ISSN 1410-9859
PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA SEMARANG DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN B. Rini Heryanti, Dewi Tuti Muryati (dosen Fakultas Hukum – USM)
ABSTRAK Ketidakseimbangan posisi antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan faktor yang dapat memicu adanya sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di setiap kabupaten/kota dengan tugas dan kewenangannya diharapkan dapat menjadi suatu lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha dengan cepat, murah dan sederhana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen serta keberadaan BPSK kota Semarang dalam mengakomodir kebutuhan konsumen kota Semarang dalam penyelesaian sengketanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yuridis sosiologi, untuk meneliti norma-norma hukum yang mengatur mengenai perlindungan konsumen berkaitan dengan pelaksanaan dan tugas BPSK kota Semarang. Hasil penelitian, cara penyelesaian BPSK kota Semarang sudah sesuai dengan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 2(UUPK). Namun dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya BPSK kota Semarang belum optimal hal ini dikarenakan BPSK Kota Semarang mengalami kesulitan dalam hal pemanggilan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, dan belum adanya kesepahaman dengan penyidik (POLRI). BPSK kota Semarang belum dapat mengakomodir kebutuhan konsumen kota Semarang, hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi, minimnya dana operasional, saran prasarana dari Pemerintah Daerah, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang masih kurang. Kata kunci : UU Perlindungan Konsumen, BPSK, sengketa konsumen.
A.PENDAHULUAN Perdagangan bebas sekarang ini telah membuka pintu seluas-luasnya bagi masuknya berbagai macam barang antar negara. Hal ini tentu akan mempunyai dampak positf maupun dampak negatif bagi masyarakat di negara penerima pemasaran barang tersebut. Dampak positif yang ada yakni, masyarakat/konsumen dapat memenuhi semua kebutuhannya akan barang/jasa dengan mudah dan sesuai kemampuannya, sedangkan dampak negatifnya masyarakat/konsumen dapat menjadi objek aktivitas pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memproduksi barang secara masal karena bantuan alat-alat/teknologi canggih tanpa memikirkan kepentingan, kesela-
matan, keamanan, konsumen. Ketimpangan-ketimpangan ini akan memicu timbulnya sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, konsumen ada pada posisi tawar yang tidak seimbang (the inequality of bargaining power). Kalau kita perhatikan di sekeliling kita, sering terjadi adanya kasus-kasus yang menimpa konsumen sehingga banyak konsumen yang dirugikan bahkan sampai kehilangan nyawanya, sebut saja kasus makanan atau susu yang mengandung melamin atau yang mengandung bakteri, biskuit beracun, penjualan makanan atau obat yang sudah daluwarsa, belum lagi pemakaian obat-obat kimia dalam makanan yang melebihi ambang batas, sampai pada kasus-kasus yang memakai high technology, seperti e-commerce, ATM, kartu kredit dan
J. DINAMIKA SOSBUD Volume 13 Nomor 2, Desember 2011 : 1 -
1
lain sebagainya. Namun banyak kasuskasus yang muncul dan tidak terdengar lagi hilang begitu saja. Banyaknya konflikkonflik yang berkembang terus ini dan tidak dapat diselesaikan dengan baik tentu pada akhirnya akan menimbulkan suatu sengketa antar konsumen dan pelaku usaha. Berkaitan dengan masalah penyelesaian sengketa konsumen, dalam UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 23 telah diatur bahwa, ”apabila pelaku usaha menolak dan /atau tidak memberi tanggapan dan /atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan perselisihannya yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen”. Berdasarkan Keppres Nomor.90/2001 telah terbentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/BPSK (tahap I), hingga saat ini telah terbentuk 22 BPSK di setiap kabupaten/kota. Diharapkan dengan terbentuknya BPSK ini dapat menjadi tumpuan konsumen untuk menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha secara cepat, sederhana dan murah. Namun demikian masih perlu dipertanyakan apakah BPSK sudah dapat / mampu menjawab harapan konsumen dalam mencari keadilan , mengingat tidak sedikit sengketa konsumen yang hanya nilai kerugiannya kecil. B. PERUMUSAN MASALAH. Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang timbul adalah, 1. Bagaimana pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Konsumen (BPSK) kota Semarang dalam penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UndangUndang No.8 Tahun 1999 tentang 2
2.
3.
Perlindungan Konsumen ? Apakah keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Semarang sudah dapat mengakomodir kepentingan konsumen dalam menyelesaikan sengketa? Apa hambatan-hambatan yang dihadapi oleh BPSK kota Semarang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta bagaimana cara penyelesaiannya?
C. TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan tentang konsumen dan pelaku usaha. Di Indonesia melalui UndangUndang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen diartikan “Setiap orang yang memakai barang dan/ jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah konsumen akhir bukan konsumen antara (konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya).
a.
Hak dan kewajiban konsumen
Konsumen Indonesia mendapatkan perlindungan hukumnya dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan hukum yang didapatkannya bukan saja perlindungan dalam fisik saja melainkan sampai hak-hak lainnya yang bersifat abstrak, seperti yang terdapat dalam Pasal 4 UUPK meliputi : a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan /atau jasa, b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Semarang dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. B. Rini Heryanti, Dewi Tuti Muryati
c.
d.
e.
f. g.
h.
i.
hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan /atau jasa, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan /atau jasa yang digunakan, hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, konsumen, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas terlihat bahwa masalah keamanan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Oleh sebab itu pelaku usaha dalam memproduksi barang maupun jasa harus memperhatikan akan hal ini, sebab jika terjadi peredaran barang dan jasa yang tidak layak untuk dikonsumsi konsumen, maka konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, kompensasi sampai ganti rugi. Namun disamping hak yang diberikan, konsumen juga harus mematuhi kewajibannya yang meliputi: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, d. mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa konsumen secara patut.
b.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha.
Dasar dari timbulnya suatu transaksi adalah, kalau ada minimal dua pihak yang saling membutuhkan untuk memenuhi kelengkapan barang atau jasa yang dibutuhkan dalam kehidupannya, dua belah pihak yang dimaksud yaitu konsumen dan pelaku usaha. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPK yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah, ”Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi” Penjelasan dari Pasal ini menyebutkan bahwa pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Hukum Perlindungan Konsumen tidak saja melindungi hak dan kepentingan konsumen saja, melainkan pelaku usaha juga diperhatikan hak dan kewajibannya, hal ini diatur dalam Pasal 6 UUPK Disamping hak yang diberikan pada pelaku usaha, pelaku usaha juga dituntut oleh undang-undang untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya. Hak dan kewajiban pelaku usaha yang diharuskan oleh UUPK ini merupakan kebalikan dari hak dan kewajiban dari konsumen. Kewajiban pelaku usaha ini diatur dalam Pasal 7 UUPK. 2.
Pengertian tentang Sengketa Konsumen. Menurut AZ. Nasution, sengketa konsumen dapat diartikan sebagai setiap perselisihan antar konsumen dan penyedia
J. DINAMIKA SOSBUD Volume 13 Nomor 2, Desember 2011 : 1 -
3
barang dan/atau jasa pelaku usaha dalam hubungan hukum antara satu sama lain mengenai produk tersebut.1 Sedangkan Shidarta mengemukakan bahwa sengketa konsumen pada dasarnya merupakan sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen, yang lingkupnya mencakup segi hukum keperdataan, pidana maupun tata negara.2 Sengketa konsumen terjadi karena adanya ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk atau kerugian yang dialami konsumen karena penggunaan atau pemakaian barang atau jasa. Dengan demikian sengketa konsumen disebabkan oleh adanya kerugian yang disebabkan cacat tubuh (personal injury), cacat fisik (injury to the produk it self), dan kerugian ekonomi (pure economic loss). Pertama, cacat tubuh adalah kerugian yang melekat pada diri konsumen sebagai akibat mengkonsumsi suatu produk. Kedua, cacat fisik adalah kerugian yang diderita akibat rusaknya produk atau tidak berfungsinya produk yang sudah dibeli, misalnya adanya kerusakan mesin sejak awal pembelian. Ketiga, kerugian ekonomi adalah kerugian yang langsung berkaitan dengan produk yang dibelinya, yang muncul ketika produk itu tidak sesuai dengan tingkat performance yang diharapkan.3 Dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak diketemukan secara tegas mengenai arti batasan sengketa konsumen, namun istilah ini dapat diketemukan dalam beberapa pasal yang ada dalam UUPK, yaitu dalam Bab X tentang Penyelesaian Sengketa Pasal 45 . Jika dikaitkan dengan Pasal 23 UUPK maka dapat disimpulkan bahwa, pengertian sengketa konsumen adalah sengketa antara 1
AZ Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm 178. 2 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm 135. 3 Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan, Pustaka Yuda, Yogyakarta, 2010, hlm 89.
4
konsumen dan pelaku usaha karena pelaku usaha menolak, dan /atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UndangUndang Perlindungan Konsumen. 3.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dan badan penyelesaian sengketa konsumen
Untuk mengadukan tuntutannya/ gugatan kepada pelaku usaha, konsumen dapat melakukannya melalui jalur litigasi (pengadilan) maupun non litigasi (di luar jalur pengadilan.). Pasal yang mendasari hal ini adalah Pasal 45 dari UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Untuk menggugat dengan cara litigasi yaitu melalui pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum sedangkan cara non litigasi dapat dilakukan melalui Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Direktorat Perlindungan Konsumen.
a.
Badan Penyelesaian Konsumen.
Sengketa
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah institusi non struktural yang memiliki fungsi sebagai “Institusi yang menyelesaikan permasalahan konsumen di luar Pengadilan secara murah, cepat, dan sederhana. Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, sedangkan tugas dan kewenangan BPSK diatur dalam Pasal 52 UUPK yaitu, a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara mediasi, konsiliasi, atau arbitrase,
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Semarang dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. B. Rini Heryanti, Dewi Tuti Muryati
b. c. d.
e.
f. g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
memberikan konsultasi perlindungan konsumen, melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini, menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen, melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen, memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen, memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-Undang ini, meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud di angka g dan h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK, mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan, memutuskan dan menetapkan ada/atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen, memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen, menjatuhkan saksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Disamping bertugas menyelesaikan masalah sengketa konsumen, BPSK juga bertugas memberikan konsultasi perlindungan konsumen berupa, 1.
2.
3.
bagaimana menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen dan juga pelaku usaha , memberikan penjelasan tentang bagaimana bentuk dan tata cara penyelesaian sengketa konsumen.
Dalam penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, BPSK berwenang melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap bukti surat, dokumen, bukti barang, hasil uji laboratorium, dan buktibukti lain, baik yang diajukan oleh konsumen maupun oleh pelaku usaha. D.TUJUAN PENELITIAN. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menjelaskan mengenai tugas dan wewenang BPSK kota Semarang dalam penyelesaian sengketa konsumen. Sedangkan secara khusus penelitian ini diperuntukkan; a.
b.
c.
Mengetahui pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Konsumen (BPSK) kota Semarang dalam penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Memberi gambaran tentang keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam mengakomodasi kepentingan konsumen untuk menyelesaikan sengketa. Mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Semarang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta cara penyelesaiannya.
E. MANFAAT PENELITIAN. a.
memberikan penjelasan kepada konsumen atau pelaku usaha tentang hak dan kewajibannya masing-masing, memberikan penjelasan tentang
J. DINAMIKA SOSBUD Volume 13 Nomor 2, Desember 2011 : 1 -
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Semarang serta pengambil kebijakan berkaitan dengan pelaksanaan tugas, wewenang, untuk 5
b.
lebih dapat memberikan pelayanan yang baik kepada para pihak yang bersengketa. Diharapkan dari hasil penelitian ini juga dapat memberikan masukan kepada Pemerintah kota Semarang untuk lebih berkomitmen pada pembentukan BPSK kota Semarang dalam mengemban tugas dan kewajibannya.
F. METODE PENELITIAN Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis yang dilakukan secara kualitatif dengan paradigma induktif verifikatif, karena objek penelitian ini adalah normanorma hukum yang mengatur mengenai perlindungan konsumen berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK kota Semarang, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Metode penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive dengan mengambil sample BPSK kota Semarang. Sedangkan metode pengumpulan data menggunakan data primer yang diperoleh dengan metode wawancara dengan responden, dan data sekunder diambil dari peraturan-peraturan yang meliputi UndangUndang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Keppres No.90 tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK, SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350 /MPP/Kep/12/2001. Kemudian hasil data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif yaitu dengan menganalisis data yang didasarkan pada teori, konsep atau peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan akan memperoleh gambaran yang jelas mengenai pokok permasalahan yang diteliti. G. HASIL PENELITIAN 1.
6
Pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen kota Semarang dalam penyelesaian sengketa konsumen.
a.
Penyebab terjadinya sengketa konsumen di kota Semarang.
Penyebab terjadinya sengketa konsumen di kota Semarang dikarenakan adanya sifat konsumerisme yang tinggi dari konsumen Semarang, pelaku usaha tidak jujur dalam memberikan informasi kepada konsumen, penawaran hadiah yang tidak fair, pelaku usaha mengabaikan isi sari Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan sebagian besar konsumen tidak mengerti keberadaan UUPK.
b.
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Konsumen (BPSK) kota Semarang dalam Penyelesaian Sengketa konsumen.
Berdasarkan Pasal 45 ayat 1 UndangUndang Perlindungan Konsumen, setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang dimaksud dalam Pasal 45 ayat 1 ini antara lain adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Kemudian di Pasal 49 ayat 1 dinyatakan Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. BPSK kota Semarang merupakan salah satu badan penyelesaian sengketa konsumen yang dibentuk oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.90 Tahun 2001 tertanggal 21 Juli 2001, untuk tahap pertama ini telah dibentuk sebanyak 10 (sepuluh) BPSK dan untuk tahap ke dua berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 2004 dibentuk 14 (empat belas) BPSK, tahap ke 3 (tiga) berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.18 Tahun 2005 dibentuk 4 (empat) BPSK. Untuk sementara ini BPSK yang sudah mempunyai anggota
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Semarang dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. B. Rini Heryanti, Dewi Tuti Muryati
dan diangkat berdasarkan keputusan Menteri Perdagangan berjumlah 22 BPSK.4 Adapun mengenai keanggotaan BPSK kota Semarang diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 429/M-DAG/KEP/8/2008 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Semarang dan Kota Palembang untuk periode tahun 2008 -2013. BPSK merupakan Lembaga non sruktural yang berkedudukan di kabupaten dan kota mempunyai fungsi menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan diharapkan dapat mempermudah mempercepat dan memberikan suatu jaminan kepastian hukum bagi konsumen untuk menuntut hak-hak perdatanya kepada pelaku usaha yang tidak benar. Sesuai dengan ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan R.I No.350/MPP/Kep/12/ 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK tugas dan wewenang BPSK tercantum pada Pasal 3. Dari hasil penelitian yang dilakukan, selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 kasus yang masuk ke BPSK kota Semarang sebanyak 19 pengaduan. Dari 19 (sembilan belas) kasus sengketa yang masuk diselesaikan dengan cara mediasi 8 (delapan) kasus, 3 (tiga) kasus diselesaikan dengan cara konsiliasi, 1 (satu) kasus diselesaikan dengan konsultasi dan 7 (tujuh) kasus diselesaikan sendiri antar pelaku usaha dan konsumen di luar BPSK Kota Semarang. Jenis kasus yang masuk pada BPSK kota Semarang yakni undian berhadiah, leasing, pembelian barang, perumahan dan jasa. Penyelesaian kasus sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang diselesaikan di luar BPSK (dengan cara damai) diperbolehkan oleh UUPK seperti yang ada pada penjelasan dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen Pasal 45 4
http://pkdi tj enpdn.depdag.id/index.php?page-=bpsk
ayat (2) menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yakni dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan, dan tidak menutup kemungkinan adanya upaya penyelesaian sengketa secara damai yang ditempuh oleh kedua belah pihak, yang dimaksud upaya damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Sedangkan cara mediasi dan konsiliasi yang ditempuh oleh BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UUPK serta Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan R.I No.350/MPP/Kep/ 12/2001. Terhadap penyelesaian sengketa konsumen yang masuk, telah diselesaikan dengan cara konsiliasi dan mediasi serta konsultasi oleh BPSK kota Semarang, ketika sebuah penyelesaian telah tercapai selanjutnya akan dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan kemudian dikuatkan dengan keputusan BPSK yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis BPSK kota Semarang yang bertindak sebagai konsiliator dan mediator, penyelesaiannya harus dilaksanakan dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu ) hari kerja paling lama, sedangkan terhadap cara penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan dengan cara arbitrase, BPSK kota Semarang akan mengeluarkan putusan yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. Jangka waktu penyelesaiannya diupayakan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja harus sudah selesai (hasil riset yang dilakukan kasus pengaduan BPSK kota Semarang tidak tampak masalah yang diselesaikan dengan cara arbitrase selama kurun waktu tersebut, namun pada tahun-tahun sebelumnya BPSK kota Semarang pernah menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen dengan cara
J. DINAMIKA SOSBUD Volume 13 Nomor 2, Desember 2011 : 1 -
7
arbitrase). Putusan majelis tersebut untuk selanjutnya diberitahukan oleh ketua BPSK secara tertulis kepada konsumen dan pelaku usaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan dan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK. Hal ini tercantum dalam Pasal 41 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan R.I No.350/MPP/Kep/12/2001 serta Pasal 56 UUPK. BPSK Kota Semarang telah melaksanakan sesuai dengan aturan tersebut dan apabila dalam pelaksanaan putusan tersebut terjadi pelaku usaha tidak melaksanakannya, maka BPSK Kota Semarang dapat melaporkan pelaku usaha ke Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atau penyidik POLRI untuk ditindaklanjuti ( Pasal 56 ayat 4 UUPK), karena putusan BPSK merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. 5 Batasan waktu yang ada pada ke dua cara penyelesaian sengketa ini sangatlah baik dan menguntungkan konsumen dalam rangka melindungi konsumen yang sebagian besar pada posisi lemah serta untuk menekan membengkaknya biaya dan pelaku usaha lebih diuntungkan jika jangka waktunya singkat. BPSK kota Semarang belum pernah melebihi waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang untuk penyelesaian sengketa, karena dihitung sejak masa sidang pertama. Dari hasil penelitian yang telah disebutkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa BPSK kota Semarang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya untuk menyelesaikan sengketa konsumen sudah sesuai dengan yang diatur dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen dan SK. 5
BPSK kota Semarang, Hasil wawancara, 12 Januari 2011.
8
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001, khususnya memenuhi Pasal 52 (a, b, e, f, g, h, j, k, l, m) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta Pasal 3 (a, b, e, f, g, h, j, k, l, m). Hal-hal lain yang ditemukan dalam penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK kota Semarang yakni dalam hal melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen dan meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK, BPSK kota Semarang mengalami kesulitan hal ini dikarenakan belum adanya kesepahaman antar penyidik (POLRI) dan BPSK kota Semarang tentang hal tersebut, penyidik selalu mempermasalahkan dasar hukum pemanggilan tersebut, padahal didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah dinyatakan dengan jelas bahwa BPSK berwenang untuk meminta bantuan kepada penyidik .Sebenarnya yang dimaksud dengan Penyidik menurut Pasal 59 UndangUndang Perlindungan Konsumen tidak hanya Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia saja, tetapi juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. Dengan demikian BPSK kota Semarang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya belum bisa memenuhi Pasal 52 (d, i) UUPK dan Pasal 3 (d, g, i) SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.
2. Badan Penyelesaian sengketa Konsumen kota Semarang dalam mengakomodasi kepentingan konsumen.
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Semarang dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. B. Rini Heryanti, Dewi Tuti Muryati
Keberadaan BPSK kota Semarang sejak tahun 2001 hingga kini sudah mulai dikenal warga kota Semarang , hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pengaduan konsumen yang masuk dan menyelesaikan sengketanya pada BPSK kota Semarang. Tercatat dalam data BPSK kota Semarang, dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 terdapat 41 (empat puluh satu) kasus yang masuk pada BPSK kota Semarang, Memang kalau dilihat dari kuantitas sengketa konsumen yang masuk tidak begitu banyak, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk kota Semarang yang pada tahun 2009 sebanyak 1.507.826 ( satu juta lima ratus tujuh ribu delapan ratus dua puluh enam) jiwa.6 Ada kekhawatiran dari masyarakat kalau menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha lewat BPSK akan dikenai biaya yang besar dan waktu penyelesaiannya lama, hal ini sebenarnya tidaklah demikian, sebab BPSK merupakan badan pemerintah yang mempunyai tugas memberi pelayanan kepada masyarakat. 7 Disamping itu sebagian masyarakat kota Semarang dalam menyelesaikan sengketanya dilakukan dengan cara menulis di media masa yang dianggap lebih cepat direspon oleh pelaku usaha. Apabila dikaitkan dengan tujuan diadakannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pembentukan BPSK ini adalah merupakan perwujudan kepedulian pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada warganya. Sehingga sangatlah tepatlah pembentukan badan ini karena mempermudah masyarakat mencari keadilan, dengan prinsip yang dipunyai BPSK dalam penyelesaian sengketa yakni cepat, murah dan sederhana. Berdasarkan uraian hasil penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan BPSK kota Semarang belum sepenuhnya diketahui konsumen kota
7
Hasil wawancara dengan Yuni Widiati selaku anggota BPSK kota Semarang, 28 Januari 2011.
Semarang, sehingga belum sepenuhnya dapat mengakomodir kepentingan konsumen kota Semarang dalam menyelesaikan sengketanya. 3.
Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Semarang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta cara penyelesaiannya.
Tugas dan wewenang BPSK pada intinya adalah menangani dan menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase; memberikan konsultasi; melakukan pengawasan; melaporkan kepada penyidik; menerima pengaduan; meneliti dan memeriksa; memanggil pelaku usaha; menghadirkan saksi dan ahli; meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan saksi; meneliti surat dokumen; menetapkan ada atau tidaknya kerugian konsumen; memberikan putusan; menjatuhkan sanksi administrasi. BPSK kota Semarang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha masih menghadapi beberapa kendala yang ada. Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara dengan anggota BPSK, hambatan/kendalakendala yang ada yakni, Kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh BPSK maupun pemerintah kota, hal ini dikarenakan minimnya dana operasional BPSK Dukungan sarana dan prasarana dari pemerintah kota kecil serta kurangnya dukungan dari instansi yang terkait. Kualitas dan kuantitas SDM yang masih kurang. Untuk itu BPSK kota Semarang melakukan upaya-upaya yakni, memberikan penyuluhan-penyuluhan pada organisasi-organisasi, ibu-ibu PKK, menjalin kerjasama dengan Perguruan Tinggi diwujudkan dalam bentuk diskusi, seminar,
J. DINAMIKA SOSBUD Volume 13 Nomor 2, Desember 2011 : 1 -
9
mengundang para akademisi untuk berdialog dengan konsumen dan pelaku usaha agar ada persamaan persepsi dalam memahami UUPK. Mengajukan penambahan dan operasional ke APBD. 4.Simpulan Belum semua tugas dan wewenang BPSK kota Semarang dapat dilaksanakan dengan baik, hal ini dikarenakan ada beberapa hambatan yang ada dalam BPSK baik secara intern maupun eksteren, khususnya mengenai Pasal 52 huruf d dan i UUPK jo SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.350/MPP/Kep/12/ 2001 belum dapat dilaksanakan dengan baik. Cara penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, BPSK kota Semarang telah dilakukan sesuai dengan Pasal 45 ayat 1dan ayat 2 serta penjelasan Pasal 45 UUPK. Namun keberadaan BPSK kota Semarang belum sepenuhnya dapat mengakomodir kepentingan konsumen di kota Semarang. DAFTAR PUSTAKA. Buku Hadi Setia Tunggal, Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Jakarta : Haruarindo, 2004. Husni Syawal dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000 Miru,
Ahmadi dan Yudo. Hukum Perlindungan Konsumen. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2004.
Nasution, Az. Konsumen dan Hukum. Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1995. Rajagukguk, Erman. Hukum Perlindungan Konsumen. Mandar Maju : Bandung, 2000. Sudaryatmo. Hukum & Advokasi Konsumen. Citra Aditya Bakti : Bandung,1999. Suherman, Ade Maman, Aspek Dalam Ekonomi Global, Indonesia : Jakarta, 2002. 10
Hukum Ghalia
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia : Jakarta, 1994. Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen. Grasindo : Jakarta, 2000. Shofie,Yusuf. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Teori & Praktek Penegakan Hukum. Citra Aditya Bakti : Bandung, 2003. Tri
Siwi Kristiyanti, Celina.Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika : Jakarta, 2009.
Umam Khotibul, Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Pustaka Yustisia :Yogyakarta, 2010. Widjaya, Gunawan dan Yani. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, 2001. Undang-Undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Jogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Makasar. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/Kep/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota BPSK kota Makassar,
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Semarang dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. B. Rini Heryanti, Dewi Tuti Muryati
Palembang, Surabaya, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Medan. Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 429/M-DAG/Kep/8/2008 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Semarang, dan Kota Palembang.
J. DINAMIKA SOSBUD Volume 13 Nomor 2, Desember 2011 : 1 -
11