BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bisnis yang telah termasuk dalam era modern sudah dikenal dengan
wirausaha. Wirausaha yang tergolong dalam suatu cara untuk berbisnis, dikenal sebagai salah satu cara masyarakat untuk berbisnis menjadi seorang pengusaha. Pengusaha yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang memulai usaha sendiri dari mencari ide sampai ide tersebut dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ia susun. Dimana pengusaha dituntut untuk dapat mengelola suatu bisnis dengan cara yang lain daripada yang lain. Sering kali kita mendengar kata pengusaha mesin atau pengusaha mobil. Sebenarnya, mereka juga termasuk pengusaha tetapi pengusaha ini bukan diartikan sebagai wirausaha melainkan mereka hanya sebagai perantara atau bisa disebut sebagai distributor karena mobil atau mesin yang mereka jual itu biasanya didapatkan dari pabrik mobil atau pabrik mesin tersebut. Menurut Zimmerer, Scarborough, dan Wilson (2008), seorang wirausahawan adalah seseorang yang menciptakan bisnis baru dengan mengambil resiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang yang signifikan dan menggabungkan sumber-sumber daya yang diperlukan sehingga sumber-sumber daya itu bisa dikapitalisasikan. Dengan demikian dapat dijelaskan, wirausahawan adalah seorang yang memulai bisnis dari ide orisinal, merancang strategi dan menghadapi masalah-masalah yang akan datang untuk kesuksesan bisnis yang telah dijalani pada masa mendatang. Untuk menjadi wirausaha, pada umumnya masyarakat mencari ide bisnis baru, kreatif, dan unik yang mungkin belum ada di Indonesia, atau mungkin telah ada, tetapi bisnis tersebut belum dikembangkan di Indonesia. Di era sekarang, banyak anak muda yang masih berstatus pelajar namun sudah menjadi pewirausaha khususnya dalam bidang kuliner. Berikut adalah gambaran usia pelaku wirausaha ketika memulai bisnisnya.
1
2
Gambar 1.1 Usia pewirausaha ketika memulai usahanya Sumber : Zimmerer, Scarborough, Wilson (2008)
Terbukti dengan adanya berbagai macam foto makanan dan minuman unik dan kreatif yang tersebar di internet dari pewirausaha muda yang tersebar di seluruh Indonesia. Ini juga sebagai bukti, dimana untuk menjadi wirausaha bisa dilakukan dengan cara mengubah atau menambah variasi rasa maupun dalam tampilan suatu makanan atau minuman. Jika strategi ini berhasil, pewirausaha sudah pasti berkeinginan membuka cabang sebanyak-banyaknya untuk dapat memperkenalkan dan mengedukasi masyarakat tentang produknya. Untuk mengembangkan bisnis, salah satu strategi yang dimiliki pengusaha ialah dengan memberikan kesempatan waralaba bagi masyarakat yang tertarik untuk membuka bisnis yang sama. Dengan demikian waralaba adalah suatu sistem bisnis dengan cara membeli nama brand dan produk dari pewaralaba ke terwaralaba untuk diperjualkan kembali kepada masyarakat. Bisnis waralaba sudah lama dikenal dan banyak masyarakat tertarik untuk melakukan bisnis ini. Contohnya KFC, Pizza Hut, dan McDonald’s, itu merupakan restoran waralaba yang sampai sekarang tergolong sangat sukses. Bisnis waralaba kuliner sudah menjadi hal yang popular pada era sekarang. Saat ini bisnis waralaba menjadi tren model bisnis baru yang kian dikenal oleh masyarakat luas. Hal ini dikarenakan, operasional yang mudah dan produk yang cenderung sudah familiar di masyarakat. Peningkatan waralaba di Indonesia dapat diilustrasikan dengan diagram berikut.
3
Gambar 1.2 Grafik Pertumbuhan Pasar Waralaba Indonesia Sumber: Data diolah
Memulai bisnis waralaba relatif lebih mudah dibandingkan dengan membuka bisnis sendiri, karena setelah transaksi pembayaran biaya royalti dan terjadinya kontrak maka semua alat dan bahan akan diserahkan dari pewaralaba ke pihak terwaralaba. Sehingga, terwaralaba hanya mempersiapkan tempat dan tenaga kerja. Prosedur cara dan pembuatan produk akan diajarkan langsung oleh pemilik waralaba. Inilah alasan mengapa masyarakat sangat antusias dengan bisnis waralaba. Disatu sisi, modal yang digunakan bermacam-macam sesuai jenis produk yang diwaralabakan dan tergolong murah untuk dapat memulai usaha waralaba dalam skala kecil. Segala kebutuhan bahan pokok produk akan selalu di sediakan langsung dari pemilik. Keuntungan waralaba umumnya juga dapat memberikan info atau ilmu yang dapat membangun potensi usaha waralaba menjadi lebih maju. Dan produk yang diwaralabakan adalah produk yang sudah dikenal dimasyarakat dengan kata lain sudah terkenal, jadi tidak perlu khawatir kalau produk usaha waralaba tersebut tidak dapat dipasarkan atau bersaing dalam pasar. Ibarat pihak pemilik atau pewaralaba sudah tau kondisi pasar, jika kondisi produk waralaba tersebut tidak dapat bersaing di pasar maka pihak pewaralaba tidak akan membuka sistem waralaba. Selain ada keuntungan, ada juga kekurangan. Kekurangan yang dimiliki dalam waralaba adalah pihak terwaralaba tidak mengelola usaha waralaba dengan mandiri karena pemilik masih mempunyai hak untuk memantau penjualan dikarenakan membawa nama waralaba yang berdampak besar bagi para terwaralaba lainnya yang ikut mewaralabakan produk tersebut. Makanya sebelum melakukan kontrak, biasanya pewaralaba memberikan peraturan-peraturan apa saja yang harus
4 ditaati. Tidak luput dari itu, para terwaralaba masih harus tetap terikat dengan bahan utama produk, contohnya waralaba makanan dessert waffle, bahan inti atau bahan pokok untuk membuat waffle masih harus dikirim dari pihak pewaralaba untuk melanjutkan rantai penjualan. Ini juga merupakan keuntungan sebagai pewaralaba karena masih terkait biaya untuk memproduksi. Dengan meningkatnya waralaba dalam bidang kuliner, banyak yang meniru hasil karya para wirausahawan dalam bidang kuliner dengan cara waralaba, setelah mengetahui rahasia dari bisnis waralaba dan mempelajari cara memproduksinya maka muncul niat dari pihak terwaralaba untuk membuka bisnis dengan bidang yang sama dan produk yang sama, dengan nama merek yang baru. Dengan kata lain pihak terwaralaba melakukan switch behavior menjadi pewaralaba dan muncul kompetitor baru. Dalam hal ini belum ada peraturan hukum dan perundang-undangan yang mengatur perubahan seperti ini, sehingga pihak terwaralaba bisa dengan mudahnya dapat melakukan switch behavior karena dari pihak terwaralaba sudah mengerti peluang bisnis, sehingga mudah untuk menciptakan waralaba yang sama. Menurut Sutikno (2011) mengatakan dalam melakukan switching dikenal dengan A to F mode dimana A to F itu adalah 1) Accident, 2) Breakdown, 3) Complaint, 4) Disengagement, 5) Evaluation, 6) Follow Up. Ini merupakan tahap melakukan switching behavior. Dalam jurnal ini dijelaskan juga kepuasaan terwaralaba terhadap pewaralaba dapat mempengaruhi switch behavior. Jika terwaralaba tidak memiliki kepuasaan maka muncul niat untuk melakukan switch behavior. Ibarat tidak puas akan sesuatu, pasti akan berpindah ke produk yang dapat membuat kita merasa puas. Kepuasaan yang dimaksud adalah pelatihan (training) dan pedoman operasional (operation guidelines) (Chiou, Hsieh, Yang; 2004). Menurut Falbe dan Welsh 1998; Duncan dan Moriarty 1997; Anderson dan Narus 1990; Mohr dan Nevin 1990 dalam Chiou, Hsieh, Yang (2004) mengatakan komunikasi merupakan suatu kunci elemen yang terpenting untuk membangun dan menjalin hubungan yang baik antara terwaralaba dan pewaralaba. Suatu hubungan yang kurang baik antara kedua pihak akan mempengaruhi terwaralaba untuk berhenti berbisnis waralaba. Terwaralaba pun dapat switching behavior. Begitu pun dengan keunggulan kompetitif dari sistem waralaba, tidak hanya merupakan sumber penting untuk menarik terwaralaba baru, tetapi juga merupakan elemen penting untuk menjaga loyalitas terwaralaba dalam sistem waralaba (Falbe dan Welsh 1998 dalam
5 Chiou, Hsieh, Yang; 2004). Oleh karena itu, jika dalam bisnis waralaba sudah tidak memiliki keunggulan kompetitif atau inovasi maka bisa dipastikan bahwa tidak ada lagi keuntungan untuk terwaralaba untuk meneruskan waralaba nya. Tidak ada konsumen, tidak ada penjualan. Tidak ada penjualan, terwaralaba pun akan rugi yang bisa berakibat pada aksi menutup waralaba untuk mencegah kerugian yang lebih banyak. Waralaba adalah salah satu jenis aliansi strategis (Ireland et all., 2011 dalam Sanny 2014). Kalau waralaba dapat dijadikan satu jenis dari aliansi strategis, dengan kata lain bisnis yang bekerja sama dengan orang lain atau perusahaan, maka harus ada kepercayaan satu sama lain. Tanpa ada kepercayaan bisnis waralaba tidak dapat berjalan dengan lancar. Dalam penjelasan masalah diatas, penulis ingin menganalisis faktor-faktor yang dapat mendukung terjadinya switch behavior, dimana pihak terwaralaba berubah menjadi pewaralaba, sehingga dari sini penulis mengambil judul “Analisis Faktor-Faktor Switch Behavior Terwaralaba Menjadi Pewaralaba Pada Waralaba Makanan di Jabodetabek”
1.2 Formulasi Masalah 1.
Apa yang menyebabkan terjadinya switch behavior?
2.
Menentukan faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap switch behavior?
3.
Bagaimana membuat waralaba yang baik dan benar bagi perwaralaba?
1.3 Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan waralaba dalam bidang makanan yang mencapai investasi dibawah Rp 250.000.000,- di sekitar Jabodetabek dan dilihat dari sudut pandang terwaralaba.
1.4 Tujuan Penelitian 1.
Mencari penyebab terjadinya switch behavior
2.
Menentukan faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap switch behavior
3.
Memberikan rekomendasi bagi perwaralaba
6 1.5
State of The Art
Tabel 1.1 Tabel State of The Art No Jurnal 1
Kesimpulan
Bayu Sutikno, ISS & MLB, Penelitian konseptual tentang tahapan model Franchisee Switching Stage switching stage model di Indonesia meliputi Model, September 2013, waralaba A berganti menjadi waralaba B dengan page 17 – 28
melalui 6 step yang disebut dengan A to F mode. 1. Accident, 2. Breakdown, 3. Complaint, 4. Disengagement, 5. Evaluation, 6. Follow up. Dengan hasil dalam penelitian ini menawarkan kerangka teoritis proses switching terwaralaba dan implikasi praktis bagi pewaralaba. Dalam jurnal
ini
dijelaskan
penyebab
switching
behavior dikarenakan tidak adanya kepuasaan yang dimiliki oleh terwaralaba. Jika terwaralaba tidak memiliki rasa puas terhadap sistem waralaba tersebut, gimana terwaralaba akan menetap di dalam sistem waralaba tersebut. Ini menunjukkan kalau tidak adanya kepuasaan terwaralaba akan dapat berdampak dengan switch behavior. 2
Jyh-Shen
Chiou,
Chia- Penelitian yang dilakukan di Taiwan yang
Hung Hsieh, dan Ching- dikembangkan menggunakan metode empiris Hsien Yang, Journal of menjelaskan bahwa komunikasi, bantuan layanan Small
Business dan keunggulan kompetitif dapat mempengaruhi
Management, The Effect of terwaralaba untuk dapat bertahan dalam sistem Franchisor’ Communication, Assistance,
waralaba. Service waralaba
Berdasarkan di
Taiwan
penelitian menunjukkan
sistem bahwa
and komunikasi sangat penting untuk memperkuat
Competitive Advantage on kepercayaan terwaralaba dan overall satisfaction Franchisees’ Intention to dalam sistem waralaba. Dan hasilnya juga Remain in the Franchise menunjukkan
keunggulan
kompetitif
yang
7 System (Jan 2004) : 42,1
dimiliki
pewaralaba
merupakan
dasar
dari
overall satisfaction untuk terwaralaba tetap ada dalam
sistem
kepuasaan
akan
waralaba bantuan
tersebut. layanan
Namun tidak
mempengaruhi franchisee’s overall satisfaction. Dalam jurnal ini bantuan layanan dapat dibagi menjadi 2 bagian: pelatihan (training) dan pedoman operasional (operation guidelines), dalam kedua hal ini telah dijelaskan dapat mempengaruhi hubungan antara terwaralaba dan pewaralaba, jika dari 2 pihak tidak memiliki hubungan baik maka adanya switch behavior, begitupun dengan keunggulan kompetitif, jika seorang pewaralaba tidak memiliki keunggulan kompetitif dalam sistem waralabanya, maka terwaralaba akan berpendapat, bahwa waralaba ditersebut tidak dapat bersaing di pasar. 3
Evelien Croonen, Journal Atas dasar studi kasus mengenai 8 proses of Business Ethics, Trust perubahan dalam empat sistem apotek waralaba and
Fairness
During di Belanda, artikel ini membahas tentang sebuah
Strategic Change Processes tantangan yang sangat penting bagi pewaralaba in Franchise System, 2010, adalah mengadaptasi strategi sistem waralaba 95:191-209
mereka untuk ancaman dan peluang baru. Selama proses perubahan strategi biasanya terwaralaba diharuskan untuk dapat menyesesuaikan sistem waralaba
sesuai
dengan
perubahan
yang
dilakukan oleh pewaralaba. Oleh karena itu, penting bahwa terwaralaba dapat percaya ke pewaralaba selama proses perubahan tersebut. Artikel ini bertujuan untuk menghasilkan teori persepsi terwaralaba tentang kepercayaan dan keadilan selama proses perubahan strategi. Jika dalam hubungan terwaralaba dan pewaralaba
8 tidak memiliki rasa kepercayaan antara satu sama lain maka hubungan antara kedua pihak untuk saling bekerja sama tidak akan berjalan baik. 4
Lim
Sanny,
Research Penelitian yang dilakukan dalam sebuah kasus
of
Business Early Childhood Education Franchising di
Management,
Franchising Indonesia mengenai kesuksesan kerjasama dalam
Journal
in
Indonesia
from sistem waralaba sangat ditentukan hubungan
Franchisee Perspective: A antara pewaralaba dan terwaralaba. Tujuan dari Case on Early Childhood penelitian ini untuk menguji hubungan antara Education Franchising in pewaralaba dan terwaralaba dari perspektif Indonesia, 2015, 1819-1932 terwaralaba di Indonesia. Selain itu, penelitian ini diuji untuk mengetahui bagaimana hubungan baik antara dua pihak yang dapat mempengaruhi kepuasan dan kinerja. Hasil penelitian ini dari 101 kuesioner secara online menegaskan bahwa terwaralaba
yang
memiliki
orientasi
kewirausahaan, akan memiliki hubungan baik dengan
pewaralaba
Bedasarkan
untuk
kualitas
kinerja
mereka.
relational,
yaitu
kepercayaan, komitmen, dan komunikasi adalah indikator paling kuat daripada transactional. 5
Lim
Sanny,
Medwell Penelitian ini dilakukan pada industri pendidikan
Journals, Transactional
How waralaba
di
Indonesia
dengan
terwaralaba
and sebagai unit analisis dan menggunakan metode
Relational Quality Affects kualitatif. Tujuan utama dari penelitian ini adalah Franchisee Satisfaction in untuk Indonesia, 2014, 65-73
menyelidiki
kepuasan
terwaralaba
berdasarkan kualitas transaksional dan relasional dari perspektif waralaba. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa dalam sampel hipotetis industri pendidikan waralaba di Indonesia, hubungan kualitas transaksional mempengaruhi kepuasan terwaralaba, namun efek dari kualitas relasional lebih besar daripada efek kualitas
9 transaksional. Studi ini menawarkan wawasan berharga bagi manajemen strategis terutama untuk bisnis waralaba, untuk hubungan yang lebih baik antara pewaralaba dan terwaralaba.
10