1 BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sejak paket deregulasi 27 Oktober 1988 atau lebih dikenal dengan Pakto 88, pertumbuhan perekonomian Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Salah satu faktor pertumbuhan perekonomian Indonesia ditandai dengan meningkatnya peran industri perbankan sebagai lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan. Deregulasi ini telah membawa perubahan yang sangat besar terhadap industri perbankan baik dalam peningkatan jumlah bank baru, perluasan jaringan kantor, peningkatan volume usaha, serta produk dan jasa yang ditawarkan. Hingga saat ini pertumbuhan jumlah bank tersebut masih berkembang secara pesat. Terhitung pada bulan Agustus 2014, berdasarkan data statistik perbankan Indonesia telah tercatat 119 bank umum yang terdiri dari bank pemerintah, bank umum swasta nasional devisa, bank umum swasta nasional non devisa, bank pembangunan daerah, bank campuran dan bank asing (Otoritas Jasa Keuangan, 2014). Tingginya pertumbuhan jumlah bank di Indonesia mengakibatkan persaingan dalam industri tersebut semakin ketat sehingga menimbulkan suatu permasalahan tersendiri bagi para pelaku bisnis perbankan. Permasalahan utama yang dihadapi berupa kecenderungan nasabah untuk memiliki lebih dari satu rekening tabungan bahkan juga lebih dari satu rekening kredit yang aktif seperti yang digambarkan pada Tabel 1.1. Fenomena ini menjadi indikasi bahwa nasabah cenderung tidak loyal dan tidak mau terikat dengan salah satu bank. Pemilihan tabungan dan kartu kredit yang digunakan akan didasarkan pada penawaran yang diberikan oleh masing-masing bank (MarkPlus, Inc., 2014).
Tabel 1.1 Number of Bank Saving Account
Sumber: Banking Competition in 2013 oleh MarkPlus, Inc.
2 Dengan permasalahan yang dihadapi, bank diharapkan dapat berusaha lebih keras dan kreatif dalam meningkatkan loyalitas nasabah. Program loyalitas biasa yang mudah ditiru oleh pesaing tidak akan bertahan lama karena mudah dibandingkan. Bahkan pemberian layanan khusus kepada nasabah pun semakin lama semakin umum atau tidak lagi memiliki keunikan. Secara rasional, nasabah akan cenderung memilih bank dengan penawaran paling menarik, hadiah paling tinggi, dan layanan paling lengkap. Karena itu bank perlu menerapkan layanan care yang sesuai dengan kebutuhan spesifik nasabah (MarkPlus, Inc., 2014). Umumnya kebutuhan seseorang terhadap layanan perbankan selama 35 tahun. Namun faktanya, rata-rata nasabah di Indonesia dapat berpindah bank hanya dalam waktu 3,7 tahun (berdasarkan survey Nielsen terhadap 1900 orang). Alasan nasabah memilih bank lain disebabkan ketersediaan anjungan tunai mandiri atau ATM (62%), kantor cabang (61%), dan lokasi strategis (56%). Oleh karena itu bank juga diharapkan dapat memperkuat brand promise terutama dalam meyakinkan awareness dan perception nasabah, selain itu bank juga diharapkan dapat memberikan kinerja pelayanan terbaik untuk menciptakan kepuasan nasabah sehingga nasabah akan menjadi loyal dalam menggunakan jasa perbankan. Melalui hasil studi yang dilakukan oleh Marketing Research Indonesia (MRI), dalam melakukan evaluasi kinerja pelayanan bank lebih dititikberatkan pada pengamatan proses service delivery dari setiap transaksi dan interaksi dengan nasabah. Proses tersebut memberikan potret proses internal pada kantor cabang yang meliputi pelayanan yang diberikan oleh satpam, customer service, dan teller, peralatan banking hall, kenyamanan ruangan serta fasilitas pendukung lain yang disediakan pada kantor cabang. Konsep layanan yang diberikan oleh dunia perbankan saat juga ini telah bergerak mengikuti perkembangan teknologi informasi. Oleh karena itu selain memperluas jaringan kantor cabang dan mesin ATM, penyediaan fasilitas transaksi melalui internet banking, SMS banking atau mobile banking, serta phone banking juga merupakan salah satu prioritas bagi bank dalam rangka menciptakan pengalaman pelanggan (customer experience). Di sisi lain perkembangan di dunia perbankan dan perekonomian makro yang semakin dinamis dan kompleks menuntut usaha perbankan dalam meningkatkan kemampuannya untuk mengantisipasi, menghitung, dan meminimalkan risiko yang dihadapi. Akibatnya, untuk menghadapi segala tantangan tersebut, penerapan sistem manajemen risiko secara formal dan terstruktur merupakan suatu keharusan bagi
3 perusahaan khusunya perbankan. Apabila dilaksanakan dengan efektif, sistem manajemen risiko dapat menjadi sebuah kekuatan bagi pelaksanaan good corporate governance (Andarini dan Januarti, 2012:84). Tugas pengawasan manajemen risiko membutuhkan pemahaman yang cukup mengenai struktur dan operasi perusahaan secara keseluruhan beserta risiko-risiko yang terkait, seperti risiko produk, risiko teknologi, risiko kredit, risiko peraturan, serta berbagai risiko lainnya. Ditambahkan menurut Makhijani dan Creelman (2012:50), risiko sumber daya manusia merupakan suatu risiko penting yang sering terlupakan oleh organisasi, risiko ini berhubungan dengan staf mereka terkait dalam hal pengembangan secara berkelanjutan dari pengetahuan yang mereka miliki. Dalam industri jasa seperti perbankan, hal ini merupakan faktor penentu dalam memberikan pelayanan prima kepada nasabah. Terkait dengan hal tersebut, pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia yang dimiliki akan memainkan peranan penting dalam mempertahankan keunggulan bersaing suatu bank pada industri perbankan. Bank ABC merupakan salah satu bank terbesar di Indonesia bila dilihat dari total asset yang dimiliki dan merupakan salah satu bank di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Saat ini Bank ABC terus berkarya sebagai lembaga intermediasi yang bertugas dalam menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) dan menyalurkan dana melalui pemberian kredit baik kredit produktif maupun konsumtif. Pada tahun 2013, Bank ABC telah berhasil meraup laba sebesar Rp. 9,05 triliun dan mempekerjakan lebih dari 25.000 karyawan. Nilai aset yang dimiliki juga terus didukung dengan pencapaian Bank ABC yang berhasil membukukan kinerja keuangan yang positif pada semester I di tahun 2014. Bank ABC mencatat peningkatan pendapatan bunga bersih sebesar 20,9% dari Rp 8,9 triliun pada semester I di tahun 2013 menjadi Rp 10,8 triliun pada semester I di tahun 2014. Bank ABC juga mencatat peningkatan pendapatan non bunga sebesar 5,4% dari Rp 4,56 triliun pada Semester I di tahun 2013 menjadi Rp 4,8 triliun pada semester I di tahun 2014. Hal yang menarik dari sisi pendapatan non bunga kali ini adalah kenaikan recurring income sebesar 21,3% dari Rp 2,59 triliun pada Semester I di tahun 2013 menjadi Rp 3,14 triliun pada Semester I di tahun 2014. Pencapaian tersebut terbilang cukup baik mengingat perbankan nasional sedang menghadapi permasalahan suku bunga yang tinggi, persaingan likuiditas yang ketat, dan pengetatan penyaluran kredit terutama kredit nasabah.
4 Namun bila dilihat dari sisi efesiensi berdasarkan rasio Biaya Operasional terhadap Biaya Pendapatan (BOPO), Bank ABC mengalami penurunan efisiensi pada tahun 2014 dibandingkan pada tahun 2013 sebesar 1,88% dengan nilai BOPO 68,57%. Nilai tersebut juga ternyata masih dibawah bank BUMN lain yang memiliki tingkat efisiensi lebih baik (Vibiz Equity Research, 2014). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa proses bisnis Bank ABC masih belum cukup efisien dan efektif. Nilai tersebut juga masih di bawah harapan Bank Indonesia yang menginginkan bahwa standar tingkat BOPO bagi perbankan nasional berada di level 60%. Umumnya hal tersebut terjadi karena pengadaan sumber daya manusia untuk mengisi posisi di kantor-kantor cabang, sehingga otomatis biaya pegawai akan meningkat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan bank antara lain dengan penetapan jumlah pegawai yang ramping dan meningkatkan produktivitas pegawai yang dimiliki. Salah satu penyebab meningkatnya nilai BOPO pada tahun 2014 sendiri memang didasarkan pada salah satu kebijakan untuk mencapai strategi Bank ABC yang diemban dengan meningkatkan penawaran produk maupun jasa layanan dengan harapan dapat meningkatkan pertumbuhan dana dari pihak ketiga maupun rekening nasabah yang dicapai melalui ekpansi setiap saluran distribusi yang dimiliki seperti melalui kantor cabang. Hal ini tentu memberikan tanggungan biaya operasional bagi perusahaan yang semakin meningkat. Hingga saat ini Bank ABC memiliki 1.851 kantor cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Kantor Cabang X sendiri merupakan salah satu kantor cabang yang dimiliki oleh Bank ABC yang berlokasi di daerah Jakarta Utara. Selama tahun 2013, Bank ABC Kantor Cabang X memiliki kinerja yang baik, di mana terdapat peningkatan pertumbuhan dana pihak ketiga dan jumlah rekening yang cukup signifikan dibandingkan pada tahun 2012. Namun kinerja tersebut tidak berlanjut selama periode 2014, di mana telah terjadi penurunan dana pihak ketiga dan jumlah rekening seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Dana Pihak Ketiga dan Jumlah Rekening Tahun
Dana Pihak Ketiga (dalam juta) Jumlah Rekening
2012
211.206
5020
2013
302.464
5806
2014
280.994
5763
Sumber: Data Perusahaan
5 Dari data tersebut pihak Bank ABC Kantor Cabang X maupun Kantor Wilayah selaku pemegang fungsi pengawasan kinerja pada kantor cabang perlu melakukan evaluasi secara komprehensif untuk mendapatkan cerminan keseluruhan kinerja sehingga dapat menjadi landasan dalam memperbaiki berbagai akar permasalahan yang terjadi terkait dengan penurunan kinerja pada periode 2014. Dalam hal ini, Kantor Cabang X maupun Bank ABC secara keseluruhan diharapkan memiliki sistem pengukuran kinerja yang tepat dalam rangka evaluasi untuk peningkatkan kinerja baik pada setiap kantor cabang maupun setiap tingkatan yang dimiliki. Hal ini diharapakan dapat dilakukan untuk mewujudkan pencapaian strategi dan mendukung pencapaian visi yang dimiliki oleh Bank ABC untuk menjadi bank yang unggul, terkemuka, dan terdepan dalam layanan dan kinerja. .
Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai fenomena yang telah disebutkan
di atas, setiap bank diharapkan mampu memformulasikan dan mengimplementasikan strategi bisnis untuk memenangkan persaingan dengan melakukan pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, pengelolaan risiko dan proses bisnis, dan meningkatkan loyalitas nasabah. Pada tahap akhir pihak manajemen harus dapat memastikan bahwa strategi tersebut telah dikomunikasikan dan dapat terlaksana oleh setiap individu dan kelompok baik pada kantor cabang, kantor wilayah, maupun unit atau divisi yang berada dalam cakupan suatu bank pada industri perbankan. Untuk itu diperlukan suatu pengukuran kinerja yang komprehensif, koheren, berimbang, dan terukur bagi perusahaan yang dapat digunakan untuk melakukan evaluasi atas strategi yang telah ditetapkan dan sebagai media dalam mengkomunikasikan strategi ke seluruh bagian perusahaan. Selama ini yang umumnya digunakan oleh perusahaan sebagai pengukuran kinerja adalah pengukuran kinerja tradisional yang hanya menitikberatkan pada perspektif
keuangan.
Hal
tersebut
mengakibatkan
perusahaan
seringkali
mengabaikan aspek lain yang bersifat non finansial atau intangible assets yang dimiliki. Selain itu pengukuran kinerja dengan cara tersebut hanya terfokus pada tindakan jangka pendek, kurang memperhatikan sektor eksternal, serta tidak mampu sepenuhnya untuk menuntun perusahaan ke arah tujuan yang telah ditetapkan (Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2004:28). Untuk itu diperkenalkan suatu konsep pengukuran kinerja yang tidak hanya mengacu pada perspektif keuangan, konsep yang dikembangkan tersebut adalah pengukuran kinerja organisasi dan perusahaan dengan menggunakan Balanced
6 Scorecard. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton pada tahun 1992. Sistem pengukuran kinerja Balanced Scorecard menghasilkan berbagai proses manajemen penting seperti memperjelas dan menejermahkan visi dan strategi, mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategi, menetapkan sasaran dan menyelaraskan berbagai inisiatif strategi, serta meningkatkan umpan balik dan pembelajaran strategi. Selain tetap memberikan penekanan pada pencapaian pada perspektif keuangan, Balanced Scorecard juga memuat faktor pendorong kinerja tercapainya tujuan keuangan tersebut yang berasal dari perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Bagi perusahaan jasa perbankan seperti Bank ABC menyadari bahwa jasa layanan yang ditawarkan kepada nasabah merupakan sumber penting dalam keunggulan bersaing. Intensitas persaingan tersebut juga menjadi tantangan dan juga sebagai peluang bagi Bank ABC untuk menciptakan suatu keunggulan kompetitif melalui pengelolaan intangible assets yang memungkinkan perusahaan untuk mempertahankan loyalitas nasabah, memperkenalkan produk dan jasa inovatif dan bermutu tinggi, memobilisasi kemampuan dan memotivasi karyawan, serta mengembangkan teknologi informasi yang dimiliki perusahaan. Selain itu untuk menciptakan keselarasan dan menciptakan satu garis pandang strategi dalam mencapai visi dan misi, Bank ABC memerlukan pengukuran kinerja yang komprehensif, koheren, terukur, dan berimbang yaitu Balanced Scorecard sehingga dapat menjamin apakah baik dari level kantor cabang, kantor wilayah dan unit bisnis Bank ABC telah berjalan sesuai dengan visi, misi, dan strategi perusahaan.
1.2. Formulasi Masalah Lingkungan bisnis yang semakin kompetitif dan diperlukanya suatu sistem pengukuran kinerja yang sesuai dengan tuntutan lingkungan bisnis merupakan pertimbangan utama suatu perusahaan untuk menerapkan pengukuran kinerja dengan konsep Balanced Scorecard (Mulyadi, 2007:20). Konsep Balanced Scorecard ini sendiri telah diterapkan oleh beberapa bank di Indonesia. Namun metode ini belum banyak diterapkan di tingkat cabang dan diharapkan dapat dijadikan prioritas bagi bank dalam melakukan evaluasi kinerja pada kantor cabang yang dimiliki. Selain itu kantor cabang yang dimiliki oleh Bank ABC hingga saat ini masih menitikberatkan pengukuran kinerja yang hanya berdasarkan perspektif keuangan sehingga tidak
7 mengikutsertkan hal-hal yang bersifat intangible assets yang merupakan faktor pendorong kinerja keuangan di masa depan dan menjadi faktor penentu keberhasilan suatu perusahaan dalam lingkungan bisnis perbankan yang semakin kompetitif. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: •
Bagaimana perancangan Balanced Scorecard sebagai pengukuran kinerja pada Bank ABC Kantor Cabang X?
•
Bagaimana hasil pencapaian kinerja Bank ABC Kantor Cabang X pada tahun 2014 dengan perancangan Balanced Scorecard?
1.3. Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini akan berfokus pada perancangan Balanced Scorecard dan pengukuran hasil pencapaian kinerja Bank ABC Kantor Cabang X pada tahun 2014 berdasarkan hasil perancangan Balanced Scorecard yang meliputi empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Tahapan ini dimulai dari meninjau visi, misi, dan strategi yang dimiliki oleh Bank ABC, menentukan tujuan strategi Bank ABC Kantor Cabang X, menjabarkan sasaran-sasaran strategi ke dalam empat perspektif, menentukan ukuran dan target, yang diakhiri dengan mengukur hasil pencapaian kinerja Bank ABC Kantor Cabang X pada 2014. Data yang digunakan untuk mengukur kinerja pada Bank ABC Kantor Cabang X meliputi data primer maupun sekunder pada periode 2014 yang berasal dari Kantor Cabang X maupun Kantor Wilayah yang dimiliki Bank ABC. Untuk responden pelanggan adalah nasabah pada periode 2014 pada Bank ABC Kantor Cabang X sedangkan karyawan yang dijadikan responden adalah karyawan yang dimiliki oleh Bank ABC Kantor Cabang X pada periode 2014.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: •
Merancang Balanced Scorecard sebagai pengukuran kinerja Bank ABC Kantor Cabang X.
•
Mengukur hasil pencapaian kinerja Bank ABC Kantor Cabang X pada tahun 2014 berdasarkan perancangan Balanced Scorecard.
8 1.5. State of The Art Agar memiliki pemahaman mengenai penerapan Balanced Scorecard dalam industri perbankan, terlebih dahulu dilakukan proses tinjauan literatur melalui jurnal terkait dengan implementasi Balanced Scorecard pada beberapa bank, baik dalam pembahasan jurnal dengan skala nasional maupun internasional. Handika, Setyanto, dan Efranto (2013) melakukan penelitian dengan judul “Penggunaan Metode Balanced Scorecard sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja Perusahaan (Studi Kasus: PT. Bank X (Persero) Tbk. Malang). Tujuan penelitain didasarkan pada kebutuhan untuk mendapat cerminan kinerja perusahaan yang sesungguhnya, yang dapat digunakan sebagai tolak ukur pencapaian kinerja. Dalam penelitian, pengukuran kinerja didukung oleh metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Objective Matrix (OMAX). Hasil dari penelitian ini adalah nilai indeks total kinerja perusahaan sebesar 8,95. Sesuai dengan Traffic Light System pada OMAX, nilai tersebut berada dalam kategori hijau dan menunjukan bahwa kinerja PT. Bank X (Persero) Tbk. secara keseluruhan sudah mencapai performa yang diharapkan. Pujiastuti, Susanta, dan Apriatni (2012) melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Balanced Scorecard pada PD. BPR Bank Pasar Kabupaten Kudus”. Tujuan penelitian adalah untuk melakukan alternatif penilaian kinerja BPR dengan menggunakan metode Balanced Scorecard yang dinilai lebih komprehensif, seimbang
dan
terukur.
Dalam
penelitian,
analisis
data
diawali
dengan
menerjemahkan visi dan misi ke dalam strategi, menetapkan target dan bobot melalui focus group discussion, melakukan pengukuran pada masing-masing perspektif dan menghitung skor. Hasil dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa skor total adalah sebesar 94,12 dan berada pada kategori sehat sesuai dengan predikat kesehatan BPR. Panicker dan Seshadri (2013) melakukan penelitian dengan judul “Devising a Balanced Scorecard to Determine Standard Charted Bank’s Performance: A Case Study”. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi salah satu bank asing di India dengan metode Balanced Scorecard. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data keuangan dan non keuangan dalam kurun waktu 2009-2012 dan proses analisis dibantu dengan hubungan sebab akibat diantara perspektif keuangan dan perspektif non keuangan. Hasil dari penelitian tersebut berupa skor dari kurun waktu 2009-2012 sebesar 640, 760, 750, dan 630. Dengan rata-rata nilai keseluruhan
9 sebesar 695, dimana nilai tersebut mengindikasikan kinerja bank masih belum istemewa / average. Al-Najjar dan Kalaf (2012) melakukan penelitian dengan judul “Designing a Balanced Scorecard to Measure a Bank’s Performance: A Case Study”. Tujuan penelitian ini untuk membantu pemahaman konsep Balanced Scorecard sebagai sistem untuk evaluasi kinerja dan menerjemahkan visi menjadi strategi terhadap salah satu bank terbesar di Iraq. Dalam penelitian ini digunakan data dalam kurun waktu 2006-2009 dan dibantu dengan hubungan sebab akibat dari setiap perspektif yang digunakan di Balanced Scorecard. Hasil dari penelitian pada tahun 2006-2009 memiliki skor 470, 430, 470 dan 580. Dari data tersebut kinerja bank secara umum sebesar 488, dengan kata lain kinerja bank tersebut terbilang kurang baik. Ozturk dan Coskun (2014) melakukan penelitian dengan judul “A Strategic Approach to Performance Management in Banks: The Balanced Scorecard”. Metode yang digunakan dengan menggunakan hubungan sebab akibat dari setiap perspektif dan penetapan target dengan dilakukan dengan membandingkan dengan pesaing. Beberapa ukuran yang digunakan dalam perbandingan tersebut berupa tujuan keuangan, efesiensi operasi, dan pemenuhan kebutuhan nasabah. Hasil dari penelitian metode Balanced Scorecard merupakan pendekatan yang komprehensif untuk meningkatkan kualitas jasa keuangan. Oleh karena itu, penerapan Balanced Scorecard sebaiknya diadaptasi oleh berbagai bank terutama yang berada dalam skala internasional.