ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK PENGHASILAN FINAL PADA USAHA KECIL MENENGAH YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO KURANG DARI 4,8 MILIAR DITINJAU DARI ASAS EASE OF ADMINISTRATION
Belinda Sri Yunika br Kaban, Adang Hendrawan, Ning Rahayu, Wisamodro Jati, Neni Susilawati
Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat
[email protected]
Abstrak
Usaha Kecil Menengah (UKM) memberi kontribusi yang cukup signifikan bagi produk domestik bruto negara. Kontribusi terhadap produk domestik bruto tidak berbanding lurus dengan kontribusi terhadap penerimaan pajak negara. Untuk meningkatkan kontribusi UKM pemerintah menerbitkan kebijakan pajak penghasilan final terhadap usaha dengan peredaran bruto tertentu. Penelitian ini menganalisis kebijakan pengenaan pajak penghasilan final terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM) Yang Memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 Miliar Ditinjau Dari Asas Ease Of Administration. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan metode deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan dari asas ease of administration kebijakan ini sudah memenuhi asas ease of administration. Dari segi cost of collection, pada awal diterbitkannya, kebijakan ini akan memiliki biaya pemungutan yang lebih besar dibanding biaya pemungutan pemajakan umum.
Final Income Taxation Policy towards Small and Medium Enterprises (SMEs) that have Gross Turnover less than 4,8 Bilion Reviewed From Ease of Administration Principles Abstract
Small and Medium Enterprises (SMEs) contribute significantly to the country’s gross domestic product. Contribution to gross domestic product is not directly proportional to the contribution to the state tax revenue. To increase the contribution of SMEs, government issued final tax policies to businesses with particular gross turnover. This research analyzes the final income taxation policy towards Small and Medium Enterprises (SMEs) that have the gross turnover of less than 4.8 bilion, reviewed from Ease of Administration Principles. This research are using quantitative approach and descriptive method. The results of this research shows that this policy has fulfilled the Ease of Administration principles. In terms of cost of collection, in the beginning of the issued, this policy will have greater cost of collection compared to general taxation’s cost of collection
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
Key words: Final Income Tax, Small and Medium Enterprises, Presumptive Taxation, Ease of Administration, Cost of Collection
Pendahuluan
Globalisasi merupakan perkembangan kontemporer yang mempunyai pengaruh dalam mendorong munculnya berbagai kemungkinan tentang perubahan dunia yang akan berlangsung. Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara yang mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa. Kondisi perekonomian dunia saat ini masih belum stabil yang berdampak pada perekonomian Indonesia yang ikut-ikutan labil. Bank Indonesia (BI) menilai hal ini tidak bisa diatasi dalam waktu dekat. Salah satu untuk bisa menangkal keterpurukan ekonomi Indonesia adalah dengan mengembangkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UKM). Dewasa ini, UKM dapat berkontribusi bagi perekonomian Indonesia dalam hal memberi sumbangsih dalam produk domestik bruto, dengan banyaknya jumlah UKM maka dapat memberi sumbangsih terhadap masalah ketenagakerjaan, dimana UKM membuka lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia yang akan berkaitan dengan penghasilan dan daya beli masyarakat. Tabel 1.1 PERKEMBANGAN DATA USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH (UKM) DAN USAHA BESAR TAHUN 2011-2012 No.
Indikator
Satuan
Tahun 2011 Jumlah
1.
Unit Usaha (A+B)
Unit
A. Usaha Mikro Kecil dan Menengah -‐ Usaha Mikro (UM) -‐ Usaha Kecil (UK) -‐ Usaha Menegah
Unit Unit
55.211.3 96 55.206.4 44
Tahun 2012 Pangsa %
99,99 98,82
Unit
54.559.9 69 602.195
Unit
44.280
Jumlah 56.539. 560 56.534. 592
Pangsa %
99,99 98,79
1,09
55.856. 176 629.418
0,08
48.997
Perkem bangan Tahun 2011-2012 Jumlah Pangsa % 1.328.1 2,41 64 1.328.1 2,41 48 2,38
1,10
1.296.2 07 27.223
0,09
4.717
0,65
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
4,52
2.
(UM) B. Usaha Besar (UB) Tenaga Kerja (A+B) A. Usaha Mikro Kecil dan Menengah -‐ Usaha Mikro (UM) -‐ Usaha Kecil (UK) -‐ Usaha Menegah (UM) B. Usaha Besar (UB)
Unit
4.952
Orang
104.613. 681 101.722. 458
Orang Orang Orang Orang Orang
94.957.7 97 3.919.99 2 2.844.66 9 2.891.22 4
0,01
4.968
97,24 90,77 3,75 2,72 2,76
110.808 .154 107.657 .509 99.859. 517 4.535.9 70 3.262.0 23 3.150.6 45
0,01
16
0,32
6.194.4 73 5.935.0 51
5,92
5,16
4,09
4.901.7 20 615.978
2,94
417.354
4,67
2,84
259.421
8,92
97,16 90,12
5,88
5,74
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM tentang unit UKM dan tenaga kerja
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM) memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Pengangguran akibat angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja menjadi berkurang. Sumbangan UKM terhadap penyerapan tenaga kerja sekitar 97%. Sebanyak 91% UKM melakukan kegiatan ekspor melalui pihak ketiga eksportir atau pedagang perantara. Hanya 8,8% yang berhubungan langsung dengan pembeli atau importer yang bertempat tinggal atau berkewarganegaraan luar negeri. Tabel 1 PERKEMBANGAN UKM DI INDONESIA TAHUN 2005-2009 I A.
II A.
INDIKATOR Unit Usaha UKM
2005
2006
2007
2008
2009
47.022.084
50.150.263
51.414.262
Usaha Mikro
45.217.567
49.680.953
50.847.771
Usaha Kecil Usaha Menengah PDB UKM Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah
1.694.008 105.487
49.026.38 0 48.512.43 8 472.602 36.763
498.565 38.282
522.124 39.717
52.769.28 0 52.176.79 5 546.675 41.133
3.171.417 1.783.424 1.017.439 329.215 436.770
3.745.549 2.110.067 1.209.822 388.404 511.841
4.698.309 2.613.225 1.510.056 472.830 630.339
5.294.861 2.993.152 1.751.645 713.263 2.301.709
2.774.281 1.494.632 1.049.056 445.576
Sumber: BPKP.DEPKEU tentang Peredaran Bruto UKM
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
Unit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UKM) dinilai mampu berkontribusi hingga 99% bagi perkembangan ekonomi Indonesia yang pada tahun 2012 mampu mencatat pertumbuhan sebesar 6,2%. Dewasa ini hampir 99% UKM mendominasi pertumbuhan ekonomi Indonesia, hanya 1% dalam bentuk usaha besar. UKM merupakan satu sektor yang mampu bertahan dalam situasi ekonomi global yang sedang tertekan. Hal ini karena UKM umumnya memanfaatkan sumber daya lokal, baik itu sumber daya manusia, modal, bahan baku, hingga peralatan. Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 persen dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah air. UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 99,6 persen. Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen. Pada tahun 2011, UKM mempunyai kontribusi kurang lebih 57% total PDB. Namun demikian apabila dibandingkan dengan kontribusi UKM terhadap penerimaan pajak, terdapat miss-match dimana kontribusi UKM pada penerimaan perpajakan sangat kecil, yaitu kurang lebih 0.5% dari total penerimaan pajak. Ketidakimbangan kontribusi UKM tersebut merupakan suatu indikasi bahwa tingkat ketaatan UKM dalam memenuhi kewajiban perpajakan masih sangat rendah. Dewasa ini, dalam upanya untuk mendorong pemenuhan kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary tax compliance) serta mendorong kontribusi penerimaan negara dari UKM melalui penyederhanaan mekanisme administrasi perpajakan dengan menerapkan PPh Final. Pemerintah merealisasikan hal tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan batasan peredaran bruto tertentu, yaitu yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliar. Dengan demikian, UKM yang dapat menerapkan Peraturan Pemerintah nomor 46 ini merupakan UKM yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliar atau dengan kata lain tidak semua usaha menegah dapat menerapkan peraturan ini. Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, Indonesia menerapkan model standard regime dengan kemudahan dan fasilitas tertentu (standard regime-simplified/reduced rate). Kemudahan diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP), sebagaimana di atur dalam Pasal 14 ayat (2) UU PPh, yaitu WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4,8 miliar, diperkenankan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dalam penghitungan penghasilan kena pajak nya. Sedangkan reduced rate diberlakukan untuk Wajib Pajak Badan, sebagaimana diatur dalam Pasal 31E UU PPh, bahwa WP Badan dalam negeri dengan peredaran bruto satu tahun sampai dengan Rp50 miliar, mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar. UKM yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliar merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk penentuan tarif PPh UKM. PPh dapat dikenakan berdasarkan suatu presumsi, yang biasanya menggunakan turnover atau penghasilan bruto sebagai dasar pemajakannya. Dengan digunakannya turnover sebagai dasar pemajakan, perlu dipahami bagaimana profit margin UKM yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliar, agar tidak menimbulkan beban pajak yang di luar kemampuannya yang pada akhirnya akan mempengaruhi perekonomian negara. Tarif flat sebesar 1% dari omzet dapat mengakibatkan pengusaha dengan margin laba bersih besar akan membayar beban pajak yang lebih ringan dibandingkan dengan pengusaha dengan margin laba bersih yang lebih kecil. Dari kacamata masyarakat pelaku UKM yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliar atau Wajib Pajak, kemudahan dan kesederhanaan Pajak Penghasilan final terhadap UKM yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliar ini harus disikapi dengan kesiapan secara aktif menjalankan kewajiban perpjakannya. Output yang diharapkan dari kebijakan tersebut adalah rendahnya cost of compliance bagi UKM yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliar dan rendahnya cost of collection bagi Pemerintah. Rendahnya cost of compliance dapat diminimalisir dengan ketentuan bahwa Wajib Pajak cukup melakukan pencatatan (record-keeping) untuk dapat mentaati ketentuan yang berlaku. Cost of compliance, juga dikurangi dengan penerapan model presumptive regime-single tariff. Dengan model ini, Wajib Pajak dapat menghitung pajaknya dengan sangat mudah, yaitu cukup dengan hanya mengalikan tarif berlaku dengan nilai bruto penjualannya tiap bulan. Selain itu cost of compliance juga dapat ditekan dengan kemudahan administrasi pelaporan dan pembayaran bagi Wajib Pajak. Di sisi lain, model ini juga akan berdampak pada minimalisasi cost of collection bagi Pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa potensi PPh per individu UKM yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliar relatif kecil, maka dengan penerapan model ini juga dapat mengurangi beban administrasi Pemerintah per individu UKM yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliar.
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
Tinjauan Teoritis
Suatu implementasi Kebijakan Pajak yang sudah ditetapkan undang-undang dapat berjalan jika Adminstrasi Perpajakan juga dijalankan. Administrasi Pajak merupakan kunci keefektifitasan kebijakan pajak. Menurut Nowak, seperti yang dikutip Mansury (Mansury, 2002, p.6), Administrasi pajak mengandung tiga pengertian, yaitu: 1. Suatu instansi atau badan yang mempunyai wewenang dang tanggung jawab untuk menyelenggarakan pemungutan pajak 2. Orang-orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja pada instansi perpajakan yang secara nyata melaksanakan kegiatan pemungutan pajak. 3. Proses
kegiatan
penyelenggaraan
pemungutan
pajak
yang
ditatalaksanakan
sedemikian rupa, sehingga dapat mencapai sasaran yang telah digariskan dalam Kebijakan Perpajakan, berdasarkan sarana hukum yang ditentukan oleh UndangUndang Perpajakan dengan efisien. Administrasi Pajak meliputi enam langkah umum, seperti yang dikemukakan oleh Mikesell (Mikesell, 1982, p.239), yaitu : persiapan, persediaan, penelitian dasar, perhitungan, dan pemungutan pajak, audit, banding-protes, dan penegakan. “Tax Administration includes in six general step: inventory preparation, base valuation, tax computation and collection, audit, appeal-protest, and enforcement” Administrasi pajak terdiri dari dua hal, Teknik Pemungutan Pajak dan Sistem Pembayaran. Dalam Teknik Pemungutan Pajak, terdapat tiga teknik yang dapat diterapkan yaitu, Self-assesment System, Official-assesment System, dan Semi self-assesment System. Sistem pembayaran pajak erat kaitannya dengan teknik pemungutan pajak karena dalam sistem perpajakan, pemerintah dapat saja menetapkan sistem pemungutan pajak di depan. Dalam memungut pajak, terdapat asas-asas yang harus diperhatikan dalam sistem pemungutan pajak. Menurut Mansury (Mansury, 1996, p.4), tidak setiap ketentuan rancangan undang-undang pada saat penyusunannya selalu diuji apakah sejalan dengan tujuan dan asas yang dipegang, ketentuan tersebut mudah mengatur sesuatu yang sebenarnya tidak sejalan dengan asas yang dipegang teguh. Banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan. Salah satu asas yang terkenal ialah asas Ease of Administration. Menurut Rosdiana dan Irianto, asas
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
certainty, efficiency, convinience, dan simplicity merupakan unsur-unsur yang membentuk asas Ease of Administration. Asas Ease of Administration dapat digambarkan sebagai berikut (Rosdiana dan Irianto, 2012, p.166-167): Gambar 2.2 Indikator Asas Ease of Administration 1. Certainty a. Subjek b. Objek c. Dasar pengenaan tarif d. Prosedur 2. Efficiency a. Dari segi fiskus: administrative & enforcement cost relatif rendah b. Dari segi wajib pajak: compliance cost relatif rendah 3. Convinience a. Pajak dipungut pada saat yang tepat b. Penentuan jatuh tempo pembayaran pajak c. Prosedur pembayaran 4. Simplicity a. Mudah dilaksanakan 1. Kejelasan kesederhanaan dari ketentuan undang-undang yang memudahkan b. Tidakdan berbelit-belit bagi admistrasi dan memberikan kejelasan bagi Wajib Pajak 2. Kesederhanaan akan mengurangi penyelundupan pajak. Kesederhanaan dimaksud, baik dalam perumusan yuridis, yang memberikan kemudahan untuk dipahami; maupun kesederhanaan untuk dilaksanakan oleh aparat dan untuk dipatuhi pajaknya oleh Wajib Pajak. 3. Reformasi dalam bidang perpajakan yang realistis harus mempertimbangkan kemudahan tercapainya efisiensi dan efektivitas administrasi perpajakan. 4. Administrasi perpajakan yang efisien dan efektif perlu disusun dengan memperhatikan penataan pengumpulan, pengolahan, dan pemanfaatan informasi tentang Subjek Pajak dan Objek Pajak Selain itu, administrasi perpajakan perlu disusun dengan sebaik-baiknya, sehingga mampu menjadi instrument yang bekerja secara efisien dan efektif alam penyelenggaraan pemungutan pajak sesuai dengan hukum pajak positif (Mansury, 2000, p. 7). Pentingnya asas turunan dari asas ease of administration dalam sistem perpajakan juga dikemukan oleh Mikesell (1982, p.239), bahwa administrasi dalam perpajakan bertujuan untuk menarik penghasilan yang diinginkan dengan biaya pemungutan yang minimum
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
sementara mempertahankan keadilan horizontal dan vertical yang diinginkan dalam proses pemungutan. Menurut E.R.A Seligman, sebagaimana dikutip oleh Nurmantu, ada empat prinsip pemungutan pajak yang dikemukankan oleh Seligman, yaitu: 1. Fiscal administrarive 2. Economic, dan 3. Ethical (Nurmantu, 2005, h.74) 4. Ease of Administration Asas ease of administration juga telah diterapkan di berbagai Negara dewasa ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Frits Neumark, yang dikutip oleh Nurmantu (2005, p.90) bahwa sistem perpajakan yang dianut oleh berbagai Negara dewasa ini menganut prinsip-prinsip berikut: 1. Revenue Productivity 2. Sosial Justice 3. Economic Goals 4. Ease of administarion and Compliance Menurut Neumark, suatu sistem perpajakan yang baik haruslah mudah dalam administrasinya dan mudah pula untuk memeatuhinya (Nurmantu, 2005, p.94). Prinsip ease of administration ini kemudian dirinci lagi dalam 4 persyaratan, yaitu: 1. The requirement of clarity Pada asa ini mensyaratkan bahwa ketentuan pajak haruslah dapat dipahami (comprehensible),
tidak boleh menimbulkan keragu-raguan atau penafsiran yang
berbeda, tetapi harus menimbulkan kejelasan (must be unambiguous and certain) baik untuk Wajib Pajak maupun fiskus sendiri. 2. The requirement of continuity Undang-undang perpajakan tidak boleh sering berubah, dan apabila terjadi perubahan, perubahan tersebut haruslah dalam konteks pembaharuan undang-undang perpajakan (tax reform) secara umum dan sistematis. 3. The requirement of ecomony Biaya-biaya perhitungan, penangihan, dan pengawasan pajak harus pada tingkat serendah-rendahnya dan konsisten dengan tujuan-tujuan pajak yang lain. Biaya yang diminimalkan tidak hanya meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban dan kepatuhan perpajakannya (compliance cost).
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
4. The requirement of convenience Pembayaran pajak harus sedapat mungkin tidak memberatkan Wajib Pajak. Pemerintah biasanya memperbolehkan pembayaran utang pajak dalam jumlah besar secara angsuran dan memberikan jangka waktu yang cukup untuk penundaan pengembalian SPT. Asas ease of administration merupakan salah satu asas yang penting yang menyusun sistem perpajakan. Asas ini akan menjadi sebuah indicator apakah seuatu administrasi pajak dalam suatu sistem perpajakan dapat dijalankan dan diterapkan secara ringkas, mudah, pasti dan tidak berbelit-belit oleh Wajib Pajak dan fiskus. Hal ini diungkapkan juga oleh Norman, D. Nowak, (1970, p.3), bahwa administrasi perpajakan merupakan kunci pelaksanaan perpajakan. Menurut Mansury (2000, p.6) dasar-dasar bagi terselenggaranya administrasi perpjakan yang baik meliputi: Asas certainty menyatakan bahwa harus ada kepastian mengenai siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa yang dijadikan sebagai objek pajak, besarnya jumlah pajak yang harus dibayar, dan bagaimana pajak yang terutang harus dibayar. Kepastian ini menyangkut juga prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan, yaitu prosedur pembayaran dan pelaporan, serta hak-hak perpajakannya. Tanpa adanya prosedur yang jelas, sulit untuk Fiskus maupun Wajib Pajak melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Perlu adanya hukum atau peraturan yang terperinci mengenai prosedur dalam pajak. Asas certainty merupakan asas yang penting dalam sistem perpajakan, karena ketidakpastian dalam pajak akan menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan Fiskus. Oleh sebab itu faktor-faktor berikut harus diperhatikan terkait kepastian (Soemitro, 1986, p.21) a. Materi, Subjek, Objek Subjek, Materi dan Objek yang tersangkut diuraikan secara jelas dan mnyebutkan kualifikasi, sifat, tempat, cirri-ciri dan waktu. Sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan dan tidak memberikan kesempatan dimanapun untuk memberikan intepretasi b. Pendefinisian Pendefinisian secara sempit lebih memberikan kepastian hukum. Pendefinisian secara sempit menggunakan cara limitative, hanya saja yang termasuk dalam ruang lingkup peraturan perundang-undang tidak disebut secara positif tidak tercakup oleh undang-undang. c. Penyempitan/Perluasan Penyempitan dan perluasan materi yang menjadi sasaran pajak hanya dalam
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
undang-undangnnya sendiri. Hal ini untuk kepentingan kepastian hukum. Penyempitan dan perluasan materi sama sekali tidak dibenarkan jika dilakukan dengan peraturan yang lebih rendah dari undang-undang atau dilakukan dalam memori penjelasan. d. Ruang Lingkup Daya mengikat suatu ketentuan undang-undang tidak saja ditentuakan oleh materinya, tetapi juga oleh tempat dan waktu. Ruang lingkup berlakunya undangundang sudah jelas dbatasi oleh obejek, subjek dan wilayah. e. Penggunaan Bahasa Hukum dan Istilah Baku Kepastian hukum sangat ditentukan oleh pengguna bahasa hukum dan pengguna istilah yang dibakukan. Bahasa hukum adalah bahasa Indonesia, sehingga harus tunduk pada norma-norma bahasa Indonesia. Bahasa hukum adalah bahasa yang lazimnya digunakan oleh para ahli hukuk atau oleh orang-orang yang mempunyai profesi dalam bidang hukum. Bahasa hukum harus singkat, tegas, jelas tanpa mengandung keragu-raguan dan arti ganda. Asas
convinience
menyatakan
bahwa
saaat
pembayaran
pajak
hendaklah
dimungkinkan pada saat yang memudahkan Wajib Pajak. Saat yang memudahkan bagi Wajib Pajak misalnya saat Wajib Pajak mendapatkan gaji atau penghasilan. Asas ini dapat berwujud juga dalam bentuk pembayaran berupa angsuran pajak (PPh Pasal 25). Asas efficiency dapat dilihat dari dua sisi, sisi Fiskus dan sisi Wajib Pajak. Dari sisi Fiskus, pemungutan dikatakan efisien jika biaya pemungutan tersebut lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi Wajib Pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin. Nightingale (2002) mengemukakan bahwa efisiensi pajak tidak hanya mencakup biaya yang dikeluarkan oleh otoritas pajak, yaitu biaya administrasi, tetapi juga biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam mematuhi undangundang pajak, yang dikenal sebagai biaya kepatuhan, misalnya biaya konsultan pajak profesional. Pengukuran efisiensi dalam administrasi perpajakan dapat dilihat dari biaya fiscal (fiscal cost) dan biaya waktu (time cost) (Rosdiana dan Irianto, 2012, p.177). Biaya fiskal merupakan biaya yang dapat diukur dengan nilai uang atau secara nominal yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak terkait dengan pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Honor/gaji staf/ pegawai Divisi Pajak.
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
2. Jasa konsultan yang disewa Wajib Pajak. 3. Biaya transportasi pengurusan perpajakan 4. Biaya pencetakan dan penggadaan formulir-formulir perpajakan. 5. Biaya representasi, dan lain-lain. Sedangkan untuk biaya waktu (time cost), yang merupakan biaya intangible, yaitu berupa berikut ini: 1. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi formulir-formulir perpajakan. 2. Waktu yang dibutuhkan untuk mendiskusikan tax management dan tax planning dengan pihak konsultan pajak. 3. Waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan dokumen-dokumen pengajuan fasilitas pajak. 4. Waktu yang dibutuhkan untuk menunggu keputusan terkait pengjuan pajak dan lainlain. Dari sisi Fiskus, admnistrative cost merupakan istilah yang digunakan dalam mengukur efisiensi. Administrative cost merupakan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menjalankan sistem administrasi perpajakan. Jadi, Administrative cost yang termasuk dalam biaya operasional – termasuk biaya untuk melakukan penyuluhan/sosialisasi perpajakan. Termasuk dalam operating cost adalah biaya penegakan hukum dan keadilan, antara lain: a. biaya pelaksanaan pemeriksaan; b. biaya pelaksaan penagihan (termasuk biaya pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa; c. biaya pelaksanaan penyederhanaan, dan lain-lain. Biaya yang dikeluarkan dalam menghadapi keberatan dan/atau banding dari Wajib Pajak. Menurut Rosdiana, salah satu indicator untuk mengukur efisiesnsi adalah cost collection efficiency ratio (CCER), yaitu rasio perbandingan antara collection cost dengan tax revenue. CCER= Collection Cost/Tax Revenue x100%
Semakin kecil CCER, berarti pemungutan pajaknya semakin efisien. Antara efficiency dengan asas revenue productivity saling berkaitan erat.
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
Dalam membahas cost of collection, terlebih dahulu melihat revenue productivity dari sebuah negara. Sementara itu, biaya yang ditanggung oleh Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban pajaknya disebut sebagai complience costs, yang dinotasikan dalam suatu konsep yang disebut cost of taxation. Indikator dalam cost of taxation secara keseluruhan ada lima, yaitu: 1. Complience costs 2. Administrative costs 3. Deadweight efficiency loss from taxation 4. The excess burden of tax evasion 5. Avoidance costs Komponen cost of taxation/complience costs adalah biaya-biaya atau beban-beban yang dapat diukur dengan nilai uang maupun yang tidak dapat diukur dengan nilai uang. Menurut Sandford (1989), terdapat tiga jenis biaya yang ada dalam complience costs, yaitu: a. Fiscal cost Merupakan biaya atau beban yang dapat diukur dengan nilai uang yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak berkaitan dengan proses pelaksanaan kewajiban dan hak perpajakan. Contohnya ialah biaya transportasi pengurusan perpajakan b. Time cost Merupakan biaya berupa waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajibankewajiban dan hak-hak perpajakan. Contohnya waktu yang dibutuhkan untuk membayarkan, mengisi, dan melaporkan SPT c. Psychological cost Merupakan biaya psikologis yang terjadi dalam proses pelaksanaan kewajiban dan hak perpajakan. Misalnya kondisi psikis wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Asas yang terakhir ialah asas simplicity. Asas simplicity menitikberatkan pada peraturan yang sederhana, jelas, dan mudah dimengerti oleh Wajib Pajak. Undang-Undang serta kebijakan-kebijakan perpajakan harus disusun berdasarkan asas kesederhanaan. Dalam menghitung pajak terutang atau dalam pelaksanaan kewajiban dan hak perpajakan harus didasarkan pada asas kesederhaan. Bagaimana suatu pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Pemungutan berdasarkan asas simplicity akan
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
meningkatkan kesadaran Wajib Pajak dalam membayarkan pajaknya. Mikesell (1982, p.168) menjelaskan asas simplicity sebagai berikut, “In order tax to be accepted, the individual paying the tax must understand it. As the complexcity of a tax increases, understanding decreases and, as a result, resistance to the tax increases” Kesederhanaan dalam sistem perpajakan mengandung dua arti, yaitu (Mansury, 2000, p.23) a. Kesederhanaan struktur dari sistem perpajakan yang bersangkutan Kesederhanaan struktur dari sistem perpajakan dapat pula menciptakan kesederhanaan dalam melaksanakan pemungutan pajak, karena misalnya ditentukan pengenaan pajak dilakukan pada arus penghasilan yang paling mudah. b. Kesederhanaan Susunan undang-undang pajak yang bersangkutan Kesederhanaan Susunan undang-undang pajak yang bersangkutan akan mempermudah pemahaman undang-undang. Patut pula diingat perumusan ketentuan undang-undang yang sederhana dapat pula mensyartakan adanya peraturan pelaksanaan yang banyak tetapi yang terpenting adalah pengaturan dalam ketentuan pelaksanaan adalah tetap sejalan dan tidak menyimpang dari asas yang dianut oleh undang-undang sendiri. Kesederhanaan akan mengurangi penyelundupan pajak. Kesederhanaan dimaksud baik perumusan yuridis, yang memberikan kemudahan untuk dipahami: maupun kesederhanaan untuk dilaksanakan oleh aparat dan untuk dipatuhi memenuhi kewajiban pajaknya oleh Wajib Pajak (Mansury, 1996, p.24).
Metode Penelitian
Penulisan ini terbatas hanya pada pemenuhan asas terkait dengan unsur-unsur asas certainty, convenience, efficiency dan simplicity serta cost of collection dari kebijakan pajak penghasilan final terhadap UKM yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliar secara umum dan penelitian ini hanya berfokus pada UKM yang bergerak dibidang penjualan barang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Field Research dan Library Research. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Sehingga, tidak semua temuan yang diperoleh di lapangan dan literatur, yang berhubungan dengan tema penelitian, digambarkan dalam hasil penelitian ini. Hanya data, gambaran, maupun analisis yang menurut peneliti penting untuk digambarkan dalam hasil penelitian ini.
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
Hasil Penelitian Peraturan pemerintah Nomor 46 tahun 2013 sangat menekankan pada kemudahan administrasi, dimana dengan kemudahan administrasi pelaksanaan kewajiban perpajakan diharapkan akan mendorong sektor usaha kecil mikro menengah untuk membayar pajak. Kemudahan administrasi ini pada akhirnya akan mempengaruhi penerimaan negara dan juga biaya pemungutan. Ditinjau dari asas ease of administration pengenaan pajak penghasilan final terhadap UKM sudah memenuhi semua unsur ease of administration yaitu certainty, convenience, efficiency dan simplicity, sedangkan ditinjau dari cost of collection pengenaan pajak penghasilan final terhadap UKM membutuhkan biaya yang lebih besar dari pajak penghasilan pada umumnya. Hal ini dikarenakan karakteristik dari UKM yang cukup sulit untuk dipajaki dan minimnya pengetahuan perpajakan bagi para pelaku UKM serta karena kebijakan ini baru diterbitkan.
Pembahasan
1. Certainty Kepastian dalam penentuan siapa-siapa yang berhak dan berkewajiban untuk menerapkan pajak penghasilan final diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima Wajib Pajak (WP) yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Pada peraturan ini kita dapat melihat bahwa ada beberapa kriteria dari usaha beromzet Rp 4,8 Milyar yang tidak kenakan pajak penghasilan final. Pertama, WP Badan atau WP orang Pribadi yang menggunakan sarana dan prasarana yang dibongkar pasang atau menggunakan sebagian atau seluruh tempat fasilitas umum untuk tempat usahanya.Kedua, WP badan yang belum beroperasi secara komersial atau setelah beroperasi setahun omzetnya mencapai lebih dari Rp 4,8 Milyar menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh. Untuk WP badan dikenakan 25% dari keuntungan. Untuk WP pribadi 5% sampai 30% dari keuntungan dan bersifat progresif. Usaha yang dimaksud dalam PP 46 ini merupakan usaha dagang, industri dan jasa toko, rumah makan, bengkel dan penjahit. Peredaran
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
bruto yang dimaksud ialah semua omzet dari semua gerai, counter, outle baik yang berasal dari pusat maupun cabang. Ada beberapa kriteria objek pajak yang tidak dikenakan PPh final ini, yaitu: penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas seperti yang telah disebutkan di atas dan yang disebutkan pada penjelasan PP 46 Tahun 2013; penghasilan dari usaha yang dikenai oleh PPh Final lainnya (Pasal 4 ayat 2) seperti sewa kamar kos, sewa rumah, jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan), PPh migas dan lainnya sebagaimana diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri; penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Jadi peghasilan yang diterima di luar negeri yang ada kantor cabang dari suatu UKM dalam menjalankan usahanya, sebelum peredaran bruto dari sana dapat kita masukkan ke dalam peraturan ini. Namun, PMK No 107 Tahun 2013 menyebutkan di pasal 3 ayat 2, bahwa peredaran bruto dari penghasilan yang diterima atau diperoleh UKM di luar negeri tidak dapat dimasukkan ke dalam PP 46 Tahun 2013. Berkaitan dengan tatacara penghitungan, pelaporan, penyetoran dan pelaporan pajak peghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ialah Peraturan Menteri Keuangan No. 107/PMK.011/2013. Penyetoran dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dengan menggunakan Surat Stoeran Pajak (SSP). Jika SSP sudah validasi NTPN, Wajib Pajak tidak perlu melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2 karena dianggap sudah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2. 2. Convinience Pada variabel convinience pembayaran pajak haruslah memberikan kenyamanan sehingga mendorong wajib pajak taat membayar pajak. Variabel convenience menekankan bagaimana sistem pembayaran dapat memudahkan kepada wajib pajak, tidak menyusahkan dan tidak berbelit-belit. Tidak hanya dari segi kemudahan, tetapi sistem pembayarannya harus membuat rasa nyaman bagi wajib pajak. Pembayaran pajak final berdasarkan PMK 107/2013 pada Pasal 10 dijelaskan bahwa Wajib Pajak Penghasilan terutang dapat disetor melalui kantor pos atau bank yang ditujukan oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP). Dengan kebijakan tersebut surat setor pajak (SSP) akan menggantikan SPT masa, dimana adanya kebijakan ini Wajib Pajak tidak perlu melaporkan pajak terutang, karena sudah secara otomatis sudah terlapor pada KPP tempat wajib pajak terdaftar. Selain itu juga, salah satu kemudahan yang diberikan adalah pembayaran pajak melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun (24 jam). Dengan tersedianya
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
sistem pembayaran seperti ini akan mempermudah Wajib Pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya. Bukti transaksi dari ATM akan digunakan sebagai surat setor pajak bagi Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak perlu datang ke KPP untuk melaporkan bukti penyetoran pajak terutangnya. 3. Efficiency Bagi wajib pajak yang dikenai pajak penghasilan final dalam PP No.46/2013 untuk melaksanakan kewajiban maupun hak-hak perpajakannya seperti biaya untuk melakukan penyetoran tidaklah sulit. Penyetoran dapat dilakukan untuk melalui bank atau kantor pos bahkan ATM. Sehingga tidak membutuhkan biaya yang cukup besar dalam melakukan penyetoran. Selain itu juga, pada PP No.46/2013 dengan melakukan penyetoran menggunakan surat setor pajak (SSP) wajib pajak tidak perlu lagi melakukan pelaporan dengan menggunakan surat pemberitahuan (SPT) karena dengan SSP tersebut wajib pajak sudah dianggap melakukan pelaporan SPT karena dengan SSP tersebut wajib pajak sudah dianggap melakukan pelaporan SPT. Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam hal transportasi semakin minimal dalam melakukan kewajiban pajaknya. Biaya yang dibutuhkan oleh wajib pajak tidak hanya terkait dengan biaya transportasi, wajib pajak juga membutuhkan biaya untuk kelengkapan dokumen-dokumen yang dibutuhkan. PP No. 46/2013 merupakan salah satu metode penerapan presumptive taxation, Menurut Thuronyi, tujuan dari adanya sistem presumptive taxation adalah untuk menyediakan metode alternatif dalam menilai wajib pajak yang tidak dalam posisi mampu menyelenggarakan pembukuan, atau wajib pajak yang pencatatanya menyulitkan administrasi pajak untuk mengontrolnya. Dari tujuan tersebut maka dapat diketahui bahwa hanya jenis pajak yang berbasiskan pencatatan akuntansilah yang dapat digantikan oleh presumptive taxation. Dengan demikian, pada umumnya wajib pajak dari PP No.46/2013 untuk penghitungan pajak terutang wajib tidak perlu menggunakan sistem pembukuan, cukup dengan melakukan pencatatan peredaran bruto dari usahanya. Apabila melihat dari segi waktu dalam pembayaran dan pelaporan, maka wajib pajak UKM yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliar sudah cukup menghemat waktu karena pembayaran dan pelaporan dilakukan dalam waktu bersamaan.
4. Simplicity
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
Pada dasarnya secara ideal pengenaan pajak atas penghasilan yaitu dengan global taxation, semua penghasilan dijumlahkan kemudian dikurangkan dengan biaya-biaya yang dapat dijadikan biaya dalam fiskal setelah itu dikenakan tarif pajak. Namun, PP No.46/2013 dalam rangka memberikan kemudahan bagi wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya menggunakan scheduler taxation dengan presumptive tax dalam menghitung pajak terutangnya. Indikator kesederhaan dari pajak penghasilan final pada UKM yang kedua ialah terkait dengan kesederhaan dalam tata cara pembayaran dan pelaporan. Pada Pasal 9 PP 46 jo. Pasal 10 ayat 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Dengan Peredaran Bruto Tertentu, wajib pajak yang sudah melakukan setoran PPh final sesuai dengan PP 46 dianggap sudah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2. Pada saat wajib pajak telah melakukan penyetoran, maka secara otomatis wajib pajak telah melakukan pelaporan. Cost of collection Secara teori, seharusnya biaya pemungutan pajak final (PP No.46/2013) lebih rendah dibandingkan dengan biaya pemungutan pajak lain, hal ini dikarenakan pemungutan pajak final menggunakan sistem pemungutan presumptive taxation. Ada beberapa faktor yang menyebabkan biaya pemungutan PP No.46/2013 yang lebih besar, yaitu dikarenakan karakteristik UKM yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8 miliar. UKM yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8 miliar merupakan usaha yang sebagian besar dari pemiliknya tidak bermodalkan pendidikan bisnis atau akuntansi sehingga sangat sulit untuk melakukan pembukuan, sekalipun melakukan pembukuan atau pencatatan, hanya dilakukan secara estimasi sehingga sangat membutuhkan edukasi yang cukup intens untuk mengerakkan UKM yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8 miliar
menerapkan kebijakan ini. Karena
keterbatasan pengetahuan juga, banyak UKM yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8 miliar yang tidak dapat bertahan lama. Besarnya biaya pemungutan ini hanya akan terjadi diawal dari kebijkan ini berlaku, karena membutuhkan sosialisasi yang lebih aktif kepada UKM yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8 miliar dibandingkan dengan sosialisasi kepada wajib pajak lain. Setelah sosialisasi dilakukan secara tepat sehingga wajib pajak dari PP No.46/2013 memahami kebijakan ini, biaya pemungutan akan menjadi lebih rendah
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
dibanding dengan biaya pemungutan pajak lain, karena menggunakan sistem presumptive taxation yang sistem perhitungannya sangat sederhana.
Kesimpulan
1) Kemudahan pelaksanaan kewajiban perpajakan diharapkan akan mendorong sektor usaha kecil mikro menengah untuk membayar pajak. Ditinjau dari asas ease of administration pengenaan pajak penghasilan final terhadap UKM sudah memenuhi semua unsur ease of administration yaitu certainty, convenience, efficiency dan simplicity. 2) Ditinjau dari cost of collection pengenaan pajak penghasilan final terhadap UKM membutuhkan biaya yang lebih besar dari pajak penghasilan pada umumnya. Hal ini dikarenakan karakteristik dari UKM dan juga kebijakan ini baru diterbitkan.
Saran
Sosialisasi tentang PP No.46/2013 dapat dilakukan dengan pendekatan secara pribadi dan lebih detail menjelaskan esensi dari UKM dalam membayar pajak, seperti dengan menerbitkan buku saku. Dengan metode ini cost of collection yang dikeluarkan akan tetap sama tetapi diharpkan dapat memaksimalkan penerimaan.
Daftar Referensi Buku Alm, James, Martines-Vazquez, Jorge and Wallace, Sally. (2005). Taxing the Hard-to-tax Lessons from Theory and Practice: Emerald Group Cedric T. Sandford, M.R. Goodwin dan P.J.W. Hardwick. (1989). Administrative and Complience Costs of Taxation, Fiscal Publications. Bath
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
Gunadi. (1999). Akuntansi Pajak. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Ilyas, Wirawan B, Rudy Suharto. (2007). Pajak Penghasilan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI John L Mikesell. (1982). Fiscal Administration: Analysis and Application for The Public Sector. Homewood: The Dorsey Press. Mansury. (2000). Kebijakan Perpajakan. Jakarta: YP4 Mansury. (2002). Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP3). Mansury. (1996). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia, jilid 3. Jakarta: Bina Rena Marsuni, Lauddin. (2006. Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Nurmantu, Safri. (2003). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit Rosdiana, Haula. (2003). Pengantar Perpajakan: Konsep, Teori dan Aplikasi. Depok: Yayasan Pendidikan dan Pengkajian Perpajakan Rosdiana, Haula, dan Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Rosdiana, Haula, dan Irianto, Edi Slamet. (2010). Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Visi Media. Rosdiana, Haula, dan Irianto, Edi Slamet. (2011). Pengantar Ilmu Pajak: Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Thuronyi, Victor. (1996). Tax Law Design and Drafting volume 1: International Monetary Fund Skripsi Aj, Anggraini Sitepu, (2009). Kebijakan Pengurangan Tarif Pajak Penghasilan Pada Wajib Pajak Badan Usaha Mikro Kecil Menengah (UKM) Ditinjau dari Asas Keadilan. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. Prasetyo, M.Dali, (2013). Kebijakan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Melakukan Kegiatan Usaha Dengan Peredaran Bruto Tertentu. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. Sumber Elektronik Depkeu. Evaluasi Penerimaan Pajak Penghasilan Non Migas.
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014
http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/adoku/2012%5Ckajian%5Cpkapbn%5CExecutive %20Sumary%20Evaluasi%20Penerimaan%20PPh%20Non%20migas%20tahun%20201 2.pdf diunduh pada tanggal 01 Februari 2014 Depkeu. Anggaran: Haruskah UKM menopang APBN? http://www.bppk.depkeu.go.id/webanggaran/index.php/component/content/article/92 artikel/609 haruskah-UKM-menopang-apbn diunduh pada tanggal 12 Februari 2014 Detik. Kondosi Ekonomi Dunia Memprihatinkan Bisa Berdampak ke RI. http://finance.detik.com/read/2013/09/13/153153/2358252/4/agus-marto-kondisiekonomi-dunia memprihatinkan-bisa-berdampak-ke-ri diunduh pada tanggal 03 Maret 2014 Depkeu. Pajak Penghasilan Atas Wajib Pajak Yang Melakukan Usaha Dengan Peredaran Usaha Tertentu. http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/artikel/opini-kita-pph/1385pajak penghasilan atas-wajib-pajak-yang-melakukan-usaha-dengan-peredaran-usaha-tertentu diunduh pada tanggal 31 Mei 2014 Ortax. Berita Tentang PP 46 Nomor 2013. http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=13067&q=&hlm=91 diunduh pada tanggal 31 Mei 2014
Analisis kebijakan ..., Belinda Sri Yunika BR Kaban, FISIP UI, 2014