BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korean Wave atau hallyu atau gelombang Korea adalah suatu bentuk arus peningkatan popularitas kebudayaan Korea di seluruh dunia. Gelombang hallyu pertama kali dibawa melalui drama-drama Korea. Kemudian berlanjut ke musik pop Korea atau yang biasa disebut Kpop yang kini menyebar bukan hanya ke seluruh Asia, tetapi juga mendunia (Korean Government, 2009). Di Jakarta, selain mengikuti perkembangan artis idola mereka melalui media, penggemar juga sangat antusias menyambut kedatangan artis idola mereka. Hampir setiap tiket konser Kpop yang diadakan ludes terjual bahkan jauh sebelum hari pelaksanaan konser. Salah satu contohnya adalah konser grup band CNBLUE yang diadakan di Tenis Indoor Senayan pada tanggal 19 Oktober 2013 lalu. Terhitung 3000 penonton memenuhi seluruh area konser, belum termasuk penonton yang tidak dapat memasuki area konser karena tidak berhasil mendapatkan tiket masuk. Harga tiket yang dijual pun tidak dapat dikatakan murah,tiket seharga Rp.600.000,00 untuk yang termurah hingga Rp.1.900.000,00 untuk kelas yang termahal pun terjual habis sehari sebelum konser digelar (Lutvia, 2013) Peristiwa lain yang menarik perhatian masyarakat luas adalah pada saat pembukaan sebuah pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Selatan pada tanggal 22 Juni 2013 lalu. Untuk memeriahkan acara pembukaan tersebut, pihak penyelenggara menghadirkan personil boyband yang sedang terkenal di Asia bahkan seluruh dunia yaitu Super Junior. Meski pemberitaannya tidak begitu luas, dan personil yang dihadirkan hanya 2 orang dari 13 personil yang sebenarnya, tidak menyurutkan antusiasme penggemar untuk beramai-ramai mendatangi pusat perbelanjaan tersebut jauh sebelum acara pembukaannya dimulai. Menurut beberapa narasumber, bahkan ada sejumlah penggemar yang menginap di sekitar halaman pusat perbelanjaan demi dapat menyaksikan idolanya dari jarak dekat. Acara pembukaan baru resmi diadakan pada pukul 15.00, tapi area pusat perbelanjaan telah dipadati ribuan penggemar sejak pagi. Keadaan pun semakin 1
2
tidak terkendali hingga menyebabkan beberapa penggemar pingsan karena kelelahan ataupun sulit mendapatkan oksigen. Melihat kondisi yang semakin tidak terkontrol, pihak keamanan pun membatalkan sesi tanda tangan yang sedianya akan diadakan untuk 200 orang pertama yang datang ke lokasi (Yulli,2013). Perilaku penggemar dalam membeli tiket konser tak perduli berapa pun harganya, serta kerelaan untuk menunggu artis idolanya walau hanya untuk bertemu sesaat saja seperti yang dicantumkan diatas secara perlahan menimbulkan hubungan parasosial antar penggemar dengan tokoh yang ditampilkan media. Hubungan parasosial sendiri adalah hubungan yang searah karena perilaku idola dapat mereka amati melalui media, sedangkan perilaku penggemar tidak diamati. Akibatnya, penggemar merasa dirinya dekat dengan tokoh idola meskipun mereka tidak pernah bertemu secara langsung (Baranews, 2013). Hubungan parasosial antar penggemar dan idolanya ini merupakan salah satu perilaku dari Celebrity Worship (Maltby,dkk 2005). Celebrity Worship adalah perilaku obsesi individu untuk selalu terlibat di setiap kehidupan selebriti yang digemari sehingga terbawa kedalam kehidupan sehari-hari individu tersebut (Maltby,dkk 2005). Hal serupa diungkapkan pula oleh Yue dan Cheung (dalam Liu, 2013) celebrity worship juga dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk pemujaan terhadap orang yang terkenal secara luas dan menarik perhatian publik dan media. Celebrity worship memiliki tiga dimensi, yaitu entertaiment-social, intense-personal, dan borderline - pathological (Maltby, Day, McCutcheon, Houran, & Ashe dalam Liu, 2013). Di tahap entertaiment-social, penggemar masih berada pada tahap yang normal dalam mengetahui kehidupan orang yang digemari, seperti membaca berita mengenai orang yang digemari, melakukan pembicaraan yang menyangkut dengan orang yang digemari, dan orang tersebut merasa bahwa mereka tertarik dengan orang yang dikenal seperti selebriti, karena mereka meyakini bahwa selebriti tersebut dapat memberikan sebuah hiburan. Selanjutnya, di tahap intense-personal, penggemar yakin bahwa mereka memiliki hubungan pribadi yang kuat dengan idola mereka dan menganggap idola mereka sebagai belahan jiwanya.Tahap yang terakhir adalah bordeline – pathological dimana penggemar seperti terobsesi dengan idola, mencari detail dari idola
3
mereka dan seakan percaya bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan idola mereka (Maltby, Day, McCutcheon, Houran, & Ashe dalam Liu, 2013). Celebrity worship dapat dialami oleh semua lapisan usia, akan tetapi menurut Ashe dan McCutcheon (dalam Fitriani,2009) pemujaan terhadap selebriti lebih banyak terjadi pada remaja akhir dan dewasa awal dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Masa remaja akhir adalah masa dimana seorang individu mengalami transisi dari masa kanak-kanak (childhood) ke dewasa (adulthood) serta didalamnya terdapat perkembangan fisik, kognitif dan perubahan psikososial (Papalia,Olds, & Feldmasn, 2009). Dalam Santrock (2013) dijelaskan bahwa masa remaja khususnya remaja akhir merupakan masa dimana individu mencari jati diri dan mengenal identitasnya. Hal ini juga diperkuat dengan teori tahapan perkembangan manusia menurut Erikson, yang mengatakan bahwa remaja akhir berada pada tahap identity vs identity confusion (Santrock, 2013). Dalam proses itu remaja akhir biasanya mencari sosok yang dapat mereka jadikan sebagai panutan atau teladan dalam kehidupan mereka (Haryanto, 2011). Pencarian jati diri dan identitas pada remaja akhir memiliki kaitan erat dengan bagaimana mereka mengevaluasi dan menilai diri mereka sendiri (Santrock, 2007). Menurut Coopersmith (dalam Susanti, 2012) bentuk evaluasi atau penilaian yang dilakukan oleh diri sendiri terhadap kemampuan yang dimiliki disebut harga diri. Hal ini senada dengan pendapat Stuart dan Sundeen (2007), yang mengatakan bahwa harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya. Harga diri merupakan salah satu komponen penting dalam tahap perkembangan remaja akhir karena harga diri pada seorang remaja akan menentukan keberhasilan atau kegagalan individu di masa mendatang (Santrock, 2007). Menurut Tafarodi dan Swann (2001) terdapat dua aspek dari harga diri yaitu Self competence yang merupakan kemampuan individu dalam memotivasi dirinya dalam bersikap serta berperan dalam menyesuaikan diri, kemudian self Liking yang merupakan sebuah perasaan berharga individu akan dirinya sendiri dalam lingkungan sosial dan hal ini bergantung dari nilai sosial yang individu berikan pada dirinya.
4
Coopersmith (2002) membagi harga diri kedalam tiga tingkatan, yaitu high harga diri, mid harga diri, dan low harga diri. Harga diri yang tinggi memperlihatkan kemampuan dalam menghadapi masalah dan orang lain dengan penuh harapan akan sukses serta mendapat penerimaan. Individu dengan high harga diri memiliki pandangan yang lebih positif terhadap dirinya sendiri serta orang lain dan lingkungannya. Individu dengan mid harga diri cenderung memiliki tingkat percaya diri yang agak lemah dan cenderung memiliki ketergantungan terhadap pendapat orang lain dalam mengevaluasi dirinya sendiri. Individu dengan low harga diri dapat dikatakan sebagai individu yang tidak percaya pada dunia, serta tidak adanya kepercayaan dan bentuk penghargaan terhadap dirinya sendiri. Karena, itulah mereka cenderung bergantung pada orang lain atau sosok yang mereka anggap kuat. Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa remaja merupakan tahap transisi dari kanak-kanak menuju dewasa disertai perubahan-perubahan dari aspek fisik dan kognitif (Papalia,Olds, & Feldmasn, 2007). Pada masa inilah mulai berkembang identitas sosial, yaitu status dan peran yang diberikan orang lain kepada individu di tengah masyarakat (Santrock, 2007). Pencarian jati diri dan identitas pada remaja akhir memiliki kaitan erat dengan bagaimana mereka mengevaluasi dan menilai diri mereka sendiri (Santrock, 2007). Menurut Coopersmith (dalam Susanti, 2012) bentuk evaluasi atau penilaian yang dilakukan oleh diri sendiri terhadap kemampuan yang dimiliki disebut harga diri. Hal ini senada dengan pendapat Stuart dan Sundeen (2007), yang mengatakan bahwa harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya. Harga diri merupakan salah satu komponen penting dalam tahap perkembangan remaja akhir karena harga diri pada seorang remaja akan menentukan keberhasilan atau kegagalan individu di masa mendatang (Santrock, 2007). . Pada masa itulah mereka berusaha mencari-cari idola atau panutan yang dapat mereka jadikan teladan dalam hidup mereka (Haryanto,2011). Namun terkadang pemujaaan terhadap idola ini menjadi suatu hal yang berlebihan dan hanya menjadi hubungan yang searah atau hubungan parasosial. .
5
Hubungan parasosial sendiri adalah hubungan yang searah karena perilaku idola dapat mereka amati melalui media, sedangkan perilaku penggemar tidak diamati. Akibatnya, penggemar merasa dirinya dekat dengan tokoh idola meskipun mereka tidak pernah bertemu secara langsung (Baranews, 2013). Hubungan parasosial antar penggemar dan idolanya ini merupakan salah satu perilaku dari Celebrity Worship (Maltby,dkk 2005). Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam hubungan antara celebrity worship dan harga diri pada remaja akhir di Jakarta.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan fenomena dan gambaran umum yang dicantumkan diatas, rumusan masalah yang didapat adalah : 1. Apakah terdapat hubungan antara celebrity worship pada tahap Entertainment Social dan harga diri pada remaja akhir di Jakarta ? 2. Apakah terdapat hubungan antara celebrity worship pada tahap Intense Personal dan harga diri pada remaja akhir di Jakarta ? 3. Apakah terdapat hubungan antara celebrity worship pada tahap Borderline Pathological dan harga diri pada remaja akhir di Jakarta ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk melihat hubungan antara celebrity worship pada tahap Entertainment Social dan harga diri pada remaja akhir di Jakarta 2. Untuk melihat hubungan antara celebrity worship pada tahap Intense Personal dan harga diri pada remaja akhir di Jakarta 3. Untuk melihat hubungan antara celebrity worship pada tahap Borderline Pathological dan harga diri pada remaja akhir di Jakarta
6
7