BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sastra yang beraneka ragam. Baik sastra lisan maupun sastra tulis, sastra klasik maupun sastra modern. Sastra klasik ini hampir terdapat di berbagai suku bangsa di Bumi Nusantara. Sastra klasik sering berkaitan dengan pola hidup masyarakat pemakainya. Bersifat mengikat dan religious, milik bersama ( folk literature ). Salah satu hasil dari karya sastra klasik adalah sastra lisan. Sastra lisan sendiri menurut Hutomo (1991:1) adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga dari suatu kebudayaan yang disebarkan dan dituruntemurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Jadi, sastra lisan ini memiliki cakupan yang lebih spesifik. Sastra lisan disampaikan dari mulut ke mulut dari pendahulunya, karena dilihat dari sejarahnya, manusia lebih dulu mengenal lisan dibanding dengan tulisan itu sendiri. Sehingga tidak heran apabila sastra lisan memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu budaya. Sastra lisan merupakan bagian dari folklor, karena dalam sastra lisan terdapat ciri-ciri folklor, yaitu: penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, bersifat tradisional, ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda, bersifat anonim, biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola (Danandjaja, 2007:4). Salah satu genre folklor lisan yaitu puisi rakyat. Puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama. Tradisi menuturkan puisi rakyat secara lisan masih sering terlihat di berbagai kegiatan tertentu di masyarakat. Artinya nilai-nilai yang ditawarkan itu masih mampu bertahan di tengah masyarakat yang bergerak menuju masyarakat modern. Ega Yofi D. Setiady, 2013 PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Suku-suku bangsa di Indonesia memiliki banyak sekali puisi rakyat, misalnya suku bangsa Jawa, memiliki puisi rakyat yang harus dinyanyikan atau di-tembang-kan. Puisi rakyat ini terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu: sekar ageung, sekar tengahan, dan sekar alit. Tidak hanya bangsa Jawa, suku bangsa Sunda pun memiliki puisi rakyat salah satunya adalah sawér. Sawér Sunda merupakan bagian dari adat budaya Sunda lama yang diwariskan secara turun temurun dan sangat erat kaitannya dengan tata kehidupan masyarakat Sunda di Jawa Barat. Menurut pendapat Sarwoto Kartodipuro (dalam Hadish, 1986 : 2), adat kebiasaan nyawér itu sebenarnya tidak terdapat pada suku bangsa Sunda saja, tetapi juga pada suku-suku bangsa lain di Indonesia, di antaranya biasa dilaksanakan oleh salah satu suku bangsa di Kalimantan Barat. Upacara nyawér dalam pernikahan itu dinamakan batabur. Demikian pula pada suku bangsa Minangkabau, terdapat pula upacara nyawér yang biasa disebut menepung tawari. Dalam KBBI (2008:1275) sawér adalah meminta uang kepada penonton atau penonton memberi uang kepada pemain (pada pertunjukan keliling, seperti kuda kepang, topeng); menebarkan uang, beras,dsb kpd undangan oleh pengantin; sawéran adalah hasil menyawér (uang dsb). Sedangkan menurut Kamus Umum Basa Sunda yang dikeluarkan oleh Lembaga Basa dan Sastra Sunda, sawér berarti petuah untuk pengantin dalam bentuk syair, diiringi dengan tembang berisi nasihat orang tua (Hadish, 1986:11). Sawér Pangantén merupakan pertanda kasih sayang orang tua, dan nasihat/petuah dari orang tuanya agar memelihara hubungan suami istri, hubungan anak dengan orang tua, hubungan antar keluarga dan ketakwaan kepada Tuhan (Hadish, 1986:40). Bagaimana peran seorang istri dalam rumah tangga juga diterangkan kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga yang harus bertanggung
jawab
atas
kesejahteraan
keluarganya.
Nasihat/petuah
itu
disampaikan dalam bentuk pupuh, yang mempunyai patokan tertentu dalam jumlah suku kata, jumlah larik dalam satu bait, dan bunyi akhir pada setiap baitnya. Acuan pupuh terdiri atas: padalisan, yaitu jumlah baris tiap bait. Pada, Ega Yofi D. Setiady, 2013 PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
yaitu tiap bait dalam pupuh. Guru wilangan, yaitu jumlah larik dalam satu bait pupuh, dan jumlah suku kata dalam satu larik. Guru lagu, yaitu bunyi akhir tiap larik. Serta pedotan, yaitu pemenggalan larik sesuai dengan perhentian suara waktu melagukannya (Danasasmita, 2001:172). Bahasa yang digunakan berupa doa yang tulus dari kedua orang tua bagi kesejahteraan kedua anaknya. Jadi nyatalah, apabila dalam nyawér itu dipergunakan kata-kata yang dianggap mempunyai kekuatan doa, mantra atau puisi yang berwujud sebagai puisi sawér, karena fungsinya sebagai alat pula dalam menyampaikan kehendak dari pelaksanaan upacara, yakni memohon perlindungan, keselamatan, kebahagiaan, ketentraman, kesejahteraan bagi yang diselamatkan dan anggota masyarakat lainnya yang menyertai upacara, serta lingkungan tempat mereka berada (Hadish,1986 : 15). Walaupun bahasa sawér pangantén adalah bahasa orang tuanya, tetapi pelaksanaannya selalu disampaikan oleh orang tertentu yang biasa melakukan sawér. Dalam pelaksanaannya, sawér pangantén biasa diiringi waditra suling dan kecapi namun banyak juga yang melaksanakan sawér pangantén tidak diiringi dengan alat musik. Situasi yang hening menambah sakral acara sawer pangantn. Tak jarang membuat situasi menjadi haru. Isak tangis pengantin dan para tamu lain menambah keharuan. Di daerah pedalaman, tukang sawér pangantén biasanya ibu-ibu sepuh yang sudah tua. Di kota-kota besar seperti Bandung sawér pangantén lebih sering disampaikan oleh pesinden yang biasanya kemudian menjadi juru kawih pada acara hiburan dalam resepsi pernikahan. Suasana kebatinan sengaja diciptakan dengan alunan petikan kecapi dan irama suling yang mendayu yang bisa mengharu birukan situasi. Kondisi ini akan terekam kuat oleh sepasang pengantin baru, sehingga diharapkan nasihat/petuah dalam sawér akan dilaksanakan dalam kehidupan berumah tangga kelak. Sekian banyak variasi puisi sawér yang ada di Jawa Barat, khususnya di Bandung terdapat teks puisi sawér yang berada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung yang biasa Ega Yofi D. Setiady, 2013 PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
dilantunkan oleh seorang juru sawér bernama Teh Neng. Upacara nyawér ini dilakukan setelah akad nikah sebelum acara huap lingkung, pabetot bakakak, meuleum harupat dan nincak endog dengan kelengkapan berupa beras, irisan kunyit, permen dan uang receh. Kelengkapan sawér itu ditempatkan dalam bokor yang terbuat dari perak, perunggu atau kuningan, lalu ditaburkan diatas payung pengantin (Hadish,1986 : 23). Sawér pangantén ini diteliti karena penuturnya yang terbatas, tidak semua orang dapat menjadi juru sawér, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk menjadi juru sawér. Teks yang dipakainya pun tidak sembarangan, masih menggunakan bahasa Sunda buhun, bahasa sunda lama yang tidak dipakai di dalam keseharian bahkan banyak yang sudah tidak dimengerti, padahal bahasa yang disampaikannya banyak mengandung pesan moral dalam kehidupan, dan merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai kerokhanian yang salah satunya berfungsi sebagai alat pendidikan. Kesadaran masyarakat yang kian menurun membuat sawér pangantén ini mulai dilupakan, banyak yang menganggap itu sudah ketinggalan jaman dan tidak perlu dilestarikan, sehingga banyak juru sawér yang memilih untuk tidak memakainya sebagai profesi karena merasa tidak dihargai. Selain itu banyak pula yang tidak mengetahui fungsi dari puisi sawér pangantén itu sendiri, masyarakat hanya tahu bahwa fungsi dari sawér pangantén itu merupakan salah satu adat istiadat orang Sunda dan sebuah hiburan. Karena banyak ketidaktahuan itulah maka tradisi lisan di Indonesia kadang dilupakan dan dipandang sebelah mata. Begitu pula dengan masyarakat Bojongkacor yang biasa mengadakan upacara sawér pangantén, tidak ada yang mengerti benar apa maksud dari puisi sawér tersebut. Mereka senang mengikuti upacara sawér pangantén karena dalam upacara itu peserta akan berebut memungut uang atau permen yang ditaburkan oleh orang tua pengantin. Bahkan ada beberapa orang yang menaburkan semacam hadiah yang ditulis dalam secarik kertas, yang dapat ditukarkan dengan hadiah sesuai dengan yang tertulis didalam kertas tersebut.
Ega Yofi D. Setiady, 2013 PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Beberapa penelitian mengenai sawér sudah banyak dilakukan diantaranya Yus Rusyana yang pernah menyusun Bagbagan Puisi Sawér Sunda yang dipublikasikan oleh Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda, Bandung (1971). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Yetty Kusmiaty Hadish, dkk berjudul Puisi Sawér Bahasa Sunda yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta (1986). Penelitiannya berisi tentang latar sosial budaya puisi sawer bahasa Sunda, keadaan penggubah, penutur dan karyanya, struktur puisi sawer (bentuk, jenis, isi dan bahasa), teks puisi sawer dan terjemahannya, serta teks puisi sawer tanpa terjemahan yang tidak dianalisis. Adapula, skripsi seorang mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung, Nenden Rizky Amelia meneliti tentang sawér yang berjudul Puisi Sawér Sunatan di Desa Cangkorah-Batujajar (2010). Puisi sawer sunatan ini terdiri dari 19 bait, dan 75 larik. Terbagi kedalam tiga bagian, yaitu pembuka, isi dan penutup. Bagian isi terdiri dari 16 bait, bagian isi merupakan inti dari puisi sawér sunatan. Sedangkan bagian penutup terdiri dari 2 bait terakhir yaitu pada bait ke-18 dan ke-19. Pada bait ke-19, sawér ditutup dengan pupuh kinanti. Penelitian tentang sawér pangantén yang ada dalam buku Hadish yang ada di Ciamis
dan
sawér pangantén di Kampung Bojongkacong memiliki
kesamaan, yaitu keduanya sama-sama dikembangkang dalam puisi pupuh Kinanti. Namun juga memiliki beberapa perbedaan, diantaranya: sawér pangantén di Ciamis terdiri dari 8 bait, 52 larik, dengan lagu Kidung, Jemplang Titi,dan Sinom Degung. Selain itu, jumlah larik, guru lagu dan guru wilangan terpenuhi dengan sempurna. Sedangkan sawér pangantén di Kampung Bojongkacor terdiri dari 7 bait, 40 larik dengan lagu Kidung Pangrajah. Jumlah larik, guru lagu dan guru wilangan tidak terpenuhi semua dengan sempurna. Dalam penelitian tersebut menganalisis dari segi bentuk, isi, bahasa, dan penilaian terhadap teks sawer tersebut.
Ega Yofi D. Setiady, 2013 PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
1.2 Batasan Masalah Dari sekian banyak jenis puisi sawér, peneliti hanya akan meneliti tentang puisi sawér pengantin. Masyarakat Sunda menggunakan istilah sawér pangantén untuk upacara sawér pengantin atau sawér pernikahan. Sawér pangantén yang diteliti adalah teks sawér yang ditembangkan oleh Teh Neng, di Kampung Bojongkacor, kelurahan Cibeunying, kecamatan Cimenyan, kabupaten Bandung. Tepatnya pada saat pernikahan Mae dan Ridwan, pada tanggal 13 Mei 2012.
1.3 Masalah Penelitian Masalah yang akan disajikan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana struktur teks puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung? 2. Bagaimana konteks penuturan puisi sawér pangantén yang
ada di
Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung? 3. Bagaimana proses penciptaan puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung? 4. Bagaimana fungsi puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung? 5. Bagaimana makna puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung?
Ega Yofi D. Setiady, 2013 PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang dibahas, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai hal-hal berikut: 1. Struktur sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. 2. Konteks penuturan sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. 3. Proses penciptaan puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. 4. Fungsi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. 5. Makna puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat yang berguna. Dibagi menjadi manfaat praktis dan manfaat teoritis/akademik. 1.5.1
Manfaat Praktis
Untuk hiburan, karena teks sawér pangantén dituturkan dengan cara ditembangkan dengan nada yang merdu. Dengan demikian, pendengar akan merasa terhibur oleh lantunan puisi sawér pangantén. Fungsi hiburan adalah fungsi utama pertunjukan tradisi lisan (Badrun, 2003:272). Dalam acara sawér pangantén pun ada pembagian uang dan benda lain yang menarik yang dihamburkan kehadirin sehingga merupakan suatu hiburan tersendiri terutama bagi anak kecil serta orang-orang yang senang berburu uang sawéran. Makin besar dan makin banyak uang sawéran, makin meriah acara sawér pangantén tersebut. Ega Yofi D. Setiady, 2013 PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
1.5.2
Manfaat Teoritis/ Akademik
1 Terdokumentasikannya sawér pangantén di Kampung BojongKacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. 2 Hasil
penelitian
dapat
dijadikan
acuan
pustaka
kebudayaan
di
perpustakaan Daerah Kabupaten Bandung. 3 Bahan apresiasi dasar penciptaan dan sebagai sumbangan terhadap ilmu sastra. 4 Sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal tradisi lisan. 5 Sebagai wadah kalimat tradisional yang mengandung adat-istiadat, konversi, sistem nilai dan berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut (Teeuw dalam Taum, 2011:27 ).
1.6 Definisi operasional Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Analisis fungsi adalah cara pengkajian untuk mengetahui bagaimana kegunaan puisi sawér pangantén tersebut di masyarakat. 2. Analisis konteks penuturan adalah cara pengkajian untuk mengetahui bagaimana konteks situasi dan konteks budaya si penutur dalam menuturkan puisi sawér pangantén tersebut. 3. Analisis proses penciptaan adalah cara pengkajian untuk mengetahui bagaimana cara si penutur dalam menuturkan puisi sawér pangantén tersebut. 4. Analisis struktur teks adalah suatu cara pengkajian untuk mengetahui bagaimana formula sintaksis teks, irama, bunyi dan diksi dalam puisi sawér pangantén.
Ega Yofi D. Setiady, 2013 PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5. Huap Lingkung yaitu salah satu acara sesudah sawér pangantén yang melambangkan suapan terakhir dari orang tua karena setelah berkeluarga, kedua anak mereka harus mencari sendiri sumber kebutuhan hidup mereka dan juga menandakan bahwa kasih sayang kedua orang tua terhadap anak dan menantu itu sama besarnya. 6. Meuleum harupat yaitu membakar harupat salah satu rangkaian acara dalam sawér pangantén yang melambang kan nasihat kepada kedua mempelai untuk senantiasa bersama dalam memecahkan persoalan dalam rumah tangga. Fungsi istri dengan memegang kendi berisi air adalah untuk mendinginkan setiap persoalan yang membuat pikiran dan hati suami tidak nyaman. 7. Nincak endog yaitu menginjak telur di baik papan dan elekan (batang bambu muda), kemudian mempelai wanita mencuci kaki mempelai pria dengan air di kendi, mengelapnya sampai kering lalu kendi dipecahkan berdua. Salah satu rangkaian acara dalam sawér pangantén yang melambang pengabdian istri kepada suami yang dimulai dari hari itu. 8. Nyawér adalah salah satu kebudayaan yang termasuk sastra lisan. Sastra lisan menurut Hutomo (1991:1) adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga dari suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). 9. Pabetot bakakak yaitu salah satu acara sesudah sawér pangantén yang melambangkan bahwa berapapun rejeki yang didapat, harus dibagi berdua dan dinikmati bersama. 10. Upacara nyawér adalah satu bagian dari upacara adat Sunda; merupakan peristiwa ritus yang secara maknawi mempunyai interrelasi antara manusia dengan benda-benda dan lingkungannya. Ritus adalah upacara keagamaan yang menggunakan ucap-ucapan tertentu dan khidmat (John Kooy, M.J Koenen, dalam Hadish : 4). Ega Yofi D. Setiady, 2013 PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu