Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Kekerasan maupun pembunuhan bukanlah hal yang asing lagi bagi masyarakat, sudah banyak tindak kriminalitas yang terjadi di jaman sekarang ini. Pelakunya pun tak hanya segelintir dari masyarakat Indonsia tapi anggota kepolisian pun juga dapat melakukan hal tersebut. Telah terjadi kekerasan terhadap dua orang mahasiswa UPI yang dilakukan oleh Kanit Reskrim Polsek Padang Timur pada tanggal 23 Januari 2013, karena dikira hendak melawan polisi. Pemukulan ini terjadi saat polsek Padang Timur melakukan razia helm pada pengendara sepeda motor (Pratomo, 2013). Kemudian, telah terjadi penembakan yang dilakukan anggota polisi Reskrimsus Polda Jawa Tengah pada tanggal 13 Juli 2014 terhadap seorang suami pembantu rumah tangga. Hal ini terjadi karena korban mengancam ibu pelaku yang diduga mencampuri urusan rumah tangga korban. Pelaku yang tidak senang dengan perilaku korban pun mendatangi rumahnya untuk meminta keterangan, namun terjadi percekcokan antara pelaku dan korban yang berujung pada penembakan (Assifa, 2014). Kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian bisa terjadi kapan saja baik saat bertugas maupun pada saat tidak bertugas. Seperti yang masyarakat ketahui Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara untuk menegakkan hukum yang bertugas untuk memelihara keamanan negara. Kepolisian terbagi dalam bidang seperti Lalu Lintas (Lantas), Intelejen, Brimob, Harkam, dan Reserse Kriminal (Reskrim). Menurut Bapak AKBP Robert Da Costa, SIK, M. Hum (komunikasi langsung, 27 Desember 2013), selaku Kepala Unit Tindak Pidana Umum Subdit Tiga Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Reskrim adalah satuan fungsi teknis Polri yang bertugas melaksanakan penegakan hukum dan berbeda dengan bagian Polri lain yang hanya melakukan pencegahan saja. Tugas reskrim lebih tepatnya melakukan upaya penegakan hukum dengan melaksanakan Penyelidikan dan Penyidikan. Reskrim pun memiliki dua bagian yaitu kriminal umum (krimum) dan kriminal khusus (krimsus). Biasanya kasus-kasus yang ditangani polisi reskrim umum adalah kasus penipuan, pencurian, perjudian, women trafficking, kekerasan dalam
rumah tangga dan lainnya serta untuk kasus kriminal khusus salah satunya adalah pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Perbedaan polisi reskrim dan polisi bagian lainnya dimana polisi reskrim sendiri harus mengalami kejahatan yang tidak terlihat contohnya seperti penipuan, perjudian bersifat terselubung, sedangkan untuk bagian polisi lainnya seperti Sabhara, mereka dihadapkan dengan pelaku anarki yang aksinya jelas terlihat. Menurut Wasono (2014) dalam penelitiannya mengenai perbandingan rating peristiwa yang menimbulkan stres antara anggota kepolisian fungsi reserse dan Sabara di Jakarta, ditemukan ada lima kejadian yang menempati urutan tertinggi dalam rating stres untuk fungsi reserse yaitu ikut berpartisipasi dalam korupsi di kepolisian, diskors, penyalahgunaan obat-obatan terlarang secara pribadi, mengonsumsi alkohol saat bertugas dan terlibat secara pribadi dalm peristiwa penembakan (Wasono, 2014). Bapak Robert selaku Kanit Tipidum Subdit Lima Mabes Polri pun mengatakan bahwa beliau dan anggotanya merasakan tekanan saat berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan yang sudah terorganisir dan profesional, dengan kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi bisa membahayakan anggota kepolisian dan masyarakat (komunikasi langsung, 27 Desember 2013). Sebuah survei yang dilakukan oleh The Bureu of Labor di Amerika Serikat menyatakan bahwa polisi termasuk kedalam sepuluh pekerjaan yang memiliki resiko kematian tertinggi (Widi,2011). Meskipun kasus kriminalnya berbeda namun prosedur pelaksanaan reskrim tetaplah sama yaitu melalui penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan adalah tindakan penyelidik untuk mencari suatu peristiwa yang diduga tindak pidana untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, serta penyidikan adalah cara yang diatur dalam undang - undang serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu berguna untuk membuat jelas tindak pidana yg terjadi dan menemukan tersangkanya (Undang-Undang No 8 Tahun 1981 KUHP Pasal 1 ayat 5 dan ayat 2). Untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tersebut anggota kepolisian memiliki wewenang tersendiri dalam melakukan kedua prosedur tersebut. Hal ini seperti yang tertuang dalam Undang – Undang nomor 8 tahun 1981 KUHP Pasal 5 ayat 1(a) dan pasal 7 ayat 1(a) yaitu penyelidikan adalah menerima laporan atau pengaduan seseorang tentang tindak pidana, mencari keterangan atau bukti menyuruh berhenti seseorang serta menanyakan tanda
pengenal dan lain sebagainya. Sedangkan wewenang penyidik antara lain adalah melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan lain-lain. Para anggota kepolisian reskrim memiliki wewenang yang mutlak dalam penyelidikan dan penyidikan, tetapi terkadang mereka juga mengalami kesulitan memperoleh data, dimana data tersebut dapat membantu mereka untuk mencapai tujuannya yaitu menegakkan hukum. Menangani pelaku kejahatan tersebut, anggota kepolisian memiliki prosedur tersendiri untuk bertindak apabila pelaku kejahatan melakukan perlawanan fisik. Prosedur telah ditetapkan, namun tidak dipungkiri bahwa menjadi anggota kepolisian cukup beresiko, terlebih lagi para anggota kepolisian harus berhadapan langsung dengan para kriminal yang dapat membahayakan keselamatan diri dan masyarakat. Resiko dalam pekerjaan anggota kepolisian reskrim bukanlah resiko yang ringan. Segala sesuatunya harus dijalankan sesuai prosedur yang telah ditetapkan, namun ada pula sanksi yang diberikan, jika anggota kepolisian melakukan pelanggaran terhadap prosedur yang ada. Kondisi tersebut dapat menjadi sebuah tekanan bagi anggota kepolisian reskrim, dimana ada dua sisi yang harus mereka hadapi. Sisi pertama mereka harus menegakkan hukum dan menjalankan prosedur yang ada. Namun disisi lain mereka harus melindungi diri sendiri dari ancaman-ancaman yang diberikan oleh pelaku kejahatan. Tekanan yang dihadapi oleh anggota reskrim dalam bekerja dapat menyebabkan terjadinya stres. Stres sendiri didefinisikan sebagai respon seseorang terhadap suatu kejadian yang menantang atau mengancam (Feldman, 2005). Berdasarkan hasil survei di Amerika
diketahui bahwa pekerjaan sebagai polisi
termasuk dalam sepuluh pekerjaan dengan tingkat stres yang tinggi (Kurniawan, 2013). Stres polisi terbagi menjadi tiga yaitu pertama di luar departemen polisi yang meliputi keputusan pengadilan yang tak menguntungkan, ketiadaan dukungan masyarakat, dan potensi kekerasan warga bahkan ketika berhadapan dengan penyelidikan lalu-lintas rutin atau pertengkaran rumah tangga. Kedua sumber internal, yang meliputi gaji rendah, kemajuan karir yang terbatas, pengembangan atau perangsang profesional yang kecil, dan ketiadaan dukungan administratif dan ketiga penyebab stres yang berasal pada peran polisi itu sendiri, termasuk perputaran shift, kerja administratif yang berlebihan, dan harapan publik bahwa polisi harus menjadi semua hal terhadap semua orang (Yusuf, 2009). Banyak sumber stres yang dimiliki anggota kepolisian reksrim. Namun terjadinya stres atau tidak tergantung dari persepsi
mereka mengenai stres itu sendiri. Cohen, Kamarack and Mermelstein mendefinisikan persepsi terhadap stress adalah sejauh mana individu menemukan kehidupannya yang tidak terduga, beban yang berlebihan dan tidak dapat dikontrol mencakup intrapersonal, interpersonal atau situasi ekstrapersonal dalam kehidupan seseorang dipersepsikan sebagai stress (dalam Yarcheski, Mahon, Yarcheski & Hanks, 2010). Sumber-sumber intrapersonal, interpersonal atau situasi ekstrapersonal akan berdampak somatik dan behavioral. Untuk somatik dampaknya seperti sering lupa, mengalami kegelisahan cemas, berkeringat, insomnia atau cepat marah. Untuk dampak secara behavioral yang menimbulkan agresi seperti membanting barang, memukul meja, memukul orang, dan lain-lain (Koeswara dalam Mumtahinnah, 2011). Berbeda dengan dampak secara somatik, dampak secara behavioral yaitu agresi, dapat merugikan orang lain. Aronson mendefinisikan bahwa agresivitas adalah perbuatan sengaja yang bertujuan untuk merugikan orang lain atau menyakiti orang lain (Aronson, Wilson & Akert, 2007). Perilaku agresi dapat terjadi pada semua orang, termasuk pada anggota kepolisian. Di Indonesia sendiri, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat sejak Januari hingga November 2013 telah terjadi 709 kekerasan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian. Dari angka kekerasan tersebut 4.569 warga sipil menjadi korban, ini merupakan jumlah yang cukup besar khususnya jika dibandingkan dengan angka yang terjadi pada 2012 sebanyak 448 kasus kekerasan dan 2011 sebanyak 112 kekerasan (Zulfikar, 2013). Hal ini mengindikasikan semakin bertambahnya tahun agresivitas para polisi semakin meningkat. Menurut Buss and Perry agresivitas memiliki empat dimensi. Pertama adalah Physical Aggression yaitu kecenderungan untuk melukai orang lain dengan melakukan tindakan fisik seperti memukul. Kedua adalah Verbal Aggression yaitu menyakiti atau merugikan orang lain merupakan komponen motor dalam perilaku. Ketiga ada Anger yang melibatkan dorongan fisiologis dan persiapan dalam agresi merupakan komponen emosional dan afeksi perilaku. Serta keempat Hostillity yaitu perasaan sakit atau ketidakadilan merupakan komponen kognitif perilaku (Buss and Perry,1992). Dari penjelasan yang telah dijabarkan dalam paragraf-paragraf sebelumnya, peneliti berasumsi bahwa ada hubungan antara persepsi stres dengan agresivitas pada
anggota kepolisian reskrim di Jakarta, dilihat dari fenomena yang terjadi dan keterkaitan dengan teori-teori yang sesuai dengan fenomena yang ada. 1.2 Rumusan Masalah Adakah hubungan antara persepsi stres dengan agresivitas anggota kepolisian reskrim di Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk melihat bagaimana persepsi stres yang dialami oleh anggota kepolisian reskrim saat mengalami tekanan ketika sedang menjalani tugasnya, serta melihat bagaimana tingkat agresivitas yang dimiliki oleh anggota kepolisian reskrim dan juga ingin melihat hubungan antara persepsi stres dengan tingkat agresivitas yang dimiliki anggota kepolisian reskrim di Jakarta.