AUDIT TATA RUANG DESA TUGU UTARA DAN DESA TUGU SELATAN KAWASAN PUNCAK
LUTFIA NURSETYA FUADINA
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Audit Tata Ruang Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan Kawasan Puncak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2014 Lutfia Nursetya Fuadina NIM A14100064
ABSTRAK LUTFIA NURSETYA FUADINA. Audit Tata Ruang Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan Kawasan Puncak. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan LA ODE SYAMSUL IMAN. Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan merupakan bagian dari sub DAS Ciliwung hulu yang terletak di kawasan Puncak. Pembangunan intensif di kawasan hulu sub DAS Ciliwung yang tidak sesuai dengan pola ruang dalam RTRW berakibat pada penurunan kualitas lingkungan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : (1) mengidentifikasi distribusi spasial pola ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025, status kawasan hutan berdasarkan SK Kementerian Kehutanan, kelas kemampuan lahan, dan penggunaan lahan aktual di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan; dan (2) menganalisis inkonsistensi antara penggunaan lahan aktual Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan dengan kriteria ideal peruntukan pemanfaatan ruang. Penggunaan lahan yang dominan di Desa Tugu Utara adalah kebun teh (luas 36% dari luas desa), sedangkan penggunaan lahan yang dominan di Desa Tugu Selatan adalah hutan (luas 60% dari luas desa). Inkonsistensi penggunaan lahan terhadap pola ruang berdasarkan peta RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 terbesar terdapat pada peruntukan kawasan hutan lindung dengan pemanfaatan ruang aktual sebagai perkebunan teh sebesar 580 Ha. Kata kunci : Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang, Kawasan Puncak, RTRW, Status Kawasan Hutan
ABSTRACT LUTFIA NURSETYA FUADINA. Spatial Planning Audit of Tugu Utara Village and Tugu Selatan Village, Puncak Area. Supervised by ERNAN RUSTIADI AND LA ODE SYAMSUL IMAN. Tugu Utara Village and Tugu Selatan village are part of the upstream Ciliwung watershed that located in Puncak area. Intensive development in the upstream of Ciliwung watershed that are inconsistent with the spatial planning regulation resulted in environmental degradation. This research was conducted with the aims to (1) identify the spatial patterns of Bogor District Spatial Plan 2005-2025, status of forest area, land capability class and actual land use in Tugu Utara Village and Tugu Selatan Village; and (2) analyze the inconsistencies between the actual land use and the ideal criteria of land use allocation. Dominant land use in Tugu Utara village is a tea plantation (area of 36% of the village), while the dominant land use in Tugu Selatan village is a forest (area of 60% of the village). Inconsistency of the actual land use according to the allocation based on Bogor District Spatial Plan 2005-2025 found in protected forest areas with actual land use as a tea plantation with an area of 580 ha. Key words: Land Use Inconsistencies, Puncak area, Spatial Planning Regulation, Forest Status
AUDIT TATA RUANG DESA TUGU UTARA DAN DESA TUGU SELATAN KAWASAN PUNCAK
LUTFIA NURSETYA FUADINA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Audit Tata Ruang Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan Kawasan Puncak Nama : Lutfia Nursetya Fuadina NIM : A14100064
Disetujui oleh
Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr Pembimbing I
La Ode Syamsul Iman, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah inkonsistensi penggunaan lahan, dengan judul Audit Tata Ruang Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan Kawasan Puncak. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr selaku dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan ilmu, bimbingan, dan motivasi selama masa studi di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Terima kasih kepada La Ode Syamsul Iman, MSi selaku dosen pembimbing skripsi kedua atas ilmu, bimbingan dan saran dalam penyempurnaan penulisan skripsi. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Dr Ir Baba Barus, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan bagi penulis dalam penyempurnaan skripsi ini. Bappeda Kabupaten Bogor dan Pemerintah Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan serta masyarakat desa atas bantuan, penerimaan dan kerjasamanya dengan baik. Tim COMDEV P4W IPB atas ilmu dan bimbingan saat observasi lapang. Ibunda Nurmawati dan adik Silfia serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa dan kepercayaan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S1 ini. Dyah Retno Panuju, MSi dan Setyardi P. Mulya, MSi serta seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya. Sahabat seperjuangan Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah 47 Emi, Andang, Zulfa, Angela, Dwi, Salimah, Aeni, Ardy atas kebersamaan dan dukungan selama penelitian. Novianti, Asti, Ria, Ayu, Tria, Yohanna, Karjono, Sudi, Miftah, dan keluarga besar ITSL 47 atas kerjasama dan kebersamaannya. Sahabat terdekat Adisty, Maulina, Rida, Nunik, Vega, Aris atas dukungan dan motivasinya. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014 Lutfia Nursetya Fuadina
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Lahan dan Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan
2
Tata Ruang dan Penataan Ruang
2
Inkonsistensi Tata Ruang
3
Kawasan Hutan
4
Kawasan Lindung
4
Kawasan Puncak
5
Audit Tata Ruang Kawasan Puncak
6
METODE PENELITIAN
7
Waktu dan Lokasi Penelitian
7
Jenis Data dan Sumber Data
7
Analisis
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
13
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
13
Pola Ruang, Status Kawasan Hutan, Kelas Kemampuan Lahan dan Penggunaan Lahan
15
Analisis Inkonsistensi Penggunaan Lahan Aktual berdasarkan RTRW
22
Inkonsistensi Penggunaan Lahan berdasarkan Status Kawasan, Kelas Kemampuan Lahan, dan RTRW
26
SIMPULAN DAN SARAN
35
Simpulan
35
Saran
36
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
46
DAFTAR TABEL 1. Data spasial yang digunakan 2. Matrik Logika Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan 2012 dengan RTRW Kabupaten Bogor 3. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Pola Ruang dalam RTRW Kab. Bogor 2005-2025 4. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Status Kawasan Hutan 5. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Kelas Kemampuan Lahan 6. Resume Luas (Ha) dan Proporsi (%) Kelas Kemampuan Lahan 7. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan 8. Luas Inkonsistensi Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan 9. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Pertukan Ruang dalam RTRW Desa Tugu Utara 10. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Pertukan Ruang dalam RTRW Desa Tugu Selatan 11. Luas Bentuk Inkonsistensi Penggunaan Lahan (Ha) 12. Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran I 13. Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran II 14. Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran III 15. Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran IV
8 12 16 18 19 20
21 23 24 24 27 29 31 33 35
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4.
Lokasi Penelitian Diagram Alir Metode Penelitian Diagram Alir Penentuan Konsistensi Penggunaan Lahan Matrik Kesesuaian Penggunaan Lahan terhadap RTRW dan Status Kawasan Hutan 5. Penutupan Lahan DAS Ciliwung 6. Peta rencana pola ruang menurut RTRW Kabupaten Bogor (a), Peta Status Kawasan Hutan (b), Peta Kelas Kemampuan Lahan (c), dan Peta Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan (d) 7. Proporsi Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan 8. Peta Inkonsistensi antara Penggunaan Lahan terhadap Pola Ruang dalam RTRW 9. Jumlah Poligon Inkonsistensi Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan 10. Inkonsistensi Penggunaan Lahan berdasarkan RTRW, SK, dan KL
7 10 11 13 14
16 22 23 25 27
11. Bentuk Inkonsistensi pada K1.1 (a), Bentuk Inkonsistensi pada K1.2 (b) 12. Peta Inkonsistensi Kuadran I 13. Bentuk Inkonsistensi pada K2.1 (a), Bentuk Inkonsistensi pada K2.2 (b) 14. Peta Inkonsistensi Kuadran II 15. Bentuk Inkonsistensi pada K3.1 (a), Bentuk Inkonsistensi pada K3.2 (b) 16. Peta Inkonsistensi Kuadran III 17. Bentuk Inkonsistensi pada K4.1 (a), dan Bentuk Inkonsistensi pada K4.2 (b) 18. Peta Inkonsistensi Kuadran IV
28 28 30 30 32 33 34 34
DAFTAR LAMPIRAN 1. Dokumentasi Wawancara Terfokus 2. Kombinasi Penggunaan Lahan dengan RTRW, SK, KL
39 40
PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Puncak merupakan salah satu kawasan di Indonesia yang dalam sistem pengelolaannya membutuhkan penanganan khusus dari pemerintah. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008, Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) adalah kawasan strategis nasional yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting terhadap kedaulatan negara, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Arti penting kawasan Puncak tersebut terkait dengan berbagai macam fungsi dan manfaat strategis yang memiliki pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat dan wilayah sekitarnya. Pengelolaan kawasan strategis Puncak diarahkan untuk terselenggaranya keseimbangan ekologi sebagai kawasan resapan air dan pengendali banjir (Perpres 54/2008). Fungsi ekologi ini terkait dengan keberadaan kawasan hutan yang merupakan sumber plasma nutfah yang kaya keberagaman flora dan fauna khas tropis yang perlu dijaga kelestariannya. Lebih kurang 1.000 jenis flora dengan 57 famili ditemukan di kawasan ini, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) 925 jenis, tumbuhan paku 250 jenis, lumut 123 jenis, dan jenis ganggang, Spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya (Statistik TNGP 2007). Fungsi ekologi penting kawasan Puncak selanjutnya adalah Puncak merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang mengalir ke wilayah Jakarta. Pengelolaan ekosistem DAS bagian hulu mempengaruhi keberlanjutan ekosistem DAS bagian hilir. Berdasarkan manfaat strategis dan keindahan alamnya, kawasan Puncak menjadi salah satu lokasi tujuan pariwisata unggulan di Provinsi Jawa Barat (Disparbud 2003). Tingginya permintaan penguasaan lahan di kawasan Puncak oleh berbagai pihak yang mengakibatkan kawasan ini menjadi tujuan investasi yang memberikan keuntungan ekonomi secara pribadi. Sarana penunjang pariwisata seperti hotel/villa, restoran, dan pusat perbelanjaan tumbuh menjamur di sepanjang jalur Puncak yang seharusnya merupakan tanah milik negara. Kecenderungan pembangunan yang bersifat eksploitatif tersebut banyak merupakan hasil dari alih fungsi lahan kawasan hutan maupun lahan perkebunan. Pembangunan yang tidak menghiraukan keseimbangan ekologi tersebut berakibat pada penurunan kualitas lingkungan, seperti berkurangnya kapasitas resapan air di hulu DAS Ciliwung sehingga berdampak akumulatif terhadap terjadinya banjir di bagian hilir. Audit tata ruang merupakan upaya pengendalian yang dilakukan untuk penertiban pemanfaatan ruang. Urgensi dilaksanakannya audit tata ruang terkait dengan upaya preventif untuk mengurangi dampak degradasi lingkungan yang terjadi pada masa yang akan datang. Pemanfaatan ruang yang ideal merupakan bentuk pemanfaatan yang sesuai dengan pola ruang dalam RTRW, tidak melanggar status kawasan hutan, serta sesuai dengan derajat kemampuan lingkungan fisik lahan. Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, audit atau pengawasan merupakan bagian dari penyelenggaraan penataan ruang. Penelitian
2 ini dilakukan untuk mengaudit kesesuaian penggunaan lahan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan terhadap kelas kemampuan lahan, status kawasan hutan berdasarkan Surat Kementerian Kehutanan Tahun 2010, dan pola ruang berdasarkan RTRW dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk (1) mengidentifikasi distribusi spasial pola ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025, status kawasan hutan berdasarkan SK Kementerian Kehutanan, kelas kemampuan lahan, dan penggunaan lahan aktual di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, dan (2) menganalisis inkonsistensi antara penggunaan lahan aktual Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan dengan kriteria ideal peruntukan pemanfaatan ruang.
TINJAUAN PUSTAKA Lahan dan Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan Lahan adalah salah satu sumberdaya alam yang paling penting untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Lahan merupakan platform dimana aktivitas manusia berlangsung. Penggunaan lahan merupakan elemen dasar dalam aktivitas manusia. Konsep penggunaan lahan mengacu pada serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan satu atau lebih produk atau jasa (Supreme Audit Institutions 2013). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi penggunaan lahan perdesaan (rural land use) dan penggunaan lahan perkotaan (urban land use). Penggunaan lahan perdesaan dititik beratkan pada produksi pertanian, sedangkan penggunaan lahan perkotaan dititik beratkan pada tujuan untuk tempat tinggal. Penggunaan lahan berdasarkan Arsyad (2006) dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan dan dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan lahan seperti tegalan (pertanian lahan kering atau pertanian pada lahan tidak beririgasi), sawah, kebun, kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya. Tata Ruang dan Penataan Ruang Segala bentuk pemanfaatan ruang di suatu wilayah telah diatur dalam dokumen tata ruang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang
3 berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Penggunaan lahan pada kawasan lindung dan kawasan budidaya diatur dalam dokumen Tata Ruang atau biasa disebut RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, dan seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang, sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan secara berhirarkis menurut kewenangan administratif, yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci (Hariyanto dan Tukidi 2007). Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Prinsip penataan ruang adalah pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, efektif dan efisien, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Adapun penataan ruang bertujuan untuk terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan, terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya, serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, pada pasal 3 termuat tujuan penataan ruang, yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang terhadap lingkungan. Berdasarkan Rustiadi (2007), urgensi atas penataan ruang timbul sebagai akibat dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya intervensi publik atau collective action terhadap kegagalan mekanisme pasar (market failure) dalam menciptakan pola dan stuktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama. Sehingga penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif atas kehidupan sosial dan lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik, penataan ruang dilakukan sebagai: (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya), dan (3) menjaga keberlanjutan pembangunan. Inkonsistensi Tata Ruang Pembangunan yang pesat di beberapa sektor sangat berkaitan dengan tingginya kebutuhan untuk memanfaatkan ruang. Setiap kegiatan pemanfaatan ruang seharusnya mengacu pada dokumen RTRW yang telah ditetapkan. Berdasarkan Rustiadi (2007), RTRW adalah acuan formal pemanfaatan ruang, tetapi fakta lapangan menunjukkan terjadinya Master Plan Syndrome, karena penyelenggaraan penataan ruang saat ini hanya mampu diwujudkan hingga
4 sebatas dokumen rencana namun sulit diimplementasikan. Hal tersebut dikarenakan dokumen perencanaan belum efektif menjadi instrumen pengendali pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumberdaya. Menurut Rustiadi et al. (2011), alih fungsi lahan merupakan bentuk dan konsekuensi logis dari perkembangan potensial land rent di suatu lokasi. Oleh karenanya proses alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan baru yang lebih produktif. Inkonsistensi tata ruang merupakan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan pola ruang yang tercantum dalam dokumen RTRW. Bentuk pelanggaran tata ruang yang umum terjadi adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan, seperti pemanfaatan ruang untuk tujuan budidaya yang dilakukan di kawasan lindung. Masalah yang timbul dalam perubahan peruntukan dan fungsi kawasan yaitu karena perubahan dilakukan tidak melalui mekanisme yang telah diatur, serta tidak/belum diperolehnya rekomendasi tim terpadu yang menyatakan bahwa perubahan tersebut tidak mengganggu ekologis, sementara telah dilakukan pemanfaatan kawasan dan lahan yang telah berubah tersebut. Perilaku tersebut akan mengakibatkan terganggunya fungsi lingkungan pada kawasan lindung dan menimbulkan kerugian sosial (Buletin Tata Ruang 2012). Kawasan Hutan Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009). Dikutip dari Buleting Tata Ruang (2012), bahwa penetapan kawasan hutan dicirikan dengan telah dikukuhkannya kawasan hutan yang meliputi tahapan penunjukan, tata batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan serta adanya institusi pengelola di tingkat tapak dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan antar fungsi pokok kawasan atau perubahan dari Hutan Lindung (HL) ke Hutan Produksi Terbatas (HPT) atau perubahan dari Cagar Alam (CA) ke Taman Nasional (TN). Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dapat ditempuh melalui perubahan di tingkat provinsi yang pelaksanaannya dilakukan bersamaan dengan proses revisi RTRWP atau dapat dilakukan secara parsial. Perubahan peruntukan secara parsial yang berasal dari kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) dapat dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan. Sedangkan perubahan peruntukan kawasan HPT dan Hutan Produksi Tetap (HP) dilaksanakan melalui tukar-menukar kawasan hutan. Perubahan peruntukan dan fungsi yang saat ini banyak terjadi dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan pola ruang dalam revisi RTRWP. Kawasan Lindung Berdasarkan Rustiadi et al (2011), istilah kawasan digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu wilayah. Dikutip dari Kamus Tata Ruang
5 dalam Adisasmita (2010), kawasan merupakan wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya, ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional serta memiliki ciri tertentu (spesifik/khusus). Berdasarkan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Dengan semakin terbatasnya ruang, maka untuk menjamin terselenggaranya kehidupan dan pembangunan yang berkelanjutan dan terpeliharanya fungsi pelestarian lingkungan, maka upaya pengaturan dan perlindungan terhadap kawasan lindung perlu diatur dalam kebijakan pengembangan pola pemanfaatan ruangnya (Adisasmita 2010). Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Kawasan lindung meliputi: (1) kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya (kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air), (2) kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air), (3) kawasan suaka alam dan cagar budaya, dan (4) kawasan rawan bencana alam. Kawasan lindung memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahnya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi, serta memelihara kesuburan tanah. Kawasan Puncak Kawasan Puncak tergolong kawasan strategis dan memperoleh prioritas penanganan berdasarkan kepentingan sosial ekonomi dan lingkungan di Kabupaten Bogor. Dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, pengembangan kawasan strategis Puncak sebagai kawasan wisata dan konservasi dengan tetap mempertahankan pelestarian lingkungan hidup. Rencana pengelolaan kawasan strategis Puncak diarahkan untuk terselengaranya keseimbangan ekologi sebagai kawasan resapan air dan pengendali banjir, meliputi: (1) Kecamatan Cisarua, (2) Kecamatan Megamendung, (3) sebagian wilayah Kecamatan Ciawi. Penataan ruang Kawasan Puncak diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008, tentang penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur). Dalam Pasal 3 dikemukakan bahwa tujuan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang berkaitan dengan upaya konservasi air dan tanah, upaya menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, penanggulangan banjir, dan pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Fungsi perlindungan keseimbangan tata-guna air tidak dapat dipisahkan dengan ada/tidaknya daerah hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (2011), telah terjadi deforestasi seluas 4.758,03 Ha di kawasan hutan lindung Puncak. Dari enam DAS di Kabupaten Bogor yang mengalir ke Propinsi DKI Jakarta, hanya DAS Ciliwung yang memiliki tutupan hutan dengan seluas 3.565 Ha (12,22%). Secara total presentase tutupan hutan dari enam buah DAS yang mengalir ke Propinsi
6 DKI Jakarta hanya 4,30%, sangat kritis untuk menyangga Jakarta. Jika tutupan hutan di wilayah DAS bagian hulu tidak terjaga maka kapasitas tanah dalam menahan air akan berkurang. Sehingga mempercepat laju intrusi air laut ke daratan yang dapat berakibat penurunan permukaan tanah (Forest Watch Indonesia 2011). Audit Tata Ruang Kawasan Puncak Penggunaan lahan dan pengelolaan lahan merupakan masalah yang melibatkan banyak pemangku kepentingan yang berdampak pada sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Akibatnya, perencanaan dan manajemen yang efektif diperlukan untuk merekonsiliasi tujuan para pemangku kepentingan untuk membawa mereka bersama-sama merumuskan penggunaan lahan yang berkelanjutan. Keputusan penggunaan lahan yang tidak tepat dapat mengakibatkan perubahan besar pada lingkungan termasuk DAS dan kualitas air. Pemerintah memainkan peran penting dalam pelaksanaan kebijakan dalam penggunaan lahan. Pemerintah mengatur eksploitasi sumberdaya dan mengontrol penggunaan lahan. Pemerintah mengatur penggunaan lahan melalui berbagai instrumen, yang meliputi peraturan seperti Undang-Undang maupun izin (Supreme Audit Institutions 2013). Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa perlu dilaksanakan pengawasan penataan ruang agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Audit tata ruang merupakan salah satu upaya pengawasan penataan ruang. Kawasan yang saat ini sedang diaudit adalah Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur). Standart penataan ruang kawasan tersebut diatur secara khusus dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang kawasan Jabodetabekpunjur. Terjadinya krisis lingkungan akibat menurunnya tutupan hutan di hulu DAS Ciliwung berpotensi akan makin parah bila tidak dilakukan upaya mengembalikan dan rehabilitasi sesuai fungsi kawasan lindung. Ketidaksesuaian praktek penggunaan lahan di kawasan Puncak dapat diketahui dari tingginya penyalahgunaan kawasan lindung menjadi kawasan terbangun. Penyalahgunaan lahan tersebut terjadi karena pembangunan yang dilakukan oleh pengembang tidak sesuai dengan persyaratan perizinan. Pembangunan tersebut antara lain pembangunan villa di kawasan resapan air. Berdasarkan Rukmana dalam berita Penataan Ruang (2013), di antara lahan yang dipetakan, cukup banyak yang penggunannya tidak sesuai dengan peruntukan sebenarnya. Misalnya, kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung menjadi lokasi industri dan pergudangan. Apabila indikasi penyalahgunaan terbukti jelas, pemerintah secara tegas akan mengenakan sanksi. Sanksi administrasi berupa pembongkaran bangunan dan penarikan izin, sementara sanksi pidana bisa berupa hukuman penjara dan denda. Audit didesain untuk mengidentifikasi implikasi dari penggunaan lahan eksisting serta mengidentifikasi inkonsistensi dengan perencanaan maupun regulasi. Tujuan pelaksanaan audit untuk menjamin bahwa perencanaan penggunaan lahan dapat diimplementasikan di bawah regulasi yang telah ditetapkan (Taylor 2013).
7
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Analisis data dilakukan di Studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB, serta di Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB. Penelitian berlangsung mulai dari bulan Maret 2014 sampai Agustus 2014. Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Jenis Data dan Sumber Data
Gambar 1 Lokasi Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer, data spasial, dan data dokumen informasi penting terkait penelitian. Data primer diperoleh dengan melakukan pengecekan lapangan disertai pengambilan titik pengamatan dengan bantuan alat GPS serta wawancara terfokus. Data spasial yang digunakan berupa: citra Ikonos Kabupaten Bogor tahun 2012, peta Pola Ruang dan dokumen RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, peta status hutan kawasan Puncak, peta kemampuan lahan Kecamatan Cisarua, peta jalan dan peta sungai Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan dan peta administrasi Kabupaten Bogor. Perangkat yang digunakan berupa komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak pemetaan. Peralatan lainnya yang digunakan adalah Global Positioning System (GPS) dan kamera digital. Data spasial yang digunakan untuk penelitian ditunjukkan pada Tabel 1.
8 Tabel 1 Data spasial yang digunakan No .
Jenis data
Skala Resolusi Sumber data dan Informasi Spasial
1. Peta administrasi Jawa Barat tahun 2007 2. Peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 3. Peta status hutan
1 : 100.000
Bappeda Prov. Jawa Barat
1 : 50.000
Bappeda Kab. Bogor
1 : 50.000
4. Peta tanah Kecamatan Cisarua
1 : 50.000
5. Peta jalan
1 : 25.000
6. Peta sungai
1 : 25.000
Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian RBI BIG, lembar 1209-141 dan 1209-142 RBI BIG, lembar 1209-141 dan 1209-142 Diunduh dari www.earthexplorer.usgs.gov
7. Digital Elevation Model kawasan Puncak (SRTM 2 acrsecond) kemampuan lahan 8. Peta Kecamatan Cisarua 9. Peta penggunaan lahan
1 : 25.000 1 : 25.000
Diekstrak dari Peta Sistem Lahan (RePPPROT 1998) Interpretasi visual citra Ikonos 2012
Analisis Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap, yaitu: 1) tahap persiapan, pengumpulan data, dan observasi lapang, 2) analisis spasial, 3) analisis data dan wawancara terfokus. Tahap analisis dalam penelitian ditunjukkan pada Gambar 2. Berikut penjelasan secara rinci analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini : Analisis Pengolahan Data Spasial Pada penelitian ini, analisis peruntukan pemanfaatan ruang diperoleh dari peta RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025, peta status kawasan hutan, dan peta kelas kemampuan lahan. Pembuatan peta kelas kemampuan lahan diawali dengan pendetilan peta sistem lahan dan digitasi landform pada SRTM DEM. Kelas kemampuan lahan ditentukan berdasarkan faktor pembatas yang paling berat, yaitu kemiringan lereng. Selanjutnya analisis penggunaan lahan dilakukan dengan klasifikasi visual terhadap citra Ikonos tahun 2012. Sebelum proses digitasi dilakukan, terlebih dahulu dilakukan koreksi geometri dengan maksud agar memiliki sistem referensi dan acuan sistem koordinat yang sama. Sistem proyeksi koordinat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem UTM dengan datum WGS 84 pada zona 48S. Citra Ikonos terlebih dahulu direktifikasi pada peta jalan dan peta sungai Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan untuk mempermudah melihat objek yang sama pada peta topografi dan citra yang akan dikoreksi. Koreksi geometri dilakukan pada perangkat lunak pemetaan dengan menentukan titik control GCP (Ground Control Point) sebanyak 4 titik yang berbeda. Akurasi koreksi geometri diukur dengan nilai RMS-Error (Root Mean Square-Error).
9 Selanjutnya dilakukan digitasi penggunaan lahan pada peta administrasi Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan skala 1:5000 terhadap citra yang sudah dikoreksi. Unsur-unsur interpretasi yang digunakan adalah: (1) rona ialah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto, (2) bentuk ialah konfigurasi atau kerangka suatu obyek, (3) pola ialah hubungan susunan spasial obyek, (4) tekstur ialah frekuensi perubahan rona pada citra fotografi, (5) ukuran ialah pertimbangan bentuk obyek sehubungan dengan skala foto, (6) situs ialah hubungan obyek dengan obyek yang lain (Lillesand et al. 2004). Pada citra Ikonos 2012 di lokasi penelitian, klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian ini dibedakan menjadi sembilan kelas, antara lain : 1. Hutan Hutan merupakan suatu hamparan ekosistem sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999). Hutan diinterpretasi berwarna hijau gelap, bertekstur kasar dengan pola berkelompok. 2. Kebun teh Kebun teh merupakan bentuk pertanian budidaya dengan komoditas utama tanaman teh. Kebun teh dinterpretasi berwarna hijau muda, bertekstur halus dengan pola berkelompok. 3. Kebun campuran Kebun campuran merupakan bentuk budidaya pertanian lahan kering dengan komoditas yang beragam (mix farming) dan biasanya campuran antara tanaman budidaya dan pohon berkayu. Kebun campuran diinterpretasi berwarna hijau bercampur coklat, bertekstur kasar dengan pola menyebar. 4. Sawah Sawah merupakan bentuk budidaya pertanian lahan basah dengan komoditas utama tanaman padi. Sawah diinterpretasi berwarna hijau muda bercampur abu-abu dan biru, dengan bentuk persegi panjang, bertekstur halus dan berpola berkelompok. 5. Tegalan Tegalan merupakan bentuk pertanian budidaya pertanian lahan kering dengan komoditas yang beragam dan biasanya dominan tanaman palawija pada satu petak lahan. Tegalan diinterpretasi berwarna coklat bercampur hijau, dengan bentuk persegi panjang, bertekstur agak halus dan pola berkelompok. 6. Semak/lahan terbuka Semak merupakan lahan yang ditumbuhi rumput maupun alang-alang dengan kerapatan jarang. Lahan terbuka merupakan lahan tanpa penutup vegetasi. Semak/lahan terbuka diinterpretasi berwarna coklat sedikit bercampur hijau, bertekstur agak halus dan pola berkelompok. 7. Pemukiman Pemukiman merupakan lahan terbangun dengan bentuk bangunan rumah, perkantoran, pertokoan, industri, maupun jasa. Pemukiman diinterpretasi berwarna merah bercampur biru dan kuning, bertekstur halus, berpola mengelompok, berbentuk memanjang di sekitar jalan raya. 8. Emplasmen Emplasmen merupakan bangunan selain pemukiman berupa pabrik, lapangan tenis dan juga lahan terbuka seperti lapangan. Emplasmen diinterpretasi berwarna abu-abu, hijau, dan coklat dengan pola menyebar.
10 9.
Villa Villa merupakan bangunan rumah yang diinterpretasi berwarna merah bercampur biru dan kuning, memiliki asosiasi berupa halaman luas dan terdapat kolam renang, dengan pola menyebar.
Citra Ikonos 2012
Peta Jalan dan Peta Sungai Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan
Koreksi Geometri
Subset (Batas Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan)
Digitasi Penggunaan Lahan Skala 5000 (Klasifikasi 9 Kelas)
Peta Penggunaan Lahan Detil Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan 2012
Peta RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025
Peta Sistem Lahan dan SRTM DEM
Digitasi landform berdasarkan DEM
Pendetilan peta sistem lahan dan penentuan KKL
Peta Kelas Kemampuan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan
Peta Fungsi Kawasan Hutan Puncak
Clip (Batas Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan)
Peta Status Hutan Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan
Tumpang tindih
Peta Penggunaan Lahan berdasarkan Kemampuan Lahan dan Fungsi Kawasan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan
Matrik Logika Inkonsistensi
Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan 2012
Audit Tata Ruang Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan
Gambar 2 Diagram Alir Metode Penelitian
11 Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Bentuk inkonsistensi pemanfaatan ruang di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan diketahui dengan tumpang tindih (overlay) peta penggunaan lahan dengan peta kemampuan lahan, peta status kawasan hutan (SK), dan peta RTRW. Peta hasil tumpang tindih di-query berdasarkan matrik logik inkonsistensi (Tabel 2) yang menghasilkan peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan. Berdasarkan Rustiadi et al. (2011), matrik logika tersebut didasarkan pada konsep land rent (nilai ekonomi lahan), yaitu suatu alih fungsi lahan yang berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Pergeseran penggunaan lahan berlangsung secara searah dan bersifat irreversible (tidak dapat balik), seperti lahan-lahan hutan yang sudah dikonversi menjadi lahan pertanian umumnya sulit dihutankan kembali. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi. Sebaliknya sektor-sektor yang kurang mempunyai nilai komersial nilai land rent-nya semakin kecil (Barlowe dalam Rustiadi et al. 2011). Diagram alir penentuan konsistensi penggunaan lahan terdapat dalam Gambar 3. Penggunaan Lahan (PL)
RTRW Kab. Bogor 2005-2025
Tumpang tindih
Sama
Konsisten
Tidak sama
Land Rent RTRW vs Land Rent PL
Land Rent RTRW Land Rent PL
Konsisten
Land Rent RTRW ൏ Land Rent PL
Pemanfaatan
Dimanfaatkan
Tidak dimanfaatkan (semak/lahan terbuka)
Inkonsisten
Konsisten
Gambar 3 Diagram Alir Penentuan Konsistensi Penggunaan Lahan
12 Tabel 2 Matrik Logika Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan 2012 dengan RTRW Kabupaten Bogor No 1 2 3 4 5
Peruntukan (RTRW) Hutan Konservasi Hutan Lindung Kws. Perkebunan Pertanian Lahan Kering Kws. Permukiman
FOR V
Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan TEA GAR RIC MOR OPE BSE BEM BVI X X X X X X X X
V
X
X
X
X
X
X
X
X
V
V
X
X
X
X
X
X
X
V
V
V
V
V
X
X
X
X
V
V
V
V
V
X
V
V
V
Keterangan: V = Konsisten, X = Inkonsisten; FOR = Hutan, Tea = Kebun teh, GAR = Kebun campuran, RIC = Sawah, MOR = Tegalan, OPE = Semak/Lahan terbuka, BSE = Pemukiman, BEM = Emplasmen, BVI = Villa Selanjutnya, masing-masing poligon dikombinasikan berdasarkan penggunaan lahan, kelas kemampuan lahan, status kawasan hutan, dan pola ruang. Kemudian dilakukan pengelompokan kombinasi yang diperoleh berbagai macam kelompok bentuk penggunaan lahan yang kemudian disederhanakan menjadi delapan kelas, yaitu : K1.1 adalah penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang dan kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan); K1.2 adalah penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang dan kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan); K2.1 adalah penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan); K2.2 adalah penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan); K3.1 adalah kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan, penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan); K3.2 adalah kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan, penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan); K4.1 adalah penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan); K4.2 adalah penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan). Kuadran kesesuaian penggunaan lahan terhadap pola ruang, status kawasan hutan, dan kelas kemampuan lahan ditunjukkan pada Gambar 4.
13 Kuadran II (Sesuai Pola Ruang dan tidak sesuai status kawasan hutan) K2.1 dan K2.2 Kuadran IV (Tidak sesuai status kawasan hutan dan tidak sesuai Pola Ruang) K4.1 dan K4.2
Kuadran I (Sesuai Pola Ruang dan sesuai status kawasan hutan) K1.1 dan K1.2 Kuadran III (Sesuai status kawasan hutan dan tidak sesuai Pola Ruang) K3.1 dan K3.2
Gambar 4 Matrik Kesesuaian Penggunaan Lahan terhadap RTRW dan Status Kawasan Hutan Pengecekan Lapang dan Wawancara Terfokus Pengecekan lapang bertujuan untuk memverifikasi penggunaan lahan hasil interpretasi visual citra Ikonos terhadap kondisi aktual penggunaan lahan di lapang sehingga hasil akhir penelitian dapat memiliki akurasi yang tinggi. Pengambilan titik cek lapang dilakukan berdasarkan masing-masing kelas inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan, status kawasan hutan, dan poal ruang berdasarkan RTRW. Masing-masing kelas diambil 4 titik pengamatan, kecuali pada K1.1 dan K1.2 diambil 3 titik pengamatan, sehingga terdapat 34 titik pengamatan. Pemilihan titik observasi pada masing-masing kelas dilakukan secara stratified random sampling dengan pola menyebar. Data berupa informasi penting untuk mendukung hasil penelitian diperoleh dari wawancara terfokus terhadap Kepala Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Kabupaten Bogor, serta Kepala Desa Tugu Utara dan Kepala Desa Tugu Selatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Letak Geografis dan Batas Administrasi Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan merupakan bagian dari Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Desa Tugu Utara terletak pada posisi 106057’ Bujur Timur sampai 10700’ Bujur Timur dan 6040’ Lintang Selatan sampai 6041’ Lintang Utara. Desa Tugu Utara terdiri dari daerah hutan, perkebunan, pemukiman, sungai, dan situ/danau. Wilayah Desa Tugu Utara berbatasan dengan beberapa desa dengan Kecamatan yang sama yaitu Kecamatan Cisarua. Secara lengkap wilayah ini mempunyai batas-batas sebagai berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sukamakmur b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tugu Selatan c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Batu Layang d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Desa Tugu Selatan terletak pada posisi 106057’ Bujur Timur sampai 10700’ Bujur Timur dan 6041’ Lintang Selatan sampai 6046’ Lintang Utara. Wilayah Desa Tugu Selatan berbatasan dengan beberapa desa dengan Kecamatan yang sama yaitu Kecamatan Cisarua. Desa Tugu Utara terdiri dari daerah hutan,
14 perkebunan, pemukiman, dan sungai. Secara lengkap wilayah ini mempunyai batas-batas sebagai berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tugu Utara b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cibereum d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Iklim, Tanah, Geomorfologi, dan Hidrologi Berdasarkan hasil penelitian Tim IPB dalam Sulistiyono (2006), bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 200 meter sampai 3.000 meter dpl. Terdapat 7 Sub DAS pada DAS Ciliwung hulu, yaitu : Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan yang merupakan bagian dari Sub DAS Ciliwung hulu terletak di ketinggian 1.530 mdpl, topografi bergelombang dan berbukit, kelas lereng 2,7-74,3% dengan panjang lereng 500 - 700 meter. Curah hujan rata-rata di daerah Sub DAS Ciliwung hulu sebesar 2.929 - 4.956 mm/tahun.
Gambar 5 Penutupan Lahan DAS Ciliwung Bagian hulu dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan lereng yang tinggi dengan kemiringan lereng 2-15%, 15-45%, dan lebih dari 45%. Tipe iklim menurut sistem klasifikasi Smith dan Ferguson (1951) dalam Hernisa (2010) yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu Bulan Basah (> 200 mm) dan Bulan Kering (< 100 m) adalah termasuk ke dalam Tipe A. Sungai Ciliwung terdiri dari satu cabang utama dan dipisahkan menjadi dua sungai kecil pada Manggarai dengan panjang total 136 km. Daerah tangkapan sungai Ciliwung memiliki luas 352 km2 yang terbagi dalam 9 sub-basin (Sun et al.
15 2014). Secara administratif, DAS Ciliwung hulu sebagian termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua, dan Ciawi) dan sebagian kecil Kotamadya Bogor yaitu wilayah Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan. Debit sungai maksimum (Qmax) yang tercatat di Stasiun Katulampa tahun 2008 sebesar 91,87 m3/detik dan debit sungai minimum (Qmin) sebesar 3,28 m3/detik. Sedangkan unsur iklim lainnya, yaitu temperatur berkisar antara 21.8-240 C, dengan kelembaban udara antara 73-98%, dan lama penyinaran matahari antara 27–83%. Sedangkan besarnya evaporasi bulanan di Puncak sebesar 79-140 mm (BPDAS Citarum-Ciliwung 2008). Tanah di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan berasal dari bahan induk Andesit dengan landform kaki volkan, lereng volkan tengah, dan lereng volkan atas. Jenis tanah di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan adalah Andisol dan Inceptisol. Geomorfologi Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh dataran volkanik tua dengan bentuk wilayah bergunung, hanya sebagian kecil yang merupakan dataran alluvial. Geomorfologi daerah ini dibentuk oleh dua gunung api muda, yaitu Gunung Salak dengan ketinggian 2.211 m dan Gunung Gede Pangrango dengan ketinggian 3.019 meter (Riyadi dalam Janudianto 2004). Pola Ruang, Status Kawasan Hutan, Kelas Kemampuan Lahan dan Penggunaan Lahan Pola Ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 Kinerja pembangunan di suatu kawasan akan ditentukan oleh arahan pemanfaatan ruang (Dwikorawati 2012). Peraturan mengenai pemanfaatan ruang ditetapkan oleh pemerintah salah satunya bertujuan untuk melindungi beberapa kawasan yang memiliki fungsi lingkungan, konservasi, dan pertanian (Fitzsimons et al. 2012). Pola ruang di Kabupaten Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008. Penyusunan Peraturan Daerah tersebut berpedoman terhadap Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur. Padahal skala yang terdapat dalam Peta Rencana Tata Ruang Jabodetabekpunjur adalah 1:100.000, sedangkan skala yang terdapat dalam RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 yang tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 adalah 1:25.000, sehingga terdapat beberapa kesalahan dalam proses delineasi peta. Berdasarkan arahan dalam Peraturan Daerah tersebut, terdapat 5 bentuk pola ruang di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan yaitu kawasan lindung yang terdiri dari kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung, sedangkan kawasan budidaya terdiri dari kawasan perkebunan, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan pemukiman (Gambar 6.a). Di lokasi penelitian, kawasan lindung memiliki luas yang lebih besar dari kawasan budidaya yaitu 2442 Ha atau 72% dari luas total peruntukan ruang. Pola ruang kawasan hutan lindung memiliki luas terbesar yaitu 2015 Ha atau 59% dari total luas. Dominansi kawasan lindung seperti yang tercantum pada pasal 24 Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 mengenai fungsi ekologi Kecamatan Cisarua sebagai kawasan resapan air yang termasuk wilayah Taman Nasional Gunung Gede dan Gunung Pangrango.
16 a)
b)
c)
d)
Gambar 6 Peta rencana pola ruang menurut RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025, Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 (a), Peta Status Kawasan Hutan berdasarkan SK Menhut 2010 (b), Peta Kelas Kemampuan Lahan (c), dan Peta Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan (d) Pola ruang berupa kawasan lindung diatur bentuk pemanfaatannya, yaitu dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam, pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas
17 kawasan hutan dan tutupan vegetasi, serta kegiatan budidaya yang tidak mengurangi fungsi lindung kawasan. Peruntukan lahan kawasan budidaya memiliki luas 23 Ha atau 28% dari luas total pola ruang. Pola ruang yang dominan pada tipe kawasan budidaya berupa kawasan perkebunan dengan luas 500 Ha atau 15% dari luas total pola ruang. Luas masing-masing pola pemanfaatan ruang di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Luas (Ha) dan Proporsi (%) Pola Ruang dalam RTRW Kab. Bogor 20052025 RTRW Kab. Bogor 2005-2025 Luas Tipe Kawasan Pola Ruang Ha Desa Tugu Utara 1 Lindung Hutan Lindung 824 Hutan Konservasi 32 2 Budidaya Kawasan 62 Perkebunan Kawasan 126 Permukiman Pertanian Lahan 50 Kering Desa Tugu Selatan 3 Lindung Hutan Lindung 1191 Hutan Konservasi 394 4 Budidaya Kawasan 438 Perkebunan Kawasan 181 Permukiman Pertanian Lahan 115 Kering Total Luas Sumber: Perda Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008
No
% 24 1 2
Total Luas Ha % 856
25
238
7
1586
47
734
21
3414
100
4 1 35 12 13 5 3
Peruntukan Ruang berdasarkan Status Kawasan Hutan Status kawasan hutan di Kabupaten Bogor merupakan hasil rekonstruksi batas kawasan hutan yang ditetapkan berdasarkan RTRW Provinsi Jawa Barat. Peta penunjukan kawasan hutan tersebut terdapat dalam Surat Kementerian Kehutanan Nomor S.276/Menhut-VII/2010. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, penetapan fungsi kawasan hutan diarahkan untuk memenuhi fungsi hutan melalui penetapan sesuai kriteria tertentu. Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Informasi berdasarkan peta status kawasan hutan, status kawasan hutan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan menunjukkan bahwa terdapat 3 jenis status kawasan yaitu kawasan konservasi, Hutan Produksi (HP), dan peruntukan Area Penggunaan Lain (APL) (Gambar 6.b). Berdasarkan SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Nomor 32 Tahun 1990, kawasan konservasi didefinisikan sebagai kawasan yang
18 ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, dan hutan lindung. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak menggunakan istilah kawasan konservasi, tapi memakai istilah hutan konservasi, yang merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Sedangkan hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Berbeda dengan peruntukan pemanfaatan ruang berdasarkan pola ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 dengan proporsi yang dominan berupa kawasan hutan lindung, peruntukan fungsi hutan berdasarkan Surat Kementerian Kehutanan Nomor S.276/Menhut-VII/2010 yang dominan adalah peruntukan sebagai APL dengan luas 2401 Ha atau 70% dari luas total. APL merupakan area yang tidak termasuk dalam kawasan hutan, sehingga dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya. Selanjutnya fungsi peruntukan sebagai kawasan konservasi sebesar 679 Ha atau 20% dari luas total. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 membedakan antara fungsi lindung dan fungsi konservasi, sehingga hutan lindung terpisah dari hutan konservasi. Status kawasan hutan berupa hutan produksi di daerah penelitian memiliki luas 335 Ha atau 10% dari luas total. Luas masing-masing status kawasan hutan ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Luas (Ha) dan Proporsi (%) Status Kawasan Hutan No 1 2 3 4 5 6
Status Kawasan Desa Tugu Utara Area Penggunaan Lain Kawasan Konservasi Hutan Produksi Total Desa Tugu Selatan Area Penggunaan Lain Kawasan Konservasi Hutan Produksi Total Total 2 Desa
Luas Ha
%
699 62 326 2328
20 2 10 32
1702 617 9 1086 3414
50 18 0 68 100
Sumber: SK Kementerian Kehutanan 2009
Kelas Kemampuan Lahan Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009, agar pemanfaatan ruang di suatu wilayah sesuai dengan kapasitas lingkungan hidup dan sumberdaya, alokasi pemanfaatan ruang harus mengindahkan kemampuan lahan. Kemampuan lahan merupakan pencerminan kapasitas fisik lingkungan yang dicerminkan oleh keadaan topografi, tanah, hidrologi, dan iklim, serta dinamika yang terjadi khususnya erosi, banjir dan lainnya (Rustiadi et al. 2010). Klasifikasi kemampuan lahan ditentukan atas penataan tipe lahan yang beragam berdasarkan karakteristik yang mempengaruhi
19 kapasitasnya untuk budidaya dalam jangka panjang dan berkelanjutan (Eyles 2009). Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan berada pada lereng volkan tengah dan lereng volkan atas Pegunungan Gede Pangrango. Jenis tanah di lokasi penelitian dominan asosiasi Andisol dan Inceptisol yang berasal dari bahan induk batuan Andesit. Andesit merupakan rangkaian intrusi batuan Andesit yang tersingkap jelas pada puncak-puncak perbukitan. Batuan Andesit termasuk golongan batuan intermediet dengan kadar silika (SiO3) sebesar 57,5%. Batuan Andesit umumnya akan menghasilkan tanah yang kaya dan subur karena mengandung unsur-unsur basa yang mudah mengalami proses pelapukan sehingga membentuk tanah dengan tekstur halus (Haumahu 2009). Tabel 5 Luas (Ha) dan Proporsi (%) Landform dan Kelas Kemampuan Lahan
1
Kelas Kemampuan Lahan Kelas II
2
Kelas III
8-15%
Lereng volkan tengah
3
Kelas IV
15-25%
Lereng volkan tengah
4
Kelas IV
15-25%
Lereng volkan atas
5
Kelas VII
>40%
6
Kelas VII
>40%
Lereng volkan tengah Lereng volkan atas
No
Kemiringan Lereng
Landform
Jenis Tanah
3-8%
Lereng volkan tengah
Asosiasi Andisol dan Inceptisol Asosiasi Andisol dan Inceptisol Asosiasi Andisol dan Inceptisol Asosiasi Andisol dan Inceptisol Andisol
Total Sumber: diolah dari Peta Sistem Lahan, RePPPRoT 1996
Andisol
Bahan Induk
Luas Ha %
Andesit
512
15
Andesit
341
10
Andesit
581
17
Andesit
512
15
Andesit
102
3
Andesit
1365
40
3414
100
Kelas kemampuan lahan VII memiliki luasan terbesar di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan. Kelas VII mempunyai faktor penghambat dan ancaman berat yang tidak dapat dihilangkan, karena itu pemanfaatannya harus bersifat konservasi (Permen LH 17/2009). Lahan pada kelas VII tidak sesuai untuk kegiatan pertanian, namun karena tingginya kebutuhan akan lahan pertanian tinggi lahan kelas VII telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Proses degradasi lahan akan terus terjadi apabila penggunaan lahan di kelas VII tidak memiliki fungsi konservasi (Sartohadi dan Putri 2008). Kelas kemampuan lahan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan berdasarkan faktor pembatas kemiringan lereng, landform, jenis tanah, dan bahan induk. Faktor penghambat permanen seperti kelerengan merupakan faktor penghambat utama, yang tidak dapat diubah kecuali dengan tindakan tindakan konservasi mekanik berupa teras. Kelas kemampuan lahan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan dikelaskan menjadi 4 kelas, yaitu kelas II (kemiringan 3-8%) seluas 516 Ha atau 15%, kelas III (kemiringan 8-15%) seluas 332 Ha atau 10%, kelas IV (kemiringan 15-25%)
20 seluas 1.079 Ha atau 32%, dan kelas VII (kemiringan >40%) seluas 1.487 Ha atau 43% (Tabel 6). Tabel 6 Resume Luas (Ha) dan Proporsi (%) Kelas Kemampuan Lahan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kelas Kemampuan Lahan Desa Tugu Utara Kelas II Kelas III Kelas IV Kelas VII Total Desa Tugu Selatan Kelas II Kelas III Kelas IV Kelas VII Total Total 2 Desa
Luas Ha
%
50 238 673 126 1087
1 7 20 4 32
466 94 406 1361 2327 3414
14 3 12 39 68 100
Penggunaan Lahan Aktual Informasi penggunaan lahan berkontribusi untuk penentuan nilai lahan, penilaian produktivitas pertanian, dan perencanaan wilayah (Bureau of Rural Science 2006). Penggunaan lahan merupakan indikator penting untuk mengetahui dampak aktivitas manusia terhadap lahan di suatu wilayah. Aktivitas manusia berhubungan dengan karakteristik lahan, sehingga secara umum kesejahteraan kehidupan manusia berhubungan pada ketersediaan dan pengelolaan sumberdaya lahan (Nagasawa 2009). Hasil interpretasi citra Ikonos tahun 2012 menghasilkan sembilan tipe penggunaan lahan yaitu hutan, kebun teh, kebun campuran, semak/lahan terbuka, tegalan, pemukiman, sawah, villa, dan emplasmen (Gambar 6.d). Hutan merupakan penggunaan lahan yang memiliki proporsi terluas yaitu sebesar 575 Ha atau 34% dari luas wilayah Desa Tugu Utara, sedangkan di Desa Tugu Selatan sebesar 1020 Ha atu 60% dari luas wilayah Desa Tugu Selatan. Dominasi hutan di wilayah penelitian ini terkait dengan fungsi ekologis sebagai kawasan resapan air yang tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 mengenai Pengelolaan Kawasan Lindung, kawasan resapan air merupakan daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan, dan merupakan tempat pengisian air bumi. Fungsi kawasan resapan air terkait dengan tutupan hutan dan kemampuan struktur tanah dalam meresapkan air. Hutan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan merupakan hutan kaki Gunung Pangrango, yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Kebun teh memiliki luas wilayah penggunaan lahan terluas kedua, yaitu sebesar 955 Ha dari luas wilayah penelitian. Hal ini terkait dengan kemampuan lahan, iklim, dan jenis tanah berupa tanah Andisol dan Inceptisol di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan yang sesuai untuk budidaya tanaman teh. Upaya
21 pemanfaatan tanah Andisol dan Inceptisol secara optimal, terutama untuk perkebunan teh memerlukan pemahaman yang tepat dan menyeluruh tentang perilaku tanahnya. Budidaya tanaman teh oleh masyarakat telah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan teh memiliki mata pencaharian tetap sebagai karyawan perkebunan teh, baik sebagai pengelola maupun buruh pemetik daun teh. Selanjutnya penggunaan lahan yang juga dominan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan berupa kebun campuran dengan luas 255 Ha. Berdasarkan observasi lapang, penggunaan lahan berupa kebun campuran merupakan bentuk pertanian lahan kering yang ditanami komoditas beragam seperti tanaman singkong, bawang, wortel, serta komoditas hortikultura lainnya. Pada umumnya masyarakat setempat mengelola kebun campuran dan tegalan yang dimiliki dengan baik untuk menambah penghasilan di sektor pertanian. Luas masing-masing penggunaan lahan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan No
Penggunaan Lahan
Kode
Jumlah Poligon
Luas Ha
Desa Tugu Utara Hutan For 17 575 Kebun teh Tea 27 604 Kebun campuran Gar 77 186 Semak/lahan terbuka Ope 85 128 Tegalan Mor 24 80 Pemukiman Bse 21 60 Sawah Ric 0 Villa Bvi 88 53 Emplasmen Bem 40 17 Total 379 1702 Desa Tugu Selatan 1 Hutan For 6 1020 2 Kebun teh Tea 24 351 3 Kebun campuran Gar 99 69 4 Semak/lahan terbuka Ope 96 67 5 Tegalan Mor 42 63 6 Pemukiman Bse 83 53 7 Sawah Ric 32 45 8 Villa Bvi 80 26 9 Emplasmen Bem 48 19 Total 510 1712 Total 2 Desa 889 3414 Sumber: Hasil interpretasi visual citra Ikonos dan verifikasi lapangan, 2014 1 2 3 4 5 6 7 8 9
%
Luas/Poligon
34 36 11 7 5 3 0 3 1 100
34 22 2 2 3 3
60 20 4 3 3 3 2 1 1 100 100
170 15 1 1 2 1 1 0 0 190 257
1 0 67
Proporsi penggunaan lahan terbesar di Desa Tugu Utara berupa kebun teh seluas 604 Ha atau 36% dari luas wilayah Desa Tugu Utara sebesar 1.702 ha. Luas terbesar kedua di Desa Tugu Utara berupa hutan yaitu seluas 575 Ha atau 34% dari luas wilayah Desa Tugu Utara. Dominansi penggunaan lahan berupa kebun teh sesuai dengan hasil observasi lapang, bahwa sebagian besar lahan di Desa Tugu Utara dikelola oleh Perkebunan Teh Ciliwung Hulu. Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Tugu Utara, Asep Ma’mun Nawawi, Perkebunan Teh
22 Ciliwung Hulu sudah berdiri sejak tahun 1970 dengan luas awal sebesar 822 Ha atau 48% dari luas desa keseluruhan. Proporsi penggunaan lahan terbesar di Desa Tugu Selatan berupa hutan seluas 1.020 Ha atau 60% dari luas wilayah Desa Tugu Selatan sebesar 1.712 Ha. Luas terbesar kedua berupa kebun teh seluas 351 Ha atau 20% dari wilayah Desa Tugu Selatan, yang merupakan perkebunan teh yang dikelola oleh PTPN VIII Gunungmas. Proporsi masing-masing penggunaan lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan disajikan dalam Gambar 7. Jumlah poligon terbanyak di Desa Tugu Utara adalah villa sejumlah 88 poligon. Sedangkan jumlah poligon terbanyak di Desa Tugu Selatan adalah kebun campuran sejumlah 99 poligon. Penggunaan lahan berupa villa dan kebun campuran memiliki kecenderungan berpola menyebar.
Desa Tugu Utara
Desa Tugu Selatan
Gambar 7 Proporsi Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan Analisis Inkonsistensi Penggunaan Lahan Aktual berdasarkan RTRW Peta inkonsistensi penggunaan lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan (Gambar 8) merupakan hasil tumpang tindih antara peta penggunaan lahan aktual dengan peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025. Peta hasil tumpang tindih di-query berdasarkan matrik logika inkonsistensi (Tabel 2). Hasil analisis menunjukkan bahwa seluas 2.391 Ha atau 70% penggunaan lahan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan konsisten terhadap RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025, sedangkan seluas 1.023 Ha atau 30% penggunaan lahan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan tidak konsisten terhadap RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025. Dalam peta inkonsistensi penggunaan lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan terdapat 20 bentuk inkonsistensi pemanfaatan ruang dengan inkonsistensi terbesar terdapat pada pola ruang kawasan hutan lindung dengan penggunaan lahan aktual sebagai perkebunan teh sebesar 580 Ha. Menurut Antoko et al. (2008), perubahan fungsi hutan menjadi penggunaan lahan lainnya pada umumnya berlangsung dari aktivitas dengan environment rent tinggi ke rendah sehingga secara keseluruhan dapat dilihat bahwa aktivitas kehidupan cenderung menuju sistem penggunaan lahan dengan kapasitas daya dukung yang semakin menurun. Kondisi ini tentunya akan memberikan dampak yang cukup serius terhadap lingkungan dan pemicu terjadinya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya dimana salah satu penyebabnya adalah semakin
23 berkurangnya luas hutan dan atau berubahnya fungsi hutan. Luas inkonsistensi penggunaan lahan aktual terhadap peruntukan RTRW disajikan dalam Tabel 8.
Gambar 8 Peta Inkonsistensi antara Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan terhadap Pola Ruang (RTRW) Tabel 8 Luas Inkonsistensi Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan (ha) terhadap RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 Pola Ruang Kawasan Hutan Konsevasi Kawasan Hutan Lindung Kawasan Perkebunan Kws Pertanian Lahan Kering Kws Permukiman Total Luas
FOR
Penggunaan Lahan Aktual pada Tahun 2012 TEA GAR RIC MOR OPE BSE BEM
-
1
-
-
-
-
-
-
-
Total luas 1
-
580
48
1
47
44
15
6
12
753
-
-
46
14
48
43
20
25
9
205
-
-
-
-
-
30
19
6
9
64
-
-
-
-
-
-
-
-
15
95
117
54
37
30
581
94
Keterangan: - = tidak ada bentuk inkonsistensi
BVI
1023
24 Dari 20 bentuk inkonsistensi, diperoleh 10 besar luas inkonsistensi penggunaan lahan masing-masing desa. Desa Tugu Utara bentuk inkonsistensi terdapat pada pola ruang non terbangun seperti kawasan hutan lindung, kawasan perkebunan, serta pertanian lahan kering (Tabel 9). Bentuk inkonsistensi terbesar terdapat pada pola ruang kawasan hutan lindung dengan penggunaan lahan aktual berupa kebun teh dengan luas 377 Ha atau 65%. Diikuti dengan inkonsistensi pola ruang kawasan hutan lindung dengan penggunaan lahan aktual berupa kebun campuran dengan luas 43 Ha atau 7%. Bentuk inkonsistensi pada Desa Tugu Selatan juga terdapat pada kawasan hutan lindung, kawasan perkebunan, serta pertanian lahan kering (Tabel 10). Bentuk inkonsistensi terbesar terdapat pada pola ruang kawasan hutan lindung dengan penggunaan lahan aktual berupa kebun teh dengan luas 203 Ha atau 46%. Diikuti dengan inkonsistensi hutan kawasan perkebunan dengan penggunaan lahan aktual berupa pemukiman dengan luas 44 Ha atau 10%. Tabel 9 Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara terhadap Pola Ruang dalam RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pola Ruang Hutan Lindung Hutan Lindung Pertanian Lahan Kering Hutan Lindung Hutan Lindung Perkebunan Hutan Lindung Perkebunan Perkebunan Pertanian Lahan Kering
Penggunaan Lahan Kebun Teh Kebun Campuran Semak/Lahan terbuka Emplasmen Sawah Semak/Lahan terbuka Tegalan Villa Emplasmen Villa
Luas (Ha) 377 43 41 35 16 16 11 9 5 5
Luas (%) 65 7 7 6 3 3 2 2 1 1
Tabel 10 Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan Lahan Desa Tugu Selatan terhadap Pola Ruang dalam RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pola Ruang Hutan Lindung Perkebunan Pertanian Lahan Kering Perkebunan Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Perkebunan Hutan Lindung Hutan Lindung Hutan Lindung
Penggunaan Lahan Kebun Teh Pemukiman Villa Semak/Lahan terbuka Emplasmen Pemukiman Tegalan Pemukiman Sawah Emplasmen
Luas (Ha) 203 44 38 30 25 18 15 14 14 12
Luas (%) 46 10 9 7 6 4 4 3 3 3
Tingginya bentuk inkonsistensi di kawasan hutan lindung berpengaruh terhadap eksistensi sumberdaya hayati yang terkandung dalam hutan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Hayati pada
25
Jumlah Poligon
prinsipnya telah mengatur prinsip perlindungan antara lain perlindungan jenis yang meliputi jenis-jenis yang dilindungi dan jenis-jenis yang tidak dilindungi. Penggunaan lahan di kawasan hutan lindung diarahkan untuk tidak melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan (Ardhana 2011). 40 35 30 25 20 15 10 5 0
34
31
26
24
23
18
15
13
13
13
Jumlah Poligon
Kombinasi RTRW dan Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
45 31
28
26
25
25
19
17
16
14
Kombinasi RTRW dan Penggunaan Lahan Desa Tugu Selatan
Gambar 9 Jumlah Poligon Inkonsistensi Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan Gambar 9 menunjukkan jumlah poligon inkonsistensi penggunaan lahan aktual terhadap pola ruang di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan. Jumlah poligon yang inkonsisten berjumlah 562 poligon dari total poligon di lokasi penelitian yang berjumlah 1180 poligon. Di Desa Tugu Utara, poligon inkonsistensi terbanyak berjumlah 34 poligon terdapat pada inkonsistensi pola ruang kawasan hutan lindung dengan penggunaan lahan aktual berupa villa. Munculnya villa dan bangunan lain dikarenakan area Puncak dianggap sebagai lokasi investasi yang menguntungkan di area Jabodetabek (Firman dan Dharmapatni 1994). Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Tugu Utara, Asep Ma’mun Nawawi, pembangunan villa secara intensif berawal pada tahun 1980-an. Pembangunan tersebut merupakan hasil oper alih garap lahan yang berstatus milik
26 negara, yaitu lahan yang sebelumnya milik Perkebunan Teh Ciliwung Hulu yang sudah tidak produktif lagi sehingga dimanfaatkan oleh warga setempat maupun para investor. Awalnya, lahan milik Perkebunan Teh Ciliwung Hulu yang sudah tidak produktif dimanfaatkan warga setempat untuk dibudidayakan sebagai lahan pertanian. Hak yang melekat pada pemanfaatan lahan tersebut merupakan hak garap, namun para penggarap dapat memohon peningkatan status hak garap menjadi sertifikat hak pakai yang dikeluarkan oleh BPN. Sertifikat tersebut yang akhirnya digunakan untuk mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk dijadikan villa atau bangunan lainnya. Namun kenyataan di lapang menunjukkan bahwa tidak semua bangunan villa memiliki izin yang sah, ada bangunan yang memiliki sertifikat dan memiliki IMB, ada bangunan yang hanya memiliki sertifikat, serta ada bangunan yang tidak memiliki sertifikat maupun IMB. Bangunan yang tidak memiliki IMB merupakan bentuk pelanggaran tata ruang (Nawawi AM 11 Agustus 2014, komunikasi pribadi). Poligon inkonsistensi di Desa Tugu Selatan terbanyak berjumlah 45 poligon terdapat pada inkonsistensi pola ruang kawasan hutan lindung dengan penggunaan lahan eksisting berupa semak/lahan terbuka. Diikuti dengan bentuk inkonsistensi peruntukan kawasan pertanian lahan kering dengan penggunaan lahan aktual berupa pemukiman dengan jumlah 31 poligon. Tingginya pembangunan infrastruktur berupa pemukiman terkait dengan meningkatnya kepadatan penduduk di lokasi penelitian yang merupakan dampak ditetapkannya Kecamatan Cisarua sebagai salah satu Kawasan Pengelolaan Pariwisata Puncak (Pemerintah Kabupaten Bogor dalam Dwikorawati 2012). Penduduk yang bertambah akan meningkatkan kebutuhan sumberdaya lahan, mengingat tuntutan pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana wilayah membutuhkan ruang bagi keberadaannya. Inkonsistensi Penggunaan Lahan berdasarkan Status Kawasan, Kelas Kemampuan Lahan, dan RTRW Hasil tumpang tindih peta penggunaan lahan dengan peta Kelas Kemampuan Lahan, peta Status Kawasan Hutan, dan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 dikelompokkan menjadi 8 kombinasi berdasarkan kesesuaian antara penggunaan lahan aktual dengan pola ruang, kesesuaian antara status kawasan hutan dengan kelas kemampuan lahan, serta kesesuaian antara RTRW dengan status kawasan hutan (Gambar 10). Tabel 11 menunjukkan luas dan jumlah poligon pada masing-masing kelompok inkonsistensi. Berdasarkan hasil analisis luas, K1.1 (penggunaan lahan sesuai dengan RTRW, kelas kemampuan lahan sesuai status kawasan, RTRW sesuai dengan SK) memiliki luas yang paling besar yaitu 1605 Ha atau 47% dari luas keseluruhan. K1.2 (penggunaan lahan tidak sesuai dengan RTRW, status kawasan tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan, RTRW tidak sesuai dengan SK) memiliki luas inkonsistensi terbesar yaitu 785 Ha atau 23% dari luas keseluruhan. Selanjutnya berdasarkan analisis poligon, jumlah poligon terbanyak ditemukan pada K1.1 dengan jumlah 1030 poligon atau 72% dari jumlah poligon total. Diikuti oleh K3.2 dengan jumlah 280 poligon atau 19% dari jumlah poligon total.
27
Gambar 10 Inkonsistensi Penggunaan Lahan berdasarkan RTRW, SK, dan KL Tabel 11 Luas Bentuk Inkonsistensi Penggunaan Lahan (Ha) Luas
Kelompok (Kuadran)
Ha
K1.1 (I) K1.2 (I) K2.1 (II) K2.2 (II) K3.1 (III) K3.2 (III) K4.1 (IV) K4.2 (IV) Jumlah
1605 273 0 785 34 649 0 68 3414
%
Jumlah poligon
Luas/ Poligon
47 8 0 23 1 19 0 2 100
1030 38 8 25 31 280 7 19 1438
2 7 0 31 1 2 0 4 47
Sesuai RTRW V V V V X X X X
Sesuai Status Kawasan V V X X V V X X
RTRW sesuai SK V X V X V X V X
Keterangan: 0 ha merupakan hasil standarisasi dari luas daerah berdasarkan data BPS
Kuadran I merupakan kondisi ideal karena penggunaan lahan aktual konsisten terhadap pola ruang dalam RTRW dan status kawasan sesuai dengan kelas kemampuan lahan. Pada K1.1 (penggunaan lahan sesuai dengan RTRW, kelas kemampuan lahan sesuai status kawasan, RTRW sesuai dengan SK), kesesuaian terbesar ditemukan pada penggunaan lahan hutan dengan luas 668 Ha dan kebun teh dengan luas 315 Ha (Gambar 11.a). Sedangkan K1.2 (penggunaan lahan sesuai dengan RTRW, kelas kemampuan lahan sesuai status kawasan, RTRW tidak sesuai dengan SK) memiliki luas 273 Ha atau 8% dari luas total. Ketidaksesuaian antara RTRW dan status kawasan hutan terdapat pada pola ruang
28 sebagai kawasan hutan lindung, namun berdasarkan status kawasan termasuk dalam hutan produksi dan peruntukan APL (Gambar 11.b).
Luas (Ha)
a. 1000
668 315
500
172 116 116 103
62
51
42
0 FOR TEA GAR BSE OPE MOR RIC BVI BEM Penggunaan Lahan
Status Kawasan Hutan
b. HPR
174
APL
118 0
50
100
150
200
Penggunaan Lahan : Hutan (Ha)
Gambar 11 Bentuk Inkonsistensi pada K1.1 (a), Bentuk Inkonsistensi pada K1.2 (b)
Gambar 12 Peta Inkonsistensi Kuadran I
29 Berdasarkan informasi Kepala Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Kabupaten Bogor, Suryanto Putra, di dalam Peta Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2006, fungsi hutan di Kecamatan Cisarua merupakan hutan produksi dan kawasan suaka alam, sedangkan kawasan hutan lindung terdapat di Kecamatan Cigudeg, Jasinga, Nanggung, Pamijahan, Sukajaya, dan Sukamakmur. Namun dalam rangka penetapan RTRW Provinsi Jawa Barat dilakukan rekonstruksi batas kawasan hutan yang disesuaikan dengan peta dasar yang digunakan dalam penyusunan RTRW Provinsi Jawa Barat tersebut. Berdasarkan hasil rekonstruksi tersebut, kawasan hutan lindung Cigudeg, Jasinga, Nanggung, Pamijahan, Sukajaya, dan Sukamakmur Cigudeg, Jasinga, Nanggung, Pamijahan, Sukajaya, dan Sukamakmur meningkat statusnya menjadi Kawasan Suaka Alam di bawah pengelolaan Balai Besar TNGHS, Balai Besar TNGP, dan BKSD Jabar I. Sehingga dengan peningkatan status tersebut, secara otomatis Kabupaten Bogor tidak memiliki kawasan hutan lindung (Putra S 22 Agustus 2014, komunikasi pribadi). Hasil observasi lapang dengan pengamatan pada empat titik yang tersebar pada masing-masing kelompok menunjukkan bahwa penggunaan lahan pada titik observasi K1.1 berupa pemukiman (Gambar 12). Penggunaan lahan aktual berupa pemukiman konsisten terhadap pola ruang dalam RTRW yaitu terdapat pada kawasan pemukiman. Berdasarkan pasal 43 Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008, kawasan pemukiman perdesaan di dalam kawasan lindung (di luar hutan) diarahkan sebagai hunian dengan kepadatan rendah (jarang), bangunan tidak memiliki beban berat terhadap tanah, memiliki keterkaitan dengan aktivitas masyarakat desa maupun terhadap potensi lingkungannya (pertanian, peternakan, kehutanan, pariwisata/agrowisata). Sedangkan pada K1.2, penggunaan lahan pada titik observasi K1.2 berupa hutan dengan pola ruang berupa kawasan lindung dan status kawasan hutan sebagai hutan produksi (Tabel 12). Tabel 12 Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran I No 1 2 3 4 5
Kelompok Penggunaan Lahan RTRW Status Kawasan KKL Deskripsi
K1.1 Pemukiman
K1.1 Pemukiman
K1.2 Hutan
K1.2 Hutan
Kawasan Pemukiman APL
Kawasan Pemukiman APL
Kawasan lindung APL
Kelas IV -Pemukiman padat, tidak ada pekarangan
Kelas IV -Pemukiman padat -Ada pekarangan
Kawasan lindung Hutan Produksi Kelas IV -Berbatasan dengan kebun teh -Tutupan hutan agak jarang
Kelas IV -Berbatasan dengan kebun campuran dan pemukiman
Kuadran II merupakan bentuk penggunaan lahan yang konsisten terhadap pola ruang dalam RTRW, namun status kawasan hutan inkonsisten terhadap kelas kemampuan lahan. K2.1 terdapat 3 bentuk penggunaan lahan yaitu kebun teh (9 Ha), hutan (6 Ha), dan pemukiman (0 Ha) (Gambar 13.a). Hasil analisis
30 menunjukkan dalam K2.2 memiliki luas inkonsistensi terbesar dengan luas 785 Ha atau 23% dari luas total. Kondisi dalam K2.2 ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peruntukan pemanfaatan ruang antara dua regulasi, yaitu dalam RTRW kawasan hutan berfungsi sebagai kawasan hutan lindung, sedangkan dalam status kawasan hutan berfungsi sebagai hutan produksi dan APL.
10
9
6
5
0
0 FOR
TEA
BSE
Penggunaan Lahan
Status Kawasan Hutan
b. Luas (Ha)
a.
APL
66
HPR
746 0
500
1000
Penggunaan Lahan : Hutan (Ha)
a
.
Gambar 13 Bentuk Inkonsistensi pada K2.1 (a), Bentuk Inkonsistensi pada K2.2 (b)
Gambar 14 Peta Inkonsistensi Kuadran II Gambar 13.b menunjukkan luas masing-masing status kawasan hutan berupa hutan produksi serta luas peruntukan APL pada K2.2. Bentuk inkonsistensi pada K2.2 dengan penggunaan lahan aktual berupa hutan, yang berlokasi pada kelas kemampuan lahan VII dengan pola ruang berdasarkan RTRW berupa
31 kawasan hutan lindung. Namun berdasarkan peta status kawasan hutan, area K2.2 ini merupakan bagian dari hutan produksi dan APL. Berdasarkan informasi Kepala Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Kabupaten Bogor, Suryanto Putra, ketidaksesuaian peruntukan pemanfaatan ruang antara RTRW yang tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 dan Status Kawasan Hutan dalam Surat Kementerian Kehutanan Nomor S.276/Menhut-VII/2010 dikarenakan kedua regulasi tersebut menggunakan pedoman yang berbeda dalam proses penyusunannya. Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 mengacu pada arahan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 mengenai Rencana Tata Ruang Jabodetabekpunjur. Sedangkan Penunjukan Kawasan Hutan merupakan hasil rekonstruksi batas kawasan hutan berdasarkan arahan dari RTRW Provinsi Jawa Barat (Putra S 22 Agustus 2014, komunikasi pribadi). Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer. Sehingga penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Hasil cek lapang pada Kuadran II ditemukan bahwa lahan kelas VII memiliki penggunaan lahan aktual sebagai kebun teh dan pemukiman dengan fungsi peruntukan ruang berupa APL (Tabel 13). Selain itu juga ditemukan pada lahan kelas VII dengan status kawasan sebagai hutan produksi. Kelas VII memiliki kemiringan lereng >40%, yang merupakan lereng yang sangat curam, sehingga tidak sesuai untuk kegiatan budidaya pertanian atau kegiatan produksi intensif. Tabel 13 Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran II No 1 2 3 4 5
Kelompok Penggunaan Lahan RTRW Status Kawasan KKL Deskripsi
K2.1 Kebun teh
K2.1 Pemukiman
K2.2 Hutan
K2.2 Hutan
Perkebunan
Perkebunan
APL
APL
Hutan lindung APL
Kelas VII
Kelas VII -Berbatasan dengan hutan lindung
Hutan lindung Hutan Produksi Kelas VII - Berbatasan dengan perkebunan -Tutupan rapat
Kelas VII - Berbatasan dengan perkebunan -Tutupan rapat
Berdasarkan Kubelaborbir dan Yarangga (2010), kondisi lahan dengan kelerengan sangat curam sangat rawan terhadap erosi yang dapat berakibat degradasi kualitas lahan dan kerusakan lingkungan. Dengan mempertimbangkan tingkat kerawanan degradasi lingkungan yang cukup tinggi, maka pemanfaatan lahan pada kelas VII harus diarahkan sebagai kawasan hutan lindung sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990. Sehingga pada penggunaan lahan pemukiman yang berada pada kelas kemampuan lahan VII
32 dibatasi kegiatan pengolahan tanahnya dan tidak membangun sarana prasarana yang mengubah bentang alam. Kuadran III merupakan bentuk inkonsistensi penggunaan lahan terhadap pola ruang dalam RTRW. Dalam K3.1 terdapat 2 bentuk penggunaan lahan yaitu hutan (23 Ha) dan kebun teh (1 Ha) (Gambar 15.a). Sedangkan dalam K3.2, terdapat 8 bentuk penggunaan lahan, kebun teh memiliki ketidaksesuaian terbesar dengan luas 498 Ha (Gambar 15.b). Kondisi tersebut menunjukkan tingginya penggunaan lahan untuk tujuan budidaya terutama perkebunan teh yang dilakukan di kawasan hutan lindung. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, pemanfaatan kawasan berupa kegiatan budidaya pada hutan lindung hanya diarahkan pada kegiatan budidaya tanaman obat, tanaman hias, dan jamur dengan pengolahan tanah yang terbatas serta tidak mengurangi fungsi utama sebagai hutan lindung. Sehingga ditemukan inkonsistensi pada penunjukan pola ruang sebagai kawasan hutan lindung dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 terhadap kawasan perkebunan teh yang sudah beroperasi sejak sebelum pembuatan Peraturan Daerah tersebut. b. 23 1 FOR
600 498 400 47 47 44 14 12 5 1 200 0 TEA MOR GAR OPE BSE BVI BEM RIC
30 20 10 0
Luas (Ha)
Luas (Ha)
a.
TEA
Penggunaan Lahan
Penggunaan Lahan
a.
b.
Gambar 15 Bentuk Inkonsistensi pada K3.1 (a), Bentuk Inkonsistensi pada K3.2 (b) Hasil cek lapang pada K3.1, ditemukan penggunaan lahan hutan yang terdapat pada kawasan pertanian lahan kering, serta pada penggunaan lahan kebun teh yang terdapat pada kawasan hutan lindung. Hasil cek lapang pada K3.2, ditemukan penggunaan lahan kebun teh yang terdapat pada kawasan hutan lindung, serta pada penggunaan lahan kebun campuran yang terdapat pada kawasan hutan lindung dengan fungsi kawasan hutan sebagai hutan produksi (Gambar 16). Berdasarkan Yusri et al. (2011), saat berstatus sebagai kawasan hutan produksi, masyarakat diperbolehkan menggarap kawasan melalui skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan pola tumpang sari. Sistem tersebut cenderung mengarah pada perambahan kawasan hutan sehingga dapat menimbulkan kerusakan serta perubahan fungsi hutan yang dapat menurunkan kualitas sumberdaya hutan. Kerusakan kawasan hutan terutama sebagai akibat dari aktivitas penggarapan lahan sayur dan kebun oleh masyarakat tanpa memperdulikan fungsi kawasan hutan. Akibatnya terjadi perluasan lahan kritis dan berkurangnya tutupan lahan serta menghilangnya fungsi lindung dan konservasi kawasan.
33
Gambar 16 Peta Inkonsistensi Kuadran III Hasil observasi lapang menemukan adanya beberapa titik pada lokasi bekas penebangan pohon yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kebun campuran dengan ditanami tanaman pangan maupun sayuran di Desa Tugu Selatan (Tabel 14). Berdasarkan Rudel et al. (2005), transisi hutan dimulai pada awal periode deforestasi. Deforestasi terjadi dengan dilakukannya penebangan pohon dan tidak ada bentuk penanaman kembali. Transisi hutan menyangkut perubahan jangka panjang. Awalnya, hutan menurun luasnya bersamaan dengan meningkatnya jumlah petani. Para petani menebang hutan dan mengubahnya menjadi ladang untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Tabel 14 Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran III No 1 2 3 4 5
Kelompok Penggunaan Lahan RTRW Status Kawasan KKL Deskripsi
K3.1 Hutan
K3.1 Kebun teh
K3.2 Kebun campuran
K3.2 Kebun teh
Pertanian lahan kering APL
Hutan lindung APL
Hutan lindung
Hutan lindung APL
Kelas IV -Tutupan hutan agak jarang
Kelas VII - Berbatasan dengan hutan
Kelas VII - Berbatasan dengan hutan -Tanaman masyarakat (pisang, singkong)
Hutan Produksi
Kelas VII - Berbatasan dengan hutan
34 Kuadran IV merupakan kelompok dengan bentuk penggunaan lahan yang inkonsisten terhadap kedua regulasi. K4.1 terdapat 3 bentuk penggunaan lahan, hutan memiliki inkonsistensi terbesar dengan luas 4 Ha (Gambar 17.a). Sedangkan pada K4.2 terdapat 4 bentuk penggunaan lahan, kebun teh memiliki inkonsistensi terbesar sebanyak 79 Ha. Hasil cek lapang pada K4.1 pada penggunaan lahan emplasmen terdapat pada kawasan hutan lindung, serta pada penggunaan lahan kebun teh terdapat pada kawasan hutan lindung, serta keduanya memiliki fungsi kawasan hutan sebagai kawasan konservasi. Hasil cek lapang pada K4.2 pada penggunaan lahan kebun teh terdapat pada kawasan hutan lindung dengan status kawasan hutan sebagai hutan produksi dan peruntukan APL (Tabel 15). b. 4
4 Luas (Ha)
Luas (Ha)
a. 2
2
0
0 FOR
TEA
BEM
100
79
50
2 TEA
Penggunaan Lahan
1
1
0 BSE BEM GAR
Penggunaan Lahan
a.
b.
Gambar 17 Bentuk Inkonsistensi pada K4.1 (a), dan Bentuk Inkonsistensi pada K4.2 (b)
Gambar 18 Peta Inkonsistensi Kuadran IV
35 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 mengenai Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi, maka pemegang izin wajib mengajukan permohonan tukar-menukar kawasan hutan kepada Menteri dengan menyediakan lahan pengganti, yang selanjutnya dapat diterbitkan pelepasan kawasan hutan. Berdasarkan Dirjen Planologi Kehutanan, Bambang Soepijanto dikutip dari Buletin Tata Ruang (2012), perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang saat ini banyak terjadi dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan pola ruang dalam revisi RTRW Provinsi. Adapun perubahan peruntukan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan non kehutanan seperti halnya untuk pembangunan perkebunan yang dilakukan secara parsial dilakukan terhadap hutan produksi yang dapat dikonversi untuk memenuhi pembangunan di luar sektor kehutanan. Namun perubahan peruntukan tersebut tetap harus menjaga kecukupan luas kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan, minimal sebesar 30% dari luas Daerah Aliran Sungai pulau atau provinsi. Tabel 15 Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran IV No 1 2 3 4 5
Kelompok K4.1 Penggunaan Emplasmen Lahan RTRW Hutan lindung
K4.1 Kebun teh
K4.2 Kebun teh
K4.2 Kebun teh
Hutan lindung
Status Kawasan KKL Deskripsi
Kawasan Konservasi Kelas IV - Berbatasan dengan hutan
Hutan lindung Hutan Produksi Kelas VII - Berbatasan dengan hutan
Hutan lindung APL
Kawasan Konservasi Kelas IV - Berbatasan dengan hutan -Berada pada perkebunan teh -Pemukiman tidak padat -Pekarangan luas
Kelas VII - Berbatasan dengan hutan
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pola ruang di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor didominasi kawasan hutan lindung dengan luas 59% dari luas keseluruhan. Sedangkan berdasarkan status kawasan hutan yang dominan adalah peruntukan sebagai APL dengan luas 70% dari luas keseluruhan. Kelas kemampuan lahan yang dominan adalah kelas VII, yang merupakan kelas kemampuan lahan dengan penggunaan lahan yang tidak sesuai untuk kegiatan
36 budidaya dengan luas 43% dari luas keseluruhan. Pemanfaatan pada kelas VII harus bertujuan untuk fungsi konservasi. Penggunaan lahan yang dominan di Desa Tugu Utara adalah kebun teh dengan luas 36% dari luas keseluruhan. Sedangkan penggunaan lahan yang dominan di Desa Tugu Selatan adalah hutan dengan luas 60% dari luas keseluruhan. Hasil analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang menunjukkan bahwa 30% atau seluas 1.023 Ha pemanfaatan ruang di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan inkonsisten terhadap RTRW Kabupaten Bogor. Inkonsistensi terbesar terdapat pada pola ruang kawasan hutan lindung dengan penggunaan lahan aktual sebagai perkebunan teh dengan luas 580 Ha. Inkonsistensi Tata Ruang Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan dikelompokkan menjadi 8 kombinasi. Terdapat 8 kelompok kombinasi inkonsistensi pemanfaatan ruang, kelompok dengan penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan) atau K2.2 merupakan kelompok dengan inkonsistensi terbesar dengan luas 785 Ha (23%). Saran Untuk mewujudkan penggunaan lahan yang ideal, diperlukan sinkronisasi antara perencanaan pola ruang berdasarkan RTRW dengan fungsi peruntukan berdasarkan status kawasan hutan, dengan memperhatikan daya dukung lingkungan. Hasil penelitian ini merupakan salah satu aspek monitoring yang digunakan untuk proses audit tata ruang.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita R. 2010. Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. Graha Ilmu. Yogyakarta Antoko BS, Sanudin, Sukmana A. 2008. Perubahan Fungsi Hutan di Kabupaten Asahan, Sumetera Utara. J Info Hutan. 5(4): 307-316. Ardhana IP. 2011. Revitalisasi Pelaksanaan Ketentuan Peraturan Pemerintah dan Pemegang Ijin Pertambangan dalam Menyikapi Pelestarian Keanekragaman Hayati di Kawasan Hutan. J Bumi Lestari. (11)1: 93-104. Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press. BPDAS Citarum-Ciliwung. 2008. Sub DAS Ciliwung Hulu. http://bpdas-ctw (diakses pada 25 Maret 2014, 17:15). Buletin Tata Ruang. 2012. Menata Kawasan Hutan dan Mempertahankan Lahan Pertanian. Badan Koordinasi Penataan Ruang. Maret-April 2012: 4-7. Bureau of Rural Science. 2006. Guideline for Land Use Mapping in Australia. BRS Publication. Canberra. Eyles G. 2009. Land Use Capability Survey Handbook. AgResearch Ltd, Hamilton. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat. 2005. Laporan Akhir Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat. http://www.disparbud.jabarprov.go.id (diakses pada 24 Maret 2014, 10:09).
37 Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2013. Audit Tata Ruang Selesai Juni. http://www.penataanruang.net (diakses pada 7 April 2014, 20:18). Dwikorawati SS. 2012. Model Kebijakan Pengelolaan Pariwisata yang Berdaya Saing dan Berkelanjutan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor (Disertasi). Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Firman T and Dharmapatni AI. 1994. The Challenges to Sustainable in Jakarta Metropolitan Region. Habitat Intl. 18(3): 79-94. Fitzsimons J, Pearson C, Lawson C, and Hill M. 2012. Evaluation of Land Use Planning in Greenbelts based on Intrinsic Characteristics and Stakeholder Values. Landscape and Urban Planning. 106(10):23-34. Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia 2000-2009. http://fwi.or.id (diakses 24 Maret 2014, 11:20). Hardjowigeno S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah mada University Press. Yogyakarta. Hariyanto dan Tukidi. 2007. Konsep Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang Indonesia di Era Otonomi Daerah. J Geografi. 4(1): 1-10. Haumahu JP. 2009. Mineral pada Tanah yang Terbentuk dari Batuan Andesit dan Bahan Lepas di Desa Hative Besar. Jurnal Budidaya Pertanian. 5((2): 74-80. Hernisa A. 2012. Evaluasi Kemampuan Lahan Terhadap Penggunaan/Penutupan Lahan dan RTRW (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Janudianto. 2004. Analisis Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Dan Pengaruhnya Terhadap Debit Maksimum-Minimum Di Sub DAS Ciliwung Hulu. Skripsi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kementerian Lingkungan Hidup RI. 2009. Kondisi Lingkungan Bopunjur Mencemaskan. http://www.menlh.go.id (diakses pada 24 Maret 2014, 09:40). Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Kubelaborbir H dan Yarangga K. 2010. Zona Agroekologi Kabupaten Keerom Provinsi Papua Berdasarkan Pendekatan SIG. J Agrikultura. 21(1): 77-84. Lillesand MT, Kiefer RW, Chipman JW. 2004. Remote Sensing and Image Interpretation. 5th Ed. Hoboken : John Wiley and Sons. Nagasawa R. 2009. Agricultural Land Use and Crops Classification Using Leaf Water Content Index (LWCI) : A Case Study in Thailand. Proceedings of The ICALRD – JIRCAS Workshop On Enhancement of Remote Sensing and GIS Technology for Sustainable Utilization of Agricultural Resources in Indonesia; 2008 June 25; Bogor, Indonesia: hlm. 10-18. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. Peraturan Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
38 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Kawasan Jabodetabekpunjur. Rudel TK, Coomes O, Moran E, Achard F. 2005. Forest Transition: Towards a Global Understanding of Land Use Change. Journal of Global Environmental Change. 15(2005): 23-31. Rustiadi E. 2007. Penataan Ruang sebagai Pengelolaan Kepentingan dan Sumberdaya Bersama (The Commons). Makalah disampaikan pada Dialog Publik Tata Ruang Nasional: Antara Kepentingan Publik dan Ekonomi, Jakarta 6 Maret 2007. Rustiadi E, Barus B, Prastowo, dan Iman LS. 2010. Kajian Daya Dukung Lingkungan Hidup Provinsi Aceh. Crestpent Press. Jakarta. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press. Jakarta. Sartohadi J dan Putri RF. 2008. Evaluasi Potensi Degradasi Lahan dengan Menggunakan Analisa Kemampuan Lahan dan Tekanan Penduduk terhadap Lahan Pertanian di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo. Forum Geografi. 22(1): 1-12. Sulistiyono N. 2006. Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan berdasarkan Citra Saterlit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu) (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sun Y, Doan CD, Dao AT, and Liu J. 2014. Improving Numerical Forecast with Ensemble Kalman Filter and Chaos Theory: Case Study on Ciliwung River Model. Journal of Hidrology. 512(2014): 540-548. Supreme Audit Institution. 2013. Land Use and Land Management Practices in Environmental Perspective. WGEA. Morocco. Taylor J. 2013. Land Use Regulation and Policy Audit. Lancaster, New Hamisphere. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2006. Statistik Tahun 2006. Cibodas: Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Yusri A, Basuni S, dan Budiprasetyo L. 2011. Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Media Konservasi. 17(1):1-5.
39
LAMPIRAN Lampiran 1 Dokumentasi Wawancara Terfokus
1.1 Wawancara dengan Kepala Desa Tugu Utara
1.2 Wawancara dengan Kepala Desa Tugu Selatan
1.3 Wawancara dengan Kabid Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Kab. Bogor
40
Lampiran 2 Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan Lahan dengan RTRW, KL, dan SK Kelompok K11 APL-->BKBN-->II-->BEM APL-->BKBN-->II-->BSE APL-->BKBN-->II-->BVI APL-->BKBN-->II-->GAR APL-->BKBN-->II-->MOR APL-->BKBN-->II-->OPE APL-->BKBN-->II-->RIC APL-->BKBN-->II-->TEA APL-->BKBN-->III-->BSE APL-->BKBN-->III-->BVI APL-->BKBN-->III-->GAR APL-->BKBN-->III-->MOR APL-->BKBN-->III-->OPE APL-->BKBN-->III-->TEA APL-->BKBN-->IV-->BEM APL-->BKBN-->IV-->BSE APL-->BKBN-->IV-->BVI APL-->BKBN-->IV-->GAR APL-->BKBN-->IV-->MOR APL-->BKBN-->IV-->OPE APL-->BKBN-->IV-->RIC
Penggunaan Lahan (ha) BEM
BSE
BVI
FOR
GAR
MOR
OPE
RIC
TEA
Jumlah Total
42,1
115,8
50,6
668,5
172,4
103,4
115,7
62,3
315,2
1645,9
9,8 7,5 2,9 9,7 21,0 12,4 8,3 103,0 4,0 2,6 9,6 1,0 2,3 12,8 15,4 8,8 3,1 26,7 25,7 28,3 5,6
9,8 7,5 2,9 9,7 21,0 12,4 8,3 103,0 4,0 2,6 9,6 1,0 2,3 12,8 15,4 8,8 3,1 26,7 25,7 28,3 5,6
APL-->BKBN-->IV-->TEA APL-->BPLK-->II-->BEM APL-->BPLK-->II-->BSE APL-->BPLK-->II-->BVI APL-->BPLK-->II-->GAR APL-->BPLK-->II-->MOR APL-->BPLK-->II-->OPE APL-->BPLK-->II-->RIC APL-->BPLK-->II-->TEA APL-->BPLK-->III-->BEM APL-->BPLK-->III-->BVI APL-->BPLK-->III-->GAR APL-->BPLK-->III-->MOR APL-->BPLK-->III-->OPE APL-->BPLK-->IV-->BEM APL-->BPLK-->IV-->BSE APL-->BPLK-->IV-->BVI APL-->BPLK-->IV-->GAR APL-->BPLK-->IV-->MOR APL-->BPLK-->IV-->OPE APL-->BPMK-->II-->BEM APL-->BPMK-->II-->BSE APL-->BPMK-->II-->BVI APL-->BPMK-->II-->GAR APL-->BPMK-->II-->MOR APL-->BPMK-->II-->OPE
166,8 4,1 18,2 5,6 27,7 21,1 13,5 29,4 0,0 0,1 2,6 10,1 0,3 1,2 1,8 0,3 0,8 12,6 1,3 15,2 7,7 61,6 24,3 57,1 26,6 33,4
166,8 4,1 18,2 5,6 27,7 21,1 13,5 29,4 0,0 0,1 2,6 10,1 0,3 1,2 1,8 0,3 0,8 12,6 1,3 15,2 7,7 61,6 24,3 57,1 26,6 33,4
41
42
APL-->BPMK-->II-->RIC APL-->BPMK-->II-->TEA APL-->BPMK-->III-->BEM APL-->BPMK-->III-->BSE APL-->BPMK-->III-->BVI APL-->BPMK-->III-->GAR APL-->BPMK-->III-->MOR APL-->BPMK-->III-->OPE APL-->BPMK-->III-->TEA APL-->BPMK-->IV-->BSE APL-->BPMK-->IV-->BVI APL-->BPMK-->IV-->GAR APL-->BPMK-->IV-->MOR HPR-->BKBN-->IV-->TEA HPR-->BPMK-->III-->BVI HPR-->BPMK-->III-->TEA KKS-->LKHK-->VII-->FOR KKS-->LKHL-->VII-->FOR
19,0
291,8
4,0 114,1 173,7
4,0 114,1 173,7
15,0 8,5 18,9 6,3 9,4 10,5 0,4 0,0 0,1 0,1 5,7 0,2 0,5
APL-->LKHL-->II-->FOR APL-->LKHL-->IV-->FOR HPR-->LKHL-->IV-->FOR APL-->BKBN-->VII-->BSE APL-->BKBN-->VII-->TEA KKS-->LKHK-->IV-->FOR
291,8
15,9 3,2
K12
K21
436,9 231,6
19,0 15,9 3,2 15,0 8,5 18,9 6,3 9,4 10,5 0,4 0,0 0,1 0,1 5,7 0,2 0,5 436,9 231,6
0,1
9,2
5,7
15,0
5,7
0,1 5,7 0,1
0,1 0,1
KKS-->LKHL-->IV-->FOR K22 APL-->LKHK-->VII-->FOR APL-->LKHL-->VII-->FOR HPR-->LKHL-->VII-->FOR K31
0,0
9,1
9,1
811,1
811,1
1,7 743,9 65,5
1,7 743,9 65,5
22,5
1,4
23,9
APL-->BKBN-->II-->FOR APL-->BKBN-->III-->FOR APL-->BKBN-->IV-->FOR APL-->BPLK-->III-->FOR APL-->BPLK-->IV-->FOR
1,2 0,2 12,0 0,1 5,2
1,2 0,2 12,0 0,1 5,2
APL-->BPMK-->III-->FOR HPR-->BKBN-->III-->FOR HPR-->BKBN-->IV-->FOR HPR-->BPLK-->IV-->FOR KKS-->LKHK-->VII-->TEA KKS-->LKHL-->VII-->BEM KKS-->LKHL-->VII-->TEA
0,2 0,4 3,2 0,0
0,9
0,2 0,4 3,2 0,0 0,5 0,0 0,9
498,4
667,7
6,1
0,3 0,2 0,0 6,1 0,4 1,2 2,9
K32 APL-->LKHL-->II-->BEM APL-->LKHL-->II-->GAR APL-->LKHL-->II-->OPE APL-->LKHL-->II-->TEA APL-->LKHL-->III-->BSE APL-->LKHL-->III-->BVI APL-->LKHL-->III-->GAR
0,5 0,0 5,3
13,7
11,6
46,7
47,0
44,0
1,0
0,3 0,2 0,0 0,4 1,2 2,9
43
44
APL-->LKHL-->III-->MOR APL-->LKHL-->III-->OPE APL-->LKHL-->III-->TEA APL-->LKHL-->IV-->BEM APL-->LKHL-->IV-->BSE APL-->LKHL-->IV-->BVI APL-->LKHL-->IV-->GAR APL-->LKHL-->IV-->MOR APL-->LKHL-->IV-->OPE APL-->LKHL-->IV-->RIC APL-->LKHL-->IV-->TEA HPR-->LKHL-->IV-->BEM HPR-->LKHL-->IV-->BSE HPR-->LKHL-->IV-->BVI HPR-->LKHL-->IV-->GAR HPR-->LKHL-->IV-->MOR HPR-->LKHL-->IV-->OPE HPR-->LKHL-->IV-->TEA K41 APL-->BKBN-->VII-->FOR KKS-->LKHL-->IV-->BEM KKS-->LKHL-->IV-->GAR KKS-->LKHL-->IV-->OPE KKS-->LKHL-->IV-->TEA K42 APL-->LKHK-->VII-->TEA
0,0 0,2 7,9 4,7 13,2 8,2 35,0 39,5 43,2 1,0 408,4 0,3 0,1 2,2 8,5 7,4 0,5 76,1 0,1
3,5
0,0
0,0
1,5
5,1
1,5
3,5 0,1 0,0 0,0 1,5
79,3
82,7
0,6
0,6
3,5 0,1 0,0 0,0 1,0
1,6
0,8
0,0 0,2 7,9 4,7 13,2 8,2 35,0 39,5 43,2 1,0 408,4 0,3 0,1 2,2 8,5 7,4 0,5 76,1
APL-->LKHL-->VII-->BEM APL-->LKHL-->VII-->BSE APL-->LKHL-->VII-->GAR APL-->LKHL-->VII-->TEA HPR-->LKHL-->VII-->GAR HPR-->LKHL-->VII-->TEA Grand Total
1,0 1,6 0,0 75,2 0,8 48,6
131,1
62,2
1806,6
219,9
150,4
159,7
63,3
3,6 901,5
1,0 1,6 0,0 75,2 0,8 3,6 3543,2
45
46
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 28 Juli 1992 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan (Alm) Setyo Hernadi dengan Dra. Hj. Nurmawati, M.Pd. Penulis merupakan lulusan SMAN 1 Rembang (2010), kemudian melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian pada tahun yang sama. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB periode 2011/2012 sebagai staff Departemen Akademik dan Profesi, serta pada periode 2012/2013 sebagai Ketua Departemen Eksternal. Penulis pernah diberi tanggung jawab menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Tata Ruang dan Penatagunaan Lahan, serta Pengantar Ilmu Tanah. Beberapa penghargaan yang diperoleh penulis adalah sebagai Juara III dan Best Presenter dalam Paper and Softskill Training 2011, Juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Ilmu Tanah Nasional Tahun 2013 di Universitas Sriwijaya Palembang, serta sebagai Presenter dalam Hokkaido Indonesia Scientific Meeting Tahun 2013 di Hokkaido University Jepang. Selain itu penulis juga mendapat predikat sebagai Mahasiswa Berprestasi Fakultas Pertanian IPB pada tahun 2014. Penulis juga aktif mengikuti beberapa forum lingkungan nasional serta kepanitiaan tingkat lokal, nasional, maupun internasional antara lain: Youth for Climate Camp 2012, Temu Alumni Faperta 2012, PORTAN, SERI-A, Seminar Nasional Ilmu Tanah, Soilidarity, The 1st International Plantation Conference, Semiloka Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia 2013, The 11th International Conference East and Southeast Asia Federation of Soil Science Societies, International EXPERT Seminar on Water, Climate Change and Agriculture, International Workshop of SEAG 2014, serta International Seminar on University Governance.