BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Bermula dari surat permohonan Kapolres Bandung Tengah dan Bandung Timur yang ditujukan kepada Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Kedua lembaga hukum itu mohon bantuan saksi ahli bahasa untuk kasus penghinaan dan pencemaran nama baik, sebagaimana termaktub dalam KUHP pasal 310 Sub. 315 , Rektor UPI meneruskan surat permohonan itu kepada Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ketua Jurusan lalu menunjuk saya, Aceng Ruhendi Saifullah untuk memenuhi permohonan pihak kepolisian itu sebagai saksi ahli bahasa.
Sebagai Lektor Kepala di bidang Pragmatik dan Analisis Wacana Kritis, saya berusaha untuk menjadi saksi ahli bahasa sebaik mungkin, sesuai dengan kaidah-kaidah profesionalisme. Saya siapkan sejumlah teori yang berkaitan dengan analisis linguistik forensik, yang merupakan salah satu turunan dari kajian pragmatik, terutama yang berkaitan dengan konsep kesantunan berbahasa (politeness) dan peristiwa tutur (speech events).
Setelah selesai menunaikan tugas kesaksian, saya melihat peluang bahwa data bahasa dalam kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik itu penting dan menarik untuk diteliti. Penting karena data kebahasaan dalam kasus tersebut sangat tipikal dan cukup representatif untuk ditelaah lebih dalam dengan menggunakan model analisis forensik, sebuah pisau kajian yang relatif baru dalam ilmu linguistik. Menarik karena adanya fenomena penghinaan dan pencemaran nama baik sebagai delik hukum sudah mendorong pihak yang berwenang dalam bidang hukum untuk melibatkan ahli bahasa 1
dalam proses penyidikannya. Mengingat kedua hal itu, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan model, kaidah, dan rambu-rambu dalam melaksanakan tugas kesaksian seorang saksi ahli bahasa, terutama yang berkaitan dengan delik penghinaan dan pencemaran nama baik. Lebih jauh lagi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan kajian linguistik forensik di Indonesia yang kondisinya masih relatif baru dan langka, sementara tuntutan publik tampak mulai kerap dan luas.
2. Rumusan Masalah Atas dasar latar belakang di atas, masalah pokok yang hendak dicari solusinya dalam penelitian ini adalah: bagaimana model, kaidah, dan rambu-rambu dalam melaksanakan tugas kesaksian seorang saksi ahli bahasa, terutama yang berkaitan dengan delik penghinaan dan pencemaran nama baik, sehingga memenuhi kriteria profesional? Rumusan masalah pokok di atas dapat dirinci sebagai berikut: a. Tindak tutur dan peristiwa tutur apa saja yang termasuk ke dalam delik hukum penghinaan dan pencemaran nama baik? b. Sejauh mana konsep-konsep analisis forensik dapat mengidentifikasi tindak tutur dan peristiwa tutur yang berindikasi delik hukum penghinaan dan pencemaran nama baik? c. Bagaimana seorang saksi ahli bahasa dapat tampil professional dalam melakukan kesaksiannya, terutama dalam kasus delik hukum penghinaan dan pencemaran nama baik?
3. Tujuan Penelitian Mengingat rumusan masalah pokok dan rinciannya di atas, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan model, kaidah, dan rambu-rambu dalam melaksanakan tugas kesaksian seorang saksi ahli bahasa, terutama yang berkaitan dengan delik penghinaan dan pencemaran nama baik. Lebih jauh lagi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan kajian linguistik forensik di Indonesia 2
yang kondisinya masih relatif baru dan langka, sementara tuntutan publik tampak mulai kerap dan luas. Terakhir, penelitian ini diharapkan dapat mendorong kian menguatnya sikap professional kalangan ahli bahasa dalam melaksanakan tugasnya sebagai saksi ahli bahasa.
4. Kebermaknaan Penelitian Saya melihat peluang bahwa data bahasa dalam kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik itu penting dan menarik untuk diteliti. Penting karena data kebahasaan dalam kasus tersebut sangat tipikal dan cukup representatif untuk ditelaah lebih dalam dengan menggunakan model analisis forensik, sebuah pisau kajian yang relatif baru dalam ilmu linguistik. Menarik karena adanya fenomena penghinaan dan pencemaran nama baik sebagai delik hukum sudah mendorong pihak yang berwenang dalam bidang hukum untuk melibatkan ahli bahasa dalam proses penyidikannya.
5. Tinjauan Pustaka Penelitian ini menggunakan teori speech act and events, politeness and interaction, dan conversation and preference structure (Yule, 2006), dengan fokus analisis linguistik forfensik, yang tercakup dalam payung penelitian pragmatik.
6. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Artinya, dalam penelitian ini dilakukan penggambaran secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta penggunaan bahasa dalam kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis linguistik forensik.
Data penelitian ini diperoleh dari dokumen pro justisia pihak kepolisian, yakni Polres Bandung Tengah dan Bandung Timur. Korpus penelitian ini adalah tindak tutur dan peristiwa tutur dalam kasus delik hukum penghinaan dan pencemaran nama baik yang diproses di Polres Bandung Tengah (dua kasus) dan Bandung Timur (satu kasus). Teknik 3
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan dokumen.
4
BAB 2 LANDASAN TEORI: DARI PRAGMATIK MENUJU LINGUISTIK FORENSIK
1. Ihwal Pragmatik Kajian pragmatik dipilah menjadi dua bagian oleh Leech (1983) yakni pragmalinguistik dan sosiopragmatik.
Kajian
pragmalinguistik
dekat
dengan
tradisi
Anglo-Amerika,
dan
sosiopragmatik beririsan dengan kajian pragmatik Kontinental. Tradisi kajian pragmatik AngloAmerika digolongkan sebagai kajian linguistik formal, sedangkan tradisi kajian pragmatik Kontinental digolongkan sebagai kajian linguistik fungsional. (Gunarwan, 1996) Pragmatik tradisi kontinental menjadi latar kajian ini. Dengan pertimbangan bahwa analisis pragmatik ini memiliki jangkauan kajian yang lebih luas dan dalam, yakni mencakup tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi, sebagaimana ditunjukkan oleh Schiffrin (1994), Yule (1996), dan van Dijk (1998; 2000). Perkembangan Pragmatik di Dunia Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun 1970an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial. Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan konstatif. Gagasan penting lainnya adalah tentang tindak lokusi, ilokusi, perlokusi, dan daya ilokusi tuturan.
5
Beberapa pemikir pragmatik lainnya, yaitu: Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori tentang tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak tutur yang tidak terbatas jumlahnya itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisih, dan deklaratif. Grice (1975) mencetuskan teori tentang prinsip kerja sama (cooperative principle) dan implikatur percakapan (conversational implicature). Menurut Grace, prinsip kerja sama adalah prinsip percakapan yang membimbing pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Prinsip ini terdiri atas empat bidal: kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Menurut Gunarwan (1994: 54), keunggulan teori prinsip kerja sama ini terletak pada potensinya sebagai teori inferensi apakah yang dapat ditarik dari tuturan yang bidal kerja sama itu. Keenan (1976) menyimpulkan bahwa bidal kuantitas, yaitu “buatlah sumbangan Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan”. Hal ini berdasarkan penelitian tentang penerapan prinsip kerja sama di masyarakat Malagasi. Goody (1978) menemukan bahwa pertanyaan tidak hanya terbatas digunakan untuk meminta informasi, melainkan juga untuk menyuruh, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status. Fraser (1978) telah melakukan deskripsi ulang tentang jenis tindak tutur. Gadzar (1979) membicarakan bidang pragmatik dengan tekanan pada tiga topik, yaitu: implikatur, praanggapan, dan bentuk logis. Gumperz (1982) mengembangkan teori implikatur Grizer dalam bukunya Discourse Strategies. Ia berpendapat bahwa pelanggaran atas prinsip kerja sama seperti pelanggaran bidal kuantitas dan cara menyiratkan sesuatu yang tidak dikatakan. Sesuatu yang tidak diekspresikan itulah yang dinamakan implikatur percakapan. 6
Levinson (1983) mengemukakan revisi sebagai uapaya penyempurnaan pendapat Grize tentang teori implikatur. Leech (1983) mengemukakan gagasannya tentang prinsip kesantunan dengan kaidah yang dirumuskannya ke dalam enam bidal: ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Mey (1993) mengemukakan gagasan baru tentang pembagian pragmatik: mikropragmatik dan makropragmatik. Schiffrin (1994) mambahas berbagai kemudian kajian wacana dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Yule (1996) mengembangkan teori tentang PKS dengan menghubungkannya dengan keberadaan tamengan (hedges) dan tuturan langsung-tuturan tak langsung. Teun van Dijk (1998-2000) mengembangkan model analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/ CDA) di dalam teks berita. Ia mengidentifikasi adanya lima karakteristik yang harus dipertimbangkan di dalam CDA, yaitu: tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi.
2. Ihwal Linguistik Forensik Linguistik Forensik adalah bidang linguistik terapan yang melibatkan hubungan antara bahasa, hukum, dan kejahatan. Karena itu kajian linguistik forensik lazim disebut sebagai studi bahasa teks-teks hukum. Studi bahasa teks-teks hukum meliputi berbagai jenis dan bentuk analisis teks. Termasuk menganalisis dokumen linguistik produk Parlemen (atau badan pembuat hukum), kehendak pribadi, penilaian dan surat panggilan pengadilan dan undang-undang badan-badan lainnya, seperti Serikat dan departemen pemerintah. Salah satu bidang yang penting adalah bahwa dari efek transformatif Norman Perancis dan rohaniwan Latin pada perkembangan hukum Inggris, 7
dan evolusi dialek hukum yang terkait dengannya. Juga dapat merujuk kepada usaha-usaha berkelanjutan untuk membuat bahasa hukum lebih dipahami oleh orang awam. Linguistik forensik juga mempelajari bahasa seperti yang digunakan dalam pemeriksaan silang, bukti presentasi, arah hakim, menyimpulkan kepada juri, peringatan polisi, 'polisi bicara', wawancara teknik, proses interogasi di pengadilan dan wawancara polisi. Para •
ahli
Linguistik
sengketa
merek
• identifikasi • • •
forensik dagang
sengketa penulis
anonim
telah dan
memberikan kekayaan
makna teks
(seperti
surat
merekonstruksi
sejarah
ancaman,
percakapan
lainnya; penggunaan
ponsel
kasus linguistik
dalam:
intelektual
dan
mengidentifikasi menelusuri
bukti
teks,
email)
plagiarisme pencari teks
suaka ponsel
dan sejumlah masalah lain. Beberapa wilayah yang lebih kontroversial daripada yang lain. Identifikasi apakah kata individu tertentu atau menulis sesuatu bergantung pada analisis idiolect mereka atau pola-pola tertentu penggunaan bahasa (kosakata, collocations, pengucapan, ejaan, tata bahasa, dll). The idiolect adalah konstruksi teoritis yang didasarkan pada gagasan bahwa terdapat variasi linguistik pada tingkat grup dan karenanya ada juga mungkin linguistik variasi pada tingkat individu. Sebagai dihormati variationist William Labov menunjukkan tiga puluh tahun yang lalu, tidak ada yang belum ditemukan "homogen data" "di idiolects. [1] Ada banyak alasan mengapa sulit untuk memberikan bukti. Pertama, bahasa bukanlah harta warisan, tapi satu yang diperoleh secara sosial. Proses akuisisi kontinu sepanjang hidup. Ini berarti bahwa seorang individu penggunaan bahasa selalu rentan terhadap variasi dari berbagai sumber, termasuk pembicara lain, media dan makro-perubahan sosial. Pendidikan dapat memiliki efek homogenisasi mendalam pada penggunaan bahasa. [2] Dalam teks-teks formal, seperti artikel surat kabar, novel, makalah akademis, dll, efek dari genre pada struktur bahasa dapat menjadi salah satu homogenisasi atau, sesungguhnya, salah satu yang membingungkan, mengingat bahwa suatu genre adalah
8
sebuah "konstruksi sosial ... ditandai respon terhadap situasi retorika berulang". [3] Penelitian ini sedang berlangsung ke penulis identifikasi. Kepengarangan atribusi istilah sekarang dirasakan terlalu deterministik. [4] Spesialis database (corpora) bahasa sekarang sering digunakan oleh forensik ahli bahasa, termasuk bunuh diri corpora catatan, ponsel teks, pernyataan polisi, polisi catatan wawancara dan pernyataan saksi . Ahli bahasa forensik telah memberikan bukti ahli dalam berbagai kasus, termasuk penyalahgunaan proses, di mana pernyataan itu ditemukan polisi terlalu mirip dengan telah diproduksi secara independen oleh polisi; kepengarangan kebencian mail; kepengarangan surat kepada anak Internet layanan pornografi; yang kesejamanan dari pembakar buku harian; perbandingan antara serangkaian ponsel teks dan polisi tersangka wawancara, dan rekonstruksi teks ponsel percakapan. Forensik ahli bahasa John Olsson memberikan kesaksian dalam sidang pembunuhan pada makna 'jooking' sehubungan dengan tikaman, Trial of REHAN Asghar, Pengadilan Pidana Tengah, London, Januari 2008. Termasuk kasus-kasus sebelumnya banding terhadap keyakinan Derek Bentley dan identifikasi Theodore Kaczynski sebagai apa yang disebut "Unabomber". Selama banding terhadap keyakinan dari Empat Bridgewater, ahli bahasa forensik memeriksa pengakuan tertulis Patrick Molloy, salah satu terdakwa - suatu pengakuan yang telah mencabut segera - catatan tertulis dan wawancara yang diklaim polisi telah terjadi segera sebelum pengakuan itu didiktekan. Molloy membantah bahwa wawancara yang pernah terjadi, dan analisis menunjukkan bahwa jawaban dalam wawancara itu tidak konsisten dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Para ahli bahasa sampai pada kesimpulan bahwa wawancara telah bohong oleh polisi. Kemudian keyakinan terhadap Empat Bridgewater membatalkan sebelum linguis dalam kasus Malcolm Coulthard dapat menghasilkan bukti-bukti. Selain itu, dalam kasus Australia dilaporkan oleh Eagleson, sebuah "surat perpisahan" tampaknya telah ditulis oleh seorang wanita sebelum dia menghilang. Surat itu dibandingkan dengan sampel dari tulisan sebelumnya dan bahwa suaminya. Eagleson sampai pada kesimpulan bahwa surat itu ditulis oleh suami perempuan yang hilang, yang kemudian mengaku setelah menulis itu dan telah membunuh istrinya. Fitur yang termasuk kalimat dianalisis istirahat, ditandai tema, dan penghapusan preposisi.
9
Linguistik forensik berkontribusi pada menjungkirbalikkan Derek Bentley dari hukuman karena pembunuhan pada tahun 1998 walaupun ada lain, isu-isu non-linguistik. Sembilan belas tahun Bentley digantung pada tahun 1953 untuk perannya dalam pembunuhan PC Sidney Miles; tembakan fatal telah dipecat oleh Bentley enam belas tahun-teman lama, Christopher Craig, ketika Bentley sudah dalam tahanan polisi. Bentley, yang memiliki usia mental sebelas dan fungsional buta huruf, sebagian dinyatakan bersalah berdasarkan pernyataannya kepada polisi, diduga ditranskripsikan diucapkan kata demi kata dari monolog. Malcolm Coulthard linguis memeriksa teks saat kasus itu dibuka kembali, dan menemukan sejumlah fitur yang mengindikasikan polisi co-penulisnya, dan yang menunjukkan bahwa setidaknya sebagian dari pernyataan yang dihasilkan dari pertanyaan dan jawaban, seperti diklaim Bentley, dan tidak, sebagai polisi mengklaim, sebuah "catatan kata demi kata yang didiktekan monolog". Salah satu fitur tersebut adalah penggunaan kata "maka", yang Coulthard dan rekannya David Woolls ditemukan kedelapan terjadi paling sering-kata dalam teks Bentley, sebagai dibandingkan dengan 58 paling sering diucapkan kata dalam bahasa Inggris, dan 83 kata paling sering dalam bahasa Inggris secara umum (menurut 1.5-juta-kata inggris korpus Bank mereka menggunakan). Merasa bahwa penggunaan kata itu bisa diharapkan lebih tinggi daripada ratarata dalam pernyataan saksi (yang umumnya melaporkan rangkaian peristiwa dan menunjukkan kepedulian terhadap ketepatan tentang waktu), Dua corpora telah dikompilasi, salah satu pernyataan saksi dan salah satu pernyataan polisi. Kata "kemudian" terjadi sekali setiap 930 kata-kata di bekas tapi sekali setiap 78 kata-kata di yang kedua, dibandingkan dengan Bank korpus bahasa Inggris di mana terjadi sekali setiap 500 kata, dan Bentley teks mana terjadi sekali setiap 53 kata-kata. Fokus kemudian berpaling kepada penggunaan kata "lalu". Sering posisi pasca-temporal (waktu-terkait) "kemudian" setelah subjek gramatikal ( "Saya kemudian" daripada "aku"), yang terjadi tujuh kali dalam 582-kata teks, juga dicatat. Bank korpus berbicara bahasa Inggris menunjukkan "kemudian aku" terjadi sepuluh kali lebih sering daripada "Saya kemudian", yang terakhir terjadi hanya sekali setiap 165.000 kata. Struktur yang tidak terjadi sama sekali dalam korpus dari pernyataan saksi, tapi terjadi sekali setiap 119 katakata dalam korpus pernyataan polisi. Fitur ini, dikombinasikan dengan banyak orang lain, 10
memberikan kontribusi untuk sukses Bentley argumen bahwa "pengakuan" itu, sebagian, karya tertulis petugas kepolisian, dan tidak hanya sebuah kata-demi kata transkrip pernyataan yang diucapkan Bentley seperti dituduhkan polisi. Dalam kasus Theodore Kaczynski, yang akhirnya dihukum karena menjadi "Unabomber", anggota keluarga mengenali gaya penulisan dari 35.000 kata dipublikasikan Industrial Society and Its Future (biasanya disebut sebagai "Unabomber Manifesto"), dan diberitahukan pihak berwenang. Kaczynski mencari agen FBI gubuk menemukan ratusan dokumen yang ditulis oleh Kaczynski, tapi tidak dipublikasikan di mana pun. Analisis yang dihasilkan oleh Special Agent FBI Pengawas James R. Fitzgerald mengidentifikasi sejumlah soal dan frase leksikal Common kepada dua dokumen. Ada yang lebih khas daripada yang lain, tetapi penuntutan (dibantu oleh Profesor Vassar inggris Donald Foster) berhasil berargumen bahwa kata-kata yang lebih umum dan frasa yang digunakan oleh Kaczynski menjadi berbeda jika digunakan dalam kombinasi dengan satu sama lain. Julie Turner, seorang wanita berusia 40 tahun yang tinggal di Yorkshire, hilang satu malam musim panas tahun 2005. Kerabat menjadi khawatir ketika dia tidak kembali setelah janji bertemu dengan teman laki-laki. Dia dilaporkan hilang pada tanggal 8 Juni 2005 dan sore berikut pasangannya menerima ponsel ini teks: "Berhenti di jills, kembali kemudian perlu menyortir kepalaku keluar". Dua hari setelah Julie hilang teks lain yang diterima: "Beritahu anak-anak tidak perlu khawatir. Menyortir hidupku keluar. (Sic) akan menghubungi untuk mendapatkan beberapa hal". Pasangannya merasa aneh bahwa ia tidak menghubungi anakanak. Polisi mewawancarai Howard Simmerson, seorang teman laki-laki, di tempat kerja pada tanggal 10 Juni 2005. Dia menyangkal pengetahuan tentang keberadaannya. Analisis Setelah berjam-jam tayangan televisi sirkuit dekat polisi diamati Simmerson mengendarai roda empat kendaraan dengan aman per barel ke bagian belakang kendaraan. Serupa Simmerson referensi dalam surat-surat yang ditulis dengan bahasa teks telepon selular yang ditemukan, juga beberapa tanda baca yang tidak biasa dan fitur ortografi. Olsson mengusulkan kepada polisi bahwa bukti ini menunjukkan kemungkinan Simmerson menyadari isi dari pesan teks. Pada dihadapkan dengan kecerdasan ini mengakui bahwa Julie Simmerson sudah dalam kendaraan, 11
namun menyatakan bahwa ia membuka laci dan menemukan senjata di sana dengan yang dia tidak sengaja menembak dirinya sendiri. Tubuhnya dalam tong yang telah di belakang fourwheel drive kendaraan. Polisi akhirnya menemukan laras dan menemukan tubuh. Simmerson dinyatakan bersalah di Sheffield Crown Court di 8 November, 2005, dari pembunuhan Turner Ms. Ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Mr Hakim Pitcher.
12
BAB 3 ANALISIS DATA
1. Ancangan Analisis
Bermula dari surat permohonan Kapolres Bandung Tengah dan Bandung Timur yang ditujukan kepada Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Kedua lembaga hukum itu mohon bantuan saksi ahli bahasa untuk kasus penghinaan dan pencemaran nama baik, sebagaimana termaktub dalam KUHP pasal 310 Sub. 315 , Rektor UPI meneruskan surat permohonan itu kepada Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ketua Jurusan lalu menunjuk saya, Aceng Ruhendi Saifullah untuk memenuhi permohonan pihak kepolisian itu sebagai saksi ahli bahasa. Sebagai Lektor Kepala di bidang Pragmatik dan Analisis Wacana Kritis, saya berusaha untuk menjadi saksi ahli bahasa sebaik mungkin, sesuai dengan kaidah-kaidah profesionalisme. Saya siapkan sejumlah teori yang berkaitan dengan analisis linguistik forensik, yang merupakan salah satu turunan dari kajian pragmatik, terutama yang berkaitan dengan konsep kesantunan berbahasa (politeness) dan peristiwa tutur (speech events).
Setelah selesai menunaikan tugas kesaksian, saya melihat peluang bahwa data bahasa dalam kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik itu penting dan menarik untuk diteliti. Penting karena data kebahasaan dalam kasus tersebut sangat tipikal dan cukup representatif untuk ditelaah lebih dalam dengan menggunakan model analisis forensik, sebuah pisau kajian yang relatif baru dalam ilmu linguistik. Menarik karena adanya fenomena penghinaan dan pencemaran nama baik sebagai delik hukum sudah mendorong pihak yang berwenang dalam bidang hukum untuk melibatkan ahli bahasa dalam proses penyidikannya. Mengingat kedua hal itu, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan model, kaidah, dan rambu-rambu dalam melaksanakan tugas kesaksian 13
seorang saksi ahli bahasa, terutama yang berkaitan dengan delik penghinaan dan pencemaran nama baik. Lebih jauh lagi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan kajian linguistik forensik di Indonesia yang kondisinya masih relatif baru dan langka, sementara tuntutan publik tampak mulai kerap dan luas.
Atas dasar latar belakang di atas, masalah pokok yang hendak dicari solusinya dalam penelitian ini adalah: bagaimana model, kaidah, dan rambu-rambu dalam melaksanakan tugas kesaksian seorang saksi ahli bahasa, terutama yang berkaitan dengan delik penghinaan dan pencemaran nama baik, sehingga memenuhi kriteria profesional? Rumusan masalah pokok di atas dapat dirinci sebagai berikut: d. Tindak tutur dan peristiwa tutur apa saja yang termasuk ke dalam delik hukum penghinaan dan pencemaran nama baik? e. Sejauh mana konsep-konsep analisis forensik dapat mengidentifikasi tindak tutur dan peristiwa tutur yang berindikasi delik hukum penghinaan dan pencemaran nama baik? f. Bagaimana seorang saksi ahli bahasa dapat tampil professional dalam melakukan kesaksiannya, terutama dalam kasus delik hukum penghinaan dan pencemaran nama baik?
2. Klasifikasi dan Identifikasi Data
Berdasarkan dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP), data bahasa yang relevan dengan topic penelitian ini dapat diklasifikasi dan diidentifikasi sebagai berikut:
KASUS 1 Berdasarkan laporan polisi nomor polisi LP/212/B/III/2009 RESTA, tanggal 18 Maret 2009, atas nama pelapor Drs. Sulaeman Hara, yang melaporkan terjadinya tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan dan atau penghinaan yang terjadi pada hari Rabu 14
tanggal 4 Maret 2009 sekitar jam 10.00 WIB, di Jl Wasru Kencana no. 89 kota Bandung, yang diduga dilakukan oleh tersangka Herry Hermawan alias Yongki terhadap saudara Drs. Sulaeman Hara. Adapun pelaku melakukan tindak pidana tersebut yaitu dengan cara mengatakan kata-kata ‘ANJING’ dan ‘GOBLOG’ melalui handphone secara lisan.
KASUS 2 Berdasarkan laporan polisi nomor polisi LP/255/B/IV/2009 RESTA, tanggal 27 April 2009, atas nama pelapor Ny. Hj. Dra. Haryanti, yang melaporkan terjadinya tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan dan atau penghinaan yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 21 April 2009 sekitar jam 16.00 WIB, di Jl Perumahan Cilengkarng I kota Bandung, yang diduga dilakukan oleh tersangka Ny. Hj. Selvilia alias Lia terhadap saudari Ny. Hj. Dra. Haryanti. Adapun pelaku melakukan tindak pidana tersebut yaitu dengan cara mengatakan kata-kata “Anda pasti PNS gadungan, Masa ada PNS kelakukannya kayak lonte…” dan ‘Dasar perempuan gatelan, kerjanya Cuma gangguin suami orang’ melalui SMS handphone.
KASUS 3 Berdasarkan laporan polisi nomor polisi LP/365/B/V/2009 RESTA, tanggal 2 Mei 2009, atas nama pelapor saudara Salim Al Idrus, yang melaporkan terjadinya tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan dan atau penghinaan yang terjadi pada hari Senin tanggal 27 April 2009 sekitar jam 11.00 WIB, di Jl ABC no. 14 kota Bandung, yang diduga dilakukan oleh tersangka Beng Liang alias Apuk terhadap saudara Salim Al Idrus. Adapun pelaku melakukan tindak pidana tersebut yaitu dengan cara mengatakan kata-kata ‘Dasar Arab goblog!’ secara langsung berhadap-hadapan dalam percakapan lisan.
15
3. Analisis
Dalam keterangan yang saya berikan, dalam posisi sebagai saksi ahli bahasa, saya memberikan keterangan dan analisis sebagai berikut:
ANALISIS KASUS 1 Ungkapan “Anjing!” secara umum maknanya merujuk pada salah satu jenis binatang, sedangkan maksudnya dalam masyarakat kita bias berarti penghinaan kepada sosok atau perilaku seseorang yang disamakan dengan sosok atau perilaku binatang anjing. Ungkapan “Goblog!” secara umum maknanya merujuk kepada salah satu perilaku atau sifat seseorang yang menunjukkan kebodohan yang berlebihan, sedangkan maksudnya dalam masyarakat kita bias berarti pelecehan dan atau pencitraan negative terhadap seseorang.
Dalam konteks peristiwa percapakan yang serius, ungkapan ANJING dan GOBLOG itu termasuk perbuatan tidak menyenangkan atau penghinaan terhadap seseorang karena orang yang disebut ANJING dan dituduh GOBLOG pasti akan merasa direndahkan martabatnya dan disepelekan sifatnya.
Jadi, orang yang melontarkan kata ANJING dan GOBLOG kepada seseorang dalam konteks serius dapat dikatakan melakukan tindak pidana karena kata ANJING dan GOBLOG mengandung makna dan maksud unsure penghinaan dan merendahkan martabat serta menimbulkan citra negative terhadap seseorang.
ANALISIS KASUS 2
Kata-kata “Anda pasti PNS gadungan, Masa ada PNS kelakukannya kayak lonte…” dan ‘Dasar perempuan gatelan, kerjanya Cuma gangguin suami orang’ melalui
SMS
handphone yang ditulis oleh Ny. Hj. Selvilia alias Lia yang ditujukan untuk saudari Ny. Hj. 16
Dra. Haryanti tersebut sangat jelas mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik. Menurut parameter linguistik forensik yang berkenaan dengan kebenaran atau akurasi isi, kalimat tersebut mengandung informasi yang tidak benar atau tidak akurat, karena berdasarkan barang bukti yang ditunjukkan kepada polisi, pada kenyataannya Ny. Hj. Haryanti terbukti benar tercatat sebagai seorang PNS di Departemen Agama. Kemudian membandingkan PNS dengan lonte sangat jelas merupakan tudingan yang menghina dan merendahkan martabat seseorang. Adapun kalimat yang kedua, yang berbunyi ‘Dasar perempuan gatelan, kerjanya cuma gangguin suami orang’, berdasarkan parameter linguistik forensik dapat dikatakan melanggar prinsip kuantitas dan relasi, karena kalimat tersebut mengandung tudingan yang berlebihan dan tidak sesuai dengan konteksnya, yakni konteks foto bersama sesama rombongan jemaah haji. Bagaimana pun, kegiatan foto bersama antara Ny. Hj Dra. Haryanti dengan suaminya Ny. Hj. Selvia tidak bias dikatakan sebagai kegiatan “ menggangu suami orang”. Jadi, tuturan yang melanggar parameter kebenaran informasi, kuantitas, dan relasi dalam linguistik forensik dapat menimbulkan delik hukum yang berkaitan dengan penghinaan, pencemaran nama baik, dan penumbuhan citra negative seseorang.
ANALISIS KASUS 3
Kata-kata ‘Dasar Arab goblog!’ yang dituturkan oleh Beng Liang terhadap Salim Al mIdrus secara langsung berhadap-hadapan dalam percakapan lisan tampak jelas mengandung unsure penghinaan. Analisisnya, sebagaimana dalam KASUS 1, Ungkapan “Goblog!” secara umum maknanya merujuk kepada salah satu perilaku satau sifat seseorang yang menunjukkan kebodohan yang berlebihan, sedangkan maksudnya dalam masyarakat kita bias berarti pelecehan dan atau pencitraan negative terhadap seseorang.
17
BAB 4 SIMPULAN
1) Tindak tutur dan peristiwa tutur yang termasuk ke dalam delik hukum penghinaan dan pencemaran nama baik dalam konteks peristiwa percapakan yang serius dengan pilihan kata tertentu yang berasosiasi negatif, misalnya ungkapan ANJING dan GOBLOG, itu termasuk perbuatan tidak menyenangkan atau penghinaan terhadap seseorang karena orang yang disebut ANJING dan dituduh GOBLOG pasti akan merasa direndahkan martabatnya dan disepelekan sifatnya.
2) Tuturan yang melanggar
parameter kebenaran informasi, kuantitas, dan relasi
dalam linguistik forensik dapat menimbulkan delik hukum yang berkaitan dengan penghinaan, pencemaran nama baik, dan penumbuhan citra negative seseorang.
18
PUSTAKA ACUAN
Gibbons, John (2003). "Forensic Linguistics: an introduction to language in the Justice System". Blackwell. Gibbons, John, V Prakasam, K V Tirumalesh, and H Nagarajan (Eds) (2004). "Language in the Law". New Delhi: Orient Longman. Gibbons, John, and M. Teresa Turell (eds) (2008). "Dimensions of Forensic Linguistics". Amsterdam: John Benjamins. Olsson, John (2008). "Forensic Linguistics", Second Edition. London: Continuum. Shuy, Roger W (2001). "Discourse Analysis in the Legal Context." In The Handbook of Discourse Analysis. Eds. Deborah Schiffrin, Deborah Tannen, and Heidi E. Hamilton. Oxford: Blackwell Publishing. pp. 437–452.
19