1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam menawarkan barang dan/atau jasa tersebut, pelaku usaha ingin barang dan/atau jasa mudah dikenali atau diingat oleh para konsumen, sehingga pelaku usaha memberikan nama, tanda, simbol, atau warna-warna pada barang dan/atau jasa yang mampu membedakan barang dan/atau jasa miliknya dengan barang dan/atau jasa yang ditawarkan pihak lain. Pada abad ke-19, pelaku usaha mulai memikirkan suatu simbol atau tanda yang kemudian dapat menjadi pembeda dari barang dagangan pelaku usaha tersebut, mampu menarik minat konsumen, serta bernilai secara ekonomi.1 Nama, tanda, simbol, atau warna-warna yang mampu membedakan barang dan/atau jasa tersebut dikemudian hari disebut sebagai merek, merek dikatakan salah satu bagian dari hak kekayaan intelektual dikarenakan adanya proses bagaimana pelaku usaha memberikan merek di atas barang dan/atau jasanya diperlukan suatu daya imajinasi, kreasi, atau ide yang kemudian di wujudkan penjelmaannya (fixation). Pemberian merek terhadap barang dan/atau jasa adalah salah satu cara untuk menjamin kualitas produk serta memantapkan pertanggung jawaban produsen terhadap barang dan/atau jasa yang ditawarkannya kepada konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus tumbuh dan berkembang, merek menjadi faktor kunci
1 Intellectual Property Office, History of Trademark, http://www.ipo.gov.uk/types/tm/t-about/t-whatis/t-history.htm, diakses pada tanggal 24 Februari 2014, pukul 14.2wib.
2
dan menjadi suatu landasan (basis), dikatakan basis karena merek menjadi goodwill, lambang suatu kualitas, standar mutu, sarana menembus suatu pasar, dan jaminan suatu barang dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Sementara bagi konsumen sendiri, merek dapat memudahkan konsumen membedakan produk yang akan dibeli oleh konsumen dengan produk lain sehubungan dengan baik kualitas, kepuasan, kebanggaan, maupun atribut lain yang melekat pada merek.2 Selain itu merek memberikan perlindungan bagi masyarakat untuk mendapatkan nama baik yang terkandung dalam suatu merek. 3 Pasar bebas, kompetisi antara pelaku usaha, brand image dari suatu produk, jaminan mutu, dan kualitas menciptakan merek menjadi sesuai aset yang memiliki nilai ekonomi layaknya properti. Kondisi tersebut menjadikan merek sebagai sesuatu hal yang perlu memperoleh suatu perlindungan, kepentingan perlindungan tersebut timbul akibat dari proses penciptaan merek. Penciptaan merek diawali dengan pemusatan pikiran oleh pencipta merek sehingga mampu menghasilkan merek yang layak. Menyimpang dari merek, dalam konsepsi paten dikenal adanya beberapa konsepsi diantaranya: 1.
The reward theory yang kurang lebih menerangkan bahwasannya seorang penemu/pencipta harus diberikan penghargaan sehubungan dengan kegunaan sesuatu yang diciptakannya, dan hukum harus menjadi pelindung sehingga
2 Darmadi Durianto, Sugiarto, dan Tony Sitinjak, 2001, Strategi Menaklukan Pasar Melalui Riset Ekuitas Perilaku Merek, Gramedia Utama Pustaka, Jakarta, hlm 9. 3 J.Chrisa, 1994, Trademark Under the Lanham Act: Confusion in the Circuits and the Need for Uniformity, Duke University, Durham, hlm 3.
3
penemu/pencipta dapat menerima imbalan yang wajar atas penemuan mereka; dan 2.
The natural law/moral right theory: seseorang memiliki hak kebendaan terhadap hasil pemikirannya dan hak tersebut harus dilindungi dari usaha perampasan atau pencurian dari pihak lain.
Di dalam konsepsi paten tersebut, pencipta berhak untuk diberikan apresiasi, dan dilindungi haknya sebagai pencipta paten, jika merujuk Pasal 499 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) dimana dijelaskan bahwa hak kebendaan adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, dan dapat diberikan hak milik. Dikaitkan dengan konsepsi paten, dan merek sebagai kebendaan yang dapat dimiliki oleh pencipta merek, maka segala sesuatu yang dapat dimiliki serta harus mendapat suatu perlindungan untuk memberikan kepastian hukum. Konsepsi merek dalam Hukum Perdata Indonesia, termasuk sebagai benda yang tidak berwujud, di bawah ketentuan 499 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt), yang dinamakan kebendaan, ialah tiap-tiap barang, dan tiaptiap hak, yang dapat dikuasai hak milik. Dalam merek melekat suatu hak milik, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan, dengan melekatnya hak milik maka muncul suatu hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa, serta berbuat bebas (vide Pasal 570 KUHPdt). Dalam perkembangan selanjutnya merek yang semula dianggap sebagai hak kebendaan berkembang menjadi hak atas merek dan tunduk berdasarkan perundang-undangan.
4
Pengaturan mengenai merek dunia saat ini sebagian besar didasarkan pada Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention) dan Trade Related Aspect of Intellectual Property Right (TRIPs). Paris Convention merupakan konvensi pertama yang membicarakan perlindungan bagi investor yang diselenggarakan di Wina, Austria tahun 1873. Konferensi ini diteruskan di Paris tahun 1878, dihadiri oleh 500 peserta termasuk 11 negara serta 48 wakil kamar dagang dan industri serta masyarakat industri dan teknik yang berdiam di Paris. Komisi yang dibentuk dalam konferensi tersebut menyiapkan draft convention (rancangan konvensi) pada tahun itu. Rancangan tersebut dikirim ke berbagai negara dan pada tahun 1880 diadakan konferensi berikutnya di Paris dengan dihadiri wakil dari 19 negara. Rancangan konvensi tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal TRIPs Agreement yang menjadi dasar ketentuan merek di seluruh dunia.4 Ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Paris pada intinya mengatur 3 bagian penting yaitu: 1.
Ketentuan-ketentuan pokok perihal prosedur (The Basic Rules of Procedure), ketentuan ini memberi prinsip-prinsip menyangkut masalah: a.
Keanggotaan (membership);
b.
Perubahan konvensi; dan
c.
Prosedur pemungutan suara.
4 Bagus Satrio, 2011, Konsep Perlindungan Merek Tiga Dimensi (Three-dimensional marks): Definisi, Perlindungan dan Penerapan Hukum, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok, hlm 16.
5
2.
Substansi dasar perihal ketentuan-ketentuan dalam konvensi (the basic substantive rules of the convention), substansi tersebut terdiri dari: a.
National Treatment memberikan perlakuan yang sama dalam kaitan dengan perlindungan kekayaan intelektual antara warga negara tersebut dengan warga negara perseorangan, tetapi meliputi badan-badan hukum;
b.
Right of Priority Hak prioritas yang diberikan oleh negara dalam rangka paten, merek, dan desain industri. Substansi ini terdapat dalam Pasal 4 Konvensi Paris, Hak prioritas adalah hak yang diutamakan terlebih dahulu dari permohonan
yang
pendaftarannya
baru
dilakukan
pada
waktu
belakangan.5 Maksud dari hak prioritas disini adalah bahwa berdasarkan permohonan yang dilakukan di suatu negara anggota pemohon dalam jangka waktu tertentu, 12 bulan untuk paten dan 6 bulan untuk desain industri serta merek, dapat mengajukan permohonan perlindungan yang serupa di negara anggota lain. Maksudnya adalah, apabila seseorang mendaftarkan suatu merek di negara anggota, maka dia juga dalam waktu 6 bulan memiliki hak untuk mendaftarkan mereknya di negaranegara anggota lainnya dan waktu pendaftar dianggap sama dengan waktu pendaftaran di negara pertama. c. Common Rules Merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum atau ketentuan yang harus diikuti oleh semua negara anggota.6 Ketentuan umum yang berkaitan
5 6
Sudargo Gautama, 1990, Segi-segi Hak Milik Intelektual, Eresco, Bandung, hlm 27. Ahmad Zen Umar Purba, 2006, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs cet 1, Alumni, Bandung, hlm 32.
6
dengan merek yaitu independent of trademark registration diatur di dalam Pasal 6 angka (3) Konvensi Paris yang menyatakan merek yang terdaftar pada salah satu negara anggota Konvensi Paris adalah termasuk merek independen yang terdaftar di negara-negara anggota Konvensi Paris lainnya.
Konvensi Paris kemudian menghasilkan Trade Related Aspects of Intelectial Property Rights atau biasa disebut TRIPs yang pada hakikatnya mengandung empat kelompok yaitu:7 1. Pengaturan yang mengkaitkan Hak Kekayaan Intelektual dengan konsep perdangan internasional; 2. Pengaturan yang mewajibkan negara-negara anggota untuk mematuhi Paris Convention dan Berne Convention; 3. Pengaturan yang menetapkan aturan atau ketentuan sendiri; dan 4. Pengaturan yang merupakan ketentuan atas hal-hal yang secara umum termasuk upaya penegakan hukum yang terdapat dalam legislasi negaranegara anggota.
Saat ini ketentuan perlidungan merek yang berlaku di Indonesia didasarkan pada Undang Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 (UU Merek 2001), UU Merek 2001 terbit sebagai hasil penyempurnaan dari undang-undang di bidang merek terdahulu serta bentuk pelaksanaan komitmen atas seluruh ratifikasi perjanjian internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Dalam UU Merek 2001, merek didefinisikan sebagai tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda atau digunakan dalam
7
Sudargo Gautama, Op. Cit, hal 22.
7
kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa, dengan begitu setiap nama merek dapat menjadi tanda (sign) bagi barang produksi dan/atau jasa, saat ini merek yang dianggap sebagai tanda tersebut tumbuh dan berkembang dan digunakan masyarakat untuk membedakan antara barang produksi dan/atau jasa yang satu dengan yang lainnya. Ide pemberian merek untuk membedakan barang dan/atau jasa yang beredar di pasar perdagangan sebagaimana yang sudah dijabarkan di atas, sesuai dengan pengaturan ketentuan merek pada UU Merek 2001. Selain menjadi pembeda antara barang dan/atau jasa yang satu dengan yang lainnya,
merek
menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) serta reputasi suatu barang dan jasa sewaktu diperdagangkan. Tujuan pemilik merek ketika menggunakan merek atas barang-barang produksinya adalah untuk memantapkan pertanggung jawaban pihak produsen atas kualitas barang yang diperdagangkan, sehingga nilai suatu barang menjadi penting di mata konsumen.8 Banyak produk barang dan/atau jasa tanpa merek menemui kesulitan untuk berkompetisi di pasar, karena konsumen tidak dengan mudah dapat membedakan atau mengingat produk barang dan/atau jasa tanpa merek yang sedang digunakan, atau bisa jadi tidak ada konsumen yang mau mengunakan barang dan/atau jasa tanpa merek tersebut dikarenakan konsumen ragu karena reputasi dan keamanan barang dan/atau jasa tersebut. Ketentuan merek di Indonesia berdasarkan UU Merek 2001 tidak dimaksudkan untuk menimbulkan terjadinya monopoli terhadap suatu komoditi
8 Julius Rizaldi, 2009, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan Curang, Alumni, Bandung, hlm 2.
8
barang dan/atau jasa oleh pihak tertentu, merek dimaksudkan mewujudkan persaingan usaha yang sehat. Menurut Jened perlindungan hukum yang diberikan kepada merek bukan karena dilihat sebagai upaya yang secara mendasar untuk berlaku jujur dalam kegiatan perdagangan, tetapi melalui merek produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha menjadi dapat diidentifikasi berdasarkan sumber awalnya.9 Ketentuan merek berdasarkan UU Merek 2001 diharapkan melindungi goodwill perusahaan melawan produk lain dari pesaingnya baik yang secara nyata atau diam-diam melakukan persaingan tidak sehat (unfair competition). Membahas perlindungan merek dengan mengkaitkan hukum persaingan usaha tidak sehat, European Court Justice menyatakan monopoli sebagai berikut:10 “Dominance refers to possesion of economic powers in a relevant market which enables to prevent effective competition being maintained in the relevant market by affording it the power to behave to an appreciable extent independently of its competitors, customers and ultimately of its consumers”.
Persaingan usaha dalam dunia usaha sebenarnya hal yang wajar bahkan dapat mendorong pelaku usaha untuk lebih memajukan bidang usahanya, antara lain dengan meningkatkan kualitas barang ataupun memberikan pelayanan yang terbaik kepada para konsumennya. Persaingan usaha tidak sehat, belum tentu selalu dikaitkan dengan perbuatan curang antara pelaku usaha, pemahaman
9 Tinton Slamet Kurnia, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Alumni, Bandung, 2011, hlm 111, mengutip Rahmi Jened, 2006, Hak Kekayaan Intelektual: Penyalahgunaan Hak Ekslusif, Airlangga University Press, Surabaya, hlm 162. 10 Katarzyna Czapracka, 2009, Intellectual Property and the Limits of Antitrust a Comparative Study of US and EU Approaches, Edward Elgar Publishing Limited, United Kingdom, hlm 4.
9
mengenai persaingan curang bukan berarti persaingan tidak sehat yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.11 Perbedaan antara persaingan curang dengan persaingan usaha tidak sehat adalah sebagai berikut: 1.
Persaingan curang merupakan akibat dari itikad tidak baik pemohon pendaftaran merek,12 sedangkan persaingan tidak sehat berdasarkan pemahaman Pasal 1 angka (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan kondisi yang diakibatkan dari praktek monopoli.13
2.
Perlindungan atas persaingan curang merupakan bagian dari perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI), khususnya merek, sedangkan konsep persaingan usaha tidak sehat tidak dapat menjangkau permasalahan HKI di dalam pelaksanaan UU Merek 2001. Sejak diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001 tanggapan pelaku usaha
terhadap pengaturan merek di Indonesia berdasarkan UU Merek 2001 dapat dikatakan cukup baik, dan bagi sebagai bukti respon positif pelaku usaha terhadap supremasi pengaturan di bidang merek dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini:
11
Insan Budi Maulana, 2005, Bianglala Haki: Hak Kekayaan Intelektual, Hecca Mitra Utama, Jakarta, hlm 203. Indonesia, Undang-undang tentang merek, UU Nomor 15 tahun 2001, LN no 110 tahun 2001, TLN No. 4131 tahun 2001, Penjelasan Pasal 4, pemaparan lebih detail mengenai itikad tidak baik yang mengakibatkan persaingan curang. 13 Kusumawardhani Laksmita, 2002, Analisa Segi-segi Hukum Perdata Internasional Indonesia dari Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopolil dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, hlm 21. 12
10
1.
Tabel 1, Permohonan Merek Berdasarkan Jenis Permohonan:14
Sumber: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, 2014
2.
Tabel 2, Statistik Permohonan Merek tahun 2009 – 2011:15
Sumber: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, 2014
14 Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Statistik Merek, http://www.dgip.go.id/statistik-merek, diakses pada tanggal 26 Februari 2014, pukul 15.23 wib. 15 Ibid.
11
3.
Tabel 3, Permohonan Merek Berdasarkan Jenis Pendaftaran:16
Sumber: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, 2014
Berdasarkan tabel, nampak adanya peningkatan kegiatan pendaftaran dan perpanjangan perlindungan hak merek dari tahun ke tahun dalam berbagai aspek. Peningkatan tersebut menunjukan adanya harapan dan kesadaranan pelaku usaha mengenai pentingnya memperoleh perlidungan atas merek yang dimilikinya berdasarkan UU Merek 2001. Pelaku usaha berhak untuk memohonkan pendaftaran merek apapun kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Direktorat Jenderal), selanjutnya Direktorat Jenderal memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak pendaftaran merek yang diajukan. Direktorat Jenderal akan menerima pendaftaran merek yang diajukan sepanjang:
16
Ibid.
12
1.
Permohonan yang diajukan yang diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik (vide Pasal 4 UU Merek 2001);
2.
Merek tersebut mengandung tidak mengandung unsur di bawah ini (vide Pasal 5 UU Merek 2001): (a)
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
(b)
Tidak memiliki daya pembeda;
(c)
Telah menjadi milik umum; atau
(d)
Merupakan keterangan berkaitan dengan barang dan jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
Direktorat Jenderal akan serta merta menolak permohonan pendaftaran yang diajukan pelaku usaha apabila: 1.
Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis (vide Pasal 6 angka 1 huruf a UU Merek 2001);
2.
Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis (vide Pasal 6 angka 1 huruf b UU Merek 2001);
3.
Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan-keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal (vide Pasal 6 angka 1 huruf c UU Merek 2001);
13
4.
Merek tersebut menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki oleh orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak (vide Pasal 6 angka 3 huruf a UU Merek 2001);
5.
Merek tersebut merupakan tiruan yang menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang, atau simbol atau emblem Negara, atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang (vide Pasal 6 angka 3 huruf b UU Merek 2001); atau
6.
Merek tersebut merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan pihak yang berwenang (vide Pasal 6 angka 3 huruf c UU Merek 2001).
Ketentuan
persyaratan
penerimaan
merek
oleh
Direktorat
Jenderal
sebagaimana yang diatur dalam UU Merek 2001, diharapkan mampu memperkecil kemungkinan terjadinya sengketa merek, akan tetapi perundangundangan terkadang luput dari suatu kesempurnaan sehingga menimbulkan celah terjadinya sengketa akibat perbedaan persepsi penafsiran perundang-undangan tersebut. Sebagai contoh, pada Pasal 5 huruf d UU Merek 2001 secara tegas dinyatakan merek tidak dapat didaftar apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, penjelasan undang-undang juga telah
14
memberikan contoh merek yang berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya seperti kata kopi untuk jenis barang kopi. Pelaksanaan ketentuan di atas akan mudah, apabila merek yang diajukan adalah kata yang terdapat dalam kamus besar bahasa Indonesia, namun bagaimana apabila merek yang diajukan menggunakan kata-kata dari bahasa asing. Bisa jadi pelaksana administrasi merek menganggap kata-kata asing tersebut adalah kata baru yang mampu memberikan dasar pembeda, hal ini bisa saja terjadi apabila pelaksana administrasi merek tidak melakukan pemeriksaan dengan literaturliteratur yang cukup. Hal ini terjadi pada merek air mineral Aqua, berdasarkan Putusan
Mahkamah
Agung
No.
757/K/Pdt/1989,
Mahkamah
Agung
membenarkan merek Aqua sebagai merek dagang untuk air mineral, walaupun diketahui kata Aqua yang berasal dari bahasa latin, apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, memiliki arti air. Tahun 2012, perkembangan merek di Indonesia menjadi perbincangan media baik dalam negeri maupun luar negeri karena Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179PK/Pdt.Sus/2012 (Putusan Kopitiam), putusan tersebut dibacakan untuk penyelesaian sengketa antara Abdul Alex Soelysto dalam kedudukannya sebagai Penggugat dengan Paimin Halim dalam kedudukannya sebagai Tergugat. Dalam sengketa tersebut Penggugat sebagai pemilik merek dagang Kopitiam berdasarkan sertifikat pendaftaran merek nomor IDM00030899 mengajukan pembatalan merek Kok Tong Kopitiam yang dimiliki Tergugat berdasarkan sertifikat pendaftaran merek IDM000226705. Penggugat mengajukan gugatan pembatalan merek Tergugat di Pengadilan Negeri Medan
15
dengan dasar gugatan dasar itikad tidak baik dan persamaan pada pokoknya dengan merek milik Penggugat. Tergugat dalam jawabannnya menyatakan bahwa merek Kok Tong Kopitiam tidak memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek Kopitiam yang dimiliki oleh Penggugat, karena Tergugat mencantumkan kata Kok Tong sebagai dasar pembedanya, dan berdasarkan Putusan Komisi Banding Merek Nomor 237/KBM/HKI/2009 diperbolehkan untuk di daftarkan. Tergugat juga memohon agar Majelis membatalkan merek Kopitiam atas dasar kata kopitiam merupakan kata serapan dari bahasa hokkien yang apabila ditafsirkan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kedai kopi, sehingga kata kopitiam sepatutnya tidak dapat didaftarkan di dalam Daftar Umum Merek karena berkaitan dengan jenis jasa yang dimintakan pendaftarannya. Tergugat telah menjabarkan alasan-alasan pembatalan merek Kopitiam kepada Majelis, tetapi Majelis berpendapat lain, dan memutus Penggugat berhak untuk menggunakan merek Kopitiam dan menyatakan sebagai pemegang hak eksklusif atas merek Kopitiam serta membatalkan pendaftaran merek Tergugat. Berdasarkan Putusan Kopitiam tersebut, Abdul Alex Soelystio adalah pihak yang berhak secara hukum untuk menggunakan merek Kopitiam, dan pihak-pihak lain yang menggunakan kata Kopitiam pada mereknya tidak lagi diperbolehkan, dan pemohon merek yang menggunakan kata kopitiam tidak dapat diterima atau akan ditolak oleh Direktorat Jenderal. Putusan ini menuai kritik dari para pengusaha kopitiam di Indonesia, Malaysia, dan Singapura, bahkan Jabatan Penerangan Malaysia lembaga
16
kementrian yang memiliki fungsi seperti Menteri Komunikasi dan Informatika di Indonesia, menyatakan pada halaman jejaring sosialnya bahwa pengakuan di Indonesia tidak berlaku untuk kopitiam yang ada di Malaysia, merek ini hanya berkuat kuasa di Indonesia sahaja.17 Justisiari Perdana Kusumah, sebagai Ketua Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual menanggapi putusan tersebut: 18 “Ini pekerjaan rumah untuk semua pihak, para pemeriksa merek dituntut untuk belajar dan memperluas wawasannya. Para pemilik merek dan pelaku bisnis juga dituntut untuk responsif apabila terjadi hal-hal seperti kasus kopitiam dan melakukan upaya-upaya yang maksimal untuk melindungi mereknya atau usahanya”.
Asosiasi pengusaha kopitiam di Indonesia juga mengecam Putusan Kopitiam, Praminta dalam kapasitasnya selaku Ketua Persatuan Pengusaha Kopitiam Indonesia (KPPI) mengatakan bahwa merek dagang kopitiam tidak dapat dimonopoli atau dikuasai oleh orang perorangan atau badan hukum, karena kata kopitiam sendiri merupakan milik umum dan bersifat deskriptif sehingga siapapun boleh menggunakannya.19 Kopitiam adalah bentuk usaha yang menggabungkan kedai kopi dan kedai sarapan tradisional khas cina melayu, kedai kopitiam banyak ditemui di Singapura, Malaysia, dan Indonesia khususnya Kepulauan Riau dan Sumatera Utara.20 Kopitiam digunakan sebagai kata pengganti kafe dimana kopitiam merupakan penggabungan dua kebudayaan, dari kebudayaan melayu untuk frasa kopi dan dari budaya Cina untuk kata Tiam yang dalam frasa hokkian yang berarti 17 Kopitiam Malaysia, di http://www.kabar24.com/index.php/indonesia-patenkan-kopitiam-malaysia-mengejek/, diakses pada tanggal 26 Februari 2014, pukul 16.01 wib. 18 Kasus Kopitiam, http://news.detik.com/read/2012/10/05/145212/204473/10/belajar-dari-kasus-kopi-tiamkemenkum-ham-harus-berwawasan-luas, diakses pada tanggal 26 Februari 2014, pukul 16:02 wib. 19 Mulyadi Praminta, Gugatan Pembatalan Merek Kopitiam, http://www.bisnis.com/articles/asosiasi-pengusaha-ajukangugatan-pembatalan-3-merek-kopitiam diakses pada tanggal 26 Februari 2014, pukul 16:03 wib. 20 History of Kopitiam, http://www.wisegeek.com/what-is-kopi-tiam.htm, diakses pada tanggal 26 Februari 2014, pukul 16:04 wib.
17
kedai.21 Kopitiam pada mulanya merupakan kedai-kedai kecil yang menyajikan minuman, makanan, dan camilan murah, serta menjadi tempat berkumpulnya para pekerja hingga buruh.22 Usaha dagang kopitiam yang berkembang saat ini di Malaysia, tidak hanya menjadi tempat makan dan minum, tetapi juga menjadi tempat pertemuan untuk berdiskusi atau bertemu dengan klien, atau tempat berkumpulnya para remaja dan orang tua.23 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penulis akan mengangkat topik penulisan dengan judul “Analisis Penggunaan Frasa Bahasa Asing Yang Merupakan Merek Deskriptif Dalam Pendaftaran Merek Di Indonesia (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179PK/Pdt.Sus/2012”.
B.
Perumusan Permasalahan UU Merek 2001 mensyaratkan suatu kegiatan pendaftaran kepada pemilik
merek, supaya merek yang dimilikinya memperoleh perlidungan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Pendaftaran tersebut melahirkan hak eksklusif bagi pemilik merek untuk mengunakan sendiri merek tersebut atau mengizinkan pihak lain menggunakan hak tersebut (vide Pasal 3 UU Merek 2001). Perdagangan antar bangsa yang telah terjadi sejak dahulu kala, sampai dengan era globalisasi dan perdagangan bebas yang terjadi saat ini mengakibatkan terjadinya pertukaran budaya antar bangsa, hal ini terjadi terjadi di wilayah Asia Tenggara seperti
21 Siti Syamsul Nurin Mohmad Yazam, et.al., 2011, The Relationship Between Advertising and Muslim Students Invention To Visit Kopitiam, Jurnal, College of Art and Science, Universiti Utara Malaysia, hlm 2. 22 History Of Kopitiam, Op.Cit. 23 Siti Nurbaya Abdul Rahman, 2010, Malaysian Coffee Culture: A Reserarch of Social Aspect, Branding and Design, Tesis Master Degree of Art History& Cultural Management, Universitas Teknologi Mara, Selangor, Malaysia, hlm 29.
18
Singapura, Malaysia, dan Indonesia khususnya Kepulauan Riau dan Sumatera Utara. Pertukaran kebudayaan antar bangsa banyak menghasilkan suatu kebudayaan yang baru yang merupakan produk dari suatu asimilasi, salah satu bentuk asimilasi yang terjadi di wilayah Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, dan Indonesia khususnya Kepulauan Riau dan Sumatera Utara adalah asimilasi kultural, asimilasi kultural terjadi pada empat elemen yaitu penggunaan Bahasa Melayu, makanan khas dan pakaian melayu dan aktivitas ritual/seremonial tahunan dan konversi agama.24 Kopitiam dapat dikatakan sebagai suatu produk asimilasi kultural, sebagaimana yang telah dibahas di atas, kata kopitiam merupakan penggabungan dari dua frasa kata yang berasal dari etnis Melayu dan etnis Cina yang dapat diartikan sebagai warung kopi atau kedai kopi. Contoh kasus tersebut menimbulkan suatu pertanyaan bagi penulis dengan rumusan permasalahan sebagai berikut:
1.
Apakah frasa bahasa asing yang merupakan merek deskriptif dapat dianggap memiliki daya pembeda sebagaimana yang dimaksud UU Merek 2001?
2.
Apakah pemegang merek terdaftar yang menggunakan frasa bahasa asing yang merupakan merek deskriptif dapat dibatalkan mereknya atas dasar bertentangan dengan ketertiban umum dan itikad tidak baik?
24
Abdullah Idi, 2009, Asimilasi Cina Melayu di Bangka, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm 267-269.
19
C.
Keaslian Penelitian Pembahasan mengenai tata cara pemberian hak merek deskriptif telah dibahas
oleh Erinaldi, 2012, Pemberian Hak Merek Generik dan Merek Deskriptif Dalam Pendaftaran Merek, Program Pasca Sarjana Peminatan Hak Kekayaan Intelektual Universitas Indonesia. Sementara pembahasan mengenai Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 26/K/PDT/SUS/2011 terkait penyelesaian sengketa merek Kopitiam telah dibahas oleh Adnan Farhansyah, 2013, Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Kopitiam Antara Kopitiam Melawan Kok Tong Kopitiam yang Melibatkan Persatuan Pengusaha Kopitiam Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penulisan penelitian yang dilakukan oleh penulis di fokuskan terhadap praktek penerapan penggunaan frasa bahasa asing dalam pendaftaran merek di Indonesia, dan pembatalan pendaftaran merek deskriptif yang telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek atas dasar itikad tidak baik dan bertentangan dengan kepentingan umum. Penulis telah melakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Gadjah Mada, selain itu penulis melakukan penulusuran di beberapa perpustakaan elektronik (e-library) beberapa perguruan tinggi di Indonesia antara lain Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjajaran, dan Universitas Airlangga, penulis tidak menemukan adanya penulis lain yang membahas “Analisis Penggunaan Frasa Bahasa Asing Yang Merupakan Merek Deskriptif dalam Pendaftaran Merek di Indonesia (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179PK/Pdt.Sus/2012”.
20
D.
Faedah Penelitian Penulis berharap hasil penelitian ini mampu memberikan kontribusi bagi
pembangunan perlidungan merek di Indonesia, dan mampu mengisi kekosongan hukum dalam pengaturan merek di Indonesia. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat menjadi rujukan dan sebagai sarana informasi bagi para mahasiswa, pelaksana dan pengurus administrasi di bidang pendaftaran merek.
E.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan penggunaan frasa bahasa asing yang
merupakan suatu merek deskriptif dalam pendaftaran merek di Indonesia, dimana hal tersebut mampu menimbulkan ketidakpastian bagi pemilik merek yang ingin mendaftarkan mereknya di Indonesia, dan menjelaskan mengenai pembatalan merek yang menggunakan frasa bahasa asing yang merupakan merek deskriptif atas dasar bertentangan dengan ketertiban umum dan itikad tidak baik.
F.
Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk: a. Memberikan suatu masukan di bidang hukum perlindungan hak kekayaan intelektual merek, khususnya mengenai penafsiran merek deskriptif dilihat dari sudut pandang undang-undang merek yang berlaku di Indonesia;
21
b. Menambah wawasan mengenai praktik penerapan administrasi merek deskriptif oleh Direktorat Jenderal; dan c. Sebagai suatu wacana akademik di bidang ilmu hukum khususnya merek, untuk menegaskan memberikan penjelasan yang lebih rinci apakah merek deskriptif termasuk salah satu unsur merek yang tidak dapat didaftar sebagaimana dimaksud Pasal 5 UU Merek 2001.
2.
Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini ditujukan untuk: a. Sebagai referensi di bidang ilmu hukum kekayaan intelektual, khususnya bidang hukum merek; b. Sebagai usulan terhadap penerapan penggunaan merek deskriptif didasarkan pada UU Merek 2001, agar para pemohon bermaksud menggunakan merek deskriptif sebagai salah satu pelengkap merek yang
didaftarkannya
dapat
lebih
terlindungi
hak-haknya
berdasarkan UU Merek 2001; dan c. Sebagai sarana advokasi bagi para pemohon yang bermaksud mendaftarkan merek deskriptif sebagai salah satu pelengkap merek yang didaftarkannya, terutama melalui ide dan wacana yang terkandung di dalam penulisan ini.
22
G.
Kerangka Teoritis Hak kekayaan intelektual adalah hak yang timbul sebagai hasil kemampuan
intelektual manusia yang menghasilkan suatu proses atau produk yang bermanfaat bagi umat manusia dalam berbagai bidang ilmu seperti ilmu pengetahuan, seni, sastra.25 Proses melahirkan suatu hak kekayaan intelektual melalui tahapan yang sangat panjang, hal ini mengakibatkan individu yang melahirkan kekayaan intelektual mengorbankan waktu, pikiran, tenaga, dan biaya, oleh karenanya sangat wajar suatu hak kekayaan intelektual mendapat perlindungan untuk melindungi hak-hak individu yang melahirkan kekayaan intelektual. Demikian juga bagi merek, untuk melahirkan suatu merek, seseorang akan menghabiskan waktu, pikiran, tenaga, dan biaya untuk menghasilkan suatu merek yang dapat memiliki pembeda dengan produk-produk lainnya, terlebih merek yang dihasilkan tersebut kemudian menjadi suatu merek terkenal yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Tidak jarang, produsen baik individu atau korporasi membayar mahal konsultan untuk menciptakan suatu merek yang dapat merepresentasikan, membedakan, dan mampu mendongkrak kepopuleran barang dan jasa yang dijualnya. Begitu pentingnya merek untuk menjadi pembeda komoditi di dunia usaha menyebabkan dilekatkannya perlindungan hukum terhadap merek tersebut. Mengutip Soetijarto adapun teori-teori yang mendukung adanya suatu perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual adalah:26
25 OK Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 9. 26 Noegroho Amien Soetijarto, 1981, Hukum Milik Perindustrian, Liberty, Jakarta, hlm 32.
23
1. Teori reward: Pada dasarnya menyatakan bahwa pencipta atau penemu yang akan diberikan perlindungan perlu diberikan penghargaan atas upaya dan usahanya tersebut. 2. Teori recovery: Penemu atau pencipta telah membuang waktu dan uang, maka perlu diberikan kesempatan untuk meraih kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut. 3. Teori incentive: Bahwa insentif diperlukan agar kegiatan-kegiatan pelaksanaan dan pengembangan kreatifitas penemuan dan semangat untuk menghasilkan penemuan dapat terjadi. 4. Teori expanded public knowledge: Teori ini dikembangkan untuk bidang paten. Untuk mempromosikan publikasi dari penemuan dalam bentuk dokumen secara mudah tersedia untuk umum, maka diberikan kesempatan untuk menikmati hak khusus, hak eksklusif yang bersifat sementara. 5. Teori risk: Mengemukakan bahwa hak kekayaan intelektual merupakan hasil dari suatu penelitian dan mengandung resiko, dengan demikian wajar untuk memberikan perlindungan sementara terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung resiko tersebut. 6. Teori public benefit: Disebut juga teori economic growth stimulus. Dasar teori ini adalah hak kekayaan intelektual merupakan suatu alat bagi pengembangan ekonomi. Pengembangan ekonomi merupakan keseluruhan tujuan dibangunnya suatu perlindungan hak kekayaan intelektual yang efektif.
Perlindungan dimaksudnya untuk memberikan kepastian hukum kepada pemohon merek di Indonesia, kepastian hukum pada suatu Negara adalah ketegasan tentang berlakunya suatu aturan hukum, prinsip kepastian hukum (lex certa) mengharuskan aturan hukum berlaku mengikat secara tegas karena tidak ada keragu-raguan dalam pemberlakuannya. Diharapkan perlindungan merek yang dibentuk pemerintah Indonesia dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat, agar tidak terjadi ketidakadilan dan kerugian yang mungkin diderita oleh pemilik merek yang sudah terdaftar ataupun pemohon merek dikemudian hari. Oleh karenanya pelaksanaan administrasi merek di Direktorat Jenderal harus dilaksanakan
24
sebagaimana ketentuan di dalam undang-undang yang berlaku agar tidak terjadi ketidakadilan dan kerugian sebagaimana disebutkan sebelumnya. Fakta di lapangan, Direktorat Jenderal sebagai pengemban amanah UU Merek 2001 untuk bertindak sebagai administrator merek belum melaksanakan UU Merek 2001 sepenuhnya dalam melakukan administrasi merek, hal ini tercermin dari banyaknya sengketa merek diantara pemilik merek terdaftar atau pemilik merek terdaftar dengan pemohon merek. Berkaitan dengan penulisan ini, penulisan ini didasarkan pada isu-isu mengenai penerapan administrasi merek oleh Direktorat Jenderal, penafsiran merek deskriptif menurut UU Merek 2001, agar tidak terjadi kerugian-kerugian yang mungkin diderita oleh pemilik merek terdaftar ataupun pemohon merek.