BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konflik antar pemuka agama X bukanlah suatu fenomena baru dalam topik pembahasan penganut agama “X” ataupun masyarakat umum. Terlepas dari preferensi keyakinan spiritual individu dan kelompok, konflik ini senantiasa menjadi salah satu permasalahan organisasional yang masih menuai sejumlah pro dan kontra dari masyarakat dan badan pemerintahan tertentu. Beranjak dari serangkaian konflik yang melibatkan sejumlah pemuka agama X, ditemukan adanya aplikasi berulang fitnah defensif sebagai upaya untuk melindungi serangan yang diterima dari pihak lain. Memfitnah orang lain adalah bentuk pertahanan ego yang umum. (Baumeister, Dale, & Sommer, 1998). Bentuk mekanisme pertahanan tersebut umumnya dimanifestasikan dalam pengucilan subordinasi atau pemuka agama X lainnya yang diidentifikasikan sebagai pencetus serangan awal terhadap kepemimpinan pemuka agama. Untuk mendukung keabsahan hipotesis penelitian ini, adapun beberapa verifikasi fenomena yang ditinjau peneliti dari: (1) Referensi saksi mata, (2) Referensi media, dan (3) Tinjauan lapangan dengan salah satu pemimpin organisasi besar di Indonesia. Berdasarkan tinjauan saksi mata, fenomena fitnah defensif pada pemuka agama “X” dibenarkan oleh seorang blogger dan pendiri Spiritual Sounding Board bernama Julie Anne. Dalam artikel yang dipublikasi website resmi Spiritual Sounding Board tanggal 16 September 2012. Julie Anne menuliskan pengalaman keanggotaanya dalam sebuah organisasi religius yang abusive. Tanda berbahaya yang seringkali luput dari perhatian banyak orang hari-hari ini adalah ketika pemuka agama “X” tidak memiliki hubungan yang baik, tidak menunjukan rasa hormat, dan tidak ada kebutuhan akan akuntabilitas atau koneksi dengan pemuka agama “X” lainnya. Mantan pemuka agama “X” dalam organisasi dimana Julie Anne pernah melibatkan diri, menolak untuk membangun hubungan dengan pemimpin dari Grace Brethren yang merupakan komunitas yang berafiliasi dengan organisasi dimana Julie Anne bernaung. Masih kuat dalam ingatan Julie Anne bagaimana pemuka agama “X” organisasi religius memfitnah pemuka agama “X” lainnya dari atas mimbar dengan merujuk kepada ketidaksesuaian dan ketidakbenaran khotbah serta pola memimpin yang otoritatif.
Dari tinjauan media, seperti yang berhasil dirangkum dari Surabaya Pagi, perkembangan kasus saling lapor antara pemuka agama “X” AA dengan pemuka agama “X” LL serta pengacara G yang semuanya ditangani di Subdit II Hardabangta Ditreskrimum Polda Jatim, sampai Kamis (4/4) kemarin masih berjalan. Pemuka agama “X” AA, dilaporkan oleh Pemuka agama “X” LL, dengan sangkaan penggelapan dalam jabatan. Kemudian pemuka agama “X” DA, anak kandung pemuka agama “X” AA, dilaporkan pemalsuan dan atau penggunaan surat palsu. Sedangkan Pemuka agama “X” LL bersama kuasa hukumnya yang lama, advokat G, dilaporkan melakukan pencemaran nama baik, fitnah dan perbuatan tidak menyenangkan. Sedangkan pemuka agama “X” Y, menantu pemuka agama “X”. AA, dilaporkan sejumlah pengikutnya melakukan penggelapan asset organisasi. (Surabaya Pagi, 2013). Wawancara mendalam dengan salah satu pemuka agama “X” organisasi religius besar dan berpengaruh di Jakarta dilangsungkan pada tanggal 1 September 2013. Peneliti secara tidak eksplisit menggali respon pemuka agama “X” dalam menangani fitnah, serta konflik emosi moral dalam bentuk rasa bersalah dan rasa malu ketika melakukan
pelanggaran
yang
belum
ataupun
telah
dipertanggungjawabkan
akuntabilitasnya secara publik . Hasil observasi wawancara menunjukan banyaknya pernyataan-pernyataan fitnah defensif terhadap rekan sejawat (pemuka agama “X” lainnya), perbandingan kompetensi dan objektif organisasi, serta minimnya akuntabilitas dalam kepemimpinan organisasi yang bersifat top-down, dimana setiap instruksi, pengelolahan serta pengambilan keputusan merupakan hakikat pemimpin, dengan wewenang penuh untuk mendelegasikan pelaksanaan tugas kepada tim pemuka agama “X” ataupun pengikut selaku yang dipimpin.
Beranjak dari ketiga tinjauan fenomena diatas, adapun aplikasi-aplikasi emosi moral umumnya diterapkan dalam proses penanganan konflik. Aplikasi berulang tersebut dapat ditinjau dari evaluasi perilaku ataupun diri secara negatif, hasrat untuk memperbaiki masalah, ataupun kecenderungan untuk lari dari masalah. Sejumlah besar pemuka agama “X” yang disorot pada website umum Spiritual Sounding Board, Julie Anne adalah mereka yang memiliki kecenderungan lari dari masalah, tanpa menunjukan intensi untuk memperbaiki perilaku atau pelanggaran yang telah dilakukan.
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” Pepatah akrab ini bermula sebagai sebuah komentar dalam surat yang ditulis oleh Lord Acton, seorang sejarawan Inggris yang hidup 1834-1902. Kekuasaan dapat digunakan sebagai ancaman atau penghargaan. Dahl (1957) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan dari aktor A untuk membuat aktor B melakukan apa yang diinginkan pelaku A (yang bukan merupakan apa yang hendak dilakukan aktor B bagaimanapun juga). Definisi Dahl berfokus pada konflik yang dapat diamati antara dua aktor. Bachrach dan Baratz (1963) melengkapi visi kekuasaan ini dengan kekuasaan di belakang layar, seperti penetapan agenda, guna mengurangi konflik yang dapat diamati antara aktor-aktor. Lukas (1974) berpendapat bahwa kekuasaan harus diperluas untuk mencakup kegiatan yang membentuk preferensi. Jika individu atau kelompok dapat mengubah preferensi aktor yang lain untuk disesuaikan lewat sosialisasi atau persuasi, maka tidak akan ada konflik yang dapat diamati dan tidak juga perlu adanya manipulai agenda. Beranjak
dari kekuasaan,
faktor eksternal lainnya
yang
secara
langsung
bersinggungan dengan fitnah sebagai mekanisme pertahanan adalah perasaan kompetensi. Disandangnya status sebagai pemuka agama X dengan membawahi sejumlah besar pengikut, lazimnya senantiasa menjadi topik perbandingan oleh subordinat. Kompetensi diri bergantung pada korespondensi antara daya juang individu dan hasil yang cukup obyektif dari upaya individu dalam memenuhinya. Perasaan kompetensi (sense of competence) merupakan alasan antar pemuka agama X yang secara signifikan berperan dalam menentukan tinggi rendahnya fitnah sebagai mekanisme pertahanan. Ketika pemegang-kuasa tidak memperlakukan subordinat dengan baik, mereka menghalau performa subordinasi, menurunkan moral dan memperkenalkan stres dari hubungan yang merugikan(e.g., Aquino & Thau, 2009; Tepper, 2000, 2007) Satu bentuk penganiayaan yang halus namun berbahaya melibatkan fitnah yang berkelanjutan akan rasa keberhargaan dan kompetensi (Aquino & Thau, 2009; Georgesen & Harris, 1998). Dalam disertasi R.M. Joseph pada tahun 1995, fitnah defensif diangkat sebagai salah satu dimensi signifikan dari “Self-Protective Thoughts” pada perempuan dengan kecacatan fisik, dalam berinteraksi dengan orang-orang yang tidak cacat secara fisik. R.M Joseph berpendapat seseorang dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif nya
dan menjaga harga dirinya lewat membandingkan diri dengan orang lain yang kurang beruntung. Perbandingan dapat terlihat ketika harga diri seseorang berada dibawah ancaman. Dalam upaya melindungi harga diri maka orang akan menggunakan metode perbandingan reverse downward. Untuk menginisiasikan perbandingan terbalik. Orang yang merasa sedang terancam harga dirinya, secara relatif akan membalikan status orang lain sebagai orang yang kurang beruntung. Orang yang terancam dapat melakukan hal ini lewat memfitnah orang lain. Dibawah naungan atribusi yang sama, simpulan terbaliknya menunjukan bahwa perasaan kompetensi seseorang yang tidak terganggu dapat meminimalisir fitnah defensif dalam bentuk reverse-downward 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah peneliti kemukakan pada latar belakang masalah, maka masalah utama yang menjadi kajian dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah dimensi-dimensi moral berupa NBE, REP, NSE, WITH, kekuasaan sebagai kesadaran, kekuasaan sebagai pilihan-pilihan, kekuasaan sebagai kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja, kekuasaan sebagai keterlibatan dalam menciptakan perubahan, dan perasaan kompetensi secara bersamasama mampu memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X” ? 1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui peran dimensi-dimensi moral berupa NBE, REP, NSE, WITH, kekuasaan sebagai kesadaran, kekuasaan sebagai pilihan-pilihan, kekuasaan sebagai kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja, kekuasaan sebagai keterlibatan dalam
menciptakan perubahan,
dan perasaan
kompetensi dalam memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X” secara bersama-sama.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi subordinat pemuka agama X agar memiliki pemahaman yang berlandaskan kajian empiris dan akademis akan peran dimensi-dimensi emosi moral,
dimensi-dimensi
kekuasaan, dan perasaan kompetensi dalam
memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama X. 2. Manfaat bagi pemuka agama X dalam mengkaji dan mengantisipasi penanganan masalah 3. Sebagai edukasi objektif untuk masyarakat awam dalam menelaah fenomena konflik antar pemuka agama X dari sudut pandang organisasional.