BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dimana masih memiliki masalah-masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, salah satunya adalah pengangguran. Pengangguran merupakan masalah kompleks yang mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi. Pengangguran yang tidak segera diatasi akan menimbulkan kerawanan sosial, dan berpotensi mengakibatkan kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2007).Berdasarkan yang dilansir oleh CNN Indonesia (05/05/2015) akibat melambatnya pergerakan ekonomi, pengangguran di Indonesia bertambah sebanyak 300 ribu jiwa. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kenaikan jumlah pengangguran di tahun 2015 ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2014 yang julahnya 210 ribu jiwa (Sari, 2015). Pengangguran merpakan satu dari banyak permasalahan yang harus diselesaikan untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan Indonesia. Indonesia sendiri diprediksi akan mengalami bonus demografi pada tahun 2020-2030. Bonus demografi adalah suatu keadaan dimana jumlah penduduk usia produktif kerja (15-64 tahun) melimpah atau meningkat pesat (Konadi & Iba, 2011). Jumlah tersebut diprediksi mencapai angka 60% atau sekitar 160-180 juta jiwa, sementara 30% lainnya adalah penduduk pada usia tidak produktif (14 tahun kebawah dan 65 tahun keatas) (Konadi & Iba, 2011). Bonus demografi ini bisa menjadi harapan besar bagi Indonesia untuk menjadi negara yang lebih maju karena berpotensi meningkatkan keuntungan di segala bidang termasuk ekonomi, pembangunan, dan lain-lain. Hal ini dapat dimanfaatkan jika pemerintah dan seluruh masyarakat bekerja sama untuk melakukan usaha-usaha yang terkait dengan persiapan bonus demografi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah menekan angka pengangguran. Jika sumber daya manusia di Indonesia tidak dipersiapkan dengan baik dan pengangguran masih tinggi maka fenomena tersebut tidak akan membawa keuntungan bagi Indonesia.
1
2
Penanganan masalah seperti pengangguran tidak boleh hanya difokuskan pada kota besar seperti Jakarta saja, tetapi juga di kota-kota kecil lainnya sehingga terciptanya kesejahteraan masyarakat yang sama rata. Kota Bogor menjadi salah satu kota kecil yang harus lebih diperhatikan secara khusus. Karena walaupun terletak tidak jauh dari Jakarta, kota Bogor masih memiliki banyak masalah yang harus ditangani seperti pengangguran. Menurut Republika Online (25/11/2014), Bogor memiliki angka pengangguran paling tinggi di Jawa Barat dimana angkanya mencapai 230 ribu penganggur (Putri, 2014). Selain itu, pengangguran di Kota Bogor saat ini didominasi lulusan SMA. Hal ini disebabkan karena beberapa siswa tidak memiliki rencana untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA. Padahal lapangan pekerjaan yang semakin sempit tidak mampu menerima lulusan SMA karena mensyaratkan luluasan pendidikan minimal D3 (Simanungkalit, 2015). Hal ini sejalah dengan Greenbank dan Hepworth (2009) yang menyatakan tingginya angka pengangguran adalah salah satu indikator lemahnya perencanaan karir lulusan SMA, diploma maupun sarjana. Hal ini terjadi karena kurangnya persiapan dan perencanaan karir siswa. Padahal jika dipersiapkan dengan baik, bukannya tidak mungkin masalah pengangguran dapat diatasi. Selain itu hal ini akan mengoptimalkan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia sehingga perekonomian dapat meningkat, angka pengangguran menurun, dan bonus demografi yang akan terjadi nanti dapat menjadi harapan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Selain tuntutan jaman, persiapan karir merupakan salah satu dari tugas perkembangan pada masa remaja. Persiapan karir yang baik adalah salah satu ciri bahwa siswa memiliki kematangan karir yang baik. Kematangan karir sendiri adalah teori perkembangan karir yang dijelaskan oleh Donald E Super (Naidoo, 1998). Menurut Super (Gonzalez, 2008) kematangan karir adalah :
“The maturity which a person shows relative to their developmental stage, that is, comparing the individual’s stage of maturity with his or her chronological age”
Kematangan karir adalah proses kedewasaan yang diperlihatkan seseorang terkait dengan tahapan perkembangannya, yaitu membandingkan tahapan kematangan seseorang dengan usia kronologisnya (Gonzalez, 2008). Selain itu menurut Super
3
kematangan karir adalah kemampuan dan kesiapan seseorang untuk menyelesaikan atau mengorganisir tugas-tugas khas yang terdapat dalam setiap tahapan perkembangan karir di usia mereka (Gonzalez, 2008). Kematangan karir juga diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk membuat keputusan karir yang tepat, realistis, konsisten, dan kesadaran mengenai apa saja yang dibutuhkan untuk karir yang dipilihnya tersebut (Levinson, Ohler, Caswell, & Kiewra, 1998 dalam Patton & Creed, 2001). Dalam struktur atau dimensi kematangan karir, Super membaginya ke dalam 4 dimensi yaitu career planning, Career exploration, Career decision making, dan world of work information (Sharf, 2006). Penelitian ini mengambil remaja lebih tepatnya anak SMA sebagai subjek. Alasannya, peneliti memandang tingkat pendidikan SMA adalah tahap dimana kematangan karir menjadi issue yang penting untuk dibahas dibandingkan dengan tahapan lainnya. Karena pada tahapan ini individu sedang mengalami masa transisi menuju kedewasaan. Selain berdasarkan tahapan perkembangan karir, siswa SMA juga dihadapkan dengan keharusan untuk memilih jurusan di perkuliahan yang sesuai dengan minat karirnya nanti. Super menjelaskan terdapat lima tahap tugas perkembangan karir individu yaitu growth, exploration, establishment, maintenance, dan decline. Masing-masing tahapan dibagi lagi menjadi beberapa substage (Gladding, 2013). Tahapan yang menjadi fokus peneliti adalah tahap exploration. Dalam tahapan ini individu mengeksplorasi beragam jenis pekerjaan, menilai dirinya sendiri, dan sudah memikirkan berbagai alternatif karir yang sesuai dengan kemampuannya. Individu dalam tahapan ini adalah yang berusia 1424 tahun. Tahapan ini dibagi lagi menjadi 3 substages yaitu tentative,transisi, dan trial little commitment. Karena penelitian ini lebih difokuskan kepada remaja atau lebih tepatnya anak SMA, maka substages yang menjadi fokus penelitian adalah substages yang pertama yaitu tentative. Substages tentative ini dimulai dari usia 15-17 tahun dimana individu mulai mempertimbangkan minat bakatanya dan mengkaitkannya dengan kesempatan pekerjaan yang dimilikinya. Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor. Alasan yang mendasari peneliti selain dari tingginya angka pengangguran adalah karena asumsi bahwa Bogor adalah kota kecil dimana lapangan kerja yang tersedia tidak terlalu banyak dan beragam. Penelitian ini ingin melihat apakah siswa yang berdomisili di kota kecil seperti Bogor dengan
4
keterbatasan lapangan pekerjaan akan memiliki kematangan karir yang baik atau tidak. Selain juga karena adanya beberapa penelitian yang menyatakan masyarakat di kota kecil cenderung memiliki kematangan karir yang kurang (Pinasti,2011). Selain tingginya angka pengangguran, permasalahan sosial lain yang terjadi di kota Bogor adalah tingkat kemiskinanan yang tinggi. Berdasarkan hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilakukan oleh BPS tingkat kemiskinan di Bogor pada tahun 2010 mencapai 24,68% dimana angka kemiskinan ini tertinggi di Jawa Barat dibandingkan dengan kota atau kabupaten lainnya (Prima, 2010). Kemiskinan bisa menjadi salah satu penyebab tingginya angka pengangguran. Secara garis besar individu yang berasal dari status sosial-ekonomi yang rendah biasanya memiliki cita-cita yang rendah pula. Hal ini disebabkan oleh kurangnya role model yang kuat, low self esteem, dan kurangnya ketersediaan informasi mengenai karir, dan lainlain. Inilah mengapa status sosial ekonoi yang rendah bisa menjadi alasan mengapa beberapa siswa memiliki kematangan karir yang rendah (Rojewski dalam Kerka, 1998 dalam Pinasti, 2011). Berangkat dari fenomena ini, peneliti melakukan wawancara pribadi ke salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bogor untuk mencari lebih dalam masalah dan faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan issue kematangan karir pada siswa SMA. Narasumber yang bersangkutan adalah salah seorang guru bimbingan konseling di SMAN 5 Bogor. Narasumber menyatakan kebanyakan anak biasanya sudah mengetahui dan merencanakan karir apa yang diinginkannya. Selain itu tidak sedikit juga yang menyesuaikan pilihan jurusan di perkuliahan dengan minat karirnya. Hal ini menunjukan bahwa beberapa anak memiliki kematangan karir karena sudah dapat memilih dan merencanakan langkah-langkah untuk mendapatkan karir yang mereka inginkan. Hambatan justru datang dari lingkungan sosial anak. Narasumber mengakui, beberapa anak menyatakan pilihan karir maupun jurusan di perkuliahan yang mereka pilih tidak didukung oleh orang tua. Selain itu banyak anak yang masih belum bisa menentukan pilihan yang tepat karena pengaruh dari lingkungan sosial mereka. Lingkungan sosial ikut mempengaruhi pilihan anak, terbukti dengan beberapa anak yang tidak memilih jurusan dan karir yang sesuai dengan minat bakatnya karena orang tua dan teman-temannya berpendapat bahwa pilihannya tidak bagus, atau dengan kata lain tidak mendapat dukungan sosial.
5
Setelah wawancara, peneliti melakukan survey langsung kepada 25 anak di sekolah yang sama dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan kematangan karir dan dukungan sosial. Dari hasil survey tersebut penulis menemukan 76% atau 19 anak sudah mengetahui minat dan bakat mereka, sementara 24% atau 6 anak sisanya belum mengetahui minat dan bakat mereka. Sejumlah 64% atau 16 anak sudah memiliki rencana dan menentukan karir yang akan mereka tekuni di masa depan selain itu, 76% atau 19 anak menyatakan karir yang mereka pilih sesuai dengan minat dan bakat mereka. Mereka juga mengakui perminatan atau jurusan yang mereka ambil di SMA (IPA,IPS) dipilih berdasarkan rencana jurusan di perkuliahan yang akan mereka ambil dan karir yang mereka impikan. Beberapa anak sudah mengetahui pasti jurusan apa yang akan mereka pilih nanti di Universitas. Tetapi, sejumlah anak mengakui mendapatkan sedikit kebingungan ketika saran dari lingkungan mengenai jurusan apa yang seharusnya mereka ambil tidak sejalan dengan minat dan bakat mereka. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hayadin (2006) mengenai pengambilan keputusan profesi pada siswa SMA di DKI Jakarta, didapatkan 72% dari 52 orangtua siswa tidak mengetahui cita-cita anaknya. Hal ini bisa disebabkan karena rata-rata orangtua sibuk bekerja sehingga kurang memiliki waktu luang untuk diskusi dan sharing dengan anaknya mengenai profesi yang diminati. Kurangnya waktu untuk berdialog mengenai rencana karir dengan orangtua juga membuat siswa kurang mendapat informasi mengenai karir itu sendiri. Selain itu Hayadin (2006) juga mengungkapkan sekolah belum memberikan wawasan yang cukup mengenai bimbingan karir kepada siswanya. Hal ini juga menjadikan siswa kurang mendapat arahan yang sistematis dari sekolah mengenai keputusan pengambilan profesi atau karir. Masalah lain yang tidak hanya dihadapi oleh pelajar di Bogor tetapi seluruh Indonesia adalah adanya Ujian Nasional (UN) yang menjadi syarat kelulusan siswa dan sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Hal ini membuat siswa tidak puya pilihan selain mempersiapkan diri untuk menghadapi UN dengan baik. Selain dampak yang ditimbulkan bagi siswa, secara tidak langsung UN juga mempengaruhi akreditasi sekolah,dimana akreditasi merupakan hal penting bagi sekolah.Sehingga setiap tahunnya sekolah berusaha untuk meluluskan semua siswanya dan mendapatkan status akreditasi yang baik (Abduhzen, 2015). Akibatnya, Ujian Nasional dianggap memiliki
6
dampak disorientasi bagi sistem pengajaran di sekolah dimana fokus proses pembelajaran hanya ditekankan pada mata pelajaran yang di UN-kan (Hadi & Arwan, 2011). Mata pelajaran lain termasuk Bimbingan Konseling yang sedianya menjadi wadah bagi siswa untuk mempersiapkan kematangan karirnya di sekolah menjadi terdiskriminasi Selain UN, siswa juga dihadapi dengan ujian saringan masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Banyak siswa yang berusaha untuk lolos PTN walaupun tahu kuota penerimaannya terbatas. Hal ini disebabkan oleh persepsi masyarakat yang masih menganggap PTN lebih bagus dari PTS (Muhammad, 2011). Beberapa orang bahkan terkadang tidak terlalu memperdulikan jurusan yang dia pilih dan lebih mengutamakan nama besar perguruan tinggi. Tentunya ini dapat mempengaruhi kematangan karir siswa, dimana siswa terpaksa mengabil program studi yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Hal ini diperparah dengan beberapa siswa yang mendapat paksaan dari orangtuanya untuk masuk PTN dengan jurusan yang tidak diminatinya. Jika dibiarkan, ketika berlanjut ke lingkungan kerja, hal ini dapat mempengaruhi kinerja individu yang bersangkutan. Menurut Sukardi (1984) Karir seseorang bukanlah sekedar pekerjaan apa yang telah dijabatnya, melainkan suatu pekerjaan yang benar-benar sesuai dan cocok dengan potensi diri sehingga individu yang bersangkutan merasa senang, dan kemudian mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan prestasinya dan mengembangkan potensinya (Marlina, Arifin , & Abdullah , 2015). Dari beberapa alasan ini, penulis mengasumsikan bahwa orang-orang terdekat siswa atau lingkungan sosial ikut bersumbangsih dalam penentuan karir siswa. Dukungan dan peran lingkungan sosial ini bisa disebut dengan dukungan sosial. Dukungan sosial diartikan oleh Uchino (2004, dalam Sarafino & Smith, 2012) sebagai hal yang mengacu pada kenyamanan, kepedulian, atau bantuan yang diterima oleh individu dari seseorang atau sekelompok orang. Menurut Winemiller terdapat 5 bentuk dukungan sosial yaitu dukungan emosi atau harga diri, dukungan instrumental, dan dukungan informasi, dukungan penghargaan, dan dukungan pertemanan (Noller, Feeney, & Peterson, 2007). Suatu penelitian mengenai dukungan sosial menyatakan orang-orang yag menerima dukungan sosial yang tinggi akan berpikiran lebih positif, memiliki selfesteem yang tinggi, dan lebih optimis dibandingkan orang-orang dengan dukungan
7
sosial yang rendah (Sarason, Levine, Basham, & Sarason, 1983). Menurut penelitian mengenai perencanaan dan eksplorasi karir, dukungan sosial yang tinggi akan meningkatkan kemampuan penetapan karir seseorang (Rogers, Creed, & Glendon, 2008). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Hughey (2001, dalam Gallo, 2009) menemukan bahwa ada korelasi antara kasih sayang orang tua dengan perencanaan dan eksplorasi karir pada mahasiswa. Super menyatakan bahwa individu dengan kematangan karir tinggi cenderung mendapatkan informasi yang membantu dan mengarahkan mereka dalam memilih karir di masa depannya (Lau , Low , & Zakaria, 2013). Dengan melihat kondisi yang terrjadi pada masyarakat di Indonesia khususnya Kota Bogor saat inilah yang membuat penulis ingin melihat bagaimana hubungan antara dukungan sosial dengan kematangan karir siswa. Penelitian ini dilakukan pada siswa SMA kelas XI reguler di Kota Bogor. Alasan diambilnya kelas XI adalah karena rentang usia siswa sesuai dengan substages tentative yaitu 15 sampai 17 tahun. Alasan lain adalah dari wawancara awal yang dilakukan peneliti pada salah satu guru SMA di Kota Bogor yang menyatakan bahwa topik kematangan karir lebih ditekankan pada siswa kelas XI. Karena siswa kelas X lebih diutamakan dengan pemilihan jurusan IPA dan IPS, sementara kelas XII sudah mematangkan rencana karir yang mereka pilih dengan fokus utama pada pengambilan jurusan dan universitas yang sesuai. Penelitian ini tidak mengambil siswa XI akselerasi sebagai subjek. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat tintelektualitasnya yang berbeda, menurut U.S Office of Education anak akselerasi membutuhkan program pendidikan yang berdiferensiasi dan diluar jangkaun program sekolah pada umumnya untuk semakin mengoptimalkan kemampuan dan merealisasikan sumbangan terhadap dirinya dan masyarakat (Mangunsong, 2011). Sehingga walaupun tetap membahas perencanaan karir dalam kurikulum belajarnya, jangkauan pembahasannya berbeda dengan siswa reguler. Selain itu siswa akselerasi memiliki pengaturan diri (self regulation) yang lebih baik dalam belajar dan juga self efficacy yang lebih tinggi dibanding siswa reguler (Herkusumo,Munandar,dan Bonang, 2009). Penelitian Komandyahrini dan Hawadi (2008) pada siswa akselerasi menyatakan bahwa semakin tinggi self efficacy maka kematangan karir siswa akselerasi akan semakin tinggi juga. Sehingga dengan kemampuan yang diatas rata-rata dan self efficacy yang baik dapat dikatakan siswa kelas akselerasi pada umumnya sudah memiliki kematangan karir yang baik.
8
Berdasarkan fenomena dan latar belakang yang sudah dijelaskan diatas, peneliti mengasumsikan bahwa bentuk-bentuk dukungan sosial memiliki hubungan dengan kematangan karir pada siswa SMA. Semakin tinggi nilai dari bentuk-bentuk dukungan sosial yang di dapat siswa maka tingkat kematangan karir anak akan semakin tinggi pula. Hal ini mendasari peneliti untuk melakukan penelitian mengenai Hubungan Antara Bentuk Dukungan Sosial Dengan Kematangan Karir Pada Siswa SMA di Kota Bogor.
1.2 Rumusan Masalah Apakah ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan kematangan karir pada siswa SMA di Kota Bogor ?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi bagi siswa, orang tua, dan tenaga pelajar mengenai seperti apa hubungan atau keterkaitanantara dukungan sosial dengan kematangan karir pada siswa SMA di Kota Bogor.
9