Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Di dalam kehidupan masyarakat Jepang, kegiatan pengasuhan anak disebut dengan istilah ikuji. Kata ikuji terdiri dari dua huruf kanji, yaitu kanji iku 「育」 yang memiliki arti membesarkan atau mengasuh, serta kanji ji「児」yang memiliki arti anak. Ikuji dapat diartikan dengan proses pengasuhan anak sejak lahir sampai anak sudah mampu menjalani kehidupan sosial secara fisik maupun mental. Karakteristik utama dari pengasuhan anak di Jepang antara lain, (1) besarnya peran ibu, (2) ayah tidak terlalu banyak terlibat dalam pengasuhan anak, (3) kurangnya dukungan dari kerabat dalam pengasuhan anak, (4) rendahnya penggunaan baby sitter, pembantu, atau pekerja yang membantu urusan rumah tangga, (5) dalam keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, fasilitas seperti houikuen (day care) memiliki peran hingga batas-batas tertentu. Dengan kata lain, pengasuhan anak di Jepang kurang mendapat dukungan dari sang ayah maupun kerabat lainnya. Ibu menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak (Reiko dalam Ghiamitasya, 2012). Terbatasnya keterlibatan ayah di Jepang dalam mengasuh anak telah menjadi topik beberapa penelitian. Kuntz mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa para ayah di Jepang menghabiskan waktu lebih sedikit bersama anakanaknya dibandingkan dengan ayah-ayah di negara barat seperti Amerika, Perancis, dan Swedia. Menurut survei internasional tersebut, para ayah di Jepang menghabiskan waktu rata – rata 3,08 jam per hari bersama anak-anak sedangkan para ibu menghabiskan waktu 7,57 jam per hari (NWEC dalam Kuntz, 2008: 4). Faktor-faktor yang menjadi penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam mengasuh anak antara lain, (1) orang tua tinggal bersama dengan kakek dan nenek dalam rumah yang sama, (2) ibu tidak bekerja, (3) pria memiliki jam kerja yang lebih panjang termasuk giliran (shift) malam, dan menempuh jarak yang jauh dari rumah ke tempat kerja, (4) pria dan wanita memiliki ideologi jender
1
2 yang tradisional, (5) tempat bekerja pria tidak memiliki kebijakan serta atmosfer ramah keluarga (family-friendly) (Kuntz, 2008: 5). Nakazawa dan Shwalb (2013: 44) mengungkapkan bahwa peran ayah di Jepang telah berubah secara signifikan setelah periode Meiji atau saat Jepang membuka diri, modernisasi, dan ideologi Konfusianisme menjadi dasar pemikiran untuk pendidikan dan kehidupan keluarga Jepang sampai akhir Perang Dunia II. Kepercayaan Konfusianisme genpujibo 「 厳 父 慈 母 」 atau yang dikenal dengan “ayah yang tegas, ibu yang penuh kasih sayang” (strict father, affectionate mother) mendorong para ayah untuk menjaga jarak dari anak dan dengan keras mendisiplinkan mereka. Sementara itu, para ibu menjadi lebih dekat dengan anak dan memberikan dukungan dan perlindungan emosional. Ketika Jepang secara resmi menghapus idelogi Konfusianisme dan hukum keluarga pada akhir Perang Dunia II, gaya pengasuhan anak di Jepang mulai berubah. Gaya pengasuhan tersebut berdasarkan pada hubungan kasih sayang dan lebih terbuka dari sebelumnya. Pengasuhan ayah yang keras tidak lagi dilihat sebagai sebuah standar. Setelah Perang Dunia II, para ayah Jepang di akhir tahun 1950-an dan 1960-an lebih fokus pada perannya sebagai karyawan di perusahaan. Mereka berkontribusi pada restorasi Jepang sebagai kekuatan ekonomi. Sistem bekerja di Jepang lebih memprioritaskan pria pada pekerjaannya dibandingkan dengan keluarga. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kerja lembur dan tanshinfunin (pindah bekerja ke kota lain dengan meninggalkan keluarga). Sebagai hasilnya, ada banyak ayah yang gila kerja dan menyerahkan tugas pengasuhan anak sepenuhnya kepada istri (Nakazawa dan Shwalb, 2013: 63). Sikap yang berbeda dari pembagian kerja berdasarkan jender tercermin dalam data survei nasional yang dilakukan pemerintah. Data tersebut menunjukkan ketidaksetujuan pria dan wanita dengan pernyataan “suami harus bekerja di luar rumah, sementara istri mengerjakan tugas domestik” (Lamb, 2013: 263). Kecenderungan ini muncul karena adanya kesetaraan jender dalam masyarakat Jepang dan meningkatnya jumlah wanita yang bekerja. Meskipun demikian, masih ada beberapa pria dan wanita yang tetap mendukung pembagian kerja secara tradisional. Pria bekerja di luar dan wanita mengerjakan pekerjaan rumah.
3 Alasan kuat lain terhadap perubahan sikap dan perilaku pengasuhan anak di Jepang adalah karena angka kelahiran anak yang rendah. Rendahnya angka kelahiran ini telah menyebabkan kurangnya tenaga kerja. Hasilnya, para ibu juga diharapkan untuk bekerja walaupun kurangnya tempat penitipan anak yang memadai. Meningkatnya aktivitas wanita di luar rumah memberikan harapan yang tinggi kepada para ayah untuk berpartisipasi dalam mengasuh anak dan pekerjaan rumah tangga (Nakazawa dan Shwalb, 2013: 46). Akhir-akhir ini, ada banyak ayah di Jepang yang muncul untuk lebih terlibat dengan anak. Mereka didorong oleh para profesional, dan pediatrik yang secara publik menekankan pentingnya pengasuhan anak oleh ayah. Ayah-ayah di Jepang saat ini yang tumbuh sekitar tahun 1980-an dan 1990-an, percaya bahwa ikatan keluarga yang stabil dan intim lebih penting dibandingkan dengan keberhasilan ekonomi. Hal ini karena kurangnya relasi yang dimiliki dengan ayah mereka sebelumnya (Nakazawa dan Shwalb, 2013: 45). Survei nasional tahun 2008 oleh National Institute of Population and Social Security Research mengenai ayah Jepang mengindikasikan bahwa saat mereka terus bekerja keras, mereka menjadi lebih aktif terhadap anak dalam bermain, memberi makan, memandikan, dan menidurkan anak. Angka kelahiran yang rendah mendorong pemerintah Jepang untuk membuat dan memperkenalkan berbagai kebijakan yang bersifat ramah keluarga (family-friendly) sejak awal 1990-an. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain, (1) cuti merawat anak dan keluarga (Childcare and Family Care Leave), (2) batasan jam kerja dan kerja malam (Limitation of Work Hours and Night Work), (3) undang-undang mengenai dukungan merawat anak untuk generasi selanjutnya (Law Concerning Childcare Support for The Next Generations), dan (4) hak untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan (Work-Life-Balance Charter). Cuti merawat anak dan keluarga (Childcare and Family Care Leave) dilaksanakan pada tahun 1992. Melalui kebijakan ini, untuk pertama kalinya ayah Jepang dapat mengambil cuti dari pekerjaan. Kebijakan ini memberikan izin kepada ayah untuk mengambil cuti kerja sampai anak berumur 12 bulan. Kebijakan batasan jam kerja dan kerja malam (Limitation of Work Hours and Night Work) memberikan izin kepada ayah Jepang untuk membatasi jam lembur sampai dengan 24 jam per bulan. Selain itu, dapat pula menghindari bekerja
4 pada giliran (shift) malam dari jam 10 malam hingga 5 pagi. Undang-undang mengenai dukungan merawat anak untuk generasi selanjutnya (Law Concerning Childcare Support for The Next Generations) dilaksanakan pada tahun 2005. Melalui kebijakan ini, pemerintah lokal dan karyawan diberikan perintah untuk membuat rencana kegiatan. Hal ini untuk mendukung orang tua dalam pengasuhan anak. Hak untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan (WorkLife-Balance Charter) dilaksanakan pada tahun 2007. Melalui kebijakan ini, karyawan, pemerintah lokal membuat rencana kegiatan yang memampukan para karyawan untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupannya termasuk keluarga (Kuntz, 2008: 6-7). Pada tahun 1999, pemerintah Jepang mengadakan kampanye yang bertujuan untuk mengajak para ayah agar lebih terlibat dalam hal mengasuh anak. Poster bertuliskan “pria yang tidak terlibat dalam pengasuhan anak bukanlah ayah yang sebenarnya” (A man who is not involved in child rearing is not really a father) yang didistribusikan oleh pemerintah Jepang tahun 1999 membawa pengaruh yang kuat terhadap sikap para ayah dalam mengasuh anak. Melalui kampanye ini, pengasuhan oleh ayah yang aktif dapat lebih menarik dan alamiah untuk ayah-ayah muda Jepang (Nakazawa & Shwalb, 2013: 60). Gambar dari poster tersebut adalah seorang ayah bernama Masaharu Maruyama atau lebih dikenal dengan nama Sam dari band TRF, yang sedang menggendong anak lakilakinya yang berusia 8 bulan. Kampanye ini juga dikenal dengan The Sam Campaign. Beberapa penelitian di Jepang meneliti tentang dampak partisipasi ayah pada anak. Berdasarkan laporan dari Ministry of Health, Labour and Welfare Jepang tahun 2014, partisipasi ayah memiliki dampak jangka panjang pada anak yang berusia 1,5 – 5,5 tahun. Penelitian itu menunjukkan bahwa anak akan menjadi lebih sabar dan tenang ketika ayah menghabiskan waktu lebih lama dengan anak tersebut. Sebagai tambahan, meningkatnya keterlibatan ayah berhubungan dengan anak memiliki banyak teman dan kemampuan berbicara anak yang tinggi (Kuntz dalam Quah, 2015: 168). Saat ini, ayah yang secara aktif melakukan pengasuhan anak dan dilihat sebagai sebuah kemajuan disebut dengan Ikumen 「イクメン」. Istilah Ikumen 「イクメン」 merupakan gabungan dari dua buah kata yaitu iku 「育・イク」
5 yang berasal dari ikuji 「育児」yang berarti mengasuh anak, dan men yang berarti pria. Ikumen awalnya disebut sebagai kelompok minoritas yang relatif baru, yaitu ayah yang cuti dari pekerjaan untuk mengasuh anak. Sekarang Ikumen telah memiliki makna yang lebih luas lagi yang menyertakan para ayah yang aktif terlibat dalam mengasuh anak-anak. Oyama (2014: 188) mengungkapkan kata Ikumen sendiri diciptakan pada tahun 2006 oleh seorang copywriter di sebuah perusahaan periklanan. Para pekerja prianya membuka situs bernama Ikumen Kurabu (Ikumen Club) atau klub Ikumen yang kemudian menjadi organisasi non-profit pada tahun 2011. Situs tersebut bertujuan untuk membagikan pengalaman para pekerja pria perusahaan periklanan tersebut dalam mengasuh anak. Menurut Ikumen Kurabu, kata Ikumen mulai diperkenalkan pada masyarakat pada November 2008. Ditampilkan dalam sebuah artikel di majalah mingguan Aera, yang diterbitkan oleh penerbit surat kabar nasional Asahi Shinbun. Ikumen merupakan permainan kata seperti Ikemen, kata yang digunakan untuk seorang pria dengan wajah tampan (Inhorn, 2014: 68). Ikumen didefinisikan sebagai “pria yang senang mengasuh anak dan mendewasakan dirinya, atau mereka yang ingin melakukannya di masa depan” atau hanya disebut sebagai ayah yang tinggal di rumah (MHLW, 2012). Executive Committee Kobe Ikumen menyatakan bahwa Ikumen merujuk kepada semua pria, tidak hanya ayah, tetapi juga kakek bahkan penjual sayur, karena pengasuhan harus dilakukan di masyarakat. Untuk meningkatkan minat pria dalam pengasuhan anak, Ministry of Health, Labour and Welfare Jepang mengadakan kampanye yang disebut dengan The Ikumen Project pada pertengahan bulan Juni 2010 dengan slogan “sodateru otoko ga, kazoku o kaeru, shakai ga ugoku.”「育てる男が、家族を 変える、社会が動く。」. Dapat diartikan dengan “pria yang mengurus anak mengubah keluarga, masyarakat tergerak.” (Inhorn, 2014: 68). Perusahaanperusahaan besar seperti Sumitomo Corp., dan NTT Data Corp., sangat mendukung proyek ini dan ikut mempromosikannya kepada setiap karyawan pria yang bekerja di perusahaan tersebut. Ministry of Health, Labour and Welfare Jepang bahkan telah menggunakan media sosial seperti Twitter dan memasang sebuah situs web (www.ikumen-project.jp). Hal ini bertujuan sebagai
6 bahan informasi untuk mempromosikan Ikumen dan mengajak para pria agar menyatakan dirinya sebagai Ikumen. Ada juga organisasi-organisasi yang mendukung keberadaan Ikumen, salah satunya Fathering Japan, sebuah organisasi non-profit. Berbagai macam seminar dan kegiatan diadakan untuk mengajarkan para pria bagaimana cara mengasuh anak. Keberadaan Ikumen yang sedang menjadi tren di Jepang, tentunya menjadi hal yang menarik untuk diulas ataupun diteliti. Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk meneliti dan mendapatkan informasi mengenai Ikumen. Hal tersebut dapat dilakukan melalui surat kabar, majalah, televisi, buku-buku, maupun internet. Dalam skripsi ini, penulis memilih untuk menelitinya melalui drama Jepang yang berjudul Zenkai Girl yang akan menjadi data utama penelitian. Zenkai Girl adalah sebuah drama yang menceritakan tentang seorang wanita muda bernama Ayukawa Wakaba yang berprofesi sebagai pengacara muda. Wakaba bercita-cita ingin menjadi seorang pengacara profesional. Oleh karena itu, dia menjadi seorang wanita yang sangat ambisius. Keinginan Wakaba untuk menjadi seorang pengacara didasari oleh kehidupan masa kecilnya. Sewaktu Wakaba masih kecil, ayahnya sering ditipu oleh rekan bisnisnya. Oleh karena itu, Wakaba kecil mulai belajar hukum untuk melindungi ayahnya agar tidak ditipu lagi. Satu hari ketika sedang mengantar Hinata ke sekolah, Wakaba bertemu dengan seorang pria yang bernama Yamada Souta. Sebelumnya Wakaba sudah pernah bertemu dengan Yamada Souta di dalam kereta. Saat itu mereka bertemu dalam situasi yang tidak menyenangkan. Souta yang membawa popok serta botol susu bayi, dengan tidak sengaja bersentuhan dengan Wakaba. Wakaba menganggap kalau Souta sengaja menyentuhnya. Pada akhirnya, Wakaba mendorong Souta hingga dia terjatuh dan popok serta botol susu bayi berserakan. Penumpang di dalam kereta tersebut terkejut dan memandang aneh ke arah Souta. Yamada Souta memiliki anak laki-laki yang bersekolah di TK yang sama dengan Hinata. Anak itu bernama Pitaro. Hinata dan Pitaro adalah teman yang akrab dan mereka sering bermain bersama. Yamada Souta adalah seorang pria yang tidak kaya, tidak berpendidikan tinggi, dan tidak memiliki jabatan yang mapan. Dia bekerja sebagai tukang masak di kedai kecil. Dahulu Souta pernah
7 bekerja sebagai seorang koki di salah satu restoran masakan Perancis yang terkenal. Akan tetapi, dia tidak melanjutkan profesi tersebut. Souta lebih memilih untuk mengasuh Pitaro. Souta adalah seorang orang tua tunggal bagi Pitaro setelah ditinggal oleh istrinya, Ririka, ke Amerika. Pitaro bukanlah anak kandung Souta melainkan anak dari Ririka. Akan tetapi, Souta menganggap Pitaro sebagai anaknya sendiri dan dengan tulus mengasuh Pitaro. Souta adalah seorang pria yang baik dan senang dengan anak-anak. Tidak hanya mengasuh Pitaro, Souta dengan sukarela mau mengasuh anak-anak yang lain. Souta mengikuti klub ayah bersama dengan teman-temannya. Di klub tersebut, para ayah akan mendapatkan giliran untuk menjaga anak setelah anak pulang sekolah. Souta mengikuti sistem tersebut dan tidak pernah keberatan menjaga anak-anak walaupun sambil bekerja. Anak-anak di lingkungan sekitar tempat tinggalnya mengenal Souta dan senang padanya. Teman-teman Souta mengatakan bahwa Souta adalah seorang Ikumen dan menjadi teladan bagi semua ayah. Hal ini karena Souta sukarela mengasuh anak. Kepala Sekolah dan guru di TK tempat Pitaro bersekolah memiliki pendapat yang sama dengan teman-teman Souta. Mereka mengatakan bahwa Souta adalah seorang Ikumen teladan. Dari tokoh Yamada Souta tersebut, penulis mengidentifikasi adanya konsep Ikumen. Hal inilah yang akan menjadi bahan analisis penulis dalam penulisan skripsi ini.
1.2 Masalah Pokok Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis konsep Ikumen pada tokoh Yamada Souta di dalam drama Zenkai Girl.
1.3 Formulasi Masalah Formulasi masalah dalam penulisan skripsi ini adalah penulis akan menganalisis
konsep
Ikumen,
bentuk-bentuk
keterlibatan
ayah
dalam
pengasuhan anak, dan bentuk-bentuk keterlibatan ayah dalam pekerjaan rumah tangga pada tokoh Yamada Souta.
1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup permasalahan dalam skripsi ini adalah menganalisis konsep Ikumen pada tokoh Yamada Souta dalam drama Zenkai Girl episode 1-
8 11. Korpus data pada penelitian ini adalah DVD drama Zenkai Girl tahun 2013 episode 1-11 dengan dialog dan script berbahasa Jepang. Penulis juga menggunakan buku-buku bacaan, artikel-artikel, dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan Ikumen dan peran ayah dalam keluarga di Jepang.
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian skripsi ini adalah menjelaskan terdapatnya konsep Ikumen, yang saat ini sedang tren di Jepang, pada tokoh Yamada Souta dalam drama Zenkai Girl. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dengan menjadi bahan informasi untuk memperkenalkan fenomena Ikumen yang hadir di dalam kehidupan masyarakat di Jepang. Selain itu, hadirnya konsep Ikumen ini dapat menjadi penelitian yang baru.
1.6 Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini penulis akan membahas tentang konsep Ikumen pada tokoh Yamada Souta dalam drama Zenkai Girl. Penelitian dengan tema Ikumen sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Oyama (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Gender, Family, and New Styles of Fatherhood: Modernization and Globalization in Japan. Penelitian tersebut membahas tentang ayah di awal abad ke-21 yang aktif terlibat mengasuh anak dan disebut sebagai Ikumen. Para ayah tersebut merupakan kebalikan dari para ayah di abad ke-20 yang bersifat patriarki. Oyama membahas bagaimana ayah yang bersifat patriarki kini berubah menjadi Ikumen. Hal tersebut diteliti dari segi sejarah, ekonomi politik, dan bahasa karena melihat adanya pergeseran budaya serta gaya baru para ayah. Muhayaroh (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Fenomena Ikumen Sebagai Salah Satu Perubahan Peran dan Identitas Ayah dalam Masyarakat Jepang Modern. Penelitian tersebut membahas tentang fenomena Ikumen yang saat ini sedang tren di Jepang, seperti latar belakang munculnya Ikumen, perubahan peran dan identitas ayah di Jepang terkait fenomena Ikumen, dan juga permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Ikumen.