kalau dengan KBK mahasiswanya semuanya aktif, semuanya punya semangat untuk belajar, saya pikir mereka jauh lebih bagus dari kita. Tapi kalau tidak didorong,,,, mereka, hanya sebagian yang mengerjakan tugas tutorialnya, yang lain cuma menunggu.” (FGD 1 Medan) Dari pemaparan di atas dapat ditarik sebuah konklusi sementara dalam melihat kompleksitas realita SDM di pendidikan kesehatan.Bahwa masalah kompetensi tenaga pengajar, kurikulum, motivasi belajar serta dukungan fasilitas merupakan tema sentral dalam menbaca masalah yang ada.Kaitan di antara keempat komponen tersebut menjelaskan bahwa SDM pendidikan yang ada kini berdiri dengan kompetensi yang masih kurang dan sistem maupun kurikulum pendidikan yang segera harus dibenahi. Sebagian besar responden yang ditemui menggarisbawahi mengenai kompetensi, mekanisme praktikum
dan sejalan dengan ketersediaan fasilitas pendidikan yang
memadai. Ini menjadi catatan tersendiri bagaimana seharusnya strategi pemberdayaan yang akan dilakukan mampu menyentuh ranah masalah yang terpaparkan di atas. []
4.1.3 Analisis Persepsi Mutu Kalaulah ada satu kesimpulan yang dapat ditarik dari pertanyaan, apa yang dimaksud mutu dalam benak publik kesehatan, maka jawabnya adalah fasilitas. Tentu 58
saja, jawaban itu terlalu menyederhanakan, namun fasilitas merupakan unsur paling dominan dalam pembentukan persepsi mengenai bermutu atau tidaknya institusi pendidikan kesehatan ataupun tenaga kesehatan. Sebagai telah dijelakan dibagian awal, temuan kami menunjukkan bahwa pada isu mengenai institusi pendidkan maupun pelayanan, fasilitas faktor yang berada dalam peringkat pertama di benak responden. Sementara isu mengenai standarisasi pelayanan, menempati poisisi 3 setelah fasilitas dan manajemen administrasi rumah sakit. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada isu mengenai sumber daya manusia di pelayanan. Jawaban paling pertama yang terlintas adalah tenaga kesehatan hari ini minus etika dan empati. Sikap yang mnjadikan uang sebagai tujuan telah mengalahkan sumpah profesi untuk menolong. Mulai dari memperlakukan pasien sebagi objek pembelajaran sampai dengan perlakuan yang tidak profesional, seperti membiarkan pasien menunggu lama, terungkap dalam FGD. Jika kita perhatikan selintas, hal ini tentu positif. Tenaga kesehatan menyadari apa yang menajdi kekurangan mereka dan keresahan masyarakat pengguna jasa kesehatan. Namun bila isu tersebut di telusuri lebih jauh, maka kita akan menemukan pelbagai hal yang akarnya tidak jauh dengan persoalan pada istitusi pendidikan dan pelayanan, yaitu fasilitas. Pertanyaan kemudian, apa hubungan antara etika dan empati dengan fasilitas? Salah satu indikator dari kuranganya empati dan etika berdasar temuan kami adalah komunikasi. Responden kera kali mengakui bahwa proses penyembuhan pasien 75% ditentukan oleh keberhasilan membangkitkan motivasi pasien dan memahami penyakit. untuk memenuhi keduanya, komunikasi tidak lain merupakan faktor yang penting. Melalui komunikasilah empati terjalin. Melalui komunikasi jugalah diganosa yang tepat dimungkinkan. Hal ini diakui oleh semua kelompok respon yang terlibat dari FGD. Namun hanya dua kelompok saja, 3 & 4(mahasiswa belajar praktek) yang melihatnya sebagai probelm profesionalitas atau masalah penghayatan atas profesi dan etika dari tenaga kesehatan. Senior mereka yang tenaga kesehatan dilapangan dan menjadi pemegang kebijakan pendidikan kesehatan justru melihatnya dari sudut pandang lain. Bagi mereka persoalannya adalah kebijakan pemerintah. Besarnya jumlah pasien yang dimungkinkan oleh fasilitas kebijakn seperti Jamkesmas(Jaminan kesehatan masyarakat) dan Jamkesda (Jaminnan kesehatan masyarakat daerah), tidak berimbang dengan tenaga kesehatan yang ada. Ketimpangan tersebut membuat waktu kerja tenaga kesehatan melampaui
59
yang mungkin mereka berikan, hasilnya pelayanan pun jauh dari prima. Komunikasi menajdi seperlunya, karena orientasinya adalah kecepatan. Upah jasa profesi juga menjadi faktor yang dinilai publik kesehatan ikut bertanggungjawab pada rendahnya mutu pelayanan. Kecilnya jumlah jasa profesi membuat tenaga kesehatan harus bekerja dibanyak rumah sakit untuk memenuhi kebutuhannya. Alhasil, waktu kunjungan dokter pun harus dipersingkat untuk memenuhi tanggung jawab dibanyak rumah sakit. Komunikasi dokter pasien sebagai faktor utama kesembuhan pun dikorbankan. Selain upah, faktor lainnya adalah fasilitas. Minimnya kordinasi antara profesi dalam pelayanan diakibatkan oleh kurangnya komunikasi, dan hal ini dimungkinkan oleh minimnya fasilitas. Temuan kami dalam FDG kelompok satu medan misalnya, menegaskan bahwa tidak adaya ruang bersama untuk dokter spesialis dan dokter umum, menumpulkan komunikasi diantara mereka. Faktor ruang menentuka pola komunikasi yang terjadi. Selama ini dokter spesialis memiliki ruang sendiri-sendiri, Sehingga proses penyembuhan pasien yang seharusnya hanya membutuhkan konsultasi antara satu dokter dengan dokter lain atau dokter dengan perawat, harus melalui mekanisme rujukan yang memakan waktu dan biaya. Sekali lagi fasilitas jadi persoalan. Skenario yang sama dipercaya oleh kelompok FGD 1 dan 2 juga jadi penyebab dari minimnya kompetensi tenaga kesehatan. Minimnya fasilitas dinilai jadi akar dari rendahnya kompentensi tenaga kesehatan. Hal ini dilihat dalam kaitannya dengan minimnya Rumah Sakit Pendidikan, tempat dinilai calon tenaga kesehatan memiliki kesempatan untuk belajar praktek. Sementara dalam pelayanan sendiri, belm diadopsinya teknologi terbaru, membuat pelayanan tidak maksimal. Meskipun ini juga berhubungan dengan tingkat kemampuan mengaplikasikan teknologi yang kurang dari tenaga kesehatan. Pada akhirnya, dengan logika diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penunjang mutu dalam hal ini fasilitas, dinilai sebagai poin yang amat penting dari komponen mutu. Pandangan demikian menujukkan dua hal yang menajdi kesenjangan antara nilai mutu ideal yang hendaknya menjadi semangat dari HPEQ (Helth Profesional Education Quality) dengan persepsi mutu dibenak khalayak kesehatan. Pertama, teriakit dengan nilai mutu yang berbasikan diri atau profesionalitas tenaga kesehatan. Bila HPEQ menilai bahwa mutu pertama-tama merupakan tanggung jawab personal seorang prfesional dan menjadi sesuatu yang sifatnya integral dalam profesi
60
yang dihayatinya, maka publik kesehatan masih menilai mutu sebagai tanggung jawab institusi atau pun emangku kepentingan yang lebih luas dalam hal ini pemerintah. Itulah mengapa persoalan terkait mutu melulu dikaitkan dengan kebijakan dan ketersediaan fasilitas. Kedua, pandangan mengenai mutu yangmerupakan tanggung jawab dari pemangku kepentingan yang lebih luas, mau tidak mau melahirkan gagasan bahwa kesehatan masyarakat dan mutu pelayanan adalah juga tanggung jawab pemerintah. Ini sekali lagi bertentangan dengan semangat HPEQ yang mengusung kemandirian profesi. Publik kesehatan melihat persoalan pelayanan dan pendidikan kesehatan yang muaranya adalah kesehatan publik luas, merupakan area tanggung jawab pemerintah. Untuk itu, mereka sebagai abdi negara (PNS) perlu untuk difasilitasi secara maksimal dengan mencapai tujuan tersebut. Apa yang hilang atau timpang dari tujuan HPEQ dan persepsi publik kesehatan adalah gagasan mengenai tugas profesi kedokteran dan kesehatan lainnya untuk menolong sebagaimana tertera dalam sumpah dokter. Kesehatan masyarakat bukan hanya soal pemerintah, sebagai intelektual publik, seorang tenaga kesehatan pertama-tama bertanggung jawabkan pada publik dan tujuan ideal dari profesinya, bukan pemerintah.
4.2 Akreditasi Kualitas sebuah institusi dapat diketahui melalui suatu penilaian yang disebut akreditasi. Akreditasi ini sangat perlu dilakukan karena dapat menunjukkan kualitas institusi. Kualitas institusi itu sendiri erat kaitannya dengan kualitas lulusan. Institusi, dalam hal ini institusi pendidikan kesehatan, yang memiliki akreditasi baik tentu menjadi salah satu kunci penting dalam memproduksi lulusan tenaga kesehatan yang baik, sehingga secara tidak langsung, kualitas institusi turut menentukan kualitas pelayanan kesehatan di masyarakat. Hingga saat ini, akreditasi institusi pendidikan tinggi di Indonesia dilakukan oleh sebuah badan akreditasi yang dibentuk oleh pemerintah, atau dikenal dengan istilah Badan Akreditasi Nasional – Pendidikan Tinggi (BAN-PT). BAN-PT merupakan satusatunya badan akreditasi yang diakui di Indonesia. Berarti, setiap institusi pendidikan yang didirikan harus melalui proses akreditasi oleh BAN-PT. Data yang dimiliki Dikti menunjukkan terdapat 954 dari 2253 program studi kesehatan yang belum terakreditasi
61
oleh BAN-PT. Hal tersebut menunjukkan pemenuhan kebutuhan akreditasi masih belum tercapai. Padahal, akreditasi ini merupakan penentu kualitas institusi.
4.2.1 Persepsi Positif Akreditasi Hasil Focus Discussion Group yang dilakukan di Medan, Surabaya, Bali, dan Makassar menunjukkan bahwa baik dari kalangan pengajar, profesi pelayanan kesehatan, dan mahasiswa dari empat profesi kesehatan, yaitu dokter, dokter gigi, perawat, dan bidan, merasakan perlunya akreditasi institusi pendidikan tinggi kesehatan. Mereka berpendapat bahwa akreditasi menjadi suatu kebutuhan untuk mengontrol kualitas institusi. Kontrol institusi lebih jauh lagi berarti kontrol terhadap komponen-komponen dalam institusi tersebut yang meliputi sdm, kegiatan belajar mengajar, kurikulum, pembelajaran, sarana prasarana, dan sistem manajemen institusi pendidikan. Hal ini disampaikan oleh seorang responden FGD di bali yang mengatakan bahwa:
“Bagi saya akreditasi penting dilakukan, akreditasi kampus. Supaya dari pihak kampus, dosen, maupun mahasiswa meningkatkan kualitas, tidak hanya kuantitas.” (FGD 4 - Bali) Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kualitas lulusan. Baik buruknya suatu institusi pendidikan, sudah tentu menjadi salah satu faktor yang berperan dalam penentuan kualitas lulusan. Melalui sistem kurikulum, pembelajaran yang baik, dosen pengajar berkualitas akan turut membantu membentuk lulusan yang berkualitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akreditasi institusi pendidikan yang mencerminkan kualitas institusi menjadi salah satu cara untuk mengontrol kualitas lulusan. Hasil akreditasi yang diberikan kepada institusi menjadi refleksi kualitas institusi dan menjadi bahan evaluasi progress institusi dalam lima tahun, evaluasi mengenai apa saja yang kurang dan perlu diperbaiki dari institusi tersebut. Selain itu, akreditasi juga meningkatkan daya saing sebuah institusi untuk berlomba meningkatkan kualitasnya. Suatu contoh nyata disampaikan oleh seorang peserta FGD dari Medan:
“Menurut saya akreditasi itu ya penting emang menentukan kualitas sekarang ya seperti kayak dulu sewaktu saya ke trisakti dari B ke C dari situ semua sistem di rombak abis-abisan dari fasilitasnya jadi apa yang menjadi catatan tim advisor
62
yang disana di sasak semua yang salah “ yang kurang “ yang menyebabkan nilai B jadi C jadi mereka jadi termotivasi untuk lebih mengejar prestasi nilainya itu” (FGD 3 - Medan) Hal serupa juga disampaikan oleh mahasiswa keperawatan dari Makassar:
“Baru-baru ini kami mengalami akreditasi dari BAN PT selama ini akreditasi kami dari.. (tidak jelas) ternyata kalo kami dapat perbandingan ternyata nilai kami masih C bukan berarti bahwa kami tidak berusaha, Cuma memang masih banyak yang harus kami benahi kalo kami pikir-pikir” (FGD 4, Makassar) Akreditasi telah dipandang oleh para peserta FGD sebagai suatu kebutuhan yang mendesak. Makin menjamurnya institusi pendidikan kesehatan menuntut suatu kejelasan kualitas institusi tersebut. Selain mencerminkan kualitas institusi, akreditasi institusi juga turut menentukan kesempatan lapangan kerja tenaga kesehatan. Beberapa lapangan kerja seperti PNS mensyaratkan bahwa para calon PNS berasal dari institusi yang berakreditasi. Ketika institusi tersebut tidak terakreditasi, para lulusannya lah yang akan dirugikan.
4.2.2
Persepsi Negatif Akreditasi Terlepas dari peranan akreditasi secara konseptual yang turut menentukan
kualitas suatu institusi, masih terdapat kekurangan-kekurangan yang ditemukan dan dialami dalam praktik di lapangan. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, kekurangan akreditasi yang berjalan sekarang dapat dibagi menjadi empat kelompok besar, yaitu pemenuhan instrumen, asesor, dan transparansi hasil. Adanya ketidaksesuaian pelaksanaan terhadap keempat hal tersebut mengakibatkan keraguan atas kualitas institusi pendidikan tinggi kesehatan. Lebih jauh lagi, tentu akan berdampak pada kualitas lulusan yang akan diragukan oleh masyarakat. Kesulitan pemenuhan instrumen yang dimaksud adalah parameter yang dirasa tidak realistis sehingga sulit dipenuhi oleh institusi. Parameter-parameter yang dimaksud sebagian besar berkaitan dengan fasilitas seperti ruangan, peralatan, dan sumber daya manusia, baik dosen, mahasiswa, maupun tenaga administratif. Ketidakmampuan institusi dalam memenuhi kriteria yang diberikan membuat institusi melakukan segala upaya untuk memenuhi kriteria tersebut. Seorang tenaga pendidik mengatakan ada usaha “modifikasi” demi memenuhi kriteria-kriteria tersebut dan berharap mendapatkan nilai akreditasi yang bagus. 63
“Dan memang menurut saya itu penting untuk menjaga kualitas tapi harus dilihat juga (ada) hal-hal yang tidak bisa mungkin dilakukan di level departemen, di level fakultas, dan di level universitas. Banyak sekali hal-hal yang tidak bisa dipenuhi memang di dilakukan modifikasi.” (FGD1 - Medan) Modifikasi apapun yang dilakukan sebenarnya telah menyalahi tujuan utama akreditasi. Bentuk-bentuk modifikasi yang benar-benar terjadi dalam praktik akreditasi antara lain peminjaman peralatan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh institusi. Seperti yang disampaikan seorang peserta didik dari Makassar:
“Namun yang tidak bagus itu adalah prosesnya...Termasuk juga alat-alat suka dipinjam dulu untuk keperluan akreditasi, setelah itu alat-alatnya hilang, mahasiswa tidak bisa menggunakannya.” (FGD 4 - Makassar) Temuan serupa juga didapatkan pada diskusi di Medan, seperti pengakuan salah seorang pengajar di sana: “Kira-kira ya.. mungkin.. setiap orang pernah dengar ya.. jadi bukan, di kedokteran, tapi mungkin di akper, akbid ya.. itu saat datang tim akreditasi, mereka sibuk.. ada pinjam itu donkk.. pinjammm, panthom...alat2 peraga.. semua baik..uuh, lengkap bagus.. A akreditasinya.. begitu pulang.. balik lagi.” (FGD 1 Medan) Ternyata tidak hanya peralatan, tetapi pinjam meminjam sumber daya manusia, khususnya staf pengajar, pun juga terjadi. Hal tersebut ditemui pada diskusi di Makassar
“Pengalaman saya ini, bahkan ada nama yang suka dipinjam. Jadi ijazah dan namanya bisa dipinjam untuk keperluan akreditasi.” (FGD 4 - Makassar) Standar penilaian yang tiba-tiba ditingkatkan demi menyesuaikan dengan kriteria akreditasi ataupun dengan maksud memberikan kesan lebih kepada asesor juga dilakukan oleh institusi. Pengakuan ini muncul dari seorang mahasiswa dari Surabaya:
“Kalo kita mahasiswa juga, kalo boleh dibilang adalah korban kebijakan e jadi itu e dulu e kita e ini pengalaman saya dari semester 1 sampai semester 5 itu, kita pake program e apa namanya pelatihan bahasa inggrisnya itu pake TOEIC jadi yang, yang untuk practice inggrisnya stan ... (tidak jelas) akan ada akreditasi kok semua baru disuruh pake TOEFL kok kenapa semua baru disuruh ikut TOEFL kenapa gak dari awal kita pake standar yang lebih tinggi, kenapa kok kita pake standar rendah baru ada pake akreditasi kita baru dipake standar yang lebih tinggi gitu” (FGD 4 - Surabaya) 64
Apapun tujuannya itu, para peserta didik merasa terbebani atas kesemena-menaan institusi dalam meningkatkan standar penilaian yang mendadak saat proses akreditasi berlangsung.
“Akreditasi kampusnya, belum tentu menentukan mutu kampusnya” (FGD 4 Medan)
Berbagai temuan modifikasi tersebut membentuk pemikiran bahwa akreditasi yang dilakukan hanyalah suatu formalitas. Sebuah formalitas bahwa suatu institusi harus diakreditasi. Nilai akreditasi yang muncul ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan dan tidak mencerminkan dengan sungguh-sungguh mutu institusi yang sebenarnya. Hal tersebut membawa kepada suatu konklusi bahwa akreditasi institusi belum tentu menentukan kualitas institusi. Program studi kesehatan memang memiliki kekhasan dibandingkan program studi lainnya. Tahapan pendidikan profesi kesehatan terdiri atas dua tahap, yaitu tahap sarjana kemudian dilanjutkan dengan tahap profesi. Tahapan profesi ini menjadi tahapan yang penting, khususnya bagi profesi dokter dan dokter gigi karena pada tahap pendidikan profesi menjadi masa pelatihan keterampilan dan penerapan praktik pelayanan kesehatan. Sayangnya, akreditasi yang dilakukan oleh BAN-PT hingga saat ini hanya diperuntukkan sampai tingkat sarjana dan borang pengisiannya pun bersifat general dan tidak spesifik untuk bidang kesehatan. Terlebih lagi, instrumen akreditasi untuk tingkat profesi masih belum tersedia. Ketidaktersediaan akreditasi profesi ini mengakibatkan penjaminan mutu tahap pendidikan profesi masih dipertanyakan. Terlebih lagi, tahap pendidikan profesi berperan besar menentukan kualitas pelayanan kesehatan calon-calon tenaga kesehatan.
“Sementara pendidikan koas itu, entah mau diakreditasi melalui jalur…… (suara tidak jelas) atau melalui jalur S1 itu yang belum jelas. Jadi, mungkin itu yang harus dibicarakan.” (FGD 1 – Makassar) Selain faktor instrumen, kekurangan lain yang dirasakan hampir semua responden adalah mengenai asesor atau tim penilai akreditasi. Selama ini, asesor akreditasi tidak
65
sesuai dengan bidang yang dinilai. Misalnya, pada penilaian akreditasi fakultas kedokteran, asesornya bukan dari bidang ilmu lain.
“Sekarang ini kadang-kadang jurusan kedokteran.dinilai oleh suatu badan.bdan itu tidak ngerti kedokteran, padahal kita ini profesi.s1 mungkin rodo rodo sama mungkin dengan s1 yang lain. padahal itupun masih beda.itupun masih beda. itu ga bisa digeneralisir” (FGD 1 - Surabaya) Ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan asesor dengan bidang ilmu yang dinilai, dalam hal ini rumpun ilmu kesehatan, mengakibatkan asesor tidak dapat memahami secara tepat tentang institusi ataupun program studi yang dinilai. Selain ketidaksesuaian yang telah disebutkan di atas, terdapat tendensi munculnya tindakan gratifikasi kepada asesor. Hal ini dapat terjadi karena institusi atau program studi ingin mendapatkan nilai akreditasi yang terbaik. Padahal sebenarnya bila dinilai secara objektif, institusi tersebut tidak layak mendapatkan nilai akreditasi yang telah diberikan oleh asesor. Opini tentang gratifikasi ini muncul pada FGD 1 di Bali. Bentuk gratifikasi yang diberikan antara lain mengundang para asesor pada acara-acara yang diadakan oleh institusi atau program studi. Ada semacam politisasi dalam proses akreditasi tersebut.
“Jadi banyak politis yang kita jalani. salah satunya , jadi kan saat penilaian akreditasi banyak asesor, jadi kita dari fakultas kita akhirnya jemput bola, kita jadi politis, salah satunya tadi asesornya kita undang. ada kegiatan ini kita undang asesornya.” (FGD 1 - Bali) Beberapa institusi, khususnya institusi keperawatan, mengaku bahwa mereka diakreditasi oleh dua badan, yaitu BANPT dan DEPKES. Hal ini diutarakan oleh salah satu responden FGD 2 Bali. Menurut responden tersebut, seharusnya tidak boleh ada dua badan yang mengakreditasi suatu institusi melainkan cukup dari satu badan saja. Hal ketiga yang menjadi kekurangan pelaksanaan akreditasi saat ini adalah mengenai transparansi hasil akreditasi. Kebanyakan masyarakat tidak mengetahui apakah suatu institusi telah diakreditasi atau belum, dan kalaupun telah diakreditasi, mereka tidak mengetahui apa akreditasi dari institusi tersebut. Padahal, setiap anggota masyarakat perlu mendapatkan informasi mengenai akreditasi sebuah institusi. Akreditasi institusi berkaitan erat dengan lapangan kerja lulusannya. Pada beberapa lapangan pekerjaan, salah satu persyaratannya adalah lulusan berasal dari PT dengan
66
nilai akreditasi tertentu. Karena ketidaktahuan mahasiswa akan akreditasi institusinya, mereka seperti “terjebak” pada institusi yang tidak terakreditasi atau institusi berakreditasi buruk. Dampak jangka panjangnya adalah kesulitan lulusan mendapatkan pekerjaan. Seorang responden dari Medan menyampaikan hal serupa sebagai berikut:
“Begini juga pak. Berarti hasil dari akreditasi itu seperti apa e.. diumumkannya?masyarakat itu tau kayak sekarang untuk penerimaan CPNS itu kalau akreditasi PT nya tidak B kayak kemaren penerimaan departemen kesehatan e.. tidak dikasih e.. ikut mendaftar CPNS yang akreditasi nya bukan B. Bahkan dari DIKTI bagaimana lagi, apakah akreditasinya tidak memenuhi standar oleh DIKTI nah, DIKTInya boleh tegas atau tidak perlu menerima mahasiswa. Kalau ini ga molor, molor.. tapi ya lagii. Masyarakat lagi2 terjerumus lagi ke sekolah itu ,kan gitu.” (FGD 2 - Medan) Berdasarkan hal yang disampaikan di atas, tampak bahwa terdapat kurangnya akses informasi dari masyarakat terhadap akreditasi. Padahal akreditasi bukan lagi menjadi kepentingan institusi, melainkan telah menjadi kepentingan masyarakat juga karena akreditasi juga turut menentukan masa depan lulusan institusi.
4.2.3
Akreditasi Ideal Berbicara mengenai kelebihan dan kekurangan akreditasi tak bisa dilepaskan
dari bentuk ideal yang juga turut dibicarakan para responden. Ideal dimaksudkan agar mampu menjawab solusi kekurangan dan menjadi fokus perhatian peneliti ke depannya. Konsep instrumen merupakan kunci dari akreditasi yang dinilai ideal oleh responden FGD. Mengapa? Berdasarkan temuan data di lapangan, instrumen akreditasi berkaitan dengan tiga hal. Pertama, ketersediaan instrumen adalah berhubungan dengan bagaimana pemenuhan borang akreditasi. Ketika proses penilaian akreditasi selesai, responden FGD Medan (dokter) mengharapkan ada proses lain yang berkelanjutan pasca akreditasi. Sehingga proses akreditasi itu ada progress-nya, perguruan tinggi yang diakreditasi tahu hal-hal apa saja yang harus mereka lakukan ke depan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan akreditasi institusi pendidikan mereka. Sehingga penilaian akreditasi bukan sekedar formalitas semata. Formalitas erat kaitannya dengan borang akreditasi yang dapat dimodifikasi. Hal senada juga disampaikan oleh responden FGD Surabaya yang mengatakan bahwa harusnya ada tindaklanjut setelah visitasi akreditasi:
67
“Emm, kalo di kami ya Pak... kami melihat itu kan seharusnya kalo yang sudah terakreditasi, umpamanya C katakanlah, itukah.. apa gak ada pembinaan? Biar nanti itu lebih baik dan untuk kita nanti mengajukan akreditasi lagi. Kayak kami sekarang ini kan D, saya D, tahun ini kan kami mau mengajukan lagi untuk perbaikan biar menjadi B. Seharusnya kan BAN-PT itu nggak cuma berhenti setelah visit saja, harusnya ditindaklanjuti. Kami sebenarnya dari institusi, bagaimana ya tindak lanjutnya, apa gak ada tindak lanjut.” (FGD 2 – Surabaya) Pembinaan pasca akreditasi diharapkan sebagai tindak lanjut dari hasil akreditasi yang dinilai sebeumnya. Pembinaan ini juga sebaiknya dibarengi dengan pengawasan terhadap
institusi
pendidikan
itu
sendiri.
Ada
upaya
dari
institusi
untuk
mempertahankan ataupun meningkatkan nilai akreditasi mereka. Karena nilai akreditasi yang bagus bukan hanya berarti menghasilkan lulusan yang bermutu bagus namun juga mempertahankan “kebanggaan” atas akreditasi yang bagus. Kedua, berkaitan dengan usaha untuk mengantisipasi matrix yang menurut responden FGD berubah-ubah: “Naaah, kekurangan itu di mana? Kami cuma koreksi, jadi kekurangannya kemarin itu diuplek-uplek ini, gitu. Apakah nanti... takutnya nanti ketika kami mengajukan lagi...beda lagi. Makanya harusnya ada pembinaan, iya tindak lanjutnya.” (FGD 2 – Surabaya) “Karna instrumennya matriksnya kan terus berbeda. Kadang kadang kemarin saya dapat ini matriksnya ini...eh besok ubah lagi engga ini matriks yang ini sekarang.” (FGD 1 – Bali) Instrumen akreditasi yang berubah-ubah ini pada akhirnya dinilai tidak realistis dan berujung pada kekecewaan. Beberapa responden mengajukan beberapa syarat secara umum bagaimana akreditasi itu seharusnya dilakukan. Instrumen juga dinilai tidak applicable yang mau tak mau melihat sarana dan prasarana.
“Harusnya aplicable dulu ya, sesuai apa yang dikasih form instrumennya itu. Harusnya melihat dulu gitu. Bisa ga (Moderator bilang kenyatannya itu ya, responden batuk) tempat gitu, kayak ruangan, gitu loh. Sementara bukan kita yang nyiapin ruangan. Kalau kita simsalabim bisa dapat ruangan sih boleh gitu, ga papa gitu. Tapi harusnya aplicable dulu.” (FGD 1 – Medan) Peminjaman ruangan, alat, bahkan ijazah dosen yang hanya muncul pada saat proses penilaian akreditasi saja.
“Paling tidak itu sudah mempunyai tenaga pengajarnya, jangan orangnya ga ada, mungkin dipake ijazah orang yang di jakarta ijazahnya dikirim ke Medan. Dilihat ijazahnya, oh ada ada.. S2 segini orang tetapi manusianya ada datang saat itu
68
aja.. kemudian harus lengkaplah laboratoriumnya itu benaHelena ga boleh ga terstandar..” (FGD 2 – Medan) “Setidaknya akreditasi dinilai beberapa aspek seperti bangunan, standar pengajarnya, standar mahasiswa, akreditasi tsb ditinjau 5 tahun. Dlihat perkembangannya apakah naik atau turun.” (FGD 4 – Bali) Responden FGD Surabaya memiliki pemikiran lain, selain sarana prasarana menurutnya mahasiwa itu sendiri juga menjadi instrumen penting yang harus diakreditasi. “...istilahnya bisa gak, pantas gak suatu intansi tersebut di akreditasikan A atau B atau C, jadi kalo misalnya bukan hanya pada masalah fasilitasnya saja tapi pada mahasiswanya, pada orang yang dididik...karena patokannya kalo keluar bukan fasilitas tersebut yang kita lihat tapi pemerintah harus lihat mahasiswanya seperti apa” (FGD 4 – Surabaya) Penilaian terhadap SDM menjadi pertimbangan dari sebuah instrumen akreditasi. Instrumen tentunya juga berhubungan dengan asesor yaitu penilai akreditasi. Asesor sebaiknya memiliki latar belakang pendidikan yang sama dengan program studi yang diakreditasi. Bagaimana penilai akreditasi menilai akreditasi jika dia dianggap tidak kompeten di bidangnya. Kenyataan di lapangan bahwa asesor kedokteran bukan dari kedokteran menjadi masalah mendasar. Padahal harapan responden berkata sebaliknya. Pemahaman terhadap yang dinilai tidak ada:
“Skarang ini kadang-kadang jurusan kedokteran dinilai oleh suatu badan, badan itu tidak ngerti kedokteran, padahal kita ini profesi S1 mungkin rodo rodo sama mungkin dengan S1 yang lain. padahal itupun masih beda. Itupun masih beda. itu ga bisa digeneralisir” (FGD 1 – Surabaya) Seorang dokter dari Makassar mengatakan bahwa borang akreditasi kedokteran itu seharusnya direvisi karena tidak sesuai dengan profesinya. BAN PT hanya mengakreditasi kedokteran pada strata sarjana. Sedangkan profesi belum menjadi kajian BAN PT. Padahal fokus pentingnya adalah pada profesi itu yang menjadi poin ketiga. Tidak cukup hanya sarjana kedokteran saja yang diakreditasi tapi profesi kedokteran justru yang lebih perlu. Nantinya akan berkatan secara lagsung dengan uji kompetensi. Institusi pendidikan diakreditasi untuk menghasilkan institusi yang berkualitas, sedangkan uji kompetensi untuk melihat mutu lulusannya. Sehingga akreditasi dan uji kompetensi tidak bisa dipisahkan begitu saja.
69
“Akreditasi juga ditambah dengan uji kompetensinya, sehingga saringannya lebih baik untuk untuk menentukan layak atau tidak.” (FGD 4 – Medan) Responden berharap bahwa penilaian akreditasi harus menyeluruh dan berkelanjutan. Metode akreditasi diharapkan mampu transparan, bebas KKN, dengan prosedur yang diperketat dan dilakukan penilaian mendadak. Ide ini muncul dari FGD 4 Bali dan Makassar serta FGD 3 Medan. Sebaiknya akreditasi tidak hanya dilakukan pada institusi pendidikan tapi juga institusi pelayanan. Namun yang disayangkan adalah bahwa kesadaran tentang pentingnya akreditasi bagi institusi pendidikan tinggi itu sendiri belum sepenuhnya dimiliki masyarakat kita. Lalu pertanyaan berikutnya adalah siapakah yang seharusnya bertanggung jawab melakukan akreditasi?
4.2.4 Pelaku Akreditasi Kecendrungan responden paling besar adalah memilih pemerintah sebagai pelaku atau penanggung jawab akreditasi. Pemerintah di sini adalah BAN PT maupun Depkes. FGD 1, 3 dan 4 Medan mengatakan pemerintah karena terkait dengan dana dan kekuasaan. Sedangkan jawaban lain datang dari FGD 1 Surabaya yang justru menginginkan akreditasi dilakukan lembaga mandiri.
“Ya suatu akreditasi pendidikan harus dari badan yang mandiri. dari luar.” “Mandiri itu seperti, seperti kami,kan kami rumah sakit pemerintah ato kami apa namanya universitas pemerintah,tentunya kita yang menilai kita harus badan yang mandiri,bukan pemerintah.maksudnya mandiri tuh.” “Ya non pemerintah, minimal non pemerintah,bukan kita” (FGD 1 – Surabaya) Tapi perlu digarisbawahi bahwa para responden kelompok ini akan lebih setuju pada pemerintah jika dikaitkan dengan dana. Jika akreditasi tersebut dibiayai oleh pemerintah, mereka mengatakan akan lebih baik.
“Kalo memang pembiayaannya mau dari pemerintah ya, lebih bagius” (FGD 1 – Surabaya)
Ini artinya mereka, para responden masih ingin bergantung pada uluran tangan pemerintah. Tarik menarik kepentingan dan kekuasaan pemerintah atas dana masih sangat besar. Ada ketakutan di benak responden, jika tidak dibiayai pemerintah, akses mereka menjadi terbatas.
70
“Lebih baik pemerintah. kalo independen nanti disananya susah ya, karna dia (pemerintah) yang memegang kekuasaan. karna kita ini masih di jaman yang masih bisa suap suap ya.jadi sebaiknya pemerintah” (FGD 1 – Bali) Pilihan lainnya adalah pada kemitraan atau gabungan dari pemerintah, profesi, dan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar akreditasi benar-benar dilakukan secara ideal dan sempurna. Ide ini datang dari FGD 2 & 3 surabaya, FGD 3 Bali serta FGD 2 & 3 Makassar. “Seharusnya kemitraan. Saat ini banyak penjamin mutu tapi tidak melibatkan organisasi profesi. Ada institusi yang tidak ada orang dari profesinya itu sendiri. Yang tahu bagaimana pendidikan profesi ya dari profesinya itu sendiri” (FGD 4 Makassar) “Pemerintah yang pertama” “Organisasi profesi” “Masyarakat juga penting di situ. Sebab, ini sebenarnya... karena begini Pak, pernah saya waktu itu ditawari sama teman-teman. Ayo buka STIKES di Madura.. wah, ini... profit oriented... tujuannya hanya untuk mendapatkan keuntungan. Trus begini, gampang Mas nanti kalau.. apa.. kurang guru nanti kita stok. Hanya untuk mendirikan STIKES. Wah wah wah, ini gak benar kata saya. Jadi kenapa sekolah-sekolah STIKES menjamur, jangan-jangan karena faktor itu, profit oriented itu, tanpa betul-betul mencerdaskan anak bangsa itu...” (FGD 2 – Surabaya) Tujuan dibukanya institusi pendidikan tinggi kesehatan bukan untuk profit oriented tapi menghasilkan lulusan yang berkualitas. Responden berharap agar institusi pendidikan kesehatan tinggi berakreditasi baik menghasilkan lulusan yang baik pula. Sehingga institusi institusi tidak berakreditasi yang tumbuh subur di negeri ini bisa mati dengan sendirinya.
4.2.5
Analisis Persepsi Akreditasi Pada hakikatnya hasil dari FGD empat kota mengenai akreditasi dapat
disimpulkan bahwa publik kesehatan menyetujui akan pentingnya akreditasi. Namun sayangnya akreditasi dinilai sebagai bentuk legalitas semata. Seharusnya akreditasi dinilai sebagai bentuk kualitas mutu institusi. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini disebabkan berbagai hal. Pertama, ketika dilakukan penilaian akreditasi, orang berlomba-lomba melakukan berbagai cara untuk memenuhi borang akreditasi. Orang tidak lagi berpikir untuk memperbaiki kualitas institusinya tapi lebih kepada pemenuhan instrumen dulu,
71
bagaimana keseluruhan borang dapat terpenuhi. Sehingga yang terjadi di lapangan adalah peminjaman fasilitas dan sdm yang hanya muncul ketika ada penilaian akreditasi. Hal ini tentu saja tidak dapat meningkatkan kualitas institusi, karena kualitas itu hanya di atas kertas akreditasi saja, selebihnya institusi tetap sama. Jadi belum tentu akreditasi suatu institusi bagus, pada kenyataannya juga bagus. Di beberapa kasus malah terjadi sebaliknya, institusi besar yang dinilai bagus oleh masyarakat malah secara akreditasi buruk. Kedua, ketika yang menjadi penilai akreditasi adalah orang yang berlatang belakang berbeda dengan institusi atau program studi yang ia nilai, ini menjadi masalah besar. Asesor yang kurang mengerti keadaan di lapangan dinilai menjadi kekurangan dari akreditasi itu sendiri. Itulah mengapa responden setuju akreditasi dilakukan oleh profesi, karena “orang mereka sendiri” akan lebih paham dengan kebutuhan mereka dibandingkan orang di luar mereka. Ketiga, ada tindak lanjut setelah akreditasi juga menjadi poin penting. Bagaimana akreditasi tidak dinilai sebagai “formalitas” semata, ketika setelah “bersusah payah” memenuhi instrumen, tidak ada tindak-lanjut dari hasil akreditasi itu. Sementara instrumen terus berubah. Namun kekurangan dan apa yang harus dipenuhi tidak diketahui oleh mereka. Hal ini semakin memperjelas bahwa akreditasi ujung-ujungnya adalah semacam legalitas saja. Orang sudah harus puas dengan hasilnya saja tanpa ada kelanjutan, yang penting institusi ini sudah diakreditasi, tidak penting apakah benar atau tidak akreditasi tersebut dengan kenyataan di lapangan. Keempat, keresahan publik kesehatan atas bertumbuhnya institusi-institusi pendidikan tinggi kesehatan yang menjamur dengan cepatnya. Para bidan dan perawat menilai betapa mudahnya pembukaan sekolah tinggi kesehatan semacam STIKES di daerah, dengan fasilitas seadanya, namun bisa ditemukan di mana-mana. Tidak ada kontrol kualitas atas sekolah-sekolah tersebut. Akreditasi hanya dianggap sebagai saringan bolong. Akreditasi atau tidak sama saja. Tentunya ini akan berdampak pada persaingan dan kualitas SDM di institusi pelayanan. Walaupun dengan banyak fakta di lapangan yang menunjukkan besaranya jurang harapan dan kenyataan, tidak melepaskan harapan publik kesehatan atas akreditasi. Para responden masih menyatakan bahwa akreditasi penting bagi institusi dan lulusan mereka. Namun dengan berbagai syarat yang mereka ajukan. Akreditasi diharapkan memiliki instrumen yang applicable dan realistis, asesor memahami apa
72
yang dinilai, ada transparansi hasil, bebas KKN, dengan prosedur yang diperketat. Akreditasi juga diharapkan tidak hanya dilakukan di institusi pendidikan tinggi saja tapi juga di institusi pelayanan kesehatan. Bahkan akreditasi harus didukung dengan uji kompetensi. Ketika akreditasi menjadi penilai institusi, uji kompetensi menjadi penilai lulusannya. Untuk pelaku, publik kesehatan masih “percaya” dengan pemerintah. Pemerintah dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas keadaan mereka saat ini. Pemerintah adalah pemilik dana dan akses terbesar dalam dunia kesehatan. Kekuasaan pemerintah yang tak terbatas ini lah yang menjadi alasan mengapa mereka enggan keluar dari zona aman selama ini. Namun keinginan untuk mandiri tetap muncul di FGD 1 Surabaya dengan catatan besar bahwa pembiayaan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Jawaban lain masih menyangkut pemerintah, adanya kerjasama antara pihak profesi, masyarakat dan pemerintah bersama. Namun tetap saja pemerintah ikut serta.
4.3. Uji Kompetensi Sebagaimana sudah disinggung di Bab 2 mengenai LPUK (Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi), yakni ditujukan untuk memastikan adanya sistem, metodologi, perangkat, implementasi ujian kompetensi lulusan tenaga kesehatan yang sesuai dengan standar kompetensi setiap profesi. Selain memastikan hanya tenaga kesehatan yang kompeten yang melakukan pelayanan, hasil ujian menjadi umpan balik bagi penyempurnaan proses instruksional dan institusional pendidikan tinggi kesehatan agar sesuai standar. FGD dilakukan untuk melihat pemahaman khalayak mengenai uji kompetensi. Setelah melakukan open Coding dan axial coding terhadap data FGD yang dilakukan pada 13-14 Oktober di Medan, Surabaya, Bali dan Makasar. Tim menemukan beberapa hal penting dan unik untuk disampaikan yang berkenaan dengan persepsi uji kompetensi. Dalam penyampaian ini kami akan mengkategorikan hasil open Coding dan axial coding kedalam empat kategori umum. Yaitu responden yang bersikap positive terhadap uji kompetensi dan yang bersikap negative terhadap uji kompetensi, untuk melengkapi hasil temuan kami juga menambahkan yang ideal mengenai uji kompetensi dari perspectif responden, dan siapa yang harus bertanggung jawab dalam pelaksanaannya.
73
4.3.1. Persepsi Positif Uji Kompetensi Beberapa dari responden di keempat kota tersebut menyatakan kesepakatan mereka mengenai dilaksanakannya uji kompetensi, tetapi tentu saja mereka memiliki alasan yang berbeda yang akan diuraikan sebagai berikut. Alasan utama mereka adalah uji kompetensi bisa berguna untuk mengukur kemampuan tenaga layanan. Sebagaimana yang dikatakan oleh responden dari Medan sebagai berikut. “dari ujian kompetensi ini kita bisa liat ilmu yang didapatkan kuliah dan sdenag koas dapet gak tadi jadi menurut saya ujian kompetensi perlu, dan tadi menambahkan akreditasi” (FGD 3, Medan) Pernyataan ini senada dengan pernyataan seorang tenaga pengajar kesehatan di Medan. “Karena kalau tidak uji kompetensi contohnya aja, maaf ya.. kalau dia lulus sebagai dosen pegawai negeri, kita kan tau bagaimana cara masuk pegawai negeri. Nah, dari situ kita tahu juga bahwa ada yang tidak mampu tapi bisa masuk tapi ada juga yang tidak mampu dan dia tidak bisa masuk. Sementara dia skillnya bagus, uji kompetensi itu bagus…” (FGD 2, Medan) Pernyataan mengenai pentingnya uji kompetensi untuk mengukur kemampuan tenaga kesehatan juga berhubungan dengan keterbatasan fasilitas di institusi pelayanan kesehatan. Sebagaimana dikatakan oleh seorang mahasiswa dari Provinsi Bali. “Kompetensi yang dimiliki seorang dokter. Nah ini eee yang harus dijamin kemampuannya. Jadi jangan sampai lulusan dokter dari Udayana hanya bisa men-treatment penyakit hanya a saja dan bisa mendiagnosis hanya a saja tapi tidak bisa penyakit yang lain karena eee jumlah pasienlah yang terbatas atau fasilitaslah yang terbatas.” (FGD 3, Bali) Alasan lain yang juga keluar dari FGD adalah mengenai penjaminan lulusan tenaga kesehatan, yang diharapkan mampu melayani kepentingan-kepentingan public berupa layanan kesehatan yang bermutu. “… Mulai dari kuliahnya, kurikulumnya, standar seperti tadi, juga menjamin waktu dia lulus dia memang betul-betul berkompetensi. Jadi harus ada standarisasi ujian itu.” (FGD 3, Surabaya) Selain alasan-alasan tersebut yang cenderung bersifat pelayanan, ada argumen yang menarik dari seorang pengajar keperawatan di Surabaya, yang menyelipkan pentingnya uji kompetensi dengan daya saing tenaga kesehatan di dunia internasional “.. Setuju! Apalagi ada pasar bebas untuk tenaga (kesehatan)...” (FGD 2, Surabaya) Kutipan-kutipan tadi sebenarnya mewakili keresahan para tenaga ahli dan tenaga pengajar dunia kesehatan. Keresahan itu meliputi mengenai etika dan profesionalisme tenaga kesehatan, yang juga menjadi isu utama bagi para responden. 74
4.3.2. Persepsi Negatif Uji Kompetensi Jumlah responden yang bersikap negatif tidak kalah banyak dari yang bersikap positif terhadap uji kompetensi. Tetapi alasan-alasan yang kami temukan lebih bervariasi dan justru memberikan masukan penting bagi penelitian ini. Dua daerah yang tegas menolak uji kompetensi adalah Surabaya dan Medan. Mereka yang menolak berasal dari kelompok FGD 1 yaitu tenaga pendidik dan professional di bidang kedokteran umum dan kedokteran gigi. Sebagian besar argumen mereka berkisar di wilayah tumpang tindihnya uji komptensi dengan akreditasi institusi pendidikan. “Saya kan orde lama nih , ini kan orde baru. kalo kita ngomong loh kok lulus dokter masih diuji. loh emangnya berarti pemerintah tuh belum percaya pada institusi yang sudah meluluskan itu. ko lucu ya. itu kalo orde lama itu saya melihatnya begitu. jadi seolah-olah, fakultas kedokteran kolo apik, silahkan memberikan sebanyak banyaknya (tidak jelas). Seolah-olah tidak terlalu diberi kepercayaan” (FGD 1, Surabaya) Argumen diatas mewakili mereka yang merasa uji kompetensi berbenturan dengan akreditasi. Mereka merasa institusi yang sudah diakreditasi, lulusannya tidak perlu lagi mengikuti uji kompetensi, karena akreditasi juga menjamin lulusan institusi itu sebagai lulusan yang memiliki kompetensi. Karena sudah ada akreditasi perguruan tinggi, uji kompetensi terkesan mubazir. “… masak orang sudah dicetak dengan sistem yang sudah diatur. Dan terus nanti akan diuji lagi.. pasti kepercayaan orang akan hilang. Loh berarti dokter indonesia ga diakui donk.. karena begitu sudah tamat kok masih diuji lagi? Ini ga benar dari segi pendidikan. Oh, kalau begitu dokter indonesia tidak terampil donk. Buktinya udah tamat pun masuk pemagangan lagi.. nah ini kan juga tetap menambah.” (FGD 1, Medan) Pernyataan diatas diucapkan oleh seorang pejabat di rumah sakit di Medan. Pernyataan itu jelas mewakili keraguan dari kalangan professional mengenai uji kompetensi yang bisa menurunkan standar kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan. Ketimbangan memberikan perhatian kepada uji kompetensi, mereka mengusulkan untuk memperkuat institusi pendidikan saja dalam mencetak lulusan yang berkualitas. “Pertanyaannya adalah, apakah menjaga kompetensi luaran, lulusan harus dalam bentuk ujian akhir? Jadi apakah harus ada ujian di akhir pendidikan ini untuk menjaga kompetensi. Dalam arti, yang sehari dua hari menjamin dibandingkan melakukan standardisasi dalam proses pendidikannya.” (FGD 3, Makassar)
75
Pernyataan lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai standarisasi yang tidak sama antara-antara daerah di Indonesia. “kualitasnya kami istilahnya yang dari kampung2 lah kalau kami, dibandingkan umpamanya dosen-dosen yang dari UNPAD, dari UNAIR, dari UGM lebih ini lagi.. jadi gimana ini.. semacam Unas itu bagian seperti itu kan.. anak2 yang di kampung, misalnya, harus, misalnya yang di sekolah di SMA 6, bulungan, jakarta, seperti itu.jadi berbeda, gitu.. (semua responden berpendapat..) SDM nya juga lain, itu diukur sama.. jadi , saya pribadi belum bisa menerimanya begitu” (FGD 1, Medan) Ungkapan yang sama juga didapati di Makasar: “Pengalaman, kenapa tahun ini UKDI banyak yang lulus, tahun depan lagi, ee.. periode berikutnya lagi, kurang lagi. Kebetulan ini soalnya, ini susah, karena soalnya UI yang keluar.” (FGD 1, Makassar) Dari pernyataan diatas kita bisa menemukan bahwa ada perbedaan standar antara institusi pendidikan di Indonesia. Perbedaan itu meliputi area kurikulum pendidikan dan infrastruktur yang sebelumnya telah disinggung juga mempengaruhi tingkat penolakan terhadap uji kompetensi. Seorang mahasiswa tingkat klinik menyuarakan kekhawatiran mereka mengenai uji standarisasi yang tidak sama antar institusi pendidikan yang bisa menyebabkan masalah bagi peserta uji kompetensi. “..saya bilang standarnya udah beda bagaimana mau disatukan standarnya kalau yang diajarkan juga tidak sama walaupun di akreditasi walaupun universitas itu di akreditasi a b atau c gitu tapi masalahnya se beda standarnya gitu medan usu, jakarta, semua beda, di usu jakarta papua kalimantan samapi diluar tapi saya rasa bakalan kayak gini lanjut aja tersus yang penting proes e tadi dimana bisa dilakukan butuh dana yang besar ...(tidak jelas) saya gak tau atau pikiran saya saya mikirnya kayak gt saja proses itu emang dilakukan emang untuk proyek” (FGD 3, Medan) Selain itu ada juga meragukan kualitas penguji dari uji kompetensi. Seperti kemampuan pembuat soal uji kompetensi. “….Kadang-kadang soal itu sebenarnya mudah kalau kita yang baca, tapi tidak mudah dibaca oleh umum.. Iya jadi, orang-orang yang menentukan soal mana yang harus masuk ke dalam soal ujian kompetensi itu jangan spesialis semua. Reviewnya boleh spesialis , karena dia harus tau konteksnya masuk apa gak?..” (FGD 1, Makassar) Kekhawatiran ini menjadi isu yang paling kencang, karena sistem dalam uji kompetensi juga di anggap tidak jelas. “Kalo ada sistemnya harus lebih detail supaya bisa jelas menguji dengan sebenar-benarnya kebutuhan yang diinginkan” (FGD 1, Bali) 76
Tetapi dari semua hasil temuan yang negatif, tim peneliti menemukan satu yang paling unik, yang sebenarnya cukup mewakili permasalahan yang cukup mendasar mengenai uji kompetensi: “Kalau udah PNS emang mau dibuat apa? Uji kompetensi itu duduknya mau dimana? kalau udah pegawai negeri, Bapak berani? Lu kalah, ga boleh pegawai negeri.. gua masuk bayar 150 juta.. mau bilang apa? E... jadi uji kompetensi ini juga harus dibenarkan duduknya, dimana dia harus duduk uji kompetensi ini?kan gampang.. itu perlu dibicarakan dulu.. ” (FGD 2, Medan) Dari pernyataan diatas yang bisa kita lihat adalah pertanyaan mengenai sejauh mana legalitas uji kompetensi. Responden mempertanyakan apa pengaruh uji kompetensi terhadap kehidupan profesi, apakah yang gagal uji kompetensi akan kehilangan izin praktek, atau apakah uji kompetensi akan mempengaruhi jabatan mereka di institusi pemerintahan. Pernyataan ini hadir karena kurangnya pemahaman mengenai uji kompetensi.
4.3.3. Uji Kompetensi Ideal Selain melihat kecenderungan sikap positif dan negatif responden, tim peneliti juga melihat kecenderungan persepsi ideal responden mengenai uji kompetensi. Persepsi-persepsi tersbut meliputi permasalahan Materi Uji Kompetensi, kejelasan sistem dan metode uji kompetensi, serta hal-hal yang berkaitan dengan persiapan uji kompetensi. Adapun materi uji kompetensi yang dimaksud meliputi ujian tertulis dan ujian praktik: “Kalo menurut saya siih harusnya ada ujian tertulis maupun.. (tidak jelas) nulis sendiri ... di tempat kami kan ada ujian praktik kan 7 menit harus dikerjakan jadi salah satu ininya mungkin dibuat salah satu ujian ... dan waktunya harus” (FGD 4, Medan) Materi uji kompetensi juga diharapkan meliputi materi pengetahuan dan keterampilan sehingga bisa betul-betul melihat kompetensi lulusan. Sebagaimana uangkapan seorang mahasiswa di Bali: “Uji kompeten bersifat objektif berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dll. Dan yang lebih bagus sesuai dengan kebutuhan prodi masing-masing.” (FGD 4, Bali). Hal serupa juga di temukan di Makasar “Kalau menurut saya uji kompetensi itu seperti Ujian Nasional. Jangan tes yang based computer terus, tapi karena skillnya itu praktik jadi harusnya praktiknya juga yang menjadi ukuran 77
kompetensi.” (FGD 4, Makasar) fokusnya adalah porsi dari materi uji kompetensi yang meliputi ujian tertulis dan praktik. Sementara itu poin utama yang menjadi perhatian pada kejelasan system dan metode uji kompetensi meliputi pengetahuan apa itu uji kompetensi dan bagaimana ujiannya di laksanakan “Kalo ada sistemnya harus lebih detail supaya bisa jelas menguji dengan sebenar-benarnya kebutuhan yang diinginkan” (FGD 1, Bali). Masalah lain yang keluar adalah mengenai kurikulim yang menjadi acuan dalam uji kompetensi, sehingga sesuai dengan visi dan misi pendidikan. “Karena uji kompetensi untuk bidan maupun keperawatan ya. Sebenarnya dalam pendidikan itu sudah digodok betul, ya? Untuk kompetensi. Contoh kalau di kebidanan ya, itu kan ada kompetensi pokok ya, untuk menolong persalinan, pemeriksaan ibu hamil, untuk ibu nifas, untu pelayanan KB, semuanya itu kansudah digodok sebenarnya di pendidikan. Dan diberikan kasus2 .. Itulah yang akan diujikan.. istilahnya, yang ditamatkan ini udah bisa kah mengulang kembali yang sudah didapat selama dia di perkuliahannya. Yah mengulang kembali sebenarnya. Jadi sebenarnya kalau pada saat ini sih uji kompetensi itu.” (FGD 2, Medan). Sementara itu beberapa responden juga mengaharapkan uji kompetensi juga dilakukan terhadap tenaga professional, sebagaimana terlihat dari dialog produktif di Surabaya: “Ilmu kan berkembang... umpamanya nyuntik, atau menolong persalinan. Maaf ya, tahun 2013 sudah 60 langkah lagi Bu. 60, 58, katanya kemarin saya dapat bocoran besok 60 langkah lagi.” (FGD 2, Surabaya) dan disepakati oleh responden yang lain “Iya, tapi yo bener Mas. Ndak ada salahnya juga sih (uji kompetensi bagi yang sudah bekerja juga” (FGD 2, Surabaya) bahkan seorang responden di Makasar mengatakan diperlukannya uji kompetensi secara periodik. “Saya justru berpikir bagaimana ini kalau uji kompetensi dilakukan setiap sepuluh tahun sekali untuk para dokter/dokter gigi” (FGD 3, Makasar). Di lain pihak uji kompetensi yang ideal menurut beberapa narasumber ialah pada persiapan kurikulum yang berstandar nasional sehingga bisa memenuhi kebutuhan pendidikan tenaga kesehatan sebelum menikuti uji kompetensi. “kalau memang mau standar nasional.. buat buku nasional.. itu fungsinya,, materinya sama nasional.. mau pake siapa? muncul ini siapa.. neurologi, kita pake siapa yang dari UI ya.. bukunya dari UI,loh? dibilang orang UGM.. emang Cuma lu aja yang pinter? (tertawa).. ini kan?? Lu kira orang USU ga pinter?” (FGD 1, Medan)
78
Pada saat yang sama isu mengenai infrastruktur mencuat di kalangan tenaga pengajar dan professional kesehatan, karena beberapa daerah tidak memiliki ketersediaan infrastruktur yang mengcukupi. “saya rasa, saya setuju, Cuma, fasilitasnya yang di daerah harusnya sama juga donk sama yang di kota.. jadi semua daerah itu dapat fasilitas yang sama, kompetensi dokter yang sama, pengetahuan yang sama. Jadi diuji kompetensi pun , dapat pelayanan nanti masyarakat dapat pelayanan yang sama, fasilitas yang sama.” (FGD 1, Medan)
4.3.4. Pelaku Uji Kompetensi Selanjutnya, dari FGD yang dilakukan tim juga melihat ada diskusi yang menarik mengenai pihak yang seharusnya melaksanakan dan bertanggung jawab atas uji kompetensi. Sebagian besar peserta menganggap pemerintah lah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap uji kompetensi. Dari beberapa masukan yang berhasil disimpulkan bahwa sebagian besar responden menginginkan pemerintah sebagai pemegang dan penjalan uji kompetensi. Tetapi mereka juga tetap menginginkan porsi yang seimbang bagi organisasi profesi dalam pengaturan mekanisme dan metode uji kompetensi. Seperti yang diutarakan oleh seorang responden dari Medan: “Artinya, jangan jadi OPnya nanti bagiannya hanya kecil di dalam uji kompetensi itu kan gitu. Kalau dulu yang lebih besar kan pemerintah gitu, harusnya kan OP yang lebih besar kemudian baru oleh pemerintah. Karena OP yang tahu, kompetensi atau tidak. OP lah yang harus layak lulus atau tidak, OPnya lah yang harus menentukan itu sudah layak uji kompetensi. Dan yang membuat hasil uji atau alat ujinya juga kan OP juga, gitu.” (FGD 1, Medan). Ketika ditanya mengenai permasalahan kewajiban mendanai program pendidikan seorang Responden di Surabaya mengatakan “Bukan, yang memintakan departemen pendidikan, iya kan? Kalau setiap fakultas saya bisa menjamin murid saya.. oke kok, kan mesti gitu kan?” (Responden In Depth Interview Surabaya). Pernyataan itu menunjukkan bahwa bagaimana peranan pemerintah dibayangkan di dua wilayah yaitu sebagai regulator dan sebagai sumber pendanaan.
4.3.5. Analisis Persepsi Uji Kompetensi Dari deskripsi mendalam yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat beberapa hal yang menjadi poin penting. Beberapa diantaranya ialah kesenjangan antara persepsi khalayak bidang kesehatan dengan rencana LPUK yang sebelumnya telah disinggung di
79
dalam Bab 2 penelitian. Sebetulnya ketika berbicara uji kompetensi pada tataran konseptual, idealisasi disepakati, namun pada praktiknya banyak memunculkan persepsi negatif. Penyebab yang banyak muncul dalam penolakan terhadap uji kompetensi ialah karena standardisasi pendidikan yang tidak sama di seluruh Indonesia, terutama mengenai hal kurikulum dan fasilitas. Selain itu, penolakan yang cenderung keras datang dari FGD kelompok 1 di wilayah Surabaya dan Medan. Penolakan tersebut ialah dikarenakan uji kompetensi dianggap tumpang tindih dengan akreditasi. Bila sudah diakreditasi, mengapa harus dilakukan uji kompetensi lagi? Menurut kelompok tersebut, ini menunjukkan ketidakpercayaan terhadap instansi yang telah meluluskan tenaga kesehatan dan terkesan mubazir. Namun hal menarik yang terdapat dalam FGD yang telah dilakukan ialah bagaimana ide tentang uji kompetensi ini disetujui oleh mereka yang berada di bidang keperawatan dan kebidanan. Hal ini terlihat dari pernyataanpernyataan mereka dalam diskusi yang banyak menyinggung permasalahan menjamurnya instansi-instansi pendidikan tinggi seperti STIKES dan lainnya. Hal ini diyakini sebagai urgensi dilakukannya uji kompetensi menurut mereka yang berada di bidang keperawatan dan kebidanan. Mengenai pelaku dari uji kompetensi, keseluruhan peserta FGD cenderung menunjuk pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab. Pada beberapa jawaban, tersebut pula organisasi profesi, institusi dan masyarakat yang seharusnya menjadi pelaku dari uji kompetensi ini. Dalam hal ini, isu kemandirian menjadi kesenjangan yang cukup besar di dalam persepsi masyarakat kesehatan terhadap rencana LPUK .
4.4 Pola Penggunaan Media Selain memahami persepsi mengenai
sistem penjaminan mutu pendidikan
kesehatan di benak khalayak kesehatan, sebelum melakukan kampanye sosial, diperlukan juga untuk pemahaman tentang media apa yang sebaiknya digunakan untuk mengkampanyekan suatu isu. Kampanye sosial bisa berjalan dengan baik dan memperoleh hasil yang optimal jika dilakukan melalui media yang tepat. Dalam menentukan media yang tepat, maka dibutuhkan suatu analisis terhadap pola penggunaan media pada khalayak sasaran, dalam hal ini yaitu khalayak sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Dalam menganalisis pola penggunaan media pada responden, peneliti menggunakan dua teknik pengumpulan data yang berbeda, yakni kuesioner dan FGD.
80
Kuesioner digunakan untuk mengetahui pola penggunaan media (massa dan internet) secara umum, sedangkan FGD terutama difokuskan untuk menggali media yang biasanya menjadi sumber informasi mengenai kesehatan, khususnya pendidikan tinggi kesehatan.
4.4.1 Koran Terpaan koran terhadap responden bisa dilihat melalui intensitas para responden dalam mengkonsumsi media tersebut. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan intensitas membaca Koran pada setiap kelompok FGD, Tabel 4.1 Intensitas Membaca Koran INTENSITAS MEMBACA KORAN Setiap hari dua hari sekali 3-4 hari sekali Seminggu sekali Tidak Menjawab
FGD 1 52% 19% 22% 7%
FGD 2 33% 22% 11% 22%
FGD 3 41% 19% 19% 33%
FGD 4 15% 19% 15% 44% 11%
Dari segi intensitas terlihat bahwa di kelompok di FGD 1 dan 2, responden lebih banyak membaca koran setiap hari, ini menunjukkan adanya tingkat intensitas yang tinggi pada penggunaan Koran sebagai sumber informasi di dua kelompok tersebut, Sedangkan di kelompok FGD 3, meskipun lebih banyak jumlah responden yang membaca Koran setiap hari daripada yang seminggu sekali, perbedaan jumlah keduanya tidak besar. Lain halnya dengan kelompok FGD 4, pada kelompok yang terdiri dari mahasiswa kebidanan dan keperawatan ini, responden lebih banyak membaca koran seminggu sekali. Intensitas yang minim tersebut menunjukkan bahwa koran bukanlah media yang sering mereka akses sehari-hari. Jika dilihat dari jenis koran, koran yang paling banyak dibaca pada masingmasing kota dan juga kelompok FGD adalah koran local. Hal tersebut menunjukan loyalitas mereka untuk selalu mengikuti isu lokal yang sebagian besar disediakan oleh koran. Untuk itu analisis terhadap nama Koran dan rubrik perlu dilakukan berdasarkan kota dan kelompok FGD. Di kota Makassar, Koran yang paling banyak dibaca oleh kelompok dokter dan dokter gigi adalah Koran Fajar. Rubrik yang mereka baca biasanya headline, umum, kesehatan, politik. Selain Fajar, Koran lain yang menjadi pilihan FGD 1 di Makassar ini 81
yaitu Tribun Timur, Kompas (rubrik politik dan kesehatan), serta Jakarta Post (headline, umum, kesehatan, dan politik). Seperti FGD 1, di kelompok FGD 2, Fajar juga menjadi Koran dengan pembaca terbanyak dengan pilihan rubrik: kesehatan, menu, modal, gizi, politik daerah, olahraga, headline. Selain itu, kelompok ini juga membaca Kompas (Iptek dan kesehatan) serta Tribun Timur (rubrik kesehatan dan pendidikan). Di kelompok FGD 2, Fajar juga menjadi favorit. Rubrik-rubrik yang disebutkan oleh para responden yang membaca Koran ini yaitu, Metro Makassar, Politik, Headline, Opini, Sains, Olahraga, dan Sosial. Sama seperti dua kelompok sebelumnya, Tribun Timur (Headline dan rubrik opini) dan Kompas (Politik Daerah, Opini, dan Sains) juga menjadi pilihan Koran yang dibaca. Selanjutnya di Medan, kelompok FGD 1 memilih Waspada dan Analisa sebagai koran yang paling sering mereka baca. Rubrik yang dibaca lewat koran Waspada adalah rubrik politik, sedangkan di koran Analisa, mereka memilih rubrik umum, iklan dan headline. Selain dua surat kabar tersebut, nama lain yang muncul yaitu Kompas (rubrik politik dan tokoh), Tribun (headline), Medan Bisnis (politik dan bisnis), dan Sindo. Surat kabar Waspada juga menjadi surat kabar yang paling banyak dibaca oleh responden di kelompok FGD 2. Rubrik yang diminati yaitu kesehatan, poltik, dan berita utama. Koran lain yang juga dibaca yaitu, SIB (rubik Kesehatan dan Politik), Analisa (politik dan kesehatan, Republika (ekonomi), dan Kompas (politik). Sementara itu, hal yang agak berbeda ditunjukkan oleh kelompok FGD 3, Waspada tidak muncul sebagai koran yang paling banyak dibaca. Pada kelompok ini, Analisa menjadi koran favorit. Rubrik yang dibaca biasanya info Medan, tips sehat, dan berita. Sedangkan nama-nama koran lain yang muncul beserta rubrik-rubriknya yaitu, Kompas (kesehatan dan edukasi), Sindo (edukasi), Sumut Pos (olahraga), dan Tribun (berita). Sama seperti kelompok FGD 1 dan 2, di kelompok FGD 4 Waspada juga menjadi koran dengan pembaca terbanyak. Rubrik yang dibaca oleh para responden yaitu, tajuk, cerpen, dan rubrik manca Negara. Korankoran lainnya yang juga dibaca yaitu, Sindo (kriminal), Independen (kriminal), Kompas, dan SIB (olahraga dan kesehatan). Di kota Surabaya, pada kelompok FGD 1, koran yang paling banyak dibaca oleh responden adalah Jawa Pos. Rubrik yang biasa mereka baca yaitu, politik, kesehatan, hiburan, dan olahraga. Pilhan koran lainnya yaitu Surya dengan rubrik politik, kesehatan, serta hiburan. Di kelompok FGD 2, Jawa Pos juga menjadi koran yang paling banyak dibaca. Adapun rubrik-rubrik yang dipilih oleh responden yaitu, politik, metropolis,
82
internasional, dan kesehatan. Koran lainnya yang dibaca yaitu Kompas. Di kelompok FGD 3, Jawa Pos kembali menjadi koran yang paling banyak dibaca. Rubrik di Jawa Pos yang diminati oleh kelompok ini, yaitu resep makanan, kesehatan, anime, manga, dan halaman depan. Selain Jawa Pos, para responden juga menyebutkan nama-nama koran lain seperti Surya, Kompas (rubrik Geoweek), Epoch Time, dan Tribun Jogja. Sama dengan tiga kelompok FGD sebelumnya, kelompok FGD 4 juga menunjukkan koran favorit yang sama, yaitu Jawa Pos. Namun pada kelompok ini terdapat pilihan rubrik Jawa Pos yang lebih banyak yaitu, headline news, kesehatan, surat pembaca, tips, berita nasional, metropolis, dan politik. Koran lain yang juga dibaca yaitu Memorandum (berita kriminal) dan Kompas. Di kota Denpasar, Bali, Jawa Pos menjadi koran yang paling banyak dibaca oleh responden di kelompok FGD 1 adalah Jawa Pos. Pilihan rubrik di Jawa Pos yang biasa dibaca oleh para responden yaitu, headline, umum, pendidikan, kesehatan, olahraga, dan internasional. Koran lainnya yang dibaca yaitu Bali Pos (rubrik kesehatan, umum, desa ke desa) dan Kompas (kesehatan). Di kelompok FGD 2, koran yang paling banyak banyak dibaca ialah Bali Pos dengan rubrik kesehatan, politik, dan pendidikan. Selain itu para responden juga membaca Jawa Pos. Rubrik yang dibaca di koran ini yaitu headline, politik, kesehatan, dan pendidikan. Bali Pos juga menjadi koran yang paling banyak dibaca di kelompok FGD 3. Rubrik-rubrik yang mereka baca di Bali Pos biasanya seputar kesehatan, politik, pendidikan, olahraga, internasional, dan hiburan. Di samping Bali Pos, responden juga membaca Jawa Pos (internasional, politik, kesehatan, pendidikan, olahraga, dan headline) serta Denpasar Pos. Selanjutnya, sama seperti pada kelompok FGD 2 dan 3, Bali Pos menjadi koran yang paling banyak diminati, salah satu rubrik yang dibaca yaitu kesehatan. Selain Bali Pos, responden juga membaca Nusa Bali dan Wiyata Mandala (rubrik informasi sekolah) Berdasarkan data tiap kota yang telah diuraikan, dapat dilihat koran local terfavorit di setiap daerah dan kelompok FGD, yakni Fajar (Makassar), Waspada (Medan), Jawa Pos (Surabaya), dan Bali Pos (Bali). Pada skala nasional, koran Kompas juga menjadi pilihan bacaan responden. Selain itu untuk rubrik, dari seluruh kota dapat diamati rubrik yang paling banyak dibaca di kelompok FGD 1 adalah headline, kesehatan, dan politik, sementara pada FGD 2, rubrik yang diminati adalah kesehatan dan politik. Sedangkan pada FGD 3 dan FGD 4, pilihan rubrik cukup beragam, di antaranya termasuk isu kesehatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa khalayak dunia kesehatan masih
83
membaca koran untuk mengakses informasi seputar dunia kesehatan. Namun isu kesehatan yang diperoleh melalui Koran kebanyakan adalah isu dunia kesehatan secara umum. Asumsi tersebut juga didukung oleh hasil analisis FGD, ketika ditanyakan soal sumber informasi mengenai pendidikan tinggi kesehatan sebagian besar kelompok FGD tidak menjawab koran sebagai salah satu pilihan media informasi.
4.4.2 Majalah Majalah merupakan media cetak yang terbit paling cepat seminggu sekali. Karakter utama dari berita majalah adalah teknik penulisannya menggunakan berita yang naratif (bercerita) dan mendalam. Kebalikan dari Koran, majalah dikhususkan untuk dibaca dalam waktu yang lebih luang karena informasi yang lebih mendalam dan panjang. Majalah juga bersifat lebih tersegmentasi. Artinya produsen majalah akan memfokuskan majalahnya untuk segmen yang spesifik, misalnya perempuan dewasa, remaja perempuan, lelaki dewasa, remaja lelaki atau anak-anak. Untuk menganalisis pola konsumsi majalah oleh khalayak kesehatan akan dlihat dengan cara mengukur intensitas membaca majalah dan rubrikasi yang mereka favoritkan. Tabel 4.2 Intensitas Membaca Majalah
INTENSITAS MEMBACA MAJALAH Setiap hari dua hari sekali 3-4 hari sekali Seminggu sekali Tidak Menjawab
FGD 1 11% 11% 22% 48% 7%
FGD 2 7% 15% 11% 33% 22%
FGD 3 0% 11% 22% 59% 19%
FGD 4 0% 4% 15% 41% 44%
D ilihat
dari segi intensitas membaca majalah, umumnya sangat sedikit yang membaca majalah setiap hari pada seluruh kelompok FGD. Angka pada tabel memperlihatkan bahwa semua kelompok FGD paling banyak membaca majalah seminggu sekali. Selain itu dapat diamati bahwa pada kelompok FGD 4, sebanyak 44% tidak menjawab, ini menunjukkan bahwa majalah kurang menjadi preferensi media pada kelompok mahasiswa kebidanan dan keperawatan. Adapun majalah yang paling banyak diminati oleh responden di kelompok dokter dan dokter gigi adalah:
84
1. Kartini 2. Femina 3. Tempo Namun ada beberapa majalah kesehatan yang dikonsumsi responden, yakni Makassar Dental Jurnal, Cermin Dunia Kedokteran (CDK), Neurona dan Medicina meski tingkat konsumsinya rendah. Untuk rubrik favorit, di majalah Kartini responden memilih rubrik Wajah dan Wanita. Sementara pembaca Femina menyukai rubrik Kesehatan dan Fashion. Sedangkan pembaca Tempo menyukai rubrik Laporan Utama dan Politik. Sementara itu pembaca majalah Neurona menyukai rubrik Kesehatan dan Saraf. Sedangkan majalah CDK membaca rubrik Kasus Terbaru dan Terapi Terkini. Sementara untuk kelompok FGD 2 (Profesi keperawatan, kebidanan dan dosen keperawatan dan kebidanan) majalah yang paling banyak dibaca adalah Kartini. Sementara sejumlah majalah lain dikonsumsi namun tidak menunjukan keseragaman pengkonsumsian di semua provinsi. Jumlahnya pun tidak signifikan. Di Bali, kelompok ini juga mengkonsumsi Jurnal Keperawatan dan Jurnal Kebidanan. Sementara di Makassar, majalah lokal Makassar Terkini menjadi rujukan yang cukup populer. Rubrik favorit di majalah Kartini adalah kesehatan dan mode. Sedangkan untuk Keperawatan adalah rubrik penelitian. Responden menyebutkan rubrik Jali-Jali untuk majalah Makassar Terkini. Bagi kelompok FGD 3 (mahasiswa Kedokteran dan kedokteran gigi ), majalah yang cukup banyak dikonsumsi adalah Dental & Dental, Go Girl dan Gadis. Selain itu di provinsi Bali responden juga ada majalah Injeksi. Untuk rubrik favorit di majalah Dental & Dental responden menyebutkan rubrik Pengembangan Ilmu. Sementara pembaca majalah Go Girl tidak menyebutkan rubrik favoritnya, sedangkan pembaca majalah Gadis memfavoritkan rubrik kesehatan. Kelompok FGD 4 (mahasiswa keperawatan, kebidanan) tidak menampakan kesamaan konsumsi media. Dua dua provinsi majalah Bidan disebutkan sebagai sumber informasi. Namun selain itu sebagian besar menyebutkan beragam majalah seperti Kartini, Aneka Yess, Mozaik, G4UL, Hidayah, Hot Game, Sophie Martin, Kawanku dan Gadis.
Di kelompok ini tidak ada majalah yang betul-betul dominan. Sementara
rubrikasi, selain rubrikasi majalah Bidan yakni pengembangan profesi dan peneltian, rubrik favorit sebagian besar responden adalah rubrik fashion, gaya hidup (Korean pop), cerita pendek, kisah inspirasi dan gossip.
85
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa untuk majalah nasional majalah Kartini dan Tempo merupakan majalah yang paling populer karena disebutkan oleh hamper semua responden di setiap kota. Selain itu, untuk kelompok FGD 2 dan 4 majalah Keperawatan dan Kebidanan juga menjadi rujukan yang cukup populer. Untuk kelompok kedokteran gigi majalah Dental & Dental cukup banyak dikonsumsi.
4.4.3 Radio Radio merupakan media yang memiliki karakteristik auditif dan personal. Sebagai media yang auditif radio tidak mengandalkan konsentrasi tinggi dalam konsumsinya. Hal ini mempengaruhi rancang pesan radio yang biasanya lebih bersifat menghibur daripada memaparkan informasi yang detil dan mendalam. Selain itu, karakteristik personal juga membuat radio menjadi media dengan segmentasi yang sangat beragam dan spesifik. Jangkauan radio juga lebih banyak bersifat lokal, yang memungkinkan pendengar dengan penyiar radio memiliki hubungan yang lebih erat dan personal. Dengan demikian bahasa radio berbeda dengan bahasa media yang lain, bahasa radio adalah bahasa yang akrab dan personal. Oleh karenanya, dalam penelitian ini akan dilihat pola konsumsi radio dalam konteks lokalitasnya. Masing-masing kelompok FGD akan dianalisis intensitasnya dengan media radio. Apakah radio merupakan media yang efektif untuk menyampaikan pesan kesehatan dan pendidikan tinggi kesehatan terutama untuk isu akreditasi dan penjaminan mutu? Pola konsumsi radio di Makassar menunjukkan bahwa kelompok FGD 1 (dokter dan dokter gigi) sebanyak 62% mendengarkan radio setiap hari. Sementara 25% mendengarkan 3-4 hari sekali. Dan 13% tidak lagi mendengarkan radio. Radio yang menjadi favorit kelompok ini adalah I Radio (program Goncang) dan Smart FM (Program Berita Terkini dan Motivasi).
Sementara untuk kelompok FGD II yakni kelompok
perawat, bidan dan dosen keperawatan serta kebidanan justru 50% tidak mendengarkan radio, hanya 37% yang mendengarkan radio setiap hari dan sisanya mendengarkan radio 3-4 hari sekali. dari 50% yang mendengarkan radio itu mereka memfavoritkan stasiun Gamasi FM (Program VOA), Venus FM (program Bincang-Bincang) dan Delta FM (program Berita Sekitar). Kelompok FGD 3 (mahasiswa kedokteran dan kedokteran gigi) juga memiliki tingkat konsumsi radio yang rendah. Sebanyak 50% tidak mendengarkan radio, sebanyak
86
37% mendengarkan sehari sekali dan 13% mendengarkan 3-4 hari sekali. Stasiun yang menjadi favorit sesuai dengan segmentasi umur kelompok ini adalah Prambors Radio, sayangnya responden tidak menyebutkan program favorit mereka. Kelompok terakhir yakni FGD 4 (mahasiswa keperawatan dan kebidanan) sebanyak 71% mendengarkan radio dengan presentase yang mendengarkan setiap hari hanya 14%, 3-4 hari sekali 14% dan 43% seminggu sekali. Radio yang didengarkan merata antara Radio Mesra (program Jelajah Kota), M Radio (program chat lagu), Madama Radio (program Biru Malam) dan RRI. Jika melihat pola konsumsi yang sedemikian rupa, hanya kelompok FGD 1 yang intens mendengarkan radio dengan 62% mendengarkan radio setiap hari. Sementara kelompok lainnya kurang intens. Sulit untuk membayangkan sebuah pesan yang seserius isu akreditasi dan uji kompetensi akan bisa sampai dengan efektif dengan menggunakan media radio. Hanya jika ada stasiun radio yang khusus menyasar segmentasi khalayak kesehatan maka pesan mengenai akreditasi dan uji kompetensi bisa sampai. Di kota lainnya, yakni Medan, kelompok FGD 1 di Medan ternyata 100% mendengarkan radio setiap hari. Stasiun favoritnya adalah Lite FM (Program Lagu-lagu), Delta FM (Program kesehatan dan lagu), dan Kiss FM (program lagu). Sementara kelompok FGD 2, 75% mendengarkan radio setiap hari dan 25% tidak mendengarkan radio. Stasiun favorit mereka adalah Kartini FM (program kesehatan) dan Lite FM (berita dan musik). Kelompok FGD 3
(mahasiswa kedokteran dan kedokteran gigi) 100%
mendengarkan radio dengan prosentase intensitas 62% setiap hari, 25% seminggu sekali dan 13% dua hari sekali. program favorit mereka adalah Prambors FM (Indolicious) dan Kiss FM (Top 40). Kemudian di kelompok FGD IV (mahasiswa keperawatan, kebidanan) hanya 50% yang mendengarkan radio, 38% mendengarkan seminggu sekali dan hanya 12% yang mendengarkan setiap hari. Program favorit kelompok ini adalah Most FM (Program Mozaik). Radio masih merupakan media yang populer bagi khalayak kesehatan di Medan. Hanya FGD IV yang intensitas mendengarkan radionya yang rendah. FGD 1 yang paling tinggi intensitasnya. Untuk khalayak Medan, Lite FM bisa menjadi pilihan yang cukup baik untuk sosialisasi. Dari keseluruhan data penggunaan radio di Medan, dapat diamati bajwa radio bukan media yang terlalu difavoritkan oleh khalayak kesehatan Medan karena intensitas mendengar yang rendah. Di kota Surabaya, Kelompok FGD 1 Surabaya sebanyak 57% mendengarkan radio setiap hari, 14% seminggu sekali dan 29% tidak mendengarkan radio. Stasiun
87
favorit kelompok ini adalah Suara Surabaya (program Kelana Kota, Berita Regional, Musik dan Interaktif). Kelompok FGD 2 50% mendengarkan radio setiap hari, 25% mendengarkan 3-4 hari sekali dan 25% lainnya tidak mendengarkan radio. Tidak ada stasiun radio yang menonjol di kelompok ini, responden secara merata memilih Suara Surabaya (berita), M radio (music), Fam Radio (konsultasi agama) dan Radio Muslim Surabaya (ulasan hadits). Kelompok FGD 3 di Surabaya tidak juga menampilkan kondisi yang lebih baik, hanya 33% yang mendengarkan setiap hari, 33% mendengarkan seminggu sekali, 17% seminggu sekali dan 17 lainnya tidak mendengarkan radio. Sementara program favorit mereka adalah Suara Surabaya, Gen FM dan Prambors dengan program favorit semuanya adalah program sajian musik. Pola konsumsi yang berbeda ditunjukkan oleh Kelompok FGD 4, para responden di kelompok ini mendengarkan radio setiap hari sebanyak 67%, sementara yang seminggu sekali sebanyak 16%, sisanya yakni 17% tidak mendengarkan radio. Stasiun favorit mereka adalah Suara Surabaya (Info Lalu Lintas, Kelana Kota) dan M Radio. Kemudian di kota terakhir, Bali, Kelompok FGD I mendengarkan radio setiap hari dengan prosentasi 75% dan sisanya 25% seminggu sekali. Stasiun favorit mereka adalah Casanova FM dan Pinguin FM. Sementara kelompok FGD 2 tidak ada yang mendengarkan radio setiap hari. 50% mendengarkan seminggu sekali, 25% seminggu sekali dan 25% lainnya tidak mendengarkan radio. Radio favorit kelompok ini adalah RRI (berita kesehatan) dan radio Elkolga (music). Responden di kelompok FGD 3, sebanyak 87% mendengarkan radio setiap hari sementara sisanya 13% tidak mendengarkan radio. Radio favorit kelompok ini adalah Phoenik FM dengan program favorit New Release. Kelompok FGD 4 mendengarkan radio sebanyak 100% dengan prosentase 29% setiap hari, seminggu sekali dan dua hari sekali, sementara sisanya 13% dua hari sekali. Stasiun favorit mereka adalah Phoenic FM dan OZ Bali dengan program musik sebagai favorit mereka. Hanya FGD 1 dan 3 yang tinggi intensitas mendengarkan radionya. Sementara FGD 2 dan 4 sangat rendah. Dari analisis yang telah dilakukan pada pola penggunaan radio secara keseluruhan dapat diamati bahwa Hasil penelitian ini tidak menunjukkan angka konsumsi radio yang merata. Khalayak Medan yang memperlihatkan intensitas mendengarkan radio yang tinggi. Di Denpasar cukup tinggi namun hanya di kelompk FGD 1 dan 3. Sementara di kota Makassar dan Surabaya akan terjadi kesulitan besar
88
untuk mensosialisasikan program akreditasi dan uji kompetensi melalui radio. Apalagi konsumsi radio bersifat tersegmentasi dan lokal – implikasinya pesan harus disesuaikan dengan karakteristik khalayak yang beragam segmennya dan dengan pendekatan bahasa radio yang juga disesuaikan dengan lokasi dan segmennya. Masih ada peluang yang tersedia, jika radio tetap dipilih sebagai media sosialisasi,yakni menggunakan radio berjaringan. Seperti bisa dilihat dari daftar stasiun favorit, ada banyak stasiun radio berjaringan yang menjadi stasiun favorit. Yang paling favorit adalah Kiss FM dan Prambors Radio. Keuntungan menggunakan radio berjaringan ini adalah bahwa pesan bisa ditujukan untuk segmen radio ini dan disebarkan di banyak kota di mana stasiun ini membuka cabangnya.
4.4.4 Televisi Televisi dapat dikatakan sebagai media yang tingkat popularitasnya tinggi. Jangkauan televisi juga lebih luas bila dibandingkan koran, majalah, dan radio. Dari sisi bentuk pesan, televisi adalah media yang mengemas pesan dalam bentuk audio visual. Teknologi audio visual ini menjadikan televisi lebih lengkap dibandingkan media massa lainnya. Seperti pada Koran, majalah dan radio, terpaan televisi terhadap responden juga dapat diamati melalui intensitas responden dalam mengakses media tersebut. Intensitas ini terkait dengan responden dalam menonton setiap harinya serta program apa yang mereka tonton. Berikut ialah table yang menunjukkan intensitas menonton setiap harinya,
Tabel 4.3 Intensitas Menonton Televisi (Dalam Sehari) NO 1 2 3 4 5
INTENSITAS MENONTON TELEVISI (DALAM SEHARI) Tidak Sama Sekali 1 jam 2-3 jam Lebih dari 4 jam Tidak Menjawab
FGD 1 4% 26% 56% 15% 0%
FGD 2 0% 33% 37% 19% 0%
FGD 3 0% 48% 37% 22% 4%
FGD 4 22% 33% 41% 7% 0%
Dapat dilihat bahwa persentase jumlah responden yang sama sekali tidak menonton televisi pada tiap kelompok sangat kecil. Bahkan responden pada FGD 2 dan FGD 3, semuanya memiliki waktu untuk menonton televisi di setiap harinya. Namun jika
89
dilihat dari data pada tabel, sebagian besar responden dari seluruh kelompok menonton televisi kurang dari 4 jam sehari. Durasi menonton televisi yang kurang dari 4 jam menunjukan bahwa sebagian besar responden tidak menonton banyak program televisi setiap harinya. Meminjam istilah George Gerbner, para responden dalam FGD ini bisa dikategorikan ke dalam light viewer. Sementara itu,dari segi program televisi, di kelompok FGD 1 , FGD 2 dan FGD 4 acara yang paling banyak ditonton adalah Opera Van Java (OVJ). Hal yang agak berbeda ditunjukan pada kelompok FGD 3, acara yang paling banyak ditonton adalah Indonesia Lawyers Club, yakni acara talkshow yang membahas berbagai isu hangat, terutama seputar hokum namun jumlahnya tidak jauh berbeda dengan OVJ yang menempati urutan kedua. Dari data mengenai pilihan program ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menonton televisi dalam rangka mencari hiburan, bukan untuk mendapatkan info mengenai dunia kesehatan, atau lebih jauh lagi tentang pendidikan tinggi kesehatan
4.4.5 Internet Keseluruhan peserta FGD 1 dari seluruh provinsi merupakan pengakses internet. 74% mengakses internet setiap hari. Hal itu menunjukan tingginya penggunaan internet oleh kelompok dokter, dokter gigi dan akademisi bidang kedokteran dan kedokteran gigi. 44% diantara mereka mengakses internet dari sambungan internet di rumah, hanya 22% menggunakan smartphone. Hal ini menunjukan intensitas mereka dengan dunia cyber kurang terlalu tinggi, mengingat saat ini smartphone telah menjadi medium utama untuk mengakses internet. Selain soal intensitas, kualitas konsumsi internet juga dilihat dari inisiatif penggunanya dalam mencari informasi. 44% responden FGD 1 tidak menjawab pertanyaan mengenai apa yang diunduh dari internet, 45% mengunduh artikel dan 7% mengunduh e-book. Sementara web yang paling sering diakses oleh kelompok ini adalah Google.com dan Yahoo.com. Keduanya termasuk dalam kategori mesin pencari. Hal ini menjelaskan bahwa kelompok ini mengandalkan mesin pencari untuk mengakses informasi. Hanya 12% yang langsung merujuk detik.com untuk mencari informasi. Data ini menunjukan responden tidak loyal terhadap suatu situs. Mereka mencari informasi dari hasil mesin pencari.
90
Untuk mengukur aktivitas dalam dunia internet juga bisa ditinjau dari tingkat partisipasi dalam dunia internet. Mengejutkan bahwa 63% dari peserta FGD I tidak memiliki blog, hanya 18% yang memiliki blog sementara sisanya tidak menjawab pertanyaan. Kemudian, 70% dari 18% itu tidak mempublikasikan materi apapun ke internet, hanya 26% yang mempublikasikan tulisan. Selain itu, tingkat partispasi juga bisa diukur dari keaktifan di dunia jejaring sosial. Pengguna jejaring sosial dari kelompok ini cukup tinggi yakni 78%. 73%nya adalah pengguna Facebook dan 23%nya pengguna twitter. Namun, hanya sebanyak 18% peserta yang aktif memberikan komentar pada situs dan 63% tidak memberikan komentar pada situs. Kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa kelompok FGD I mengakses internet namun masih sangat pasif. Sementara bagi kelompok FGD 2 sebanyak 82% adalah pengguna internet. Dari 82% itu 50% terhubung dengan internet menggunakan sambungan internet dan hanya 21% yang telah menggunakan smartphone. Kelompok ini juga tidak berbeda dengan kelompok FGD 1 yang mengakses informasi dengan menggunakan mesin pencari (42% Google.com dan 39% Yahoo.com). Hanya 14% yang langsung mencari informasi melalui situs detik.com, sisanya menyebutkan gmail. Sementara itu, sebanyak 46% tidak mengunduh informasi dari internet dan 50% mengunduh tulisan artikel. Dari segi partisipasi, bisa dikatakan bahwa tingkat partisipasi di kelompok ini tergolong rendah. 88% tidak memiliki blog. 96% diantaranya tidak mempublikasikan apapun di blog, artinya kelompok ini sangat pasif. Kepemilikan akun jejaring sosial juga hanya 54% di mana 64% diantaranya adalah pengguna Facebook. 74% dari pengguna jejaring sosial ini tidak mempublikasikan informasi di akun mereka, hanya 21% yang mempublikasikan tulisan. Kesimpulan yang bisa ditarik adalah kelompok ini juga merupakan kelompok pengguna internet yang pasif. Selanjutnya dikelompok FGD 3, sebanyak 83% mengakses internet setiap hari. Seperti kelompok yang lain Google.com dan Yahoo.com sebagai web yang paling diakses (43% dan 27%). Setelah itu barulah detik.com (18%), Kompas.com (8%) dan Youtube (4%). Tingkat inisiatif kelompok ini tidak terlalu tinggi meski lebih baik dari kelompok FGD I dan FGD II. Sebanyak 44% mengunduh tulisan artikel, 13% mengunduh ebook dan 37% tidak mengunduh informasi dari internet. Kepemilikan blog kelompok ini juga rendah, sama dengan kelompok yang lain, yakni hanya 36% yang memiliki blog, sebanyak 57% tidak memiliki blog.
91
Lemahnya tingkat inisiatif ini berbanding lurus dengan tingkat partisipasi kelompok ini. Sebanyak 83% tidak mempublikasikan informasi dalam blog mereka dan hanya 10% yang mempublikasikan tulisan artikel. Meski sebanyak 83% telah memiliki akun jejaring sosial yang didominasi Facebook (49%) dan Twitter (45%), namun setengah dari mereka tidak mempublikasikan informasi di jejaring sosial, hanya 34% yang mempublikasikan tulisan. Kelompok FGD 3 ini juga merupakan kelompok yang pasif. Di kelompok FGD 4, data menunjukkan bahwa akses terhadap internet di kelompok ini lebih rendah dari kelompok yang lain yakni hanya 57%, sebagian lainnya mengakses internet seminggu sekali (32%) dan tiga hari sekali (7%). Para pengguna itu sebanyak 39% mengakses menggunakan sambungan internet dan 29% menggunakan smartphone. Tidak berbeda dari kelompok lain, kelompok ini juga mengandalkan Google (54%) dan Yahoo (38%) sebagai web yang paling sering diakses ketika mencari informasi. Sementara detik diakses oleh 8% peserta. Namun, tingkat inisiatif pengguna internet di kelompok ini lebih tinggi, sebanyak 71% mengunduh tulisan artikel sementara 25% lainnya tidak mengunduh apapun. Namun tingkat partisipasi kelompok ini masih rendah. Sebagian besar (86%) tidak memiliki blog. Sebanyak 74% diantaranya tidak mempublikasikan informasi melalui blog dan 14% mempublikasikan tulisan. Sebanyak 96% peserta FGD IV yang memiliki akun jejaring sosial yang sebagian besar adalah pengguna facebook (61%) dan twitter (25%). Sementara tingkat partisipasi kelompok ini tidak terlalu bagus yakni hanya 32% yang mempublikasikan tulisan dan 25% mempublikasikan gambar. Dan masih lebih banyak, yakni 39%, yang tidak mempublikasikan informasi di jejaring sosial. Kelompok ini juga tergolong pasif. Dari semua kelompok FGD, jumlah pengguna internet ternyata cukup signifikan. Sebagian besar dari mereka telah memiliki saluran internet sendiri di rumahnya. Namun smartphone sebagai teknologi yang mendekatkan internet dengan orang belum begitu banyak dimanfaatkan. Artinya, internet dengan segala fasilitasnya belum menjadi pilihan primer untuk berkomunikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa khalayak kesehatan masih belum terakses dengan informasi yang berkarakter real time dan interaktif. Kedekatan responden dengan internet juga bisa dilihat dari tingkat inisiatif mereka dalam pencarian informasi internet. Jika dilihat dari prosentase pengunduhan data maka sebetulnya tingkat inisiatif mereka rendah karena prosentase pengunduhan informasi yang sangat rendah.
92
Tingkat inisiatif juga bisa dibaca dari website apa yang paling sering diakses. Ternyata, sebagian besar responden menjawab Google dan Yahoo sebagai website yang paling sering diakses. Data tersebut menunjukan dua hal, yakni : 1. Responden tidak memiliki sumber informasi yang pasti karena mengandalkan mesin pencari, 2. Responden tidak bisa membedakan antara website dan mesin pencari, hal ini menunjukan tingkat melek informasi yang rendah. Sedangkan detik.com bisa dicatat sebagai situs berita yang paling dekat dengan responden. Detik.com bisa dijadikan pilihan utama jika hendak melakukan sosialisasi. Selanjutnya, tingkat keaktifan di dunia cyber juga dilihat dari partisipasi mereka. Sebagian besar responden tidak memiliki blog. Jika mereka memiliki blog pun, hanya sebagian kecil saja yang mempublikasikan informasi di blog mereka. Sedangkan jika dilihat dari penggunaan media sosial, umumnya di semua kelompok FGD, responden memiliki akun media sosial. Facebook adalah jejaring sosial yang paling banyak dimiliki, diikuti oleh twitter. Meski sebagian besar ikut menjadi bagian dari dunia jejaring sosial, namun sebagian besar mereka pasif. Semua responden di semua kota bukanlah pengguna jejaring sosial yang aktif dan partisipatif – mereka tidak banyak mengunduh dan mempublikasikan informasi. Hal ini menjadi problematis karena media sosial adalah media yang bersifat partisipatif. Kepasifan dan tidak partisipatifnya khalayak tenaga kesehatan dan pendidikan kesehatan ini membuat sosialisasi menggunakan internet harus sangat intens dan tetap harus diperkuat dengan bentuk sosialisasi dengan teknik komunikasi yang lain. Kesimpulan umum, bahwa internet merupakan medium yang sangat populer. Namun dengan tingkat inisiatif dan partisipatif yang rendah, maka khalayak kesehatan belumlah menjadi bagian penting dari dunia informasi kontemporer yang dicirikan dengan meleburnya batasan antara konsumen dan produsen. Namun, kondisi pasif ini bukan berarti membuat suatu sosialisasi terhambat. Hanya saja, sosialisasi haruslah dilakukan dengan tingkat intensitas yang tinggi, internet saja tidak mencukupi.
4.4.6 Figur Dunia Kesehatan Selain media, peneliti juga melakukan analisis terhadap figur dunia kesehatan. Analisis terhadap figure ini dilakukan untuk mengetahui tokoh nasional yang menjadi panutan bagi para responden dalam bidang kesehatan. Tabel berikut menunjukan figur
93
yang paling sering muncul pada jawaban-jawaban responden ketika ditanya soal figur dunia kesehatan,
Tabel 4.4 Figur Dunia Kesehatan FIGUR DUNIA KESEHATAN Prof. Nafsiah Mboi dr. Endang Sri Rahayu dr. Siti Fadilah dr. Boyke
FGD 1 9 5 3 3
FGD 2 6 7
FGD 3
FGD 4
3 5
10
Dari tabel di atas bisa diamati bahwa jawaban dari kebanyakan responden mengenai figur dunia kesehatan yang paling populer adalah Nafsiah Mboi, (Alm) Endang Sri Rahayu, Siti Fadillah Supari dan dr. Boyke. Selain dr. Boyke, ketiga figure yang disebutkan oleh para responden tersebut adalah tokoh yang pernah dan sedang memegang jabatan pemerintahan, yakni Menteri Kesehatan. Data ini memperlihatkan apa yang ada di benak responden ketika berbicara mengenai isu kesehatan, yaitu bahwa pemerintah menempati top of mind para responden di hampir setiap kelompok FGD. Kecenderungan ini terutama terlihat pada kelompok FGD 1 (dokter dan dokter gigi) serta kelompok FGD 2 (bidan dan perawat). Sedangkan di kalangan mahasiswa dari empat program studi yang berbeda, figur kesehatan yang sering muncul adalah dr. Boyke. Hal ini menunjukkan bahwa bagi para mahasiswa pendidikan tinggi kesehatan, figure kesehatan adalah figure yang popular. Dengan kata lain figur kesehatan bagi mereka identik dengan orang dari profesi kesehatan yang sering muncul di media massa, seperti dr. Boyke.
4.4.7 Analisis Pola Penggunaan Media Data-data mengenai penggunaan media massa oleh para responden menunjukkan bahwa selama ini surat kabar, radio dan majalah masih menjadi pilihan media massa yang diakses oleh para responden. Media konvensional seperti koran dan majalah yang dibaca beberapa responden menjadi sumber informasi seputar dunia kesehatan. Namun informasi dunia kesehatan yang diberikan oleh Koran dan majalah
94
adalah isu dunia kesehatan pada umumnya, bukan isu spesifik seperti pendidikan tinggi kesehatan, atau sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Sedangkan, untuk radio, penggunaannya cenderung tidak merata. Apalagi konsumsi radio bersifat tersegmentasi dan lokal – implikasinya pesan harus disesuaikan dengan karakteristik khalayak yang beragam segmennya dan dengan pendekatan bahasa radio yang juga disesuaikan dengan lokasi dan segmennya. Selain itu, data juga menunjukkan bahwa terdapat peluang untuk melakukan sosialisasi melalui radio, yaitu dengan menggunakan radio berjaringan, Selain majalah, Koran dan radio, di antara media massa lainnya, televisi adalah media yang tingkat terpaannya cukup tinggi, namun terpaan ini tidak terkait dengan isu kesehatan karena program yang ditonton kebanyakan responden di setiap kelompok FGD adalah program hiburan. Media lainnya, yakni internet, juga merupakan media yang semakin dekat dengan kehidupan responden, ini bisa dilihat dari tingginya intensitas mereka dalam menggunakan internet. Selain itu bisa diamati juga bahwa hamper semua responden di semua kelompok memiliki akun jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan responden menggunakan internet untuk interaksi sosial mereka. Di samping untuk berinteraksi, internet juga digunakan sebagai media untuk mengakses informasi mengenai pendidikan tinggi kesehatan. Di dalam FGD, beberapa responden menyebutkan bahwa mereka mendapat informasi mengenai pendidikan tinggi kesehatan dari situs-situs universitas, misalnya Universitas Indonesia dan Unversitas Gajah Mada. Seperti yang telah disebutkan, internet memang dekat dengan kehidupan para responden tapi namun tingkat inisiatif dan partisipasi aktif mereka dalam berinternet masih tergolong rendah. Indikasinya adalah rendahnya angka pengunduhan dan publikasi informasi oleh khalayak kesehatan. Hal ini terlihat misalnya dalam kegiatan mengunggah atau mempublikasikan informasi, kebanyakan responden tidak bisa mengidentifikasi informasi apa yang mereka publikasikan ke internet. Sehingga dikatakan bahwa khalayak kesehatan dalam penelitian ini belum menjadi bagian penting dari dunia informasi kontemporer yang dicirikan dengan meleburnya batasan antara konsumen dan produsen. Namun, kondisi kurangnya pastisipasi ini bukan berarti membuat suatu sosialisasi terhambat karena meski tidak banyak memproduksi pesan, khalayak kesehatan menampakan intensitas tinggi dalam aksesibilitas ke dunia Internet.
95
Di samping media massa konvensional dan media baru (internet), peneliti juga mengamati adanya preferensi penggunaan komunikasi antar persona dan komunikasi kelompok pada para responden. Dari data FGD, sebagian besar responden mengemukakan bahwa mereka memperoleh informasi seputar pendidikan tinggi kesehatan melalui media-media tersebut, termasuk di dalamnya isu penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Informasi itu mengalir melalui obrolan obrolan dengan teman sebaya, rapat, diskusi, seminar, dan sebagainya. Hal tersebut menunjukan bahwa informasi mengenai pendidikan tinggi kesehatan tidak termediasi dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi oleh media massa
96
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Analisis Persepsi Mutu Penelitian ini berangkat dari pertanyaan bagaimana persepsi publik kesehatan mengenai sistem penjaminan mutu institusi pendidikan tinggi kesehatan? Kesimpulan yang dapat ditarik setelah analisis data penelitian diolah adalah: yang dimaksud mutu dalam benak publik kesehatan selalu berkaitan dengan masalah fasilitas.
1. Fasilitas sebagai factor determinan dalam kekurangan mutu pelayanan kesehatan Temuan penelitianini menunjukkan bahwa pada isu mengenai institusi pendidkan maupun pelayanan bahwa persoalan fasilitas merupakan faktor yang berada dalam peringkat pertama di benak responden. Sementara isu mengenai standarisasi pelayanan, menempati poisisi 3 setelah fasilitas dan manajemen administrasi rumah sakit. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada isu mengenai sumber daya manusia di pelayanan. Meski jawaban paling pertama yang terlintas adalah tenaga kesehatan hari ini adalah menurunnya kualitas etika dan empati.Namun bila isu tersebut di telusuri lebih jauh, maka kita akan menemukan pelbagai hal yang menjadi akarnya adalah kembali pada persoalan fasilitas. Sikap yang menjadikan uang sebagai tujuan pelayanan kesehatan telah mengalahkan sumpah profesi untuk menolong. Berbagai kasus mulai dari memperlakukan pasien sebagi objek pembelajaran sampai dengan perlakuan yang tidak profesional, seperti membiarkan pasien menunggu lama, terungkap dalam FGD. Pertanyaan kemudian, apa hubungan antara etika dan empati dengan fasilitas? Salah satu temuan penelitian ini menunjukan bahwa indikator dari kuranganya
empati
dan
etika
berdasar
temuan
kami
adalah
lemahnyakomunikasi. Responden mengakui bahwa proses penyembuhan pasien 75% ditentukan oleh keberhasilan membangkitkan motivasi pasien dan memahami penyakit. Untuk memenuhi keduanya, komunikasi tidak lain merupakan faktor yang penting. Melalui komunikasilah empati terjalin. Melalui komunikasi jugalah diganosa yang tepat dimungkinkan. Hal ini diakui oleh
97
semua kelompok respon yang terlibat dari FGD. Namun mengenai penyebabnya hasil penelitian mendapati ada dua persepsi yang berbeda. Pertama adalah yang melihatnya dari sudut pandang melemahnya etika profesi, yakni masalah penghayatan atas profesi dan etika dari tenaga kesehatan (kelompok FGD 1 dan 2, mahasiswa dan mahasiswa praktik). Sedangkan yang kedua (kelompok FGD 1 dan 2, tenaga kesehata dan dosen PT bidang
kesehatan)
melihatnya
penyebabnya
dating
dari
persoalan
ketidaktepatan kebijakan pemerintah. Persepsi yang kedua ini dilandasi oleh persoalan besarnya jumlah pasien yang dimungkinkan oleh fasilitas kebijakan seperti Jamkesmas (Jaminan kesehatan masyarakat) dan Jamkesda (Jaminan kesehatan masyarakat daerah) yang menciptakan ketimpangan rasio antara pasien dan tenaga kesehatan. Ketimpangan tersebut membuat waktu kerja tenaga kesehatan melampaui yang mungkin mereka berikan, hasilnya pelayanan pun jauh dari prima. Komunikasi menajdi seperlunya, karena orientasinya adalah kecepatan. Bisa ditarik kesimpulan, kurangnya mutu pelayanan dipersepsi karena dua hal: melemahnya penghayatan terhadap profesi (problem filosofis) dan buruknya kebijakan bidang kesehatan (teknis dan kebijakan).
2. Fasilitas sebagai faktor determinan dalam masalah profesionalitas dan instusi Upah jasa profesi juga menjadi faktor yang dinilai publik kesehatan ikut bertanggungjawab
pada
rendahnya
mutu
pelayanan.
Kecilnya
gajitenagakesehatan membuat tenaga kesehatan harus bekerja dibanyak instusipelayanankesehatan untuk memenuhi kebutuhannya. Alhasil, waktu kunjungan dokter pun harus dipersingkat untuk memenuhi tanggung jawab dibanyak rumah sakit. Komunikasi dokter pasien sebagai faktor utama kesembuhan pun dikorbankan. Selain upah, faktor lainnya adalah fasilitas. Minimnya kordinasi antara profesi dalam manajemenpelayanan diakibatkan oleh kurangnya komunikasi, dan hal ini dimungkinkan oleh minimnya fasilitas. Temuan kami dalam FDG kelompok satu medan misalnya, menegaskan bahwa tidak adaya ruang bersama untuk dokter spesialis dan dokter umum menumpulkan komunikasi diantara
98
mereka. Faktor ruang sosialisasimenentukan pola komunikasi yang terjadi. Selama ini dokter spesialis memiliki ruang sendiri-sendiri, sehingga proses penyembuhan pasien yang seharusnya hanya membutuhkan konsultasi antara satu dokter dengan dokter lain atau dokter dengan perawat, harus melalui mekanisme rujukan yang memakan waktu dan biaya. Sekali lagi fasilitas jadi persoalan.
3. Fasilitas sebagai factor pelemah kompetensi tenaga kesehatan Skenario yang sama dipercaya oleh kelompok FGD 1 dan 2 juga jadi penyebab dari minimnya kompetensi tenaga kesehatan. Minimnya fasilitas dinilai jadi akar dari rendahnya kompentensi tenaga kesehatan. Hal ini dilihat dalam kaitannya dengan minimnya rumah sakit pendidikan, tempat dinilai calon tenaga kesehatan memiliki kesempatan untuk belajar praktekdenganmaksimal. Sementara dalam pelayanan sendiri, belum diadopsinya teknologi terbaru, membuat pelayanan tidak maksimal. Meskipun ini juga berhubungan dengan tingkat kemampuan mengaplikasikan teknologi yang kurang dari tenaga kesehatan. Pada akhirnya, dengan logika diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penunjang mutu dalam hal ini fasilitas, dinilai sebagai poin yang amat penting dari komponen mutu. Pandangan demikian menujukkan dua hal yang menajdi kesenjangan antara nilai mutu ideal yang hendaknya menjadi semangat dari HPEQ (Helth Profesional Education Quality) dengan persepsi mutu dibenak khalayak kesehatan.
4. Analisis persepsi mutu: kesenjangan harapan HPEQ dan persepsi khalayak mengenai mutu inti masalah mutu pelayanan kesehatan Pertama, terkait dengan nilai mutu yang berbasikan kompetensiindividu atau profesionalitas tenaga kesehatan. Bila HPEQ menilai bahwa mutu pertamatama merupakan tanggung jawab personal seorang profesional dan menjadi sesuatu yang sifatnya integral dalam profesi yang dihayatinya, maka publik kesehatan masih menilai mutu sebagai tanggung jawab institusi atau pun pemangku kepentingan yang lebih luas dalam hal ini pemerintah. Itulah
99
mengapa persoalan terkait mutu melulu dikaitkan dengan kebijakan dan ketersediaan fasilitas. Kedua, pandangan mengenai mutu yang merupakan tanggung jawab dari pemangku kepentingan yang lebih luas, mau tidak mau melahirkan gagasan bahwa kesehatan masyarakat dan mutu pelayanan adalah juga tanggung jawab pemerintah. Ini sekali lagi bertentangan dengan semangat HPEQ yang mengusung kemandirian profesi. Publik kesehatan melihat persoalan pelayanan dan pendidikan kesehatan yang muaranya adalah kesehatan publik luas, merupakan area tanggung jawab pemerintah. Untuk itu, mereka sebagai abdi negara (PNS) perlu untuk difasilitasi secara maksimal dengan mencapai tujuan tersebut. Apa yang hilang atau timpang dari tujuan HPEQ dan persepsi publik kesehatan adalah gagasan mengenai tugas profesi kedokteran dan kesehatan lainnya untuk menolong sebagaimana tertera dalam sumpah dokter. Kesehatan masyarakat bukan hanya soal pemerintah, sebagai intelektual publik, seorang tenaga kesehatan pertama-tama bertanggung jawabkan pada publik dan tujuan ideal dari profesinya, bukan pemerintah.
5.2. Analisis Persepsi Sistem Akreditasi Pada hakikatnya hasil dari FGD empat kota mengenai akreditasi dapat disimpulkan bahwa publik kesehatan menyetujui akan pentingnya akreditasi. Namun sayangnya akreditasi dinilai sebagai bentuk legalitas semata. Seharusnya akreditasi dinilai sebagai bentuk kualitas mutu institusi. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini disebabkan berbagai hal.
1. Akreditasi sebagai formalitas Pertama, ketika dilakukan penilaian akreditasi, orang berlomba-lomba melakukan berbagai cara untuk memenuhi borang akreditasi. Orang tidak lagi berpikir untuk memperbaiki kualitas institusinya tapi lebih kepada pemenuhan instrumen dulu, bagaimana keseluruhan borang dapat terpenuhi. Sehingga yang terjadi di lapangan adalah rekayasa demi pemenuhan boring seperti peminjaman fasilitas dan sdm yang hanya muncul ketika ada penilaian akreditasi. Hal ini tentu saja tidak dapat meningkatkan kualitas institusi, karena kualitas itu hanya di atas kertas akreditasi saja, selebihnya institusi tetap sama.
100
Jadi belum tentu akreditasi suatu institusi sama dengan kenyataannya. Di beberapa kasus malah terjadi sebaliknya, institusi besar yang dinilai bagus oleh masyarakat malah secara akreditasi buruk.
2. Kompetensi assessor tidak dipercaya Kedua, ketika yang menjadi penilai akreditasi adalah orang yang berlatang belakang berbeda dengan institusi atau program studi yang ia nilai, ini menjadi masalah besar. Asesor yang kurang mengerti keadaan di lapangan dinilai menjadi kekurangan dari akreditasi itu sendiri. Itulah mengapa responden setuju akreditasi dilakukan oleh profesi, karena “orang mereka sendiri” akan lebih paham dengan kebutuhan mereka dibandingkan orang di luar mereka.
3. Tidak adanya kesinambungan akreditasi Ketiga, ada tindak lanjut setelah akreditasi juga menjadi poin penting. Bagaimana akreditasi tidak dinilai sebagai “formalitas” semata, ketika setelah “bersusah payah” memenuhi instrumen, tidak ada tindak-lanjut dari hasil akreditasi itu. Sementara instrumen terus berubah. Namun kekurangan dan apa yang harus dipenuhi tidak diketahui oleh mereka. Hal ini semakin memperjelas bahwa akreditasi ujung-ujungnya adalah semacam legalitas saja. Orang sudah harus puas dengan hasilnya saja tanpa ada kelanjutan, yang penting institusi ini sudah diakreditasi, tidak penting apakah benar atau tidak akreditasi tersebut dengan kenyataan di lapangan.
4. Akreditasi sebagai saringan bolong Keempat, keresahan publik kesehatan atas bertumbuhnya institusiinstitusi pendidikan tinggi kesehatan yang menjamur dengan cepatnya. Para bidan dan perawat menilai betapa mudahnya pembukaan sekolah tinggi kesehatan semacam STIKES di daerah, dengan fasilitas seadanya, namun bisa ditemukan di mana-mana. Tidak ada kontrol kualitas atas sekolah-sekolah tersebut. Akreditasi hanya dianggap sebagai saringan bolong. Akreditasi atau tidak sama saja. Tentunya ini akan berdampak pada persaingan dan kualitas SDM di institusi pelayanan.
101
5. Harapan terhadap akreditasi Walaupun dengan banyak fakta di lapangan yang menunjukkan besaranya jurang harapan dan kenyataan, tidak melepaskan harapan publik kesehatan atas akreditasi. Para responden masih menyatakan bahwa akreditasi penting bagi institusi dan lulusan mereka. Namun dengan berbagai syarat yang mereka ajukan. Akreditasi diharapkan memiliki instrumen yang applicable dan realistis, asesor memahami apa yang dinilai, ada transparansi hasil, bebas KKN, dengan prosedur yang diperketat. Akreditasi juga diharapkan tidak hanya dilakukan di institusi pendidikan tinggi saja tapi juga di institusi pelayanan kesehatan. Bahkan akreditasi harus didukung dengan uji kompetensi. Ketika akreditasi menjadi penilai institusi, uji kompetensi menjadi penilai lulusannya.
6. Pemerintah sebagai penanggung jawab akreditasi Untuk pertanyaansiapa yang harusmengakreditasi, publik kesehatan masih “percaya” dengan pemerintah. Pemerintah dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas keadaan mereka saat ini. Pemerintah adalah pemilik dana dan akses terbesar dalam dunia kesehatan. Kekuasaan pemerintah yang tak terbatas ini lah yang menjadi alasan mengapa mereka enggan keluar dari zona aman selama ini. Namun keinginan untuk mandiri tetap muncul di FGD 1 Surabaya dengan catatan besar bahwa pembiayaan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Jawaban lain masih menyangkut pemerintah, adanya kerjasama antara pihak profesi, masyarakat dan pemerintah bersama. Namun tetap saja pemerintah ikut serta.
5.3 Analisis Persepsi Uji Kompetensi Dari deskripsi mendalam yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat beberapa hal yang menjadi poin penting yang menunjukan kesenjangan antara persepsi khalayak bidang kesehatan dengan rencana LPUK yang sebelumnya telah disinggung di dalam Bab 2 penelitian. 1. Konsep ideal disepakati, praktik menuai kritik Sebetulnya ketika berbicara uji kompetensi pada tataran konseptual, idealisasi disepakati, namun pada praktiknya banyak memunculkan persepsi negatif. Penyebab yang banyak muncul dalam penolakan terhadap uji
102
kompetensi ialah karena standardisasi pendidikan yang tidak sama di seluruh Indonesia, terutama mengenai hal kurikulum dan fasilitas. Selain itu, penolakan yang cenderung keras datang dari FGD kelompok 1 di wilayah Surabaya dan Medan. Penolakan tersebut ialah dikarenakan uji kompetensi dianggap tumpang tindih dengan akreditasi. Bila sudah diakreditasi, mengapa harus dilakukan uji kompetensi
lagi?
Menurut
kelompok
tersebut,
ini
menunjukkan
ketidakpercayaan terhadap instansi yang telah meluluskan tenaga kesehatan dan terkesan mubazir.
2. Urgensi uji kompetensi: saringan untuk institusi baru Namun hal menarik yang terdapat dalam FGD yang telah dilakukan ialah bagaimana ide tentang uji kompetensi ini disetujui oleh mereka yang berada di bidang keperawatan dan kebidanan. Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan mereka dalam diskusi yang banyak menyinggung permasalahan menjamurnya instansi-instansi pendidikan tinggi seperti STIKES dan lainnya. Hal ini diyakini sebagai urgensi dilakukannya uji kompetensi menurut mereka yang berada di bidang keperawatan dan kebidanan.
3. Pemerintah sebagai penanggung jawab uji kompetensi Mengenai pelaku dari uji kompetensi, keseluruhan peserta FGD cenderung menunjuk pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab. Pada beberapa jawaban, tersebut pula organisasi profesi, institusi dan masyarakat yang seharusnya menjadi pelaku dari uji kompetensi ini. Dalam hal ini, isu kemandirian menjadi kesenjangan yang cukup besar di dalam persepsi masyarakat kesehatan terhadap rencana LPUK .
5.4 Analisis Pola Penggunaan Media 1. Analisis media konvensional : Minimnya info kesehatan di media massa Data-data mengenai penggunaan media massa oleh para responden menunjukkan bahwa selama ini surat kabar, radio dan majalah masih menjadi pilihan media massa yang diakses oleh para responden. Media konvensional seperti koran dan majalah yang dibaca beberapa responden menjadi sumber informasi seputar dunia kesehatan. Namun informasi dunia kesehatan yang
103
diberikan oleh Koran dan majalah adalah isu dunia kesehatan pada umumnya, bukan isu spesifik seperti pendidikan tinggi kesehatan, atau sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Sedangkan, untuk radio, penggunaannya cenderung tidak merata. Apalagi konsumsi radio bersifat tersegmentasi dan lokal – implikasinya pesan harus disesuaikan dengan karakteristik khalayak yang beragam segmennya dan dengan pendekatan bahasa radio yang juga disesuaikan dengan lokasi dan segmennya. Selain itu, data juga menunjukkan bahwa terdapat peluang untuk melakukan sosialisasi melalui radio, yaitu dengan menggunakan radio berjaringan, Selain majalah, Koran dan radio, di antara media massa lainnya, televisi adalah media yang tingkat terpaannya cukup tinggi, namun terpaan ini tidak terkait dengan isu kesehatan karena program yang ditonton kebanyakan responden di setiap kelompok FGD adalah program hiburan.
2. Internet : popular namun tidak partisipatif Media lainnya, yakni internet, juga merupakan media yang semakin dekat dengan kehidupan responden, ini bisa dilihat dari tingginya intensitas mereka dalam menggunakan internet. Selain itu bisa diamati juga bahwa hampir semua responden di semua kelompok memiliki akun jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan responden menggunakan internet untuk interaksi sosial mereka. Di samping untuk berinteraksi, internet juga digunakan sebagai media untuk mengakses informasi mengenai pendidikan tinggi kesehatan. Di dalam FGD, beberapa responden menyebutkan bahwa mereka mendapat informasi mengenai pendidikan tinggi kesehatan dari situs-situs universitas, misalnya Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada. Seperti yang telah disebutkan, internet memang dekat dengan kehidupan para responden tapi namun tingkat inisiatif dan partisipasi aktif mereka dalam berinternet masih tergolong rendah. Indikasinya adalah rendahnya angka pengunduhan dan publikasi informasi oleh khalayak kesehatan. Hal ini terlihat misalnya dalam kegiatan mengunggah atau mempublikasikan informasi, kebanyakan responden tidak bisa mengidentifikasi informasi apa yang mereka publikasikan ke internet. Sehingga dikatakan bahwa
104
khalayak kesehatan dalam penelitian ini belum menjadi bagian penting dari dunia informasi kontemporer yang dicirikan dengan meleburnya batasan antara konsumen dan produsen. Namun, kondisi kurangnya pastisipasi ini bukan berarti membuat suatu sosialisasi terhambat karena meski tidak banyak memproduksi pesan, khalayak kesehatan menampakan intensitas tinggi dalam aksesibilitas ke dunia Internet.
3. Sumber info utama: komunikasi antar pribadi dan kelompok Dari data FGD, sebagian besar responden mengemukakan bahwa mereka memperoleh informasi seputar pendidikan tinggi kesehatan melalui media-media tersebut, termasuk di dalamnya isu penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Informasi itu mengalir melalui obrolan obrolan dengan teman sebaya, rapat, diskusi, seminar, dan sebagainya. Hal tersebut menunjukan bahwa informasi mengenai pendidikan tinggi kesehatan tidak termediasi dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi oleh media massa.
5.5 Rekomendasi Strategi Komunikasi LAM dan LPUK 1. Maksimalisasi komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok dan media jejaring sosial Sebaiknya
strategikomunikasiefektif
yang
digunakan
untuk
mengkampanyekan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan adalah dengan mengoptimalkan komunikasi antarpribadi dan komunikasi kelompok (kegiatan organisasi profesi, seminar, diskusi, jurnal, dan lain-lain). Di samping itu internet juga dapat digunakan sebagai media yang efektif untuk mengkomunikasikan isu mengenai akreditasi dan uji kompetensi. Isu LAM dan LPUK harus masuk ke dalam komunitas-komunitas profesi bidang kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia Melalui
internet,
organisasi
profesi
harus
didorong
untuk
mengembangkan sistem komunikasinya, misalnya lewat grup Facebook, Blackberry Messenger Group, milis, dan website. Selain itu, HPEQ diharapkan dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi yang memiliki website yang paling sering menjadi rujukan. Informasi mengenai akreditasi dan uji kompetensi bisa disebarkan melalui situs-situs resmi perguruan tinggi tersebut.
105
Pada dasarnya setiap media massa konvensional bisa digunakan untuk mengolah awareness yang berkesinambungan. Namun rancangan pesannya harus disesuaikan dengan karakter media massa yang digunakan. Majalah dan jurnal keprofesian bisa dijadikan pilihan tepat. Televisi bisa menyebarkan info dengan cepat namun rancang pesannya harus disesuaikan dengan karakter televisi yang dikonsumsi untuk mencari hiburan.
2. Rekomendasi rancang pesan Mengingat isu akreditasi dan uji kompetensi bukanlah top of mind dalam persepsi mengenai mutu pelayanan, maka ada kesenjangan yang cukup jauh antara rencana pendirian LAM dan LPUK dengan persepsi khalayak kesehatan. Pertama-tama hal ini terjadi akibat dari kegagaan publik untuk memahami isu mutu secara utuh. Apa yang selama ini ditangkap ketika bicara mutu dalam bahasa LAM dan LPUK adalah legalitas dan kebijakan. Sementara apa yang diharapkan program HPEQ adalah mutu sebagai persoalan yang pertama-tama jadi tanggungjawab profesi dan para profesional. Jalan tengah yang memungkinkan agar LAM dan LPUK bisa diterima khalayak adalah dengan pertama-tama mensosialisasikan filosofinya ketimbang produknya. LAM dan LPUK perlu diturunkan menjadi persoalan yang lebih bisa dinilai positif (ideal) oleh publik kesehatan, seperti kemandirian, etika profesi, kompetensi, dan lain-lain. Perlahan setelah isu-isu sentral yang menjadi filosofi LAM diperkenalkan, publik diajak melihat bahwa idealisasi itu dimungkinkan dengan adanya LAM dan LPUK. Sosialisasi mengenai LAM dan LPUK harus juga diawali dengan mensosialisasikan semangat reformasi system akreditasi, mengingat ada sebagian khalayak yang menolak akreditasi dan uji kompetensi. Yang harus dicamkan pula, bahwa sosialisasi LAM dan LPUK akan makin mudah diterima jika adanya transparansi lembaga seperti yang diidamkan oleh khalayak.
106
DAFTAR PUSTAKA Cresswell, John. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design : Choosing Among Five Traditions. London : Sage Publications Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln. 2004. Handbook of Qualitative Research. London-Thousand Oaks-New Delhi : Sage Publication Departemen Pendidikan Nasional Dikti. 2004. Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003-2010. Jakarta: Dikti Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2008. Hasil Evaluasi Implementsi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi. Jakarta: Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010. Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPM-PT), Jakarta: Dikti Kriyantono, Rahmat, S.Sos., M.Si. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group Lometti, Guy E., Byron Reeves, Carl R. Bybee. 1977. Investigating the Assumptions of Uses and Gratifications Research. Penelitian Komunikasi Macaulay, Steve and Cook, Sarah. 1996. Customer Service : Kiat Meningkatkan Pelayanan bagi Pelanggan, PT. Gramedia, Jakarta Markum, M. Enoch. 2007. Pendidikan Tinggi Dalam Perspektif Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia McQuail, Denis. 2005. McQuail's Mass Communication Theory: Fifth Edition. London: Sage Publications Ltd Mulyana, Deddy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya ______________. 2008. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Neuman, W. Lawrence. 2006. Sixth Edition Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. USA : Pearson Education, Inc. Reigelut, M and W. Frick, Theodore. 2010. Formative Research: A Methodology for Creating and Improving Design Theories. Indiana University Ritchie, Jane and Jane Lewis. 2003. Qualitative Research Practice : A Guide for Social Science Students and Researchers. London : Sage Publications
107
Ruben, Brent D & Lea P. Stewart. 1998. Communication and Human Behaviour. New Jersey: Allyn & Bacon Siagian, Sondang P. 1997. Filsafat Administrasi. Jakarta: Rineka Cipta Wijono, Djoko, 1999. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Airlangga University Press, Surabaya.
Skripsi, Thesis dan Jurnal Ebren, Figen and Celik, Yesim. 2011. Television Advertisement: A Reception Studies. Turkish Online Journal of Qualitative Inquiry Fandani, F. 2004. Tesis : Hubungan Antara Persepsi Mutu Pelayanan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Umum Puskesmas Karangmalang Kabupaten Sragen Tahun 2003, Universitas Diponegoro. Semarang. Hunter, Russ. 2010. A Reception Study of the Films of Dario Argentoin the UK and Italy. Online Journal Kinoshita, Yumi. 2004. Reception Theory. Department of Art University of California Santa Barbara. Mulyanto, E. 2006. Tesis : Faktor Persepsi Pasien terhadap Mutu Pelayanan Rawat Inap dan Hubungannya dengan Kesediaan Pemanfaatan Ulang di Rumah Sakit dr. Raden Soedjati Purwodadi Tahun 2006. Universitas Diponegoro, Semarang. Website: www.ensiklopedia-Indonesia.com Sumber Lain Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2010. Aplikasi KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) untuk Iphone/ Ipod Touch Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang No. 14 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Undang-Undang No. 15 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
108