BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Cemas 2.1.1. Pengertian Cemas Cemas menurut Stuart (1995) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik (Stuart,1995 dalam Riyadi & Purwanto) Cemas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus ansietas (Comer,1992 dalam videbeck, 2008). Kecemasan dapat dirasakan individu maupun sekelompok orang termasuk keluarga, kecemasan meliputi keluarga dan mereka sangat terbebani dengan kondisi penderita. Bahkan tidak sedikit keluarga yang sama sekali tidak mengetahui rencana apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi masalah jiwa sala satu anggota keluarganya. Kecemasan akan semakin meningkat tanpa pemahaman yang jernih mengenai masalah besar yang dihadapi keluarga. Terkadang masalh ini tidak dapat dihadapi dan semakin membuat konflik di dalam keluarga sehingga sering terjadi penolakan terhadap penderita gangguan jiwa ( Brown & Bradley, 2002 dalam Simanjuntak, 2006).
Universitas Sumatra Utara
Menurut Lazarus (1996, dalam Simanjuntak, 2006) dengan model kecemasannya yang benar – benar berorientasi kognitif, membuat suatu pembedaan antara proses penilaian primer dan sekunder pada gangguan jiwa. Penilaian primer adalah penilaian
keluarga yang menganggap bahwa adanya
situasi yang bisa (potensial) sebagai sesuatu yang mengancam daripenderita gangguan jiwa, sedangkan penilaian sekunder terdiri dari penilaian apakah keluarga mempunyai (penguasaan ) sumber – sumber internal dan eksternalyang diperlukan untuk menghadapi situasi tersebut. Kombinasi dari kedua penilaian ini sangat menentukan tingkat kecemasan yang dialami keluarga pada situasi tertentu (Blackburn dkk, 1990). Dalam beberapa penelitian, keluarga gangguan jiwa sering menuturkan bahwa mereka sangat menderita dengan keadaan penderita gangguan jiwa yang semakin lama semakin tidak memiliki kedisiplinan dalam hidupnya yang terlihat dalam tingkah laku si penderita ( Blau & Hulse, 1963). Dalam hal ini sebenarnya si pederita gangguan jiwalah yang sangat menderita dengan apa yang dideritanya. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya keluarga mempunyai pengetahuan yang besar mengenai penyakit gangguan jiwa yang diderita oleh anggota keluarganya. Harriet Lefley seorang peneliti dalam bidang gangguan jiwadan sekaligus keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa mengemukakan
bahwa
gangguan
jiwa
yang
kebanyakan
gejalanya
dimanifestasikan dalam tingkah laku daripada fisiologisnya. Dimana tingkah laku ini paling sedikit memalukan keluarga dan yang paling banyak terjadi yaitu penderita gangguan jiwa dapat menakutkan dan dapat mengancam siapa saja
Universitas Sumatra Utara
apabila tidak diketahui bagaimana cara mengontrol penderita gangguan jiwa. Dalam penelitiannya juga diperoleh bahwa prilaku klien yang tidak terkontrol membuat keluarga frustasi, kehilangan harapan dan mengalami kecemasan (Gamache & Tessler, 2000; Lefley, 2001). Keluarga harus sejumlah masalah dari tingkah laku penderita dengan memberikan perhatian dan memutuskan secara bersama tindakan yang harus dilakukan dengan mencari masukan yang rasional serta memutuskan pengobatan yang akan diberikan.
2.1.2. Tingkat Kecemasan Peplau mengidenifikasi ansietas (cemas) dalam 4 tingkatan, setiap tingkatan memiliki karakteristik lahan persepsi yang berbeda tergantung kemampuan individu dalam menerima informasi pengetahuan mengenai kondisi yang ada dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya ( Haber et al, 1982 dalam Simanjuntak, 2006) Tingkatan ansietas yaitu : 1. Ansietas ringan
:
cemas yang normal yang menjadi bagian dari
kehidupan sehari- hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi belajardan menghasilkan pertumbuhan dan keativitas. 2. Ansietas sedang :
cemas yang memungkinkan seseorang unutk
memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat
melakukan sesuatu yang lebih terarah.
Universitas Sumatra Utara
3. Ansietas berat : Cemas ini sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Individu cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu ini memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada satu area lain. 4. Panik : Tingkat panic dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, Orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Rentang Respon Kecemasan
Respon Adaptif
Ringan
Respon Maladaptif
Sedang
Berat
Panik
2.1.3. Stressor Pencetus Kecemasan Menurut Carter dan McGoldrick (1989) dalam Simanjuntak (2006) ada dua stressor pencetus terjadi pengalaman ansietas dalam keluarga yaitu: 1.
Stressor
vertikal,
dilalui
oleh
beberapa
generasi
keluarga
berdasarkan system kepercayaan dan adanya tabu. Misalkan adanya
Universitas Sumatra Utara
anggota keluarga yang terkena ganguan jiwa merupakan suatu kutukan dari nenek moyangnya. 2.
Stressor
horizontal,
stressor
yang
diperoleh
keluarga
dari
lingkungan luar ( malu dengan anggota keluarganya yang dianggap sebagai aib) dan dari dalam lingkungan keluarga ( keluarga cemas dengan masa depan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa ) (March, 1995 dalam Simanjuntak, 2006)
2.1.4. Tingkat Kecemasan Menurut HARS (Halminton Anxiety
Rating
Scale) Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau sangat berat dengan menggunakan alat ukur yang dikenal dengan nama HARS (Halminton Anxiety Rating Scale). Nilai 0
= tidak ada gejala atau keluhan
Nilai 1
= gejala ringan
Nilai 2
= gejala sedang
Nilai 3
= gejala berat
Nilai 4
= gejala sangat berat
Penilaian derajat kecemasan: Score: <6
= tidak ada kecemasan
6 - 14
= kecemasan ringan
15 - 27
= kecemasan sedang
> 27
= kecemasan berat
Universitas Sumatra Utara
2.1.5. Penyebab Terjadinya Kecemasan a. Faktor Predisposisi Berbagai teori kecemasan telah dikembangkan untuk menjelaskan asal kecemasan (Suliswati, 2005 dalam Hafnizar, 2012) antara lain: 1) Teori Psikoanalitik Menurut Freud dalam Hafnizar (2012) kecemasan timbul sebagai akibat reaksi psikologi individu terhadap ketidakmampuan mencapai orgasme dalam hubungan seksual. Kecemasan dapat timbul secara otomatis sebagai akibat dari stimulus internaldan eksternal yang berlebihan. Ada dua tipe kecemasan yaitu kecemasan primer dan kecemaan subkuen. a) Kecemasan primer : penyebab kecemasan primer adalah keadaan ketegangan atau dorongan yang diakibatkan oleh faktor eksternal. b) Kecemasan subkuen : sejalan dengan peningkatan ego dan usia. Freud melihat ada dua jenis kecemasan lain akibat konflik emosi diantara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego berada kondisi bahaya. 2) Teori Interpersonal Sullivan dalam Hafnizar (2012) mengemukakan bahwa kecemasan timbul sebagai akibat ketidaknyamanan / ketidakmampuan untuk berhubungan nterpersonal dan sebagai akibat penolakan. Kecemasan itu bisa dirasakan bila individu mempunyai kepekaan lingkungan. Orang yang mudah mempunyai predisposisi mengalami kecemasan adalah orang yang mudah terancam, mempunyai opini negatif terhadap dirinya atau meragukan kemampuannya.
Universitas Sumatra Utara
3) Teori Prilaku Teori prilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan hasil frustasi akibat berbagai hal yang mempengaruhi individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan misalnya memperoleh pekerjaan, berkeluarga, kesuksesan, dalam sekolah. Prilaku merupakan hasil belajar dari pengalaman yang pernah dialaminya. 4) Teori Keluarga Studi pada keluarga dan epidemiologi memperlihatkan bahwa kecemasan selalu ada tiap-tiap keluarga dalam berbagai bentuk dan sifatnya heterogen. 5) Teori Biologik Menunjukkan bahwa otak mengandung benzodiazepine. Zat inidapat menekan neurotransmitter “gamma amino butyric acid (GABA) “ yang mengontrol aktifitas
neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan
kecemasan.
b. Faktor Presipitasi Faktor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat mencetuskan timbulnya kecemasan.Faktor presipitasi kecemasan dikelompokkan menjadi dua bagian(Suliswati, 2005 dalam Hafnizar, 2012): 1) Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas fisik meliputi : a) Sumber internal meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya hamil).
Universitas Sumatra Utara
b) Sumber eksternal meliputi paparan terhadap infeksi virusdan bakteri, polutan linkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal. 2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal, yaitu : a) Sumber internal, yaitu kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan tempat kerja. Penyesuaian terhadap peran baru, berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri. b) Sumber ekternal, kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.
2.1.6. Tanda Dan Gejala Kecemasan Menurut Kaplan dan Sadock (1997, dalam Hafnizar, 2012) kecemasan ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan dan samar-samar. Seringkali disertai oleh gejala
otonomik seperti nyeri kepala, berkeringat,
palpitasi, kekakuan pada dada, hipertensi, gelisah, tremor, gangguan lambung, diare. Seseorang yang cemas mungkin juga merasa gelisah seperti yang dinyatakan oleh ketidakmampuan untuk duduk atau berdiri lama. Kumpulan gejala tertentu yang ditemukan selama kecemasan cenderung bervariasi dari orang ke orang.
Universitas Sumatra Utara
2.1.7. Sumber Koping Individu dapat mengatasi cemas dengan menggerakkan sumber koping di lingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal ekonomik, kemampuan menyelesaikan masalah,dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman.
2.1.8. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Keluarga a) Umur Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan dalam penyelidikan – penyelidikan epidemiologi. Angka – angka kesakitanatau kematian dalam hamper semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur. Dengan cara ini dapat membacanya dengan mudah dan melihat pola kesakitan atau kematian golongan umur. Bila dihubungkan dengan tingkat pengetahuan, umur adalah variabel yang selalu diperhatikan bahwa semakin tua umur seseorang maka pengetahuan yang dimilikinya semakin baik, dikarenakan semakin banyak informasi yang didapatkan (Notoadmodjo, 2007). b) Pendidikan Perubahan prilaku kesehatan melalui cara pendidikan atau promosi kesehatan diawali
dengan
cara
pemberian
informasi-informasi
kesehatan.
Dengan
memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka, dan akhirnya
Universitas Sumatra Utara
akan menyebabkan orang berprilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan prilaku dengan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri ( bukan karena paksaan ) (Notoadmodjo, 2010) c) Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan suatu tanda yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lain, mana yang lebih beresiko mengalami kecemasan, gangguan pnik merupakan suatu gangguan cemas yang spontan dan episodik. Gangguan ini lebih sering dialami wanita daripada pria. (Syam, 2010 dalam Hafnizar, 2012)
2.2. Konsep prilaku kekerasan 2.2.1 Pengertian Prilaku Kekerasan Marah adalah ungkapan emosi individu terhadap kejadian yang dialami atau dirasakan dimana dianggap sebagai ancaman sehingga individu mengalami ketegangan. Marah adalah suatu keadaan emosional, yang merentang dari sifat mudah tersinggung hingga marah yang hebat (Kaplan & Sadock, 1998 dalam Wahyuni dkk, 2008). Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan / kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 2001 dalam Wahyuni dkk, 2008). Prilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
Universitas Sumatra Utara
tingkah laku tersebut (Purba, 2008). Ada 4 faktor yang mencakup prilaku tersebut yaitu : 1.
Tujuan untuk melukai atau mencelakakan
2.
Individu yang menjadi pelaku
3.
Individu yang menjadi korban
4.
Ketidakinginan si korban menerimatingkah laku individu. Morrison (1993) menambahkan bahwa prilaku kekerasan seperti prilaku
mencederai orang lain dapat berupa seperti perabot rumah tangga, membanting pintu, ancaman verbsl berupa kata –kata kasar, nada suara yang tinggi dan bermusuhan. 2.2.2. Penyebab Prilaku Kekerasan Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya prilaku kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Townsend (1996, dalam Wahyuni dkk, 2008) adalah : 1.
Teori biologik, teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap prilaku :
a)
Neurobiologik Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif : sitem limbic, lobus frontal, dan hipotalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistemlimbik merupakan system
informasi,ekspresi emosi,
perilaku, dan memori. Pabila ada gangguan pada system ini maka akan eningkatkan atau menurunkan potensial prilaku kekerasan. Adanya
Universitas Sumatra Utara
gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari system neurologis mempunyai implikasi mefasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlibat dalam menstimulasi timbulnya prilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif (Goldstein dikutip dari Townsend, 1996 dalam wahyuni dkk, 2008). b)
Biokimia Goldstein dikutip dari Townsend (1996, dalam Wahyuni dkk, 2012) menyatakan bahawa berbagai neurotransmitter ( epinephrine, norepinefrin, dopamine, asetikolin, dan serotonin ) sanat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif, Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teori tentang respon terhadap stress.
c)
Genetik Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetic karyotype XYY.
d)
Gangguan Otak Sindroma otak organic terbukti sebaai faktor predisposisi prilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang system limbik dan lobus temporal ; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi, khususnya lobus
Universitas Sumatra Utara
temporal, terbukti berpengaruh terhadap prilaku agresif dan tindak kekerasan.
2.
Teori psikologik a. Teori psikoaanalitik
: teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya
kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengaibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dantindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Prilaku agresif dan prilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri. b. Teori pembelajaran : Anak belajar melalui prilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika prilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orangtua mereka selama tahap perkembangan awal namun, dengan perekembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola prilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak – kanak atau mempunyai orangtua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung berprilaku kekerasan setelah dewasa (Owens & Strauss dikutip dari Townsend, 1996 dalam Wahyuni dkk, 2012)
Universitas Sumatra Utara
3.
Teori sosiokultural Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap prilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umummenerima prilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada prilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan
dan
keinginan
mereka
tidak
dapat
terpenuhi
secara
konstruktif.Penduduk yang ramai / padatdan lingkungan yang rebut dapat beresiko untuk prilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasandalam hidup individu.
2.2.3. Tanda dan Gejala Prilaku Kekerasan a) Muka merah dan tegang b) Pandangan tajam c) Mengatupkan rahang dengan kuat d) Mengepalkan tangan e) Jalan mondar – mandir f) Bicara kasar g) Suara tinggi, menjerit, atau berteriak. h) Mengancam secara verbal atau fisik i) Melempar atau memukul benda / orang lain. (Purba dkk, 2010)
Universitas Sumatra Utara
2.3. Keluarga 2.3.1. Defenisi Keluarga Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homeostasis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota keluarganya dari adanya gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya. Usaha kesehatan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya yang mengalami gangguan kesehatan mental (Notosoedirdjo & latipun, 2005 dalam Simanjuntak, 2006). Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil ysng umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak, dimana hubungan sosial diantara anggota keluarga relatif tetapdan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan/atau adopsi yang dijiwaioleh suasana kasih sayangdan rasa tanggung jawab (Khairuddin,1997 dalam Simanjuntak, 2006). Sebagian dari tugasnya untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya, keluarga perlu menyusun dan menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan berdasarkan atas apakah anggota keluarga yakin menjadi sehatdan mencari informasi mengenai kesehatan yang benar yang dapat bersumber dari petugas kesehatan langsung ataupun dari media massa (Yankelovitch et al,1997 dikutipdari Friedman, 1998 dalam Simanjuntak, 2006).
Universitas Sumatra Utara
2.3.2. Kecemasan Keluarga Dalam Merawat Pasien Prilaku Kekerasan Fenomena yang terjadi dalam masyarakat dimana anggapan tentang Prilaku kekerasan adalah penyakit yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak rasional ataupun supranatural sehingga lebih banyak diobati secara non medis. Stigma negatif ini masih berkembang di masyarakat kalau penyakit dan gangguan mental ini merupakan penyakit “kutukan” atau penyakit “karma” sehingga fenomena pengasingan, pemasungan dan penanganan yang berbau tahayul lainnya adalah cermin ketidaksiapan keluarga dan merupakan sumber kecemasan keluarga itu sendiri. Halini merupakan suatu sumber stressor bagi keluarga karna dianggap sebagai aib dalam keluarga. Akan tetapi penderita Prilaku kekerasan sangat membutuhkan
perhatian
dari
masyarakat
terutama keluarganya,
Karena
lingkungan psikologis yang paling erat bagi perkembangan kepribadian individu adalah keluarga (Setiadi, 2006). Pandangan keluarga tentang penderita gangguan jiwa dengan gejala-gejala prilaku kekerasan selalu diidentikkan penyebabnya oleh karena kerasukan setan (Videbeck, 2008). Maka dari itu penderita gangguan jiwa tidak dibawa berobat ke “dokter” melainkan hanya dibawa ke orang “pintar” (Hawari, 2007), bahkan masyarakat maupun dari pihak keluarga dengan sengaja mengasingkan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, karena jika menampakkan gejala gangguan jiwa dianggap kemasukan roh halus,dijauhi, diejek, dikucilkan dari masyarakat normal (Videbeck, 2008). Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Depkes RI (2006) bahwa penanganan gangguan jiwa di Indonesia dilakukan dengan cara dipasung oleh
Universitas Sumatra Utara
sebagian kalangan, bahkan keluarga dengan sengaja mengasingkan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa karena dianggap aib. Demikian juga ketika keluarga mengetahui salah satu angota keluarganya mulai menampakkan gejala gangguan jiwa dianggap kemasukan roh halus. Keluarga memilih membawanyake dukun, bukan ke dokter jiwa. Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik yang sering ditemukan dan merupakan suatu emosi yang normal. Menurut Minister Supply And Sevice Canada, (2005) mengungkapkan keluarga seringkali merasa cemas dan resah merawat pasien, karena penderita bahkan tidak mengetahui kalau dirinya sedang sakit. Kekambuhan cukup sering terjadi setelah pasien kembali dari Rumah Sakit Jiwa. Hal ini disebabkan karena keluarga tidak siap dan tidak memiliki informasi cukup dengan adanya anggota keluarga yang menderita prilaku kekerasan (Setiadi, 2006). Data yang didapatkan dari study pendahuluan pada tanggal 20 Oktober 2011 berdasarkan hasil wawancara dengan empat orang keluarga pasien prilaku kekerasan mengatakan bahwa keluarga merasa bingung dan cemas bila penderita berulangkali dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Jika penderita tidak dibawa segera ke Rumah Sakit Jiwa keluarga merasa takut dan khawatir serta tidak tahu apa yang harus dilakukan saat penderita mulai mengamuk atau mengurung diri. Hal yang sama juga disampaikan oleh perawat yang menangani pasien di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wedidiodiningrat Lawang. Bahkan seringkali keluarga merasa bosan dan meminta agar penderita dapat diperbolehkan tinggal di Rumah Sakit Jiwa selamanya (Maemunah, 2012).
Universitas Sumatra Utara
Menurut YIP (2005) penelitiannya yang dilakukan di China terhadap keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan Prilaku Kekerasan, diperoleh bahwa 90% keikutsertaan keluarga dalam pengobatan psikiatris dan rehabilitative klien mampu mengembalikan kondisi klien ke keadaan normal (YIP, 2005). Beberapa survey pada beberapa orang dengan anggota keluarga yang mengalami Prilaku Kekerasan diperoleh bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan keluarga tidak aktif dalam memberikan perhatian dan pengobatan pada penderita Prilaku Kekerasan. Masalah teridentifikasi yang dialami oleh keluarga yaitu meningkatnya stress dan kecemasan keluarga, sesama keluarga saling menyalahkan, kesulitan pemahaman (kurangnya pengetahuan keluarga) dalam menerima sakit yang diderita oleh anggota keluarganya yang mengalami Prilaku Kekerasan dan pengaturan sejumlah waktu dan energi keluarga dalam menjaga serta merawat penderita Prilaku Kekerasan dan keuangan yang akan dihabiskan pada penderita gangguan jiwa (Biegel et al, 1995).
Universitas Sumatra Utara