BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar belakang Masa remaja merupakan periode peralihan perkembangan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrok, 2007). Perubahan biologis meliputi perubahan fisik individu yang ditandai dengan pubertas. Pubertas merupakan perubahan cepat pada kematangan fisik yang meliputi perubahan tubuh dan hormonal yang terutama terjadi selama masa remaja awal (Santrock, 2007). Pada remaja laki-laki masa pubertas ditandai dengan mimpi basah dan perubahan suara, sedangkan pada remaja putri ditandai dengan datangnya menstruasi dan payudara yang mulai membesar. Perubahan kognitif
pada remaja
meliputi perubahan dalam pikiran, intelegensi dan bahasa, seperti kemampuan dalam memecahkan masalah dan kemampuan dalam penalaran mengenai hal-hal abstrak sedangkan perubahan sosial-emosional mencangkup perubahan emosi, kepribadian dan peran. Masa peralihan remaja hingga dewasa dapat berlangsung cukup lama sampai remaja dapat mengembangkan berbagai keterampilan yang lebih efektif untuk menjadi anggota penuh dari suatu masyarakat (Santrock, 2007). Hall (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa sejalan dengan perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional yang dialami oleh remaja, mereka menjadi cenderung menyimpang dan penuh konflik seperti menggunakan obat-obatan terlarang, pesta, seks bebas, tauran dan gemar mengikuti mode. Salah satu aspek psikologis dari masa remaja adalah mereka menjadi sangat memperhatikan citra tubuh dan mulai membangun jati diri (Santrock, 2007). Idhami (dalam Farida, 2013) menyebutkan bahwa rentang masa remaja berkisar antara 10 hingga 21 tahun yang terbagi menjadi empat kelompok yaitu masa pra remaja (10-12 tahun), masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun) dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Santrock (2007) membedakan masa remaja menjadi dua periode yaitu masa remaja awal antara 10-13 tahun dan masa remaja akhir usia 18-22 tahun. Berdasarkan data majalah Marketing (2008, dalam Suharyadi dan Purwanto 2009) remaja di Indonesia senang mengikuti tren gaya hidup, 75 % senang jalan-jalan di mall, 96% remaja sangat menyukai jajan, 74% remaja telah memiliki telepon genggam
1
2
pribadi dan mereka hanya memiliki 24% tabungan yang diambil kurang dari 50% uang jajan mereka. Perilaku yang dilakukan oleh remaja tersebut didukung dengan bermunculannya waralaba (francise), pusat perbelanjaan (shopping center), dan supermarket yang rata-rata menjual komoditas remaja (Sumartono,2002). Menurut Aryo (2013) di Jakarta terdapat 173 shopping center dan Jakarta merupakan kota dengan pusat perbelanjaan terbanyak didunia. Brotoharsajo, Sjabadhyni, Mokoginta & Wutun (2005) menyatakan bahwa dalam dunia perindustrian, remaja merupakan pangsa pasar potensial karena walaupun memiliki keterbatasan dalam kemampuan keuangan remaja termasuk kelompok yang konsumtif bahkan melebihi kelompok yang memiliki penghasilan tetap. Hal serupa juga disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Beliau mengungkapkan pembangunan di Jakarta berpusat pada shopping center menjadikan masyarakat menjadi hedonis, menyukai hal-hal yang bersifat konsumtif dan mewah (Jordan, 2013). Surbakti (2009) menjelaskan perilaku hedonis adalah suatu pandangan yang mengutamakan duniawi atau menganggap bahwa kesenangan merupakan tujuan hidup sedangkan yang dimaksudkan dengan perilaku konsumtif menurut Fromm (1995, dalam Arysa 2013) adalah perilaku dimana individu mempunyai suatu barang dengan tujuan untuk menunjukan status dari pemiliknya dan tidak berorientasi pada fungsi atau manfaat dari barang itu sendiri. Fenomena yang terjadi di Jakarta terkait perilaku konsumtif pada remaja adalah beberapa remaja masuk ke dalam dunia prostitusi, alasan para remaja menjadi seorang pekerja seks komersil (PSK) adalah untuk memenuhi desakan memiliki produk terbaru mulai dari gadget sampai produk kecantikan (Noor, 2013). Keinginan para remaja tersebut untuk terus mengikuti perkembangan mode yang sedang menjamur tentu membutuhkan uang yang tidak sedikit. Sementara pendapatan sebagai pelajar tidak dapat mencukupi keinginannya tersebut. Maka dari itu mereka mulai terjun kedalam dunia prostitusi untuk mendapatkan uang tambahan. Kemudian, hasil penelusuran reportase investigasi Trans Tv yang ditayangkan pada tanggal 15 november 2013 mengungkapkan fakta bahwa para remaja mudah dijebak untuk menjadi PSK dengan rayuan akan terpenuhinya kebutuhan akan gaya hidup seperti memiliki smartphone terbaru. Sehingga mudah sekali bagi para pelaku kejahatan untuk menjerat remaja menjadi PSK.
3
Perilaku
konsumtif menjadi
permasalahan
karena
dampak
negatif
yang
ditimbulkannya. Menurut Waluyo, Suwardi, Feryanto & Haryanto (2008) ada tiga dampak negatif dari perilaku konsumtif yaitu pertama, terjadinya pemborosan. Hal ini terjadi karena seseorang menggunakan uang untuk keperluan yang tidak penting. Kedua, perilaku konsumtif menimbulkan kesenjangan sosial karena secara sosial seseorang yang berperilaku konsumtif terlihat lebih menarik sehingga menimbulkan kesenjangan bagi yang melihat. Terakhir, menimbulkan inflasi ekonomi karena ketika permintaan meningkat maka harga barang juga ikut meningkat. Dampak negatif dari perilaku konsumtif adalah orang-orang yang berperilaku konsumtif biasanya kurang memikirkan masa depan dan masyarakat pada umumnya kurang menghormati orangorang yang berperilaku konsumtif (Kurnia, 2007). Kurnia juga mengemukakan bahwa orang-orang yang berperilaku konsumtif dapat menjadi berbahaya ketika tidak lagi memiliki penghasilan dan hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan tindak kriminal. Mangkunegara (2005) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen seseorang yaitu budaya, kelompok anutan dan keluarga. Pertama, faktor budaya dapat memprediksi perilaku konsumen seseorang berdasarkan nilai-nilai yang dipegangnya, dimana nilai tersebut didapatkannya dari generasi ke generasi. Kedua, faktor kelompok anutan yaitu unit masyarakat kecil yang perilakunya dapat mempengaruhi dan menentukan dalam pengambilan keputusan dalam mendapatkan atau menggunakan barang dan jasa. Terakhir adalah faktor keluarga yang merupakan suatu unit masyarakat terkecil dimana perilakunya sangat mempengaruhi dan menentukan dalam pengambilan keputusan membeli (Mangkunegara, 2005). Menurut Gunarsa (1991) keluarga merupakan kelompok sosial yang bersifat kekal, diresmikan dalam hubungan pernikahan yang memberikan pengaruh terhadap keturunan dan lingkungan. Bronfenbrenner (dalam Santrock, 2005)
yang menyatakan bahwa
konteks sosial atau tempat dimana anak-anak tinggal sangat mempengaruhi perkembangan mereka hingga dewasa karena keluarga merupakan konteks sosial pertama perkembangan anak. Keluarga inti merupakan keluarga yang terbentuk dari ikatan pernikahan yang direncanakan, terdiri dari suami (ayah), istri (ibu) dan anak (Sudiharto,2007). Ayah dan ibu memiliki peran penting dalam keluarga dimana salah satu tugas mereka adalah untuk mengasuh dan mendidik anak. Menurut Gunarsa & Gunarsa
(1991) peran ibu dalam keluarga adalah sebagai
pendidik yang mampu
4
mengatur dan mengendalikan anak, sebagai contoh teladan, pengatur yang bijaksana, memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis, merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, penuh kehangatan dan konsisten, memberi rangsangan dan pelajaran. Sedangkan peran ayah dalam keluarga adalah berpartisipasi dalam pendidikan anak, pencari nafkah bagi keluarga, sebagai suami yang penuh pengertian akan pemberi rasa aman, sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana dan mengasihi keluarga. Dalam keluarga terdapat pola pengasuhan anak yang diterapkan oleh orang tua untuk mendidik dan mengendalikan anaknya. Wahyuning, Jash & Rachmadiana (2005) mendefinisikan pola asuh sebagai cara atau perlakuan orang tua yang diterapkan kepada anak. Pola asuh turut membentuk dasar kepribadian seseorang, apakah nantinya anak akan memiliki kepribadian yang kuat atau rapuh dimana hal tersebut mempengaruhi pandangan anak terhadap dunia (Suwanto, 2009). Menurut Surbakti (2009) sekecil apapun kesalahan dalam penerapan pola asuh yang dilakukan terhadap remaja dapat berakibat fatal dan sulit untuk diperbaiki. Baumrind (dalam Santrock, 2007) menyebutkan tiga jenis pola pengasuhan anak yang biasa diterapkan oleh orang tua. Pertama, pola asuh otoriter yaitu pola asuh yang bersifat menghukum dan membatasi. Kedua, jenis pola asuh otoritatif dimana orang tua memberikan kebebasan kepada anaknya dan tetap memberikan batas-batas agar anak dapat mengontrol perilaku mereka. Pola asuh terakhir adalah pola asuh permisif yang kemudian terbagi menjadi dua yakni mengabaikan, dimana orang tua memberikan kebebasan tanpa kontrol yang tepat dan tidak mencampuri hal-hal dalam kehidupan remaja. Pola pengasuhan permisif memanjakan, orang tua sangat berperan dalam setiap aspek kehidupan remaja, mengizinkan remaja melakukan apa saja yang di inginkannya dengan sedikit kontrol. Feist (2010) mengatakan bahwa setiap keluarga melakukan tipe pengasuhan anak yang berbeda-beda sehingga pada akhirnya membentuk kepribadian anak yang cocok dengan nilai budaya dan kebutuhan mereka. Mengenai pola asuh peneliti ingin melihat pola asuh berdasarkan persepsi dari sang anak. Persepsi menurut Sunarto (2003) adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan inderaagar memberikan makna kepada lingkungan , apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif. Perilaku konsumtif remaja telah menjadi fenomena di kota-kota besar didukung dengan banyak berdirinya pusat perbelanjaan. Kemudian dalam dunia perindustrian,
5
remaja merupakan pangsa pasar potensial karena walaupun memiliki keterbatasan dalam kemampuan keuangan remaja termasuk kelompok
yang konsumtif bahkan
melebihi kelompok yang memiliki penghasilan tetap. Fenomena ini menarik untuk diteliti karena secara finansial mereka masih bergantung terhadap pemberian orang tua dan mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dari perilaku konsumtif. Keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen seseorang dimana orang tua memiliki andil dalam mengasuh anak mereka. Maka dari itu peneliti tertarik melakukan suatu penelitian mengenai hubungan antara persepsi pola asuh orang tua dengan perilaku konsumtif pada remaja.
1.2 Rumusan masalah Berdasarkan pada latar belakang yang telah peneliti kemukakan, peneliti ingin mengetahui : 1. Apakah terdapat hubungan antara persepsi pola asuh otoriter dengan perilaku konsumtif pada remaja ? 2. Apakah terdapat hubungan antara persepsi pola asuh otoritatif dengan perilaku konsumtif pada remaja ? 3. Apakah terdapat hubungan antara persepsi pola asuh permisif mengabaikan dengan perilaku konsumtif pada remaja ? 4. Apakah terdapat hubungan antara persepsi pola asuh permisif memanjakan dengan perilaku konsumtif pada remaja ?
1.3 Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi pola asuh otoriter dengan perilaku konsumtif pada remaja. 2. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi pola asuh otoritatif dengan perilaku konsumtif pada remaja. 3. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi pola asuh permisif
mengabaikan
dengan perilaku konsumtif pada remaja. 4. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi pola asuh permisif memanjakan dengan perilaku konsumtif pada remaja.