ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA (Tinjauan Pasca Penerapan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara) Azalia Fajri Septihani dan Ning Rahayu
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK UU No. 4 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 1967 mengatur secara keseluruhan hal-hal yang UU No. 4 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 1967 yang dirasa sudah tidak sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini, mengatur secara keseluruhan hal-hal yang terkait dengan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, termasuk di dalamnya ketentuan perpajakan. Penelitian ini dilakukan untuk memaparkan tinjauan mengenai implementasi kebijakan pajak penghasilan badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, tujuan penelitian deskriptif dan teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pajak penghasilan badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara pasca berlakunya Undang-undang No. 4 Tahun 2009 memberikan dampak positif bagi implementor dari segi kemudahan pelaksanaan, namun kebijakan ini menghambat tercapainya tujuan kebijakan pajak tersebut. Kata kunci:
pajak penghasilan badan, pertambangan, mineral, batubara, renegosiasi kontrak, implementasi kebijakan
ABSTRACT Mining Law No. 4/2009, which replaces Mining Law No. 11/1967 which considered no longer suitable with Indonesia’s current condition, regulates mining activities in Indonesia as a whole, including taxes. This research is aimed to provide an overview regarding the implementation of corporate income tax policy on mining industries in Indonesia. Qualitative approach used as the method of this research. This descriptive researc used in depth interview and literatur study as data collection technique. The results of this study indicate that, the corporate income tax policy on the mining industries had a postive impact for the implementor in terms of procedure, but the policy turns out to be one of the inhibiting factors for the purpose of its tax policy to be achieved. Key words: corporate income tax, mining, coal, contract renegotiation, policy implementation
1.
Pendahuluan Negara Indonesia sejak dulu terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya baik di
bidang perkebunan, pertanian, perikanan, dan bahkan pertambangan. Salah satu sumber daya alam yang berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah pertambangan. Sejarah pertambangan dan energi di Indonesia dimulai dengan kegiatan pertambangan yang dilakukan secara tradisional oleh penduduk dengan seizin penguasa setempat. seperti, Raja, ataupun Sultan. Sampai dengan 2010, berdasarkan data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral,
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
total sumber daya batubara di Indonesia diperkirakan mencapai 104 miliar ton, dimana cadangan batu bara diperkirakan mencapai 21 miliar ton. Tidak hanya itu, berdasarkan data Indonesia Mining Association (IMA) yang dikutip oleh Himpunan Pemerhati Lingkungan Hidup Indonesia (HPLHI), Indonesia menduduki peringkat 6 sebagai negara terkaya akan sumber daya tambang. Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan produksi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2012:
Gambar 1.1 Produksi Mineral dan Batubara di Indonesia Tahun 2000-2012 Sumber: PricewaterhouseCooper Investment & Taxation Guide Mining in Indonesia 5 th Edition May 2013
Dapat terlihat dari grafik di atas, bahwa sejak tahun 2007, produksi pertambangan batubara di Indonesia mengalami peningkatan secara signifikan, yaitu meningkat sebesar 16% per tahun selama 5 tahun terakhir. Saat ini, 75% dari total produksi batubara diekspor, terutama ke Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Eropa. Diikuti dengan nikel dan timah yang cenderung stabil sejak tahun 2009. Terdapat sedikit penurunan pada pertambangan emas dan tembaga namun beranjak meningkat pada tahun 2011. Dengan tingginya permintaan lokal dan pasar global dalam sektor pertambangan, maka dibutuhkan iklim investasi yang menarik sehingga investor dapat menanamkan modalnya untuk dapat melakukan eksplorasi lebih jauh dan meningkatkan jumlah produksi.
Setelah kurang lebih 42 tahun diundangkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (“UU Minerba Lama”). yang mengatur kegiatan pertambangan di Indonesia akhirnya dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Permasalahan terbesar dari Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 adalah sistem perjanjian atau kontrak dengan perusahaan pertambangan mineral dan batubara. Dalam pertambangan mineral, dikenal istilah Kontrak Karya (KK), sementara dalam industri pertambangan batubara disebut dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sistem kontrak karya yang mengatur tentang operasional pertambangan
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
telah memegang kunci utama dalam kesuksesan Indonesia dalam industri pertambangan mineral dan batubara pada masanya. Sistem kontrak menempatkan negara dan perusahaan pertambangan secara sejajar. Kesejajaran antara negara dan perusahaan pertambangan menyebabkan negara berada dalam posisi yang sulit ketika berhadapan dengan perusahaan pertambangan pada saat perumusan pembaruan kontrak, penarikan royalti dan pajak, juga di saat kasus-kasus lingkungan dan sosial bermunculan. Posisi negara yang lemah pada masa berlakunya Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 itulah, yang berusaha untuk dirubah oleh pemerintah. Dengan menimbang bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, maka, oleh sebab itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan serta dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan dalam pengaturan pertambangan di Indonesia. Pada bulan Januari tahun 2009, disahkanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka terjadi perubahan rezim dalam tata kelola industri pertambangan nasional. Perubahan yang terjadi dengan sangat signifikan adalah perubahan sistem dari kontrak/perjanjian menjadi sistem perizinan. Istilah-istilah seperti KK, PKP2B dan KP diganti menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Selanjutnya, dalam ketentuan peralihan UU No. 4 tahun 2009 ini disebutkan bahwa semua kontrak pengusahaan pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya UU No. 4 tahun 2009 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa kontrak dengan negosiasi yang akan dilakukan selanjutnya untuk menyesuaikan dengan peraturan yang baru. Dibawah berjalannya undang-undang mineral dan batubara, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki peranan yang penting dalam industri pertambangan mineral dan batubara dengan menetapkan peraturan nasional terkait dengan pertambangan, standar operasional, petunjuk pelaksanaan, hingga kriteria yang diperlukan dalam proses otorisasi. Selanjutnya, pemerintah juga akan lebih aktif terlibat dalam pengembangan, kontrol, evaluasi, dan penyelasian konflik yang terjadi terkait dengan pertambangan mineral dan batubara. Selain itu, pemerintah pusat juga dapat menetukan area-area mana saja yang dapat dilakukan penambangan, walaupun pemetaan terkait area-area yang diperbolehkan untuk dilakukan penambangan sampai dengan tanggal
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
disahkannya peraturan ini belum selesai dilakukan. Dengan mekanisme ini, diharapkan pemerintah pusat dapat memiliki kontrol lebih terkait dengan area yang diperbolehkan untuk dilakukan penambangan sehingga mengurangi kemungkinan bersinggungannya area pertambangan dengan area yang dilindungi dengan tujuan khusus seperti hutan. Selain itu, dhiharapkan juga dengan berlakunya Undang-undang Mineral dan Batubara dapat memberikan kepastian hukum yang dibutuhkan kepada investor untuk dapat memberikan investasi baru dan mengokohkan posisi Indonesia sebagai kekuatan pertambangan dunia. Perubahan-perubahan tersebut merupakan hal yang menarik untuk diteliti mengingat bahwa perubahan sistem kegiatan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara ini merupakan hal yang sangat krusial dalam dunia pertambangan di Indonesia. Dengan melihat implementasi atas penerapan kebijakan perpajakan pada pajak penghasilan badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara pasca berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, dapat diperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi dari kebijakan pajak tersebut. Selain itu, analisis implementasi tersebut juga dapat memberikan informasi apakah implementasi dari kebijakan pajak penghasilan badan yang berlaku saat ini telah sesuai dengan kondisi dan karakteristik dari industri pertambangan Indonesia dari segi perpajakan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi iklim investasi pertambangan di Indonesia.
2.
Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini, terdapat beberapa konsep yang menjadi acuan dalam kerangka
berpikir dan melakukan analisis atas informasi yang didapatkan di lapangan yakni teori mengenai kebijakan publik dengan memfokuskan pada konsep implementasi kebijakan, konsep kontrak karya, dan hukum pajak. Terkait dengan kebijakan publik, Merilee S. Grindle sebagaimana dikutip oleh Wahab, mengatakan, bahwa pelaksanaan kebijakan adalah suatu hal yang penting, atau bahkan lebih penting daripada proses pembuatan kebijakan, dan kebijakan hanya akan menjadi sepuah mimpi atau rencana bagus yang hanya tersimpan dengan rapi di dalam arsip bila tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, maka implementasi merupakan suatu tahapan kebijakan publik yang memegang peranan yang sangat penting. Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier atau lebih dikenal dengan Mazmanian dan Sabatier (Wahab, 2012, 175) memaknai implementasi dengan memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman
kebijakan
negara
yang
mencakup
baik
usaha-usaha
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menumbulkan akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut, dapat dikatakan bahwa proses implementasi kebijakan sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut dan menimbulkan ketaatan pada diri dari kelompok-kelompok yang ditujukan dari kebijakan, melainkan juga berkaitan dengan jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, yang kemudian dapat berpengaruh terhadap dampak yang diharapkan maupun tidak. Mazmanian dan Sabatier mengembangkan “kerangka kerja analisis implementasi” (Wahab, 2012, 176). Menurutnya, peran penting analisis implementasi kebijakan negara ialah mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh Mazmanian dan Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga faktor umum, yaitu: (1) faktor masalah yang mencakup tingkat kesulitan masalah, keragaman perilaku kelompok sasaran, dan tingkat ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan; (2) faktor kebijakan yang mencakup kecermatan dan kejelasan peraturan, keterandalan teori kausalitas yang digunakan, keterpaduan hierarki dalam dan antara lembaga pelaksana, aturan keputusan dari lembaga pelaksana, dan akses formal pihak luar, (3) dan faktor lingkungan yang mencakup kondisi sosial ekonomi dan teknologi, sikap dan sumber daya yang dimiliki kelompok sasaran, serta komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana. Untuk melihat bagaimana implementasi dari kebijakan tersebut, maka perlu diketahui terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Pajak Penghasilan Badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara. Dari faktor-faktor tersebut, kemudian dapat diketahui bagaimana implementasi dari kebijakan tersebut berdasarkan tahapan implementasinya.
3.
Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif sebagaimana dikatakan oleh Creswell, bahwa penelitian kualitatif adalah sebuah proses pemahaman yang didasarkan pada pertanyaan yang mengeksplor permasalahan sosial, dalam melakukan penelitian ini, peneliti menganalisis kata-kata, melaporkan secara rinci informasi yang bersala dari narasumber, serta melakukan penelitian dalam suatu ruang lingkup, yang pada penelitian ini, peneliti ingin menganalisis bagaimana implementasi perubahan peraturan terkait pajak penghasilan atas bidang usaha pertambangan mineral dan
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
batubara di Indonesia pasca berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Jenis penelitian dapat diklarifikasikan menjadi, (1) jenis penelitian berdasarkan tujuan, (2) berdasarkan manfaat penelitian, (3) berdasarkan dimensi waktu, dan (4) berdasarkan teknik pengumpulan data. Jenis penelitian berdasarkan tujuan yang digunakan peneliti pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini bersifat deskriptif karena tujuan penulis adalah untuk menggambarkan secara lengkap tentang fenomena implementasi kebijakan pajak penghasilan di bidang usaha pertambangan mineral dan batubara dan juga penulis ingin menggambarkan permasalahan apa saja yang terjadi sehingga hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Neuman mengenai penelitian deskriptif yang bertujuan untuk memberi gambaran dari situasi yang detail, keadaan sosial atau sebuah hubungan yang dimana hasilnya adalah sebuah gambaran detail dari sebuah subjek. Selanjutnya, jenis penelitian yang digunakan peneliti berdasarkan menfaatnya adalah penelitian murni. Penelitian murni menjadi sumber gagasan dan pemikiran serta mendukung teori menjelaskan bagaimana terjadinya suatu peristiwa. Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini tergolong penelitian cross sectional dimana penelitian ini hanya dilakukan dalam satu waktu saja. Menurut Prasetyo dan Jannah (2005), penelitian cross sectional adalah penelitian yang hanya digunakan dalam waktu yang tertentu dan tidak dilakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan. Berikutnya, jenis penelitian berdasarkan teknik pengumpulan data, penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif, menggunakan wawancara mendalam, dan studi literatur dalam melakukan penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis data sesuai dengan teknik analisis data yang diuraikan oleh Tesch dan Moleong dalam masing-masing buku mereka, dalam tahapan awal analisis data peneliti memulai dengan mengorganisasikan data dari hasil wawancara dengan informan-informan dan kemudian memilah-milahnya menjadi satuan data yang dapat dikelola. Kemudian, peneliti melakukan analisis atas data yang telah dimiliki dan mempelajarinya untuk dapat menjawab permasalahan yang diangkat. Dalam analisis data, dan tidak semua data yang didapat oleh peneliti dituangkan kedalam pembahasan, peneliti akan mengambil keputusan mengenai data yang ditampilkan dalam pembahasan dan data yang tidak ditampilkan dalam pembahasan terkait dengan tema dan batasan penelitian. Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti menghadirkan beberapa informan yang menurut peneliti dapat membantu peneliti dalam melakukan penelititan terhadap perubahan kebijakan pajak penghasilan pada bidang usaha pertambangan mineral dan batubara, antara lain pihak Direktorat Jenderal Pajak yang diwakili oleh Direktorat Peraturan Perpajakan II dan
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
Direktorat Potensi Kepatuhan dan Penerimaan, pihak KPP Wajib Pajak Besar 1 yang diwakili oleh Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi 1, 2, dan 3, kemudian pihak Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian ESDM, akademisi, perwakilan dari Indonesia Mining Associaton, praktisi perpajakan, dan juga praktisi hukum. Keterbatasan penelitian yang ditemui oleh peneliti adalah kurangnya literatur mengenai industri pertambangan mineral dan batubara, sehingga peneliti hanya mengandalkan data dari hasil wawancara. Selain itu terdapat data-data yang tidak bisa didapatkan oleh peneliti untuk dapat menganalisis lebih lanjut, seperti data kepatuhan dari Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Wajib Pajak Besar 1, dan juga contoh poin renegosiasi kontrak yang tertulis dalam surat yang diberikan oleh pihak pemerintah kepada pemegang kontrak. Maka, dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengandalkan informasi yang berasal dari narasumber serta literatur terkait dengan pertambangan secara umum. Triangulasi narasumber dilakukan dengan crosscheck informasi dari sumber lainnya dan menggunakan informan yang berbeda. Triangulasi dilakukan dengan cara mewawancarai pihak-pihak yang terlibat di dalam implementasi kebijakan Pajak Penghasilan Badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara, yaitu Direktorat Peraturan Perpajakan II dan Direktorat Potensi Kepatuhan dari Direktorat Jenderal Pajak, Finance and Tax Chairman Indonesia Mining Association, praktisi hukum, akademisi, dan praktisi perpajakan.
4.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pajak Penghasilan Badan Pada Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pajak penghasilan badan pada usaha pertambangan mineral dan batubara pasca diterapkannya Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan publik yang dipaparkan oleh Mazmanian dan Sabatier. Dalam teorinya, terdapat 3 faktor utama yang harus diperhatikan dalam menganalisis implementasi kebijakan publik, yaitu faktor masalah, kebijakan, dan lingkungan. Berikut ini adalah analisis dari faktor-faktor tersebut: 4.1.1 Faktor Masalah Mazmanian
dan
Sabatier
sebagaimana
dikutip
oleh
Wahab
(2012,
179)
mengidentifikasikan faktor masalah sebagai mudah atau tidaknya suatu masalah dikendalikan. Beberapa indikator dalam faktor masalah ini terbagi kedalam tingkat kesulitan masalah, keragaman objek, dan cakupan perubahan yang dikehendaki. Tingkat kesulitan masalah
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
berkaitan dengan tercapai atau tidaknya tujuan suatu program akan sangat tergantung pada kesukaran-kesukaran teknis yang ditemukan dalam lapangan, karena dengan mudahnya dikendalikan suatu kendala teknis dalam lapangan, maka suatu kebijakan akan lebih mudah untuk diimplementasikan. Kesulitan dari pengimplementasian kebijakan Pajak Penghasilan Badan pada usaha pertambangan mineral dan batubara sebagaimana diungkapkan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak dan KPP Wajib Pajak Besar 1 terletak pada koordinasi antara masing-masing implementor serta peraturan yang belum sepenuhnya mendukung pemenuhan potensi penerimaan negara. Keterbatasan data yang dimiliki oleh DJP yang disebabkan oleh sulitnya pertukaran data antar lembaga berdampak pada sulitnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak DJP untuk memastikan tidak adanya penerimaan negara yang tidak terdeteksi. Selain kendala-kendala teknis yang ada di lapangan, kesulitan dalam pengimplementasian kebijakan tersebut juga disebabkan oleh adanya perbedaan bentuk legalitas yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan mineral dan batubara yang berlaku saat ini. Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 169 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, KK ataupun PKP2B tetap berlaku hingga masa berakhirnya kontrak tersebut dengan penyesuaian terhadap Undangundang No. 4 Tahun 2009 melalui proses renegosiasi. Terdapat enam isu strategis yang menjadi pokok bahasan dalam proses renegosiasi kontrak tersebut, yaitu luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan barang/jasa pertambangan dalam negeri. Sampai dengan saat ini, proses renegosiasi kontrak tersebut masih belum menemukan titik temu antara pihak pemerintah dengan pengusaha. Hal tersebut mengakibatkan implementasi dari kebijakan pajak penghasilan badan yang diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009 belum berjalan dengan efektif terhadap perusahaan-perusahaan pemegang kontrak karena tidak adanya rasa kewajiban untuk mengikuti secara penuh ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut yang didasari pada kepemilikan kontrak yang dimilikinya. Keragaman objek berkaitan dengan semakin beragam perilaku yang diatur, maka semakin sulit upaya untuk membuat sebuah kebijakan menjadi tegas dan jelas. Secara umum, pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara bersifat seperti layaknya pelaku ekonomi, yang bila ditinjau lebih jauh, karakteristik dari perusahaan pertambangan mineral dan batubara dapat dikategorikan berdasarkan skala usaha serta bentuk legalitas yang dimilikinya. Pelaku ekonomi yang dimaksud dalam hal ini adalah karakteristik dari sebuah subjek untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar bila dikaitkan dengan karakteristik dari usaha pertambangan mineral dan batubara itu sendiri,
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
yaitu padat modal dengan risiko tinggi, serta return on investment yang cenderung lama. Berikutnya, karakteristik dari pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara saat ini juga dapat dilihat berdasarkan skala usaha pertambangannya. Bagi pengusaha pemegang kontrak, baik kontrak karya maupun PKP2B, secara umum usaha pertambangan yang dimiliknya berskala nasional maupun internasional, sedangkan bagi para pemagang Izin Usaha Pertambangan, mayoritas berskala lokal. Untuk pengusaha dengan skala usaha nasional maupun internasional yang telah terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar 1, baik pemegang KK dan PKP2B maupun pemegang Izin Usaha Pertambangan, tingkat kepatuhan dalam hal pelaksanaan kewajiban perpajakan tergolong tinggi. Tingkat kepatuhan yang dimaksud ditinjau berdasarkan pemenuhan kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan dimana seluruh perusahaan yang terdaftar dalam KPP Wajib Pajak Besar 1 melaporkan SPT-nya serta pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya seperti pemotongan terhadap pihak ketiga dan lain sebagainya. Sebagaimana dikatakan oleh Yan Novika, staff Seksi Potensi Sektor Industri, Direktorat Potensi Penerimaan, dan Kepatuhan Direktorat Jenderal Pajak, tingkat kepatuhan dari pengusaha dipengaruhi oleh skala usaha yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan semakin besar usaha yang dimilikinya, maka akan semakin baik pula manajemen perusahaan yang dijalankannya. Hal ini berpengaruh pada lebih mudahnya pengawasan yang dapat dilakukan oleh DJP maupun KPP Wajib Pajak Besar 1 dalam pelaksanaannya. Selanjutnya, adalah cakupan perubahan yang dikehendaki, yaitu semakin besar jumlah perubahan perilaku yang dikehendaki, maka akan semakin sulit untuk tercapainya implementasi yang baik. Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan bahwa dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan agar dapat menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan dalam pengaturan pertambangan di Indonesia. Dalam hal pajak penghasilan badan yang juga diatur secara tersirat di dalam Undang-undang tersebut, diputuskanlah untuk menggunakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku umum dengan pertimbangan bahwa karakteristik dari industri pertambangan mineral dan batubara saat ini secara umum sama dengan jenis industri lainnya dan agar dapat menciptakan iklim investasi yang lebih menarik bagi investor. Dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku umum, maka untuk pajak penghasilan badan bagi industri pertambangan mineral dan batubara saat ini mengacu pada Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, dimana tarif pajak penghasilan badan yang berlaku adalah sebesar 25% dan 20%
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
untuk perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia. Tarif tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan tarif yang digunakan dalam masa kontrak dimana tarif yang digunakan bervariasi antara 30 – 45%. Hal inilah yang diharapkan oleh pemerintah dapat meningkatkan daya saing Indonesia sebagai negara tujuan untuk investasi di bidang industri pertambangan mineral dan batubara. Selain itu, fasilitas perpajakan yang diberikan saat ini juga mengarahkan pada kegiatan hilir pertambangan, dimana hal tersebut sesuai dengan salah tujuan pemerintah dalam penerapan Undang-undang No. 4 Tahun 2009. Ketentuan terkait fasilitas perpajakan yang diberikan saat ini diatur dalam PMK No. 130 Tahun 2011 yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 52 Tahun 2011. Fasilitas-fasilitas perpajakan pada bidang pertambangan mineral dan batubara saat ini antara lain adalah untuk besi dan baja yang digunakan untuk produksi, pengolahan emas dan perak, pengolahan kuningan, alumunium, zinc, dan nikel tertentu, penggalian bahan logam dan non-logam mentah tertentu. Fasilitas perpajakan ini hanya berlaku untuk aktivitas-aktivitas yang berlangsung di luar Pulau Jawa. Bentuk fasilitas yang dapat diberikan adalah 30% kredit investasi, percepatan depresiasi dan amortiasi, pengurangan pemotongan pajak atas dividen, dan penambahan jangka waktu pembebanan kerugian pajak dari 5 tahun hingga paling lama 10 tahun dari tahun kerugian. Secara ringkas, berikut ini adalah tabel perbandingan antara perlakuan pajak penghasilan badan dan hal-hal yang terkait antara sistem kontrak dan sistem Izin Usaha Pertambangan: Tabel 4.1 Perbandingan Perlakuan Hal-Hal yang Terkait dengan Pajak Penghasilan Badan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dengan Sistem Kontrak dan Sistem Izin Usaha Pertambangan Objek Tarif Pajak Penghasilan Badan Jangka Waktu Kompensasi Kerugian
Perhitungan Depresiasi & Amortisasi
Fasilitas Investasi Debt Equity Ratio Kewajiban Angsuran Pajak Penghasilan
KK & PKP2B Bervariasi (30%, 35%, dan 45%) Bervariasi (4, 5, 8 tahun, atau tidak terbatas) Bervariasi (12,5% atau penyutan dengan tarif berganda dari peraturan domestik) Percepatan perhitungan depresiasi dapat dilakukan oleh pemegang PKP2B Generasi 1 dan 3. 20% (5% per tahun) untuk generasi awal KK dan PKP2B 1,5:1 ; 3:1 ; 5:1 ; 8:1 1/12 dari besarnya pajak penghasilan yang terutang
IUP 25% 5 Tahun
Berdasarkan klasifikasi aktiva dan masa manfaat Dapat menggunakan metode garis lurus maupun penyusutan berganda
Bervariasi, diberikan untuk kegiatan pengolahan hasil tambang N/A 1/12 dari besarnya Pajak Penghasilan yang terutang
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan tahun pajak sebelumnya PKP2B Generasi 1 membayar 1% dari keuntungan bulanannya 8 – 10 Tahun
Statute of Limitation Fasilitas/Kenikmatan/Natura untuk Pegawai pada Lokasi Dapat dibebankan Tambang Dapat dibebankan dengan Biaya Sebelum Pendirian persetujuan KPP dan telah diaudit oleh akuntan publik Untuk KK dan PKP2B generasi baru dapat Pencadangan Biaya dibebankan dengan kondisi Reklamasi tertentu (jaminan pada bank negara, persetujuan DJP, dan telah diaudit) Pencadangan Biaya Tidak diatur Penutupan Tambang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun sebelumnya.
5 Tahun Dapat dibebankan dengan persetujuan DJP Dapat dibebankan
Dapat dibebankan
Tidak diatur
Sumber: Investment and Taxation Guide – Mining in Indonesia 2013, PricewaterhouseCoopers, May 2013 (diolah oleh peneliti)
4.1.2 Faktor Kebijakan Mazmanian dan Sabatier sebagaimana dikutip oleh Wahab (2012: 183) mendefinisikan faktor kebijakan sebagai kemampuan suatu kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi. Faktor kebijakan ini terbagi menjadi berbagai indikator, dimana dalam penelitian ini, indikator yang digunakan antara lain kecermatan dan kejelasan kebijakan, keterandalan teori kausal yang dipergunakan, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, konsistensi peraturan pelaksana dari lembaga pelaksana dan akses formal pihak luar. Kecermatan dan kejelasan kebijakan berkaitan dengan bahwa suatu kebijakan dapat terimplementasikan dengan baik apabila suatu kebijakan telah didefinisikan dengan cermat dan jelas dalam suatu peraturan. Undang-undang No. 4 Tahun 2009 mengamanahkan bahwa kewajiban perpajakan atas usaha pertambangan mineral dan batubara mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku umum atau biasa disebut dengan prevailing, dimana sesuai dengan ketentuan tersebut, ketentuan yang berlaku terkait dengan Pajak Penghasilan bagi usaha pertambangan mineral dan batubara mengacu pada Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Mansury sebagaimana dikutip oleh Rosdiana dan Irianto mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan pajak adalah kebijakan dalam arti sempit, yang bermakna sebuah kebijakan yang berhubungan dengan penentuan pajak apa
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
yang dipungut, siapa saja yang akan dikenakan pajak, apa saja yang akan dijadikan objek pajak, bagaimana menentukan besarnya dasar perhitungan pajak terutang, serta bagaimana prosedur-perosedur pelaksanaan kewajiban pajak terutang (Rosdiana dan Irianto, 2012, 84). Ditinjau dari apa yang dikatakan oleh Mansury, Undang-undang No. 36 Tahun 2008 sebagai peraturan yang menjadi acuan dari kebijakan pajak penghasilan badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara telah memenuhi syarat-syarat dari kebijakan pajak yang baik sebagaimana dikatakan oleh Mansury, karena telah menjelaskan cakupan dari poin-poin kebijakan pajak tersebut secara jelas, namun, masih terdapat beberapa hal yang berada dalam grey area yang tidak dijelaskan secara jelas dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan pajak penghasilan badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara pasca Undang-undang No. 4 Tahun 2009, seperti dalam hal debt equity ratio yang sebelumnya di atur dalam masing-masing KK maupun PKP2B. Keterandalan teori kausal yang dipergunakan berkaitan dengan setiap kebijakan seharusnya didukung oleh sebuah teori sebagai dasar dari diciptakannya kebijakan tersebut. Dalam implementasinya, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 diberlakukan untuk seluruh pengusaha pertambangan mineral dan batubara, baik pengusaha dengan bentuk legalitas kontrak maupun Izin Usaha Pertambangan, dimana diamanahkan dalam Pasal 169 Undangundang No. 4 Tahun 2009 bahwa KK ataupun PKP2B tetap berlaku hingga masa berakhirnya kontrak tersebut dengan penyesuaian terhadap Undang-undang No. 4 Tahun 2009. Atas penyesuaian yang diajukan tersebut, pemerintah selaku salah satu pihak yang berkontrak telah menempuh prosedur yang sesuai dengan ketentuan mengenai asas berkontrak dimana perubahan kesepakatan dapat dilakukan dengan persetujuan oleh kedua belah pihak. Ditinjau dari asas hukumnya, Ismail Suny mendefinisikan kontrak karya sebagai kerja sama modal asing dalam bentuk kontrak karya (contract of work) yang terjadi apabila penanaman modal asing membentuk satu badan hukum hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan kerjasama dengan satu badan hukum yang mempergunakan modal nasional (Salim, 2004). Secara lebih rinci, Salim H.S. mendefinisikan kontrak karya sebagai suatu perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Indonesia/pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau merupakan patungan antara badan hukum asing dengan badan hukum domestik untuk melakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi dalam bidang pertambangan umum, sesuai dengan jangka waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Salim, 2004).
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
Berikutnya, menurut Soemitro dan Dewi (2004, 21) sebagai konsekuensi bahwa hukum pajak adalah bagian dari jenis hukum lainnya, perlu terlebihi dahulu dikuasai asas – asas hukum seperti lex specialis derogate lex generalis, lex posterior derogate lex anterior, pacta sunt servanda dan lex locus contractus. Lex specialis derogate lex generalis adalah asas hukum dimana hukum yang lebih khusus menyampingkan hukum yang bersifat umum. Hukum umum ialah hukum yang berlaku umum dan merupakan hukum dasar, sedangkan hukum khusus adalah hukum yang bersifat lebih sempit yang berdasarkan pada hukum umum (Mertokusumo, 1999, 122). Dalam hal kedudukan antara KK dan PKP2B dengan perundangundangan di Indonesia, KK dan PKP2B bersifat lex specialis derogate lex generalis, karena apa yang diatur dalam kontrak merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang berada di dalam kesepakatan, termasuk di dalamnya hukum pajak yang tercantum dalam kontrak. Selanjutnya, dalam Manan (2004, 56) disebutkan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogate lex generalis, yaitu : a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; dalam hal ketentuan penerimaan negara dalam KK dan PKP2B, telah diatur hal-hal yang berkaitan dengan penerimaan negara baik penerimaan negara yang berasal dari pajak maupun bukan pajak. Ketentuan yang diatur di dalam kontrak meliputi tarif pajak dan royalti, biaya yang dapat dibebankan, serta ketentuan lain terkait dengan penghitungan jumlah penerimaan negara yang harus diserahkan kepada negara adalah ketentuan yang digunakan oleh pihak pemegang kontrak dan juga pemerintah. b. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex genernalis; ketentuan-ketentuan yang terkait dengan perpajakan yang diatur di dalam kontrak bersifat sederajat dengan ketentuan-ketentuan perpajakan yang diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009 karena kontrak yang telah disepakati oleh kedua belah pihak berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah bihak yang memiliki kesepakatan. c. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis; ketentuan perpajakan yang diatur dalam kontrak dan Undangundang No. 4 Tahun 2009 berada dalam rezim yang sama, yaitu hukum administrasi negara, yang mengatur tentang hubungan-hubungan antara warga Negara dengan pemerintah sebagaimana di katakan oleh De La Bascecoir Anan. Undang-undang No. 4 Tahun 2009 dan KK maupun PKP2B merupakan ketentuan yang mengatur tentang kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
Selanjutnya, lex posterior derogate lex anterior yang dimana artinya adalah aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan aturan hukum yang lama. Ditinjau dari asas tersebut, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 merupakan hukum yang lebih baru bila dibandingkan dengan KK dan PKP2B yang telah terbentuk sebelumnya, namun tetap tidak dapat mengesampingkan KK dan PKP2B karena merupakan satu perangkat hukum yang sama. Jika terdapat Undang-undang atau ketentuan baru, pemerintah tidak lantas harus mencederai janji yang sudah disepakati dalam KK ataupun PKP2B. Undang-undang dan aturan baru itu tidak serta-merta berlaku bagi pemegang KK dan PKP2B, karena pemerintah harus tetap menghormati KK sebagai lex specialis, sebagaimana dikatakan oleh Abrar Saleng yang dikutip oleh Wahyu Utomo dalam Jurnal Nasional (2014, 29). Asas Pacta sunt servanda adalah asas yang menyebutkan bahwa perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang menyelenggarakannya, dimana dalam hal ini kontrak atara pemerintah dan pihak pengusaha merupakan Undang-undang bagi kedua belah pihak. Asas Lex locus contractus adalah asas mengenai dimana suatu perjanjian kontrak dibuat dan disepakati oleh pihak-pihak, yaitu baik pihak pemerintah maupun pihak pengusaha pemegang kontrak. Ditinjau dari asas-asas hukum yang melekat pada kontrak, proses renegosiasi kontrak yang tengah berlangsung saat ini sudah sesuai dengan asas-asas hukum terkait, walaupun terdapat ganjalan pada klausul yang menjelaskan mengenai pengecualian penyesuaian kontrak terkait dengan penerimaan negara. Atas tinjauan di atas, peneliti dapat dipahami bahwa proses saat ini telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait dengan perubahan kesepakatan yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPer dengan diamanahkan dalam Pasal 169 yang ditempuh dengan jalan renegosiasi. Namun, dengan adanya klausul pengecualian penyesuaian terkait dengan penerimaan negara dalam rangka upaya peningkatan penerimaan negara yang diatur secara langsung dalam Pasal 169, menyebabkan terganjalnya proses renegosiasi karena ketidaksetujuan dari pihak pemegang kontrak terhadap poin renegosiasi yang diangkat berdasarkan pasal tersebut. Keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana merupakan keterlibatan antar lembaga dalam implementasi suatu kebijakan. Keterpaduan antara masing-masing implementor tentunya merupakan hal yang sangat penting dalam implementasi dari suatu kebijakan, karena suatu kebijakan tersebut dijalankan secara bersama-sama walaupun dalam ruang lingkup yang berbeda-beda. Dalam hal implementasi kebijakan terkait pajak penghasilan badan pasca berlakunya Undang-undang No. 4 Tahun 2009, koordinasi antar implementor sudah berjalan dengan baik, namun masih terdapat beberapa kendala. Bentuk koordinasi yang dilakukan
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
adalah dengan diikutsertakannya KPP Wajib Pajak Besar 1 dan DJP dalam Penyampaian Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB) oleh perusahaan pertambangan yang dapat memproyeksikan jumlah penerimaan negara yang akan diterima pada tahun yang akan datang. Kendala yang dihadapi dalam koordinasi antar implementor terletak pada pertukaran data yang dirasa masih sulit sehingga menghambat pengawasan untuk megoptimalkan pendapatan negara. Selain itu, kendala pendataan juga terjadi disebabkan oleh belum diparalelkannya kebijakan perpajakan dengan kebijakan terkait dengan kegiatan pertambangan itu sendiri. Tidak diwajibkannya para pengusaha yang akan mengajukan IUP untuk memiliki NPWP menyebabkan masih banyaknya potensi-potensi penerimaan negara yang tidak terdeteksi oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak maupun KPP Wajib Pajak Besar 1 karena tidak terdapat data yang pasti mengenai jumlah dari pengusaha yang telah mendapatkan IUP dan telah berkewajiban untuk memenuhi kewajiban perpajakan. Aturan keputusan dari lembaga pelasana merupakan konsistensi dari aturan yang berlaku yang
juga
dapat
turut
mempengaruhi
implementasi
kebijakan.
Bagaimana
pengimplementasian dari suatu kebijakan tentunya tidak lepas dengan peraturan yang menjelaskan bagaimaana suatu kebijakan dapat diimplementasikan dikeluarkan dari lembaga pelaksana itu sendiri. Berdasarkan amanah Pasal 31D Undang-undang No. 36 Tahun 2008 yang saat ini menjadi acuan dalam ketentuan pajak pengasilan badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara, terkait dengan kewajiban pajak penghasilan atas industri pertambangan umum termasuk di dalamnya adalah batubara akan diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah. Saat ini, hampir 6 tahun setelah diundang-undangkannya UU tersebut, masih belum terdapat Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan untuk mengatur mengenai kebijakan tersebut. Akses formal pihak luar merupakan sejauh mana peluang untuk berpartisipasi terbuka bagi para pihak di luar badan pelaksana mempengaruhi para pendukung tujuan kebijakan, yaitu bagaimana peluang partisipasi dari pihak eksternal dari implementor dalam pelaksanaan implementasi kebijakan pajak penghasilan badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara pasca berlakunya Undang-undang No. 4 Tahun 2009. Bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan, atas penerapan kebijakan pajak penghasilan badan tersebut setuju dan mengikuti apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. Hal ini disebabkan oleh diaturnya secara jelas ketentuan bagi para pemegang IUP terkait dengan kewajiban perpajakan yang harus diikutinya dalam Pasal 128 Undang-undang No. 4 Tahun 2009. Berbeda dengan para pemegang KK maupun PKP2B, pasal 169 Undang-undang No. 4 Tahun 2009 mengamanahkan bahwa KK dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya UndangUndang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya dan disesuaikan selambat–
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan dengan mengecualikan perihal penerimaan negara. 4.1.3 Faktor Lingkungan Ditinjau dari kondisi sosial, ekonomi, dan teknologi, kebjakan yang dibuat saat ini cenderung kurang sesuai dengan kondisi ekonomi, dan teknologi di Indonesia. Dari segi ekonomi dan teknologi, ketentuan yang berlaku saat ini yang melarang perusahaan pertambangan mineral untuk mengekspor hasil tambang yang belum dimurnikan tidak didukung dengan kondisi pasar dalam negeri saat ini serta kondisi teknologi pemurnian yang ada di Indonesia saat ini. Biaya yang sangat besar yang dibutuhkan untuk membuat smelter juga tidak ditunjang dengan jaminan stabilitas dari ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini yang dirasa sangat berisiko tinggi dan memberatkan bagi pengusaha dengan ketentuan poin renegosiasi yang diajukan saat ini. Selain itu, untuk pemegang IUP, akan sangat sulit bagi mereka untuk dapat membuat sendiri smelter, karena mayoritas dari pemegang IUP merupakan pengusaha lokal dengan skala usaha yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrak. Bagi para pemegang IUP, tidak terdapat permasalahan dalam menerapkan ketentuan mengenai pajak penghasilan badan yang mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Undangundang No. 4 Tahun 2009 karena sudah dengan jelas diatur dalam dasar hukum yang melandasi bentuk legalitas dari IUP yang mencantumkan hak-hak dan kewajiban dari pemegang IUP itu sendiri. Berbeda dengan pemegang IUP, bagi para pengusaha pemegang KK dan PKP2B, terdapat kecenderungan untuk lebih mempertahankan bentuk kontrak yang telah ada sebelumnya. Dilihat dari komitmennya, dengan telah dibentuknya suatu KPP khusus untuk pertambangan mineral dan batubara merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk secara sungguh-sungguh menjalankan kebijakan perpajakan di bidang pertambangan mineral dan batubara. Tujuan diciptakannya KPP Pertambangan itu sendiri adalah untuk memudahkan pengawasan dan konsultasi yang dilakukan oleh pemerintah kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara. Berikutnya, dari KPP Wajib Pajak Besar 1 itu sendiri, telah dilakukan pelatihan-pelatihan khusus terkait dengan pertambangan mineral dan batubara serta perpajakan yang terkait dalam prosesnya. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Margono, selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi 1, KPP Wajib Pajak Besar 1 yang mengatakan bahwa setiap tahun selalu ada pelatihan khusus terkait dengan pertambangan dan perpajakan yang terkait. Setidaknya, dalam 1 tahun terdapat 2 (dua) kali pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dari petugas implementor kebijakan tersebut. Dari apa yang telah
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
dilakukan oleh KPP Wajib Pajak Besar 1, dapat dilihat bahwa pemerintah secara sungguhsungguh ingin mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan perpajakan atas pertambangan mineral dan batubara. Dengan pelatihan-pelatihan yang diberikan serta pemilihan secara khusus untuk siapa saja yang ditempatkan dalam KPP Wajib Pajak Besar 1 itu sendiri juga telah menggambarkan kompetensi dari implementor. 4.2 Analisis
Implementasi
Kebijakan
Pajak
Penghasilan
Badan Pada Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia Dalam menganalisis suatu implementasi kebijakan, untuk dapat melihat secara jelas bagaimana proses implementasi tersebut maka suatu kebijakan harus ditinjau berdasarkan tahapan-tahapan yang dilaluinya. Tahapan-tahapan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Mazmanian dan Sabatier sebagai berikut: 1.
Output Kebijakan (Keputusan dari Badan Pelaksana)
2.
Kepatuhan Kelompok Sasaran
3.
Dampak Nyata Keputusan dari Lembaga Pelaksana
4.
Persepsi Terhadap Dampak Keputusan Lembaga Pelaksana
5.
Evaluasi Sistem Kebijakan Seluruh tahapan tersebut pada umumnya kerap disatukan menjadi suatu pokok bahasan
mekanisme umpan balik, namun, dalam tahapan-tahapan tersebut terdapat dua proses yang terpisah. Untuk melihat bagaimana implementasi dari kebijakan sejalan dengan tujuan-tujuan yang dicanangkan, maka yang perlu diperhatikan adalah tiga tahapan pertama, yaitu output kebijakan, kepatuhan kelompok sasaran, dan dampak nyata keputusan dari lembaga pelaksana (Wahab, 2012, 203). 4.2.1 Output Kebijakan Tujuan dari suatu kebijakan harus diterjemahkan ke dalam peraturan-peraturan khusus agar dapat diimplementasikan dengan baik, sebagaimana dikatakan oleh Mazmanian dan Sabatier (Wahab, 2012, 204). Dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku umum dalam hal perpajakan sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 128 Undang-undang No. 4 Tahun 2009, maka untuk pajak penghasilan badan bagi industri pertambangan mineral dan batubara saat ini mengacu pada Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, dimana tarif pajak penghasilan badan yang berlaku lebih rendah bila dibandingkan dengan tarif yang digunakan dalam masa kontrak. Hal inilah yang diharapkan oleh pemerintah dapat meningkatkan daya saing Indonesia sebagai negara tujuan untuk investasi di bidang industri pertambangan mineral dan batubara.
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
Penerapan dari Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tidak hanya terbatas untuk pengusaha dengan bentuk legalitas Izin Usaha Pertambangan (IUP), melainkan juga bagi pengusaha pemegang KK ataupun PKP2B. Dalam hal pengimplementasiannya, kontrak yang secara hukum sejajar dengan Undang-undang yang bersifat lex specialist tidak dapat diabaikan begitu saja dengan munculnya Undang-undang baru yang mengatur mengenai pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Selain itu, tidak terdapat pembedaan ataupun perlakuan khusus yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara pada perlakuan kewajiban pajak penghasilannya yang mengacu pada Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tersebut, walaupun pada Pasal 31D diamanahkan bahwa untuk ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Sampai dengan 5 tahun setelah diberlakukannya Undang-undang No. 4 Tahun 2009 yang menjadi dasar penggunaan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 sebagai acuan dalam pelaksanaan kewajiban pajak penghasilan badan bagi usaha pertambangan mineral dan batubara, Peraturan Pemerintah yang mengatur secara khusus mengenai pajak penghasilan dalam bidang usaha ini belum juga dikeluarkan. 4.2.2 Kepatuhan Kelompok Sasaran Tingkat kepatuhan dari kelompok sasaran secara garis besar dapat diukur berdasarkan pelaporan SPT yang dilakukannya serta pemenuhan kewajiban pajak Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti, tingkat kepatuhan dapat ditinjau dari skala usaha yang dimilikinya dan bentuk legalitas usaha pertambangan yang dimiliknya. a.
Berdasarkan Skala Usaha Dilihat dari skala usahanya, terdapat 2 jenis skala usaha pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, yaitu nasional dan lokal. Perusahaan pemegang IUP cenderung berskala lokal, yang dalam hal ini bermakna tidak terlalu besar dan terfokus hanya pada 1 daerah. Hal ini juga dipengaruhi oleh bentuk legalitas IUP yang membatasi luas wilayah kerja yang juga berpengaruh pada skala usaha pertambangan yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya, pengusaha pemegang IUP cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan tidak hanya karena faktor internal dari perusahaan yakni skala usaha yang tidak terlalu besar sehingga tidak dapat menjamin terjadinya corporate governance yang baik di dalamnya, tetapi juga karena pengawasan yang kurang dari pihak implementor.
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
Tingkat kepatuhan tersebut dilihat dari masih banyaknya IUP yang tidak terdeteksi mengenai kewajiban perpajakannya akibat tidak memiliki NPWP. Untuk perusahaan IUP yang sudah ada di KPP Wajib Pajak Besar 1 tingkat kepatuhannya cenderung tinggi karena dari karakteristik perusahaannya sudah lebih besar sehingga dapat menjalankan kewajiban-kewajiban perpajakan dengan lebih baik. Berbeda dengan pengusaha pemegang IUP, bagi pengusaha pemegang KK dan PKP2B, mayoritas dari perusahaan yang terdaftar merupakan perusahaan dengan skala nasional bahkan internasional. Dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya tergolong baik karena ditunjang juga oleh manajemen usaha yang jauh lebih teratur serta tanggung jawab akan stakeholders yang lebih besar. b.
Berdasarkan Bentuk Legalitas Pengusahaan Pertambangan Secara umum, saat ini terdapat 2 rezim bentuk legalitas yang berlaku di Indonesia dalam hal pengusahaan pertambangan mineral dan batubara, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan kontrak yang tercakup di dalamnya KK dan PKP2B. Dalam hal tingkat kepatuhan, untuk para pemegang IUP, tidak terdapat permasalahan mengenai tingkat kepatuhan terhadap peraturan yang tetapkan oleh Pemerintah karena secara hukum berkewajiban langsung untuk mematuhi ketentuan yang diatur dalam undangundang tersebut. Berbeda dengan IUP, bagi para pemegang KK dan PKP2B, sampai saat ini belum mau mematuhi secara seutuhnya ketentuan yang mengharuskan menggunakan prevailing law untuk kewajiban Pajak Penghasilan Badannya. Hal ini disebabkan posisi pemegang KK dan PKP2B yang cenderung ingin mempertahankan kesepakatan yang telah diatur sebelumnya di dalam kontrak yang dimilikinya. Untuk meningkatkan kepatuhan dari kelompok sasaran, bagi pengusaha pemegang IUP,
saat ini dilakukan koordinasi antara DJP dengan Kementrian ESDM dalam hal pendataan IUP yang telah diberikan kepada pengusaha yang belum memiliki NPWP. Hal ini diupayakan agar dapat meminimalisisir potensi kehilangan penerimaan negara akibat sumber-sumber yang tidak terdeteksi. Berikutnya, bagi pengusaha pemegang kontrak, saat ini pemerintah sedang mengupayakan penyelesaian proses renegosiasi dengan pihak pengusaha agar segera dapat dipertegas bagaimana kewajiban perpajakannya. Proses renegosiasi merupakan jalan yang harus ditempuh oleh kedua belah pihak untuk mengamandemen kontrak yang telah ada sebelumnya. Walaupun sampai saat ini proses renegosiasi belum juga menemukan titik temu, dengan terus berjalannya proses ini maka penegasan dan kepastian akan ketentuan yang digunakan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan terutama pajak penghasilan badan akan selangkah lebih dekat.
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
4.2.3 Dampak Nyata Ditinjau dari segi lembaga implementor, dengan diimplementasikannya kebijakan pajak penghasilan badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara dengan menggunakan prevailing law, kebijakan tersebut cenderung berdampak positif. Hal tersebut dikarenakan dengan hanya menggunakan 1 peraturan sebagai acuan dan tidak terdapat pembedaan dengan industri lain, maka akan lebih mudah bagi implementor dalam menginterpretasikan ketentuan mana yang harus digunakan dalam menjalankan kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara. Selain itu, ketentuan yang digunakan juga merupakan ketentuan yang berlaku umum, sehingga kemampuan sumber daya manusia dari implementor dalam memahami suatu peraturan juga dapat lebih terjamin dibandingkan dengan masih digunakannya peraturan-peraturan lain yang secara umum sudah tidak berlaku lagi. Ditinjau dari peraturan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara yang berlaku saat ini di Indonesia, kecenderungan investor untuk menginvestasikan dananya di Indonesia jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Kebijakan yang saat ini berlaku di Indonesia dirasa justru akan mengurangi minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal tersebut terutama disebabkan oleh tidak adanya kepastian hukum di Indonesia serta regulasiregulasi yang ada saat ini dirasa cukup memberatkan bagi para pelaku usaha. Dari segi ketentuan pajak penghasilan badan yang berlaku saat ini merupakan suatu kebijakan yang dapat meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi, namun ketentuan lain yang berlaku saat ini yang secara tidak langsung juga berkaitan dengan pajak penghasilan badan membuat hal tersebut menjadi tidak terlalu signifikan. Selain itu, dengan bentuk kebijakan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia saat ini, kondisi investasi yang akan masuk Indonesia diperkirakan akan cenderung tidak terlalu besar dengan jangka waktu yang tidak lama dan tidak menggunakan modal sendiri melainkan hutang, dimana hal tersebut juga akan berpengaruh kepada lingkungan dari lokasi pertambangan tersebut. Berdasarkan kondisi yang terjadi saat ini, pengimplementasian dari kebijakan pajak penghasilan badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara pasca berlakunya Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tidak sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut secara tidak langsung justru cenderung menghambat perkembangan atau bahkan membuat perusahaan pertambangan tidak dapat beroperasi karena ketidaktersediaannya modal untuk mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009 yaitu berupa pemurnian di dalam negeri. Bila perusahaan tersebut berhenti beroperasi, maka pemerintah juga tidak dapat memungut pajak penghasilan badan ataupun penerimaan negara lainnya yang menyebabkan turunnya penerimaan negara.
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
5.
Simpulan Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pajak penghasilan badan atas
usaha pertambangan mineral dan batubara terbagi menjadi 3 faktor utama yaitu: a. Faktor Masalah Masalah teknis dari implementasi kebijakan tersebut adalah proses renegosiasi antara pengusaha
pemegang
kontrak
yang
menyebabkan
masih
belum
dapat
diimplementasikannya amanah dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009 terkait dengan penerimaan negara secara seutuhnya. b. Faktor Kebijakan Dari segi kebijakan, Pasal 169 Undang-undang No. 4 Tahun 2009 menyebabkan sulitnya mencapai titik akhir dari proses renegosiasi dalam hal penerimaan negara, serta proses renegosiasi yang berlangsung saat ini tidak sesuai dengan ketentuan perubahan kesepakatan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPer. c. Faktor Lingkungan Kondisi perekonomian dan teknologi Indonesia saat ini masih belum memadai untuk penerapan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009 sehingga menyebabkan kebijakan tersebut cenderung tidak mendukung kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Implementasi kebijakan pajak penghasilan badan atas usaha pertambangan mineral dan batubara di Indonesia pasca berlakunya Undang-undang No. 4 saat ini tidak sepenuhnya sesuai dengan tujuan dari diterapkannya undang-undang tersebut. Walaupun dari segi pelaksanaan lebih mudah, namun kebijakan ini justru menjadi salah satu faktor penghambat bagi pelaku industri dalam mengembangkan investasinya di bidang usaha hilir pertambangan mineral dan batubara. 6.
Saran Agar poin renegosiasi yang diajukan oleh pemerintah dapat diterima dan diterapkan,
sebaiknya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur secara khusus tentang pajak penghasilan bagi usaha pertambangan mineral dan batubara. Hal ini agar poin renegosiasi yang diajukan pemerintah tetap dapat dilakukan dengan yang menyesuaikan dengan kondisi dari industri pertambangan mineral dan batubara itu sendiri agar tetap dapat berkembang. Berikutnya, agar kebijakan yang berlaku saat ini tidak menghambat perkembangan usaha pertambangan mineral dan batubara dalam beroperasi, sebaiknya pemerintah juga turut berpartisipasi dalam upaya pengimplementasian kebijakan yang diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009. Hal tersebut dapat dilakukan dengan turut serta
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014
membangun fasilitas penunjang pembangunan smelter, untuk pemurnian hasil tambang yang merupakan suatu kewajiban bagi perusahaan pertambangan saat ini. 7.
Referensi
Brotodihardjo, R Santoso. (2008). Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama Creswell,
J.
W.
(1994).
Research
Design:
Qualitative
and
Quantitative
Approaches.California: Sage Publications, Inc. Manan, Bagir. (2004). Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik).
Yogyakarta:
FH
UI Press Mansury, R. (2000). Kebijakan Perpajakan. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan Nalle, Victor Imanuel Williamson. (2012). Hak Menguasai Negara Atas Mineral dan Batubara Pasca Berlakunya Undang-undang Minerba. Jurnal Konstitusi, 9, 473-494. Neuman, W. Lawrence. 2000. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (4th Ed.). Boston: Allyn and Bacon. Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif, Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada PricewaterhouseCoopers. 2013. Investment & Taxation Guide Mining in Indonesia 5th Edition PricewaterhouseCoopers. 2013. mineIndonesia 2013: 11th Annual Review Trends in the Indonesian Mining Industry Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Salim, H.S. (2004). Hukum Pertambangan di Indonesia: Edisi Revisi. Jakarta: Rajagrafindo Persada Sudrajat, Nanang. (2010). Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia Wahab, Solichin Abdul. (2012). Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan ModelModel Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara
Analisis implementasi..., Azalia Fajri Septihani, FISIP UI, 2014