BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat seseorang memutuskan untuk menikah, maka ia akan memiliki harapan-harapan yang tinggi atas pernikahannya (Baron & Byrne, 2000). Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan keluarga. Setiap pasangan yang mengikrarkan diri dalam sebuah ikatan pernikahan tentu memiliki harapan agar pernikahan yang dibangun dapat berhasil. Membangun dan mempertahankan hubungan dengan pasangan merupakan salah satu aspek penting perkembangan individu dewasa (Kelley & Convey dalam Lemme, 1995). Sebagian besar individu dewasa menginginkan hubungan cinta mereka dikokohkan dalam sebuah pernikahan (Kail & Cavanaugh,2000). Arnett (2013) menyatakan bahwa emerging adult adalah individu dengan umur 18 sampai dengan 29 tahun, pada tahap ini kebanyakan emerging adults sudah membuat keputusan penting yang akan membentuk struktur kehidupan individu dewasa salah satunya ialah aspek percintaan seperti menginginkan kehidupan pernikahanSebagian besar individu dewasa menginginkan hubungan cinta mereka dikokohkan dalam sebuah pernikahan (Kail & Cavanaugh,2000). Arnett (2013) menyatakan bahwa emerging adult adalah individu dengan umur 18 sampai dengan 29 tahun, pada tahap ini kebanyakan emerging adults sudah membuat keputusan penting yang akan membentuk struktur kehidupan individu dewasa salah satunya ialah aspek percintaan seperti menginginkan kehidupan pernikahan. Untuk mencapai suatu pernikahan, terdapat proses dimana seseorang bertemu dengan individu lain yang bertujuan untuk mengetahui kemungkinan sesuai atau tidaknya untuk dijadikan sebagai pasangan hidup yang disebut berpacaran (Benokraitis, 1996). Menurut DeGenova dan Rice (2005) pacaran adalah suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain. Pacaran dimulai dari proses pendekatan, pengenalan pribadi hingga akhirnya menentukan tujuan hidup seperti melanjutkan ke jenjang pernikahan, tetapi menurut Burgess dan Cotrell (dalam Ardianita & Andayani, 2005) menyatakan bahwa masa berpacaran yang lebih dari 6 bulan akan memiliki tingkat kebahagiaan pernikahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masa berpacaran yang kurang dari 6 bulan. Oleh sebab itu dalam masa berpacaran tersebut 1
2 seseorang akan lebih mengerti kebiasaan, perilaku, kepribadian pasangannya dan sudah memiliki tujuan hidup. Pacaran bukanlah satu-satunya cara untuk mendapatkan pasangan hidup yang tepat, Proses lain yang juga dapat dilakukan adalah melalui ta’aruf. Umumnya, proses ta’aruf ini dilakukan oleh para pemeluk agama Islam. Islam, sebagai salah satu dari lima agama yang diakui di Indonesia sangat menekankan tentang bagaimana seorang muslim seharusnya menjalankan suatu rumah tangga atau pernikahan. Dalam membangun pernikahan atau rumah tangga, seluruh umat Islam diharapkan dapat bercermin pada keluarga Rasulullah SAW, yang merupakan keluarga Islami yang sakinah, mawaddah dan warahmah (rumah tangga yang diliputi ketenangan, cinta dan kasih sayang) menurut Gymnastiar (2011), karena dalam proses ta’aruf dibingkai dengan akhlak yang Islami dan tidak ada kebohongan diantara sesama calon pasangan berbeda dengan pacaran yang selalu dibingkai dengan kebohongan antara sesama pasangan. Taaruf (perkenalan) merupakan bagian dari Ukhuwah Islamiyah, dimana Islam sangat menganjurkan umatnya saling berta’aruf satu sama lain, suku tertentu dengan suku lain, bangsa tertentu dengan bangsa lain, maupun individu tertentu dengan individu lain (Donna, 2010). Abdullah (2003) mendefinisikan ta’aruf sebagai proses mengenal dan penjajakan calon pasangan dengan bantuan dari seseorang atau lembaga yang dapat dipercaya sebagai perantara atau mediator untuk memilihkan pasangan sesuai dengan kriteria yang diinginkan sebagai proses awal untuk menuju pernikahan. Alasan orang memilih pacaran atau ta’aruf dalam proses pencarian pasangan hidupnya berbeda-beda. Menurut Dion & Dion (dalam Newman, 2006), masyarakat Amerika dan masyarakat lain yang menganut budaya individualis mempercayai bahwa cinta yang romantis (romantic love) merupakan alasan utama bagi seseorang dalam memilih pasangan hidupnya. Menurut masyarakat yang berorientasi kolektif, cinta tidak menjadi hal yang relevan dalam memilih pasangan hidup. Pemilihan pasangan hidup dalam budaya kolektif dapat dilakukan oleh anggota keluarga, berdasarkan religius (hal yang bersangkutan dengan agama), finansial, atau latar belakang keluarga calon pasangan. Hal ini dipercayai memiliki kontribusi yang tepat atas pilihan yang diambil, tidak hanya bagi individu yang akan menikah, tetapi juga bagi sistem keluarga yang lebih luas (Dion & Dion, dalam Newman, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Universitas Ain Syams, hasilnya menunjukkan bahwa 75% pernikahan yang dilakukan setelah proses pacaran yang romantis berujung pada kegagalan total dan perceraian.
3 Sedangkan pernikahan yang dilakukan atas dasar perjodohan, baik dikenalkan oleh keluarga, teman, atau tetangga, menunjukkan jumlah keberhasilan yang mencengangkan, melebihi angka 95% (dalam Shalih, 2005). Pacaran ataupun ta’aruf pada intinya merupakan proses untuk mendapatkan pasangan hidup yang cocok. Hanya saja, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa perbedaan. Pacaran menurut Chudori (1997) membutuhkan membutuhkan waktu yang lebih lama, bahkan ada yang sampai bertahun-tahun. Waktu yang lebih lama ini memberikan kesempatan kepada masingmasing pihak untuk berusaha saling mengenal karakter, sifat, watak, kebiasaan, kelebihan dan kekurangan dari orang yang dicintainya untuk saling menyesuaikan diri sebelum memasuki pernikahan. Hal ini berbeda dengan yang dialami pada proses ta’aruf. Waktu yang dibutuhkan dalam proses ta’aruf umumnya jauh lebih singkat dari masa pacaran, berkisar antara satu hingga tiga bulan, namun tidak menutup kemungkinan proses ini bisa berlangsung lebih lama. Hal paling mendasar yang membedakan proses pacaran dan ta’aruf adalah pada proses pertemuannya. Menurut Amran (dalam Ummi, 2002) sebelum ta’aruf dilaksanakan, masing-masing pihak baik laki-laki maupun perempuan telah memiliki informasi tentang kepribadian masing-masing calon dengan saling bertukar biodata dan foto, yang diperoleh melalui mediator atau orang ketiga yang dipercaya sebagai perantara. Orang yang dimaksud sebagai perantara atau mediator dalam proses ta’aruf adalah orang yang paling dekat dan mengenal kepribadian individu yang akan melakukan ta’aruf, seperti orangtua, guru ngaji, atau sahabat yang dipercaya, sehingga diharapkan ia dapat memberikan informasi dan penjelasan yang benar dan akurat serta menyeluruh mengenai individu tersebut. Menurut Abdullah (2003), hal-hal yang biasanya menjadi pertimbangan untuk diketahui calon pasangan dalam ta’aruf meliputi kepribadian, pandangan hidup, pola piker dan cara penyelesaian terhadap suatu masalah. Pacaran maupun ta’aruf memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Pacaran menurut Chudori (1997) membutuhkan waktu lama memberi kesempatan bagi pasangan untuk saling mengenal satu sama lain, sehingga setelah menikah akan lebih mudah melakukan penyesuaian. Kehidupan pernikahan tanpa di awali proses pacaran, akan terjadi perpaduan dan bahkan bentrokan dari dua individu yang sama-sama asing. Sebaliknya, bila keduanya sudah saling mengenal, tinggal meneruskan langkah yang telah disepakati berdua agar menjadi semakin matang. Ta’aruf adalah proses yang sangat singkat dalam mengenal pasangan satu sama lain,
4 dimana pelaku ta’aruf harus membuat keputusan untuk melanjutkan ke proses selanjutnya atau tidak. Sedangkan pada proses ta’aruf kedua pasangan memiliki latar belakang yang berbeda harus menentukan pasangan ke jenjang yang lebih lanjut, yaitu khitbah dan menikah. Hal ini berbeda dengan pernyataan Hurlock (1999) yang mengatakan bahwa pada masa awal pernikahan, setiap pasangan memasuki tahap dimana mereka dituntut menyatukan banyak aspek yang berbeda dalam diri masing-masing. Pada proses ta’aruf, keakraban tidak diperbolehkan terjadi sebelum proses pernikahan berlangsung. Setelah melalui proses ta’aruf dan kemudian menikah, seperti pasangan yang melalui proses lainnya, pasangan ini juga akan mengalami fase penyesuaian pernikahan. Hurlock (2002) menyatakan, penyesuaian pernikahan menjadi masalah yang paling sulit yang harus dialami oleh pasangan muda atau pasangan di tahun-tahun awal pernikahan. Sementara mereka sedang melakukan penyesuaian, sering timbul ketegangan emosional yang merupakan bagian dari periode kehidupan keluarga muda. Pada pasangan ta’aruf yang sebelumnya minim komunikasi dan belum pernah menjalin hubungan akrab, ketika masa penyesuaian merasakan banyak hal yang masih harus diketahui lagi namun proses ta’aruf yang berlandaskan pada keyakinan kepada Allah SWT membuat pasangan berusaha untuk menerima dan memahami satu sama lain. Kemampuan pasangan untuk menyatukan aspek yang berbeda ini akan menentukan tingkat harmonisasi dalam suatu keluarga. Memasuki kehidupan awal pernikahan memang dibutuhkan banyak penyesuaian diantara kedua calon pasangan baik pasangan yang melalui proses pacaran maupun dengan proses ta’aruf, maka dari itu setiap calon pasangan yang akan menikah baiknya ditunjang dengan pengetahuan akan ilmu yang memadai tentang pernikahan dan juga kesiapan mental. Kesiapan menikah menurut Fournier dan Olson (Wiryasti, 2004) seharusnya dilihat sebagai prioritas untuk menciptakan awal yang baik bagi suatu pernikahan. Kesiapan menikah ini diperlukan untuk menciptakan pernikahan yang berkualitas dan mencegah perceraian. Sedangkan menurut Rapaport (Wiryasti, 2004) individu dikatakan siap menikah ketika ia telah mampu menyandang peran-peran barunya yaitu sebagai suami-istri kemudian berusaha untuk terlibat dalam pernikahannya serta mampu memasukan pola-pola kepuasan yang diperolehnya sebelum pernikahan ke dalam pernikahan. Kemampuan tersebut dapat dilihat ke dalam beberapa aspek. Blood and Blood (1978) mengatakan bahwa individu yang akan memasuki kehidupan pernikahan harus memiliki 2 aspek kesiapan menikah. Kedua aspek yang dimaksud adalah kesiapan pribadi yang termasuk di dalamnya adalah; kematangan, pengalaman hubungan
5 interpersonal dan usia yang matang; aspek yang kedua yang dibutuhkan dalam kesiapan menikah adalah kesiapan penunjang yang termasuk di dalamnya adalah sumber finansial dan masa pendidikan. Kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya yaitu sebagai suami atau istri dan digambarkan oleh adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, adanya sumber finansial dan studi yang telah selesai (Wiryasti, 2004). Menurut Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana DKI Jakarta atau yang dikenal dengan BKKBN, menyatakan pada tahun 2010 Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Diperkirakan rata-rata usia seseorang menikah pada usia 25,7 tahun untuk pria, sedangkan pada wanita usia 22,3 tahun (Badan Pusat Statistik, 2010). Usia tersebut termasuk dalam tahapan emerging adult yang bukan dikategorikan remaja, juga tidak pula termasuk kedalam usia dewasa (Arnett, 2013). Lebih spesifik lagi, Arnett (2013) menyatakan bahwa emerging adult adalah individu dengan umur 18 sampai dengan 29 tahun. Perjalanan kehidupan emerging adults sebagian besar melalui tiga tahap yaitu, launching, exploring dan landing. Menurut Arnett dan Fishel (2013), pada usia 18-21 tahun memasuki tahap launching yang mana pada tahap ini emerging adults lebih menuju kemandirian seperti memilih perguruan tinggi, percintaan, ataupun tempat tinggal. Kemudian pada usia 22-25 tahun emerging adults memasuki tahap exploring salah satunya ialah aspek percintaan, dalam kehidupan percintaan emerging adults melalui proses seperti mencari cinta, mencintai, kehilangan cinta dan menemukan cinta yang baru namun pada tahap ini emerging adults sudah mencari sesuatu yang lebih intim dan abadi lebih mencari “belahan jiwa” seperti seseorang yang istimewa dan tepat bagi dirinya serta terlihat adanya kehidupan pernikahan yang membahagiakan, dan yang terakhir adalah memasuki tahap landing yaitu pada usia 26-29 tahun, pada tahap ini kebanyakan emerging adults sudah membuat keputusan penting yang akan membentuk struktur kehidupan individu dewasa salah satunya ialah aspek percintaan seperti menginginkan kehidupan pernikahan dan kebanyakan emerging adults melakukan hal ini dikarenakan mereka memiliki kekhawatiran belum memiliki pasangan sebelum memasuki batas usia 30 tahun. Berdasarkan pemaparan mengenai kesiapan menikah, beberapa cara dalam mengenal calon pasangan salah satunya ta’aruf yang dijalani oleh emerging adult rentang usia 18-29 tahun. Dengan adanya fenomena yang terjadi dan didorong dengan penelitian yang ada serta
6 pengembangannya maka peneliti memutuskan untuk mengambil judul skripsi yaitu “ Gambaran Kesiapan Menikah Pada Emerging Adult Yang Menjalani Ta’aruf ”. Hal ini dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui bagaimana gambaran kesiapan menikah pada emerging adult yang menjalani ta’aruf.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, permasalahan yang dibahas pada penelitian ini adalah: ”Bagaimana gambaran kesiapan menikah pada emerging adult yang menjalani ta’aruf?”
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk melihat kesiapan menikah pada emerging adult yang menjalani ta’aruf .