Volume 4, Nomor 1, Juli 2012 ISSN 1979‐4703
1 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
2
At-Taqaddum Speak
with
Data
Jurnal Peningkatan Mutu Keilmuan dan Kependidikan Islam Terbit Berdasarkan : SK Rektor IAIN Walisongo Semarang Nomor:In.06.0/B/KP.02.3/2102/2001 Tanggal 20 Oktober 2008
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
ISSN 1979‐4703
At-Taqaddum
Speak with Data Jurnal Peningkatan Mutu Keilmuan dan Kependidikan Islam Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Susunan Redaksi : Pelindung Prof. Dr. H. Muhibbin, M.A. Penanggung Jawab Drs. Agus Nurhadi, MA Ketua Penyunting Komarudin, M.Ag. Sekretaris Penyunting Briliyan Erna Wati, S.H., M.Hum. Dewan Penyunting Dr. Ruswan, MA. Dr. Arja' Imroni, M.Ag. Dr. Sulaiman al‐Kumayi, M.Ag. Moh. Masrur, M.Ag. Nadia Makmun, M.Pd. Penyunting Ahli Prof. Dr. Ibnu Hadjar, MA. Prof. Dr. Erfan Soebahar, MA. Prof. Dr. H. Muslich Shobir, MA. Prof. Dr. Abdullah Hadziq, MA. Dr. Muhyar Fanani, M.Ag. Tata Usaha Astri Amanati budiningtyas, S.Sos. Sirkulasi L. Achmad Farid, A.Md. Alamat Redaksi dan Tata Usaha Pusat Penjaminan Mutu Akademik (PPMA) IAIN Walisongo Gedung Rektorat IAIN Walisongo Lt. 3 Jl. Walisongo No. 3‐5 Jrakah, Tugu, Semarang, Indonesia Telepon : (024) 7624334/7601293 psw 118 Email :
[email protected]
Jurnal at-Taqaddum dalam edisi empat ini menampilkan delapan artikel dan sebuah book review. Tema-tema yang diangkat dalam edisi kali ini seputar kajian keislaman, dakwah, dan budaya. Tema kajian keislaman yang dimuat dalam edisi ini dimulai dengan kajian tentang al-Qur’an dan Realitas Sejarah Umat Manusia yang ditulis oleh Prof. Dr. Ghazali Munir, M.Ag., Kyai Shaleh Darat, Tafsir Fa’id ar-Rahman, dan RA. Kartini yang ditulis oleh Masrur M.Ag., lalu tulisan Rupi’i berjudul Dinamika Penentuan Awal bulan Kamariah Menurut Muhammadiyah Studi atas Kriteria Wujud al-Hilal dan Konsep Matla’, yang dijadikan sebagai artikel penutup dalam tulisan edisi ini. Dalam tulisan Prof. Dr. Ghazali Munir, M.Ag. disebutkan bahwa al-Qur’an sebagai firman Allah bersifat fungsional, melaksanakan firman-Nya akan memberikan dasar moral yang kuat dan akurat bagi manusia sebagai bekal hidup di dunia untuk menuju kenikmatan ukhrawi yang abadi. Masrur M.Ag, dalam tulisannya, menyebutkan bahwa pemahaman keislaman Kartini jelas sekali karena tergugah dan terinspirasi oleh ajaran Islam yang diperkenalkan oleh Kyai Soleh Darat kepadanya. Kalau saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (al-Quran) maka tidak mustahil ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua hal yang dituntut Islam terhadap muslimahnya. Sementara dalam tulisan Rupi’i disebutkan bahwa terdapat dinamika progressif di kalangan Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan kamariah. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran Muhammadiyah kepada hisab hakiki (kriteria wujud al-hilal) adalah faktor ketokohan seseorang pada saat itu (K.H. Muhammad Wardan dan Sa’adoeddin Djambek), faktor sosial astronomis, dan faktor pemahaman dalil-dalil tentang hisab dan rukyah dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Alasanalasan lain yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam menggunakan hisab sebagai penentuan awal bulan adalah karena hisab lebih memberi kepastian dan dapat menghitung tanggal jauh hari ke depan dan mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan.
PENGANTAR REDAKSI
3 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
4
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Selanjutnya tema-tema seputar dakwah Islam, meliputi kajian tentang Dakwah dan Epistemologi dalam Khazanah Filsafat Islam yang ditulis oleh Agus Riyadi M.S.I, Kaderisasi Ulama Perempuan di Jawa Tengah yang ditulis oleh Hatta Abdul Malik, M.S.I., Bimbingan Psiko-Religious Bagi Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah di Jawa Tengah Formulasi Ideal Layanan Bimbingan dan Konseling Islam yang ditulis oleh Komarudin, M.Ag. Sedangkan tema-tema terkait budaya terdiri dari kajian tentang Santri dan Abangan dalam Kehidupan Keagamaan Orang Jawa yang ditulis oleh Adib Fathoni, S.Ag., M.Si. dan kajian tentang Ziarah Kubur dalam Perspektif Budaya dan Agama yang ditulis oleh prof. Dr. Hj. Ismawati, M.Ag. Dalam tulisan Agus Riyadi, M.S.I disebutkan bahwa pemahaman dakwah tanpa dasar filosofis-epistemologis akan menyebabkan pemahaman dakwah (Islam) menjadi dangkal dan bahkan menyebabkan penganutnya terjebak ke dalam formalisme dan fanatisme sempit, sebaliknya, pemahaman dakwah yang dilandasi filosofis-epistemologis akan mengantarkan dakwah pada pemahaman yang bersifat esensial dan mendalam, sehingga terhindar dari konflik yang diakibatkan oleh banyak isme atau aliran yang berkembang. Hatta Abdul Malik, M.S.I. dalam tulisannya menyatakan meskipun secara kurikulum pesantren memberikan pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan, namun dalam praktiknya masih ditemukan bias gender. Ketidakmampuan santriwati menyelesaikan permasalahan, masih meminta bantuan santri laki-laki. Kekurangan dari kurikulum pesantren adalah tidak adanya pendidikan khusus bagi perempuan untuk berani tampil dan menjadi motor di depan masyarakat. Sementara Komarudin, M.Ag., dalam tulisannya menyebutkan Formulasi layanan bimbingan dan konseling Islam yang ideal bagi pasien seharusnya dikategorikan menjadi tiga model, yakni model layanan bimbingan, model layanan konseling, dan model gabungan keduanya. Selain itu, masing-masing layanan tersebut harus disertai dengan proses pencatatan secara baik dan benar serta pendokumentasian semua catatan hasil layanan secara tertib administrasi, agar bisa dijadikan sebagai bahan acuan pemenuhan standar profesi dan ilmiah.
Adapun Adib Fathoni, M.Si. mengatakan bahwa dalam sejarahnya, peta peradaban di Jawa tidak lebih dari proses gesermenggeser, pengaruh dan mempengaruhi, antara kebudayaan pesisir dengan kebudayaan pedalaman. Hal ini terjadi lebih mencolok dan diasosiasikan sebagai tarik menarik antara Islam dengan tradisi agraris yang mengakar pada unsur-unsur pribumi dan pra-Islam. Sedangkan Prof. Dr. Hj. Ismawati, M.Ag., dalam tulisannya menjelaskan bahwa peralihan kebudayaan Islam yang semula berpusat di daerah perkotaan pesisir utara jatuh ke tangan Sultan Agung penguasa daerah pedalaman. Orang Jawa pesisir yang awalnya meneguhkan ajaran Islam yang berkarakter ortodoks karena jaringan perdagangan internasional kini mengikuti karakter keislaman masyarakat pedalaman yang agraris dan statis dengan pengaruh pra Islam. Salah satu hasil akulturasi budaya antara Islam dan tradisi setempat adalah lahirnya tradisi ziarah kubur. Praktek ziarah kubur banyak mengitegrasikan antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya, sehingga tidak jarang melahirkan perdebatan di kalangan penganut agama Islam sendiri. Demikian keseluruhan artikel dalam edisi ini, semoga pembaca dapat mengikuti alur pemikiran yang ada dan menarik makna secara bijaksana. Selamat membaca!.
5 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
6
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
AL-QUR’AN DAN REALITAS SEJARAH UMAT MANUSIA
DAFTAR ISI Halaman Sampul – Susunan Redaksi – Pengantar Redaksi – Daftar Isi –
Oleh : Ghazali Munir*
ABSTRACT Al-Qur’an dan Realitas Sejarah Umat Manusia Ghazali Munir…. Kyai Shaleh Darat, Tafsir Fa’id ar-Rahman, dan RA. Kartini Masrur ……. Dakwah dan Epistemologi dalam Khazanah Filsafat Islam Agus Riyadi….. Kaderisasi Ulama Perempuan di Jawa Tengah Hatta Abdul Malik…… Bimbingan Psiko-Religious Bagi Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah di Jawa Tengah (Formulasi Ideal Layanan Bimbingan dan Konseling Islam) Komarudin……. Santri dan Abangan dalam Kehidupan Keagamaan Orang Jawa Adib Fathoni……
Al-Qur’an is the word of Allah (God) which guaranteed the truth all time. His word righteous, including historical events mentioned in it, when the verses of Al Qur’an understood in comprehensive, not partial. Al-Qur'an, the holy book contains complete teaching for human life, is as hudan (guidance), as alFurqan (the difference between right and false, between right and wrong, between the benefits and madlarat), as az-zikr (a reminder that humans do not get lost in the sleaze and crime), and so forth. So the word of God is a functional, carry out his word as a form of servitude to the Creator of human beings, providing a strong moral foundation and accurate for humans as the human stock/supplies in the world to get to the enjoyment/happiness of the eternal hereafter. Title: al-Qur’an, history, people, ethics, faith, Islam, taqwa. A. Pendahuluan Al-Qur’an merupakan kitab suci sepenuhnya berpihak kepada kejadian sejarah yang faktual.1 Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw ini, kemurniannya selalu dijaga oleh Allah swt. (al-Hijr : 9). Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang al-Qur’an dapat menghadapi tantangan zaman dan dapat mempertahankan dirinya sebagai kitab suci yang tetap tahan uji keaslian dan kemurniannya sebagai kalam ilahi.
Ziarah Kubur dalam Perspektif Budaya dan Agama Ismawati…… Dinamika Penentuan Awal bulan Kamariah Menurut Muhammadiyah Studi atas Kriteria Wujud al-Hilal dan Konsep Matla’ Rupi’i……. Book Review Buku Manajemen Masjid, Mengoptimalkan Fungsi Sosial Ekonomi Masjid…… Tentang Penulis….
7 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
*
Penulis adalah Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A. Guru Besar IAIN Walisongo Semarang. 1 Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Ukhuwah Islamiah dan Etika Al-Qur’an”, dalam Satu Islam, Sebuah Dilema, Haidar Baqir (ed.). Bandung: Penerbit Mizan, 1986, hlm. 46.
8
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Al-Qur’an sebagai problem solver (pemecah masalah) sudah sama dipercaya. Tetapi siapa diantara kita yang benarbenar mengkaji kitab suci ini.2 Karena manusia itu mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda yang memungkinkan terjadinya, perbedaan dalam menangkap isi, makna dan maksud al-Qur’an yang sebenarnya. Kalau terjadi seperti itu timbul pertanyaan mana yang benar? A. Syafi’i Ma’arif menyatakan sbb. : Dalam menghadapi kecenderungan-kecenderungan yang saling berbenturan inilah al-Qur’an sebagai al-Furqan punya posisi yang sangat menentukan dalam mengarahkan pilihan kita. Langkah ini hanya mungkin berhasil bila alQur’an tidak diambil sepotong-sepotong atau secara parsial, tetapi dipahami secara utuh sebagai satu kesatuan ajaran. Cara inilah menurut hemat saya yang memungkinkan kita (dapat) menangkap ajarannya secara akurat, benar dan jujur. Pemahaman sepotong-sepotong adalah tidak adil terhadap kitab suci terakhir ini, sebab benang merah (kebenaran) ajarannya tidak kelihatan dengan gamblang. Inilah bahaya pendekatan yang tidak utuh itu. Dan inilah yang sering terjadi dalam sejarah Islam.3 Mengapa eksistensi Al-Qur’an di tengah-tengah orang mengakui dan mempercayainya sebagai wahyu Allah, ternyata sebagian pesan-pesannya tidak mereka amalkan dan mereka abaikan. Boleh jadi, yang menjadi salah satu penyebab terjadinya adalah peristiwa-peristiwa tragis dan sadis dalam sejarah Islam. Padahal jelas ada pesan dari langit bahwa : “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah saudaramu dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat dari Allah (QS. al-Hujurat: 10).
B. Al-Qur’an, Sejarah dan Manusia 1. Kedudukan dan Tujuan Al-Qur’an The Qur’an actually three names in traditional Islamic source which cast light upon its nature and constitution. The sacred book of Islam is first al-Qur’an, then al-Qur’an and finally Umm al Kitab. The book is first of all al-Qur’an, namely a recitation from which into common name. Is derived. It is also al-Furqan, that is discernment, a discrimination and finally it is Umm al-Kitab, the mother of all books. ....the Qur’an is an assemblage of “ideas” and “Thoughts” leading towards a concentration in that it is instrument by which man can come to discriminate between truth and falsehood, to discern between the real an unreal, the absolute and relative, the good and the evil, the beautiful and the ugly. Finally as the ‘mother of books’ the Qur’an is prototype of all books, that is of all knowledge.4 Al-Qur’an yang keberadaannya tidak meragukan ini adalah menjadi petunjuk hidup bagi orang yang bertaqwa (alBaqarah: 2). Al-Qur’an sebagai al-Furqan (pembeda) mempunyai fungsi sebagai kitab suci yang berisi ajaran dan pedoman yang dapat dipakai untuk membedakan antara yang benar dan salah, yang baik dan yang buruk (al-Furqan: 1). AlQur’an sebagai adz-dzikr (al-Hijr: 9), artinya : Allah melalui al-Qur’an memberikan peringatan kepada manusia supaya selalu taat kepada-Nya agar dapat hidup bahagia, dan jangan bermaksiat agar tidak tersesat. Al-Qur’an menjadi pedoman terpenting bagi umat manusia sepanjang masa. Al-Qur’an sendiri telah menyatakan dirinya sebagai petunjuk (dari Allah) bagi manusia (alBaqarah: 185). A. Syafi’i Ma’arif menjelaskan hal sebagai berikut: “Perhatian utama Al-Qur’an adalah memberikan petunjuk yang benar kepada manusia, yaitu petunjuk yang akan membawanya kepada kebenaran dan suasana kehidupan
2
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Dinamika Islam, Potret Perkembangan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1983, hlm. 36. 3 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ukhuwah Islamiah dan Etika Al-Qur’an, hlm. 47.
9 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
4
Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, London: Unwin Paperbacks, 1979, hlm. 49-50.
10 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
yang baik”.5 Oleh karena itu, al-Qur’an selalu mengajak dan menjuruskan manusia kepada hal-hal yang praktis yang dihadapinya sehari-hari yang dikaitkan dengan kehidupan masa depannya. Al-Qur’an lebih menekankan pada praktek amal perbuatan dari pada gagasan dan teori. Maka iman dinilai baru diakui bermakna jika diikuti oleh amal yang positif dan konstruksi. Menurut al-Qur’an, eksistensi Tuhan memang benarbenar bersifat fungsional – Dialah yang memberikan petunjuk kepada manusia (melalui al-Qur’an) dan yang akan mengadili manusia.6 Sebagai petunjuk manusia, al-Qur’an memberikan dasar moral yang kokoh dan tidak berubah untuk kepentingan manusia. Al-Qur’an memberikan jawaban komprehensif terhadap pertanyaan: “Bagaimana saya seharusnya bertingkah laku agar dapat mencapai kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan kelak nanti di akhirat”.7 Al-Qur’an sendiri mengajarkan bahwa kehidupan yang baik di sini (dunia) dan kini merupakan prasyarat bagi kebahagiaan hidup yang akan datang (di alam akhirat nanti).8 Cita-cita moral ini haruslah dijadikan pangkal tolak bagi setiap kegiatan Islami. Dan semuanya ini hanyalah mungkin menjadi kenyataan bila orang mau berangkat dari etika al-Qur’an, bukan etika golongan, suku, bangsa dan warisan leluhur. Prinsip-prinsip (etika al-Qur’an) akan tetap mengawang-ngawang, bila manusianya berkualitas rendah, dalam arti tidak punya kejujuran, bersifat materialistik dan bervisi dangkal. Cita-cita al-Qur’an hanyalah mungkin membumi bila didukung oleh manusia bermutu, berorientasi jauh melampaui batas-batas bumi
dan punya rasa tanggung jawab yang besar terhadap Tuhan dan Sejarah.9 Keberhasilan pembumian al-Qur’an, akan membuat manusia, hidup sesuai dengan prinsip etika yang dikehendaki oleh Allah. 2. Makna Sejarah Ahmad Syafi’i Ma’arif mendefinisikan sejarah sebagai rekonstruksi masa lampau yang meaningful, penuh makna. Sejarah sebagai pengalaman kolektif manusia, harus selalu membuka pintu untuk dikaji ulang, apa yang dikatakan, apa yang diperbuat, dan apa yang dipikirkan.10 Sejarah adalah penelaahan dengan sistematis seperangkat gejala alam yang pernah terjadi (mengenai aktivitas manusia dalam ruang dan waktu) yang merupakan fakta… masa lampau manusia (dalam aktivitas hidupnya).11 Menurut Ibnu Khaldun, sejarah adalah catatan tentang: masyarakat umat manusia atau peradaban dunia, tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat… pada umumnya segala yang terjadi dalam masyarakat karena watak masyarakat itu sendiri (sebagai pelaku dan penggerak sejarah).12 Ilmu sejarah pada pokoknya menyelidiki masa lampau dengan segala sebab dan akibat yang saling kait mengkait dan saling mempengaruhi. Sejarah sebenarnya berpihak pada masa sekarang dan menancapkan pandangannya ke masa depan. Waktu dalam ilmu sejarah berjalan terus. Hari kemarin menjadi hari sekarang dan hari sekarang akan menjadi besok. Ilmu sejarah dalam arti luas berpandangan tri dimensional. Hari kemarin yang lalu harus dikaitkan
5
9
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 10. 6 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Penerbit Pustaka, 1983, hlm. 1. 7 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam Kenapa Tidak, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1984, hlm. 29. 8 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 11.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ukhuwah Islamiah dan Etika Al-Qur’an, hlm. 43. Ahmad Syafi’i Ma’arif, Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam, Fak. Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 6-9-1988. 11 Louis Gattschok, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Noto Susanto, Jakarta: Universitas Indonesia, 1980, hlm. 27. 12 Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terj. A. Mukti Ali. Jakarta: Tinta Mas, 1962, hlm. 36.
11 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
12 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
10
dengan hari sekarang yang sedang kita alami dan juga dikaitkan dengan (segala apa yang terjadi pada) hari yang akan datang (di masa depan).13 Sejarah mempunyai “wilayah kajian” tentang manusia, yang melakukan aktivitasnya dalam ruang da waktu, yang melingkupinya dengan segala konsekuensinya yang saling berkaitan satu sama lainnya dan saling pengaruh mempengaruhi. Hal ini dapat menjadi landasan berpijak dalam kehidupan kita sekarang. Dengan mengerti sejarah, kita dapat membuat analisis tentang kemungkinan apa yang akan terjadi di masa depan. Oleh karena itu, sejarah dapat menjadi Laboratorium Ilmu Sosial (LIS). Ilmu Khaldun membagi posisi sejarah ada dua bagian, yaitu sisi luar memuat rekaman perputaran masa dan kekuasaan pada masa lalu. Bagian dalamnya jika dianalisis secara mendalam, maka sejarah adalah suatu penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebenaran dengan penjelasan yang akurat tentang sebab-sebab dan asal-usul. Segala sesuatu tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu sampai terjadi (apa yang melatarbelakanginya).14 Sesungguhnya pada kejadian (sejarah) itu terdapat ibarat (contoh yang dapat menjadi pelajaran yang baik) bagi orang yang mempunyai pengamatan yang tajam dan akal yang kritis (an-Nur: 44). ‘Ibrah sejarah sangat penting untuk memahami : sejarah. Karena hal ini berhubungan dengan usaha untuk mengadakan penelitian ilmiah dan analisis filosofis mengenai kejadian sejarah, yang dapat dijadikan pedoman untuk bertindak, pada saat ini dan dalam membuat perencanaan untuk mengadakan tindakan pada masa yang akan datang. 15 Untuk itu ilmu Sejarah bisa menjadi sumber informasi yang dapat dimanfaatkan oleh ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi, Islamologi dan lain-lainnya.
“The past resembles the future as water, and hence sociology the study of present, cast, light on history, the study of the of the past, just as history supplies the material for sociology”.16 Sejarah mempunyai tujuan praktis, yaitu untuk menangkap isyarat-isyarat yang dipantulkan oleh ‘ibar (contoh moral yang dapat menjadi pelajaran) dalam kejadian. Contoh moral ini menjadi pedoman bagi kebijaksanaan politik dalam mengurusi masalah-masalah kenegaraan dan kemasyarakatan.17 Tidaklah mereka melihat (memikirkan) keadaan di muka bumi, bagaimana sejarah orang-orang yang mendustakan utusan Allah itu Riwayat hidup mereka menjadi ‘ibrah (contoh moral, pelajaran) bagi orang-orang yang berakal dan mau berfikir (Yusuf: 109, 111) dalam hal ini, ada 3 faktor, yaitu : manusia atau aktivitas manusia sebagai pelaku dan penggerak sejarah, daerah terjadinya dan waktu di mana aktivitas itu berlangsung.18 Jadi manusia dengan segala aktivitasnya yang menjadi subyek, dan sekaligus sebagai Obyek Wilayah Kajian Sejarah. 3. Manusia Dalam Pandangan Al-Qur’an Manusia adalah sebagai khalifah (vicegerent) di muka bumi (al-Baqarah: 30). The perfect vicegerent is he who has the power of initiative himself, but whose independent action always reflects perfectly the will of his principle.19 Sebagai wakil Tuhan dan pelaku sejarah di muka bumi, manusia harus merefleksikan kehendaknya sesuai dengan prinsip-prinsip etika daripada-Nya. Ia harus berjuang dan menjadikan Allah sebagai penguasa yang akan selalu menyertainya dan yang akan selalu menganugerahinya. Karena hanya manusialah 16
Ruslan Abdul Ghani, Kegunaan Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Sekretaris SPS Dosen-dosen IAIN, 1983, hlm. 1-2. 14 Ibnu Khaldun, al-Mukaddimah, Kairo: Musthofa Muhammmad, t.th., hlm. 4. 15 Lihat Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah refleksi), Bandung: Penerbit Pustaka, 1985, hlm. 110.
Abdul Hameed Siddiqui, A Philosophical Interpretation of History, Lahore: Kazi Publication, t.th., hlm. 110. 17 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah refleksi), hlm. 115. 18 Sutrasno, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pradya Paramita, 1975, hlm. 8. 19 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Text, Translation and Commentary, USA: Amana Corporation, 1983, hlm. 24.
13 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
14 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
13
satu-satunya makhluk yang dapat memikul amanat sebagai khalifah di bumi (baca al-Ahzab: 72). Oleh karena itu, manusia dengan segala perilakunyalah yang menjadi pusat ajaran al-Qur’an. Tugas manusia adalah ikut aktif campur tangan adanya alam ini dengan perintah, harus mentaati hukumhukum Tuhan. Manusia adalah makhluk termulia ciptaan Tuhan (at-Thin: 4-6). Seluruh alam semesta diciptakan Tuhan untuk manusia dan tunduk kepada tujuan-tujuannya. Diantara semua makhluk, hanya manusialah yang dilengkapi dengan moral, kekuatan-kekuatan rasional, karsa bebas dan dibebani tanggung jawab yang besar dan penting untuk menundukkan alam semesta dan memanfaatkannya untuk mengabdi pada tujuan-tujuan yang baik dan mulia. Al-Qur’an memperlakukan kehidupan manusia sebagai suatu keseluruhan yang organik; semua bagian-bagiannya haruslah dibimbing oleh petunjuk dan perintah-perintah etik dan moral bersumber dari wahyu terakhir itu. AlQur’an mengajarkan konsep kesatuan kehidupan yang terpadu dan logis.20 Al-Qur’an mengatakan bahwa kelemahan manusia yang paling dasar dan yang menyebabkan semua dosa-dosa besarnya, adalah “kepicikan” (dha’f) dan “kepicikan” (qathr).21 Al-Qur’an memandang manusia sebagai karya terbesarnya di alam semesta.22 Sebagai pelaku dan penggerak (pencipta) sejarah, yang harus membuat karya-karya yang besar untuk mengolah bumi ini, demi untuk kemakmuran semua bani insani.
C. Dasar-Dasar Pokok Etika Al-Qur’an Dalam Kehidupan Individu dan Sosial 1. Iman Iman (mempercayai Allah dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya), dalam pandangan al-Qur’an baru mempunyai makna jika berkaitan dan bersatu padu secara bulat dan utuh dengan amal perbuatan baik. Iman saja, tidak menjamin adanya petunjuk bila tanpa ada pengalaman iman, dengan taat beribadah kepada Allah (baca al-Jasiyah: 23). Adanya petunjuk mustahil tanpa adanya pengetahuan, dan iman itu bisa bertambah kuat dengan bertambahnya pengetahuan dan amal kebaikan. (ar-Rum: 114). Jadi iman mutlak memerlukan bukti amal perbuatan nyata, yang lahir, bersumber dan memancar dari keimanan yang ada dalam diri seseorang. Fazlur Rahman menjelaskan bahwa iman itu mengandung pengertian adanya rasa aman dan lega dalam diri seseorang. Dalam hal ini iman sama dengan istilah muthmain, (yang digunakan secara ekuivalen dalam QS. an-Nahl: 112). Iman berarti aman dari bahaya yang datang dari luar atau dari sesuatu ancaman (baca QS. an-Nisa’: 83, al-Baqarah: 125 dan al-An’am: 97-99). Maka beriman atau percaya kepada Tuhan, atau memiliki keimanan terhadapNya dan hal-hal yang berhubungan dengan keimanan ini (serta menyerahkan diri kepada-Nya dengan mengikuti hukum-hukum-Nya) akan merasa aman dalam hidupnya.23 Karena mendapat jaminan dari Allah. Al-Qur’an selalu mengkaitkan iman dengan amal shaleh, ketika berbicara tentang iman itu sendiri. Sebaliknya, Al-Qur’an juga menegaskan bahwa amal baik yang sesungguhnya, yang dihargai oleh Allah, harus berdasar dan berakar dari iman. Jadi Iman yang merupakan masalah hati nurani dan pikiran, harus menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan amal. Perbuatan baik adalah sebagai
20
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 11. Fazlur Rahman, op.cit., hlm. 38. 22 Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Manusia Sebagai Karya Terbesar” dalam Pelita, Jakarta: 27 Nopember 1984, hlm. 1.
Lihat Fazlur Rahman, “Some Key Ethical Concepts of the Qur’an” dalam Journal of Religious Ethics, Jilid XI, Nomor 2, 1983, hlm. 170.
15 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
16 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
21
23
eksistensi imani. Sedangkan hakikat iman akan merefleksi dalam perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang mukmin dalam kehidupannya sehari-hari.
3. Taqwa Menurut Fazlur Rahman, dalam al-Qur’an taqwa mempunyai pengertian moral, yaitu berhati-hati terhadap bahaya moral (yang rusak) atau melindungi diri dari hukuman Tuhan (baik di dunia saat ini maupun di akhirat nanti).28 Jika iman (kepercayaan) terutama berkaitan dengan kehidupan batin (walaupun ia harus dibuktikan dan berujung pada perilaku lahiriah). Maka Islam, adalah penyerahan diri kepada hukum-hukum Tuhan, terutama yang berkaitan dengan perilaku lahiriah (walaupun ia harus tumbuh dan berakar dari Iman). Sedangkan taqwa adalah merupakan totalitas dari keimanan dan penyerahan diri (Islam). (QS. al-Baqarah: 177). Taqwa adalah cita-cita yang harus dituju, seperti berlaku adil (at-Taubah: 8). Taqwa dinyatakan sebagai pakaian terbaik yang dapat disandang oleh seseorang (alA’raf: 26) dan sebagai bekal terbaik yang harus dibawa oleh seseorang untuk menghadapi masa depannya (al-Baqarah: 197). Dengan demikian, taqwa akan dapat menjadi jaminan yang terbaik untuk mencegah adanya kecenderungan pada diri manusia – yang berbahaya, merusak dan menuju ke kehancurannya yang total. Fungsi taqwa yang terpenting dan mendasar adalah dapat memberikan kemungkinan kepada seseorang (manusia) untuk meneliti dirinya sendiri dengan tepat (dan jujur) dan dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, hingga mencapai taraf dimana seseorang mampu melakukan penyinaran diri dengan sinar X moral. Sampai tahap ini, seseorang telah melindungi dirinya (terlindung) dari kesalahan dan akibat-akibatnya yang destruktif bagi dirinya.29 Sehingga dengan demikian, seseorang akan dapat selalu mengendalikan diri dalam perilakunya, berkat ketaqwaan yang dapat memberikan refleksi dalam hidupnya.
2. Islam Islam adalah satu-satunya alternatif bagi dunia yang akan datang.24 Islam adalah agama langit (dari Allah) untuk kemakmuran dan kebahagiaan (penduduk) di bumi.25 Islam mempunyai tujuan untuk menciptakan suatu tata kehidupan masyarakat yang sehat, maju (dinamis) dan bermoral.26 Sekalipun sistem nilai Islam berasal dari sesuatu yang transendental, ia sepenuhnya berorientasi kepada hal-hal yang konkrit dalam kehidupan manusia dalam rangka memberikan dasar moral, motivasi dan arah.27 Oleh karena itu, Islam (yang pada hakekatnya merupakan perpaduan dengan agama iman), haruslah menjadi sumber moral bagi tingkah laku individu dalam kehidupan sosial. Keintregalan Islam dan Iman, harus terwujud dalam hubungannya dengan Tuhan, dirinya sendiri dan dengan masyarakat serta alam semesta. Karena penyerahan diri yang terkandung kata Islam, itu mengandung pengertian bersedia (menyerahkan dirinya untuk) mengikuti hukum-hukum Allah, sebagai bukti adanya Iman. Kedua istilah ini (Iman dan Islam) telah digunakan secara ekuivalen oleh al-Qur’an (contoh misalnya dalam QS. al-Bayyinah: 4-8, al-Kahfi: 102108, an-Nisa’: 56-57). Islam merupakan ekspresi nyata dari iman, sebagai pengejawantahan lahiriah secara konkrit dan terorganisasi dengan Iman. Jadi Iman dan Islam harus saling mengisi. Iman yang sejati adalah yang diekspresikan secara Islami dalam tingkah laku. 24
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam Kenapa Tidak, hlm. 14. Ahmad Syafi’i Ma’arif, Dinamika Islam . . . . . , hlm. 33. 26 Fazlur Rahman, “Some Reflections on the Reconstruction of Muslim Society in Pakistan”, dalam Islamic Studies, Jilid 6 Nomor 2, 1967, hlm. 103. 27 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), hlm. 50.
Fazlur Rahman, Some Key Ethical Concepts of the Quran, dalam Journal of Religious Ethics, hlm. 174. 29 Ibid., hlm. 175.
17 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
18 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
25
28
Menurut Rahman, karena tidak ada individu yang hidup tanpa masyarakat, sudah tentu konsep-konsep amal perbuatan manusia, terutama sekali konsep taqwa hanya memiliki arti dalam sebuah konteks sosial.30 Jadi keimanan, keislaman dan ketaqwaan seseorang itu haruslah tercermin dan memiliki refleksi dalam kemuliaan akhlak dalam hidupnya sebagai individu dan dalam bermasyarakat.
cita-cita al-Qur’an. Dan pada zamannya mereka sangat berhasil.31 Al-Qur’an turun untuk menjadi petunjuk moral yang sempurna bagi manusia. Nabi Muhammad telah membuktikan dirinya mampu membina dan mengembangkan sistem sosial politik dan budaya Qur’ani. Usahanya untuk membumikan alQur’an, telah menghasilkan masyarakat Islam yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap sesama saudaranya Muslim dan mempunyai vitalitas dan aktivitas yang menakjubkan. Pada periode awal (perjalanan sejarah hubungan al-Qur’an dengan kehidupan manusia) yang dimaksud ialah periode 50 tahun pertama, yaitu masa Rasulullah dan masa alKhulafa ar-Rasyidin (610-661). Periode ini dapat dijadikan sumber inspirasi bagi pola pembangunan menyeluruh umat Islam. Bila dikaji agak mendalam, periode awal ini termasuk periode yang langka dalam perjalanan sejarah kemanusiaan. Pada masa ini apa yang bernama filsafat mumpungisme dapat disingkirkan karena kokohnya posisi moral dan etik Islam, dalam kehidupan masyarakat luas dan kehidupan mereka yang kebetulan berada di posisi puncak kekuasaan. Oleh sebab itu tata kehidupan umat pada masa ini dilukiskan al-Qur’an sebagai khaira ummah yang bertugas menjaga dan melestarikan kehidupan yang bermoral itu (QS. Ali Imran: 110). Umat periode awal ini juga telah tampil sebagai syuhada berhadapan dengan manusia lain (QS. al-Hajj: 78) karena kualitas moral dan kepemimpinannya begitu cemerlang. Sikapnya dalam membela dan menegakkan keadilan begitu meyakinkan sebagai tonggak utama dari suatu masyarakat egaliter. Pada periode ini semboyan “semua untuk satu dan satu untuk semua” benar-benar mengaktualkan dirinya dalam konteks realitas sejarah. Sedangkan realitas sosio-historis ini punya kaitan organik dengan idealisme ajaran.32
D. AL-QUR’AN DAN BEBERAPA FAKTA SEJARAH UMAT ISLAM 1. Al-Qur’an dan Realitas Sosial pada Masa Rasulullah Menurut al-Qur’an, Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah kepada seluruh umat manusia dengan membawa alQur’an sebagai petunjuk hidup bagi manusia (al-A’raf: 158). Beliau diutus oleh Allah dengan membawa kebenaran dan sebagai pembawa berita gembira kepada mereka yang taat mengikutinya dan memberi peringatan kepada mereka yang mendurhakainya (al-Fathir: 24). Oleh karena itulah, kehadiran Nabi Muhammad saw adalah merupakan Rahmat bagi umat manusia (baca QS. al-Anbiya’: 107). Pada masa Rasulullah Muhammad saw dan beberapa tahun sesudahnya, masyarakat Islam dapat menjadi prototype pola masyarakat yang mengamalkan ajaran al-Qur’an dalam praktek kehidupannya. Al-Qur’an betul-betul menjadi petunjuk dan al-Furqan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dan sangat berpengaruh dalam tingkah laku dan perbuatannya. A. Syafi’i Ma’arif mengatakan: Bahwa mereka ialah pemeluk (Islam) yang mencintai, paham dan mengamalkan ajaran al-Qur’an sebagaimana Muhammad dan generasi awal telah meninggalkan contoh (yang baik dan benar) untuk kita. Contoh yang paling nyata ialah bahwa mereka telah mengubah dunia menurut
30
Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, hlm. 54.
19 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
31
Ahmad Syafi’i Ma’arif, al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), hlm. 2. 32 Ibid., hlm. 53.
20 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
janda beliau.33 Fakta sejarah ini sungguh sangat ironis sekali, dan tragis. Koalisi Mu’awiyah – Amr bin Ash yang membuyarkan kepemimpinan Ali (melalui) dengan meletusnya perang Shiffin pada tahun 657 M.34 Atas kelihaian (kelicikan) Mu’awiyah, akhirnya ia dapat mengalahkan Ali dengan strategi dan diplomasi. Hal ini berkelanjutan dengan munculnya kaum Frustasi Khawarij, dengan tindakan-tindakan fanatis butanya yang diawali dengan membunuh Ali bin Abi Thalib tahun 661 M. Hal ini dapat menguntungkan ambisi Mu’awiyah, karena dapat memperlancar jalan baginya untuk menobatkan dirinya sebagai raja, setelah dengan kelihaiannya pula dapat menjinakkan Hasan bin Ali. Perjalanan sejarah Islam sesudah 50 tahun pertama mulai kehilangan kompas. Gerak sejarah tidak selalu punya kaitan organik dengan idealisme ajaran. Prinsip Syura misalnya telah terkubur bersama kafannya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tonggak utama bagi kehidupan sosiopolitik ummat ini telah dipatahkan oleh kekuatan imperial Islam menurut pola imperium-imperium Romawi dan Persi Kuno dengan segala dampak destruktifnya. …….. Pada masa bercokolnya dinasti-dinasti ini, kekuasaan politik pada umumnya tidak lagi menjadi alat Islam dalam menciptakan suatu egalitarian society, di mana persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan menjadi cirinya yang utama, tetapi Islam telah dimanfaatkan sebagai alat justifikasi untuk mengokohkan rezim dinastik yang sedang berkuasa.35 Bani Umayyah yang berkuasa hampir satu abad, pada 749 M dipukul habis oleh Bani Abbas. Sisa-sisa kekuatan Umayyah yang tidak lari ke Spanyol dihancurkan. Pengikut
Ketenteraman, kedamaian, kerukunan, kesatuan (ukhuwah Islamiah) dan keamanan yang ada dalam masyarakat Islam pada masa awal, sebagaimana yang digambarkan oleh A. Syafi’i Ma’arif tersebut adalah karena kaum yang beriman kepada al-Qur’an, betul-betul mencintai, memahami dan mengamalkan ajaran al-Qur’an dengan konsekuen dan konsisten. Sehingga mereka betul-betul commitment dalam menjadikan al-Qur’an sebagai “Hudallinnasi dan al-Furqan” sekaligus sebagai sumber moral dalam hidupnya. Kebijaksanaan pembangunan yang meliputi semua wilayah dan berbagai aspek kehidupan, dibicarakan dan diputuskan melalui Syura (musyawarah) sebagai realisasi dari pesan dan amanat al-Qur’an (Ali Imran: 159 dan asy-Syura: 38) dan berdasarkan petunjuk-petunjuk praktis yang diberikan oleh Nabi melalui instruksi-instruksinya dan memberikan contoh nyata dalam kehidupannya. Syura mengajarkan dan mengakui adanya prinsip persamaan posisi manusia di depan Tuhan dan hukum yang harus ditaati oleh semua manusia tanpa ada kecualinya. 2. Al-Qur’an dan Realitas Sosial Sesudah Rasulullah Sejarah telah mencatat bahwa disintegrasi yang terjadi di kalangan kaum muslimin yang kemudian menjadi bibit gejolak-gejolak sosial yang tragis dan medis, diawali pada masa rezim Khalifah Usman bin Affan (644-659 M) yang berakhir dengan pembunuhan atas dirinya. Kemudian tampil Ali bin Abi Thalib menggantikannya, mewarisi keadaan masyarakat yang berada dalam suasana resah dan gelisah serta semakin meningkatnya kecemburuan sosial, sebagai akibat dan kelanjutan dari kasus terjadinya pembunuhan atas diri Usman, yang kemudian menimbulkan al-Fitnah al-Kubra. Meledaknya perang Jamal yang melibatkan Aisyah ra. melawan tentara Ali bin Abi Thalib, telah menambah suramnya iklim Ukhuwah Islamiah pada periode yang masih sangat dini. Yang terlibat dalam perang ini, Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Rasulullah dan Aisyah
21 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
33
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ukhuwah Islamiah dan Etika al-Qur’an, hlm. 37-38. Ibid.¸ hlm. 38. 35 Ahmad Syafi’i Ma’arif, al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), hlm. 5 34
22 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Ali (Syi’ah) yang berpusat di Khurasan (Iran) dapat dilumpuhkan Bani Abbas.36 Demikianlah beberapa fakta sejarah kehidupan masyarakat Islam yang dapat direkam di sini. Nampak ada perbedaan, yang sangat mencolok antara kehidupan sosial masyarakat Islam pada masa pengendalian Rasulullah dan Khulafaurrasyidin dengan masa sesudahnya.
Islam di masa Nabi seperti yang digambarkan oleh Rahman, sebagai agama yang bertujuan untuk menciptakan suatu tata kehidupan sosial yang sehat, progresif, dinamis dan bermoral agamis. Oleh karena itu, setiap pemikiran Islam yang sah haruslah berangkat dari pemahaman yang benar terhadap al-Qur’an, dengan bersikap yang sungguh-sungguh, terbuka, adil dan jujur. Perjalanan dan kenyataan sejarah generasi berikutnya, setelah kepemimpinan Nabi dan Khulafaurrasyidin, berlawanan dengan para pendahulunya. Periode 50 tahun pertama setelah Nabi, perjalanan sejarah Islam sudah jauh menyimpang dari cita-cita sosio-politik Islam yang sebenarnya. “Kiblat Pemikiran” sudah berubah dan berpindah dari “Qur’anic Oriented” ke “Materialistic/Political/Pragmatic Oriented”. Hal ini jelas menyimpang dari ajaran al-Qur’an. Apapun sebabnya, yang jelas ialah bahwa belum sampai seperempat abad sepeninggal Nabi, umat Islam telah mulai sulit dikendalikan oleh etika persaudaraan.38 Padahal jelas pesan al-Qur’an untuk menjalin hubungan persaudaraan yang baik, diantara sesama kaum muslimin. (baca al-Hujurat: 9-13, an-Nisa’: 58, an-Nahl: 90, al-Maidah: 8, az-Zumar: 18, al-Baqarah: 256). Sebagai akibat dari ditinggalkannya etika al-Qur’an, maka timbullah tindakan-tindakan yang brutal dan tidak bermoral. Sehingga terjadilah musibah terbunuhnya Usman bin ‘Affan, terjadinya perang Jamal, perang Shiffin, perang saudara dan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi dan tidak Qur’ani yang terjadi sebelum, selama dan sesudah masa rezim Umayyah dan Abbasiyah. Trauma sejarah ini harus tidak terjadi dan tidak terulang lagi di masa depan nanti, baik dalam bentuk maupun dalam perwujudannya yang lain. Mengapa dan bagaimana musibah yang tragis ini sampai terjadi dalam perjalanan sejarah Islam? Jawabannya hanya satu, yaitu: karena sudah meninggalkan pesan-pesan alQur’an.
E. ANALISIS Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur’an dengan membawa kebenaran sebagai pemberi peringatan kepada manusia. (al-Hijr: 9). Barangsiapa yang berpaling dari peringatan Allah (al-Qur’an) maka sesungguhnya ia akan memperoleh kehidupan yang sempit. Karena ia melupakan ayat-ayat Allah (al-Qur’an), maka Allah akan melupakannya dan ia akan mendapat azab yang sangat pedih pada hari kiamat (QS. Thaha: 124-127). Sejarah telah membuktikan kepemimpinan Muhammad, dengan berpedoman al-Qur’an, telah dapat membawa suasana kehidupan sosial yang aman, damai, rukun dan tenteram, sesuai dengan cita-cita al-Qur’an. Bertolak dari kenyataan karier Rasulullah, Rahman menyimpulkan bahwa pada akhir hayatnya, Rasulullah adalah: Nabi penguasa dari hampir seluruh semenanjung Arabia. Ini fakta sejarah, bahwa agama dan negara di masa Nabi bukanlah saudara kembar. Juga bukan antara satu sama lain saling kerjasama. Menurut Rahman negara adalah pantulan dari nilai-nilai moral dan spiritual serta prinsip-prinsip yang disebut Islam. Negara bukan perpanjangan dari agama, tetapi adalah sebagai instrument dari Islam. Inilah yang terjadi di masa Nabi dan beberapa tahun kemudian sepeninggalnya (di masa Khulafaurrasyidin).37 36
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ukhuwah Islamiah dan Etika al-Qur’an, hlm. 39-40. Ahmad Syafi’i Ma’arif , “Menyimak Pemikiran Fazlur Rahman tentang Islam”, Panji Masyarakat, Jakarta: Nomor 403, Tahun XXV, 1 Agustus 1983, hlm. 78.
37
23 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
38
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ukhuwah Islamiah dan Etika al‐Qur’an, hlm. 30.
24 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Sebagai akibat ditelantarkannya (ditinggalkannya) ajaran-ajaran (etika) al-Qur’an, kemudian timbullah teori yang aneh-aneh tentang kenegaraan, khalifah, kesultanan dan status sosial, yang didukung oleh hadis-hadis buatan (sectarian) yang jauh menyimpang dari ajaran dan cita-cita alQur’an. Statemen al-Qur’an berkali-kali, bahwa sebagian besar manusia ini tidak beriman, tidak mau mensyukuri nikmat, tidak mau berfikir, tidak mau menyadari, tidak mau memahami dan mengingkari kebenaran dan peraturanperaturan yang datang dari Allah (misalnya al-Baqarah: 100, 154, 243. al-An’am: 37 dan al-Isra’: 84). Hal ini ada benarnya, dalam arti statemen al-Qur’an ini, ada faktanya dalam sejarah dan ada kenyataannya dalam hidup kita. Tragedi sejarah terulang lagi. Tindakan-tindakan yang tidak manusiawi dan sekaligus tidak Qur’ani terjadi, antara Iran yang telah mengibarkan panji-panji Islami dengan Irak yang terburu nafsu hewani, dengan sejuta manusia yang menjadi korbannya di antara keduanya, yang mati demi untuk memenuhi instruksi pemimpin-pemimpinnya, yang jelas-jelas telah meninggalkan dan mengabaikan etika al-Qur’an, yang kita muliakan. Apakah tragedi sejarah seperti ini akan terjadi dan terulang lagi di masa depan? Hal ini sangat berkaitan dengan perilaku kita dalam menempatkan al-Qur’an di dalam kehidupan kita. Sejarah telah menguji, bahwa al-Qur’an (yang diperuntukkan oleh Allah bagi manusia ini), tidak pernah berubah dan bebas dari salah. Maka perilaku dan pola hidup manusialah yang harus menyesuaikan diri dengan al-Qur’an, agar dapat selalu memperoleh kebenaran dan keselamatan. Oleh karena itu, seruan untuk “Kembali Kepada al-Qur’an” (Back to the Qur’an) siapapun yang mengatakannya, sangat menguntungkan untuk mendapatkan sambutan dan kita laksanakan. F. KESIMPULAN Al-Qur’an berhubungan erat dengan sejarah kehidupan manusia yang menjadi obyek turunnya. Sebagai Petunjuk dan al-Furqan, maka al-Qur’an harus ditempatkan pada kriterium yang tertinggi, manakala manusia berada di
25 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
persimpangan jalan yang kritis. Langkah yang terbaik, jalan yang selamat, keputusan yang menguntungkan dan tindakan yang benar, sebagai Muslim yang sesungguhnya, adalah: “Menjadi makhluk yang Qur’anic Oriented, yang konsekuen dan konsisten”. Cita-cita untuk menjadi makhluk yang Qur’anic Oriented, dapat terwujud dengan dukungan melestarikan bersemayamnya secara permanen, tiga kunci etika al-Qur’an dalam diri manusia, yaitu: Iman, Islam dan Taqwa. Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Allah dapat menguji kamu sekalian, siapa di antara kamu yang lebih baik amal perbuatannya (QS. al-Mulk: 1 dan 2, al-Anfal: 28-29, alBaqarah: 28, Yunus: 10).
DAFTAR PUSTAKA Ali, Abdullah Yusuf, The Holy Qur’an, Text, Translation and Commentary, USA: Amana Corporation, 1983. Gattschok, Louis, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Noto Susanto, Jakarta: Universitas Indonesia, 1980. Ghani, Ruslan Abdul, Kegunaan Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Sekretaris SPS Dosen-dosen IAIN, 1983. Issawi, Charles, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terj. A. Mukti Ali. Jakarta: Tinta Mas, 1962. Khaldun, Ibnu, al-Mukaddimah, Kairo: Musthofa Muhammmad, t.th. Ma’arif , Ahmad Syafi’i, “Menyimak Pemikiran Fazlur Rahman tentang Islam”, Panji Masyarakat, Jakarta: Nomor 403, Tahun XXV, 1 Agustus 1983. ______, “Manusia Sebagai Karya Terbesar” dalam Pelita. Jakarta: 27 Nopember 1984. ______, “Ukhuwah Islamiah dan Etika Al-Qur’an”, dalam Satu Islam, Sebuah Dilema, Haidar Baqir (ed.). Bandung: Penerbit Mizan, 1986.
26 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
______, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah refleksi), Bandung: Penerbit Pustaka, 1985. ______, Dinamika Islam, Potret Perkembangan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1983. ______, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985. ______, Islam Kenapa Tidak, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1984. ______, Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam, Fak. Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 6-9-1988. Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, London: Unwin Paperbacks, 1979. Rahman, Fazlur, “Some Reflections on the Reconstruction of Muslim Society in Pakistan”, dalam Islamic Studies, Jilid 6 Nomor 2, 1967. ______, “Some Key Ethical Concepts of the Qur’an” dalam Journal of Religious Ethics, Jilid XI, Nomor 2, 1983. ______, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Penerbit Pustaka, 1983. Siddiqui, Abdul Hameed, A Philosophical Interpretation of History, Lahore: Kazi Publication, t.th. Sutrasno, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pradya Paramita, 1975.
KYAI SOLEH DARAT, TAFSIR FAID AL-RAHMAN DAN RA. KARTINI Oleh : M. Masrur∗ Abstract One of the intellectual heritages of Islam in Java premodernism that deserve gets appreciation is the work of Shaykh Muhammad ibn Salih al-Samarani Umar, who among Kyai (clerics) in Java is known as "Saleh Kyai Darat". Tafsir Faid al~Rahman fi Tarjamah Kalam Malik Dayyan is a monumental work has ever written by him, this Tafseer (interpretation) is not complete 30 Juz, it’s just till the Tafseer (interpretation) of the letter al ~ Nisa ', consists of two large volumes. The first volume of 577 pages thick, while the second volume of 705 pages thick. Both were printed by the publisher of al-Muhammadiyah, Singapore between the years 1309 -1312 H. There are two important notes that need further explored related to the interpretation of the Faid al-Rahman. First, this Tafseer book was specifically written by Kyai Soleh Darat meet/fulfill the demands of RA Kartini. Second, this book had given by Kyai Soleh Darat to RA Kartini as a gift / gifts upon her marriage with RM Joyodiningrat, who is a Regent of Rembang at the time.
Key words : Tafsir Faid al-Rahman, RA. Kartini, Arab Pegon, Manaqib concise / summary, Tafsir Isyari.
A. Pendahuluan
Salah satu warisan intelektual Islam di Jawa pramodernisme yang perlu mendapat apresiasi secara memadahi
27 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
∗
Penulis adalah dosen jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
28 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
adalah buah karya Syaikh Muhammad Shalih ibn Umar alSamarani, yang di kalangan kyai di Jawa lebih dikenal dengan sebutan "Kyai Saleh Darat". Beliau hidup sezaman dengan Kyai Nawawi Banten, yakni hidup antara 1820-1903, sementara Kyai Nawawi Banten hidup antara 1813- 1897. Keduanya memang pernah hidup berteman ketika sama-sama di Makkah, bahkan beberapa guru mereka juga sama. Keduanya juga sama~sama mempunyai karya dalam bidang Tafsir. Kyai Nawawi Banten mengarang kitab tafsir Marah Labib li Kasf al~Ma'ani al~Qur'an al~Majid (atau lebih dikenal dengan sebutan Tafsir al~Munir. Tafsir ini terdiri dari 2 jilid, diterbitkan pertama kali di Mesir tahun 1887 (1305 H).39 Sedangkan Kyai Saleh Darat mengarang kitab Tafsir Faid al~Rahman dalam bahasa Jawa, dicetak pertama kali pada tahun 1894 (1312 H) di Singapura oleh penerbit alMuhammadiyah.40 Salah satu karya monumental yang pernah ditulis oleh Kyai Saleh Darat adalah Tafsir Faid al~Rahman fi Tarjamah Kalam Malik Dayyan, tafsir ini belum lengkap 30 Juz, baru sampai tafsir surat al~Nisa', terdiri dari dua jilid besar. Jilid pertama setebal 577 halaman, sedangkan jilid kedua setebal 705 halaman. Keduanya dicetak oleh penerbit al-Muhammadiyah, Singapura antara tahun 1309 -1312 H. Ada dua catatan menarik yang perlu ditelaah lebih lanjut berkaitan dengan Tafsir Faid al-Rahman ini. Pertama, buku tafsir ini ditulis khusus oleh Kyai Soleh Darat karena memenuhi permintaan RA Kartini; pahlawan nasional, tokoh emansipasi wanita Indonesia, yang setiap tanggal 21 April selalu kita peringati sebagai hari wanita Indonesia. Kedua, setelah menjadi buku tafsir, buku ini oleh Kyai Soleh Darat pernah diberikan kepada RA Kartini sebagai hadiah/kado atas perkawinanya
dengan R.M. Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang kala itu. RA.Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami”.41 B. Mengenal Kyai Soleh Darat Semarang (1820 – 1903).
AH. John. "Islam di Dunia Melayu", dalam Azyumardi Azra (ed.), Pcrspcktif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 114.
Nama Kyai Haji Soleh Darat memang tidak setenar Para Ulama di Tanah Air sekaliber KH. Nawawi al-Bantani dan KH. Hasyim Asyari, namun dibalik kemasyhuran tersebut KH. Soleh Darat merupakan sosok ulama yang memilki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara Jawa, khususnnya di Semarang. Beberapa nama murid yang pernah berguru kepadanya adalah KH.Hasyim Asy’ari Pendiri ponpes Tebuireng dan Pendiri Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU), KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyyah serta RA Kartini, tokoh pejuang dan emansipasi wanita Indoensia. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Shalih ibn ‘Umar, lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah sekitar tahun 1820 M. Ada juga yang menyebutnya lahir di desa lain, namun informasi tentang tempat kelahirannya di Desa Kedung Jumbleng lebih kuat daripada di tempat lain. Hal ini diterima dari Kiai Fahur ar-Razi, Kajen, Margoyoso, Pati yang mendapat informasi dari Kiai ‘Abd Allah ý(al-marhum) yang berasal dari satu daerah dengan Muhammad Shalih ibn ‘Umar, yaitu dari Desa Kedung Jumbleng. Beliau wafat di Semarang pada hari Jum‘at Legi tanggal 28 Ramadan 1321 H / 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum Bergota Semarang. Makamnya banyak diziarahi orang, baik dari Semarang dan sekitarnya maupun dari daerah lain, khususnya pada upacara khaul-nya.42
40
39
Kitab-kitab keagamaan yang biasa dipakai di Jawa pada abad 19 sampai sebelum zaman Jepang, memang umumnya dicetak dil Bombay aleh penerbit Al-Karimi dan di Singapura oleh penerbit al-Muhammadiyah atau penerbit Haji Muhammad Shadiq. Baca Abdulllah Salim, Majmu' al-Syaria’t Karya Kyai Saleh, Disertasi, tidak diterbitkan, (Jakarta: lAIN Syarif Hidayatullah, 1995).
29 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
41
http://nahdliyin.net/catatan/triwibs/manaqib-ringkas-para-mursyid-kyaisholeh-darat-semarang, didownload tgl. 15 Desember 2009. 42 Setiap tanggal 10 Syawwal di makamnya diadakan upacara khaul (peringatan wafatnya pada setiap tahun). Khaul itu tidak dilaksanakan tepat pada hari atau tanggal wafatnya dengan pertimbangan mengambil waktu yang sudah longgar
30 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Adapun nama yang sering dipergunakan dalam beberapa karya tulisnya adalah Syaikh Haji Muhammad Shalih ibn ‘Umar as-Samarani atau Semarang, seperti tertera pada sampul kitab Majmu‘at asy-Syari‘at al-Kafiyat li al-‘Awam, Munjiyat, Lata’if at-Taharah, Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauharat at-Tauhid dan sebagainya. Muhammad Salih adalah putra Kiai ‘Umar, salah seorang pejuang dalam perang Jawa (1825-1830) yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro melawan kolonial Belanda. Seperti putra kiai lainnya, Muhammad Salih ibn ‘Umar pada masa kecilnya di Jepara mulai belajar agama kepada ayahnya sendiri. Permulaan belajar agama ini berpusat pada pelajaran al-Qur'an yang dimulai dari bacaan surat-surat pendek dalam juz ‘Amma yang dimulai dari surat al-Fatihah karena berkaitan dengan ibadah, salat, wudu’ dan beberapa do’a serta ilmu tajwid yang bermanfaat untuk melafazdkan ayat-ayat suci al-Qur'an secara benar. Pelajaran ini diikuti oleh anak-anak pada usia 6 sampai 10 tahun. Setelah itu, ia melanjutkan pelajaran agama di beberapa pesantren, baik di Jawa maupun di Kota suci Makkah dengan beberapa orang ‘ulama’ atau kiai, dan dari beberapa ‘ulama’ tersebut ia mendapatkan “ijazah”.43 Setelah menyelesaikan pendidikannya di Jawa, Muhammad Salih diajak ke Makkah oleh ayahnya dengan singgah beberapa saat di Singapura, dan di Makkah, ia belajar kepada beberapa orang ulama kenamaan seperti : dan tidak merepotkan para peziarah karena menghadapi hari Raya ‘Id al-Fitri, sehingga diadakan pada tanggal tersebut. Khaul dihadiri ribuan orang yang pada umumnya memiliki hubungan intelektual dengan Muhammad Shalih. Informasi lebih detail bisa dibaca dalam Ghazali Munir, Pemikiran Kalam Muhammad Salih as-Samarani, Disertasi S.3 UIN Jogjakarta, 2007,. 43 “Ijazah” yang dimaksud bukan ijazah yang dikeluarkan oleh institusi pendidikan tertentu karena telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Tetapi, ijazah dalam tradisi pesantren adalah pencantuman nama dalam suatu mata rantai pengetahuan yang dikeluarkan oleh gurunya terhadap murid yang telah menyelesaikan pelajaran atas kitab tertentu, sehingga si murid dianggap menguasai dan dapat mengajarkan kepada orang lain. Ijazah ini hanya diberikan kepada murid-murid tingkat tinggi dan tentang kitab-kitab besar dan masyhur. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 23.
31 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
1. Syaikh Muhammad al-Muqri al-Misri al-Makki, kepadanya ia belajar ilmu ‘aqa’id dengan kitab Umm al-Barahin karya Muhammad as-Sanusi. 2. Syaikh Muhammad ibn Sulaiman Hasb Allah pengajar di Masjid al-Haram dan Masjid an-Nabawi, kepadanya ia belajar Syarh al-Khatib, Fath al-Wahhab, dan Alfiyah ibn Malik beserta Syarah-nya, dan dari Syaikh Muhammad ibn Sulaiman Hasb Allah ia memperoleh “ijazah” tentang kitab-kitab tersebut. 3. Sayyid Muhammad ibn Zaini Dahlan, (1232-1304 H/18171886 M), mufti Syafi‘iyyah di Makkah. Kepadanya ia belajar Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya al-Ghazali, dan dari Sayyid Muhammad ibn Zaini Dahlan ia mendapatkan “ijazah”. ‘Ulama’ Indonesia lain yang pernah berguru kepadanya antara lain: K.H. Nawawi al-Bantani, K.H. Mahfuz at-Tirmisi, dan Syaikh Ahmad Khatib, Sayyid Muhammad –kebanyakan orang menyebut Ahmad– ibn Zaini Dahlan adalah ‘ulama’ besar yang berpengaruh dan pengajar di Masjid al-Haram, Makkah, ahli fiqh dan sejarawan, lahir di Makkah dan karena kedalaman ilmunya ia diangkat menjadi mufti di Makkah. Para pelajar dari Indonesia yang menuntut ilmu di Makkah pada masanya banyak yang berguru kepadanya. 4. Al-‘Alamah Ahmad an-Nahrawi al-Misri al-Makki, kepadanya Muhammad Salih belajar al-Hikam karya Ahmad ibn ‘Ata’ Allah. 5. Sayyid Muhammad Salih az-Zawawi al-Makki, pengajar di Masjid al-Haram, kepadanya ia belajar Ihya’ ‘Ulum ad-Din juz I dan II. 6. Kiai Zahid atau Zaid, kepadanya ia belajar Fath al-Wahhab dan mendapat ijazah daripadanya. 7. Syaikh ‘Umar asy-Syami, kepadanya ia belajar Fath alWahhab. 8. Syaikh as-Sanbulawi al-Misri, kepadanya ia belajar Syarh atTahrir karya Zakariya al-Ansari.
32 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
9. Syaikh Jamal, mufti Hanafi di Makkah, kepadanya ia belajar Tafsir al-Qur'an.44 Setelah ayahnya wafat di Makkah dan dirasa telah cukup ilmunya, kemudian kembali dan singgah di Singapura beberapa saat dan kemudian sampai di Tanah Air. Ia diambil menantu oleh Kiai Murtada, teman seperjuangan Kiai ‘Umar, ayah Muhammad Salih dalam perang Jawa, sebagai prajurit Diponegoro dan dijodohkan dengan Sofiyah. Sejak saat itulah Muhammad Salih menetap di Semarang dan masih melanjutkan menuntut ilmu lagi kepada beberapa orang ‘ulama’, serta mendirikan pondok pesantren yang semula tidak menggunakan nama. Namun, lambat laun terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darat.45 Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan kyai/ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Shaleh Darat menjadi pelopor penerjemahan al-Qur'an ke Bahasa Jawa. Menurut catatan cucu Kyai Shaleh Darat, RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Qur’an. Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Shaleh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan model pengajian yang disajikan oleh Mbah Shaleh Darat. Dalam sebuah pertemuan RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan alQur'an. Mbah Shaleh Darat melanggar larangan ini. Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir dan
terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faid ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang.46 Sepanjang sejarah hidupnya, Kyai Soleh Darat hanyalah diabdikan untuk kehidupan agama dan umat Islam. Karya tulisnya dipergunakan untuk menggali ajaran Islam dan menyampaikannya kepada masyarakat Islam Jawa dan para santrinya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam, tauhid, fiqh, tafsir al-Qur'an, hadis dan tasawuf. Ia secara intensif mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk membukukan pendapatpendapatnya tentang berbagai masalah yang dihadapinya dalam konteks kemasyarakatan yang melingkupinya. Perhatiannya tercurah terhadap pandangan hidup yang berdasarkan ajaranajaran agama Islam dan kehidupan spiritual setiap muslim. Melalui karya tulisnya dan peranan da’wahnya, mengakibatkan banyak santri yang berdatangan ke pondok pesantrennya serta dapat menarik perhatian simpatik dari para masyarakat yang memerlukan pelajaran agama kepadanya.47 C. Kitab Tafsir Faid Al-Rahman Tafsir, sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci al-Qur'an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keaneka ragaman dalam corak penafsiran tersebut adalah hal yang lumrah saja. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu : perbedaan kecenderungan, interes, dan motivasi mufassir; perbedaan missi yang diemban; perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasi mufassir, perbedaan
44
Muhammad Salih ibn ‘Umar, al-Mursyid al-Wajiz, hlm. 274-277. Dikutip dari buku Ghazali Munir, Tuhan, Manusia dan Alam dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih As-Samarani, op.cit., h. 38-39. 45 Ada yang menyatakan bahwa Pondok Pesantren Darat adalah peninggalan K. Murtada, mertua Muhammad Salih. Lihat, Abu Malikus Shalih Dzahir, “Sejarah dan Perjuangan Kyai Salih Darat” (Semarang: Panitia Pertemuan Silaturrahmi Keluarga Besar Kyai Salih Darat ke-2, t.th.), hlm. 8.
http://nahdliyin.net/catatan/triwibs/manaqib-ringkas-para-mursyid-kyaisholeh-darat-semarang. 47 Lihat, HM. Muchoyyar HS, “K.H. Muhammad Salih as-Samarani Studi Tafsir”, hlm. 79-80.
33 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
34 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
46
masa dan lingkungan yang mengitari; perbedaan situasi dan konsidi zaman yang dihadapi.48 Bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam juga tidak ketinggalan untuk terus melahirkan para tokoh mufassir. Tercatat dalam sejarah bahwa sejak abad ke-16 M telah muncul upaya penafsiran al-Qur'an. Naskah Tafsir Surah al-Kahfi diyakini oleh para peneliti sebagai tulisan pertama tentang tafsir yang pernah muncul di Nusantara. Naskah tersebut diduga ditulis pada masa awal pmerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), dibawah mufti kesultanan Syaikh Syamsuddin al-Sumatrani. Satu abad kemudian, muncul kitab tafsir dalam bahasa Melayu berjudul Tarjuman al-Mustafid karya Syaikh Abd. Rouf al-Sinkili (1615-1693 M) lengkap 30 juz dan yang sampai kepada kita49. Sesudah itu, di penghujung abad ke-18 muncullah kitab tafsir dalam bahasa Arab berjudul Marah Labib li Kasf Ma’anil Qur’an al-Majid karya Imam Nawawi al-Bantani (1813-1879 M) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir al-Munir diterbitkan pertama kali di Makkah pada tahun 1880 M. Masih sezaman dengan Imam an-Nawawi, Syaikh Muhammad Sholih ibn Umar al-Samarani (1813-1897 M), menulis kitab tafsir dalam bahasa Jawa (Arab pegon) yang berjudul Faid ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik adDayyan, sebuah kitab Tafsir al-Qur'an al-‘Azim dari surat alFatihah sampai surat an-Nisa’, terdiri dua jilid besar. Jilid kesatu terdiri dari surat al-Fatihah sampai surat al-Baqarah, setebal 577 halaman yang mulai ditulis pada malam Kamis 20 Rajab 1309 H/1891 M. dan selesai pada malam Kamis, 19 Jumad al-Awal 1310 H/1892 M dan dicetak di Singapura oleh percetakan Haji Muhammad Amin pada tanggal 27 Rabi’ al-Akhir 1311 H/1893 M. Sedang jilid kedua terdiri dari surat Ali ‘Imran sampai surat an-Nisa’ sebanyak 705 halaman selesai ditulis pada hari Selasa 17 48
Harifudin Cawidu, “Metode dan Aliran dalam Tafsir”, dalam jurnal Pesantren, No.1/Vol.VIII/1991, (Jakarta : P3M), h.3-4. 49 Mohammad Masrur, “ Model Penulisan Tafsir al-Qur'an di Nusantara Sejak Abad XVII hingga XX”, dalam Jurnal TEOLOGIA Vol. 16, Nomor 2, Juli 2005 (Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang), h. 281-283, Baca Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Jakarta : Teraju, 2003), h. 43.
35 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Safar 1312 H/1894 M. dan dicetak oleh percetakan yang sama pada tahun 1312 H/1895 M. Jadi tafsir ini baru selesai sampai juz enam, akhir surat an-Nisa’.50 Naskah tafsir ini dicetak dalam keadaan belum sempurna disebabkan atas beberapa pertimbangan khusus, antara lain : 1. Kyai Soleh Darat berusaha untuk mengemukakan model corak dan metode penafsiran yang berbeda pada zamannya. Ini seperti dituturkan sendiri oleh Kyai Soleh dalam halaman pertama buku tafsirnya, “lan ora pisan-pisan nggawe ingsun kelawan ijtihad ingsun dewe balik nukil saking tafsire poro ulama kang mujtahidin kelawan asale tafsir dhahir, ing nukil iingsun tafsir kelewan makna isyari saking Imam al-Ghazali”. 2. Penerjemahan dan penyuntingan dengan bahasa Jawa untuk mempermudah pemahaman arti kandungan al-Qur'an. Berikut cuplikan penjelasan Kyai Soleh; “ Tegese ono ta ora podo angen-angen manusia kabeh ing maknane al-Qur'an ing hale aningali ingsun gholibe wong Ajam ora podo angen-angen ing maknane al-Qur'an kerono ora ngerti carane lan ora ngerti maknane, kerono al-Qur'an den turunaken kelawan bahasa Arab, maka arah mengkono dadi nejo gawe terjemahe maknane al-Qur'an saking kang wus denmaknani ulama”. 3. Kajian tafsir al-Qur'an kurang dianggap penting dibandingkan dengan karya-karya yang beredar di Jawa kala itu yang lebih menitik beratkan pada cabang-cabang ilmu fiqh. Hal seperti disinyalir dalam kata pengantar yang dibuat oleh penerbit berikut ini : “ Tarajjama syaikhuna bi tafsir al-Qur'an # Tafahhamu minhu ya akhi bi ith’an. Lianna gholib asli al-Jawi musaghiluna # bi furu’ al-fiqh la bitatbir al-Qur'an “ . (Guru kami telah menerjemahkan tafsir al-Qur'an maka pahamilah saudaraku tafsir tersebut dengan sungguh-sungguh karena kebanyakan orang Jawa sibuk menekuni cabang-cabang ilmu fiqh bukan memikirkan al-Qur'an). Adapun model penafsiran dari kitab tafsir Faid ar-Rahman adalah diawali dengan mencantumkan ayat, kemudian diartikan 50
Dr. HM. Muchoyyar HS, MA, h.97-98
36 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
dengan bahasa Jawa. Setelah itu dikemukakan penafsiran isyari (ma’na isyari) terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Penafsiran ayat-ayat al-Qur'an itu, Muhammad Salih mengambil bahan dari para penafsir yang handal, seperti: 1) Tafsir al-Jalalain, karya Imam Jalal ad-Din al-Mahalli (w. 864 H/ 1459 M) dan Imam Jalal ad-Din as-Suyuti (w. 911 H/1505 M). 2) Tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, karya Imam ‘Abd Allah ibn ‘Umar al-Baidawi (w. 685 H/1286 M). 3) Lubab at-Ta’wil fi Ma‘ani at-Tanzil, karya Syaikh ‘Ala’ ad-Din al-Khazin (w. 741 H/1360 M). 4) Jawahir at-Tafsir, Misykat al-Anwar dan Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). 5) Tafsir al-Qur'an al-Azim, karya Imam Isma‘il ibn Amir ibn Kasir ad-Dimasyqi (w. 774 H/1372 M). Menurut Muhammad Salih kebolehan penta’wilan terhadap ayat-ayat al-Qur'an itu, selama tidak menyalahi nas alQur'an dan hadis Rasul saw, sehingga banyak sekali para mufassir yang berbeda pendapat karena menurut pendapatnya masingmasing.51 D. Kartini dan Tafsir Faid al-Rahman : Siapakah RA Kartini itu ? Kartini (21 April 1879 - 17 September 1904) lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya bernama R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya jabatan ayahnya adalah seorang wedana di Mayong, Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan : R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara 51
kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang jenius dalam bidang bahasa. Dalam waktu singkat melanjutkan pendidikannya di Belanda, ia menguasai 26 bahasa: 17 bahasa-bahasa Timur dan 9 bahasa-bahasa Barat. Kartini sendiri secara formal pendidikannya hanya sampai pada tingkat Sekolah Rendah. Tapi beliau dapat memberikan kritik dan saran yang jelas kepada kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan nota yang berjudul: "Berilah Pendidikan kepada bangsa Jawa", Kartini mengajukan kritik dan saran kepada hampir semua Departemen Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Dengan membaca Departemen Angkatan Laut (Marine).52 petikan nota Kartini yang ditujukan kapada pemerintah Hindia Belanda tersebut, kita dapat memperkirakan daya nalar Kartini untuk ukuran jamannya. Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, 52
Baca di http://swaramuslim.net/more.php?id=1773010M34, Mengenang KARTINI.
dikutip dari HM. Muchoyyar HS, hal. 98
37 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
38 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
seorang tokoh Politik Etis. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.53 Pada masa kecilnya, Kartini mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika belajar mengaji (membaca Al-Quran). Ibu guru mengajinya memarahinya ketika Kartini menanyakan makna dari kata-kata Al-Quran yang diajarkan kepadanya untuk membacanya. Sejak saat itu timbullah pergolakan pada diri Kartini. "Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899].54
"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaanperumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya”. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902].55 Sampai suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat). Di Demak waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama para raden ayu yang lain, dari balik tabir. Kartini tertarik pada materi pengajian yang disampaikan Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang, yaitu tentang tafsir Al-Fatihah. Kyai Sholeh Darat ini - demikian ia dikenal - sering memberikan pengajian di berbagai kabupaten di sepanjang pesisir utara. Setelah selesai acara pengajian Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemani dia untuk menemui Kyai Sholeh Darat. Inilah dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh Darat, yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat : "Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun
Baca di http://www.dakwahkampusmalang.com, atau http://rakasmuda.com/new/ rakasmuda/ra-kartini.
keadaan yang sesungguhnya. Untuk itulah, beliau kemudian memasang iklan di sebuah majalah yang terbit di Belanda : "Hollandsche Lelie". Melalui iklan itu, Kartini menawarkan diri sebagai sahabat pena untuk wanita Eropa. Dengan segera iklan Kartini tersebut disambut oleh Stella. Baca di http://swaramuslim.net/more.php?id=1773010M34, Mengenang KARTINI.
54
Nama lengkapnya adalah Estelle Zeehandelaar, seorang wanita Yahudi Belanda yang pernah menjadi sahabat pena RA. Kartini. Stella adalah anggota militan pergerakan feminis di negeri Belanda saat itu. Sewaktu dalam pingitan (lebih kurang 4 tahun), Kartini banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Kartini tidak puas hanya mengikuti perkembangan pergerakan wanita di Eropa melalui buku dan majalah saja. Beliau ingin mengetahui
55
E.E. Abendanon adalah istri JH. Abendanon. Ny. Abendanonadalah pendamping setia suaminya dalam menjalankan tugasnya mendekati Kartini. Sampai menjelang akhir hayatnya, Kartini masih membina hubungan korespondensi dengannya. Sementara, J.H. Abendanon datang ke HindiaBelanda pada tahun 1900. Ia ditugaskan oleh Nederland untuk melaksanakan Politik Etis. Tugasnya adalah sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan. Ibid.
39 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
40 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
53
menyembunyikan ilmunya? "Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?". Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya. "Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habishabisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"56 Setelah pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa, maka kemudian dikaranglah kitab tafsir al-Qur'an berbahasa Jawa (Arab pegon) yang berjudul Tafsir Faid al-Rahman ‘ala Kalam Malik al-dayyan. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fi Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa. Kalau saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al-Quran) maka tidak mustahil ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua hal yang dituntut Islam terhadap muslimahnya. Terbukti Kartini sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adatnya yang sudah terlanjur mapan. Kartini juga memiliki modal kehanifan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Bukankah pada mulanya beliau paling keras menentang poligami, tapi kemudian setelah mengenal Islam, beliau dapat menerimanya. Saat mempelajari Al-Islam lewat Al-Quran terjemahan berbahasa Jawa itu, Kartini 56
http://www.indonesiaindonesia.com/f/48510-spirit-kartini-direnungkan .
41 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ila Nur yang berarti dari gelap kepada cahaya. Karena Kartini merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari pemikiran tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah. Dalam banyak suratnya sebelum wafat, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat "Dari Gelap Kepada Cahaya" ini. Karena Kartini selalu menulis suratnya dalam bahasa Belanda, maka kata-kata ini dia terjemahkan dengan "Door Duisternis Tot Licht". Karena seringnya kata-kata tersebut muncul dalam surat-surat Kartini, maka Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari AlQuran. Kemudian untuk masa-masa selanjutnya setelah Kartini meninggal, kata-kata Door Duisternis Tot Licht telah kehilangan maknanya, karena diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah "Habis Gelap Terbitlah Terang". Memang lebih puitis, tapi justru tidak persis. Setelah Kartini mengenal Islam sikapnya terhadap Barat mulai berubah : "Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?" [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]. Kartini juga menentang semua praktek kristenisasi di Hindia Belanda : "Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? .... Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?" [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]. 42 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Bahkan Kartini bertekad untuk memenuhi panggilan surat Al-Baqarah ayat 193, berupaya untuk memperbaiki citra Islam selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan : "Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai." [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].57 E. Penutup dan Catatan Akhir : Bagi Kartini, sosok Kyai Soleh Darat adalah figur kyai/ulama yang tidak hanya mumpuni, tetapi juga "inspiring". Pemahaman keislaman Kartini jelas sekali karena tergugah dan terinspirasi oleh ajaran Islam yang diperkenalkan oleh Kyai Soleh Darat kepadanya. Kalau saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (al-Quran) maka tidak mustahil ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua hal yang dituntut Islam terhadap muslimahnya. Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga tafsir al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa. Keterkesanan dengan pengajaran Islam yang diperkenalkan oleh Kyai Soleh Darat tersebut misalnya bisa disimpulkan dari surat-suratnya yang ia tulis sebelum wafat, yang banyak sekali mengulang-ulang kalimat "Dari Gelap Kepada Cahaya" atau dalam bahasa al-Qur'an : Minazh-Zhulumaati ila Nur (QS. al-Baqarah [2] : 257). Karena Kartini selalu menulis suratnya dalam bahasa Belanda, maka kata-kata ini dia terjemahkan dengan "Door Duisternis Tot Licht". Karena seringnya kata-kata tersebut muncul dalam surat-surat Kartini, maka Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat 57
Nama lengkapnya adalah Nellie Van Kol (Ny. Van Kol). Ia adalah istri dari Ir. Van Kol, seorang insinyur yang uga seorang ahli dalam masalah-masalah kolonial. Stella-lah yang selalu memberi informasi tentang Kartini kepadanya, sampai pada akhirnya ia berkesempatan datang ke Jepara dan berkenalan langsung dengan Kartini. Van Kol mendukung dan memperjuangkan kepergian Kartini ke negeri Belanda atas biaya Pemerintah Belanda.
43 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Kartini. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari Al-Quran. Selamat membaca !
DAFTAR PUSTAKA Abd. al-Hay al-Farmawy, al-Bidayah fi Tafsir al-Maudlui, (Mesir : Maktabah al-Jumhuriyah al-Mishriyah, 1977). Abdullah Salim, Majmu'at al-Syari’at Karya Kyai Saleh Darat, Disertasi, tidak diterbit-kan, (Jakarta : lAIN Syarif Hidayatullah, 1995). Abu Malikus Shalih Dzahir, “Sejarah dan Perjuangan Kyai Salih Darat” (Semarang: Panitia Pertemuan Silaturrahmi Keluarga Besar Kyai Salih Darat ke-2, t.th.). Ahmad Rifa'i Hassan (ed.), Warisan Intelektual Islam, (Bandung: Mizan, 1987). Azyumardi Azra (ed.), Pcrspcktif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989). CEMPAKA, Edisi 114 Tahun III (7 – 13 Nopember 2005) dan Edisi 115 Tahun III (15 – 21 Nopember 2005) Ghazali Munir, Tuhan, Manusia dan Alam dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih As-Samarani, (Semarang : rasail Media Group, 2008). Ghazali Munir, Pemikiran Kalam Muhammad Salih as-Samarani, Disertasi S.3 UIN Jogjakarta, 2007,. Harifudin Cawidu, “Metode dan Aliran dalam Tafsir”, dalam jurnal Pesantren, No.1/Vol.VIII/1991, (Jakarta : P3M). HM. Muchoyyar, HS., KH. Muhammad Shaleh al-Samarani : Studi Tatsir Faid ar-Rahman, disertasi, tidak diterbitkan, (Jogjakarta : IAIN Sunan kalijaga, 2000). http://nahdliyin.net/catatan/triwibs/manaqib-ringkas-paramursyid-kyai-sholeh-darat-semarang, didownload tgl. 15 Desember 2009. http://rakasmuda.com/new/ rakasmuda/ra-kartini. http://swaramuslim.net/more.php?id=1773010M34, Mengenang KARTINI. http://www.dakwahkampusmalang.com,
44 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
http://www.indonesiaindonesia.com/f/48510-spirit-kartinidirenungkan Ignaz Goldzieher, Madzahib at-Tafsir al-Islamy, (Mesir : Maktabah al-Kanji, 1955). Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Jakarta : Teraju, 2003). Jurna1 PESANTREN, No.l Vol. VllI/1991, (Jakarta: P3M,I991). Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Bandung : Teraju, 2004), Cet. ke-2. Mohammad Masrur, “ Model Penulisan Tafsir al-Qur'an di Nusantara Sejak Abad XVII hingga XX”, dalam Jurnal TEOLOGIA Vol. 16, Nomor 2, Juli 2005 (Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang),
DAKWAH DAN EPISTIMOLOGI DALAM KHAZANAH FILSAFAT ISLAM Oleh : Agus Riyadi∗ Abstract Da'wah (Islam) should not only at the conception but trying to get a more in-depth knowledge and connect with the target object (pure science and applied science). Dakwah without understanding the philosophical-epistemological foundation will lead to understanding of the Da'wa (Islamic) becomes shallow and even cause/make its adherents are stuck into the formalism and narrow fanaticism, on the contrary, the understanding of Dakwah which is based on philosophical-epistemological will bring Dakwah at understanding essentially and in depth, so avoiding from conflicts caused by the many isms or others. There are at least three forms that can be used as a reference deals with the means of scientific development of Dakwah, which deals with the means Bayani, deals with the means Irfani, and deals with the means Burhani. Burhani, the patterns of thought derived from the texts (nash), then Irfani the patterns of thought proceed from zauq, qalb, or intuition, while Burhani rooted in intellectual activities to establish the truth of a proposition by the deductive method, i.e by linking to each other propositions that are axiomatic. The three forms of epistemology above, will determine the dynamics and characteristics of the science of Dakwah.
Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur'an, (Makkah : Dar al-Kutub Ihya al-Arabiyah, 1980). Muhammad Husain al-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, jilid II, (Beirut: Dar al-Maktab al-Hadits, 1976). Muhammad Salih ibn ‘Umar, al-Mursyid al-Wajiz fi ‘ilm alQur’an al-‘Aziz, Singapura: Haji Muh}ammad Amin, 1318 H. Muhammad Salih, Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauharat atTauhid, Cirebon: al-Misriyyah, 1896. Muhammad Shaleh ibn Umar as-Samarani, Faid al-Rahman fi Tarjamah Kalam, jilid 1 & 2 (Singapura : Matba’ah Haji Muhammad Amin, 1312 H). Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Subhi al-Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, (Beirut: Dar ilmi lilMalayin, 1977). Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1989).
Key words : Dakwah, epistemology, the science of Dakwah, amar ma’ruf nahi munkar.
I.
Pendahuluan
Pada hakikatnya, gerakan. dakwah Islam berporos pada amar maruf nahi munkar.58 Maruf mempunyai pengertian, segala
∗
45 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
46 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah swt., sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan diri dari padaNya. Pada dataran amar maruf, siapapun bisa melakukannya, karena kalau hanya sekadar "menyuruh" kepada, berbeda halnya dengan nahi munkar, jelas mengandung konsekuensi logis dan beresiko bagi yang melakukannya. Yang pasti, amar ma’ruf nahi munkar sesungguhnya merupakan inti diutusnya para nabi oleh Allah swt.59 Sesungguhnya dakwah yang diajarkan oleh para nabi dan rasul-Nya merunut ketentuan Al-Qur’an, dakwah Islam hendaknya disampaikan dengan cara-cara yang baik60 dan bahasa yang dapat dipahami pula.61 Bahkan tidak kalah pentingnya lagi ialah, seorang muslim dalam berdakwah dilarang untuk memaki orang kafir yang dikhawatirkan nantinya akan menyebabkan ia memaki Allah swt.62 Demikianlah batasan-batasan dalam berdakwah (dataran empirik) yang telah termaktub dalam Al-Qur’an secara rinci, tegas dan sempurna sebagai acuan bagi seorang muslim untuk menyampaikan kebenaran Allah swt., dengan meletakkan Al-Qur’an sebagai sumber utama landasan epistemologis dan aksiologisnya. Hal ini harus menjadi perhatian khusus, karena sekiranya Al-Qur’an itu hanya sebuah kitab pembinaan akhlak, sudah barang tentu tidak akan pernah membangkitkan semangat penggalian dan pemikiran filosofis. Inilah, yang menurut penulis, sifat dokumentalnya Al-Qur’an dapat diuji tingkat kebenarannya, dikaji, dipahami, dimaknai dan diketahui ma wara’a al-musykilat. Berangkat dari pemaparan tersebut di atas, dalam mengembangkan dakwah Islam selanjutnya, perlu dirumuskan secara tegas mengenai epistemologi dakwah secara keilmuan. Rumusan di sini menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan hakikat, landasan, batas-batas keilmuannya termasuk di dalamnya pengetahuan ilmiah dan persoalan ilmiah yang dapat diuji, di samping patokan kesahihannya.
Yang menjadi mainstream dasar dalam keilmuan dakwah di sini adalah dakwah sebagai kebenaran ilmu, karena yang dibahas adalah wilayah epistemologinya. Kebenaran ilmu akan diuji sejauhmana keabsahan suatu pengetahuan itu, dan ini memerlukan pembuktian (problem keilmuan). Hal ini merupakan struktur fundamental untuk membangun dan mengembangkan dakwah Islam yang lebih sistematik-konstruktif. Tanpa struktur fundamental yang jelas, pengertian dakwah akan menjadi semakin kabur karena dakwah selalu diberi pengertian dengan konotasi dan denotasi63 yang pasti baik dan positif. Mungkin saja perlu pertanyaan radikal tentang mengapa konsep dakwah Islam tidak begitu "menggigit" atau mengakar kuat sebagai basis metodologis dalam aplikasi terapannya? Pertanyaan tersebut seharusnya tidak perlu muncul manakala penguatan secara konseptual-metodologis mendapat tempat layak dalam wilayah akademik. Artinya, dataran konseptual harus diberi prioritas utama sebelum aplikasi di lapangan itu diterapkan. Selanjutnya memberikan porsi akademik kepada pentingnya otonomi berpikir64 manusia sebagai basis dan kemampuannya untuk menangkap realitas di sekelilingnya, sebagai wacana yang akan terus berkembang yang sifatnya paradigmatik dan akan diuji di wilayah publik. Dengan demikian, maka wacana konseptual sebagai basis metodologisnya tidak harus dipahami dan dipandang 63
Al-Qur’an, (3): 104 dan 110. Al-Qur’an, (72): 23. 60 Al-Qur’an, (16): 125. 61 Al-Qur’an, (14): 4. 62 Al-Qur’an, (6): 108.
Konsep-konsep logis mengenai konotasi dan denotasi sesungguhnya menunjuk pada persoalan cakupan peristilahan dan karakteristiknya. Konotasi menunjuk kepada karakteristiknya untuk bisa disebut sebagai ilmu. Sedangkan denotasi menunjuk kepada cakupan suatu pengertian yang hal ini dapat dinyatakan dalam suatu istilah. 64 Pada dasarnya, hakikat berpikir itu adalah otonom. Artinya, kebebasan berpikir tidak sama dengan kebebasan berbuat, selain bebas dan radikal ia juga berada dalam dataran makna. Kebebasan berpikir itu: 1) tidak ada kekuasaan yang bisa menghalangi berpikir, 2) tidak ada kekuasaan yang bisa mengatur, 3) tidak ada yang Karam untuk dipikirkan, 4) tidak ada sanksi moral, 5) sifatnya spiritual, 6) ruang lingkupnya dinamis, 7) bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Penjelasan lebih lanjut lihat Musa Asy`arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 1999), hlm. 1-3. Bandingkan dengan Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Tafkir fi Zamam al-Takfir, (Mesir: Sina Linnasyri, 1995).
47 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
48 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
58 59
sinis sebagai entitas mengawang di atas tanpa kaki, tidak membumi.65 Wacana pendekatan filosofis-epistemologis secara radikal mendasar berfungsi sebagai bangunan konsep-teoritik, sedangkan dakwah berusaha mencapai hubungan yang lebih dekat lagi (historis-sosiologis), karena ia harus masuk ke dalam relung pengalaman hidup dan keintimannya dengan kehidupan manusia. Pemahaman dakwah yang dilandasi filosofis-epistemologis akan mengantarkan dakwah pada pemahaman yang bersifat esensial dan mendalam, sehingga terhindar dari koflik yang diakibatkan oleh banyak isme atau aliran yang berkembang. II. Pembahasan 1. Pengertian Epistimologi, Aksiologi dan Ontologi Secara bahasa, kata epistimologi berasal dari bahasa Yunani episteme dan logos. Epistime berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian atau ulasan. Dari gabungan dua kata ini dapat diambil sebuah pengertian bahwa yang dimaksud dengan epistimologi adalah sebuah teori tentang pengetahuan, atau theory of knowledge.66 Adapun epistimologi secara istilah adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode dan
validitas pengetahuan.67 Menurut Harun Nasution epistimologi adalah cabang dari filsafat yang membahas persoalan apa dan bagaimana cara seseorang memperoleh pengetahuan.68 Menurut The Liang Gie Epistemologi adalah teori pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas sampai soal kebenaran.69 Dari beberapa definisi epistimologi ini maka dapat kita pahami bahwa epistimologi merupakan sebuah ilmu yang bersangkutan dengan masalah-masalah : 1. Filsafat, sebagai cabang ilmu dalam mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan. 2. Metode, memiliki tujuan untuk mengantarkan manusia mencapai pengetahuan. 3. Sistem, bertujuan memperoleh realitas kebenaran 70 pengetahuan. Adapun yang dimaksud aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau buruk dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi obyektif dipihak lain. Dalam kaitan dengan ilmu pengetahuan, aksiologi dapat dipahami sebagai bidang telaah ilmu yang mempertanyakan tujuan ilmu : apakah teori ilmu itu hanya merupakan penjelasan obyektif terhadap realitas, atau teori ilmu merupakan pengetahuan untuk
65
Secara konseptual, kajian terhadap kitab suci dan kenabian melahirkan ilmu agama, sedangkan kajian terhadap alam semesta melahirkan ilmu alam dan ilmu pasti termasuk di dalamnya ilmu humaniora dan kajian terhadap ayat-ayat Tuhan yang dilakukan pada tingkatan makna, yang berusaha mencari hakikat dengan menggunakan nalar dan mata batinnya, melahirkan ilmu filsafat. Ilmu dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan teknis, filsafat memberikan landasan nilainilai dan wawasan yang menyeluruh, sedangkan agama mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual, memasuki dimensi ilahi. Para filosof muslim menggunakan filsafat adalah untuk mempelaiari konsepkonsep Al-Qur’an. Lihat Majid Fakhry, The Genius of Arab Civilization, (Canada: MIT. Press, 1983), h1m. 58. Lihat juga penjelasan Musa Asy`arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi..., op. cit., h1m. 1-10. Bandingkan dengan Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h1m. 242-268. 66
Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta : Teras, 2009, hlm. 74.
49 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
67
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pers, 2002, hlm. 3-4. 68 Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, hlm. 10. 69 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Bandung : The Science and Tecnolody Stues Foundation, 1987), h. 83. 70
Armai Arief, ibid, hlm. 4. Ini juga bisa dilihat dalam tulisan Hujair AH Sanaky, Dinamika Pemikiran dalam Islam, www.sanaky.staff.uii.ac.id, bahwa epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistimologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan
50 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
mengatasi berbagai masalah yang relevan dengan realitas bidang kajian ilmu yang bersangkutan.71 Sedangkan ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Pembahasan ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.72 2. Beberapa Persoalan Epistemologi Ilmu Dakwah Pada setiap jenis pengetahuan filsafat mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut digali dan dikembangkan. Ketiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran.73 Hal ini juga berlaku dalam kajian keilmuan dakwah. Ketiganya bersifat interrelasi dan interdepedensi. Ketika dalam kajian ini dibicarakan epistemologi, berarti dibatasi kajiannya tentang upaya, cara atau langkahlangkah yang seharusnya ditempuh untuk mendapat ilmu dakwah, termasuk bidang-bidang ilmu yang tercakup di dalamnya. Sebelum dikemukakan lebih lanjut masalah epistemologi dalam pengembangan ilmu dakwah, maka perlu diungkapkan terlebih dulu seluk beluk seputar epistemologi itu sendiri. Pertama, M. Arifin merinci ruang lingkup kajian epistemologi meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan.74 Mudlor Ahmad menyebut enam aspek kajian epistemologi, yakni hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan.75 Sedangkan A.M. Saefuddin menyebut bahwa epistemologi itu
harus mampu menjawab pertanyaan: apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat diketahui dan sampai di manakah batasannya.76 Semua pertanyaan itu, jika diringkaskan menjadi dua masalah pokok, yakni masalah sumber ilmu dakwah dan masalah benar tidaknya ilmu dakwah itu berdasarkan sumbersumber ilmu dakwah. Kedua, tujuan utama epistemologi sebagaimana pendapat Jacques Martain adalah bukan untuk mendapat jawaban ”apakah saya dapat tahu”, tetapi untuk menemukan ”syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”.77 Di sini ditemukan makna strategis dalam dinamika pengembangan ilmu dakwah, yakni dapat menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai merasa puas dengan sekedar memperoleh ilmu dakwah tanpa disertai dengan cara bagaimana memperoleh ilmu dakwah itu. Keadaan seseorang memperoleh ilmu dakwah itu berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan seseorang yang disertai dengan cara bagaimana memperoleh pengetahuan itu berorientasi pada prosesnya. Ketiga, kedudukan cara bagaimana atau metode dalam epistemologi adalah sebagai alat dalam mencapai pengetahuan.78 Suatu bangsa yang berhasil memajukan ilmu pengetahuan, ternyata mereka didukung oleh keunggulan dalam pengembangan metode-metodenya. A. Mukti Ali bahkan menyebut di beberapa negara Arab, seperti Saudi Arabia dan Kuwait yang secara ekonomi telah mencapai kemajuan, tetapi karena tidak ada upaya maksimal untuk mengembangkan metode, ternyata mereka tetap
71
Ibid. S. Suriasumatri, J. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003, hlm. 63. 73 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005, hlm. 1 74 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 6. 75 Mudlor Ahmad, Ilmu dan Keinginan Tahu (Epistemologi dalam Filsafat), (Bandung: Trigenda, 1994), hal. 61.
A.M.Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1991), hal.31. 77 Jacques Maritain, The Degrees of Knowledge, (New York: Scribner, 1959), hal. 73. 78 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta, 1976), hal. 85.
51 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
52 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
72
76
saja menjadi konsumen terhadap ilmu pengetahuan Barat modern.79 Keempat, lingkup obyek pengembangan ilmu dakwah menurut Amrullah Ahmad dapat dibedakan kajiannya menjadi obyek material dan obyek formalnya. Obyek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam yang terdapat dalam alQur’an dan al-Sunnah, sejarah dan peradaban Islam. Obyek material ini termanifestasi dalam disiplin-disiplin ilmu keislaman lainnya yang kemudian berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu dakwah. Sedangkan obyek formal ilmu dakwah adalah mengkaji salah satu sisi dari obyek material tersebut, yakni kegiatan mengajak umat manusia supaya masuk ke jalan Allah (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan. Dengan melihat pengertian ilmu dakwah di atas, maka inti persoalan epistemologi ilmu dakwah adalah persoalan sumber ilmu pengetahuan, yakni Allah Swt melalui wahyu-Nya (S.Q. 16: 78). Pendekatan seperti ini sering disebut pendekatan holistik, yakni suatu pendekatan yang tidak mempersoalkan apakah potensi inderawi, akal atau instuisi yang menjadi andalan dalam setiap pengembangan ilmu dakwah, tetapi yang penting adalah kepastian dalam setiap ilmunya, baik dalam bentuk inderawi, rasional maupun instuitif. Berdasar pada epistemologi Islami di atas, maka dapat ditemukan beberapa persoalan epistemologi, sebagai berikut: 1. Untuk Jurusan KPI, dirumuskan visi ”sebagai pusat keunggulan dalam bidang ilmu komunikasi dan penyiaran Islam”, namun di pihak lain tidak ditemukan kurikulum yang secara spesifik mendidik mahasiswa memiliki kompetensi bidang ilmu komunikasi dan penyiaran Islam tersebut. Dari 63 SKS matakuliah komponen jurusan, semuanya beriorientasi epistemologi Barat modern. Tentunya semua ini tidak signifikan mencapai visi unggul dalam ilmu komunikasi dan penyiaran Islam.
2.
3.
4.
Untuk Jurusan BPI, dirumuskan visi ”unggul dan terkemuka dalam pengkajian dan pengembangan bimbingan dan konseling Islam bagi kebahagiaan dan kesejahteraan” dan ditemukan dua matakuliah dengan total bobot 4 SKS yang relevan, yakni: Bimbingan dan Konseling Islam, dan Konseling dan Psikoterapi Islam. Selebihnya 60 SKS masih berorientasi epistemologi Barat modern, seperti Teori Konseling dan Psikoterapi, Konseling Karir dan sebagainya. Untuk Jurusan PMI, dirumuskan visi ”unggul dan terkemuka dalam pengkajian, pengembangan dan penggerak pembangunan masyarakat Islam” dan ditemukan lima matakuliah dengan total bobot 16 SKS yang relevan, yakni: Dasar-Dasar PMI, Sosiologi Agama dan Islam, Manajemen PMI, dan Praktikum PMI. Sisanya 52 SKS masih berorientasi epistemologi Barat modern, seperti Kesehatan Masyarakat, Pengembangan Ekonomi Masyarakat dan sebagainya. Untuk Jurusan Manajemen Dakwah, dirumuskan visi ”sebagai format pengembangan manajemen berbasis manajemen modern”. Dari 69 SKS matakuliah komponen jurusan, semuanya berlandaskan epistemologi Barat modern karena memang belum diarahkan pengembangannya kepada manajemen Islam.
3. Konstruksi Epistimologi Dakwah dalam Konteks Bayani, Burhani dan Irfani
A.Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim, (editor), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacara, 1989), hal. 44.
Kembali kepada persoalan epistemologi ilmu dakwah, untuk menemukan bagaimana cara mendapatkan pengetahuan ilmu dakwah perlu ditelusuri rancangan bangunan filsafat pengetahuan Islam sebagaimana pernah dipetakan oleh Muhammed 'Abid alJabiri dalam karyanya Bunyah al-Aql al-Arabi (1993), dan ini sekaligus penulis jadikan sebagai titik tolak metodologis untuk membangun epistemologi keilmuan dakwah. Adapun penjelasan konkretnya sebagai berikut. 1. Melalui cara pengetahuan bayani atau lazim disebut epistemologi bayani. Epistemologi Bayani merupakan studi filosofis terhadap struktur pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Sedangkan akal hanya menempati tingkat kedua dan sifatnya menjelaskan teks
53 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
54 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
79
yang dimaksud. Tradisi bayani muncul tidak terlepas dari tradisi teks yang berkembang dalam ajaran Islam, dan setidaknya ada 50 ayat Al-Qur’an yang mengungkap kata bayani ini.80 Dalam dakwah Islam, teks atau nash Al-Qur’an khususnya merupakan sumber utama sebagai tolok ukur dan titik tolak dari seluruh kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh para juru dakwah. Oleh karena itu, secara origin, maka epistemologi bayani merupakan bentuk dari sumber pengetahuan ilmu dakwah itu sendiri. 2. Melalui cara pengetahuan 'irfani, atau lazim disebut epistemologi irfani. 'Irfani, secara etimologis, `irfan (gnosis) berarti: al-ma`rifiah, al-'ilm, al-hikmah.81 Epistemologi irfani secara eksistensial berpangkal pada zauq, qalb, atau intuisi yang merupakan perluasan dari pandangan illuminasi, dan yang berakar pada tradisi Hermes. Aturan normatif dalam 'irfan praktis seperti dalam rumusan-rumusan tentang perjalanan spiritual melalui beberapa tahapan.82 Pada dataran ini, dalam hubungannya dengan dakwah Islam tidak begitu banyak berpengaruh terhadap sumber pengetahuannya, mengingat dakwah pada dasarnya lebih kepada persoalan perubahan sosial dan transformasi nilai-nilai Islam yang konkret dan rasional. 3. Melalui cara pengetahuan burhani, atau lazim disebut epistemologi burhani. Burhani (demontratif), secara bahasa berarti argumentasi yang jelas. Sedangkan menurut istilahnya (logika) berarti aktifitas intelektual untuk menetapkan kebenaran proposisi dengan metode deduktif, yakni dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan proposisi lainnya yang bersifat aksiomatik atau setiap aktifitas intelektual untuk menetapkan kebenaran suatu proposisi.83 Burhani membangun
pengetahuan dan visinya atas dasar potensi bawaan manusia, yakni kemampuan melakukan proses penginderaan, eksperimentasi, atau konseptualisasi. Metode ini pertama kali dikembangkan di Yunani melalui proses panjang dan puncaknya pada Aristoteles. Metode ini, biasa disebut Aristoteles dengan sebutan analisis, yaitu menguraikan ilmu atas dasar prinsip-prinsipnya.84 Nampaknya, epistemologi burhani inilah yang lebih kental dengan sumber dakwah Islam setelah epistemologi bayani (teks/nash) atau dalam ilmu tafsir digunakan pada makna burhani adalah tafsir bi al-ra’yi.85 Ketiga bentuk epistemologi (Islam) tersebut di atas, merupakan bagan teori pengetahuan dalam aplikasi terapannya di tengah pergumulan kajian keislaman dewasa ini, termasuk di
Subhi Mahmasam, Falsafatu at-Tasyri'fi al-Islam, (Beirut: Dar al-'Ilml al-Malayin, 1961), hlm. 165-169. 81 Muhammed 'Abid al-Jabiri, Bunyah..., op. cit., hlm. 251. 82 Ibid., hlm. 254. 83 Ibid., hlm. 383-385. Epistimologi burhani ini menurut Al-Jabiri mendekatinya melalui sistem epistemologi yang ia bangun dengan metodologi berpikir yang khas, bukan menurut terminologi mantiqi dan juga tidak dalam pengertian umum, dan berbeda dari yang lain. Epistemologi tersebut pada abadabad pertengahan menempati wilayah pergumulan kebudayaan Arab Islam
yang mendampingi epistemologi bayani dan `irfani. Epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konseptualisasi ( al-hiss, al tajribah wa muhakamah 'aqliyah). Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk (tansin dan tawbih). Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah dan ulama-ulama moderat. Lihat dalam tulisan Mohammad Adlany, Esensi Pengetahuan dalam Irfan, www.teosophy.wordpress.com. 84 Ibid. 85 Tafsir bi al-Ra’yi yaitu cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang di dasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir terhadap tuntutan kaidah bahasa Arab dan kesusastraannya, teori ilmu pengetahuan setelah dia menguasai sumber-sumber tadi. Mengenai boleh tidaknya tafsir bi al-ra’yi, ulama berpeda pendapat. Namun demikian tafsir bi al-ra’yi dibagi dalam dua bagian yaitu Al-Ra’yu al Mahmudah yaitu penafsiran dengan akal yang diperbolehkan dengan beberapa syarat seperti ijtihad berdasarkan nilai-nilai alQur’an dan as-Sunnah, Tidak berseberangan dengan penafsiran bi al-ma’s\u>r dan al-Ra’yu al-maz\mu>mah yaitu penafsiran dengan akal yang dicela/dilarang, karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Muhammad Husain Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz. I (t.p., Maktab Mush’ab bin Umair al-Islamiyah, 1424 H/2004 M), h. 183-188, 205-258. Lihat juga di Abu Salma, Sejarah Tafsir dan Perkembangannya, www.abusalma.wordpress.com
55 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
56 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
80
dalamnya ilmu dakwah. Karakteristik ini pada awal pemunculan sampai dengan perkembangannya melalui mekanisme secara runtut sejak sebelum masehi sampai dengan kontemporer tergambar secara jelas dalam berbagai tipologi masyarakat Islam, baik itu bangunan keilmuan konseptualnya maupun aplikasi di dalam setiap penerapan keilmuan sebagai cara pandangnya. Oleh karena itu, ketiga bentuk epistemologi di atas dalam hubungannya dengan dakwah (Islam) perlu kiranya dijelaskan secara konkret dalam rangka menemukan dan merumuskan epistemologi ilmu dakwah secara keilmuan konseptual. Langkah awal yang penulis dilakukan di sini adalah mencoba merumuskan bagan-bagan runtutan secara teoritik yang kemudian dijabarkan ke dalam bentuk aplikasi dari keilmuan dakwah (Islam) itu sendiri. Adapun urutan teoritiknya sebagai berikut : 1. Sumber-sumber ilmu dakwah, yakni meliputi nash/teks (otoritas suci), al-khabar dan al-ijma` (otoritas salaf), kemudian realitas termasuk di dalamnya alam, sosial, dan humanitas (dalam keilmuan keislaman dikenal dengan Tuhan {teosentris}, manusia {antroposentris} dan alam {kosmosentris}). Pada dataran nash atau teks dalam pengertian Al-Qur’an, dijadikan sebagai acuan utama dan sekaligus titik tolak keilmuan dakwah yang kemudian teks hadis menempati sumber kedua dan diikuti realitas sosial, dan humanitas. Inilah sesungguhnya yang dibangun penulis bahwa pada wilayah ini merupakan dakwah normatif yang lebih bersifat tetap dan tidak berubah-ubah, kecuali bangunan realitasnya seperti sosial dan humanitas. 2. Metode dan proses-proses atau prosedur keilmuan dakwah, yakni ijtihadiyah, istinbatiyah, qiyas, dan abstraksi. Pada dataran ini, keilmuan dakwah lebih bersifat dinamik yang mengandalkan episteme rasio, di mana akal mencoba difungsikan untuk membumikan teks-teks itu tadi. Oleh karena itu, ilmu-ilmu bantu seperti psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah peradaban modern dan kontemporer serta filsafat mempunyai andil besar dalam setiap kajian riset maupun literernya. Di sinilah sesungguhnya ilmu dakwah itu mempunyai jaringan antar disiplin dengan berbagai ilmu yang ada. Sekalipun demikian, bukan berarti ilmu dakwah itu bisa langsung dikatakan sebagai "ilmu antar disiplin".
3. Pendekatan (approach) keilmuan dakwah, yakni bahasa (lughawiyah), filosofis, psikologi, sosiologi, antropologi, etik, estetik, dan hal-hal yang terkait eras dengan scientifik atau ilmu bantu sejauh dibenarkan secara etik akademik. Pada dataran ini, pendekatan yang dimaksudkan lebih kepada sejauhmana tingkat kebenaran ilmu itu. Sehingga dari sini diharapkan ilmu dakwah itu mampu menghadapi berbagai perubahan masyarakat yang ada berdasarkan dinamika ilmu dakwah itu sendiri. Inilah sesungguhnya yang membedakannya dengan tingkat kebenaran agama. 4. Kerangka teoritik ilmu dakwah, yakni pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks/nash, pola pikir induktif berdasar pengalaman dan kenyataan realitas, qiyas, dan premis-premis logika dan silogisme. 5. Fungsi dan peran akal dalam ilmu dakwah, yakni akal difungsikan sebagai pengekang hawa nafsu atau pengatur hawa nafsu dan juga sebagai alat pengukuhan kebenaran atas Kebenaran Mutlak, yang tentu saja hal ini di awali dengan melakukan analisis dan refleksi atas kausalitas (sebab akibat). 6. Tipe argumentasi ilmu dakwah, yakni apologetik, dialektik (jadaly), dogmatik, dan eksplorasi-verifikatif. Pada wilayah apologetik dan dogmatik hanya diperlukan ketika menempatkan teks atau nash khususnya Al-Qur’an dalam wilayah yang seharusnya, artinya, bahwa Al-Qur’an tidak bisa diganggu gugat dengan melakukan, misalnya saja mereduksi ayat dalam rangka menyesuaikan dengan realitas yang ada. Sekalipun demikian, eksplorasi keilmuannya tetap pada wilayah dinamika ilmu, yakni menerima perubahan dan terbuka terhadap kebenaran ilmu lain sebagai pembanding sekaligus ilmu bantu. 7. Tolok ukur validitas keilmuan dakwah, yakni ada kedekatan dan relasi kuasa antara teks dengan konteks sebagai realitas, dan korespondensi yang berdasar data dan fakta dari kenyataan-kenyataannya. 8. Prinsip-prinsip dasar ilmu dakwah, yakni analogi deduktif dan induktif, qiyas dan prinsip kausalitas. Artinya, bahwa prinsip dasar ilmu dakwah itu selain menempatkan Al-Qur’an dan Hadis khususnya sebagai prinsip fundamentalnya, juga tidak terlepas dari kenyataan yang melatarbelakangi bahwa ada
57 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
58 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
keterkaitan erat antara relasi data dan fakta; sebab akibat; dan teks dengan konteks. 9. Kelompok ilmu-ilmu bantu dalam keilmuan dakwah, yakni filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi, sejarah peradaban kontemporer, ilmu komunikasi dan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip komunikasi pada umumnya. Khususnya, social sciences dan human sciences. Pada wilayah kelompok ilmu-ilmu bantu, sesungguhnya lebih dimaksudkan sebagai "kacamata" pandang dalam melihat persoalanpersoalan yang ada, sekaligus untuk menunjukkan bahwa validitas ilmu dakwah sesungguhnya mempunyai kesejajaran dengan ilmu-ilmu bantu lainnya. Dengan demikian, bukan berarti ilmu dakwah itu di bawah ilmu-ilmu lain (struktural) tetapi lebih pada kesejajaran dan fungsionalnya pada tingkat kebenaran ilmu dalam mencari dan menangkap kebenaran. 10. Hubungan subjek dan objek ilmu dakwah, yakni ada keterkaitan secara objektif dan subjektif. Artinya, dalam struktur keilmuan dakwah antara subjek dan objek tidak dimaksudkan saling mengatasi (atas-bawah) tetapi lebih menempatkan pada sisi fungsionalitasnya terhadap, realitas keilmuan lain. Di samping itu juga, penjelasan ini sama halnya dengan adanya keterkaitan erat antara realitas teks dengan konteks. Dengan demikian, maka jelas sekali bahwa ilmu dakwah sesungguhnya mempunyai struktur keilmuan yang jelas dan konkret sebagaimana halnya ilmu-ilmu lain. Hanya saja, hal ini bisa dikatakan demikian manakala posisi ilmu dakwah dalam setiap kajian-kajiannya tetap berada pada wilayah tingkat kebenaran ilmu, dan bukan tingkat kebenaran agama. Sebab bagaimana pun juga ilmu dakwah tidak sama sebangun dengan agama. Dari penjelasan tersebut di atas dapat diambil beberapa pengertian umum, di antaranya, pada dataran dakwah normatif,86
cara dan sumber pengetahuan dalam ilmu dakwah berasal dari teks atau nash sebagai otoritas suci dan al-khabar atau al-ijma’ sebagai titik tolaknya dan begitu seterusnya sampai dengan penjelasan hubungan objek dan subjek sebagaimana dijelaskan. Sedangkan pada dataran dakwah historis, yang bersumbernya dari realitas termasuk di dalamnya ilmu sosial, alam dan kemanusiaan dan begitu seterusnya sampai dengan hubungan antara subjek dan objek. Dengan demikian, maka berdasarkan sumber pengetahuan sebagaimana dijelaskan di atas, jelas sekali bahwa ilmu dakwah lebih dekat dengan nuansa pengetahuan bayani dan burhani dalam aplikasi keilmuannya baik itu sebagai pure science (ilmu murni) maupun applied science (ilmu terapan). Memahami ketiga bentuk di atas mutlak secara keilmuan mengingat keilmuan dakwah pada dasarnya tidak terlepas dari dua hal, yakni secara empirik sebagaimana terlihat dari objek ilmu dakwah yang terkait eras dengan ilmu bantu lainnya, dan secara pemikiran keislaman sebagaimana terlihat dalam kajian-kajian teks atau nash khususnya Al-Qur’an sebagai titik tolak dan tolok ukur normatifnya. Inilah sesungguhnya dimensi epistemologis keilmuan dakwah Islam yang perlu dikembangkan ke depan dengan tetap meletakkan wacana perubahan dan pluralitas keilmuan secara paradigmatik.
Istilah dakwah normatif dan dakwah historis ini merupakan orisinalitas dan sekaligus merupakan tawaran metodologi terhadap dinamika dan perkembangan keilmuan dakwah yang sering penulis sampaikan dalam berbagai kegiatan akademik. Tawaran metodologis itu dengan melakukan
pembidangan atas pembedaan secara tegas dan jelas pengertian dakwah Islam itu menjadi dua hal : a. dakwah normatif, yakni dakwah Islam yang bersumber nash dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. yang dikaji secara sistematik-dialektis-hermeneutik agar ajaran moralnya dapat ditangkap secara utuh tanpa melakukan reduksi atas keduanya, dan b. dakwah historis, yakni dakwah Islam yang berkembang pasca Rasulullah saw. wafat sampai dengan saat sekarang ini yang dijadikan rujukan dan pertimbangan untuk memahami kedua sumber tersebut (Al-Qur’an dan Hadis). Sedangkan karakteristik dari dakwah historis ini adalah selalu terbuka untuk menerima perubahan, bertempat pada dataran serta wilayah keilmuan yang siap diuji tingkat kebenaran ilmunya, memberikan pemaknaan dan pemahaman kembali terhadap realitas dakwah yang ada. Inilah dakwah sebagai proses.
59 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
60 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
86
III. Kesimpulan Dalam tradisi keilmuan keIslaman secara umum, setidaknya ada tiga bentuk epistimologi yang berkembang, yakni epistimologi bayani, epistimologi irfani, dan epistimologi burhani. Seacara burhani, pola pikirnya bersumber dari teks/ nash, kemudian secara irfani pola pikirnya berpangkal pada zauq, qalb, atau intuisi, sedangkan secara burhani bersumber pada aktifitas intelektualitas untuk menetapkan kebenaran proposisi dengan metode deduktif, yaitu dengan cara mengkaitkan proposisi satu dengan lainnya yang bersifat aksiomatik. Dalam struktur kajian epistimologi Islam, keilmuan dakwah dikelompokkan kepada epistimologi bayani dan burhani. Secara bayani, sumber dan cara mendapatkan pengetahuan dalam ilmu dakwah berasal dari teks atau nash (Al- Qur’an dan Hadis) sebagai otoritas suci, empiriknya. Pada dataran ini, secara keilmuan lazim disebut sebagai dakwah normative, yang memiliki karakteristik lebih tetap, mutlak dan tidak berubah-ubah. Sedangkan secara burhani, bersumber dari realitas termasuk di dalamnya ilmu social, alam dan kemanusiaan. Pada dataran ini, seacra keilmuan lazim disebut dengan dakwah historis, yang memiliki karakteristik lebih terbuka, mengalami perubahan dinamika dan berubah-rubah berdasarkan paradigm dakwah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA A. Khudori Soleh, Epistemologi Irfani, www.khudorisoleh.blogspot.com., (19 Desember 2011). A.M.Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1991 A.Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim, (editor), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacara, 1989
61 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih alBukhari, Juz. V (Cet. III; Bairut: Dar Ibnu Kasir, 1407 H./1987 M.) Abu Salma, Sejarah Tafsir dan Perkembangannya, www.abusalma.wordpress.com Amil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam, Jakarta : Erlangga, 2002 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pers, 2002 Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1973 Hujair AH Sanaky, Dinamika Pemikiran dalam Islam, www.sanaky.staff.uii.ac.id, (19 Desember 2011 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta, 1976 Jacques Maritain, The Degrees of Knowledge, New York: Scribner, 1959 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991 Majid Fakhry, The Genius of Arab Civilization, Canada: MIT. Press, 1983 Mohammad Adlany, Esensi Pengetahuan dalam Irfan, www.teosophy.wordpress.com. Mudlor Ahmad, Ilmu dan Keinginan Tahu (Epistemologi dalam Filsafat), (Bandung: Trigenda, 1994 Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah : Kajian Ontologi Epistimologi dan Aksilogi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003 Muhammed 'Abid al-Jabiri, Bunyah al'Aql al-'Arabiy, Beirut: alMarkaz al-Tsaqafl al-'Arably, 1993 Muhammed 'Abid al-Jabiri, Bunyah al'Aql al-'Arabiy, Beirut: alMarkaz al-Tsaqafl al-'Arably, 1993. Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005 Musa Asy`arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 1999 Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Tafkir fi Zamam al-Takfir, Mesir: Sina Linnasyri, 1995 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta : Teras, 2009 62 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Noeng Muhadjir, Landasan Metodologi Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 S. Suriasumatri, J. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003 Subhi Mahmasam, Falsafatu at-Tasyri'fi al-Islam, Beirut: Dar al'Ilml al-Malayin, 1961. Subhi Mahmasam, Falsafatu at-Tasyri'fi al-Islam, Beirut: Dar al'Ilml al-Malayin, 1961 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Bandung : The Science and Tecnolody Stues Foundation, 1987 Tim Penyusun Kurikulum Nasional Fakultas Dakwah, Kurikulum Nasional Fakultas Dakwah IAIN, Jakarta, Departemen Agama R.I., 1994
KADERISASI ULAMA PEREMPUAN DI JAWA TENGAH Oleh: Hatta Abdul Malik∗ Abstract Islamic Boarding school as an institution of clerical/Muslim leader cadre's since 1970 has opened up education for female students (santriwati) until now. The amount of santriwati learning in Islamic boarding school also not inferior to male students there. However, very few women of Muslim leader compared the presence of male Muslim leader who very much. From the results of this research ‘note that the lack of presence of scholars of women due to several factors: (1) there are still many Islamic boarding School (Kyai, male students and female students santriwati) which looked at women in the domestic realm can not be a family leader, (2) Women in the social sphere have the same rights with men, although some have argued should not be, (3) in the realm of religious women get very dogmatic position. Although the schools curriculum provide the same education between men and women, but in practice is still found gender bias. Santriwati inability to resolve the problem, still require the help of male students. Deficiencies of curriculum schools, there are not special education for women to dare to come and be a driver in front of people. Keyword: cadres, Muslim leader, women, Kyai, students.
A. Pendahuluan Ulama merupakan orang yang mempunyai pengetahuan kawniyyah (fenomena alam) dan qur’aniyyah. Keberadaan ulama seperti itu merupakan sosok yang selalu memikirkan penciptaan
langit dan bumi agar bertasbih kepada Allah (Shihab, 1994:382). Istilah ulama, dalam masyarakat dikenal istilah
∗
Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo semarang
63 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
64 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
yang relatif serupa, misalnya; kyai (Jawa), ajengan (Sunda), buya (Minang), tengku (Aceh), tofanrita (Sulawesi Selatan) dan masih banyak istilah lain seperti sunan (susuhunan), panembahan, wali, atau muballigh dan ustadz (Jaiz, 2001). Semua istilah tersebut di atas biasanya disematkan untuk orang yang mempunyai keahlian di bidang ilmu agama. Ulama sesungguhnya bukanlah dominasi laki-laki, karena di Jawa misalnya dikenal juga istilah Bu Nyai, tetapi jumlah Bu Nyai ini tidak sebanyak Kyai, karena sebutan Bu Nyai ini lebih banyak digunakan untuk menyebut istri Pak Kyai dibandingkan sebutan untuk perempuan yang memang memiliki kualifikasi keulamaan, meskipun ada juga istri pak Kyai yang memang memiliki kualifikasi keulamaan. Dalam struktur MUI dan lembaga keagamaan yang lainnya peran perempuan sangatlah minim dan ada dalam pusaran peran-peran stereotip. Sebagai contoh di MUI Jateng dari 114 jumlah pengurusnya 93% adalah laki-laki sementara perempuan 7%. Itupun perempuan ada dalam posisi anggota komisi Pemberdayaan Perempuan dan Pemuda. Pada saat berlangsung Rakorda MUI se Jawa Lampung tanggal 10-12 Desember 2010, tidak ada satupun pengurus MUI Provinsi dan Kabupaten/Kota dari unsur perempuan yang hadir, keculai 1 orang dari MUI Pusat dan 3 orang pengurus MUI Provinsi Jateng sebagai lokasi penyelenggaraan event tersebut. Menurut Rohadi Abdul Fatah (2010), minimnya kontribusi ulama perempuan disebabkan nihilnya sosok yang berkarisma dan berwibawa tinggi, baik dari segi keilmuan, kemampuan berdikari, maupun kesahajaan. Pada tingkat grassroot, ulama perempuan yang terlibat secara aktif dalam pembinaan dan pelayanan umat masih sangat sedikit. Tercatat hanya sebanyak 23,489 persen penyuluh agama perempuan yang tersebar di seluruh Indonesia.87 Dalam lintasan sejarah,
perempuan telah terbukti mampu seperti sosok tokoh-tokoh historis seperti Nyai Ahmad Dahlan, HR Rasuna Said, Sholihah A.Wahid Hasyim, serta tokoh-tokoh kontemporer seperti Aisyah Aminy, Lutfiah Sungkar, dan Rofiqoh Darto Wahab (Burhanudin, 2008:xxxii) Jika kita bicara soal kualitas diri perempuan, dalam konteks keulamaan, maka kita harus menegok lembaga yang paling berkompeten, yaitu Pesantren, karena lembaga pencetak ulama selama ini memang menjadi dominasi pesantren.88 Pesantren sering diidentifikasi memiliki tiga peran penting dalam masyarakat Indonesia : (1) Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, (2) Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, dan (3) Sebagai pusat reproduksi Ulama. Lebih dari itu, pesantren tidak hanya memainkan ketiga peran tersebut, tetapi juga menjadi pusat penyuluhan kesehatan; pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan; pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya.(Qomar, 2006:26). Keberadaan pesantren yang senantiasa konsisten dalam sikap dan keyakinan agama dan selalu berorientasi kemasyarakatan telah menjadikannya sebagai lembaga yang terjaga eksistensinya. (Raharjo:1985) Menurut Zamakhsyari, ponpes perempuan telah didirikan sejah tahun 1910-an. Dari hasil penelitiannya di sejumlah pesantren, ia menyatakan bahwa jumlah santri perempuan sangat besar. Rata-rata sekitar 60% dari santri laki-laki. Di Cukir Tebuireng Jombang misalnya, jumlah santri putri yang tinggal di pondok pada tahun 1978 ada 1100 orang. (Dhofier, 1982). Sangatlah menarik, manakala pesantren yang telah lama membuka pendidikan bagi kaum perempuan, namun jumlah ulama perempuan sangat minim bila dibandingkan
87
Penduduk Jateng 32,380. 687 jiwa terdiri dari 16.081.140 laki‐laki (49.7%) dan 16.299.543 perempuan (51,3% ). Belum ditemukan data pilah gender berdasar agama yang dipeluk. Penduduk Jateng Pemeluk Islam 88% dari total penduduk
65 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
88
Di Jateng terdapat 3,58 ribu Ponpes dengan 901 ribu Kyai, 33,43 ribu ustadz dan 500,89 ribu santri. (Sumber Bappega Jateng : Jateng dalam Angka 2009). Data ini tidak pilah gender
66 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
dengan ulama laki-laki. Oleh karena itu penelitian ini berusaha mengungkap bagaimana pesantren mengkader santri-santri perempuan agar menjadi ulama perempuan.yang mampu mensetarakan dirinya dengan ulama laki-laki. B. Ulama Perempuan dalam Islam Secara normatif, term ulama’ di dalam al-Qur’an di antaranya disebutkan di dalam Surat Fathir, ayat 83: “Innamaa Yakhsyallaha min ‘Ibadihil ‘Ulama’u” (hambahamba Allah yang paling takut [berbuat maksiat kepada Allah] hanyalah para ‘ulama’). Secara etimologis ini, ulama’ adalah orang yang berilmu (berpengetahuan). Makna ini kemudian dipersempit Quraish Shihab (1994), ulama adalah orang yang mempunyai pengetahuan kawniyyah (fenomena alam) dan qur’aniyyah. Keberadaan ulama yang mempunyai pengetahuan kawniyyah (fenomena Alam) dan qur’aniyyah adalah ulama yang selalu memikirkan penciptaan langit dan bumi agar bertasbih kepada Allah. Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya Jajat Burhanuddin (2008:xxviii) penggunaan istilah ‘ulama perempuan” jika dilihat dari perspektif gender, mengandung “contadictio in terminis”. Istilah “ulama” sejak awal penggunaannya merupakan istilah “gender neutral”. Dalam bahasa Arab tidak ada padanan mu’annats (perempuan)-nya. Artinya, istilah “ulama” bisa mengacu pada ulama laki-laki atau pun perempuan tanpa harus menambahkan kata “lakilaki” atau “perempuan” di belakangnya. Karena itu, penambahan istilah perempuan justru menjadikan istilah “ulama” menajdi gender bias. Kita dapat memberikan semacam kategorisasi yang sedikit rinci dan longgar dari ulama-ulama perempuan yang biografinya tercakup dalam karya ini. Kategori pertama adalah “ulama kampus” yang meliputi Rahmah el-Yunusiyah, Zakiah Darajat, dan agaknya Tuti Alawiyah. Kategori kedua “ulama pesantren” yang mencakup Sholihah A. Wahid Hasyim, Hajah Chamnah, Hajah Nonoh Hasanah, dan agaknya juga Suryani Thahir. Kategori ketiga “ulama organisasi sosial-keagamaan” yang mencakup Nyai Ahmad
67 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Dahlan, Sholihah A. Wahid Hasyim, Tutty Alawiyah, Hadiyah Salim, dan Suryani Thahir. Kategori keempat “ulama aktivis sosial-politik” yang mencakup Hajjah Rangkayo Rasuna Said, Nyai Ahmad Dahlan, dan Aisah Amini. Kategori kelima “ulama tabligh” mencakup Lutfiah Sungkar dan Rofiqah Darto Wahhab. Ulama-ulama perempuan Indonesia ini hampir dapat dipastikan merupakan tokoh-tokoh yang memiliki keistimewaan dan keunggulan dalam bidang keagamaan. Sebenarnya dengan kategori yang relatif longgar seperti itu, sangat terbuka peluang mengembangkan penelitian biografi sosio-intelektual yang mencakup masih banyak tokoh ulama perempuan lainnya. C. Reproduksi Ulama Perempuan Sebagaimana uraian di atas, sangat sulit bagi perempuan di Timur Tengah untuk menjadi ulama. Ada beberapa alasan sebagaimana dikemukakan Berkey. Pertama, peran sangat terbatas yang diberikan kepada perempuan, yakni terbatas pada domestic sphere dan tidak pada public sphere. Kedua, sikap ambivalen orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat, khususnya para ulama (lakilaki) terhadap keterlibatan perempuan dalam dunia keulamaan dan bahkan keilmuan secara umum. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kenyataan, dunia masyarakat Muslim Timur Tengah adalah dunia laki-laki yang lebih dominan. Akibatnya, para peneliti pun memberikan perhatian hanya kepada dunia laki-laki Timur Tengah (Fernea dan Fernea, 1978: 385). Tetapi, peluang bagi perempuan bukan tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan karena dua hal; pertama, ketegaran perempuan itu sendiri dalam menghadapi lingkungan sosial yang kurang berpihak kepadanya, dan kedua, tuntutan Islam yang sangat kuat terhadap perempuan sebagaimana terhadap laki-laki untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu, menarik untuk mengutip peringatan penting yang dikemukakan Beck (1980:29-30), bahwa peneliti cenderung melupakan perspektif lebih luas dalam melihat posisi perempuan yang marginal dalam duania
68 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
keulamaan dan keilmuan. Beck berargumen bahwa bukan hanya perempuan yang mengalami marginalisasi dalam hal ini, tetapi juga kaum laki-laki, terutama di lapisan bawah. Sementara itu, perempuan lapisan kelas atas –seperti laki-laki dalam kelas sosial yang sama-, memiliki akses yang lebih besar untuk terlibat dalam kehidupan sosial-keagamaan dan bahkan politik. Biografi sosial-intelektual ulama perempuan Indonesia kelihatannya juga membenarkan argumen Berkey dan Beck tentang ulama perempuan di Timur Tengah. Sebagian besar mereka berasal dari keluarga dan lingkungan sosial keagamaan yang sangat memahami pentingnya ilmu bagi perempuan. Bahkan cukup banyak di antara mereka berada di lingkungan keilmuan Islam itu sendiri, seperti Pesantren dan Madrasah semacam Diniyah Putri. Tentu saja, laki-laki yang terlibat dalam lembaga pendidikan dan keilmuan seperti ini; apakah suami atau orang tua mereka sendiri, memberikan dorongan yang kuat dan peluang bagi mereka untuk mengembangkan ilmu dan keulamaan mereka. Hal yang sama juga terlihat dalam kasus ulama perempuan yang banyak terlibat dalam aktivisme gerakan dan sosial Islam, seperti Rangkayo Rasuna Said, Nyai Ahmad Dahlan, dan Tutty Alawiyah. Masing-masing ulama perempuan yang diteliti PPIM tersebut, dengan keunggulan dan cara sendiri-sendiri telah mendorong proses reproduksi lebih lanjut bagi munculnya ulama perempuan, aktivis sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Mereka dapat menjadi mago ideal (gambaran ideal) bukan hanya bagi kaum perempuan, melainkan juga bagi kaum laki-laki. Meskipun sulit diketahui dan diukur secara pasti, ulama perempuan yang diteliti PPIM ini telah mendorong kemunculan perempuan secara lebih intens ke depan publik. Mereka bahkan memainkan peran penting dalam pemberdayaan perempuan di lembaga sosialkeagamaan yang sering berkaitan dengan dunia perempuan, seperti Majelis Ta’lim. Peran mereka bahkan melewati batasbatas keagamaan dan wilayah. Aisyah Amini sering disebut sebagai “darling of Indonesian politics” sejak keterlibatannya di DPR/MPR. Rahmah el-Yunusiyah dengan Diniyyah School 69 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Putri-nya menyebarkan upaya pemberdayaan perempuan tidak hanya di Minangkabau melainkan juga sampai ke Semenanjung Malaya. Namun masih banyak ulama perempuan yang belum diungkap oleh penelitian PPIM UIN Syarif. Karena itu, Azra menegaskan bahwa usaha-usaha untuk meneliti, menggali socio-historical course tentang ulama perempuan merupakan upaya yang senantiasa perlu untuk dilakukan. D. Perempuan di Pesantren Mulai sekitar tahun 1910, pesantren dan madrasah adalah lembaga laki-laki saja. Hanya beberapa perempuan, terutama dari keluarga saleh, menerima pelajaran agama, tetapi biasanya disediakan oleh para guru diundang ke rumahrumah atau melalui studi agama resmi di masjid atau majelis ta’lim. Kemudian, beberapa pesantren membuka fasilitas yang terpisah khusus untuk anak perempuan. Yang pertama adalah pesantren Denanyar di distrik Jombang, didirikan pada tahun 1917. Sebelumnya, ada pengajian tarekat yaitu pendidikan yang hanya tersedia untuk perempuan. Ini terbatas pada pengetahuan dasar ajaran Islam (Dhofier, 1999). Pembukaan kompleks pesantren bagi santri perempuan menunjukkan bahwa ada tumbuh kesadaran di antara kiai dan perempuan Muslim di Indonesia tentang perlunya maju pendidikan Islam bagi perempuan. Pada kongres nasional 1931 di Banten, NU memperbolehkan pemimpin pendidikan resmi untuk perempuan sebagai akibat dari perdebatan tentang hak-hak perempuan untuk memiliki sekolah sendiri pesantren (Marcoes-Natsir, 2000). Dhofier (1999) mengemukakan pada tahun 1978, jumlah mahasiswa perempuan di Jawa pesantren relatif tinggi. Seperti rekanrekan pria, siswa perempuan datang dari tersebar luas daerah. Mereka diajarkan secara terpisah, dan sebagian besar dari guru mereka laki-laki. Jumlah santri perempuan meningkat pesat, terutama setelah beberapa pesantren perempuan didirikan di Jawa. Beberapa madrasah akhirnya menerima anak perempuan dan gerakan perempuan muda ke sekolahsekolah Islam telah meningkat, sampai saat ini pendaftaran
70 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
perempuan sama dengan atau melebihi laki-laki. Hal ini menantang asumsi bahwa gadis dan wanita memiliki sedikit kesempatan pendidikan di dunia Muslim. (Mahmood, 2005; Hefner & Zaman, 2007). Namun demikian, lembaga pesantren masih dianggap sebagai didominasi laki-laki. Ini berlaku beberapa keterbatasan perempuan, seperti preferensi untuk anak seorang kyai sebagai penggantinya kepemimpinan pesantren, bukan anak perempuan. Jika seorang kyai hanya memiliki anak perempuan, maka anak laki-laki secara hukum (menantu laki-laki) akan dipilih sebagai pemimpin masa depan pesantren. Perempuan instruktur, baik nyai (istri kiai) dan Ustadzah (guru perempuan), yang umumnya tidak diizinkan untuk mengajar santri laki-laki. Dalam organisasi mahasiswa, seorang santri juga akan lebih disukai untuk peringkat tinggi posisi seperti ketua, sedangkan santriwati akan diberikan peran yang diasumsikan sesuai sifatnya sebagai wanita, seperti sekretaris atau bendahara (seperti dikutip dalam Srimulyani, 2008). E. Pandangan pesantren (pengasuh, santri) tentang ulama' perempuan Term “ulama’ perempuan” dalam pandangan santriwan/santriwati Pesantren di Jawa Tengah didefinisikan bermacam-macam. Definisi santriwan/santriwati PPTQ Miftahul Huda Kaliwungu Kendal tentang ulama’ perempuan dapat disebutkan berikut ini: 1. Ulama perempuan adalah seorang perempuan yang berjuang, berkorban, berkhidmat pada masyarakat dengan menyebarkan syiar agama Islam demi memperoleh ridlo dari Allah swt; 2. Ulama’ perempuan adalah seorang wanita yang kemampuan ilmunya sudah melebihi dari rata-rata wanita lain yang tentunya wanita itu tingkat mahabbah kepada Allah itu tinggi, contohnya seperti Rabi’ah Adawiyyah; 3. Ulama’ adalah orang yang takut kepada Allah sebagaimana Firman Allah swt “innama yakhsya Allaha min ‘Ibadihil ‘ulama’u”; 71 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
4. Ulama’ perempuan adalah seorang wanita yang memperjuangkan panji-panji agama Islam walau mungkin berdakwah dengan keteladanannya atau dakwah dengan orasinya; 5. Ulama’ perempuan adalah seorang wanita yang dalam ilmu agamanya, mumpuni atau lumayan tinggi (mampu) dan terakui oleh masyarakat di sekitarnya atau di lingkungan ulama’ perempuan tersebut; 6. Ulama’ perempuan adalah orang alim dari golongan perempuan; 7. Ulama’ perempuan adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan baik sosial maupun agama dan dia dapat menyebarkan/mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya untuk kemanfaatan masyarakat serta kebutuhannya yang terpenting untuk menjunjung tinggi agama Islam; 8. Ulama perempuan adalah sosok yang mulia tentunya di hadapan Allah dan bisa menjaga dirinya juga kehormatannya sebagai perempuan yang alim juga bisa memperjuangkan agama Islam; Santriwan/santriwati Pondok Pesantren Roudlotul Muttaqin Polaman Mijen Semarang juga mendefinisikan ulama’ perempuan dengan definisi yang bermacam-macam sebagaimana dapat disebutkan berikut ini: 1. Ulama perempuan adalah seseorang wanita yang ahli dalam bidang ilmu keagamaan dan memiliki sifat-sifat terpuji; 2. Ulama perempuan adalah orang yang ahli dalam agama dan “andap asor” (rendah diri), lemah lembut dan beliau adalah sosok yang bisa kita patuhi; 3. Ulama perempuan adalah orang alim dalam bidang ilmu agama mampu menyampaikan akidah-akidah agama kepada umat dan mampu mengamalkannya; 4. Ulama perempuan adalah orang yang pandai atau alim dalam agama dan takut kepada Allah, bertaqwa kepada Allah di manapun, bagaimanapun, dan dalam kondisi apapun dan kapanpun; 5. Ulama perempuan adalah orang yang mempunyai sifat alim dalam agama, berpengetahuan luas dalam hal agama
72 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
dan dapat dijadikan panutan dan pegangan dalam hal agama/kebenaran; 6. Ulama perempuan adalah orang yang memegang teguh ilmu agama, yang ngalim-ngalimah yang bisa mengamalkan dari ilmu-ilmunya dan beliau adalah sebagai pewaris para nabi di zaman ini; 7. Ulama perempuan adalah orang yang menguasai segala ilmu terutamanya ilmu agama meskipun tidak terkenal dalam ibadah; 8. Ulama perempuan adalah orang alim (mengerti, paham) dengan ilmu agama dan berbagai fan (cabang-cabangnya) dan bisa mengamalkan (mengaplikasikan) ilmunya dalam kehidupannya; 9. Ulama perempuan adalah seseorang yang alim yang dapat menyebarkan tentang agama juga mempunyai akhlak yang mulia, serta mampu menyeimbangkan untuk dunia dan akherat; 10. Ulama perempuan adalah seseorang yang mengetahui hukum-hukum agama dan bisa mengatur kehidupannya sendiri dan masyarakat; 11. Ulama perempuan adalah orang yang alim (ahli agama) amil (menjalankan ilmunya) dan sholih. Secara umum, santriwan/santriwati mengakui bahwa dalam realitas terdapat sejumlah orang yang mereka kenal dapat dikategorikan sebagai ulama perempuan; baik di dalam maupun di luar Indonesia. Seperti; Rabi’ah al-Adawiyah, Hj. Lutfiyah Sunkar, dan Ustadzah Mamah Dedeh. Dalam skala lokal ada yang menyebutkan nama Ibu Nyai Nujr Mutmainnah Limbangan Boja Kendal. Namun sebagian santriwan/santriwati tidak mengetahui sosok orang yang dapat disebut sebagai ulama perempuan. Hal berdasarkan definisi ulama yang diartikan dengan orang yang takut kepada Allah, karena rasa takut itu tidak kelihatan (di dalam hati). Adapun pandangan Pesantren tentang peran perempuan dalam ranah domestik (kepala keluarga), masih didominasi pandangan tradisional yang menyatakan bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin (kepala rumah tangga). Mereka menjustifikasi pandangannya ini dengan bunyi tekstual QS. Al-Nisa; 34 “Ar-Rijalu Qawwamuna ‘alan Nisa’i 73 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
bimaa Fadldlola ba’dlohum ‘ala ba’dlin wa bimaa anfaquu min amwaalihim...”. Mereka masih memegang kuat ayat ini sebagai dalil lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Betapun hebatnya perempuan, di dalam keluarga perempuan tetap harus di bawah komando suaminya. Sedangkan pandangan santriwan/santriwati terkait peran perempuan dalam ranah sosial relatif longgar. Menurut mereka, perempuan bisa berperan dalam bidang sosial, karena hak dalam kesosialan itu sama antara laki-laki dan perempuan, seperti perempuan berdakwah dan memimpin kegiatan masyarakat. Bahkan ada yang menguatkan pendapatnya dengan fakta di masyarakat adanya perempuan yang ikut berperan dalam organisasi, duduk dalam kepengurusan suatu lembaga. Namun ada juga yang berpendapat perempuan pun tetap tidak boleh berperan dalam bidang sosial. Karena perempuan juga tidak boleh menjadi pemimpin di wilayah pubplik karena Rasulullah pernah melarang hal itu. Adapun pandangan santriwan/santriwati terkait peran perempuan dalam ranah keagamaan mereka berpandangan sangat dogmatis. Menurut mereka, agama memang memberikan ”batasan syar’i” bagi perempuan. Seperti perempuan tidak boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki, perempuan tidak boleh adzan, perempuan tidak boleh menjadi khatib. Menurut mereka, dalam ranah-ranah yang sudah ditentukan oleh syar’i tersebut perempuan memang dilarang. Namun dalam ranah keagamaan yang lain perempuan diberi peran yang sama dengan laki-laki, seperti mencari dan mengembangkan ilmu. F. Proses kaderisasi ulama perempuan di Pesantren Jawa Tengah Pondok pesantren belum mempunyai model kaderisasi yang baku. Model kaderisasi ulama perempuan di pesantren pada umumnya menitikberatkan pada penguatan kurikulum, kegiatan ekstra, proses pembentukan organisasi, pengenalan permasalahan sosial, penerjunan santri ke masyarakat. Pertama, di pondok pesantren Roudlotul Muttaqin Polaman 74 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
diselenggarakan tiga pendidikan formal, dan satu jenjang pendidikan informal. Secara umum kurikulum di Pesantren Roudlotul Muttaqin Polaman ini tidak membedakan antara santri putera dan santri puteri. Pada masing-masing tingkatan, mereka hanya dipisahkan tempat belajarnya saja. Kitab yang dipelajari juga tidak ada yang khusus laki-laki ataupun khusus perempuan. Kegiatan ekstra kurikuler (seperti diskusi reguler, olah raga, seni baca Quran, kaligrafi, keterampilan berbahasa Arab dan Inggris latihan berpidato, bahkan bagi santri senior ditempatkan di masyarakat di pengajian kamisan) dapat diikuti oleh setiap santri dan memperoleh bimbingan yang setara. Kegiatan ekstra kurikuler di pesantren ini juga meliputi proses pembentukan organisasi, pengenalan permasalahan sosial dan penerjunan santri ke masyarakat. Di pesantren ini terbagi kepengurusan antara santri putra dan santri putri. Baik santri putra maupun santri putri mempunyai lurah masing-masing. Pemilihan lurah pondok dari aspirasi para santri. Namun ada fakta menarik berdasarkan wawancara dengan para santriwati, bahwa lurah santri putri selama ini malu untuk melakukan akses secara langsung terhadap Kyai, sehingga dalam menyampaikan aspirasinya mereka melalui lurah santri putra. Baru kemudian di kemukakan dalam forum rapat, lurah santri putra menyampaikan aspirasi dari lurah santri putri. Pesantren juga memberikan peluang terhadap santri putri untuk menjadi ketua panitia kegiatan yang diadakan oleh pesantren. Seperti Imtihan, ketua kepanitian digilir antara santri putra dan santri putri. Dan yang menjadi ketua panitia baik putra maupun putri juga harus memberikan sambutan ketua panitia dalam acara ceremonial yang diselenggarakan. Meskipun secara sekilas pesantren ini pendidikan antara santri putra dan santri putri setara, namun di pesantren ini belum memberikan peluang yang sama antara santri lakilaki dan santri perempuan. Para santri perempuan tidak dibiasakan untuk melakukan akses secara langsung kepada Kyai, sehingga terjadi rasa malu dari pihak santri perempuan untuk mengemukakan pendapat di hadapan Kyai. Selain itu para santri baik laki-laki dan perempuan tidak dididik cara 75 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
untuk menghadapi masyarakat atau apa yang harus dilakukan ketika mereka terjun ke dalam masyarakat. Sehingga banyak para santri tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika terjun di masyarakat. Konsep menjadi ulama, lebih hanya berada di depan podium, sehingga ulama sebagai pendamping masyarakat menjadi terabaikan. Kedua, di pondok pesantren Tahafudzul Qur’an (PPTQ) Miftahul Huda yang didirikan pada tahun 1990 oleh KH. A. Baduhun Badawi. Meskipun mengkhususkan pembelajaran al-Qur’an, namun pesantren ini juga memberikan kesempatan santrinya untuk menempuh pendidikan formal dari SD/MI sampai perguruan tinggi. Selain itu juga ada ajang khitobah antar santri, tetapi dibedakan antara santri dan santriwati. Pesantren ini juga menerima santri dewasa putra dan putri. Kepengurusan santri dan santriwati dibedakan, dan baik satri maupun maupun santriwati mempunyai lurah masing-masing. Pemilihan lurah pondok putra dan lurah pondok putri tidak berdasarkan pemilihan dari santri, namun penunjukan langsung oleh kyai. Baik pengurus santri dan santriwati mempunyai akses yang sama untuk mengutarakan persoalan pondok kepada kyai. Namun kepengurusan ini terjadi bias gender manakala diadakan sweeping HP di pesantren (pesantren ini melarang para santri membawa alat komunikasi HP). Untuk sweeping HP santri putra dilaksanakan oleh pengurus putra. Sedangkan sweeping HP di tempat santriwati pengurus putri meminta bantuan santri putra untuk mendampingi dalam aksinya. Aktivitas PPTQ di masyarakat biasanya hanya mengirim para santri untuk mengadakan semakan al-Qur’an, hal ini disebabkan karena penekanan PPTQ Miftahul kepada santrinya hanya membaca dan menghafal al-Qur’an. Dari hasil wawancara dengan beberapa santri dan santriwati diketahui bahwa semua berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Perempuan hanya boleh memimpin di komunitas perempuan saja. Bahkan sebagian meyakini bahwa persoalan yang selalu mendera Kabupaten Kendal disebabkan bupatinya adalah seorang perempuan. Namun, mereka membolehkan seorang
76 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
perempuan mengingatkan kesalahan yang dilakukan oleh laki-laki. Ketiga, di pondok pesantren al-Muayyad Windan yang diasuh KH. Dian Nafi’, MPd yang merupakan keponakan dari pendiri Pondok Pesantren al-Muayyad Mangkuyudan. Pola pendidikan di pondok ini dirancang bermuatan penempuhan kependidikan (suluk tarbawi) yang menumbuhkan hasil pembelajaran ke dalam kebiasaan pribadi santri bagi pembentukan karakter yang diharapkan. Muatan kurikulum di pondok ini terdiri dari dua muatan pokok yaitu pertama bidang pendalaman ilmu agama, kedua bidang pengembangan pribadi dan masyarakat. Seperti pesantren pada umumnya, mereka diberi pendalaman ilmu-ilmu agama mulai dari ilmu fiqih, akidah, tauhid, tasawuf, nahwu, hadits, dan tafsir. Penekanan pendidikan di Pesantren al-Muayyad Windan fokus kepada community development (pengembangan masyarakat). Metode yang diterapkan untuk pembelajaran di PP. Al-Muayyad Windan menggunakan metode andragogi. Dalam bidang pengembangan pribadi dan masyarakat pihak pesantren menawarkan sejumlah kegiatan kepada para santri. Kegiatan tersebut dipilih oleh santri sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Untuk menunjang pengembangan pribadi santri sebagai modal dalam melakukan pengembangan masyarakat, pihak pesantren memberikan pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama Achievement Motivation Training (AMT) yang bertujuan menjawab pertanyaan Siapa Saya?. Kedua Pelatihan Manajemen Organisasi (PMO) yang bertujuan menjawab pertanyaan Saya dan Orang lain. Ketiga Kursus Pengembangan Masyarakat (KPM) yang bertujuan menjawab pertanyaan Saya untuk Orang lain. Setelah selesai mengikuti tranining 2 tahap ini, santri dianjurkan untuk mencari lapangan kerja yang sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki. Tidak sebanding jumlah santri perempuan dengan santri laki-laki di Pondok Pesantren al-Muayyad Windan disebabkan terbatasnya fasilitas yang tersedia di pesantren. Konstruksi bangunan pesantren hanya untuk santri laki-laki, 77 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
hal ini disebabkan bangunan yang ada merupakan hasil dari pembelian, bukan membangun dari awal. Di sisi lain pada mulanya hanya santri laki-laki yang ingin mondok di pesantren ini. Al-Muayyad Windan membatasi 65 santri lakilaki dan 10 santri perempuan. Namun, pada realitasnya hanya menampung kurang dari 41 santri laki-laki dan 8 santri perempuan. Namun tidak sebandingnya jumlah santri lakilaki dan perempuan bukan untuk memaksakan kebijakan untuk santri perempuan. Meskipun secara proporsional tidak seimbang, namun santri perempuan dan santri laki-laki mempunyai kesamaan atau keadilan hak dan tugas. Pesantren al Muayyad Windan tidak mengenal tugas laki-laki dan perempuan. Namun, tidak ada santri perempuan yang menggantikan kyai untuk mengajar sorogan dan bandongan. Santri perempuan yang mempunyai kemampuan untuk mengajar kitab, biasanya diminta membantu ke pesantren pusat al-Muayyad Mangkuyudan yang tidak jauh dari pesantren al-Muayyad Windan. Al-Muayyad Windan juga membuat Pusat Studi Perempuan (PSP), yang berusaha memberdayakan perempuan, tidak terkecuali perempuan di sekitar pesantren. Dari penelitian tiga pesantren di atas menunjukkan bahwa meskipun pesantren memberikan pendidikan yang setara terhadap santriwati, tetapi masih menyisakan subordinasi kepada perempuan. Dari ketiga pesantren, hanya dua yang memberikan pelatihan khitobah pidato bagi santri dan santriwati. Hanya pesantren al-Muayyad Windan yang tidak memberikan pelatihan khitobah (pidato), namun alMuayyad Windan memberikan santri dan santriwati pelatihan pendampingan masyarakat. Hal ini disebabkan pandangan kyai yang berbeda tentang sosok ulama. Ulama oleh sebagian kyai diartikan orang yang ahli agama, selalu berbicara tentang agama dan menyelesaikan persoalan-persoalan agama. Sedangkan Kyai Dian Nafi’ pengasuh pesantren Windan berpendapat bahwa Ulama adalah orang yang mempunyai pengetahuan agama dan mampu menyelesaikan persoalan masyarakat sekitar. Bahkan di Windan mempunyai Pusat Studi Perempuan (PSP) yang berusaha mendampingi perempuan untuk setara dengan laki-laki. Namun di al78 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Muayyad Windan masih menyisakan subordinasi terhadap perempuan dalam jumlah santriwati yang diterima di Pesantren. Meskipun beralasan bahwa karena kondisi gedung yang ada tidak memungkinkan untuk menerima santriwati sebanding dengan santri laki-laki, ini menunjukkan bahwa alMuayyad Windan lebih memprioritaskan laki-laki dibanding perempuan. Perbedaan pendidikan santri dari ketiga pesantren juga memberikan variasi yang berbeda-beda dalam kaderisasi ulama perempuan. Di PPTQ Miftahul Huda santri mulai dari SD sampai mahasiswa. Di PP Roudlotul Muttaqin Polaman, pendidikan santri dari MTs sampai MA. Sedangkan di alMuayyad Windan santri hanya dari kalangan mahasiswa saja. Pesantren yang santrinya berpendidikan SD sampai Mahasiswa seperti di PPTQ Miftahul Huda hanya memfokuskan pada hafalan al-Qur’an, sehingga berbagai aspek pendidikan agak terabaikan. Sedangkan di PP Roudlotul Muttaqin karena juga memberikan pendidikan formal, maka yang lemah dari kaderisasi ulama perempuan ada di kegiatan ekstra pondok pesantren. Terbatasnya akses santriwati terhadap kyai dan informasi menunjukkan bahwa perempuan masih dinomorduakan meskipun diberikan kesempatan untuk tampil di depan publik. Dari ketiga pesantren yang paling lemah dalam kaderisasi ulama perempuan adalah di PPTQ Miftahul Huda. Hal ini dikarenakan PPTQ Miftahul Huda lebih menitikberatkan pada hafalan al-Qur’an, padahal syarat untuk menjadi ulama bukanlah hanya hafal al-Qur’an saja, melainan membutuhkan keahlian bidang ilmu agama lain yang lain seperti tafsir, fiqih, tasawuf dan sebagainya. G. Penutup Pandangan Pesantren terhadap perempuan masih di dominasi pandangan tradisional yang menyatakan bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin (kepala rumah tangga). Perempuan dalam ranah sosial relatif longgar. karena hak dalam kesosialan itu sama antara laki-laki dan perempuan, seperti perempuan berdakwah dan memimpin kegiatan
79 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
masyarakat, Meskipun ada yang berpendapat tidak boleh. Ranah keagamaan, perempuan dalam perspektif pesantren sangat dogmatis. Dalam ranah-ranah yang sudah ditentukan oleh syar’i tersebut perempuan memang dilarang. Namun dalam ranah keagamaan yang lain perempuan diberi peran yang sama dengan laki-laki, seperti mencari dan mengembangkan ilmu. Santriwati pada dasarnya mendapatkan pendidikan yang sama dengan santri laki-laki, namun kurang dalam aplikasinya. Pesantren dirasa membutuhkan pendidikan khusus yang memacu ketersediaan ulama perempuan. Seperti pelatihan untuk mengemukakan pendapat dan pengenalan problematika masyarakat dengan melakukan penerjunan langsung ke masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994. Azra, Azyumardi. Ulama perempuan dalam wacana Islam, Makalah seminar internasional. PPM IAIN Imam Bonjol. Padang, 1998 Burhanuddin, Jajat. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1982. Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist Press, 2008. Fauzia, Amelia. Oman Fathurahman. Tentang perempuan Islam: wacana dan gerakan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005. Ibrahim, Abdul Mun’im. Mendidik Anak Perempuan. Jakarta: Gema Insani. 2006.
80 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Ismail, Dr. Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan: Bias Lakilaki dalam penafsiran. Yogyakarta: LKiS, 2003. Kami, Asrori S. Etos Studi Kaum Santri : Wajah Baru Pendidikan Islam. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009. Moghissi, Haideh M. Maufur, Hidayatut Thoyibah. Feminisme dan fundamentalisme Islam. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. 2005 Muhammad, KH. Husein. Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Cet. IV. Yogyakarta: LKiS, 2007. Nuruzzaman, M. Kiai Husein Membela Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2005. Qomar, Mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta, PT. Erlangga. 2005. Soetandyo Wignyosubroto, Bahan Materi Kursus HAM dalam Aspek Historis dan Sosiologis Jakarta: ELSAM. Tahun 2005 Subhan, Arif, Citra Perempuan dalam Islam (Pandangan ORMAS Keagamaan). Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003 Widanti Agnes, “Hukum Yang Berkeadilan Gender”. Kompas Tahun 2005 Yusuf Supiandi. Bunga Rampai Pengarusutamaan Gender. Jakarta: Tahun 2008 Shihab, Quraish. Membumikan al-Qur’an.
BIMBINGAN PSIKO-RELIGIOUS BAGI PASIEN RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DI JAWA TENGAH (Formulasi Ideal Layanan Bimbingan dan Konseling Islam) Oleh : Komarudin* Abstract Model guidance and counseling for patients in hospitals is still limited to the provision of services doa, religious guidance, advice to be patient and put their trust to Allah, as well as assistance for patients who have al-death deathbed/dying (sakaratul maut). In fact, on the other hand the condition of patients in need of guidance is very diverse, thus requiring the application of methods, approaches, and models of different services. Therefore, the implementation of guidance and counseling services for patients in hospital need to be formulated in the form of appropriate service based on the needs and circumstances specified by the patients themselves. There are patients who only need guidance, but there are patients who typically require intensive treatment through the provision of counseling services. That’s why, the model seems to services for patients in theory should be categorized into two models, namely models of counseling services, which cater to regular patients, and the model of counseling services, for patients with special needs. This paper aims to describe the implementation of models of Islamic guidance and counseling services for patients in general hospitals in Central Java, and show that the service ideal formulation should be applied in order to meet/cater/fulfill the patient's needs and specifications. The ideal formulation of services for patient should be categorized into three models, namely models of guidance services, counseling services model, and model a combination of both. In addition, each service must be accompanied by the good and right recording process and all records documenting the results of administrative services.
81 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
82 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
terapi psikologi, terapi spiritual/psikoreligius.91
Keywords: Tasawuf and Psychotherapy, guidance, counseling, patient, hospital.
dan
terapi
Kegiatan layanan bimbingan dan konseling Islam di rumah sakit juga memiliki peran strategis dalam rangka mendukung upaya penyembuhan penyakit menurut perspektif ilmu kedokteran modern. Ini bisa dijelaskan lewat hubungan antara sistem kekebalan tubuh pada diri seseorang dengan kesehatan psikisnya. Dalam dunia ilmu kedokteran modern, hubungan keduanya dapat diterangkan dalam sebuah cabang ilmu ”psiko-neuro-endokrinologi”.92 Psiko-neuro-imunologi adalah suatu cabang ilmu yang mencari hubungan dua arah yaitu hubungan kondisi psikologis dengan susunan saraf pusat (otak) dan hubungan kondisi psikologis dengan sistem kekebalan tubuh, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi derajat kesehatan seseorang dan proses penyembuhan penyakit. Faktor psikologis yang bersifat negatif, ternyata dapat mengakibatkan kekebalan tubuh (imun) menurun. Di lain pihak faktor psikologis yang bersifat positif, dapat meningkatkan imunitas tubuh, sehingga orang tidak mudah jatuh sakit atau dapat mempercepat proses penyembuhan.93
A. Latar belakang Salah satu subyek garapan penting profesi alumni prodi Tasawuf dan Psikoterapi adalah memberikan bantuan tepat guna bagi para pasien yang terbaring sakit di rumahrumah sakit. Bentuk bantuan yang tepat guna bagi orang sakit seperti itu adalah dengan cara-cara yang memungkinkan diri pasien mendapatkan motivasi, hiburan, dukungan, sugesti, empati dan berbagai hal yang menyangkut aspek kejiwaan.89 Hal ini tidak lain merupakan bentuk kontekstualisasi ajaran Nabi tentang ‘i’âdah al-marîḍ, yakni menjenguk orang sakit. Selain itu urgensi cara-cara tersebut juga didasarkan pada hasil survey yang menunjukkan bahwa 91% dokter melaporkan bahwa pasien mereka mencari bantuan spiritual dan kerohanian untuk membantu menyembuhkan penyakitnya.90 Arti pentingnya pemberian bantuan spiritual bagi pasien seperti ini juga sejalan dengan rumusan kesehatan modern dari WHO tahun 1984, yang menyebutkan bahwa kesehatan itu memiliki empat dimensi yang sama-sama penting bagi kehidupan seseorang, yakni dimensi fisik, psikis, sosial, dan religius. Karena itu, bantuan terapi yang diberikan kepada orang yang sakit seharusnya meliputi terapi fisik/biologis,
Layanan bimbingan dan konseling dapat membantu pasien mencapai kondisi psikologis positif, yang dibutuhkan untuk mempercepat kesembuhan. Ada kenyataan bahwa pasien seringkali menunjukkan gejala psikomatis yaitu sakit fisik yang disebabkan oleh kondisi psikologis yang buruk.94 Melihat pentingnya layanan tersebut, tampak banyak rumah sakit yang mulai mengembangkan layanan bimbingan rohani bagi pasiennya. Maraknya pelaksanaan layanan bimbingan rohani Islam yang berjalan di berbagai rumah sakit seperti ini,
* Penulis adalah Dosen fakultas Dakwah IAIN Walisongo
psikososial,
91
90
Dadang Hawari, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1999, hlm. 28 92 Dadang Hawari, Kanker Payudara Dimensi Psikoreligius, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, hlm. 126. 93 Ibid 94 Kartono, Kartini, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam, Bandung : Modar Maju, 1989, hlm. 122.
83 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
84 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
89
Abdul Basit, Wacana Dakwah Kontemporer, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 141
Subandi,M. & Hasanat, N., Pengembangan Model Pelayanan Spiritual Bagi Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum, Laporan Penelitian,(tidak diterbitkan),Fakultas Psikologi, UGM, Yogyakarta, 1999, hlm. 7.
terutama pada rumah sakit umum daerah di Jawa Tengah, mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang formulasi ideal layanan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) bagi pasien rawat inap rumah sakit umum daerah di Jawa Tengah.
reduction, data display, dan conclusion drawing atau verification.95 Adapun beberapa rumah sakit yang dijadikan sebagai sampel penelitian adalah RSUD Tugurejo Semarang, RSUD Banyumas, RSUD Pekalongan, RSUD Soegondo Pati, RSUD Moewardi Solo, dan RSUD Magelang. Pemilihan sampel ini didasarkan pada peta eks Karesidenan yang ada di Jawa Tengah. Sementara, untuk memperoleh gambaran terkait model ideal yang dikehendaki oleh pihak rumah sakit dan pasien, maka diperlukan penerapan metode Focus Discussion Group (FGD) yang melibatkan pihak-pihak terkait.
B. Rumusan Masalah Uraian seperti di atas tentu menarik untuk dilakukan kajian lebih lanjut. Ada beberapa rumusan masalah yang dapat dikemukakan untuk melihat lebih jauh urgensi pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi pasien seperti di atas. Adapun rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
D. Landasan Konseptual
1. Bagaimanakah model-model layanan bimbingan dan konseling Islam bagi pasien yang telah berjalan di Rumah Sakit Umum Daerah di Jawa Tengah? 2. Bagaimanakah tingkat respon pasien rawat inap dan pimpinan manajemen rumah sakit terhadap layanan bimbingan dan konseling Islam yang telah ada? 3. Bagaimanakah model layanan bimbingan dan konseling Islam yang ideal bagi pasien rawat inap?
Salah satu subyek sasaran dari pelaksanaan praktek bimbingan rohani dalam disiplin Tasawuf dan Psikoterapi adalah sosok pasien 96 yang opname 97 di rumah sakit. Karakteristik pasien yang sakit bermacam-macam, ada yang tenang, selalu gelisah dan merintih, dan sebagainya. Jenisjenis pasien pun bermacam-macam, ada yang biasa, sedang, kronis, dan traumatis. Untuk pasien yang kronis dan traumatis ini perlu adanya bentuk pelayanan yang khusus, lebih pada segi psikologis untuk mengembalikan rasa percaya diri, merasa diperhatikan, diberi kasih sayang, penghargaan, dukungan morilnya.
C. Metodelogi Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskripstif. Sumber data yang digunakan berupa dokumen yang terkait dengan data-data tentang RS, hasil-hasil rapat evaluasi, pedoman operasional pelayanan BKI, jurnal harian petugas pelayanan BKI, dan laporan-laporan pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan BKI dan stakeholders yang terkait dengan pelayanan BKI seperti pasien, keluarga pasien, pegawai/karyawan RS, pimpinan RS, petugas pelayanan BKI. Semua data yang terkumpul dianalisis dengan mengikuti model analisa Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2007: 337), yang terbagi dalam beberapa tahap yaitu : data
Secara normatif, Islam memiliki ajaran tentang ‘i’âdah al-marîḍ, yakni ajaran tentang urgensi menjenguk orang sakit. Berdasar kajian ilmiah, hasil penelitian yang dilansir majalah time (1996) menunjukkan bahwa pada penderita sakit jantung dengan tingkat religiusitas tinggi (ditandai dengan memperbanyak doa) memiliki kesempatan 95
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta, 2007, hlm. 337. 96
Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 715. 97 Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Op.cit, hlm. 250.
85 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
86 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
hidup lebih lama dibanding mereka dengan tingkat religiusitas rendah.98 Agama (doa) diyakini memberikan daya coping pada seseorang. Dalam banyak hal, kondisi psikologis seseorang berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh (baik dalam arti positif maupun negatif), yang pada gilirannya merupakan faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan seseorang dalam proses penyembuhan suatu penyakit.99 Berdasarkan rumusan kesehatan modern dari WHO tahun 1984, disebutkan bahwa kesehatan itu memiliki empat dimensi yang sama-sama penting bagi kehidupan seseorang, yakni dimensi fisik, psikis, sosial, dan religius. Karena itu, bantuan terapi yang diberikan kepada orang yang sakit seharusnya meliputi terapi fisik/biologis, terapi psikologi, terapi psikososial, dan terapi spiritual/psikoreligius.100 Mengingat pentingnya memperhatikan keempat dimensi kesehatan seperti ini, maka perlu dikembangkan sistem pengobatan holistik di berbagai rumah sakit. Dimensi pengobatan bukan semata-mata difokuskan pada dimensi fisik seseorang, tetapi juga meliputi pengobatan pada dimensidimensi yang lain. Secara ideal tugas ini sebenarnya menyatu dalam tugas seorang dokter atau perawat,101 akan tetapi hal
ini tidak bisa dilakukan karena berbagai keterbatasan. Karena itu, kehadiran petugas rohani menjadi penting dalam rangka melengkapi keterbatasan layanan tersebut. Layanan bimbingan dan konseling bagi pasien seharusnya bukan sekedar berupa layanan pemberian do’a, pemberian nasehat untuk sabar dan tawakal kepada Allah, bimbingan ibadah, atau pendampingan pasien saat mengalami sakarat al-maut.102 Orang-orang yang menjadi petugas layanan bimbingan dan konseling haruslah merupakan orangorang yang memiliki kompetensi secara akademik dan skill (conceptual skill, human skill, dan technical skill) yang telah terlatih.103 Layanan bimbingan konseling bagi pasien seperti itu seharusnya dikategorisasikan menjadi model layanan bimbingan dan model layanan konseling. Model layanan bimbingan diarahkan untuk peningkatan motivasi dan keyakinan pasien untuk sembuh, sedang model layanan konseling dimaksudkan untuk membantu penemuan core problem yang menjadi akar penyebab bertambah parahnya sakit yang diderita pasien, melalui tahapan-tahapan konseling.104 Medika, 2009), hlm. 83 dan Potter, Patricia, dkk, Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik, Op.cit, hlm. 286-287
98
Dadang Hawari, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Op. Cit, hlm. 479 99 Dadang Hawari, Kanker Payudara Dimensi Psikoreligius, Jakarta : FK UI, 2004, hlm. 126 100 Dadang Hawari, Op.Cit., hlm. 28 101 Secara teoritis konsep keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan berbentuk pelayanan biologi, psikologi, sosial dan spiritual secara komprehensif, ditujukan pada individu, keluarga, dan masyarakat. Lihat La Ode Junaidi Gaffar, S. Kep, Pengantar Keperawatan Profesional, (Jakarta : ECG, 1999), hlm. 44. Konsep keperawatan ini pada akhirnya melahirkan berbagai peran dan fungsi yang melekat pada diri perawat yaitu manajer kasus, konsultan, konselor, peneliti, advokat, penyuluh, pemberi perawatan, rehabilisator, komunikator, pemodifikasi lingkungan, pendidik, koordinator, pemberi pelayanan lihat Agus Priyanto, Komunikasi Dan Konseling Aplikasi Dalam Sarana Pelayanan Kesehatan Untuk Perawat Dan Bidan, (Jakarta : Salemba
Yamien, Mohammad, “Komunikasi Efektif dalam Bimbingan Psikoreligius”, Kumpulan Makalah Forum Rakernas Mukisi I Tahun 2007, hlm. 1 103 Taufiq, Agus, “ Konseling Kelompok untuk Klien yang Memiliki Penyakit Kronis”, dalam Mamat Supriatna (ed), Pendidikan Dan Konseling Di Era Global........Op.cit, hlm. 331 104 Tahapan layanan konseling terbagi dalam tiga tahapan, yakni tahap awal, tahap pertengahan, dan tahap akhir. Dalam tahap awal, konselor dituntut untuk dapat menciptakan hubungan yang baik dan memiliki kreativitas yang tinggi agar dapat membawa klien pada proses konseling secara aktif. Tahap awal ini dapat disebut pula sebagai tahap eksplorasi, karena pada tahap ini konselor harus dapat menerapkan berbagai teknik agar klien dapat secara bebas dan terbuka mengemukakan masalah yang sedang dihadapi. Tahapan layanan konseling kedua adalah tahap kerja. Pada tahap ini berbagai proses analisis, sintesa, diagnosa dan prognosa konseling secara berurut-turut dilakukan oleh seorang konselor, sebelum melangkah pada tahap terakhir atau pemberian treatment atau pelaksanaan konseling itu sendiri. Sedangkan tahapan akhir
87 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
88 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
102
E. Beberapa Temuan Penelitian E.1. Praktek Layanan Bimbingan dan Konseling bagi Pasien di RSUD Jawa Tengah Berdasarkan data yang diperoleh dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi pasien masih belum berjalan maksimal. Sebagian telah memiliki tenaga rohaniawan, namun sebagian belum. Sebagian tenaga rohaniawan dirangkap oleh petugas pemulasaran jenazah atau petugas administrasi yang ada, sehingga pelaksanaan tugas-tugas layanan bimbingan dan konseling bagi pasien belum berjalan maksimal. Secara singkat gambaran pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi pasien di RSUD di Jawa tengah tersebut terlihat pada tabel berikut :
jenazah dan berada di bawah kendali bagian pelayanan rumah sakit. 2) Menerapkan Chashing bagi pasien yang mendapat layanan bimbingan dan konseling.
sekaligus sebagai koordinator petugas layanan bimbingan dan konseling bagi pasien
Unit Bina Rohani Islam sebagai pelaksana program
Terbagi menjadi dua, yakni (1) petugas khusus bimbingan
Tabel 3 : Pelaksanaan Layanan Bimbingan Rohani Pasien Di Rumah Sakit Milik Pemerintah Di Jawa Tengah Status Program Struktur & Keberadaan Kegiatan Dana Petugas BK Pelaksanaan BK Pasien 1. RSUD 1) Terintegrasi Dirangkap oleh 1) Tugurejo dengan pegawai Melaksanakan Semarang instalasi petugas program penanganan pemulasaran kunjungan ke pemulasaran jenazah yang pasien setiap No.
Nama Rumah Sakit
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling adalah berupa tahapan tindakan yang bertujuan agar klien mampu menciptakan tindakan-tindakan positif seperti perubahan perilaku dan emosi serta perencanaan masa depan. Pada tahap ini konselor dan klien telah membuat kesepakatan bersama tentang berbagai hal seperti jadwal pertemuan dan keputusan (alternatif bantuan) yang telah dipilih klien untuk mengatasi masalahnya. Pada tahap ini pula konselor sudah memulai melaksanakan evaluasi secara berkala yaitu melalui bentuk progress raport klien, yang kemudian akan menjadi acuan bagi pelaksanaaan layanan-layanan konseling berikutnya.
89 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
2.
RSUD Banyumas
90 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
hari untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling kepada pasien yang berada di masing-masing bangsal. 2) Memberikan layanan konseling bagi beberapa pasien yang memerlukan layanan khusus. 3) kerjasama dengan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang di bidang pemberian layanan bimbingan dan konseling bagi pasien. 4) melakukan kegiatan VCT bersama tim rumah sakit, yakni Volountary Conseling Test kepada penderita HIV & AIDs 1) Melaksanakan bimbingan rohani secara umum yang
layanan, tetapi masih terintegrasi dengan unit pemulasaran jenazah
3.
RSUD Pekalongan
Petugas layanan terintegrasi dalam tugas petugas pemulasaran jenazah, belum terdapat unit tersendiri
rohani sejumlah satu orang yang untuk sementara terintegrasi dalam sistem layanan pemulasaran jenazah, dan (2) menyatu dengan tugas para dokter, perawat, dan petugas medis lainnya. 3) telah memiliki gagasan untuk membuat protap layanan, karena belum jalan untuk sementara dilakukan secara konvensional
Baru tersedia petugaspetugas pemulasaran jenazah yang ditambahi tugas melaksanakan kegiatan bimbingan dan
91 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
melekat dalam pelaksanaan tugas para dokter, perawat, dan petugas medis yang ada, 2) melaksanakan bimbingan rohani secara khusus dalam bentuk layanan bimbingan do’a, shalat, tayamum, serta memotifasi pasien untuk sembuh, 3) memberikan layanan bimbingan dan konseling bagi keluarga pasien yang menunggu, dan 4) memberi layanan konseling bagi pasien yang memerlukan konsultasi khusus. 1) memberikan bimbingan do’a bagi pasien, 2) memotvasi pasien untuk tetap sabar dan beribadah serta bertawakal kepada Allah, 3) membimbing
4.
RSUD Soegondo Pati
5.
RSUD Moewardi Solo
Saat berada di bawah unit mutu rumah sakit sempat ada unit layanan bimbingan dan konseling bagi pasien, namun setelah unit mutu dihapus dan disatukan ke dalam Tata Usaha, unit layanan menjadi ikut tereliminir. Tugas pemberian layanan menyatu dengan petugas administrasi yang sebelumnya menjadi pegawai harian lepas di bidang layanan bimbingan rohani. Terdapat divisi “Pokjarois’ yang bergerak di bidang
konseling bagi pasien. Sebagian petugas ada yang lulusan SMP dan SMA. Status petugas belum mapan, masih berstatus pegawai harian lepas dan bahkan beralih ditugaskan di bagian administrasi TU. Meski ada yang memiliki latar belakang pendidikan S.1 agama/S.Ag, tetapi bukan dari lulusan jurusan BPI, (hanya lulusan fakultas Syari’ah).
1) Terdiri dari tenaga-tenaga pensiunan PNS Depag, yang
92 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
pasien yang sedang sakaratul maut, 4) melakukan pemulasaran jenazah. 1) sebatas memberikan motivasi dan bimbingan do’a bagi pasien, bimbingan shalat, puasa, dan tata cara shalat saat sakit bagi pasien muslim, 2) memberikan nasehat-nasehat keagamaan sepeti tentang ketakwaan kepada Allah, keikhlasan dalam menerima ujian sakit dari Allah, sikap saat mendapat musibah, 3) melayani konsultasi dan konseling bagi pasien yang memerlukan
1) Memberikan layanan bimbingan do’a bagi pasien, 2)
pemberian layanan bimbingan dan konseling bagi pasien, dan telah ter-SKkan oleh direktur rumah sakit, meski pendanaan tidak dari rumah sakit. Dana kegiatan berasal dari dana zakat, infak, dan shadaqah yang dihimpun oleh divisi LAZIS di rumah sakit.
6.
RSUD Magelang
1) Tidak memiliki struktur organisasi yang terkait dengan sistem layanan di rumah sakit 2) keberadaan layanan dikoordinasi
direkrut ke dalam divisi “Pokjarois”. 2) Perekrutan melalui test oleh divisi Pokjarois dan diusulkan mendapat SK penetapan oleh direktur rumah sakit. 3) telah memiliki Protap layanan bimbingan rohani pasien yang menjadi pegangan petugas
1) Kerjasama dengan pihak ke “Persamu”, yang secara kebetulan pesertanya merupakan orang-orang muslim yang menjadi pegawai atau
93 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
memberikan motivasi pasien untuk sembuh dari sakit, 3) memotivasi dan menasehati pasien untuk rajin beribadah kepada Allah, 4) menasehati pasien untuk tetap sabar dan bertawakal kepada Allah, dan 5) mendampingi dan memberikan bimbingan kalimat tauhid bagi pasien yang sedang sakarat almaut. 5) memberikan layanan konseling bagi pasien yang memiliki masalah khusus, meski belum 1) Melaksanakan layanan bimbingan do’a bagi pasien, 2) Memberi motivasi kepada pasien untuk sembuh, 3) Memberikan nasehat kepada
oleh organisasi “Persamu”, yakni persaudaraan muslim RSUD Tidar Magelang
karyawan di rumah sakit. 2) keikutsertaan untuk menjadi petugas berdasarkan panggilan hati dan ketertarikan terhadap programprogram kegiatan “Persamu”. 3) kegiatan bimbingan menyatu dengan pelaksanaan tugas pegawai atau karyawan
pasien untuk sabar dan bertawakkal kepada Allah, dan 5) membimbing pasien untuk tetap beribadah kepada Allah meski dalam keadaan sakit. 6) memberikan santunan fisik, yakni secara ekonomi seperti berupa bantuan finansial kepada pasien-pasien yang kurang mampu.
Keberadaan layanan bimbingan rohani bagi pasien tersebut ternyata mendapatkan respon positif, baik oleh fihak rumah sakit maupun dari pasien dan keluarga pasien. Secara singkat, respon yang ditunjukkan oleh pihak rumah sakit maupun pasien tersebut terekam dalam tabel berikut :
Tabel 4 : Respon Terhadap Keberadaan Layanan Bimbingan Rohani bagi Pasien Di rumah sakit milik Pemerintah di Jawa Tengah No.
Respon Pihak Rumah Sakit
1.
Memberi sugesti dan 1. mempercepat kesembuhan pasien Membantu tugas dokter 2.
2.
No.
94 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Respon Pasien dan Keluarga Memberikan motivasi dan mempercepat kesembuhan bagi pasien Menganggap penting
3.
4.
5.
6.
7. 8.
9.
dalam menyadarkan arti pentingnya berobat dan mengikuti saran-saran dokter Membantu memperlancar agenda pelaksanaan operasi Ada permintaan perekrutan dan penambahan petugas layanan Bimbingan rohani minimal 4 atau 6 orang Ada harapan kerjasama dengan pihak lain seperti depag/kemenag untuk menempatkan pegawainya di rumah sakit sebagai petugas rohani rumah sakit Meningkatkan citra pelayanan rumah sakit
dirasakan manfaatnya oleh pasien. Bahkan sebagian pasien berpandangan bahwa pelaksanaan layanan bimbingan rohani seperti itu tidak dirangkap oleh dokter atau perawat. Respons yang positif seperti ini diperkuat oleh jawaban pasien tentang kebutuhan akan pelayanan BKI bagi pasien di rumah sakit, yang dihimpun melalui angket penelitian yang disebarkan pada 60 pasien di lima rumah sakit di Jawa Tengah, diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Responden yang menyatakan Sangat Setuju (SS) berjumlah 12,083 % 2. Responden yang menyatakan Setuju (S) berjumlah 78,58% 3. Responden yang menyatakan Tidak Setuju (TS) berjumlah 8,16% 4. Responden yang menyatakan Sangat Tidak Setuju (STS) berjumlah 1,16 %
pengadaan layanan bimbingan rohani bagi pasien dan keluarga pasien 3.
Melatih belajar terhadap penyakit
4.
Memberikan keyakinan dan semangat untuk sembuh
5.
Memperkuat iman kepada Allah
6.
Pemberian bimbingan paling utama dilakukan oleh petugas khusus, tidak dirangkap oleh dokter atau perawat Memperingan beban penderitaan pasien Menambah pemahaman tentang agama
Memberi nilai tambah 7. dalam proses akreditasi Memberikan tambahan 8. income rumah sakit, seperti melalui penetapan cash untuk layanan bimbingan rohani bagi pasien Muncul solidaritas dan 9. kepedulian bersama di antara pegawai dan karyawan untuk tergerak memberikan layanan rohani bagi pasien, saat belum ada program resmi dari rumah sakit
sabar
E.2. Penerapan Formulasi Ideal Layanan BK : Persepsi Pihak Rumah Sakit dan Pasien Berdasarkan hasil forum Focus Discussion Group (FGD) dengan pihak rumah sakit,105 diperoleh beberapa kesepakatan mengenai formulasi ideal layanan bimbingan
Menyadarkan akan kekhilafan dan kesalahan masa lalu pasien
Tampak jelaslah bahwa pelaksanaan layanan bimbingan rohani bagi pasien memiliki arti penting, bukan saja bagi peningkatan citra layanan rumah sakit tetapi juga
95 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Namun, pelaksanaan layanan bimbingan rohani bagi pasien yang terdapat di masing-masing RSUD tersebut belum ada keseragaman dan masih banyak kekurangan.
105
Dalam penelitian ini semula forum FGD akan dilakukan dengan dua rumah sakit, yakni dengan pihak RSUP Karyadi Semarang dan RSUD Tugurejo Semarang, namun karena secara kelembagaan antara lembaga IAIN Walisongo belum memiliki ikatan kerjasama (MoU) dengan pihak RSUP Karyadi, maka forum FGD hanya dilakukan dengan satu pihak pihak, yakni dengan RSUD Tugurejo Semarang. Pertimbangan pengambilan satu rumah sakit untuk pelaksanaan FGD tersebut didasarkan keterbatasan waktu penelitian yang tidak memungkinkan digunakan untuk menunggu selesainya proses MoU.
96 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
dan konseling Islam bagi pasien di rumah sakit. Beberapa item kesepakatan tersebut adalah :106 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Layanan bimbingan dan konseling Islam tidak hanya sekedar memberikan layanan do’a atau bimbingan ibadah. Seorang petugas layanan atau konselor perlu mengetahui hasil diagnosa sakit pasien serta menguasai persoalan psikologis pasien sehingga yang bersangkutan mampu membangkitkan psikologis pasien Pelaksanaan kegiatan layanan perlu memperhatikan variasi keadaan pasien, baik dari aspek umur, psikhis, jenis penyakit, jenis pasien, dan jika perlu status sosial ekonomi pasien. Bidang kerja layanan bimbingan dan konseling Islam harus memiliki wilayah garapan yang jelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan bidang-bidang layanan yang lain, seperti bidang tugas layanan dokter, perawat, ataupun psikolog yang dimiliki rumah sakit. Jenis layanan yang memungkinkan dari efisiensi waktu adalah model layanan bimbingan, sedangkan model layanan konseling hanya bersifat situasional karena membutuhkan waktu yang lebih lama. Khusus untuk pemberian layanan konseling perlu mendapatkan persetujuan dari pihak pasien dan keluarga pasien, seperti dengan mengajukan inform concern yang perlu ditandatangi pihak pasien atau keluarga. Dalam pelaksanaan semua jenis layanan bimbingan dan konseling Islam perlu dilakukan pencatatan dengan baik dan benar, sebagaimana yang terdapat dalam layanan medis.
8.
Performa petugas pasien harus meyakinkan dan selalu berusaha tampil menarik, penuh simpati, dan respek di mata pasien.
Pelaksanaan kegiatan layanan seperti ini jika digabungkan dengan desain teoretis layanan bimbingan dan konseling Islam, maka akan menghasilkan formulasi model ideal layanan bimbingan dan konseling Islam sebagai berikut : Tabel 7 : Formulasi ideal Model Layanan BKI Hasil FGD Pemberian nasehat dan motivasi/keyakinan Model Layanan Bimbingan Layanan Ideal BKI
Bimbingan do’a dan dzikr Bimbingan Ibadah Bimbingan/Pendampingan sakaratul maut
Model Layanan Konseling
Pemberian bantuan menemukan core problem pasien, melalui tahapan-tahapan konseling
Model Gabungan Layanan Bimbingan dan Konseling
Bisa diawali dengan layanan bimbingan lalu diikuti dengan pemberian layanan konseling, atau sebaliknya
Model layanan bimbingan berisikan pemberian bantuan kepada seseorang agar yang bersangkutan mampu memahami lingkungannya dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Tujuan dari pemberian model layanan bimbingan seperti ini antara lain :107
106
Hasil penyarian forum Focus Discussion Group (FGD) dengan pihak Rumah Sakit Tugurejo Semarang, di RSUD Tugurejo hari Jum’at tanggal 26 Nopember 2010.
107
97 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
98 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Sudarwati, dr, “Peranan Petugas Rohani Dalam Membangun Citra Rumah Sakit”, Makalah Seminar Dan Lokakarya Nasional Jurusan BPI Fakultas Dakwah IAIN WS, Semarang 4 Desember 2004
memiliki “psychogical strenght” yang lemah.108 Dalam prakteknya layanan konseling bertujuan untuk mencapai kesehatan mental yang positif, yaitu konselor melakukan upaya pengembangan sikap serta ketahanan diri pasien dalam berjuang melawan penyakitnya. Kualitas mental inilah diharapkan pasien dapat membantu dirinya sendiri; mengurangi beban penderitaannya dan pada akhirnya pasien mampu menjalani hidupnya dengan lebih baik.
1)
Menyakinkan pasien untuk optimis terhadap kesembuhan penyakitnya 2) Meyakinkan pasien untuk mengikuti proses perawatan dengan baik sampai sembuh. 3) Menyadarkan pasien perihal berbagai konsep sehat dan sakit menurut ajaran islam 4) Memahamkan pasien bahwa kondisi kejiwaan sangat berpengaruh terhadap kesehatan jasmani. 5) Mengajak pasien untuk bersikap tenang dan sabar sebagai wujud terapi unuk mempercepat kesembuhan. 6) Membantu individu menyesuaikan diri terhadap gangguan kesehatan sepanjang siklus hidupnya. 7) Memberikan pertolongan kepada pasien yang mengalami kegelisahan dalam menghadapi penyakitnya. 8) Memberikan bimbingan tentang makna sakit secara agamis. 9) Mengajarkan kepada pasien untuk berikhtiar dalam menghadapi sakit yaitu berobat pada ahlinya (berikhtiar dengan cara-cara yang benar) 10) Mengingatkan pasein agar tetap mejalankan ibadah sesuai dengan kemampuannya 11) Mengusahakan agar pasien memperhatikan berbagai hal yang mendukung kesembuhan seperti kebersihan pakaian dan tempat tidur 12) Memberikan kekuatan moril kepada pasien yang akan menjalani operasi atau sedang kesakitan Adapun model layanan konseling secara spesifik berupa layanan khusus sesuai dengan kebutuhan, masalah, lingkungan baik fisik, non-fisik, maupun perilaku pasien. Layanan konseling merupakan proses timbal balik, kerjasama yang saling mengahargai, memperhatikan situasi interpersonal sesuai dengan sosial budaya klien untuk menuju pencapaian tujuan. Salah satunya dapat diberikan kepada pasien kronis atau terminal yang secara umum
99 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Layanan konseling seperti ini berbeda dengan layanan bimbingan yang lebih bersifat general, yakni diberikan kepada semua pasien tanpa memperhatikan persetujuan dari keluarga pasien atau rekomendasi dari dokter atau perawat. Layanan bimbingan dan konseling Islam seperti ini perlu diberikan juga kepada keluarga pasien, karena keluarga merupakan pihak yang berperan penting dalam mengambil keputusan terhadap status kesehatan pasien. Keluarga juga sering kali mendapat ekses negatif bila salah satu anggota keluarganya ada yang sakit. Selain dengan pemberian layanan yang tepat, proses pelaksanaan kegiatan layanan bimbingan dan konseling bagi pasien perlu disertai pencatatan terhadap hal-hal yang terkait dengan proses dan keadaan pasien penerima layanan. Melalui pencatatan yang tertib akan terlihat dengan jelas bentuk-bentuk bantuan yang telah diberikan kepada pasien serta berbagai tahapan layanan yang telah dan sedang berlangsung, serta penentuan agenda tahapan konseling berikutnya yang harus dilakukan. Hal-hal yang perlu dicatat dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling Islam seperti itu kemudian dituangkan dalam form “data rekam problem klien”. Secara singkat form catatan pelaksanaan kegiatan layanan bimbingan dan konseling Islam tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ; 108
Klien adalah seseorang yang mengalami kekurangan “psichological strenght” atau “daya psikologis” yaitu suatu kekuatan yang diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dalam keseluruhan hidupnya termasuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya, Muhammad Surya, Psikologi Konseling, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2003), hlm. 41
100 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
1. Form pencatatan untuk kegiatan model layanan bimbingan
E.3. Hasil Analisa Akhir Salah satu hal penting yang harus diperankan oleh petugas layanan bimbingan dan konseling adalah sebagai central of change serta agent of empowering109. Setiap petugas layanan bimbingan dan konseling Islam wajib memperhatikan keunikan individu guna mengkaji secara mendalam berbagai aspek keadaan psikologisnya serta setting yang melingkupinya, sehingga ia dapat memastikan core problem yang dialami. Melalui kepastian penentuan core problem, pasien yang menjadi klien dapat dibimbing dan dinasehati sesuai akar persoalan yang dialami. Pendekatan yang tepat untuk menemukan core problem seorang individu serta menemukan titik-titik terdalam kesadarannya adalah dengan menggunakan pendekatan psikologis serta metode wawancara konseling. Disinilah letak signifikansi dari praktek layanan profesi lulusan disiplin Tasawuf dan Psikoterapi melalui optimalisasi layanan bimbingan dan konseling Islam yang diterapkan.
Layanan Bimbingan Nama
: ……………………………………………………………………
Jenis kelamin : …………………………………………………………………… Umur
: ……………………………………………………………………
Riwayat Sakit : …………………………………………………………………… Dokter
: ……………………………………………………………………
Deskripsi keadaan pasien
Jenis layanan
Respon Pasien
Rekomendasi Penanganan Lanjut
2. Form pencatatan untuk kegiatan model layanan konseling Layanan Konseling Nama
Secara ideal seorang dokter seharusnya melakukan penyembuhan holistik kepada pasien, mengingat dimensi kesehatan setiap orang meliputi keempat dimensi tersebut, begitu juga seorang yang diberi tugas sebagai tenaga perawat. Akan tetapi, seorang dokter atau perawat memiliki keterbatasan waktu serta keilmuan, terutama terkait bidang keilmuan rohani atau agama, sehingga pelaksanaan pengobatan holistik perlu melibatkan para ahli yang berkompeten seperti psikolog dan pembimbing agama. Untuk
: ………………………………………………………………………
Jenis kelamin : ……………………………………………………………………… Umur
: ………………………………………………………………………
Riwayat Sakit : ……………………………………………………………………… Dokter
: ………………………………………………………………………
Deskripsi Keadaan Pasien
Analisa Core Problem Pasien
Treatment
Catatan Perkembangan Keadaan Pasien
101 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Rekomendasi Penanganan Lanjut
109
Sebagai central of change atau agent of empowering, upaya yang dilakukan oleh seorang da’i untuk merubah keadaan obyek sasaran dakwah dapat dimulai dengan melakukan perubahan dan penguatan keadaan obyek‐obyek individu. Melalui perubahan individu, yang biasanya berpengaruh lebih mendalam dan mengena pada inti kesadarannya yang dalam, pada akhirnya akan menciptakan perubahan di dalam lingkup keluarga, sekelompok masyarakat, dan seluruh masyarakat luas. Seperti pendekatan dakwah individual yang dilakukan Rasulullah saw. ketika masih periode awal, dengan secara sembunyi‐sembunyi, telah memberikan pengaruh kuat pada pribadi para sahabat sehingga mereka menjadi pembela utama ajaran Rasulullah.
102 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
itu kehadiran pembimbing rohani pasien menjadi signifikan dalam membantu proses kesembuhan pasien. Secara singkat, peran keterlibatan masing-masing dalam proses penyembuhan pasien tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabel 8 : Peran Keterlibatan Dokter, Perawat, Psikolog, dan Petugas BKI Dalam Proses Penyembuhan Pasien
Dokter & perawat
psycho
Bio/fisik
Psikolog / psikiater
Pasien Pembimbing rohani / konselor
sosial
Religius / spiritual
Pembimbing rohani / konselor
Berdasarkan temuan data di lapangan, praktek implementasi layanan bimbingan dan konseling Islam masih banyak dilaksanakan sebatas layanan pemberian do’a, pemberian nasehat untuk sabar dan tawakkal kepada Allah, nasehat untuk rajin beribadah dan motivasi untuk sembuh. Masih sedikit sekali yang menerapkan layanan dalam bentuk pemberian layanan konseling terhadap pasien, kalaupun ada masih belum sesuai dengan teori bimbingan dan konseling yang benar. Seharusnya layanan bimbingan dan konseling bagi pasien dilaksanakan secara profesional, dilakukan pengkategorian layanan sesuai kebutuhan pasien, dan disertai disiplin pencatatan terhadap hasil-hasil layanan.
103 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Penerapan layanan bimbingan dan konseling yang dibedakan menjadi model layanan bimbingan dan model layanan konseling ternyata mendapatkan respon lebih baik dari pihak rumah sakit maupun pasien. Berdasarkan hasil implementasi model layanan ideal, yang dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang, diperoleh respon dari pihak rumah sakit sebagai berikut : 1. Layanan bimbingan dan konseling bagi pasien sangat dibutuhkan oleh pihak rumah sakit, selain untuk membantu proses kesembuhan pasien juga sebagai nilai plus bagi rumah sakit pemerintah. 2. Praktek pelaksanaan layanan Bimbingan dan Konseling lebih tepat harus dipilah-pilah, antara pasien yang membutuhkan perhatian khusus dan pasien yang biasa. 3. Adanya pengkategorian pasien dan pencatatan terhadap proses dan hasil kegiatan layanan menjadikan model layanan bimbingan dan konseling bagi pasien menjadi bertambah baik. 4. Dokumentasi catatan-catatan hasil pelaksanaan kegiatan layanan yang tersusun dengan baik dan benar dapat menjadi masukan informasi penting bagi dokter maupun perawat untuk mengetahui faktor-faktor non-fisik yang menyertai sakit pasien dan untuk mendeteksi perkembangan keadaan sakit pasien lebih lanjut. 5. Perlunya peningkatan hal-hal yang terkait dengan pendokumentasian, seperti yang terdapat pada bidang keperawatan, sehingga pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi pasien menjadi lebih baik. F. Kesimpulan Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: pertama, implementasi layanan bimbingan dan konseling Islam bagi pasien di beberapa RSUD di Jawa tengah masih sekedar dalam bentuk layanan pemberian do’a, pemberian nasehat, pemberian motivasi untuk sembuh, atau pendampingan bagi pasien yang mengalami sakarat al-maut. Kedua, implementasi layanan bimbingan dan konseling Islam bagi pasien faktanya
104 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
mendapat respon positif, baik dari pasien dan keluarga pasien maupun dari pihak rumah sakit sendiri. Ketiga, pelaksanaan ideal layanan bimbingan dan konseling Islam harus dilakukan pengkategorian berdasar kriteria pasien yang keadaan sakitnya memerlukan perhatian khusus dan pasien yang keadaan sakitnya hanya terhitung biasa saja, sehingga perlu melahirkan formulasi model layanan bimbingan, model layanan konseling, serta gabungan antara keduanya. Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah pelaksanaan pencatatan dan pendokumenan catatan hasil-hasil layanan secara tertib, demi tanggung jawab profesi dan kepentingan ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA Bukhori, Baidi, ”Optimalisasi Sistem Pelayanan Kerohanian RSUD Tugurejo Semarang”, Penelitian IAIN Walisongo Semarang, tidak diterbitkan, 2005 Gaffar, La Ode Junaidi, Pengantar Keperawatan Profesional, (Jakarta : ECG, 1999). al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya' Ulum ad-Din, jilid 3, (Indonesia: Maktabah Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, tt.). _______________, Miskat al-Anwar (Miskat Cahaya-Cahaya), terj. Muhammad Bagir, cet. ke-5, (Bandung: Mizan, 1992). Hasil penyarian forum Focus Discussion Group (FGD) dengan pihak Rumah Sakit Tugurejo Semarang, di Laboratorium Dakwah Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang hari Jum’at tanggal 26 Nopember 2010. Hawari, Dadang, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta : Dhana Bhkati Primayasa, 2000). ____________, Kanker Payudara Dimensi Psikoreligius, Jakarta : FK UI, 2004. Hurlock, Elizabeth B, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima, (Jakarta : Erlangga, 2000). Kartini, Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam, (Bandung : Modar Maju, 1989). Mc Ghie, Penerapan Psikologi dalam Perawatan, (Yogyakarta : 1996). Meyers, JE, ” Aging : An Overvie for Mental Health Counselors”, Jounal of Mentall Counseling, 2003.
105 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
106 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Potter, Patricia, dkk, Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik, Alih bahasa Yasmin Asih, dkk, (Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005).
SANTRI DAN ABANGAN DALAM KEHIDUPAN KEAGAMAAN ORANG JAWA
Priyanto, Agus, Komunikasi Dan Konseling Aplikasi Dalam Sarana Pelayanan Kesehatan Untuk Perawat Dan Bidan, (Jakarta : Salemba Medika, 2009),
Oleh: Adib Fathoni *
Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, cet. 7, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
Abstract Students of Pesantren (Santri) and ‘abangan’ is a unique and distinctive terms of Java. Although the two terms are not equally used by the Javanese, but in essence is to identify Javanese Muslims who obey Islamic law (students/santri) and who do not obey (‘abangan’). In daily life, the students/santri and the people abangan interrelated and each draw positive perceptions of one another. Students suppose that isn’t unbeliever/kafir, but Muslims are not steeped in the teachings of Islam seriously, because it had not reached them enlightenment and understanding of those teachings. The variation of Students/santri-abangan, caused by differences due to the wave of Islamization and geographical distribution. Thus when observed further, it will show the areas where it is made up of the majority of santri/ students, or people abangan, or a mixture of both, in the areas of Java; coastal area of relatively santri and interior/hinterland areas of relatively abangan (but Now the map has changed). Indeed, historically, our civilization in Java is more than the shear-sliding, impact and influence, between the cultural hinterland and the coastal culture. This occurs more prominently and associated as the attraction between the Islamic agricultural tradition rooted the elements of indigenous and preIslamic. Keywords: Students of pesantren / Santri, Abangan, hinterland and Coastal
A. PENDAHULUAN
107 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Orang Jawa kecuali dalam jumlah yang sangat sedikit, mengaku identitas beragama mereka sebagai orang Islam. Namun, seperti dikatakan oleh Clifford Geerts, antropolog 108 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
berkebangsaan Amerika, keislaman mereka telah menjelma dalam berbagai bentuk, bukan keseragaman, dan tidak semuanya sesuai dengan ajaran al-Qur’an.110 Sehingga di Jawa ini pula dapat dijumpai segala tingkat perasaan beragama, muai dari Islam Jawa model kuno, dengan kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan, maupun yang berfaham bebas, sampai dengan ide-ide reformisme modern.111 Geertz, dalam bukunya yang spektakuler, The Religion of Java, ‘menyederhanakan’ berbagai kecenderungan keberagaman orang Jawa itu menjadi trikotomi yang amat tegas; “santri”, “abangan”, dan “priyayi”. Buku ini, meskipun kemudian mendapat banyak kritikan, telah cukup luas pengaruhnya di kalangan peneliti luar dalam memberi gambaran tentang keberagamaan orang Jawa, sehingga buku ini, diakui atau tidak, terlanjur menjadi “babon” untuk studi etnografi Jawa. Terlepas dari banyaknya kritikan yang diarahkan terhadap Geertz, studinya tentang “agama” orang Jawa tetaplah menarik, terutama dalam bab “santri” dan “abangan”nya. Bahkan bagi mereka yang hendak mendalami secara teliti tentang perkembangan Islam di Jawa, studi ini merupakan keharusan yang tidak dapat dihindari. Usaha memahami variasi pola keagamaan dan kultural antara “santri” dan “abangan” akan dapat memberikan pengetahuan yang lebih baik kepada kita tentang Islam sebagaimana dipeluk oleh orang Jawa.112
B. PEMBAHASAN 1. Perdebatan seputar Istilah Santri, Abangan dan Priyayi Tidak sebagaimana pertama kali ini istilah “santriabangan” ini dipopulerkan (kembali) oleh Geertz di mana masih terdapat banyak hal yang membingungkan, maka telaah-telaah kemudian tentang kedua istilah itu menjadi lebih jelas, terarah, dan spesifik. Penelitian Geertz dan kemudian hasilnya dari ”Mojokerto”, inisial kota Pare di Jawa Timur, sebagai telah disebut, banyak mengandung perbantahan. Dari model penelitiannnya, Mubyarto memandang, “realistis tapi cepat usang”. 113Teori yang dikembangkan Geertz tidak akan dapat bertahan lama kerena lingkup yang diteliti teramat spesial dan temporal, sedangkan hasilnya dimaksudkan untuk memberi makna umum akan keseluruhan (generalisasi) dari tipe keberagaman orang Jawa, Padahal keradanaan tentulah akan terus berubah dan berkembang, dan masyarakat Jawa sendiri bukanlah tipe masyarakat homogen. Kelemahan paling mencolok dari teori Geertz, sebagai disepakati para ahli, adalah ketidak cocokannya sistem penggolongan santri-abangan-priyayi” ini dengan kondisi istilah-istilah tersebut dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa, karena istilah, khusunya “santri” dan “Abangan” sebenarnya bukanlah istilah yang secara merata dipakai di seluruh daerah-daerah di Jawa Tengah dan Di Jawa Timur.114Dalam penelitiannya di Pare antara bulan Mei 1953 sampai September 1954, Geertz memungut tiga istilah diatas dari mulut nara sumbernya.
* Sraf Pengajar Jurusan Menejemen Dakwah Fakultas Dakwah IAIN Walisongo 110 Clifford Greetz, Abangan, Santri, Priyayai dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, Th. 1985, hlm. 17. 111 Gustave E’von Grunebaum, Islam Kesatuan dalam Keragaman, Jakarta: yayasan Perkhidmatan, Th. 1983, hlm. 343 112 Zamahsari Dhofier, Santri Abangan dalam kehidupan orang Jawa:Teropong dari Pesantren”, dalam Agama dan Tantangan Zaman, Jakarta: LP3ES, Th. 1983, hlm. 180.
Mubyarto, Teori Geertz: Model Realistik Gramedia, Th 1985, hlm, 4 114 Zamahsyari Dhofier, Op. Cit., hlm. 181
109 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
110 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
113
tapiCepat Usang, Jakarta:
Lalu menganalisanya dengan tajam. Jadi seperti diakuinya sendiri istilah itu bukanlah dibuat-buat.115 Inti dari pembahasan buku Geertz itu, Geertz membuat pilah tiga (trikotomi) dari ragam (varian) masyarakat Jawa: orang Jawa bertradisi “abangan sebagai ragam petani miskin yang animistik, terutama hidup penuh pesta keupacaraan, kepercayaan yang rumit terhadap mahluk halus, berpraktek pengobatan yang bernafas magic. Tradisi religi “santri” sebagai ragam kedua, dihubungkan dengan pada golongan pedagang atau petani agak kaya; bertradisi Islam mistik, yang melaksanakan secara teratur dan taat pada segala pokok ibadat Islam. Sedangkan varian “priyayi” yang dianggap berketurunan aristokrat atau birokrat Hinduistik, berakar kepada kejayaan Kraton sebelum masa kolonial, masih memelihara dan mengembangkan etiket halus gaya Kraton, juga yakin akan mistisisme Hindu-Budha.116 Walupun Geertz jelas-jelas menyatakan ketiga varian itu bukanlah “tipe murni”, namun demi melihat uraianya yang berusaha menjelaskan duduk berdirinya masyarakat Jawa, didasari data dan fakta yang di simak, maka kentara sekali bahwa Geertz mendukung keterpilihan tiga itu. Hal ini memang wajar karena kondisi, yakni menjelang pemilihan umum (Pemilu) yang baru pertama kali diadakan di Indonesia, dimana bermuunculan banyak sekali partai, maka masing-masing varian itu berusaha mencari identitas dari mereka dalam partai-partai tersebut, sehingga munculah keterpilihan itu. Karena yang dijadikan sasaran studi Geertz adalah agama atau tradisi keagamaan orang Jawa, maka masalah “priyayi” yang dia jadikan kategori sub tradisi keagamaan di Jawa, menjadi “menguap” dimata para ahli.masalah “priyayi “ memang bukanlah masalah agama, melainkan masalah stratifikasi sosial vertikal dalam masyarakat Jawa. Sedangkan masalah “santri-abangan” masuk dalam
kategoru struktur horisontral keberagamaan orang Jawa. Di sinilah kesalahan Geertz pertama-pertama terlihat yaitu mencampur adukkan kedua struktur tersebut. Dalam masyarakat Jawa istilah “priyayi” digunakan untuk membedakannya dari rakyat kebanyakan “wong cilik”, dan sama sekali tidak ada urusannya dengan masalah keagamaan. 2. Mengurai Konotasi Santri dan Abangan Berbeda dengan masalah “priyayi” yang hilang begitu saja, maka tidaklah demikian dengan masalah ”santri-Abangan”. Masalah ini terus menerus dijadikan bahan kajian oleh para pakar baik itu dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah dalam berbagai seminar, seperti yang terjadi di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada penghujung 2004. Dalam tulisan ini penulis tidak hendak lagi mengutak-atik kesalahan–kesalahan Geertz, melainkan berusaha menjelaskan apa sebenarnya konotasi santri – Abangan” itu dalam kehidupan sehari hari orang Jawa? Apakah mereka terpilih dalam dua kelompok permanen? Kemudian bagaiman perkiraan latar belakang munculnya istilah “santri”, dan terutama “abangan”?. Santri dan “abangan” merupakan istilah yang unik dan has Jawa. Walaupun dua istilah tersebut, seperti telah disinggung diatas, tidaklah secara merata dipakai oleh orang Jawa, namun pada pokoknya adalah untuk mengidentifisir orang –orang Islam Jawa yang taat menjalankan syariat Islam (santri) dan yang tidak taat (abangan).117 Menurut Zamahsyari Dofier, istilah “santriabangan” ini terpengaruh oleh sistem klasifikasi ganda (dua classification) dalam Islam yang membedakan antara “muslimin” vs “kafirin”, “surga” vs “neraka”, “mukminin” vs “munafiqin”, “ahli ibadah” vs “bukan ibadah”, “kaum
115
Geertz, hlm. 8 116 Mubyarto, Op. Cit, hlm. 1
117
111 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
112 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Zamahsyari Dhofier. Op. Cit., hal. 180
iqamu sholeh” vs ”kaum tarikus shaleh”, dan sebagainya. Tetapi sesuai dengan watak orang Jawa yang “ambiguous” (mendua), orang-orang Islam Jawa tidak dapat menerima klasifikasi ganda yang rigid (kasku) dalam bentuk polarisasi yang berlawanan.118 Orang Jawa tidak pernah ambil pusing untuk tegastegas menarik garis meimisah antara Islam dan bukanIslam (apalagi antara orang Islam sendiri), Toleransi di bidang agama tidak pernah menjadi corak watak orang Jawa.119 Sehingga istilah “santari –abagan” oleh orang Jawa sendiri hampir tidak menjadi masalah, apalagi menjadi isu sentimen. Dalam pergaulan sehari-hari, orang santri dan orang-orang Abangan saling berhubungan dan masingmasing menarik persepsi positif antara satu dengan lainnya. Orang santri mengangggap bahwa kaum abangan bukanlah orang kafir, melainkan orang Islam yang belum mendalami ajaran Islam dengan sungguh-sungguh, karena memang belum sampai kepada mereka penerangan dan pengertian atas ajaran-ajaran itu.120 Sedangkan orang abangan menganggap, secara laten bahwa orang santri itu merupakan “tipe ideal” bagi kehidupan keagamaan Islam yang sebenarnya, dan mereka sendiri (orang abangan) mengaku akan keengganan menjalankan amalan-amalan syari’ah Islam bukanlah sikap yang patut ditiru.121Praktek paling nyata dalam lehidupan sehari-hari dalam urusanurusan yang berhubungan dengan agama seperti tahlilan, upacara-upacara do’a, mengurusi jenazah; dari memandikan, mengkafani, mengubur sampai “ talqin”, orang abangan menerima, bahkan selalu meminta kepemimpinan keagamamaan dari para santri. 122 118
Ibid Gustave E’von Grunebaum, Islam Kesatuan dalam Keragaman, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983. Hal. 352 120 Dhofier, Op Cit., Hal. 182 121 Ibid 122 Ibid 119
113 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Nurcholish Majdid melihat bahwa abangan maupun santri merupakan sub-kultur Islam (di Jawa), Kemusliman tidaklah dibatasi oleh penampilan ortodoks, seperti yang terjadi pada diri santri, dan juga setiap pengambilan unsur “luar” sebagai ramuan budaya keagamaan (Islam) akan meniadakan esensi keislaman, seperti yang terjadi pada diri orang abangan, adalah tidak tepat. Maka yang terlihat agak moderat adalah istilah yang diapaki oleh Koentjaraningrat, “agama Islam Jawa (kejawen)” atau “agama Jawai”, atau “agama Kejawaen”, atau-dinisbahkan dengan kepustakaan Jawa yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam. Dr. Simuh menyebut“Islam Kejawen”, untuk istilah yang lebih dahulu populer, yaitu “abangan”. Memang hal ini sedikit banyak dapat menghindari denotasi istilah abangan tersebut. Kemudian bagaimanakah sebenarnya istilah-istilah itu muncul kepermukaan “ mengenai santri”. Simuh menguraikan sebagai berikut: Istilah santri merupakan warisan pra-Islam di Jawa. Santri berasal dari “mandala para sastrin” yang berarti tempat para pelajar agama Hindu. Pada zaman Islam, tempat penginapan dan tempat belajar para murid tentang agama Islam juga terkenal dengan sebutan “pondok pesantren”. Para siswa disebut santri, dan gurunya disebut Kyai. Lama kelamaan istilah santri juga untuk menyebut setiap orang yang taat menjadikan perintah agama, yakni shalat lima waktu baik pernah menjadi murid pesantren ataupun tidak. Berbeda degan istilah santri yang memiliki terminologi yang relativ tinggi. Istilah abangan tidaklah demikian. Kata abangan berasal dari kata “abang” yang berarti merah. Namun ada dugaan lain, bahwa kata ini berasal dari kata “aba” yang artinya masih enggan atau belum patuh. Imbangannya adalah kata “that” yang berarti taat atau patuh. Sehingga bila dilafalkan dalam bahasa Indonesia (Jawa) yang “aba” menjadi “abangan”
114 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
sedangakan “that” atau isim failnya “muthi’in” menjadi “mutihan”.123 Dengan demikian pengertian “abangan” di Jawa merupakan simbol bagi segolongan orang Jawa yang sudah menerima Islam sebagai agama mereka dan ber”syahadat”, namun belum mentaati perintah-perintah agama mereka, terutama belum menjalankan shalat lima waktu. 3. Varian Pesisir dan Pedalaman dalam Tradisi Islam Jawa Variasi sanntri-abangan, bila ditelusuri lebih disebabkan adanya variasai atau perbedaan gelombang islamisasi dan distribusi geografis. 124 Dengan demikian bila diamati lebih jauh, maka akan terlihat kawasan mana saja yang menyoritas terdiri orang-orang santri, atau orang-orang abangan, atau scampuran antara keduanya, pada wilayah-wilayah di Jawa; wilayah pesisir relatif santri dan wilayah pedalaman relatif abangan (namun sekarang peta tersebut sudah banyak berubah). Memang dalam sejarahnya, peta peradaban di Jawa tidak lebih dari proses geser-menggeser, pengaruh dan mempengaruhi, antara kebudayaan pesisir dengan kebudayaan pedalaman. Hal ini terjadi lebih mencolok dan diasosiasikan sebagai tarik menarik antara Islam dengan tradisi agraris yang mengakar pada unsur-unsur pribumi dan pra-Islam. Hasil penelitian para sejarawan menyebutkan bahwa proses islmisasi tanah Jawa dimulai dari Bandarbandar di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Daerah ini pada umumnya menerima proses secara intensif sejak Islam masuk, baru kemudian secara berangsur-sngsur menuju ke pedalaman , dan sampai sekarang proses ini masih terus berlangsung. Tetapi mengapa di Jawa ada orang-orang abangan? Hal ini kurang begitu jelas, dan sejarahnyapun sulit
dilacak. Namun bisa diduga, sebagai dilihat Simuh, munculnya orang dan istilah abangan semenjak berdirinya Kerajaan Jawa Islam Demak. Masa itu bahkan semenjak zaman Jawa Hindu rakyat umumnya beriman kepada rajanya dalam hal agama. Maka peralihan sang rajanya dari Hindu-Budha ke Islam dengan sendirinya diikuti rakyatnya, walaupun dengan kesadaran yang belum pernah .125 Dalam legenda dan cerita tutur Jawa, daerah pedalaman Jawa yang diasosiasikan sebagai daerah-daerah Pajang, Pengging dan Mataram di Jawa Tengah bagian selatan tidak pernah disebutkan arah langsung oleh pemerintahan Demak, tetapi merupakan bekas kantong Majapahit yang kemudian tunduk kepada kekuasaan Demak. Daerah Ini melahirkan penguasa-pengauasa yang tampil kemudian setelah keguncangan politik melanda istana Demak akibat perebutan tahta antara kerabat istana. Penguasa-penguasa itu umumnya digambarkan sebagai prajurit-prajurit pilihan di Demak seperti Jaka Tingkir, Ki Penjawi, Ki Juru Martani dan Ki Pemanahan. Sebelum mereka diambil menjadi murid oleh Sunan Kalijaga, salah seorang ulama istana Demak, mereka diceritakan sebagai murid Syekh Siti Jenar. Orang terakhir ini konon seorang wali yang amat tersohor yang oleh majelis Wali Songo di masjid Demak dicap murtad dan dijatuhi hukuman mati, dibakar, karena dianggap menyebarkan ajaran yang menyalahi ajaran agama Islam.126 Syaeh Siti Jenar dikenal sebagai guru raja Pengging, Kebo Kenanga, pengganti Kebo Kanigara, kakaknya, yang adalah anak-anak Raja Andyaningrat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Kraton Majapahit. Raja-raja ini dinilai sebagai “ajar”, pendeta agama HinduBudha, dengan demikian, daerah pedalaman sesungguhnya digambarkan sebagai daerah yang sedikit sekali tersentuh
125
Simuh, Munculnya Istilah abangan, Yogyakarat: Gelaria, 1987, hal. 6 124 Dhofier, Op.Cit., hal. 191
Simuh, Op. Cit., hal. 6 Graaf, H.J. de, dan Peigeaud, Th, G. Th., Kerajaan Islam di Jawa, Jakarta: Grafiti Pres, Th. 1985, hal. 69
115 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
116 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
123
126
Islam dan secara kultural pengaruh Majapahit yang Hindu-Budha telah mengakar.
Agung (1613-1645) memegang tampuk pemerintahan di Mataram. Mataram sebagai kerajaan agraris di pedalaman dibina diatas tradisi dan kebudayaan Jawa Pra-Islam. Maka pada awal berdirinya kerajaan ini nampak kurang disukai oleh kerajaan–kerjaan pesisir yang umumnya didukung masyarakat pesantren. Sultan Agung yang berhasil mematahkan perlawanan kerajaan-kerajaan pesisir kemudianmenempuh politik Islamisasi bagi keselarasan dan kestabilan masyarakat, yakni mempertemukan tradisi kejawen dengan agama Islam. Pada masa Sulthan Agung ini pulalah terjadi renesans Kebudayaan Jawa dengan banyak munculnya karya-karya sastra yang di sana-sini telah diselubungi dengan unsur-unsur Islam.
4. Perkembangan Islam Pedalaman Sebenarnya hubungan Sunan Kali Jaga dengan daerah pedalaman bisa dikatakan hubungan tidak langsung, karena domisili wali ini di Kadilangu, Demak, pesisir utara Jawa. Oerranm g yang banyak muncul salam legenda pengislaman wilayah pedalaman adalah KI Gede Pandan Arang atau Sunan (Tem) Bayat. Orang suci ini tinggal dan dimakamkan di Tembayat (sekarang masuk Kabupaten Klaten) Ki Gede Pandang Arang mulanya adalah Bupati Semarang. Akibat terpengaruh oleh Sunan Kalijaga ia mengundurkan diri dari dunia ramai dan bersama istrinya ia berkelana mencari kebenaran. Sesudah betualang dia menetap di Tembayat sebagai “guru”. Di Tembayat konon orang suci ini masih hidup 25 tahun lagi dan berjuang menyebarkan agama sebelum meninggal. Keturunan Sunan Tembayat ini kelak sebagai Kerabat Kajoran yang amat disegani oleh Kerabat keraton Mataram. Menyiomak dari sedikitnya cerita-cerita tentang orang suci pengarapan tanah pedalaman, kecuali Sunan Kalijaga dan dua muridnya: Sunan Tembayat dan Sunan Geseng, maka teori Koentjaraningrat agak bias diterima. Ia berpendapat bahwa selama abad-16 oleh orang Jawa di pedalaman rupanya agama Islam masih dianggap sebagai suatu unsur peradaban orang asing, karena agama Islam adalah agama yang dianut oleh penduduk kota-kota pelabuhan dan kota-kota pedagang yang dimata orang Jawa di daerah pedalaman sudah terpengaruh oleh orang Arab, Persia, India selatan, Cina, Vietnam, Melayu, Bugis dan lain-lain.127 Menurut para nalisa para ahli, Islam mulai mendapat pasaran di pedalaman setelah tampilnya Sultan
5. Politisasi Agama pada Penjawaan Maka agaknya bisa diterima, bila islamisasi di Jawa tidak tampak semata urusan agama, melainkan yang lebih dominan adalah unsur politik, dimana terjadi tarik-menarik pengaruh yang cukup tajam antara penguasa pemerintahan, dalam hal ini aristokrat Kraton dengan para ulama sebagai elite pengimbangan dalam masyarakat Jawa. Hal ini terbukti kemudian dengan munculnya pengganti Sultah Agung, Sunan Amangkurat I, yang dengan terang-terangan menghalangi gerak laju kepemimpinan para ulama dengan membantai mereka bersama keluarganya untuk menghilangkan pengaruh di kalangan masyarakat.128 Dengan terbunuhnya para ulama, proses islamisasi di pedalaman melalui pesantren yang banyak bermunculan pada masa Sultan Agung, menjadi kurang lancar, dan ini berakibat kepada munculnya banyak orang dalam masyarakat Jawa yang tidak begitu mengerti tentang Islam, walaupun mereka secara formal telah memeluk agama Islam. Orang-orang inilah yang populer dengan sebutan “abangan” dalam masyarakat Jawa.
127
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia: Jakarta: Djambatan, Th. 1983, hal. 314
128
Darban , Ahmad Adaby, Perlawanan Kyai Kajoran terhadap Amangkurat I, Jakarta: Al Afkar, 1986, hal. 56
117 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
118 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
C. PENUTUP Orang-orang abangan bukanlah kelompok permanen. Mereka tidak tetap dan dapat berubah susuai waktu. Agaknya, akibat politik pecah-belah Belanda, kelompok ini ditentanghadapkan secara ekstrim dengan kelompok muslim (santri). Padahal pengkotaan itu sangat wajar, karena sesungguhnya islamisasi itu adalah proses tiada henti menuju Islam yang sebenarnya. Bisa jadi karena suatu sebab, seseorang dari keluarga santri kelak kemudian lari menjadi abangan, dan sebaliknya -ini yang banyak terjadi – seseorang dari yang semula dari keluarga bertradisi abangan kelak menjadi santri yang saleh. Semua ini bisa berubah sesuai dengan keadaan dan waktu.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayai dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, Th. 1985. Darban, Ahmad Adaby, Perlawanan Kyai Kajoran terhadap Amangkurat I, Jakarta: Al-Afkar, 1986 Gustave E’von Grunebaum, Islam Kesatuan dalam Keragaman, Jakarta: yayasan Perkhidmatan, Th. 1983 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia: Jakarta: Djambatan, Th. 1983 Mubyarto, Teori Geertz: Model Realistik tapiCepat Usang, Jakarta: Gramedia, Th 1985, Mubyarto, Teori Geertz: Model Realistik tapiCepat Usang, Jakarta: Gramedia, Th 1985 Simuh, Munculnya Istilah abangan, Yogyakarat: Gelaria, 1987 Zamahsari Dhofier, Santri Abangan dalam kehidupan orang Jawa:Teropong dari Pesantren”, dalam Agama dan Tantangan Zaman, Jakarta: LP3ES, Th. 1983
119 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
ZIARAH KUBUR DALAM PERSPEKTIF BUDAYA DAN AGAMA Oleh: Ismawati* Abstract Javanese culture is gradually changing because culture is a mixture of Indian culture, Arab, and European (Dutch). This change occurs because the merchant marine from the outside is coming to Southeast Asia by taking long sea voyages. Javanese people identify their region as the land below the wind to distinguish it from the outside world of people who come from the west (India, Arab and European) that country is on the wind. Transitional Islamic culture which was originally centered in the northern coastal urban areas fell into the hands of Sultan Agung, the ruler of the countryside. The Javanese coastal initially confirming the character of orthodox Islam as an international trade network is now following the Islamic character of the agrarian and rural society static with pre-Islamic influences. One result of acculturation between Islam and local traditions is the birth of the devotional visit to the grave’s tradition. The practice of many integrating between the religious values and cultural values, so it is not uncommon causing a debate in the Islamic religion itself. Keywords : religion, culture, devotional visit to grave (ziarah kubur), acculturation, integration. A. PENDAHULUAN Kebudayaan Jawa bukanlah sebuah budaya yang statis, melainkan bisa mengalami perubahan secara lambat tetapi pasti. Kebudayaan Jawa mengalami perubahan secara evolusioner, dari kebudayaan primitif ke kebudayaan modern.Perubahan kebudayaan Jawa terkait dengan masuknya berbagai macam kebudayaan dari tempat, suku, dan ras lain atau juga karena proses sosial yang terus berubah. Perubahan tersebut berasal dari dari suatu subsistem kebudayaan dan selanjutnya mempengaruhi terhadap subsistem yang lain. Perubahan kebudayaan
120 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Jawa dimungkinkan berubah yang bermula dari subsistem ekonomi kemudian menjalar ke subsistem agama, selanjutnya kesenian dan sebagainya129 Kebudayaan Jawa mengalami perubahan bertahap karena kebudayaan ini merupakan percampuran antara kebudayaan India, Arab, dan Eropa (Belanda).Perubahan ini terjadi karena pedagang bahari dari luar tersebut datang ke kawasan Asia Tenggara dengan menempuh perjalanan laut yang cukup lama. Orang-orang Jawa mengidentifikasi kawasan mereka sebagai negeri dibawah angin untuk membedakannya dengan dunia orang luar yang datang dari barat (India, Arab dan Eropa) yaitu negeri atas angin. 130 Menurut perkembangan sejarah sekitar tahun 1390 para pedagang muslim Arab menjadikan pasar Mesir dan Beirut sebagai pusat penjualan lada, cengkeh, dan pala bagi para pedagang Eropa. Mereka menyediakan sejumlah 6 metric ton cengkeh dan 1,5 metrik ton pala dari Maluku bagian timur Indonesia. Satu abad kemudian kebutuhan orang Eropa terhadap rempah-rempah semakin meningkat menjadi 52 ton cengkeh dan 26 ton pala. Para pedagang Italia terutama saudagar Venesia sebagai pengkulak yang menjual kembali ke Eropa. Para pedagang Arab, Gujarat dan Persia melakukan perniagaan rempah di Indonesia timur selanjutnya datang ke Jawa.131 Perdagangan ini menyertai peralihan kebudayaan masyarakat Jawa.dan masyarakat Indonesia yang lain. Misalnya disebutkan dalam Hikayat Banjar bahwa raja Jipang di Jawa Timur sangat terpesona ketika melihat pancaran cahaya dari Sunan Ampel dari negeri atas angin dan memohon untuk diislamkan. Demikian pula orang –orang Jawa yang memeluk agama Islam karena para imam –imam Sufi dari negeri atas angin yang cakap di bidang ilmu kebatinan dan memiliki kekuatan penyembuh walaupun masih harus menggunakan istilah dan unsur-unsur kebudayaan pra Islam dalam semangat Islam. Proses * Penulis adalah Guru Besar Kebudayaan Islam pada Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang 129 Nur Syam, Madzhab-Madzhab Anthropologi. Yogyakarta.,LKiS 2009, h. 7 130 Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara,terj. Jakarta, LP3ES, 2004, h.7 131 Ibid, h, 10
121 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
peralihan kebudayaan batiniah masyarakat Jawa yang Hindu sebagai akibat dari kehadiran dominasi perdagangan orang Muslim dalam perdagangan Samudera Hindia dari abad ke -12 sampai abad ke-16, menggambarkan proses dari subsistem ekonomi kemudian menjalar ke subsistem agama. Kehadiran kebudayaan Islam yang dibawa oleh keberhasilan niaga saudagar Muslim semakin diperkuat oleh faktor-faktor politik. 132 B. ZIARAH KUBUR DALAM PERSPEKTIF BUDAYA Segi umum yang paling mencolok dari subsistem kebudayaan batiniah masyarakat Jawa pra Islam adalah keterlibatan terus-menerus orang yang telah meninggal dunia dalam urusan–urusan mereka yang masih hidup, Wabah penyakit, malapetaka dan gagal panen dianggap sebagai akibat dari kejengkelan arwah leluhur yang tidak dihormati dengan upacaraupacara semestinya, atau sebagai akibat gangguan para arwah penasaran atau tidak bahagia, yang mungkin hanya bisa dilawan dengan perlindungan roh leluhur yang baik atau bahagia. Ekspresi ritual dari keyakinan ini merupakan inti dari semua upacaraupacara keagamaan yang diselenggarakan secara rumit bagi orang yang telah meninggal dunia dan mendoakan arwah leluhur pada setiap ritus peralihan atau pada upacara pertanian di pedesaan atau di laut.133 Dalam tradisi masyarakat abangan berikutnya adalah dengan slametan. Tradisi ini tidak hanya memiliki symbol yang berdiri sendiri, tetapi ada system yang mendasari pelaksanaan upacara itu.dalam menghormati arwah leluhur. Simbol itu memiliki makna yang memungkinkan untuk diinterpretasikan menjadi tindakan-tindakan serta terdapat makna bagi para pelakunya. Dalam upacara slametan, ada seperangkat symbol seperti kemenyan, kembang talon, jajan pasar, dan tumpeng yang semua tidak berdiri sendiri, tetapi berhimpitan dengan keyakinan pelaku-pelakunya.berdasarkan pedomannya. Pedoman itu dipahami melalui pengetahuan yang dimilikinya. Misalnya, 132 133
Ibid, h, 22-23 Ibid, h, 24
122 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
kemenyan yang dikaitkan dengan doa untuk arwah para leluhur, ternyata karena doa dan bau kemenyan akan sampai kepada arwah para leluhur. 134 Perkembangan kebudayaan pun akan terus berlangsung dalam peralihan. Upacara membahagiakan orang yang telah meninggal dunia pra Islam dan bahkan ketika dominasi perdagangan orang Muslim telah hadir, nampaknya masih menyisakan tradisi lama terutama di daerah pedalaman. Hal ini bisa dipahami karena Islam memang berkembang melalui pesisir,. Demikian pula munculnya kekuatan Islam dalam skala besar juga datang dari pesisir. Hal ini mudah dimengerti, karena pesisir adalah daerah pertemuan berbagai kebudayaan atau tradisi berbagai bangsa, suku, ras dan agama. Hal inilah yang menyebabkan orang pesisir bersifat lebih terbuka dalam menerima perubahan. Masyarakat pesisir lebih adaftif dengan berbagai budaya yang datang dari luar, dan tentunya melalui proses panjang akan terjadi berbagai percampuran tradisi dari berbagai belahan dunia lain. Sebaliknya masyarakat pedalaman berwatak lebih tertutup, agraris, dan tidak mudah menerima perubahan. Hal ini diakibatkan oleh kehidupan sebagai kaum agraris, yang tidak sering berhubungan dengan dunia luar sehingga perubahan akan terjadi sangat lambat. Namun demikian kerumitan upacara pra-Islam untuk memperingati orang mati dalam perjalanan menuju alam baka berangsur-angsur digantikan dengan praktik Islami dan proses ini mudah dilihat pada masyarakat Jawa. Perubahan dari kebudayaan atau tradisi lama terjadi karena tidak cocok dengan ajaran Islam, misalnya semua orang Jawa yang memeluk Islam akhirnya melakukan khitanan. Mereka menyembah Allah menggantikan para dewa karena Islam menentang keras penyembahan selain Allah. Islam mengharuskan penguburan dilaksanakan secara sederhana dan segera, karena orang meninggal dunia kembali kepada Allah dalam keadaan tidak berpunya sama seperti ketika dia dilahirkan. Perubahan cepat dalam praktik penguburan dengan diterimanya Islam sebagai agama masyarakat Jawa yang baru tampaknya merupakan salah satu keberhasilan paling mencolok
menggantikan upacara pembakaran mayat dari Hindu Buddha. 135. Kuburan orang Islam relatif sederhana bahkan pada periode awal masuknya Islam sampai Mataram awal. Islam memiliki cara tersendiri yang menjamin arwah orang yang meninggal dunia berada dalam keadaan tenang, termasuk memohonkan dengan khusuk bagi arwah. Masyarakat Jawa Islam menshalati dan mendoakan dengan membacakan sebagian ayat-ayat al-Qur’an, selanjutnya diikuti dengan tahlil dan surat Yasin bagi yang meninggal sampai hari ketujuh, pada hari keempatpuluh, keseratus, mendak sepisan (setahun), mendak kapindo (dua tahun) dan nyewu (hari keseribu /tiga tahun).Setelah itu semua arwah orang yang meninggal tidak lagi didoakan secara individual pada waktu tertentu (haul), melainkan didoakan ke dalam gabungan arwah orang-orang yang sudah meninggal secara kolektif. Para arwah ini didoakan secara khusus pada bulan kedelapan kalender kamariyah (Sya’ban) oleh setiap keluarga masing-masing dengan menziarahi kubur Sementara periode penerimaan tradisi Islam oleh masyarakat Jawa merupakan suatu peralihan yang tak terelakkan sejak penghujung abad ke-14 dan terus berlanjut hingga awal abad ke-17. Sebagian penyebabnya adalah hingar-bingar perniagaan rempah-rempah oleh orang-orang Cina pada masa dinasti Ming dan orang Arab serta India yang lalu lalang di pesisir Jawa, seperti Cirebon, Demak, Tuban, Gresik dan Surabaya. Ajakan untuk memperbaiki keimanan masyarakat Jawa terus-menerus disampaikan oleh para pendakwah. Buku Hetboek van Bonang (Wejangan Syekh Bari) dan An Early Javanese Code of Muslims Ethics yang ditulis sekitar abad ke-15 menunjukkan hal itu. Para pendakwah yang lebih dikenal dengan Walisongo amat populer di kalangan masyarakat Jawa. Sebutan Walisongo merupakan sebuah nama yang sangat terkenal dan mempunyai arti khusus. Karena nama ini dikaitkan untuk menyebut nama para tokoh yang dipandang sebagai penyebar Islam awal di Jawa. Kata Walisongo merupakan sebuah rangkaian perkataan Wali dan Songo. Kata Wali berasal dari bahasa Arab, bentuk singkatan dari
135 134
Nur Syam, Madzhab-Madzhab Anthropologi, h. 14-15
123 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
H.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern , Yogyakarta: Gajah Mada University Press, h.19
124 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Waliyullah, orang yang mencintai dan dicintai Allah. Sedangkan kata Songo berasal dari bahasa Jawa artinya sembilan. Maka Walisongo berarti wali sembilan, yaitu sembilan orang yang yang mencintai dan dicintai Allah. Mereka dianggap sebagai pemimpin sejumlah besar para pendakwah Islam bagi masyarakat yang belum memeluk Islam di berbagai daerah Jawa.136 Kehadiran Portugis, Spanyol dan Belanda yang memperebutkan monopoli perdagangan rempah-rempah dari timur sangat terdorong untuk menemukan sumber lada, cengkeh dan pala yang semakin penting dalam kehidupan masyarakat Eropa. Monopoli perdagangan Belanda yang kuat di Jawa semenjak abad ke- 17 mengakibatkan kemunduran pusat-pusat perniagaan dan memperlemah kendali daerah pesisir atas daerah pedalaman. Di Jawa peralihan kebudayaan Islam yang semula berpusat di daerah perkotaan pesisir utara jatuh ke tangan Sultan Agung penguasa daerah pedalaman. Orang Jawa pesisir yang awalnya meneguhkan ajaran Islam yang berkarakter ortodoks karena jaringan perdagangan internasional kini mengikuti karakter keislaman masyarakat pedalaman yang agraris dan statis dengan pengaruh pra Islam.137 Para pendakwah awal menyiarkan ajaran Islam yang dikenal dengan sebutan Walisongo, mereka adalah : 1. Syaikh Maulana Malik Ibrahim Syaikh Maulana Malik Ibrahim as-Samarkandi adalah putra Syaikh Jumadil Kubra, beliau bersaudara dengan Maulana Iskhak. Menikah dengan isterinya saudara perempuan Raja Negeri Campa, berputera 2 orang, yaitu Raden Ali Rahmat (Sunan Ampel) dan Raden Santri (Ali Murtadla). Beliau datang di Jawa tahun 1404 M, setelah agama Islam lama masuk di Jawa Timur Namun beliau hanya 15 tahun hidup di Gresik karena tahun 1419 M beliau wafat. Di batu nisan makamnya di Gresik Jawa Timur terdapat tulisan Arab yang terjemahannya berbunyi: Inilah makam almarhum almaghfur yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para Pangeran, sendi para Sultan, dan para menteri, penolong fakir miskin, yang berbahagia dan syahid cemerlangnya simbol negara dan 136 137
Solichin Salam, Sekitar Walisongo, Kudus: Penerbit Menara, 1960, h. 23 H.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern , h.16
125 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
agama. Allah meliputinya dengan rahmat dan keridhaannya serta dimasukkan ke dalam surga. Wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal 822 H.138 2. Sunan Ampel (Raden Rahmat) Raden Rahmat lahir tahun 1401 M adalah putra Syaikh Maulana Malik Ibrahim as-Samarkandi yang menikahi putri raja Campa. Malik Ibrahim meninggalkan Campa karena akan dibunuh oleh ayah mertuanya yang menolak masuk Islam. Setelah berganti raja Raden Rahmat yang berumur sekitar 20 tahun, Raden Santri adiknya dan saudara sepupunya Raden Burereh putra Raja Jaga di Campa yang telah masuk Islam, minta diri kepada Raja menuju Majapahit untuk menengok saudara Raja yaitu bibi Darawati. Mereka singgah di Palembang pada 1440 M dan sampai di Majapahit sekitar tahun 1443 M dan bertemu dengan Prabu Brawijaya V serta tinggal selama setahun.139 Raden Rahmat selanjutnya menikah dengan anak Adipati Arya Teja dari Tuban, Ni Gede Manila serta tinggal di Ampel. Babad Gresik menceriterakan bahwa Raden Rahmat berhasil mengubah daerah berair dan berlumpur menjadi daerah makmur serta pusat dakwah Islam. Raden Rahmat atau Sunan Ampel wafat pada 1481 M dan dimakamkan di Ampel, Surabaya Jawa Timur. Sementara saudaranya, raden Santri wafat di Gresik pada 1465 M. 3. Sunan Giri (Raden Paku) Beliau adalah putra Maulana Iskhak (Syaikh Wali Lanang) saudara dari Maulana Malik Ibrahim as-Samarkandi. Ibu Sunan Giri adalah Dewi Sekardadu dari Blambangan Banyuwangi.140 Bersama Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) mereka belajar ilmu agama dari Sunan Ampel. Sejak umur 16 tahun Raden Paku memiliki keistimewaan dibanding santri lainnya. Saat malam Sunan Ampel mengelilingi pesantren untuk melihat keadaan santrinya. Terlihat cahaya dari bersinar dari seorang santrinya, lalu sarungnya diberi bertali. Ternyata saat pagi 138
139
140
Asnan Wahyudi Abu Khalid, Kisah Walisongo, Surabaya: Karya Ilmu, tt, h. 17 Agus Sunyoto, Sejarah Perjuangan Sunan Ampel: Taktik dan Strategi Dakwah Islam di Jawa Abad 14-15, Surabaya: Penerbit LPLI Sunan Ampel, t.t. h. 36 Babad tanah Jawi versi Meinsma, KITLV, 1987, h. 20-21
126 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
sarung Raden Paku-lah yang bertali. Ia juga diceritakan belajar mengaji dari Gresik dan tidak menetap di pesantren Ampel, karena ia mampu menempuh jarak jauh itu hanya sekejap saja. Kisah menarik lainnya adalah tentang dagangan yang ia bawa ke Kalimantan ternyata tidak ia jual tetapi malahan ia bagikan kepada masyarakat sebagai zakat mal ibunya. Sementara dalam perjalanan pulang dari Kalimantan kapalnya diisi dengan pasir yang kemudian berubah menjadi barang dagangan rotan, damar dan kemenyan.141 Raden Paku dan pemuda Bonang berkeinginan menuntut ilmu dan melaksanakan haji di Makkah tetapi keduanya baru sampai di Pasai atau Malaka saja. Di sana keduanya berguru kepada ayah Raden Paku yaitu Maulana Iskhak (Syaikh Wali Lanang). Raden Paku disarankan untuk pulang kembali ke Tanah Jawa saja dan dibekali segenggam tanah. Setiba di Gresik dicarinya daerah yang bersusunan tanah sama dengan bekal tanah dari ayahnya. Di tanah berbukit (Giri) itulah Raden Paku membangun masjid dan menjadikannya sebagai pusat penyebaran agama Islam sehingga ia dikenal dengan sebutan Sunan Giri142 Kecerdikannya juga tampak saat Raja Girindrawardana dari Kediri menaklukkan Raja Brawijaya V (Kertajaya) dari Majapahit dilawan oleh tentara putra Brawijaya V yaitu Raden Patah dari Demak. Tentera Islam yang terdesak dipimpin oleh Sunan Giri dan ialah yang menaklukkan keris Kalamunyeng dan menyerahkan keris Sangkelat dan Mesanular dari Girindrawardana kepada Raden Patah.143 Sunan Giri wafat di Giri Surabaya Jawa Timur 4. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, cucu Maulana Malik Ibrahim. Dengan demikian silsilah nya sama dengan silsilah Sunan Drajat saudaranya. Beliau adalah pemimpin tertinggi tentera Demak yang menentukan Sunan Ngudung sebagai panglima perang. Ketika Sunan Ngudung wafat, Sunan Bonang menunjuk Sunan Kudus putranya sebagai 141
142 143
Aminuddin Kasdi, Kepurbakalaan Sunan Giri Sosok Akulturasi Kebudayaan Jawa Hindu dan Islam pada Abad 15-16, Surabaya : IAIN Sunan ampel, 1987, 31 Ibid, h. 32 Babad Demak, No.B.31, Koleksi Perpustakaan Mangkunegaran, Pupuh 20-31
127 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
penggantinya dan memberikan strategi perangnya. Tiga persidangan penting yang ia pimpin adalah sidang pengangkatan Raden Patahsebagai raja pertama Bintoro, pembangunan masjid Demak, dan kasus Syaikh Siti Jenar yang mengajarkan persatuan Tuhan dan Hamba.144 Termasuk usulan persyaratan legalitas baju Antakusuma bagi raja yang akan diangkat sebagai raja dan panglima perang di Jawa. Sunan Bonang melakukan dakwah Islam di daerah Tuban, Pati, Madura dan Pulau Bawean, sementara beliau tinggal di Bonang suatu nama yang muncul karena beliau pencipta alat musik bonang. Beliau juga menciptakan tembang dan gending-gending Jawa untuk berdakwah yang sangat disukai rakyat. Bila beliau membunyikan bonang masyarakat sekeliling datang berduyun ke masjid. Kolam yang biasanya dibuat sekeliling pura, masih diteruskan dengan dibuat sekeliling masjid sehingga orang yang datang ke masjid kakinya bersih. Dakwah diajarkan lewat tembang yang diciptakannya. Ajaran Islam yang disampaikan Sunan Bonang tertuang dalam Het Boek Van Bonang dan Een Javansche Geschrift nit de16 Eeuw yakni naskah wejangan yang diyakini sebagai ajaran yang berlaku pada abad ke-16. Dan pengajaran itu bersumber dari kitab-kitab: a. Ihya’u Ulum al-Din dari al-Ghazali b. Tahmid dari Abu Syakur bin Syuaib as-Salami c. Talkis al-Minhad dari Nawawi d. Quth al-Qulub dari Abu Thalib al-Maki e. Risalah al-Makkiyah fi Thariq al-Sad al-Shufiyah dari al-Tamami f. Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki g. Hayat al-Auliya dari Abu Nu’aim al-Isfahani dan tulisannya juga bersumber dari tulisan Abu yazid al-Isfahani, Ibnu al-Arabi, Ibrahim alIraqi dan Syaikh Abdul Qadir Jaelani.145 Ajaran Sunan Bonang yang diklasifikasikan dalam bidang akidah mengajarkan bahwa adanya bumi ini menunjukkan adanya Allah, Tuhan sebagai Dzat yang tiada memerlukan waktu dan tempat. Dia tidak berada di luar atau di dalam tetapi keberadaannya dapat dirasakan dalam alam. Ia adalah Tuhan yang bersifat sebagaimana diajarkan dalam alQur’an. 144 145
Ibid Bandingkan dengan Wiji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah Metode Dakwah Walisongo, Bandung: Mizan, 1995, 154-159
128 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Akidah yang sesat menurut Sunan Bonang adalah: 1. menyebut Allah sebagai penyebab pertama dan meyakini bahwa Allah tidak menciptakan bumi (Deisme) adalah sesat. Allah itu adalah pencipta, pemelihara, menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan adalah bertentangan dengan tauhid. 2. menyebut bahwa alam ini adalah maujud dengan cara pelimpahan (emanasi), ini bertentangan dengan tauhid, oleh karena akan berakibat pada wahdatul wujud. Sunan Bonang mengajarkan ada Khalik (yang mencipta) dan makhluk (yang diciptakan) 3. menganggap bahwa manusia adalah Tuhan adalah sesat. Tuhan dan manusia dianggap tidak berbeda karena fana dianggap bersatunya manusia dengan Tuhan. Padahal arti fana adalah bahwa keinginan dan kehendak hanya tertuju kepada Allah. 4. Paham yang menyatakan bahwa sifat Allah adalah dzatNya maka sesat. Jika Allah melihat maka melihat adalah dzatNya juga, maka anggapan sifat dan dzat tidak berbeda adalah sesat. 5. Paham batiniyah adalah sesat, semisal melakukan shalat tidak perlu, yang penting adalah hakikat shalatnya saja. 6. Paham Mu’tazilah juga sesat karena mengingkari sifat kudrat dan iradat Allah.146 Ajarannya dalam bidang syariah adalah menasihati agar orang tidak melalaikan ketentuan yang telah diturunkan Allah lewat RasulNya. Manusia harus memperhatikan 5 hukum syariat yaitu wajib, sunah, makruh, mubah dan harm. Diuraikan pula dalam kitab itu tentang niat baik, tertib, mendirikan shalat dan mencari ilmu. Sedangkan dalam bidang tasawuf Sunan Bonang mengajarkan tentang ihsan, suatu kenikmatan hidup yang dicapai dan dirasakan lewat hidup yang tawadlu’, ibadah yang khusyu’ kepada Allah. Dilengkapi dengan Kasyaf melalui kesungguhan dan kecintaan kepada Allah. Ia mengajarkan pula cara-cara untuk sampai ke sana. Ia memberikan tamsil riwayat para shalihin, nabi Syuaib, Nabi Dawud, Ibrahim dan kisah Hasan Basri, wasiat-wasiat dari para Syaikh. Tasawuf Sunan Bonang adalah tasawuf abad pertengahan yang menekankan zuhud, menjauhi dunia, hawa nafsu dan syaitan yang harus dilawan dengan mujahadah, sungguhsungguh. Diajarkan pula dalam tasawufnya agar sedikit bicara, jangan banyak tertawa, bersikap rendah hati, tidak mementingkan diri sendiri, 146
Ibid, h. 154-180
129 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
sabar, tidak putus asa, tidak gila dunia, menarik diri dari keramaian yang tidak berguna, serta berperasaan syukur atas karunia Allah terhadapnya. Orang harus menjauhi tanda-tanda buruk pada diri manusia seperti dengki, sombong, pamer, gila hormat dan serakah. Serta hendahnya suka shalat malam, membaca al-Qur’an dan mengerjakan shalat sunnah. Nasihat itu semuanya disampaikan secara populer. 5. Sunan Drajat (Raden Qasim) Sunan Drajat adalah putra Sunan Ngampel bersaudara dengan Sunan Bonang, ipar Sunan Giri, ipar Raden Patah serta ipar Sunan Kalijaga. Sunan Drajat membuka pesantren di desa Jelog, termasuk Banjarwati kecamatan Paciran. Ketika satu tahun bermukim di Jelog, beliau pindah ke 1 km sebelah selatan. Barulah setelah 3 tahun beliau mendirikan pesantren yang lebih strategis lagi dan lebih tinggi yang disebut Dalem Duwur. Kini tempat itu dijadikan Museum yang cukup megah. Lewat lagu Jawa ia ajarkan; - Berilah tongkat pada orang yang buta maksudnya Beri petunjuk pada orang yang tidak tahu - Berilah makan pada pada orang yang lapar maksudnya Sejahterakanlah kehidupan rakyat miskin - Berilah pakaian pada orang yang telanjang maksudnya Ajarkanlah budi pekerti bagi orang tidak beradab - Berilah tempat berteduh bagi orang yang kehujanan maksudnya Berilah perlindungan bagi orang yang tertindas Beliau juga salah satu dari Walisongo yang ikut berpartisipasi pada pembangunan Masjid Demak. Beliau dimakamkan di desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.147 6. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) adalah putra Sunan Ngudung. Sunan Ngudung adalah cucu mantu dari Sunan Ampel yang dinikahkan dengan Syarifah anak Nyi Ageng Maloka anak Sunan Ampel. Setelah Sunan Ngudung wafat dalam peperangan melawan Majapahit, Ja’far Shadiq diangkat sebagai panglima dan selanjutnya Penghulu di Keraton Demak. Dalam peperangan melawan penguasa Majapahit dari Kediri ia 147
Diringkas dari Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, Kisah Walisongo, Surabaya: Karya Ilmu, tt, h. 73-76
130 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
mengajak bupati yang telah memeluk Islam, yaitu bupati Madura, Adipati Sumenep, Adipati Pamekasan, Baliga dan Panaraga bersatu melawan Majapahit. Kemenangan itu diganggu dengan keris Kalamunyeng yang kemudian bisa ditangkap oleh Sunan Giiri. Pada penaklukan ke timur berikutnya jatuhlah Tandes dan Blambangan, Madiun dan sampai Cirebon. Para prajurit membawa pulang ke Demak bangunan peradilan Majapahit sebagai serambi masjid Demak. Di Demak rombongan ini disambut oleh Raja Demak, Sunan Bonang, Sunan Gunungjati, Sunan Kalijaga dan Sunan Giiri. Sunan Kudus juga menaklukkan adipati Handayaningrat yang akan lepas dari Demak. Perjalanannya ke Pengging membawa bende yang pada suatu malam bende itu ditabuh yang bersuara seperti harimau mengaum. Masyarakat di situ heran dan Sunan Kudus menamai desa itu Sima di Boyolali. Dalam perjalanan itu masih banyak nama-nama yang diberikan pada tempat yang dilewati. Pada akhir hidupnya Ja’far Shadiq dimakamkan di halaman masjid Menara Kudus dan dikenal dengan nama Sunan Kudus. 7. Sunan Kalijaga Nama Sunan Kalijaga pada masa mudanya adalah Raden Sahid, Lokajaya, Abdurrahman atau Pangeran Tuban. Diperkirakan lahir sekitar tahun 1450 M. Ia menikah dengan puteri Sunan Ampel saat berumur lk 20 tahun pada 1470. Sementara itu Sunan Ampel berumur 50 tahun. Sunan Kalijaga mengalam masa hidup yang lama, ia melewati 3 masa pemerintahan. Masa akhir Majapahit (1478), masa Kesultanan Demak (1481-1546) dan masa Kesultanan Pajang (1568). Diperkiraka Sunan Kalijaga berusia lebih dari 100 tahun, beliau wafat pada tahun 1580. Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang di pondok Bonang. Di situ ia belajar tentang: dari mana asal-usul kejadian alam semesta termasuk di dalamnya tentang manusia, kemana perginya nanti dalam kelenyapannya sesudah adanya, apa perlunya semua ituadanya sebelum lenyapnya nanti, apa perlunya manusia itu hidup, apa sejatinya hidup itu. Ilmu sangkan paraning dumadi inilah yang kemudian menjadi wejangan Sunan Kalijaga kepada para muridnya.sebagai dasar dan permulaan segala wejangan-wejangannya. Selanjutnya Sunan Kalijaga melanjutkan berguru kepada Syaikh Sutabris di Pulau Upih di Malaka sebelah utara sungai. Setelah ia berpindah ke Cirebon, Ia juga berguru kepada Sunan Gunungjati.
131 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Dikisahkan ia melakukan dakwahnya sejak dari Rembang - Purwodadi Salatiga - Kartasura - Kutoarja - Kebumen-Banyumas. 8. Sunan Muria (Raden Prawata) Sunan Muria dalam melaksanakan dakwah Islam di Jawa Tengah seperti daerah Jepara, Tayu, Juana dan sekitar Kudus. Beliau menggunakan pendekatan yang hampir sama dengan Sunan Kalijaga, juga sebagaimana wali lainnya menciptakan tembang Jawa. Disebutkan bahwa Sunan Giri menciptakan tembang Asmaradana dan Pucung, Sunan Kalijaga menciptakan lagu Dhandhanggula dan Dhandhanggula Semarangan, Sunan Bonang menciptakan Durma, Sunan Kudus menciptakan Maskumambang dan Mijil, Sunan Drajat menciptakan Pangkur dan akhirnya Sunan Muria menciptakan Sinom dan Kinanthi. Sunan Muria juga menggunakan metode yang tidak melawan budaya yang ada, namun diwarnai dengan ajaran Islam. Para wali telah menggubah beberapa lakon pewayangan yang isinya membawa pesan Islam, antara lain cerita Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, Pandu Pragola, Semar ambarang Jantur, Mustakaweni, Sekutrem, Yasa Pusaka, Begawan Ciptaning, Bale Sigala-Gala, Wahyu Widayat,dan Kresna Gugah. Murid-murid Sunan Muria tidak hanya berasal dari Tayu tetapi juga dari Pandanaran atau Semarang. 9. Sunan GunungJati (Syarif Hidayatullah148 Syarif Hidayatullah lahir d Pasai daerah Aceh. Ia meninggalkan Pasai setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 untuk menimba ilmu di Arab. Pada sekitar 1521 beliau pulang kembali ke Pasai. Namun tak lama ia pergi ke Jawa, menuju Jepara. Di situ beliau mendakwahkan agama Islam dan kemudian ia melanjutkan tugas dakwahnya ke Demak. Beliau menikahi adik Sultan Trenggono.149 Sunan GunungJati meninggal pada tahun 1570 dimakamkan di desa Astana 148
149
Tim Research dan Survey IAIN Walisongo Semarang, Bahan-Bahan Sejarah Islam di Jawa Tengah bagian Utara, Laporan Hasil Penelitian, 1982, h. 19-20 Sejarah Sunan Gunungjati, h. 12
132 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
sebelah utara kota Cirebon, dan di tahun yang sama Sultan Hasanuddin meninggal pula di Banten Mereka para pendakwah inilah yang dianggap sangat berjasa untuk menanamkan keimanan dan keIslaman masyarakat Jawa. Sebagai penghormatan kepada para pendakwah yaitu para Waliyullah, masyarakat muslim Jawa melakukan ziarah kubur dengan tujuan muraqabah (persatuan spiritual) dengan para Wali. Masyarakat muslim Jawa yakin bahwa dengan menziarahi kubur akan menjadi lebih dekat dibanding dengan mendoakan di dalam rumah saja. Makam mereka menjadikan kuburan arwah orang yang sudah meninggal sebagai pusat ziarah dan doa. Namun demikian tidak kurang para ulama lain yang juga memperoleh penghormatan akan memngambil berkah (tabarrukan) karena karamahnya.
dahulu Nabi melarang ziarah kubur, kemudian Nabi menyuruh kita berziarah (HR Hakim dan Ibnu Majah) Bagaimana adab mendatangi kubur ? 1. Memasuki kubur hendaklah mengucapkan salam 2. Memasuki kubur dengan hati yang bersih dengan menunduk 3. Tidak duduk diatas kubur , menginjak ataupun melangkahi kubur 4. Ingat adanya akhirat dan hari kiamat 5. tidak melakukan apa yang dilarang Allah SWT Beberapa hal tersebut diatas merupakan khazanah budaya dan keagamaan yang perlu untuk dibekalkan dan dihayati bagi pemandu ziarah kubur dalam rangka meningkatkan nilai yang terkandung dalam wisata religi yang diridlai Allah SWT. Amin
C. ZIARAH KUBUR DALAM PERSPEKTIF AGAMA Ziarah kubur dalam agama Islam bertujuan untuk mengambil i’tibar (pelajaran) dari yang diziarahi serta mengingatkan kepada dirinya akan kehidupan nanti di akhirat. Maka di dalam perjalanan ziarah kubur, tidak boleh mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul Nya, semisal : meminta-minta kepada jenazah dan membuatnya perantaraan kepada Allah. Ziarah kubur bisa menjauhkan hati dari kesombongan, juga mengendalikan diri dari hubbud dunya ( cinta yang berlebihan terhadap harta dunia). Ziarah kubur hendaknya diniatkan dengan memohon keridlaan Allah SWT untuk memperbaiki hati, dan memberi manfaat kepada ahli kubur dengan membacakan doa dan kalimah thayyibah yang pahalanya disampaikan kepada ahli kubur yang dimaksud Ziarah kubur bagi perempuan diizinkan dengan tetap menjaga kesopanan agar tidak menimbulkan fitnah. Bagi perempuan hendaknya mampu menahan diri untuk tidak meratapi jenazah atau yang dikubur, atau menampar pipi serta merobek-robek pakaian sebagaimana ratapan jahiliyah. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad saw : Pada suatu hari Aisyah pulang dari kubur, kemudian aku bertanya: Ya Ummul Mukminin, dari manakah engkau? Beliau menjawab : Dari kubur saudaraku, Abdurrahman. Kemudian aku bertanya lagi: Bukankah Rasulullah melarang kita menziarahi kubur? Beliau menjawab : Benar,
133 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
DAFTAR PUSTAKA
Agus Sunyoto, Sejarah Perjuangan Sunan Ampel: Taktik dan Strategi Dakwah Islam di Jawa Abad 14-15, Surabaya: Penerbit LPLI Sunan Ampel, tt. Aminuddin Kasdi, Kepurbakalaan Sunan Giri Sosok Akulturasi Kebudayaan Jawa Hindu dan Islam pada Abad 15-16, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 1987 Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, Kisah Walisongo, Surabaya: Karya Ilmu, tt. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media, 2000 Solichin Salam, Sekitar Walisongo, Kudus: Penerbit Menara, 1960
134 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Tim Research dan Survey IAIN Walisongo Semarang, BahanBahan Sejarah Islam di Jawa Tengah bagian Utara, Laporan Hasil Penelitian, 1982 Wiji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah Metode Dakwah Walisongo, Bandung: Mizan, 1995 _____________, Babad Demak, No.B.31, Koleksi Perpustakaan Mangkunegaran _____________, Babad tanah Jawi versi Meinsma, KITLV, 1987
DINAMIKA PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH MENURUT MUHAMMADIYAH (Studi atas Kriteria Wujûd al-Hilâl dan Konsep Maţla’) Oleh: Rupi’i Amri* Abstract Muhammadiyah uses hisab hakiki wujud al-hilal (the existence of crescent above the horizon) in determining the beginning of kamaria month. The use of this method, sometimes, has impacted in deciding the time for Ramadan, Idul Fitri, and Idul Adha. The results, sometimes, differ from the government and other Islamic organization’s conclusions. This research is to answer following questions: 1) Why does Muhammadiyah use hisab hakiki wujud al-hilal to determine the beginning of kamaria months?, 2) How are the position of mathla’ and date line used by Muhammadiyah in determining the beginning of kamaria months if date line separate Indonesian area?, 3) How does Muhammadiyah justify wujud al-hilal concept that meets with astronomical criteria? This research is a qualitative library research based. The method for collecting data is a document study and interview, while descriptive analysis is choosen for the method for data analysis. Ushul al-fiqh and scientific cum-doctriner approaches are also used as supporting tools for the data analysis. The research shows several interesting results. First, the decision of Muhammadiyah to use hisab hakiki wujud al-hilal is basically shaped by Muhammadiyah’s understanding on Islamic tradition. Second, mathla’ that has taken by Muhammadiyah as parameter is mathla’ wilayah al-hukm (all of Indonesian area). Third, the reorientation of Muhammadiyah to justifies or to match wujud alhilal criteria with astronomical criteria, namely crescent visibility according to international criteria, so far, has not been officially decided yet. The idea still runs as discourse among Muhammadiyah’s leaders.
Keywords : Hisab hakiki, wujud al-hilal, mathla’ 135 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
136 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
perjalanan mengelilingi Bumi dari satu ijtima’ (konjungsi) ke ijtima’ berikutnya.154 Umat Islam sampai saat ini masih berbeda-beda dalam menentukan awal bulan kamariah. Perbedaan cara itu mengakibatkan perbedaan pula dalam memulai peribadatanperibadatan tertentu, yang paling menonjol ialah perbedaan dalam memulai puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan oleh dua hal pokok, yaitu pertama, segi penetapan hukum, dan kedua, segi sistem dan metode perhitungan.155 Hisab di Indonesia, di lihat dari segi sistemnya, dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu hisab ‘urfi dan hisab hakiki. Hisab ‘urfi cara penentuannya dengan perhitungan yang didasarkan kepada peredaran Bulan dan Bumi rata-rata dalam mengelilingi Matahari. Perhitungan hisab ‘urfi ini, setahun ditetapkan 12 bulan, tiap bulan ganjil (bulan ke-1, 3, 5, 7, 9, 11) berumur 30 hari dan bulan genap (bulan ke2, 4, 6, 8, 10, 12) berumur 29 hari kecuali bulan Zulhijah pada tahun kabisat berumur 30 hari, di mana tahun kabisat terjadi 11 kali selama 30 tahun.156 Adapun hisab hakiki adalah penentuan awal bulan kamariah dengan perhitungan yang didasarkan kepada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya.157 Perbedaan metode dan kriteria penentuan awal bulan kamariah yang digunakan oleh Muhammadiyah ini kadangkala menyebabkan perbedaan penetapan awal puasa Ramadan, dan hari raya, baik hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Perbedaan metode dan kriteria penentuan awal bulan kamariah yang digunakan oleh Muhammadiyah ini kadangkala
A. Latar Belakang Peredaran Bulan mengelilingi Bumi merupakan hal yang sangat penting bagi umat manusia, khususnya umat Islam. Bulan beredar mengelilingi Bumi dalam waktu 27,32166 hari atau 27 hari 7 jam 43 menit 11,42 detik.150 Waktu edar ini dikenal dengan nama periode sideris atau syahr nujumi.151 Selain beredar mengelilingi Bumi, Bulan juga berotasi mengelilingi sumbunya dengan periode yang hampir sama dengan periode siderisnya. Akibatnya bagian Bulan yang menghadap ke Bumi akan selalu sama152. Revolusi Bulan ini dijadikan dasar perhitungan bulan kamariah, tetapi waktu yang dipergunakannya, sebagaimana dikemukakan Muhyiddin Khazin, bukan waktu sideris (syahr nujumi), melainkan waktu sinodis (syahr iqtirani).153 Hal ini disebabkan lama rata-rata bulan sinodis (syahr iqtirani) adalah 29 hari 12 jam 44 menit 2,5 detik, sehingga Bulan telah sempurna melakukan * Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang 150
Waktu yang diperlukan oleh Bulan untuk melakukan rotasi dan revolusi adalah sama yaitu 27 hari, 7 jam, dan 43 menit. Syaikh Bakhit, sebagaimana dikemukakan oleh Husein Kamaluddin menjelaskan bahwa waktu yang ditempuh Bulan dalam mengelilingi orbitnya selama 27 hari 7 jam 43 menit 4 detik. Waktu yang diperlukan oleh Bulan dari satu ijtima’ ke ijtima’ berikutnya adalah 29,5 hari 44 menit 3 detik. Lihat Husein Kamaluddin, Ta’yin Awaili asySyuhur al-’Arabiyah bi al-Isti’mal al-Hisab, Jeddah: Dar al-Nasyr, 1979, hlm. 74. Qamariah, Menurut Tono Saksono rotasi yang sinkron dengan revolusinya ini akibat distribusi massa Bulan yang tidak simetris, yang mengakibatkan gaya gravitasi Bumi dapat mengikat salah satu belahan Bulan selalu menghadap ke Bumi. Lihat Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, Jakarta: Amytiyas Publicita, 2007, hlm. 27.
154
Periode sideris adalah waktu edar Bulan mengelilingi Bumi dalam lingkaran 360°. 152 Susiknan Azhari, Ilmu Falak (Teori dan Praktek), Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004, hlm. 15. 153 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008, hlm. 132.
Muhammad Wardan, Hisab ‘Urfi dan Hakiki, Yogyakarta: Siaran, 1957, hlm. 50. 155 Departemen Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Islam, t.t., hlm. 34. 156 Setelah dilakukan perhitungan secara cermat diketahui bahwa jumlah hari dalam satu tahun (12 bulan) adalah 354 11/30 hari. Departemen Agama RI (t.t.: 43) menjelaskan bahwa untuk menghindari terjadinya pecahan tersebut diciptakan tahun-tahun panjang (kabisat) yang berumur 355 hari dan tahuntahun pendek (basitah) yang berumur 354 hari. 157 Departemen Agama RI, Almanak ..., op. cit., hlm. 99.
137 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
138 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
151
menyebabkan perbedaan penetapan awal puasa Ramadan, dan hari raya, baik hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Muhammadiyah menentukan tiga kriteria dalam penetapan awal bulan, yaitu 1) telah terjadi ijtima’ (konjungsi), 2) Ijtima’ (konjungsi) itu terjadi sebelum Matahari terbenam, dan 3) pada saat terbenamnya Matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud). Ketiga kriteria ini harus terpenuhi secara kumulatif, artinya ketigatiganya harus terpenuhi sekaligus.158 Ketentuan Muhammadiyah untuk memberlakukan ketiga kriteria tersebut didasari pada kondisi empiris yang pernah terjadi secara astronomis bahwa Bulan bisa saja telah wujud sebelum ijtima’. Pemahaman Muhammadiyah mengenai hilal berbeda dengan konsep hilal yang banyak dipahami dalam astronomi, yakni Bulan sabit yang tampak pada beberapa saat sesudah ijtima’. Hal lain yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah konsep mathla’ dan garis tanggal yang dipakai oleh Muhammadiyah. Mathla’ yang lebih banyak dipakai untuk membatasi batas suatu wilayah dalam memberlakukan rukyah dipakai oleh Muhammadiyah dalam memberlakukan masuknya awal bulan kamariah di suatu wilayah tertentu, padahal Muhammadiyah menentukan masuknya suatu tanggal dengan menggunakan hisab (dengan tiga kriterianya). Dari latar belakang pemikiran tersebut menarik untuk diadakan penelitian lebih lanjut tentang metode dan kriteria yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan kamariah, terutama tentang kriteria wujud al-hilal dan konsep mathla’ B. Permasalahan Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Mengapa hisab hakiki kriteria wujud al-hilal digunakan oleh Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan kamariah?
2.
3.
Bagaimana kedudukan mathla’ dan garis tanggal yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan kamariah apabila garis tanggal tersebut membelah wilayah Indonesia? Bagaimana Muhammadiyah melakukan re-orientasi wujud al-hilal menyesuaikan dengan kriteria astronomis?
C. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Sumber data primernya berupa pandangan-pandangan Muhammadiyah tentang metode penentuan awal bulan kamariah, yaitu ketetapan-ketetapan dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), hasil keputusan Munas Tarjih, Tuntunan Ramadan dan Idul Fitri oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (2005), Pedoman Hisab Muhammadiyah oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2009), dan Ensiklopedi Muhammadiyah oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2005). Data-data sekundernya adalah karya-karya lain yang berbicara langsung atau tidak langsung tentang penentuan awal bulan kamariah menurut Muhammadiyah. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research atau penelaahan dokumen.159 Dalam penelitian ini penulis melakukan studi dokumentasi untuk memperoleh data yang diperlukan dari berbagai macam sumber, seperti dokumen yang ada pada informan dalam bentuk peninggalan karya pikir. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitis. Pendekatan yang digunakan adalah ushul al-fikih, astronomi,160 dan scientific-cum-doktriner.161 159
158
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Cetakan Kedua, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009, hlm. 79.
M. Atha Mudzhar, Pendekatan Studi Islam (Teori dan Praktek), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 47-57. 160 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 194. 161 Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hlm. 32.
139 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
140 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
D. Pembahasan dan Temuan 1. Hisab Hakiki Kriteria Wujud al-hilal Penentuan awal bulan kamariah menurut Muhammadiyah pada awalnya menggunakan empat cara, yaitu rukyah, persaksian orang adil, istikmal162, dan hisab. Hal ini dapat dilihat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) sebagai berikut: ”Apabila kamu menyaksikan datangnya bulan Ramadlan (1) dengan melihat hilal (2) atau persaksian orang yang ’adil (3) atau dengan menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari apabila berawan (4) atau dengan hisab, maka puasalah dengan ikhlas niyatmu karena Tuhan Allah S.w.t. belaka ...”163 Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa pada prinsipnya Muhammadiyah mengakui keempat cara (rukyah, persaksian orang adil, istikmal, dan hisab) dalam menentukan awal bulan kamariah, khususnya awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Dalam perkembangannya Muhammadiyah cenderung kepada rukyah dan hisab dalam menentukan awal bulan kamariah. Lebih tegas lagi, seandainya terdapat perbedaan antara ahli hisab yang menetapkan bahwa Bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga, Majelis Tarjih lebih memilih rukyah sebagai pendapat yang mu’tabar.164 Hisab hakiki yang digunakan oleh Muhammadiyah sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Wardan165 adalah perhitungan berdasarkan peredaran
Matahari dan Bulan yang sebenar-benarnya dan setepattepatnya.166 Hal ini berbeda dengan hisab ‘urfi yang menghitung umur bulan secara tetap, yakni pematokan hari dalam bulan-bulan hijriyah sebanyak 30 hari untuk bulan ganjil (bulan ke-1, 3, 5, 7, 9, 11) dan 29 hari untuk bulan genap (bulan ke-2, 4, 6, 8, 10, 12) secara terusmenerus dalam satu tahun kecuali bulan Zulhijah pada tahun kabisat berjumlah 30 hari.167 Kecenderungan Muhammadiyah untuk menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan kamariah, di samping peran penting dari Muhammad Wardan sebagai Ketua Majelis Tarjih dan ahli falak pada saat itu, juga disebabkan oleh pemahaman dalil-dalil tentang rukyah oleh Muhammadiyah yang berbeda dengan pemahaman sebagian umat Islam yang lain. Muhammadiyah memahami bahwa perintah rukyah yang terdapat dalam beberapa hadith Nabi saw. berupa pengaitan penetapan awal bulan dengan rukyah hilal atau penggenapan bilangan hari menjadi 30 (tiga puluh) hari apabila hilal tidak terlihat (istikmal) merupakan perintah yang mengandung ‘illat (kausa hukum). Adapun ‘illatnya adalah keadaan umat Islam yang pada waktu itu masih ummi sebagaimana dalam hadith yang diriyatkan oleh Imam Muslim.168
2. Mathla’ dan Garis Tanggal
Istikmal adalah menyempurnakan bilangan bulan kamariah yang sedang berjalan menjadi 30 (tiga puluh) hari. 163 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammdiyah, t.t., hlm. 170. 164 Ibid., hlm. 291. 165 Muhammad Wardan dilahirkan pada tanggal 19 Mei 1911 di Kampung Kauman Yogyakarta. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara seayah-ibu. Mereka adalah Umniyah, Muhammad Darun, Muhammad Jannah, Muhammad Jundi,
Burhanah dan Wari’iyah. Selain itu ia juga mempunyai saudara yang berlainan ibu, yaitu Djalaluddin, Siti Salaman dan Siti Nafi’ah. Ayahnya adalah Kiai Penghulu Kanjeng Raden Haji Muhammad Kamaludiningrat, seorang penghulu keraton Yogyakarta tahun 1914-1940. Muhammad Wardan diangkat sebagai ketua Majelis Tarjih sejak tahun 1963 berdasarkan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Jakarta sampai tahun 1985. Lihat Yunan Yusuf dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta: RajaGrafindo Persada Kerjasama dengan Majelis Dikdasmen PP Muhammdiyah, 2005, hlm. 88. 166 Muhammad Wardan, Hisab ‘Urfi dan Hakiki, Yogyakarta: Siaran, 1957, hlm. 32. 167 Departemen Agama RI, Almanak …, op. cit., hlm. 99. 168 Imam Muslim, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., Juz III, hlm. 123-124.
141 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
142 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
162
Mathla’ adalah tempat terbitnya benda-benda langit. Dalam bahasa Inggris mathla’ disebut rising place. Susiknan Azhari mengemukakan bahwa mathla’ adalah batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya hilal atau dengan kata lain mathla’ adalah batas geografis keberlakuan rukyah.169 Istilah mathla’ apabila dikaitkan dengan awal bulan kamariah, khususnya awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah mengarah pada batas geografis keberlakuan rukyah. Abu al-’Abbas mengemukakan bahwa di kalangan ulama terdapat dua kelompok dalam memahami pemberlakuan konsep mathla’. Kelompok pertama menyatakan bahwa konsep mathla’ hanya berlaku bagi wilayah yang berada di dekat tempat rukyah. Wilayah yang berada di dekat tempat rukyah harus mengikuti hasil rukyah, sedangkan wilayah yang jauh dari tempat rukyah tidak dapat mengikuti hasil rukyah.170 Kelompok kedua mengemukakan kebalikannya, yakni konsep mathla’ dapat diterapkan pada wilayah yang berjauhan. Batasan jauh yang dimaksud oleh kelompok ini mengandung dua pengertian, yakni jauh dalam arti perjalanan yang jaraknya diperbolehkan untuk mengqasar shalat dan jauh dalam arti jarak antara dua wilayah yang bersangkutan.171 Umat Islam berbeda pendapat dalam memahami konsep mathla’ yang didasarkan pada hadith Kuraib. Perbedaan pendapat tersebut tertuju pada sejauh mana batas geografis keberlakuan rukyah hilal di suatu wilayah dapat diberlakukan di wilayah lain dalam suatu negara atau bahkan di seluruh dunia. Dalam pengertian ini kemudian muncul istilah ikhtilaf al-mathla’.172 Oleh sebab itu, pembahasan ikhtilaf al-mathla’ di berbagai wilayah
Islam lebih ditekankan pada persoalan awal terbit hilal menjelang puasa Ramadan dan akhir Ramadan. Muhammadiyah dalam menentuan awal bulan kamariah juga menetapkan konsep mathla’. Dalam MTPPI PPM (Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah) disebutkan bahwa mathla’ yang digunakan (oleh Muhammadiyah) adalah mathla’ yang didasarkan pada wilayat al-hukmi (Indonesia).173 Adapun dalil-dalil yang digunakan adalah hadith Kuraib174 dan keumuman hadith Abdullah ibn ’Umar.175 Di sini perlu dicatat bahwa para ulama tersebut mengemukakan pendapatnya pada zaman di mana ilmu falak dan astronomi belum mencapai kemajuan seperti sekarang ini. Di sisi lain para ulama tersebut tidak semuanya menguasai ilmu falak secara cukup, kecuali Ibn Taymiyah yang mempunyai wawasan luas tentang ilmu falak. Oleh karena itu pernyataan mereka mengenai rukyah global, apabila yang dimaksud adalah rukyah fisik, maka tidak dapat dipegangi.176 Rukyah fisik mempunyai jangkauan terbatas, yakni maksimal 9 (sembilan) jam rukyah hanya dapat ditransfer ke arah Timur, sehingga rukyah global mustahil ditransfer ke seluruh dunia. Rukyah tidak mungkin ditransfer apabila lewat dari sembilan jam. Hal ini disebabkan suatu daerah atau kawasan di mana pada saat itu rukyah fisik ditransfer sudah masuk waktu fajar saat terjadinya rukyah fisik di sebelah Barat sehingga tidak mungkin orang di kawasan Timur itu menunggu terjadinya rukyah di sebelah Barat.177 Pendapat para ulama masa lalu yang diikuti oleh sebagian umat Islam sekarang bahwa rukyah fisik di suatu
173
Susiknan Azhari, Ensiklopedi ..., op. cit, hlm. 139. 170 Muhammad ibn Abu al-‘Abbas, Nihayah al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., hlm. 155-156. 171 Ibid. 172 Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, hlm. 1657-1658.
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Tuntunan Ramadlan dan Idul Fitri, Yogyakarta; Suara Muhammadiyah, 2005, hlm. 22-23. 174 Imam Muslim, loc.cit. 175 Ibid., hlm. 122. 176 Syamsul Anwar, Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011, hlm. 105. 177 Ibid.
143 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
144 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
169
pada International Meridian Conference, di Washington yang dihadiri perwakilan dari 25 negara, Garis Meridian Greenwich dipakai secara International sebagai meridian utama yang merupakan basis perhitungan waktu Greenwich Mean Time (GMT). Berjarak 180° dari garis tersebut didefinisikan sebagai garis tanggal international (International Date Lines).179
tempat berlaku untuk seluruh dunia adalah pendapat yang tidak dapat dipegangi. Hal ini disebabkan pada saat itu ilmu pengetahuan astronomi belum mengalami perkembangan yang pesat seperti pada saat ini, termasuk belum ditetapkannya Garis Batas Tanggal Internasional (International Date Line) yang melewati kawasan Kiribati di Laut Pasifik, di mana selisih waktu antara zona waktu ujung Barat dengan zona waktu ujung Timur mencapai 24 (dua puluh empat) jam. Dengan demikian pemberlakkuan rukyah seperti itu adalah mustahil dilakukan. Berkaitan dengan masalah tersebut di sini perlu digarisbawahi bahwa transfer hanya dapat dilakukan dengan hisab, dan yang dapat ditransfer bukanlah rukyah fi’liyah, melainkan rukyah yang dihitung dengan hisab (hisab imkanu ar-rukyah). Orang-orang muslim Indonesia Barat pada hari Senin, 11 Maret 2024 M memutuskan untuk sahur dan mulai berpuasa pada hari itu berdasarkan perhitungan hisab yang menunjukkan bahwa rukyah hilal akan terjadi pada hari Ahad sore beberapa jam lagi di Guatemala.178 Selain konsep mathla’, Muhammadiyah juga memperhatikan garis tanggal dalam menentukan awal bulan kamariah. Dalam MTPPI PPM (2005: 22-23) disebutkan : “Apabila Garis Batas Wujud al-hilal pada awal bulan kamariah tersebut di atas membelah wilayah Indonesia, maka kewenangan menetapkan awal bulan tersebut diserahkan kepada Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah”. Garis tanggal dalam kalender Syamsiyah dikenal dengan istilah International Date Line (IDL). Para ahli geografi mendefinisikan garis-garis meridian (bujur) sebagai garis-garis maya melalui kutub Utara dan Selatan mengelilingi Bumi. Garis-garis tersebut diberi sebutan sesuai dengan titik lintasannya (Timur atau Selatan) dengan mengacu garis meridian Greenwich Observatory di London sebagai garis meridian 0°. Tahun 1884 178
Ibid.
145 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
3. Kecenderungan Re-orientasi Wujud al-hilal Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Muhammadiyah menggunakan metode hisab hakiki dengan kriteria wujud al-hilal dalam menentukan awal bulan kamariah. Dalam hisab hakiki kriteria wujud al-hilal, Muhammadiyah menetapkan bahwa bulan baru kamariah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria sebagai berikut, yaitu : 1) telah terjadi ijtima’ (konjungsi), 2) Ijtima’ (konjungsi) itu terjadi sebelum Matahari terbenam, dan 3) pada saat terbenamnya Matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (Bulan baru telah wujud).180 Ketentuan Muhammadiyah untuk memberikan ketiga kriteria secara kumulatif tersebut didasari pada pemahaman isyarat an-nash firman Allah dalam surat Yasin ayat 39 dan 40 sebagai berikut :
”Dan telah Kami tetapkan bagi Bulan manzilahmanzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya”. [Q.s. Yasin (39): 39-40] 179
Khafid, loc.cit. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarrta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Cetakan Kedua, 2009, hlm. 78.
180
146 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Surat Yasin ayat 39 tersebut memberi petunjuk tentang dimulainya bulan baru, yaitu apabila Bulan telah kembali pada bentuknya yang paling kecil (‘urjun al-qadim). Bentuk Bulan yang paling kecil itu dicapainya di- sekitar saat ijtima’. Dalam keadaan ijtima’, Bulan hanya sekali-sekali saja yang berkedudukan benar-benar dalam satu garis pandangan dengan Matahari apabila dilihat dari Bumi. Apabila terjadi demikian (yakni pada peristiwa gerhana Matahari), maka bagian Bulan yang menghadap ke Bumi adalah semata-mata bagian yang gelap.181 Kelemahan masalah ijtima’, adalah bahwa ia sama sekali tidak dapat diobservasi. Sehubungan dengan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa saat Bulan kembali kepada bentuknya seperti tandan tua (‘urjun al-qadim) sebagaimana disebutkan dalam surat Yasin ayat 39 tersebut, sangat sulit untuk menentukannya. Oleh karena itu ijtima’ saja tidak dapat dijadikan sebagai kriteria masuknya bulan baru. Petunjuk selanjutnya dipahami oleh Muhammadiyah dalam Surat Yasin ayat 40. Pada awal ayat tersebut dikemukakan : ”la asy-syamsu yanbagi laha an tudrika al-Qamara” (Tidaklah mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan). Dalam astronomi dikemukakan bahwa perjalanan bulanan Bulan dan perjalanan tahunan Matahari arahnya sama-sama dari Barat ke Timur. Bulan menempuh perjalanan setiap hari 13° dan Matahari 1°. Hal ini menunjukkan bahwa Bulanlah yang lebih cepat, dan tidak mungkin bagi Matahari dapat mengejarnya, apalagi mendahuluinya.182 Apabila dihubungkan dengan bunyi surat Yasin ayat 39, bagian awal ayat 40 ini menunjukkan dengan jelas bahwa bulan baru ditandai dengan didahuluinya Matahari oleh Bulan karena Bulan berjalan lebih cepat. Oleh karena perlombaan itu berlaku menurut arah dari Barat ke Timur, maka dapat dikatakan dengan istilah lain bahwa bulan baru dimulai apabila Bulan
berkedudukan di sebelah Timur Matahari. Kedudukan Bulan seperti ini biasanya disebut posisi Bulan (hilal) di atas ufuk. Kecenderungan Muhammadiyah, paling tidak pemikiran tokoh-tokohnya di bidang ilmu falak dan astronomi183, kepada kriteria selain wujud al-hilal, terutama kriteria imkan ar-rukyah (visibilitas hilal) mulai terlihat sejak diselenggarakannya Simposium Internasional tentang Upaya Penyatuan Kalender Islam Internasional (The International Symposium Towards a Unified Islamic International Calender)184 di Jakarta. Dalam simposium tersebut beberapa pakar falak dan astronomi Internasional menyampaikan materi yang berkaitan dengan topik tersebut, yaitu Mohammad Ilyas dari Malaysia, Jamaluddin ’Abd ar-Raziq dari Maroko, Muhammad Syaukat ’Audah (Odeh) dari Jordania, dan Muhammad Ahmad Sulaiman dari Mesir185, sedangkan dari Indonesia diwakili oleh seorang peneliti dari LIPI, yakni Farid Ruskanda.186 183
Sa’adoeddin Djambek, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas, 1976, hlm. 10. 182 Ibid., hlm. 11.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah yang menonjol di bidang ilmu falak dan astronomi pada era sekarang adalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2000-2005, 20052010 dan 2010-2015), Drs. Oman Fathurrohman SW, M.A. (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2010-2015), Prof. Dr. Susiknan Azhari, M.A. (Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2010-2015), dan Drs. Sriyatin Shadiq, M.A., anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2010-2015). 184 Simposium Internasional (the International Symposium) tentang Towards a Unified Islamic International Calendar” dilaksanakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tanggal 22-24 Sya’ban 1428 H/46 September 2007 M di Jakarta. 185 Materi yang dibawakan oleh Mohammad Ilyas dalam Simposium Internasional tentang Towards a Unified Islamic International Calendar” adalah “Global Reality of a Unified Islamic Calendar System” (2007), Jamaluddin ‘Abdur Raziq menyampaikan materi “at-Taqwim al-Islami, alMuqarabah asy-Sumuliyah” (2007), Mohammad Syaukat ‘Audah menyampaikan materi “Tatbiqat at-Tiknulujiyyah al-Ma’lumat li I’dad Taqwim Hijri al-‘Alami” (2007), dan Muhammad Ahmad Sulaiman menyampaikan materi “Nahw Siyagah Mabadi’ at-Taqwim al-Islami al-‘Alami” (2007). 186 Farid Ruskanda adalah Research Professor Council LIPI, Direktur PUSPIPTEK (1998-2003), dan Ketua Majelis Profesor Riset PUSPIPTEK (2006-2009). Materi yang dibawakan oleh Farid Ruskanda dalam Simposium
147 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
148 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
181
Di sini penulis mengemukakan secara singkat pemikiran Jamaluddin 'Abd ar-Raziq, salah satu tokoh astronomi (falak) dari Maroko yang menggagas tentang penyatuan kalender hijriah di seluruh dunia. Ia menamakan kalender usulannya dengan at-Taqwim al-Kamari al-Islami al-Muwahhad (Kalender Kamariah Islam Terpadu). Hal ini dilakukan karena para pakar (fikih dan falak) di lingkungan Muhammadiyah, terutama Syamsul Anwar, seringkali menjadikan pemikiran-pemikiran 'Abd ar-Raziq sebagai rujukan. Prinsip yang ditawarkan oleh 'Abd ar-Raziq (2007) dalam upaya penyatuan kalender kamariah Internasional adalah "satu hari satu tanggal dan satu tanggal satu hari" di seluruh dunia. Hal ini berangkat dari keprihatinan 'Abd arRaziq dengan sering terjadinya satu tanggal, terutama pada saat yang sangat penting bagi umat Islam (1 Ramadan, 1 Syawal dan 1 Zulhijah) meliputi beberapa hari. Gagasan ini diamini oleh Mohammad Ilyas untuk mengkaji masalah pembuatan Kalender Hijriah Internasional secara lebih intensif. Ilyas telah mengembangkan suatu kriteria baru untuk menentukan kriteria visibilitas hilal (crescent visibility) dan yang lebih penting lagi ia merupakan orang pertama yang memperkenalkan konsep International Lunar Date Line (Garis Tanggal Kamariah Internasional), walaupun konsep ini mendapat kritik karena sifatnya yang tidak tetap, tetapi bergerak dari bulan ke- bulan.187 Upaya yang gigih dari Mohammad Ilyas untuk menggagas dan mewujudkan Kalender Islam Internasional ini juga dikemukakan oleh Susiknan Azhari.188 Gagasan Ilyas tentang International Lunar Date Line (Garis Batas Tanggal Kamariah Internasional) ini banyak direspon oleh berbagai kalangan ilmuwan dengan berbagai Internasional tentang Towards a Unified Islamic I nternational Calendar” adalah “A Technology for Converging Hisab Based Islamic Almanac and Rukya Based Ones” (2007). 187 Syamsul Anwar, Interkoneksi …, op. cit., hlm. 58-59. 188 Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyah (Wacana Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 26‐27.
149 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
komentar. Dalam berbagai kesempatan, baik regional maupun Internasional Ilyas menawarkan teori imkan ar-rukyah (visibilitas hilal). Ilyas dan beberapa peneliti lain kemudian membuat kriteria visibilitas hilal (crescent visibility) berdasarkan beda tinggi Bulan-Matahari dan beda azimutnya. Ilyas memberikan kriteria visibilitas hilal dengan beda tinggi minimal 4° untuk beda azimut yang besar dan 10,4° untuk beda azimut 0°.
E. Kesimpulan Pembahasan mengenai tema penelitian ini sebagaimana telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya menghasilkan kesimpulan umum bahwa terdapat dinamika progressif di kalangan Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan kamariah. Dinamika tersebut dapat dilihat pada Keputusan Tarjih Awal di Medan tahun 1939, Keputusan Tarjih Wiradesa tahun 1972, Keputusan Munas Tarjih XXV di Jakarta tahun 2000, dan Keputusan Munas Tarjih XXVI di Padang tahun 2003 beserta faktor-faktor yang melingkupinya. Adapun secara khusus berdasarkan rumusan masalah yang ada penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Muhammadiyah menggunakan metode hisab (hakiki) sebagai penentuan awal bulan kamariah disebabkan oleh pemahaman Muhammadiyah terhadap dalil-dalil tentang perintah rukyah hilal merupakan perintah yang mengandung ‘illat (kausa hukum). ‘Illatnya adalah keadaan umat Islam yang pada waktu itu masih ummi, yakni belum mengenal baca-tulis dan hisab astronomi. Rukyah dipahami oleh Muhammadiyah bukanlah perintah yang bersifat ibadah (ta’abbudi), dan bukan pula tujuan syari’ah, melainkan hanya sarana (wasilah) saja untuk mengetahui awal bulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran Muhammadiyah kepada hisab hakiki (kriteria wujud al-hilal) adalah faktor ketokohan seseorang pada saat itu (K.H. Muhammad Wardan dan Sa’adoeddin Djambek), faktor sosial astronomis, dan faktor pemahaman dalil-dalil tentang hisab dan rukyah dari 150 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
2.
ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith Nabi. Alasanalasan lain yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam menggunakan hisab sebagai penentuan awal bulan adalah karena hisab lebih memberi kepastian dan dapat menghitung tanggal jauh hari ke depan dan mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan. Di samping itu hal lain yang dijadikan alasan oleh Muhammadiyah adalah karena faktor-faktor yang mempengaruhi rukyah terlalu banyak, yaitu faktor geometris, atmosferik, fisiologis, dan psikologis. Kriteria wujud al-hilal digunakan oleh Muhammadiyah untuk mendapatkan kemantapan dalam menentukan masuknya awal bulan dengan syarat ijtima’ qabla al-ghurub dan posisi hilal sudah di atas ufuk. Muhammadiyah tidak melihat berapa derajat hilal di atas ufuk karena kriteria imkan ar-rukyah (visibilitas hilal) sampai sekarang masih beraneka ragam. Di sisi lain konsep wujud al-hilal Muhammadiyah dengan tiga kriterianya tersebut secara astronomis sulit dibuktikan dalam ranah empiris, di mana pembuktian hilal berdasarkan penelitian astronomi merupakan hal yang sangat penting. Mathla’ yang digunakan oleh Muhammadiyah, yakni mathla’ wilayah al-hukmi (seluruh Indonesia) merupakan penerapan mathla’ yang sesuai untuk metode hisab hakiki kriteria wujud al-hilal. Hal ini disebabkan mathla’ merupakan batas yang mengatur transfer rukyah, di mana pada saat ini transfer rukyah dapat dilakukan dengan hisab. Adapun garis batas tanggal wujud al-hilal apabila membelah wilayah Negara Indonesia, di mana kawasan Barat sudah positif dan kawasan Timur masih negatif, maka kawasan yang sudah positif seharusnya mengikuti kawasan yang negatif demi menjaga persatuan dan kebersamaan. Dengan kata lain apabila garis batas tanggal wujud al-hilal membelah wilayah Negara Indonesia, maka Muhammadiyah seharusnya menerapkan konsep wujud al-hilal di seluruh Indonesia.
151 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
3. Kecenderungan re-orientasi wujud al-hilal di kalangan Muhammadiyah kepada kriteria astronomis (imkan arrukyah/crescent visibility) sampai saat ini masih bersifat pemikiran para tokohnya, dan belum merupakan keputusan resmi organisasi. Kecenderungan pemikiran ini lebih banyak mengarah pada kriteria imkan ar-rukyah Internasional dengan mengacu pada lebih dari satu parameter rukyah, misalnya jarak elongasi dan tinggi Bulan pada kriteria Istambul (Turki), yakni jarak elongasi minimal 8° dan tinggi Bulan di atas ufuk minimal 5°, atau lebar hilal (crescent width) dan busur rukyah (arc of vision) pada kriteria ’Audah (Odeh). Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini melengkapi teori wujud al-hilal Muhammad Wardan (1957) dan Sa’adoeddin Djambek (1976) dengan spesifikasi pada teori wujud al-hilal seluruh Indonesia apabila garis tanggal wujud al-hilal membelah wilayah Indonesia. Konsep lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah teori mathla’, di mana mathla’ pada umumnya hanya digunakan untuk mengatur batas daerah berdasarkan keberlakuan rukyah. Mathla’ pada saat ini dapat diterapkan pada metode hisab dengan prinsip transfer rukyah.
DAFTAR PUSTAKA Abu al-’Abbas, Muhammad bin, t.t., Nihayah al-Muhtaj, Beirut : Da>r al-Kutub al-’Ilmiyah. Abu Zahrah, Muhammad, 1985, Ushul al-Fiqh, Beirut : Dar al‘Arabi. Ali, Mukti, 1991, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang. Anwar, Syamsul, 2011, Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah.
152 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Azhari, Susiknan, 2002, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia (Studi atas Pemikiran Saadoe’ddin Djambek), Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ----------------------, 2004, Ilmu Falak (Teori dan Praktek), Yogyakarta : Suara Muhammadiyah. --------------------- , 2006, Penggunaan Sistem Hisab dan Rukyat di Indonesia (Studi tentang Interaksi NU dan Muhammadiyah, Yogyakarta : Disertasi UIN Sunan Kalijaga. --------------------- , 2007a, Ilmu Falak (Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern), Yogyakarta : Suara Muhammadiyah. ---------------------, 2007b, Hisab dan Rukyat (Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan), Yogyakarta : Pustaka Pelajar. --------------------- , 2008, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Dahlan, Abdul Aziz, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve. Departemen Agama RI, t.t., Almanak Hisab Rukyat, Jakarta : Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. ------------------------------- , 2006, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : Karya Agung. Djamaluddin, Thomas, 2011, Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat, Jakarta : LAPAN. Djambek, Sa’adoeddin, 1976, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas. Ibn Qayyim, 1973, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz IV, Beirut: Dar alFikr. Ibn Rusyd, Abu al-Walid Muh}ammad bin Ah}mad, t.t., Bidayah a-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Indonesia: Da>r al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. Ilyas, Mohammad, 1997, Sistem Kalender Islam dari Perspektif Astronomi, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka. ---------------------- , 1997, Astronomy of Islamic Calendar, Kuala Lumpur : AS Noordeen. Iqbal, Muhammad, 1971, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Ashraf Press.
Jaelani, Zubair ’Umar, t.t., al-Khulas}ah al-Wafiyah fi al-Falaki bi Jadawili al-Lugaritmiyah, Kudus : Menara Kudus. Kamaluddin, H}usein, 1979, Ta’yin Awa’ili asy Syuhur al'Arabiyyah bi al-Isti’mal al-Hisab, Jeddah : Dar alNasyr. Kennedy, Hugh, 1985, The Prophet and the Age of the Caliphates (The Islamic Near East from the Six to the Eleventh Century), New York: Longman. Khallaf, ‘Abd al-Wahhab, 1987, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Kuwait : Dar al-Qalam. Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek Yoyakarta : Buana Pustaka. Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005, Tuntunan Ramadlan dan Idul Fitri, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009, Pedoman Hisab Muhammadiyah,Cetakan Kedua, Yogyakarta : Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Morrison, David dan Tobias Owen, 1940, The Planetary System, New York : Addison-Wesley Publishing. Muslim, Abi al-Husain, t.t., al-Jami’ as}-Sahih, Beirut : Dar alFikr. Nawawi, Imam an-, 1392, Syarh Sahih Muslim, Jilid VII, Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, t.t., Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta : Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Qalyubi, Syihabuddin, t.t., Syarh ar-Raudah, Bairut : Dar al-Fikr. ---------------------------- , 1956, Hasyiyah Minhaj al Talibin, Jilid II,Kairo: Mustafa al-Babi al Halabi. Qardawi, Yusuf, 1990, Kaifa Nata’amal ma’a as-Sunnah anNabawiyah, Virginia : al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami. Qurtubi, Imam al-, 1967, Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Jilid II, Kairo: Dar asy-Sya’b. Rasyid Rida, Muhammad, 1999, Tafsir Al-Manar, Jilid XI, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
153 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
154 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
------------------------------- , 2005, Tafsir Al-Manar, Jilid II, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Razi, Imam Fakhruddin Muhammad bin al-Husain ar-, 1990, AtTafsir al-Kabir, Cetakan I, Jilid XIII, Beirut : Dar alKutub al-‘Ilmiyyah. Shihab, M. Quraish, 2007, Tafsir al-Misbah, Juz I, Jakarta : Lentera Hati. ------------------------ , 2002, Tafsir al-Misbah, Juz XI, Jakarta : Lentera Hati. Syaukani, Imam asy-, 2000, Nail al-Autar min Asar Muntaqa alAkhbar, Beirut: Dar Ibn Hazm li at-Tiba’ah wa anNasyr wa at-Tauzi’. Wardan, Muhammad, 1957, Hisab ‘Urfi dan Hakiki, Jogjakarta : Siaran.
BOOK REVIEW BUKU MANAJEMEN MASJID
Judul Buku
: Manajemen Masjid, Mengoptimalkan Fungsi Sosial Ekonomi Masjid Penulis : A. Bahrun Rifa’i dan Moch. Fahkruroji Penyunting : Aep Saepullah dan Heri Gunawan Pengantar : K.H Syukriyadi Sambas Nama Penerbit : Benang Merah Press Tahun Terbitan : 2005 Cetakan Pertama Tebal Buku : xxii + 172 Timbangan Umum Terhadap buku tersebut Buku ini menerangkan tentang Manajemen Masjid, dimana dengan adanya buku ini, pembaca akan tahu gimana cara untuk memenej masjid dengan efektif dan efisien. Masjib bukan sekedar berfungsi sebagai tempat ibadah tetapi juga dapat difungsikan untuk mensejahterakan masyarakat yang ada disekitarnya maupun yang jauh dari masjid tersebut. Jadi secara keseluruhan, keberadaan masjid dalam buku ini diklasifikasikan sebagai sistem sosial Islam. Dalam arti lain, masjid selain sebagai tempat shalat juga dijadikan sebagai tempat sosial kemasyarakatan, politik, pendidikan, pengembangan seni dan budaya dan bisa untuk memberdayakan kemerdekaan ekonomi rakyat. Buku ini sangat berperan penting bagi pengembangan masjid yaitu gunanya untuk memaksimalkan fungsi-fungsi pokok masjid tersebut. Apalagi sekarang zaman yang serba canggih, zaman globalisasi, buku ini benar-benar tidak bisa di abaikan. Karena sangat di perlukan untuk mengembangkan masjid seperti masjid-masjid klasik yang sangat berkembang dengan pesat. Oleh sebab itu, kehadiran buku ini nampaknya akan memuaskan para pembaca dalam keperluan untuk pengembangan fungsi masjid menuju kesempurnaan yang maksimal bagi kehidupan masyarakat luas.
155 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
156 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Tema yang diangkat dalam buku yang berjudul Manajemen Masjid, Mengoptimalkan Fungsi Sosial Ekonomi Masjid terbilang tepat sangat memikat perhatian orang, terutama umat Islam. Hal itu terkait denga keharusan keberadaan masjid yang harus dimenej dan dimaksimalkan fungsinya. Nah...dengan adanya tema ini, setiap pembaca akan merasa penasaran dan ingin membacanya. Di tambah di depannya dengan adanya penegasan Mengoptimalkan Fungsi Sosial Ekonomi Masjid, setiap pembaca pasti akan bertanya-tanya dalam hatinya untuk mengetahuinya lebih mendalam. Seperti Manajemen Dakwah. Dengan adanya rasa penasaran, mereka pasti akan membacanya. Karena ada rasa keingin tahuan tentang bagaimana masjid itu dimanaj. Dan dengan tema inilah isinya yang akan menjawab semuanya. Dan dalam buku manajemen masjid ini kita akan mudah mencari referensi yang lain karena ada catatan kakinya. Dengan para pembaca akan mudah menelaah kembali dan membandingkan buku ini dengan referensi yang lain. Secara umum masjid dapat digunakan untuk bersujud, yakni untuk pelaksanaan berbagai ibadah mahdlah dan ritual keagamaan lainnya. Selain itu, masjid pada zaman dahulu juga dapat dijadikan sebagai pusat mengatur strategi perang dan membicarakan berbagai permasalahan umat. Hal itu berarti masjid dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan manusia dan menjadikan masjid sebagai pusat semua kegiatan umat Islam. Hal ini mengharuskan adanya pengelolaan potensi masjid secara optimal. Dengan ini dibutuhkan keahlian dalam memenej masjid dan untuk berdakwah. Memahami masjid secara universal berarti kita harus memahaminya sebagai sosial masyarakat Islam yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Islam itu sendiri. Melalui pemahaman ini maka muncul sebuah keyakinan bahwa masjid sebagai pusat peradaban masyarakat Islam. Dengan masjid kita dapat bersujud, meningkatkan ibadah kita kepada Allah Swt dan lain-lain. Dengan masjid kita bisa menciptakan masyarakat yang Madani seperti di zaman Rosulullah Saw.
Melalui masjid kita bisa dicita-citakan tentang ajaran Islam. Dengan masjid kita bisa mengkaderisasi pemuda dan pemudi untuk lebih maju ke depan untuk mencapai tujuan. Dengan adanya masjid ini sebagai pusat kebudayaan masyarakat Islam maka masyarakat pun akan tersirami dengan budaya yang Islami dan nilai-nilai yang teratur dan terarah. Dan yang lebih penting lagi adalah dengan adanya masjid sebagai pusat pemberdayaan masyarakat maka berbagai usaha untuk memerdekakan masyarakat dalam hal ekonomi sosial terutama yang kurang mampu dapat terwujudkan. Hal itu pun dapat membebaskan masyarakat dari kejahiliyahan. Buku manajemen masjid ini mempunyai peranan yang sangat penting. Terutama bagi orang-orang yang berminat untuk memenej dan mengembangkan masjid lebih optimal. Karena dalam buku manajemen masjid ini terdapat beberapa fungsi-fungsi pokok dalam memenej masjid, yang tidak dimiliki oleh buku-buku lainnya. Dengan adanya buku manajemen masjid ini pula, semua orang yang menjadi pemakmur masjid akan melihat betapa pentingnya fungsi masjid terutama bagi kalangan umat Islam. Di dalam buku manajemen masjid ini dikaji berbagai macam tentang masjid dan fungsi dari masjid itu sendiri. Hal inilah yang membuat buku ini sangat penting untuk dimiliki dan dipelajari oleh para pembaca terutama mahasiswa jurusan Manajemen Dakwah. Selain itu juga, keunggulan dari buku Manajemen Masjid ini adalah buku ini mencoba memberikan banyak ilmu pengetahuan, diantaranya kita bisa lebih tahu tentang bagaimana cara menggerakan koperasi sebuah masjid, bagaimana cara memenej Imam, Khatib, dan Muadzin dan masih banyak lagi yang mungkin dianggap sulit. Tetapi, setelah kita membaca dan memahami buku Manajemen Masjid ini membuat kita selaku Mahasiswa Manajemen Dakwah sangat mudah untuk bisa melakukan suatu pekerjaan yaitu memenej masjid. Dan buku ini juga sangat di perlukan apabila kita telah terjun ke masyarakat, terlebih lagi apabila masjid itu belum terkelola dengan baik. Dan buku ini juga tampaknya bisa memuaskan keperluan masjid apalagi pada zaman modern ini. Dengan pemilihan kata-kata, serta penjelasan yang sangat jelas, mempermudah kita untuk memahami Manajemen Masjid.
157 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
158 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Keunggulan Buku Manajemen Masjid
Di dalam isi buku manajemen masjid ini yaitu ada tentang perbandingan dan karakteristik antara masjid kota, masjid desa, masjid kampus dan masjid wisata. Terkait hal ini kita pun bisa mengetahuinya secara jelas. Selamat membaca buku ini. (Komarudin) ]
TENTANG PENULIS Ghozali Munir adalah Guru Besar Ilmu Kalam atau Teologi Islam pada Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Beberapa karyanya yang pernah diterbitkan dalam bentuk buku antara lain : Ilmu Mantiq (1984), Ilmu Kalam (1985), Filsafat Logika (1990), Filsafat Ilmu(1992), Perkembangan Teologi Modern (1994). Diantara beberapa karyanyayang pernah dimuat dalam Jurnal Ilmiah, antara lain : “Berkenalandengan Aspek Mistik Islam Kejawen dalam Wirid Hidayat Jati Karya Ronggowarsito” (Theologia, 1995), “Tragedi Pembunuhan dalam Wacana Teologi Islam” (Theologia, 1998), “Konsep Keadilan Ibn Maskawaih” (Walisongo, 1998), “Duet Gus Dur dan Megawati sebagai Wujud Introspeksi Diri Menuju Masyarakat Madani” (Theologia, 2000), “Kekerasan dalam Aliran Khawarij, Pengaruh dan Antisipasinya” (Theologia, 2000), “Pemikiran Teologi al-Sanusi dalam Aliran Asy‘ariyah” (Theologia, 2001), “Studi terhadap Teologi Abul A’la Maududi” (Theologia, 2002), “Iman Menurut K.H. Muhammad Shalih as-Samarani telaah Atas Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid” (Theologia, 2003), “Teologi Islam Terapan: Studi Implementasi Iman Menurut Muhammad Shaleh as-Samarani” (Teologia, 2007). Masrur adalah lulusan Magister Agama (S2) dari Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang pada konsentrasi Pemikiran Etika Tasawuf, yang bersangkutan juga merupakan dosen pada Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang dalam rumpun ilmu Tafsir. Sehari-hari, yang bersangkutan mendapat tugas tambahan sebagai staf ahli pada Pusat Penjaminan Mutu Akademik (PPMA) IAIN Walisongo Semarang dari tahun 2008 s/d sekarang. Penulis yang kini tinggal di Jl. Karonsih Utara IV/141 Ngaliyan Semarang (hp. 081 325 174 744 / email :
[email protected]), juga aktif sebagai staf redaksi jurnal WAHANA AKADEMIKA milik Kopertais Wil.X Jateng, dan anggota Dewan Penyunting jurnal At-Taqaddum yang diterbitkan oleh PPMA IAIN Walisongo Semarang. Agus Riyadi. Penulis adalah lulusan Magister Agama (S2) dari Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang pada konsentrasi Dakwah dan Komunikasi. Penulis pernah menjadi pegiat program Layanan Bimbingan Rohani bagi Pasien di RSUD Tugurejo pada tahun 2005 s/d 2008. Setelah itu, yang bersangkutan diterima sebagai PNS di IAIN dan kini menjadi dosen di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.
Hatta Abdul Malik adalah lulusan Magister Agama (S2) dari Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang pada konsentrasi Dakwah dan
159 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
160 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
Komunikasi. Setelah selesai S1 yang bersangkutan diangkat menjadi dosen pengampu program BTA di fakultas Dakwah. Setelah itu yang bersangkutan terangkat menjadi PNS sebagai dosen di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.
Komarudin adalah Dosen fakultas Dakwah IAIN Walisongo dalam ilmu Tasawuf. Setelah menyelesaikan S1 dari jurusan Akidah Filsafat fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang bersangkutan melanjutkan pendidikan program S2 di Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dalam konsentrasi Pemikiran Etika Tasawuf. Dari tahun 2008 s/d 2011 pernah menjadi Ketua Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo. Saat ini yang bersangkutan mendapat tugas tambahan sebagai staf ahli pada Pusat Penjaminan Mutu Akademik (PPMA) IAIN Walisongo Semarang sejak 2011. Adib Fathoni adalah dosen Ilmu Politik pada Fakultas Dakwah IAIN Walisongo. Setelah merampungkan S1 pada jurusan Tafsir Hadits pada Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, yang bersangkutan melanjutkan S2 pada program Pascasarjana UGM. Selain sebagai konsultan politik, yang bersangkutan aktif sebagai pengurus organisasi sosial keagamaan NU Jawa Tengah. Ismawati adalah Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam pada Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Lulusan S1 dari Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel tahun 1973, di sela-sela kesibukannya menjadi Pembantu Dekan III di Fakultas Dakwah, yang bersangkutan berusaha melanjutkan kuliah S2 di Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dan lulus pada tahun 1999. Selanjutnya yang bersangkutan mengambil program Doktor di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan selesai pada tahun 2004. Karya-karya yang dihasilkan antara lain berupa buku dengan judul Continuity and Change : Tradisi Pemikiran Islam di Jawa Abad IXX dan XX, tahun 2006, buku Dinamika fungsi dakwah Masjid Besar al- Muttaqin Kaliwungu, tahun 2011. Selain itu, yang bersangkutan kini aktif sebagai ketua Muslimat Jawa Tengah. Rupi’i Amri adalah dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Setelah lulus S1 dari Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, yang bersangkutan melanjutkan S2 dan S3 di almamater yang sama, yakni IAIN Walisongo. Disertasi yang dipertahankan dalam sidang promosi doktornya terkait dengan bidang ilmu Falak.
161 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012
162 Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012