Agama Resmi dalam RUU PUB: Solusi “konflik agama”? Tobias Basuki
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) di awal masa konsepsinya digadang sebagai peraturan payung akan mengakomodasi berbagai peraturan yang menyangkut agama. RUU ini sebelumnya diawali dengan nama yang berbeda-beda, misalnya Rancangan Undang-Undang Kerukunan Beragama, yang mengatakan bahwa RUU ini akan mencakup dan menggantikan peraturan seperti PNPS 1965 (Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama), PBM 2006 (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri), dan SKB Ahmadiyah (Surat Keputusan Bersama). Di luar dari intensi normatif untuk membuat peraturan yang lebih komprehensif masalah keagamaan, pemerintah belum kelihatan mendalami perdebatan filosofis politik mengenai peran negara dalam masalah keagamaan. Walaupun konsep pembedaan ranah negara dan agama umumnya dianggap sebagai konsep sekuler dari dunia Barat, namun perdebatan seharusnya bukan darimana asal konsep tersebut, tetapi apakah pemikiran tersebut efektif ketika dijadikan kebijakan dalam menjaga stabilitas sosial politik. Seperti disebutkan di atas, ketiga peraturan mengenai hubungan keagamaan tidak cukup efektif dalam mengatasi friksi dan konflik, bahkan dalam kasus-kasus tertentu justru menjadi kerangka pemicu konflik.i Sebagai contoh konkrit, isu yang perlu dipikirkan mendalam mengenai seberapa jauh peran ideal negara (state) dalam masalah keagamaan adalah soal penentuan agama resmi. Di Indonesia telah terbentuk mitos bersama tentang lima agama resmi di Indonesia. Pada tahun 2001, agama resmi bertambah dengan diakuinya Kong Hu Cu. Namun, hal ini merupakan mitos karena sebenarnya tidak ada landasan hukum yang mendasari konsep agama resmi tersebut. Satu-satunya referensi yang peraturan yang ada sebagai landasan hukum hanyalah penjelasan dari ayat 1 UU PNPS 1965. Selain penjelasan tersebut, tidak ada ayat maupun pasal dalam Undang-Undang maupun pasal dalam Konstitusi yang mencanangkan hal tersebut. Di luar dari fakta bahwa agama resmi sebenarnya tidak mempunyai landasan hukum dan tidak menggambarkan realita sosiologis masyarakat Indonesia, pertanyaan terpenting adalah apakah agama resmi perlu dicanangkan oleh negara atau tidak? Khususnya untuk negara 1
majemuk dan heterogen seperti Indonesia? Contoh kasus konkrit yang dapat diambil misalnya kelompok Ahmadiyah. Keberadaan kelompok Ahmadiyah baru menjadi isu konflik kritis dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Secara historis, kelompok Ahmadiyah sesungguhnya sudah ada sejak tahun 1920-an. Menariknya, Muhammadiyah dan NU dalam kongresnya tahun 1929 dan 1930 dari sisi internal umat Islam sudah menyatakan dari pandangan Islam bahwa ajaran Ahmadiyah sesat/tidak sesuai dengan Islam, namun tidak mengusahakan upaya legal/hukum melarang Ahmadiyah. Poin penting disini adalah dari sisi ranah agama walaupun dinyatakan “sesat”, keberadaan kelompok Ahmadiyah tidak menjadi persoalan konflik sosial politik yang lebih luas, sebelum permasalahan teologis tersebut dibawa ke ranah Negara. Dalam kasus Ahmadiyah, konsep agama resmi tersebutlah yang menjadi problematika utama dari kasus ini. Semenjak mencuatnya konflik dan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di berbagai daerah dari Lombok, Jawa Barat, sampai daerah lain, pemerintah terkesan gamang dalam mencari solusinya. Di satu sisi, pemerintah seperti terjepit bahwa terdapat hak konstitusional bagi penganut Ahmadiyah untuk hidup serta beribadah. Di sisi lain, “perasaan” dan pandangan Teologis umat Islam utamanya yang terganggu dengan keberadaan kelompok Ahmadiyah. Banyak pemuka agama mengatakan solusinya adalah kelompok Ahmadiyah tidak menyebut dirinya sebagai agama Islam-Ahmadiyah, tetapi membentuk agama sendiri. Kompleksnya karena konsep agama resmi tersebut, kelompok Ahmadiyah tidak dapat secara realistik menjadi kelompok agama sendiri. Pertama, karena adanya mitos agama resmi, sistem kependudukan saat ini mengharuskan kolom agama dimana warga harus memilih satu dari 6 agama resmi yang ada. Seorang pemeluk Ahmadiyah karena ketiadaan pilihan akan harus memilih jika tidak akan kehilangan hak dasar warga negara menyangkut menikah, catatan sipil, fasilitas umum lainnya.
Kedua, akses kelompok dalam fasilitas dari negara secara khusus dari Kementerian Agama berupa berbagai fasilitas dan fasilitasi pemerintah bagi kelompok beragama didasarkan kepada konsep agama resmi. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) bagi masing-masing agama resmi, termasuk berbagai undang-undang bagi fasilitasi agama seperti zakat, halal, dan berbagai fasilitasi pemerintah dalam bentuk pendanaan bagi kegiatan beragama di dasari konsep agama resmi tersebut. 2
Melihat komplikasi yang terjadi karena konsep agama resmi tersebut dan keberadaan kelompok Ahmadiyah bisa terlihat jelas mengapa umat Ahmadiyah secara langsung maupun tidak langsung "terpaksa" menentukan label dirinya sebagai penganut Islam, karena beberapa kedekatan dasar ajaran dan juga secara praktis memerlukan payung hukum keberadaannya. Diduga dalam RUU PUB pemerintah mencoba mengakomodir hal tersebut dengan mencanangkan agama resmi dan juga memberi kesempatan untuk agama baru melakukan semacam "registrasi". Dalam jangka pendek mungkin hal tersebut kelihatan menjadi solusi "teknis". Namun, dalam realita sosial politik dan dalam jangka panjang hal ini justru tidak menjadi solusi dan berpotensi membawa permasalahan yang lebih pelik. Pertama, dalam realita sosial-politik akan menjadi isu sangat kompleks bila kelompok Ahmadiyah maupun Syiah sebagai contoh, diregistrasikan sebagai agama resmi. Seperti halnya dalam kelompok agama Kristen, kelompok sempalan seperti Saksi Yehovah, Mormon, dan sebagainya juga berpotensi akan menjadi beberapa kelompok yang ikut dalam registrasi. Hal ini akan membawa kompleksitas dan muatan sejarah maupun perdebatan filosofis agama yang pelik. Bagi umat agama umumnya (mainstream), seperti umat Islam Sunni, maupun Kristen umumnya gamang dari sisi agama melihat agama yang "mirip" dengannya menjadi agama resmi juga. Di sisi lain, bagi kelompok agama "minoritas" juga akan ada keberatan disebut sebagai agama yang terpisah dan berbeda total dari agama "utamanya". Misalnya, kelompok Syiah akan keberatan registrasi terpisah semata-mata karena umatnya dalam proporsi kecil di Indonesia. Lebih jauh, permasalahan tersebut tidak terbatas pada agama-agama besar. Agama "minoritas" lain, seperti kepercayaan tradisional seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan lain-lain akan mengalami kesulitan lebih besar. Umat kelompok kepercayaan tradisional nusantara mempunyai natur yang tidak formal, akan sangat sulit bagi kelompok-kelompok tersebut untuk melalui proses registrasi formal dengan segala dokumen dan institusi resmi. Kelompok ini tetap akan kehilangan akses dari fasilitas pemerintah.
Kembali mengenai kasus konflik Ahmadiyah. Menjadi pertanyaan apakah dengan adanya agama resmi dan registrasi agama "minoritas" lantas konflik berkurang dan negara dapat memfasilitasi kelompok agama secara adil? Pertama, mengenai keadilan atau kesetaraan negara bagi kelompok beragama. Dengan 3
memfasilitasi sesuai proporsi jumlah kelompok beragama saja sudah memasuki konsep mayoritas versus minoritas. Hal ini sendiri sudah bertentangan dengan kesetaraan tiap individu warga negara dalam konsitutsi kita UUD 1945. Kedua, terlalu simplistik anggapan bahwa Ahmadiyah sebagai agama resmi baru akan menghilangkan konflik. Para ahli politik ekonomi sudah banyak melakukan penelitian yang menemukan alasan politik dan ekonomi yang menjadi sumber dari banyak konflik agama. Secara spesifik dalam hal kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik dan Lombok ditemukan bahwa banyak sumber konflik bermuara dari kepentingan ekonomi maupun politik aktor di daerah tersebut. Melihat kasus ini saja, bisa dikatakan solusinya bukan dalam pencanangan agama resmi dan registrasi. Justru seharusnya hak warga negara dilindungi dalam konstitusi tanpa batas-batas agama resmi yang ditentukan pemerintah. Negara seharusnya “butawarna” dalam memandang agama, bahkan dalam hal teknis sekalipun.
Tobias Basuki adalah peneliti pada Departemen Politik dan Hubungan Internasional di Center for Strategic and International Studies (CSIS). Ia mendapat gelar Master dibidang Ilmu Politik dari Northern Illinois University, Dekalb, USA tahun 2007 serta gelar Sarjana dari Goshen College, Indiana bidang Ilmu Komputer. Bisa dihubungi melalui email:
[email protected] dan akun twitter @TobiasBasuki.
4
Beberapa studi awal CSIS didasari theory Crosscutting cleavages menemukan permasalahan dengan PNPS 1965 dan PBM 2006 i