157
RESPON TANAMAN KEDELAI TERHADAP INOKULASI DENGAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN APLIKASI PUPUK DAUN ORGANIK “GREENSTANT” RESPONSE OF SOYBEAN TO INOCULATION WITH ARBUSCULAR MYCORRHIZAL FUNGI AND APPLICATION OF THE ORGANIC FOLIAR FERTILIZER “GREENSTANT” Wayan Wangiyana *1), Megawati Sitorus 2) dan Hanafi Abdurrachman 1) 1)
Dosen Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Mataram 2) Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mataram *) Email:
[email protected] atau
[email protected] ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh inokulasi FMA (fungi mikoriza arbuskular) dan berbagai dosis pupuk daun organik Greenstant terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai, dengan melakukan percobaan pot di rumah kaca, dengan tiga ulangan dan dua faktor perlakuan yang ditata secara faktorial. Faktor pertama adalah inokulasi FMA (tanpa dan dengan inokulasi), dan faktor kedua adalah dosis pupuk daun (0; 3; 4,5 dan 6 L ha-1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pengaruh inokulasi FMA tidak signifikan terhadap hasil biji kedelai tetapi signifikan terhadap jumlah daun 42 HST (hari setelah tanam) serta tinggi tanaman 56 dan 70 HST (tinggi maksimum), sedangkan jumlah daun, terutama umur 56 HST (pengisian biji) berkorelasi positif nyata dengan jumlah polong berisi, dan jumlah polong berisi berkorelasi positif nyata dengan hasil biji; (2) Dosis pupuk daun Greenstant hanya berpengaruh terhadap tinggi tanaman 42 HST, derajat kolonisasi FMA, serta jumlah polong berisi dan biji per pot. Namun, jumlah polong berisi berkorelasi positif nyata dengan hasil biji; (3) Kedua faktor perlakuan hanya berinteraksi terhadap tinggi tanaman maksimum, tetapi ada kecenderungan perbedaan respon hasil biji terhadap dosis pupuk daun antara tanpa FMA dan dengan inokulasi FMA; (4) Juga ada kecenderungan meningkatnya efektivitas FMA dalam meningkatkan hasil biji kedelai akibat pemberian pupuk daun organik Greenstant, selain penghematan pupuk dasar karena dosisnya hanya 50% dari dosis pupuk dasar pada perlakuan tanpa pupuk daun. ABSTRACT This research was aimed to to evaluate the effects of AMF (arbuscular mycorrhizal fungi) inoculation and various doses of the organic foliar fertilizer “Greenstant” on growth and yield of soybean, by conducting a pot experiment in a glasshouse with three replicates and two factorially arranged treatment factors. The first factor was AMF inoculation (without and with inoculation), and the second factor was doses of foliar fertilizer (0; 3; 4.5 and 6 L ha-1). Results indicated that: (1) The effect of AMF inoculation was not significant on soybean seed yield but significant on leaf number at 42 DAP (days after planting), and plant height at 56 and 70 DAP (maximum height), whereas leaf number, especially at 56 DAP (seed filling), was significantly and positively correlated to filled-pod number and this number was significantly and positively correlated to seed yield; (2) Doses of the organic foliar fertilizer “Greenstant” only significantly effected plant height at 42 DAP, level of AMF colonization, and numbers of filled pods and seeds per pot. However, filled-pod number was significantly and positively correlated to seed yield; (3) Interaction between the two treatment factors was significant only on maximum plant height, but there was a tendency of different seed yield responses to doses of foliar fertilizer between without AMF and with AMF inoculation; (4) There was also a tendency of increased AMF effectiveness in increasing soybean seed yield due to application of the organic foliar fertilizer “Greenstant”, in addition to saving of base fertilizers because the doses were only 50% of the base fertilizers applied to the treatment with no foliar fertilizer application. __________________________ Kata kunci: Pupuk daun, Greenstant, kedelai, mikoriza arbuskular Keywords: Foliar fertilizer, Greenstant, soybean, arbuscular mycorrhiza
Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
158
PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah jenis tanaman dalam kelompok tanaman palawija yang umum ditanam petani di Indonesia, terutama sebagai penggilir tanaman padi, yang ditanam pada musim kemarau. Kedelai merupakan komoditas pangan utama ketiga setelah padi dan jagung serta menjadi salah satu komoditas yang diprioritaskan dalam program Revitalisasi Pertanian. Apalagi kalau dilihat peranannya yang sangat besar dalam mendukung kesehatan masyarakat yang relatif murah (Arsyad dan Syam, 1998; Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2004). Selain itu, dari segi dekungannya terhadap peningkatan atau menjaga tingkat kesuburan tanah, kedelai juga memegang peranan yang sangat penting karena kemampuannya dalam memfiksasi nitrogen bebas (N2) dari udara (Peoples dan Herridge, 1990). Bahkan ada yang melaporkan bahwa kedelai dapat menambat nitrogen bebas sampai mencapai 213 kg ha-1 N (yang berarti setara dengan 463 kg ha-1 Urea). Ini akan memberi kontribusi N kepada sistem untuk produksi tanaman non-legum berikutnya (Myers dan Wood, 1987; Wood dan Myers, 1987). Namun demikian, produksi kedelai dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan penduduk akan kedelai. Oleh karena itu, Indonesia masih mengimpor kedelai. Menurut data yang disajikan Simatupang et al. (2005), ada peningkatan jumlah impor kedelai sejak tahun 1990, dan pada tahun 2004, impor kedelai mencapai 1,3 juta ton. Peningkatan jumlah impor ini disebabkan oleh meningkatnya defisit antara total produksi dalam negeri dan jumlah kebutuhan, yang antara lain dapat disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran akan nilai gizi kedelai, dan penurunan luas panen, walaupun ada sedikit peningkatan produktivitas kedelai. Ditinjau dari segi nilai gizinya, biji kedelai mengandung 35% protein, 18% lemak, 35% karbohidrat (Ditjen Tanaman Pangan, 1984). Protein kedelai juga diketahui mengandung berbagai asam amino esensial. Kedelai juga mengandung vitamin, mineral dan senyawasenyawa metabolit seperti lesitin dan kelompok senyawa flavon atau isoflavon, yang belakangan ditemukan sangat banyak peranannya dalam menjaga kesehatan tubuh manusia, seperti anti tumor/kanker, anti kolesterol, anti osteoporosis, pengobatan jantung koroner dan sebagai antioksidan (Kompas, 17-08-2004). Kedelai juga diperlukan tidak hanya untuk memenuhi W. Wangiyana dkk: Respon tanaman kedelai …
kebutuhan konsumsi secara langsung, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan industri pangan, yang semuanya juga bernilai gizi tinggi, seperti untuk pembuatan tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai (Rukmana dan Yuniarsih, 1996). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedelai dapat dipergunakan sebagai sumber protein yang relatif murah dan lebih sehat dibandingkan dengan protein dari daging hewan seperti daging sapi karena kedelai tidak mengandung kolesterol. Dari segi harga per kg, harga daging sapi bisa mencapai beberapa kali lipat dibandingkan dengan biji kedelai. Mungkin hal ini juga yang menyebabkan permintaan akan kedelai meningkat terus tiap tahunnya. Oleh karena itu, produksi kedelai harus terus ditingkatkan, baik melalui perluasan areal tanam, misalnya ke lahan kering, yang potensinya sangat besar di Indonesia, terutama di wilayah timur Indonesia, maupun melalui peningkatan produktivitas kedelai per satuan luas. Untuk peningkatan produktivitas, penemuan dan penggunaan varietas unggul dengan daya hasil tinggi merupakan cara yang ideal. Namun demikian, produktivitas kedelai umumnya masih rendah jika dibandingkan dengan padi dan jagung, dan mungkin tidak akan bisa menyamai produktivitas serealia tersebut karena kebutuhan akan nitrogennya yang tinggi untuk produksi biji, bahkan tertinggi di antara 24 jenis tanaman penghasil biji yang dievaluasi oleh Sinclair dan de Wit (1975). Selain itu, daya hasil yang dapat dicapai petani juga pada umumnya masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan daya hasil yang tercantum pada deskripsi varietas kedelai. Di Nusa Tenggara Barat, rata-rata produktivitas kedelai yang dapat dicapai petani 0,6 - 1,0 ton ha-1 (Suyono, 2003). Padahal, beberapa varietas, menurut deskripsinya, dapat mencapai hasil sampai 3 ton ha-1, seperti varietas Merubetiri, Baluran dan Argopuro (BPTP NTB, 2006). Mengingat kebutuhannya yang tinggi akan unsur hara untuk produksi biji, terutama N (Sinclair dan de Wit, 1975), maka penyediaan unsur hara bagi tanaman kedelai dapat dikatakan sebagai cara yang paling penting untuk peningkatan produksi biji. Walaupun varietas yang ditanam mempunyai daya hasil tinggi, jika penyediaan unsur hara tidak memadai, maka hasil yang dicapai juga tidak akan memadai. Suatu unsur hara dapat dikatakan benar-benar tersedia jika dapat diserap tanaman. Unsur hara, walaupun dalam bentuk tersedia di dalam tanah (secara fisiko-kimia), dan walaupun dalam jumlah cukup banyak, jika tidak terjangkau akar tanaman, maka tidak terserap oleh tanaman, dan
159 dalam kondisi seperti ini, unsur hara tersebut juga dikatakan, secara biologis, tidak tersedia bagi tanaman (Mengel, 1985). Kondisi seperti ini diduga merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas kedelai yang dapat dicapai, walaupun dengan pemupukan lengkap, seperti yang pernah dilaporkan, bahwa pemupukan N, P dan K tidak berpengaruh terhadap hasil biji kedelai, yaitu rata-rata 1,29 ton ha-1 di Sengkol dan 1,48 ton ha-1 di Keruak dengan pemupukan lengkap, sedangkan tanpa pemupukan 1,21 ton ha-1 di Sengkol dan 1,47 ton ha-1 di Keruak (Adisarwanto et al., 1992). Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dapat dipergunakan untuk memperluas bidang serapan akar tanaman, untuk meningkatkan penyerapan air dan unsur hara bagi tanaman yang bermikoriza (Menge, 1983; Smith dan Read, 1997; Miyasaka dan Habte, 2001), dan bahkan akar tanaman yang berasosiasi dengan FMA dinyatakan dapat mempunyai daya jelajah volume tanah sampai mencapai 100 kali akar tanaman yang sama tetapi tanpa bermikoriza (Sieverding, 1991). Tanaman kedelai dinyatakan mempunyai ketergantungan yang relatif tinggi terhadap infeksi FMA (Thompson, 1991; Anderson dan Ingram, 1993) dalam usahanya untuk penyerapan hara dan air. Parman et al. (1997) menunjukkan bahwa hasil tanaman jagung, kedelai dan kacang hijau yang ditanam setelah padi di tanah vertisol secara siginifikan lebih tinggi pada tanaman yang diinokulasi dengan FMA daripada yang tidak diinokulasi, termasuk juga serapan P dalam jaringannya. Peningkatan konsentrasi unsur hara dalam jaringan tanaman dapat juga dilakukan melalui pemupukan. Khusus untuk peningkatan kandungan N jaringan, tanaman kedelai bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium sp. dengan membentuk bintil akar. Peningkatan nutrisi P tanaman baik melalui pemupukan maupun inokulasi FMA, dapat meningkatkan nutrisi N tanaman, jumlah bintil akar, laju penambatan nitrogen, kandungan N daun dan hasil tanaman kedelai (Kawai and Yamamoto, 1986; Vejsadová et al., 1992), dan kacangkacangan lainnya seperti buncis (Ibijbijen et al., 1996). Dalam kaitan dengan pemupukan tanaman kedelai, pemberian pupuk, selain melalui tanah, dapat juga dilakukan lewat daun. Hasil penelitian aplikasi pupuk daun Gandasil D, Gandasil B dan Bayfolan pada fase reproduktif tanaman kedelai, Wangiyana et al. (1997) melaporakan adanya peningkatan hasil yang signifikan dengan pemberian pupuk daun tersebut. Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi pengaruh inokulasi FMA komersial dan aplikasi
pupuk daun organik “Greenstant”, serta interaksinya, terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Menurut brosurnya, pupuk daun organik “Greenstant” cair (PT Tani Makmur) ini mengandung 16,55% N; 2,36% P205; 3,45% K20, serta unsur-unsur mikro Fe, Mn, S, Bu Cu, Zn, Mo. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimental dengan melakukan percobaan pot di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Mataram, dari bulan Juni sampai dengan September 2005. Rancangan percobaan Percobaan ditata menurut Rancangan Acak Lengkap dengan tiga ulangan dan dua faktor perlakuan yang ditata secara faktorial, yaitu inokulasi FMA dengan 2 aras perlakuan (M0 = tanpa, M1 = dengan inokulasi), dan dosis pupuk daun organik “Greensant” cair dengan 4 aras perlakuan (D0 = tanpa pupuk daun, D1 = Dosis 3,0 L ha-1 (0,012 ml pot-1), D2 = Dosis 4,5 L ha-1 (0,018 ml pot-1), D3 = Dosis 6,0 L ha-1 (0,024 ml pot-1). Pelaksanaan Percobaan Persiapan benih dan media tanam.-Benih kedelai varietas Wilis, sebelum ditanam, direndam dalam air panas 30 menit (suhu air 60 ºC saat benih dicelupkan), untuk menghilangkan jamur yang menempel pada benih. Tanah yang digunakan adalah tanah entisol yang diambil dari lahan sawah milik petani di Kelurahan Pagesangan Kota Mataram, dari lapisan olah sedalam 20 cm, kemudian dikering-anginkan, dan diayak dengan ayakan bermata ayak 2 mm, dan disterilkan dengan cara dijemur (solarisasi) selama 12 hari, di bawah plastik transparan di rumah kaca, dan setiap hari dibolak-balik. Tanah ini kemudian digunakan untuk mengisi pot polybag sebanyak 9,2 kg pot-1, dengan perhitungan jarak tanam 20x20 cm. Penanaman dan inokulasi FMA.-Penanaman kedelai dilakukan dengan menugalkan 3-4 butir benih di tengah-tengah pot dengan kedalaman 2 cm kemudian ditutup dengan tanah. Inokulasi FMA dilakukan dengan menugalkan inokulum sebanyak 20 g pot-1 dengan kedalaman 5 cm, dengan jarak 5 cm masing-masing di sebelah utara dan selatan lubang tugal benih, kemudian ditutup dengan tanah. Inokulum FMA diperoleh dari Institut Pertanian Bogor (IPB), yang diberi nama Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
160 Micofer. Inokulum terdiri atas spora dan akar inang bercampur dengan media inang pembiak berupa batuan zeolit, yang mengandung Glomus sp. dan Gigaspora sp., dengan kerapatan 100 spora per 10 g inokulum. Pemberian pupuk dasar.-- Pupuk dasar diberikan saat tanam, menggunakan campuran pupuk Urea, TSP dan KCl. Pot dengan perlakuan tanpa pupuk daun diberikan Urea 0,25 g pot-1 (setara dengan 50 kg ha-1), TSP 0,50 g pot-1 (setara dengan 100 kg ha-1), dan KCl 0,25 g pot-1 (setara dengan 50 kg ha-1), sedangkan pot dengan perlakuan aplikasi pupuk daun diberikan pupuk dasar sebanyak 50% dari dosis perlakuan tanpa pupuk daun. Campuran pupuk dasar tersebut diberikan dengan membenamkan ke dalam dua lubang yang dibuat dengan kedalaman 2 cm dan berjarak 5 cm di sebelah timur dan barat lubang tugal benih. Perlakuan dengan pupuk daun organik “Greenstant”.-- Penyemprotan pupuk daun dilakukan tiga kali, yaitu pada saat tanaman berumur 10, 30, dan 50 HST (hari setelah tanam), sehingga tiap kali penyemprotan diberikan 1/3 dosis perlakuan, yang ditakar dengan pipet mikro, dan larutan dibuat dengan konsentrasi 0,5 ml L-1. Dengan demikian, tiap kali aplikasi dilakukan pemberian pupuk Greenstant cair 0,012 ml yang dilarutkan dalam 24 ml air untuk 3 pot perlakuan D1; 0,018 ml yang dilarutkan dalam 36 ml air untuk 3 pot perlakuan D2; dan 0,024 ml yang dilarutkan dalam 48 ml air untuk 3 pot perlakuan D3, sedangkan perlakuan D0 yang disemprot dengan aquadest 24 ml untuk 3 pot. Larutan pupuk daun disemprotkan ke seluruh bagian tanaman, terutama permukaan bawah daun, dengan menggunakan hand-push sprayer pada siang menjelang sore hari. Pemeliharaan tanaman.-- Penjarangan dan penyulaman dilakukan pada umur 7 HST (hari setelah tanam) dengan tanaman cadangan, sehingga diperoleh dua tanaman kedelai per pot. Penyiangan dilakukan setiap ada gulma yang tumbuh dengan cara mencabutnya. Penyiraman dilakukan setiap hari yaitu pada sore hari dengan takaran yang sama atau sesuai dengan kelembaban tanah. Penyiraman dihentikan 2 minggu sebelum panen. Untuk pengendalian penyakit digunakan Dithane M-45 80 WP (2 g L1 air), dan Decis 25 EC (2 ml L-1 air) untuk hama, terutama kutu daun. Panen.-- Panen dilakukan pada umur 82 HST, setelah tanaman kedelai memperlihatkan tanda-tanda polong berwarna coklat tua, daundaun telah menguning dan batang mulai kering. W. Wangiyana dkk: Respon tanaman kedelai …
Variabel pengamatan dan analisis data Variabel pengamatan meliputi: tinggi tanaman, jumlah daun trifoliate per pot, jumlah cabang produktif, persen kolonisasi akar oleh FMA, jumlah spora FMA, jumlah polong berisi per pot, jumlah polong hampa per pot, jumlah polong yang terbentuk, jumlah biji per pot, berat 100 biji, hasil biji per pot, jumlah bintil akar per pot, dan berat berangkasan kering per pot. Tinggi tanaman dan jumlah daun per pot diamati pada saat tanaman berumur 14, 28, 42, 56, dan 70 HST, tetapi yang dianalisis hanya data pada umur 42 (awal pembentukan polong), 56 (pengisian biji) dan 70 HST (tinggi maksimum), sedangkan komponen hasil tanaman diukur pada saat atau setelah panen. Berat berangkasan kering tanaman ditentukan dengan menimbang seluruh bagian tanaman (akar, batang, dan daun) yang dipanen setelah dikeringkan dalam oven pada suhu 60 0C selama 96 jam (4 hari) sampai mencapai berat konstan. Derajat kolonisasi akar oleh FMA dan jumlah spora diamati pada umur 52 HST dengan menggambil contoh tanah rizosfir (soil cores) sebanyak 70 gram menggunakan soil sampler diameter 2,5 cm di antara lubang tugal inokulum FMA dan pupuk dasar. Pada saat ekstraksi spora, contoh tanah ini direndam selama 30 menit dalam 400 ml air dalam gelas labu, kemudian dikocok dengan magnetic stirrer selama 10 menit, lalu disaring dengan serangkaian saringan bertingkat dengan mata ayak dari yang teratas sampai terbawah berturut-turut 1 mm, 250 µm dan 38 µm. Akar yang tertampung pada ayakan paling atas dan mengendap di gelas labu diambil dan dibilas, kemudian dipotong-potong dengan ukuran ± 1 cm, kemudian dilakukan proses pembeningan dengan KOH 10% dan HCl 2%, dilanjutkan dengan pengecatan dengan trypan blue 0,05% dalam lacto-glycerol mengikuti prosedur yang dimodifikasi (Wangiyana, 2004). Tanah dalam gelas labu diisi air dan dikocok lagi, kemudian proses ekstrasi spora dilanjutkan menggunakan teknik wet sieving & decanting menurut Brundrett et al. (1996) dan spora ditampung dalam kertas saring bergrid (Wangiyana, 2004), kemudian dihitung di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran 40x. Persen kolonisasi akar yang sudah dicat dengan trypan blue dihitung menggunakan teknik Gridline Intersect (Giovannetti dan Mosse, 1980) di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran 40x. Persen kolonisasi didapat dengan menggunakan rumus sbb: % kolonisasi =
M1 x100% M 0 + M1
161 M0 = M1 =
Jumlah titik persinggungan antara potongan akar tidak terkolonisasi dengan garis “intersect” Jumlah titik persinggungan antara potongan akar terkolonisasi (oleh hifa atau vesikel FMA) dengan garis “intersect”
Data dianalisis dengan analisis keragaman menggunakan progrram statistik CoStat ver. 2.01 yang dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf nyata 5%. Juga dilakukan analisis korelasi dan regresi antar variabel pengamatan tertentu menggunakan Microsoft Excel for Windows. Untuk grafik, juga dilakukan penghitungan nilai standard error (SE) dengan rumus dan teknik penampilan grafik menurut Riley (2001), menggunakan Microsoft Excel for Windows.
HST pada dosis 3 L ha-1 lebih rendah dibandingkan pada dosis 0 jika tidak dibarengi dengan inokulasi FMA, sedangkan kecenderungan sebaliknya terjadi pada perlakuan dengan inokulasi FMA. Tinggi tanaman yang lebih rendah pada dosis pupuk daun 3 L ha-1 dibandingkan tanpa pupuk daun jika tidak diinokulasi FMA diduga karena dosis pupuk dasarnya yang jumlahnya setengah (50%) dosis dari perlakuan tanpa pemberian pupuk daun, dan ini mengakibatkan pengaruh positif inokulasi FMA menjadi lebih besar dibandingkan dengan pada pemberian pupuk dasar dosis penuh (100%). Tabel. 1 Hasil analisis keragaman dari semua parameter yang diamati No. Variabel pengamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis keragaman terhadap faktor inokulasi Mikoriza (M) dan dosis aplikasi pupuk daun Greenstant (D) serta interaksinya (DxM) untuk semua variabel pengamatan, disajikan pada Tabel 1. Jumlah daun 70 HST tidak dianalisis karena daun sebagian besar sudah rontok. Hasil analisis keragaman (Tabel 1) menunjukkan bahwa interaksi yang nyata antara faktor inokulasi FMA dan dosis pupuk daun Greenstant hanya terjadi terhadap tinggi tanaman pada umur 70 HST (tinggi maksimum). Faktor inokulasi FMA hanya berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 70 HST, jumlah daun 42 HST, jumlah spora FMA dan derajat kolonisasi akar tanaman kedelai oleh FMA, sedangkan faktor dosis pupuk daun Greenstant hanya berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 42 HST, jumlah polong berisi dan derajat kolonisasi akar tanaman kedelai oleh FMA. (Pada 42 HST, tanaman sudah mulai pembentukan polong; pada 56 HST, sudah mulai fase pengisian biji). Dilihat dari tinggi tanaman maksimum, pengaruh interaksi antara faktor perlakuan inokulasi FMA dan dosis pemberian pupuk daun Greenstant adalah seperti grafik pada Gambar 1, yang menunjukkan adanya pengaruh nyata inokulasi FMA pada setiap taraf dosis pemberian pupuk daun Greenstant kecuali pada dosis 0 L ha-1 (tanpa pemberian pupuk daun). Berdasarkan data pada Gambar 1, tampak bahwa pengaruh positif inokulasi FMA terhadap tinggi tanaman maksimum (70 HST) paling besar pada perlakuan dosis aplikasi pupuk daun Greenstant 3 L ha-1. Ini terjadi karena tinggi tanaman 70
1. Tinggi tanaman (cm): 42 HST 56 HST 70 HST 2. Jumlah daun (helai): 42 HST 56 HST 3. Berangkasan (g pot-1) 4. Jumlah polong berisi 5. Jumlah biji (butir pot-1) 6. Berat 100 biji (g) 7. Hasil biji (g pot-1) 8. Jumlah spora FMA per 70 g tanah 9. Derajat kolonisasi (%) akar oleh FMA Keterangan:
Sumber Keragaman M D MxD NS S S
S NS NS
NS NS S
S NS NS NS NS NS NS S
NS NS NS S S NS NS NS
NS NS NS NS NS NS NS NS
S
S
NS
NS = non-singnifikan; S = singnifikan
Variabel komponen pertumbuhan lainnya yang menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata adalah tinggi tanaman 42 HST untuk pengaruh dosis pemberian pupuk daun, dan jumlah daun 42 HST dan tinggi tanaman 56 HST untuk pengaruh inokulasi FMA, tetapi tidak ada interaksi yang nyata antara kedua faktor perlakuan, sedangkan jumlah daun pada umur 56 HST tidak menunjukkan adanya pengaruh kedua faktor perlakuan maupun interaksinya. Seperti halnya jumlah daun 56 HST, berat kering berangkasan juga tidak menunjukkan adanya pengaruh faktor perlakuan maupun interaksinya (Tabel 2).
Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
Tinggi tanaman (cm)
162
130 120 110 100 90 80 70 60 50
M0
D0
D3
M1
D4.5
D6
Dosis aplikasi pupuk daun Greenstant (L/ha)
Gambar 1. Pengaruh interaksi antara perlakuan inokulasi FMA dan dosis aplikasi pupuk daun Greenstant terhadap tinggi tanaman 70 HST (disertai standard error bar, yaitu ±SE) Keterkaitan antara dosis pemupukan dan pengaruh inokulasi FMA pada tanaman banyak dibahas dan diteliti oleh para peneliti mikoriza. Pada umumnya dinyatakan bahwa peningkatan kandungan P tersedia tanah melalui pemberian pupuk anorganik pengandung fosfat mengakibatkan penurunan efek positif dari inokulasi FMA terhadap tanaman, yang biasanya diukur dengan berat kering tanaman (Smith dan Read, 1997; Johnson et al., 1997). Bila asosiasi FMA dengan tanaman bersifat positif, maka berat kering tanaman bermikoriza akan lebih tinggi daripada yang tidak bermikoriza. Namun sering terjadi, terutama pada tanah dengan Tabel 2.
Perlakuan
kandungan P tersedia yang tinggi, berat kering tanaman yang bermikoriza lebih rendah daripada yang tidak bermikoriza, atau tidak ada perbedaan. Dalam kondisi seperti ini dikatakan bahwa asosiasi tersebut cenderung bersifat parasitik (Johnson et al., 1997). Namun, Gambar 1 menampilkan grafik dari data tinggi maksimum tanaman kedelai, bukan berat kering. Akan tetapi, bila dilihat dari berat berangkasan kering per pot, tidak terdapat interaksi yang nyata antar inokulasi dan dosis pupuk daun Greenstant, dan masing-masing faktor perlakuan ini bahkan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata (Tabel 2), tidak seperti yang tampak pada Gambar 1. Demikian pula halnya dengan hasil biji per pot dan berat 100 biji, baik faktor perlakuan inokulasi FMA maupun dosis pemberian pupuk daun organik Greenstant tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Akan tetapi, variabel komponen hasil lainnya, yaitu jumlah polong berisi dan jumlah biji per pot menunjukkan adanya pengaruh dosis pemberian pupuk daun organik Greenstant. Hanya saja, kalau bandingkan antara Tabel 2 dan Tabel 3, tampak bahwa inokulasi FMA lebih memberikan pengaruh nyata terhadap variabel komponen pertumbuhan dibandingkan dengan variabel komponen hasil, yang sama sekali tidak menampakkan adanya pengaruh inokulasi FMA.
Rata-rata tinggi tanaman umur 42 HST (awal pembentukan polong), 56 HST (mulai pengisian biji) dan 70 HST (selesai pengisian biji) serta jumlah daun 42 dan 56 HST, serta berat kering berangkasan untuk setiap taraf perlakuan Rata-rata tinggi tan (cm)
42 HST Inokulasi Mikoriza (FMA): M0 78.6 a M1 81.5 a BNJ 5% ns Dosis pupuk daun: D0 (0 L/ha) 85.1 a D1 (3 L/ha) 72.5 b D2 (4,5 L/ha) 80.9 ab D3 (6 L/ha) 81.5 ab BNJ 5% 9.8
Rata-rata jumlah daun (helai) 42 HST 56 HST
56 HST
70 HST
89.0 b 94.9 a
95.8 b 109.4 a 3.8
80.2 b 96.5 a 8.2
93.7 89.8 92.4 91.9 ns
101.9 102.8 101.7 104.0 ns
85.7 95.5 85.2 87.0 ns
a a a a
a a a a
Keterangan: ns = tidak berbeda nyata menurut ANOVA.
W. Wangiyana dkk: Respon tanaman kedelai …
a a a a
95.0 a 97.4 a ns 97.3 92.9 102.3 92.2 ns
a a a a
Berangkasan kering (g pot-1) 63.8 a 63.4 a ns 63.4 63.0 69.5 58.5 ns
a a a a
163 Tabel 3.
Perlakuan
Rata-rata jumlah polong berisi, jumlah biji, berat 100 biji dan hasil biji per pot untuk setiap taraf perlakuan
Polong berisi Inokulasi Mikoriza (FMA): M0 127.5 a M1 128.5 a BNJ 5% ns Dosis pupuk daun: D0 (0 L/ha) 127.8 ab D1 (3 L/ha) 118.2 b D2 (4,5 L/ha) 141.1 a D3 (6 L/ha) 125.1 ab BNJ 5% 20.3
Rata-rata data komponen hasil per pot Jumlah biji Berat 100 biji (g)
Hasil biji (g)
255.1 a 262.3 a ns
7.20 a 7.45 a ns
17.03 a 17.50 a ns
255.5 236.3 282.2 260.7 43.2
6.79 7.64 7.63 7.23 ns
15.74 17.24 19.65 16.42 ns
ab b a ab
a a a a
a a a a
Keterangan: ns = tidak berbeda nyata menurut ANOVA. Mengingat kemampuan FMA dalam membantu inangnya menyerap air dan unsur hara dari dalam tanah yang tidak terjangkau oleh sistem perakaran, terutama fosfat (Menge, 1983; Sieverding, 1991; Smith dan Read, 1997; Miyasaka dan Habte, 2001), semestinya tanaman yang diinokulasi dengan FMA menunjukkan laju pertumbuhan dan hasil yang lebih tinggi daripada yang tidak diinokulasi. Namun, dari hasil penelitian ini, efek inokulasi terhadap hasil biji maupun berat berangkasan kering tanaman tidak tampak. Diduga bahwa tidak terdapatnya pengaruh nyata inokulasi FMA terhadap hasil maupun berat kering tanaman kedelai adalah karena kenyataan bahwa pada perlakuan yang tidak diinokulasi FMA, kolonisasi FMA juga cukup tinggi, walaupun berbeda nyata secara statistik dengan perlakuan yang diinokulasi FMA (Tabel 4). Yang berarti bahwa propagul (spora atau potongan akar terkolonisasi dari tanaman sebelumnya di lapangan) dari FMA pribumi (indigenous) masih hidup dan mampu menginfeksi akar kedelai pada percobaan ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sterilisasi tanah dengan teknik solarisasi, yaitu melalui penjemuran tanah yang ditutup dengan plastik dan dibolak-balik selama beberapa hari, yang biasanya efektif untuk membunuh jamur tanah seperti Trichoderma spp. dan Fusarium spp., dalam hal ini tidak 100% membunuh propagul FMA, padahal penjemuran tersebut dilakukan di rumah kaca, selama 12 hari. Dari hasil analisis regresi antara derajat (%) kolonisasi (sebagai variabel X) dan hasil biji per pot (sebagai variabel Y), tampak adanya koefisien regresi yang negatif, dengan persamaan
regresi Y = 23,0 – 0,079 X, walaupun tidak signifikan (R2 = 0,075, p=0,20). Namun demikian, bila analisis regresi ini dilakukan pada pot-pot dengan perlakuan tanpa inokulasi FMA (perlakuan M0), maka diperoleh koefisien regresi negatif yang sangat signifikan, dengan persamaan regresi Y = 40,5 – 0,352 X (R2 = 0,587, p=0,004), sedangkan pada pot-pot yang diinokulasi dengan FMA, juga terdapat koefisien regresi negatif tetapi tidak signifikan, dengan persamaan regresi Y = 21,0 – 0,070 X (R2 = 0,044, p=0,515). Tabel 4. Rata-rata jumlah spora dan derajat kolonisasi (%) akar oleh FMA per 70 g sampel rizosfir (soil core) tanaman kedelai untuk setiap taraf perlakuan Rata-rata Rata-rata jumlah spora %-kolonisasi Perlakuan akar oleh per 70 g tanah rizosfir FMA Inokulasi Mikoriza (FMA): M0 79.1 b 66.5 b M1 229.8 a 78.4 a BNJ 5% 42.2 5.3 Dosis pupuk daun: D0 (0 L/ha) 170.5 a 76.2 ab D1 (3 L/ha) 133.5 a 66.7 b D2 (4,5 L/ha) 166.2 a 69.7 ab D3 (6 L/ha) 147.7 a 77.3 a BNJ 5% ns 10.1 Keterangan: ns = tidak berbeda nyata menurut ANOVA.
Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
164
W. Wangiyana dkk: Respon tanaman kedelai …
100
22
90
20
80
18
70
16
60
14
50 40
Kol_M0 Biji_M0
Kol_M1 Biji_M1
12
Hasil biji (g/pot)
nutrisinya terutama N dari daun ke biji sehingga mempercepat proses penuaan daun. Namun demikian, dari hasil analisis regresi/korelasi antara jumlah daun pada fase pembentukan polong dan pengisian biji (42 dan 56 HST), ternyata tidak terdapat korelasi yang nyata antara jumlah daun dan hasil biji, baik pada umur 42 maupun 56 HST, tetapi terdapat korelasi yang nyata antara jumlah daun 56 HST dan jumlah polong berisi, sedangkan jumlah polong berisi berkorelasi nyata dengan hasil biji per pot. Persamaan regresinya berturut-turut sbb: Y (polong berisi) = 77,1 + 0,530 X (jumlah daun 56 HST), dengan nilai R2 = 0,222 (p=0,020), dan Y (Hasil biji) = 2,29 + 0,117 X (polong berisi), dengan nilai R2 = 0,364 (p=0,002).
%-kolonisasi
Hasil analisis regresi tersebut menunjukkan bahwa kolonisasi FMA cenderung menurunkan hasil biji kedelai, terutama pada perlakuan tanpa inokulasi FMA, sehingga tampak ada gejala bahwa spesies FMA yang mengkolonisasi akar tanaman kedelai dalam percobaan ini cenderung bersifat parasitik. Dengan memplotkan nilai rata-rata persen kolonisasi bersama-sama dengan rata-rata hasil biji per pot untuk setiap kombinasi perlakuan inokulasi FMA dan dosis pemberian pupuk daun organik Greenstant (Gambar 2) tampak bahwa efek negatif koloniasasi FMA tersebut lebih tampak pada perlakuan tanpa pemberian pupuk daun, di mana ada kecenderungan hasil biji lebih rendah pada perlakuan inokulasi FMA daripada tanpa inokulasi (walaupun tidak signifikan menurut nilai standard error), sedangkan derajat kolonisasi lebih tinggi pada perlakuan inokulasi FMA. Namun, pada perlakuan inokulasi dengan FMA, rata-rata hasil biji lebih tinggi pada semua pot yang diberi pupuk daun organik Greenstant, walaupun hanya signifikan pada dosis pemberian 4,5 L ha-1 menurut nilai standard error. Adanya perbedaan pengaruh inokulasi FMA antara perlakuan tanpa pemberian pupuk daun dan dengan pemberian pupuk daun organik Greenstant diduga karena adanya perbedaan kandungan P tanah akibat perbedaan dosis pupuk TSP yang diberikan. Pada perlakuan dengan pemberian pupuk daun, dosis pupuk TSP hanya 50% dari dosis yang diberikan pada perlakuan tanpa pupuk daun (Dosis TSP tanpa pupuk daun yaitu 100 kg ha-1). Banyak peneliti melaporkan bahwa pemberian pupuk fosfat dengan dosis yang tinggi atau kandungan P tersedia tanah yang tinggi menurunkan infektivitas atau efektivitas FMA dalam meningkatkan produksi berat kering tanaman (Amijee et al., 1989; Koide, 1991; Tawaraya et al., 1998). Johnson (1993), bahkan menyatakan bahwa pemupukan fosfat dapat meningkatkan populasi spesies FMA yang membentuk asosiasi yang kurang mutualistik bagi tanaman. Dengan demikian, dengan mengurangi dosis pupuk (terutama P) dan menggantikannya dengan pemberian lewat daun, akan dapat meningkatkan efektivitas FMA dalam meningkatkan produksi berat kering dan hasil tanaman kedelai. Lebih lanjut, dari Tabel 2 tampak bahwa inokulasi FMA memberikan jumlah daun (trifoliate) tanaman kedelai yang secara signifikan lebih tinggi pada umur 42 maupun 56 HST jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa inokulasi. Seperti dinyatakan oleh Sinclair dan de Wit (1975), tanaman kedelai tergolong bersifat self-destructive karena pada saat pengisian biji, tanaman cenderung memindahkan
10
D0 D3 D4.5 D6 Dosis pupuk daun Greenstant (L/ha)
Gambar 2. Rata-rata %-kolonisasi akar oleh FMA dan hasil biji kedelai per pot untuk tiap kombinasi perlakuan inokulasi FMA dan dosis pupuk daun organik Greenstant dengan standard error bar masing-masing (±SE) Dengan demikian, dari hasil analisis regresi ini tampak ada kecenderungan bahwa efek inokulasi FMA terhadap hasil tanaman kedelai lebih bersifat tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap pembentukan jumlah daun, yang mungkin juga berat kering tanaman, pada fase pembentukan polong dan pengisian biji, hanya saja dalam percobaan ini tidak diukur. Oleh karena itu, untuk penelitian-penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan pengukuran secara destruktif. Demikian pula halnya dengan uji inokulasi, perlu dilakukan proses sterilisasi sehingga tidak terdapat propagul infektif FMA pribumi (indigenous) pada perlakuan yang tidak diinokulasi. Perlu juga dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut untuk mencari isolat-isolat atau spesies-spesies FMA yang benar-benar berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman kedelai.
165 KESIMPULAN Terbatas pada hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Pengaruh inokulasi FMA tidak signifikan terhadap hasil biji kedelai tetapi signifikan terhadap jumlah daun 42 HST (hari setelah tanam) serta tinggi tanaman 56 dan 70 HST (tinggi maksimum), sedangkan jumlah daun, terutama umur 56 HST (pengisian biji) berkorelasi positif nyata dengan jumlah polong berisi, dan jumlah polong berisi berkorelasi positif nyata dengan hasil biji. 2. Dosis pupuk daun Greenstant hanya berpengaruh terhadap tinggi tanaman 42 HST, derajat kolonisasi FMA, serta jumlah polong berisi dan biji per pot. Namun, jumlah polong berisi berkorelasi positif nyata dengan hasil biji. 3. Kedua faktor perlakuan hanya berinteraksi terhadap tinggi tanaman maksimum. Namun demikian, ada kecenderungan perbedaan respon hasil biji terhadap dosis pupuk daun antara tanpa FMA dan dengan inokulasi FMA. 4. Ada kecenderungan meningkatnya efektivitas FMA dalam meningkatkan hasil biji kedelai akibat pemberian pupuk daun organik Greenstant, selain penghematan pupuk dasar karena dosisnya hanya 50% dari dosis pupuk dasar pada perlakuan tanpa pupuk daun. Berdasarkan hasil dan ke-simpulan, maka perlu penelitian-penelitian lebih lanjut untuk mencari isolat-isolat FMA yang efektif meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedelai, dan dalam uji inokulasi, perlu aplikasi teknik sterilisasi yang benar-benar mampu menonaktifkan atau membunuh propagul infektif FMA pribumi, sehingga efek inokulasi bisa maksimal. DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T., R. Suhendi, M. Anwari, Sinaga and M. Ma’shum, 1992. Kajian residu pupuk nitrogen untuk padi gora terhadap hasil kedelai yang ditanam setelah padi gora”. In: Suyamto H., Achmad Winarto, Sugiono and Sunardi (Eds), Risalah Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani di Nusa Tenggara Barat (Proceedings of a seminar on farming systems, held in Mataram, 22-26 October, 1991). Malang, Indonesia: Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Amijee, F., P.B. Tinker and D.P. Stribley, 1989. The development of endomycorrhizal root
systems: VII. a detailed study of effects of soil phosphorus on colonization. New Phytol., 111:435-446. Anderson, J.M. and J.S.I. Ingram, 1993. Tropical Soil Biology and Fertility: A Handbook of Methods. 2nd edition. CAB International, Wallingford, UK. 221 pp. Arsyad dan Syam, 1998. Kedelai: Sumber Pertumbuhan Produksi dan Teknik Budidaya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 30 h. BPTP NTB, 2006. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan & umbi-umbian. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Mataram. 56 h. Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove and N. Malajczuk, 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Aciar Monograph 32. 374 + x p. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2004. Program Bangkit Kedelai Tahun 2004. Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Jakarta. 27 h. Ditjen Tanaman Pangan, 1984. Palawija. Gema Penyuluhan Pertanian, Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta. Giovannetti, M. and B. Mosse, 1980. An evaluation of techniques for measuring vesicular arbuscular mycorrhiza infection in roots. New Phytologist, 84:489-500. Ibijbijen, J., S. Urquaiaga, M. Ismaili, B.J.R. Alves and R.M. Boddey, 1996. Effect of arbuscular mycorrhizal fungi on growth, mineral nutrition and nitrogen fixation of three varieties of common beans (Phaseolus vulgaris). New Phytologist, 134: 353-360. Johnson, N.C., 1993. Can fertilization of soil select less mutualistic mycorrhizae? Ecological Applications, 3:749-757. Johnson, N.C., J.H. Graham and F.A. Smith, 1997. Functioning of mycorrhizal associations along the mutualism-parasitism continuum. New Phytologist, 135:575-585. Kawai, Y. and Y. Yamamoto, 1986. Increase in the formation and nitrogen fixation of soybean nodules by vesicular-arbuscular mycorrhiza. Plant and Cell Physiology 27: 399-405. Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
166 Koide, R.T., 1991. Nutrient supply, nutrient demand and plant response to mycorrhizal infection. New Phytol., 117:365-386. Kompas, 17-08-2004. Awet Muda Dengan Sari Kedelai! http://www2.kompas.com/ kesehatan/news/0408/17/122149.htm. (Diakses 22 Desember 2006). Menge, J.A., 1983. Utilization of vesiculararbuscular mycorrhizal fungi in agriculture. Canadian Journal of Botany, 61:1015-1024. Mengel, K., 1985. Dynamics and availability of major nutrients in soils. Advances in Soil Science, 2:65-131. Miyasaka, S.C. and M. Habte, 2001. Plant mechanisms and mycorrhizal symbioses to increase phosphorus uptake efficiency. Commun. Soil Sci. Plant Anal., 32: 11011147. Myers, R.J.K and I.M. Wood, 1987. Food Legumes in the Nitrogen Cycle of Farming Systems. P. 46-52. In: Wallis, E.S. and Byth, D.E (Eds). Food legume improvements for Asian farming systems: proceedings of an international workshop held at Khon Kaen, Thailand, 1-5 September 1986. ACIARS Proceedings No. 18. Parman, Astiko, W., Wangiyana, W., and Sastrahidayat, I.R., 1997. Studies on compatibility of various inoculum formulations of vesikular-arbuscular mycorrhiza with several post-’’Gora’’ crops on Southern Lombok vertisols. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Palembang, 27-29 Oktober 1997. Peoples, M.B. and D.F. Herridge, 1990. Nitrogen fixation by legumes in tropical and subtropical agriculture. Advances in Agronomy, 44: 155-223. Riley, J., 2001. Presentation of statistical analyses. Experimental Agriculture 37: 115123. Rukmana, R. dan Y. Yuniarsinih, 1996. Budidaya Kedelai dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta. 92h. Sieverding, E., 1991. Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystems. Eschborn, Federal Republic of Germany: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. 371pp.
W. Wangiyana dkk: Respon tanaman kedelai …
Simatupang, P., Marwoto dan Dewa K.S. Swastika, 2005. Pengembangan kedelai dan kebijakan penelitian di Indonesia. Makalah disampaikan pada: Lokakakarya Pengembangan Kedelai di Lahan sub Optimal di BALITKABI Malang, 26 Juli 2005. Sinclair, T.R. and C.T. de Wit, 1975. Photosynthate and nitrogen requirements for seed production by various crops. Science, 189: 565-567. Smith, S.E. and D.J. Read, 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Second Edition. London, UK: Academic Press. 605 pp. Suyono, 2003. Swasembada kedelai itu mudah. Harian Kompas, 23-12-2003. www.kompas.com (Diakses 22 Desember 2006). Tawaraya, K., K. Hashimoto, and T. Wagatsuma, 1998. Effect of root exudate fractions from P-deficient and P-sufficient onion plants on root colonization by the arbuscular mycorrhizal fungus Gigaspora margarita. Mycorrhiza, 8: 67-70. Thompson, J.P., 1991. Improving the mycorrhizal conditions of the soil through cultural practices and effects on growth and phosphorus uptake by plants. p.117-137. In: C. Johansen, K.K. Lee and K.L. Sahrawat (Eds), Phosphorus Nutrition of Grain Legumes in the Semi-Arid Tropics. ICRISAT: Patancheru, India. Vejsadová, H., D. Siblikova, H. Hršelová and V. Vančura, 1992. Effect of the VAM fungus Glomus sp. on the growth and yield of soybean inoculated with Bradyrhizobium japonicum. Plant and Soil 140: 121-125. Wangiyana, W., I.G.M. Kusnarta dan I.G.P. Muliarta Aryana, 1997. Peningkatan hasil dua varietas kedelai (Glycine max (L.) Merr.) melalui pemberian beberapa pupuk daun pada periode reproduktif. Agroteksos, 6(4): 219-226. Wood, I.M. and R.J.K Myers, 1987. Food Legumes in Farming Systems in the tropics and Subtropics. P. 34-45. In: Wallis, E.S. and Byth, D.E (Eds), Food legume improvements for Asian farming systems: proceedings of an international workshop held at Khon Kaen, Thailand, 1-5 September 1986. ACIARS Proceedings No. 18.