Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Jepang merupakan satu dari sekian negara yang tergolong cepat melakukan pembangunan dalam bidang ekonomi, pendidikan dan teknologi di dunia, semenjak dari masa isolasinya yang berakhir pada tahun 1854. Jepang sampai saat ini masih menduduki peringkat pertama sebagai salah satu negara paling maju di Asia. Sebagai bangsa yang besar, Jepang menyadari bahwa kelebihan bangsa barat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, dan teknologi, mereka berhasil menguasai negara Cina dan beberapa negara lainnya di Asia. Pemerintahan Jepang bertekad untuk menghindarkan bangsa dan negaranya sama seperti bangsa dan negara lainnya di Asia, sehingga mereka harus menyamai bangsa barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menjadikan negaranya sebagai negara industri yang maju. Pemuda-pemuda Jepang yang terpilih akhirnya dikirimkan oleh pemerintahan Jepang ke luar negeri terutama kawasan eropa seperti ke Inggris, Prancis dan Jerman untuk menuntut berbagai ilmu pengetahuan. Selain mengirimkan pemuda-pemudanya keluar negeri, Pemerintahan Jepang juga mencari jalan lain seperti mendatangkan tenaga-tenaga ahli dari barat ke dalam negeri, guna mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern dan teknologi terbaru di dunia untuk bangsa Jepang. (Munandar : 2014). Kedatangan tenaga-tenaga ahli dari barat diikuti masuknya budaya barat ke dalam negara Jepang, membuat masyarakat Jepang mengambil unsur-unsur dari budaya barat serta menerapkannya pada kehidupan mereka dan akhirnya terjadi modernisasi di negara Jepang. Namun terjadinya modernisasi di negara Jepang, tidak sedikit pula masyarakatnya yang tetap mempertahankan kebudayaan asli bangsa Jepang. Hal ini dapat dilihat dari setiap perbuatan masyarakat Jepang yang selalu berhati-hati dalam bertindak, karena bangsa Jepang percaya bahwa setiap perbuatan pasti ada sisi positif dan sisi negatifnya. Sisi positifnya, dampak yang terjadi setelah modernisasi sudah pasti kemajuan di teknologi modern dan bidang ekonomi. 1
2 Meskipun modernisasi memberikan kemajuan di teknologi modern dan bidang ekonomi, modernisasi juga memberikan sisi negative seperti menyebabkan kemunduran pada sikap masyarakat Jepang yang mengutamakan materi di atas segalanya atau yang disebut juga sebagai paham matrealisme. Paham ini muncul pertama kali pada awal abad keempat. Pada saat itu, materi sudah menjadi sebuah obsesi dan segala hal mulai diukur dengan materi. Kemudian pada abad ke-17, teori tentang materialisme diperbaharui kembali oleh Pierre Gassendi dan Thomas Hobbes yang percaya bahwa mementingkan materi pada kehidupan merupakan sesuatu yang natural. Sedangkan menurut Karl Max sejarah umat manusia sejak zaman primitif dibentuk oleh faktorfaktor kebendaaan. Awal sejarah manusia dimulai dengan adanya kepemilikan pribadi yang kemudian menimbulkan pertarungan memperebutkan materi atau kekayaan ekonomi. Materi atau bendalah yang menjadi faktor konstitutif proses sosial politik historis kemanusiaan (Bertens,2011:78-79). Saat ini sebagian masyarakat di negara Jepang apabila mendengar kata matrealisme tentu akan merujuk pada gender wanita. Hal ini tidak terjadi begitu saja, namun disebabkan oleh dampak modernisasi yang masuk ke negara Jepang sehingga mengubah pola pikir wanita Jepang menjadi wanita Jepang modern yang mengerti akan materi. Perubahan pola pikir para wanita Jepang ini juga memunculkan pemahaman tentang feminisme yang menuntut adanya emansipasi atau kesetaraan hak dengan pria. Paham feminisme pada akhirnya berkembang pesat dan menyatu dalam kehidupan masyarakat Jepang saat itu. Istilah feminisme digunakan pada tahun 1890-an dan sebagian besar paham ini terjadi di daerah perkotaan, karena di daerah inilah banyak timbul permasalahan yang disebabkan oleh adanya modernisasi di negara Jepang. Pada masa sebelum terjadi Perang Dunia I, wanita Jepang tidak memiliki kebebasan layaknya seorang laki-laki Jepang yang dapat bekerja dan melakukan segala aktivitas di luar rumah. Sehingga kesetaraan inilah yang akhirnya dituntut oleh wanita-wanita Jepang penganut paham feminism, agar dapat bekerja di luar rumah seperti laki-laki Jepang.
3 Meskipun kesetaraan tersebut sekarang telah terpenuhi, tetap saja wanita Jepang memiliki batasan dalam bekerja bila dibandingkan dengan laki-laki Jepang, sehingga menyebabkan fenomena De-to Shouhou yang terjadi di negara Jepang. Fenomena De-to Shouhou muncul karena kehidupan para remaja wanita di kota besar Jepang yang identik dengan kemewahan. Sudah menjadi sifat dasar manusia yang selalu merasa tidak puas dan menjadi konsumtif sehingga selalu mengejar akan materi mewah untuk mencapai kepuasan dirinya sendiri. Sifat ketidakpuasan dan kehidupan mewah inilah yang menyebabkan mereka menjadi konsumtif. Kecenderungan prilaku konsumtif remaja wanita Jepang dalam memenuhi kebutuhannya, dilakukan untuk mendukung eksistensi mereka agar tetap terlihat. Bagi remaja wanita Jepang, membeli barang-barang berlabel terkenal merupakan suatu keharusan dan dianggap penting dilakukan seperti wanita modern lainnya. Ditunjang dengan pesatnya kemajuan teknologi, para remaja wanita Jepang pun kerap bergontaganti telepon genggam yang memiliki fitur-fitur yang lebih modern. Faktor kelompok yang terjadi dalam remaja wanita Jepang pun menjadi hal yang ikut mempengaruhi. Seperti membeli telepon baru yang sama untuk semua anggota kelompok atau memiliki perhiasan yang sama yang pada akhirnya menciptakan pemikiran hedonisme. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan tingkat perekonomian masyarakat Jepang umumnya. Oleh karena itu, tidak sedikit remaja wanita Jepang yang akhirnya melakukan tindakan negatif demi memuaskan kebutuhan materi mereka. Salah satunya dengan penipuan keuangan pada saat kencan yang berkedok sebagai kekasih. Pekerjaan ini melibatkan penipuan uang dalam jumlah besar pada saat kencan yang berkedok sebagai kekasih. Pada akhirnya akan menguras banyak uang dari si korban, dan menyebabkan kerugian besar dalam hal jasmani seperti kebangkrutan dan juga kerugian rohani yang menyebabkan korbannya menjadi trauma. Kasus di Jepang mengatakan bahwa sebagian besar pelakunya adalah remaja wanita. Para remaja wanita Jepang yang bekerja sebagai penipu keuangan yang berkedok sebagai kekasih ini disebut dengan De-to Shouhou.
4 Fenomena-Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Jepang saat ini sering sekali memberi inspirasi bagi sastrawan-sastrawan Jepang untuk membuat berbagai karya sastra. Karya sastra menjadi salah satu cara untuk mengungkapkan suatu gagasan, ide dan pemikiran dari sastrawan. Karya sastra memuat tokoh, karakter atau penokohan di dalamnya, di mana setiap tokoh merupakan cermin terhadap perilaku dalam masyarakat yang sesungguhnya. Seperti yang dijelaskan Abrams (Nurgiyantoro, 2010:165-166) bahwa karakter adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu. Seorang tokoh dikatakan wajar dan relevan jika mencerminkan dan mempunyai kemiripan dengan kehidupan manusia sesungguhnya. Kesusastraan Jepang hingga saat ini sangat beragam, karena mendapat banyak pengaruh dan gagasan dari negara luar dan secara langsung memberikan banyak pengaruh bagi negara Jepang sendiri. Salah satu bentuk karya sastra yang populer di kalangan remaja dan orang dewasa adalah novel. Banyak sekali jenis novel Jepang yang memperlihatkan fenomena-fenomena yang di dalamnya terjadi di kehidupan masyarakat Jepang, Salah satu novel yang banyak memuat fenomena Jepang adalah novel jenis misteri. Novel misteri menceritakan banyak rahasia-rahasia di dalamnya yang membuat orang tertarik untuk terus membaca dan menemukan jawaban atas rahasia tersebut. Salah satu novel misteri yang banyak dicari adalah novel Majutsu wa Sasayaku karya Miyuki Miyabe. Miyuki Miyabe lahir di kota Tokyo pada tanggal 23 Desember tahun 1960. Miyuki Miyabe dikenal sebagai penulis novel dengan banyak genre seperti science fiction, misteri, sejarah, dan budaya remaja. Novelnya yang paling popular di kalangan orang-orang barat adalah novel Crossfire, yang terbit pada tahun 1998 dan novel Kasha. Miyuki memulai karir menulisnya saat sedang bekerja di kantor hukum dengan mengambil kelas menulis yang dijalankan perusahaan Kodansha. Sampai saat ini Miyuki Miyabe sudah membuat lebih dari 40 novel dan telah mendapatkan penghargaan sastra di negara Jepang.
5 Keberhasilan Miyuki ini tidak lepas dari tema-tema novel yang sering diangkat dari kisah nyata ataupun Fenomena-fenomena yang terjadi di negara Jepang. Sehingga hal tersebut menyentuh Miyuki Miyabe untuk mengangkat kehidupan yang rumit itu kedalam novelnya. Seperti yang dikatakan Nurgiyantoro (2010:71-72) bahwa masalah kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia sangat luas dan rumit. Novel adalah sarana yang ampuh untuk menyentuh perasaan dan keharuan para pembacanya. Melalui novel pembaca diajak melakukan eksplorasi dan penemuan diri. Miyuki Miyabe sudah sering memasukan fenomena-fenomena di negara Jepang sebagai dasar dari pembuatan novelnya, dan novel yang memaparkan fenomena De-to Shouhou salah satunya adalah novel yang berjudul Majutsu wa Sasayaku. Novel Majutsu wa Sasayaku menceritakan remaja wanita Jepang yang masih berumur di bawah 25 tahun memilih bekerja sebagai De-to Shouhou sebagai pekerjaan sampingannya. Hal tersebut dilakukan karena mudah menghasilkan uang hanya dengan menggunakan kecantikan dan sisi kewanitaannya. Para remaja wanita Jepang tersebut menukarkan perilaku romantisnya yang membuat para laki-laki kesepian terbuai dan membelanjakan para wanita Jepang tersebut apa saja yang disukai sebagai imbalannya. Salah satu tokoh pelaku De-to Shouhou dalam novel ini adalah Kazuko Takagi. Kazuko Takagi adalah perempuan terakhir dari empat remaja wanita Jepang pelaku De-to Shouhou yang masih hidup. Tiga perempuan lainnya telah lebih dulu meninggalkan Kazuko dengan jalan bunuh diri. Kematian tiga pelaku De-to Shouhou ini menjadi misteri bagi Kazuko karena keterkaitannya sebagai sesama pelaku De-to Shouhou. Sehingga hal ini menimbulkan banyak pertanyaan di benak Kazuko, apakah ia akan menjadi sasaran berikutnya dan juga melakukan bunuh diri seperti yang telah dilakukan oleh rekanrekannya. Maksud dan tujuan para De-to Shouhou ini untuk menguras uang sama sekali tidak mereka perlihatkan, sehingga menimbulkan rasa cinta pada para korban laki-lakinya dan menyebabkan salah satu korbannya melakukan tindakan bunuh diri. Lelaki tersebut adalah seorang peneliti muda yang merupakan bekas salah satu “klien“ Kazuko. Kata “klien“ di dalam novel ini diartikan sebagai para lelaki yang kesepian yang mengharapkan kasih sayang seorang wanita dan akhirnya terjebak pada kecantikan para
6 wanita De-to Shouhou ini yang sebetulnya hanya ingin menguras uang mereka saja. Faktor yang tidak seimbang dari penerimaan dan pengeluaran inilah yang mengakibatkan terganggunya psikologis para korban dan akhirnya memilih untuk bunuh diri. Bunuh diri adalah tindakan menghentikan hidup dengan menghilangkan nyawa sendiri. Tindakan ini diambil karena korbannya mengalami kondisi psikologis yang tidak terpenuhi. fenomena De-to Shouhou dalam masyarakat Jepang yang tertuang dalam novel Majutsu wa Sasayaku inilah yang menjadi alasan bagi penulis ingin melakukan penelitian. Penulis ingin menjelaskan tentang makna dari De-to Shouhou agar diketahui para remaja Indonesia, kemudian mengetahui dampak-dampak yang muncul dari pekerjaan tersebut. Sampai sekarang masih banyak remaja wanita yang belum memahami dan mengetahui dampak dari pekerjaan tersebut, berdasarkan jumlah pelakunya yang semakin bertambah, beberapa orang sama sekali tidak menyangka bahwa praktek ini merupakan sebuah penipuan yang
menguras banyak uang dari
korbannya. Dari penjelasan tersebut penulis ingin menjelaskan dampak psikologis pada pelaku yaitu Kazuko Takagi dan Yoko Sugano. Karena alasan tersebutlah penulis tertarik menjadikan novel Majutsu wa Sasayaku karya Miyuki Miyabe ini sebagai sumber utama penelitian karena sesuai dengan masalah yang ingin dibahas oleh penulis. 1.2 Rumusan Permasalahan Dalam rumusan permasalahan penelitian ini, penulis akan menganalisis dampak De-to Shouhou yang terjadi pada tokoh Kazuko Takagi dan Yoko Sugano yang terdapat dalam novel Majutsu wa Sasayaku karya Miyuki Miyabe. 1.3 Formulasi Masalah Formulasi masalah dalam penelitian ini adalah penulis akan menganalisis karakteristik De-to Shouhou, kemudian menganalisis dampak yang terjadi pada tokoh Kazuko Takagi dan Yoko Sugano melalui kutipan-kutipan kalimat dalam novel Majutsu wa Sasayaku karya Miyuki Miyabe.
7 1.4 Ruang Lingkup Permasalahan Dalam penelitian ini, penulis akan membatasi penelitian hanya pada dampak Deto Shouhou yang dialami oleh tokoh Kazuko Takagi dan Yoko Sugano dalam novel Majutsu wa Sasayaku karya Miyuki Miyabe. 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah penulis ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan De-to Shouhou kemudian menjabarkan dampak yang terjadi pada tokoh Kazuko Takagi dan juga tokoh Yoko Sugano dalam novel Majutsu wa Sasayaku. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah, agar penulis dan pembaca dapat mengerti dan lebih memahami lagi mengenai fenomena De-to Shouhou, kemudian mengetahui dampak apa saja yang dapat terjadi pada pelaku De-to Shouhou, seperti yang terlihat pada tokoh Kazuko Takagi dan juga Yoko Sugano. Penulis juga berharap dengan penelitian ini pembaca dapat mendapatkan wawasan baru, serta pemahaman baru bahwa sesuatu hal yang terlihat menyenangkan bagi para pelaku seks bisa sangat berhubungan erat dengan hal-hal yang menyedihkan dan merugikan diri sendiri. 1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai De-to Shouhou belum pernah dibahas sebelumnya dan fenomena yang serupa dengan tindakan ini adalah fenomena Enjokousai. Penelitian mengenai Fenomena Enjokousai sudah pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Mirza Nabila Soraya , mahasiswi jurusan bahasa dan sastra, fakultas ilmu budaya Universitas Brawijaya, yang membahas Pengaruh Interaksi Sosial pada perilaku Enjokousai tokoh Tomoko Dalam Film Tenshi No Koi Karya Sutradara Kanchiku Yuri.
8 Penelitian ini menggunakan teori konformitas atau teori kelompok. Pada penelitian ini dijelaskan bahwa perilaku Enjokousai bisa terjadi dengan adanya dorongan untuk menjadi sama di dalam sebuah kelompok pertemanan. Kesamaan dalam memiliki gadget terbaru, kesamaan memiliki perhiasan, tas dan juga kesamaan memiliki sepatu baru. Teori konformitas atau teori hubungan pertemanan sangatlah erat di dalam lingkungan Jepang, bila ada satu orang anggota yang berbeda dari kelompok mereka, biasanya orang tersebut akan dikucilkan dan tidak dianggap oleh sesama kelompok, karena dianggap ingin memiliki eksistensi yang lebih. Faktor ingin terus diketahui inilah yang menyebabkan mereka membutuhkan uang banyak untuk memenuhi kebutuhan material mereka, sedangkan status sosial mereka yang masih bersekolah membuat mereka kesulitan mendapatkan uang. Keluarga mereka juga bukan berasal dari keluarga yang kaya raya sehingga mereka tidak bisa meminta uang kepada orang tua mereka, untuk memenuhi kebutuhan mereka. Karena faktor tersebutlah mereka memutuskan untuk melakukan Enjokousai. Kemudian penelitian Enjokousai lainnya juga telah dilakukan oleh Wakabayashi Tsubasa dalam jurnal Enjokousai in Japan: rethinking the dual image of prostitutes in Japanese and American Law. Wakabayashi dalam tulisan tersebut menegaskan adanya perbedaan mendasar antara Enjokousai dengan Baishun (pelacuran), Wakabayashi menjelaskan bahwa Baishun memiliki ikatan-ikatan dan tempat praktek yang ditentukan sedangkan Enjokousai memiliki kebebasan dalam segala hal seperti mereka dapat memilih laki-lakinya sendiri, tempat mereka bisa dimana saja sesuai keinginan mereka, mereka juga tidak bekerja dibawah kepemilikan orang lain. (Wakabayashi, 2003:153155). Penelitian tentang Enjokousai lainnya juga dilakukan oleh Simon Thollar dalam artikelnya yang berjudul The Emergence of De-to Shouhou in Japan Society, and wether or not it should be labeled as child prostitution. Pada tulisannya Thollar meneliti alasan dan fenomena Enjokousai dari sudut pandang sosiologi. Thollar menjelaskan bahwa tidak selalu hubungan intim yang diutamakan oleh para perempuan muda untuk melakukan Enjokousai, bila mereka sudah mengutamakan uang maka hubungan intim sudah tidak
9 diperlukan lagi. Sejalan dengan Wakabayashi, Thollar juga membahas bahwa pelaku Enjokousai memiliki hak penuh untuk melanjutkan hubungan tersebut atau tidak. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mirza Nabila Soraya dengan Pengaruh Interaksi Sosial pada perilaku Enjokousai tokoh Tomoko Dalam Film Tenshi No Koi Karya Sutradara Kanchiku Yuri, penulis meneliti De-to Shouhou dari sudut novel Jepang Karya Miyuki Miyabe yang berjudul Majutsu wa Sasayaku. Peneliti melakukan penelitian yaitu Fenomena De-to Shouhou dengan melihat dampak-dampak yang terjadi akibat dari perilaku De-to Shouhou dalam novel Majutsu wa Sasayaku karya Miyuki Miyabe. Peneliti melakukan penelitian dengan menghubungkan De-to Shouhou dengan teori psikologi di mana pelakunya mengalami banyak gangguan psikologi. Tinjauan Pustaka dilakukan penulis melalui buku-buku dari perpustakaan Bina Nusantara dan juga perpustakaan Japan Foundation. Tidak hanya itu, skripsi ini didukung juga dengan artikel-artikel dan jurnal-jurnal penelitian yang didapatkan oleh penulis melalui internet.
10