ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. B USIA SEKOLAH (8 TAHUN) DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN : SINDROM NEFROTIK DI RUANG MELATI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH CIAMIS DARI TANGGAL 16 - 20 JUNI TAHUN 2016
KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan Program Studi Diploma III Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Ciamis
Disusun oleh : HADHI SISWADI NIM : 13DP277026
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN CIAMIS 2016
ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. B USIA ANAK SEKOLAH (8 TAHUN) DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN : SINDROM NEFROTIK DI RUANG MELATI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT CIAMIS TANGGAL 16- 20 JUNI 20161 Hadhi Siswadi2, Ade Fitriani3 INTISARI Karya tulis ilmiah ini berjudul “Asuhan Keperawatan Pada An. B Usia Anak Sekolah (8 Tahun) Dengan Gangguan Sistem Perkemihan : Sindrom Nefrotik Di Ruang Melati Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Ciamis Tanggal 16- 20 Juni 2016”. Tujuan umum penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara langsung dan komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-spiritual dan mental pada kasus Sindrom Nefrotik dengan pendekatan proses keperawatan.Metode yang digunakan adalah metode deskriptif yang berupa studi kasus dengan pendekatan proses keperawatan yang member gambaran nyata dalam asuhan keperawatan yang diberikan. Asuhan keperawatan dilakukan pada tanggal 16 s/d 20 Juni 2016. Masalah yang timbul adalah kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap permeabilitas glomerulus, hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan lemas, Defisit perawatan diri Personal Hygiene berhubungan dengan kurangnya perhatian keluarga terhadap anak yang sakit, Kecemasan keluarga berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan cara perawatannya. Intervensi yang dilakukan adalah observasi TTV, kaji dan catat pembesaran abdomen dan Berat Jenis urine, timbang berat badan dengan estimasi yang sama, berikan cairan hati – hati dan diet rendah garam, diet protein 1 -2 gr/kg BB/hari, berkolaborasi dalam pemberian diuretik sesuai instruksi. Implementasi yang dilakukan adalah mengobservasi TTV, mengkaji dan mencatat pembesaran abdomen dan berat jenis urine, menimbang berat badan dengan estimasi yang sama, memberikan cairan hati – hati dan memberikan diet rendah garam, dan memberikan diet protein 1 – 2gr/kg BB/hari, memberikan diuretik sesuai intruksi. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem perkemiohan: Nefrotik Sindrom, harus mendapatkan perawatan dan perhatian untuk mencegah terjadinya gagal ginjal yang disebabkan oleh penumpukan cairan dalam tubuh. Pada umumnya ada masalah yang teratasidan teratasi sebagian.Hal ini bisa tercapai dengan adanya kerjasama antara klien, keluarga klien, perawat dan tim kesehatan lainnya. Kata Kunci : Asuhan Keperawatan, Sindrom Nefrotik Kepustakaan : 15 buah (2006 - 2015) Keterangan : 1. Judul Karya Tulis Ilmiah 2. Mahasiswa Program Studi D III Keperawatan STIKes Muhammadiyah Ciamis 3. Dosen Pembimbing STIKes Muhammadiyah Ciamis
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan amanah dari Allah Swt yang diberikan kepada setiap orangtua,anak juga buah hati,anak juga cahaya mata,tumpuan harapan serta kebanggaan keluarga.Anak adalah generasi mendatang yang mewarnai masa kini dan diharapkan dapat membawa kemajuan dimasa mendatang.Anak juga merupakan ujian bagi setiap orangtua sebagaimana disebutkan dalam AlQur’an surah al-Anfal ayat 28 yang berbunyi :
Artinya :”Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya disisi Allahlah pahala yang besar.” (QS.al-Anfal ayat 28). Dewasa ini masalah kesehatan di dunia semakin bertambah kompleks dengan banyaknya berbagai krisis disegala bidang. Salah satunya dalam bidang kesehatan yang membuat angka kesakitan dan kematian semakin meningkat. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), arti sehat adalah suatu kesejahteraan yang lengkap yang mencakup hal sosial, mental dan fisik,
dan
bukan
sekedar
tidak
menderita
suatu
penyakit
atau
ketidakmampuan. (Apriliani Siburian, Juli 2013). Menurut UU No. 36 Tahun 2009, arti sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di
2 dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan. Sedangkan definisi sakit adalah seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu (Apriliani Siburian, Juli 2013).
(٤٦) “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia” (QS. Al Kahfi:46). Anak merupakan anugrah yang sangat berarti yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepada kedua orang tua. Mempunyai anak yang sehat dan cerdas tentu menjadi harapan orang tua. Untuk mendapatkan anak yang sehat dan cerdas, orang tua harus melalui tahap – tahap perkembangan anak, karena selain anak dalam tahap pertumbuhan yang membutuhkan nutrisi yang tinggi, anak juga sangat rentan terhadap penyakit. Pada tahun 2008 ini banyak dijumpai berbagai penyakit yang menyerang anak – anak yang dapat meningkatkan angka kematian pada anak, salah satunya yaitu penyakit Sindrom Nefrotik. Penyakit Sindrom Nefrotik adalah penyakit ginjal yang mengenai glomerulus, dan ditandai dengan proteinuria (keluarnya protein melalui kencing) yang massif, hipoalbuminemia (kadar albumin dalam darah turun), edema disertai hiperlipidemia (kadar lipid atau lemak meningkat) dan hiperkolesterolemia (kadar kolesterol dalam darah meningkat). (Apriliani Siburian, Juli 2013) Sindrom Nefrotik merupakan sekolompok gejala seperti proteinuria, hipoabuminemia, edema dan hyperlipidemia. Sindrom nefrotik dikaitkan
3 dengan rekasi alergi, infeksi, penyakit sistemik dan masalah sirkulasi. (Ngastiyah, 2006) Angka kejadian Sindrom Nefrotik (SN) pada anak di dunia belum diketahui secara pasti, namun laporan dari luar negri diperkirakan pada anak usia dibawah 16 tahun berkisar antara 2 sampai 7 kasus per tahun pada setiap 100.000 anak (Pardede, 2006). Raja Syeh menuturkan angka kejadian di Asia tercatat 2 kasus setiap 10.000 penduduk (Apriliani S. 2013) Angka kejadian penyakit Sindrom Nefrotik (SN) di indonesia masih sangat tinggi, diperkirakan pada anak berusia dibawah 16 tahun berkisar antara 2 sampai 7 kasus per tahun pada setiap 1.000.000 anak. Insiden sindrom nefrotik primer ini 2 kasus pertahun tiap 1.000.000 dengan angka prevalensi kumulatif 16 dari 1.000.000 anak kurang dari 14 tahun . rasio antara laki –laki dan perempuan 2 : 1. Sedangkan di Jawa Barat belum diketahui secara pasti angka kejadian sindrom nefrotik tersebut. (Israr, 2008). Pemerintahan Kabupaten Ciamis dalam meningkatkan kesehatan masyarakat menetapkan Visi yaitu : “Mewujudkan Masyarakat Ciamis Mandiri Hidup Sehat di Lingkungan Yang Sehat Tahun 2019”. Upaya yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan dan sasaran atas rencana strategis Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis tersebut, telah ditempuh melalui penetapan kebijakan program dan kegiatan. Dalam program tersebut meliputi penanganan berbagai penyakit, diantaranya Sindrom Nefrotik (Dinkes Ciamis, 2016) Tanda dan gejala yang dialami oleh penderita Sindrom Nefrotik meliputi berkurangnya nafsu makan, pembengkakan kelopak mata, nyeri perut,
4 pembengkakan genitalia, ascites, hematuria, diare, dan distensi abdomen. Konsep pemberian nutrisi dalam menangani penderita hendaknya dijamin agar tidak memberatkan kerja ginjal, membantu kadar ureum dan kreatinin darah serta mengurangi retensi natrium dan air dalam tubuh. Pemberian nutrisi pada Sindrom Nefrotik bertujuan untuk mengganti protein yang keluar bersama air kemih dengan demikian tumbuh kembang anak diupayakan berjalan dengan optimal. (Cecily L Betz, 2009). Kasus terjadinya sindrom Nefotik di Kabupaten Ciamis terjadi hanya 13 kasus di periode Januari sampai dengan Desember tahun 2015 (Tabel 1.1).
5 Tabel 1.1 Angka Kejadian Penyakit Di Kabupaten Ciamis Tahun 2015 No
Penyakit
TOTAL
1
Hipertensi Primer (esensial)
48,007
2
Influenza
41,386
3
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas Akut tidak Spesifik
37,017
4
Tukak Lambung
34,937
5
Nasofaringitis Akuta (Common Cold)
24,587
6
Gastroduodenitesis tidak spesifik
22,190
7
Dermatitis lain, tidak spesifik (eksema)
20,624
8
Diare dan Gastroenteritis
18,138
. . . 145
. . . Sindrom Nefrotik
. . . 13
Sumber : Laporan Sistem Pencatatan dan Pelaporan Puskesmas (SP3) Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis Tahun 2015
Jumlah kasus Sindrom Nefrotik periode Januari – Desember 2015 di Ruang Melati Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis, Disajikan dalam Tabel 1.2 :
6 Tabel 1.2 Daftar 20 Besar Penyakit di Ruang Melati BLUD Ciamis Bulan Januari – Desember 2015 No
Diagnosa
Jumlah
1
GEA
415
2
Typhoid
288
3
Febris
200
4
Asthma Bronkial
124
5
TBC
91
6
Bronco Pnemonia
65
7
SD
64
8
Anemia
35
9
Dengue fever
27
10
Status Asmatikus
23
11
Septikemia
23
12
ISPA
22
13
DC
21
14
Viral Inpelsi
13
15
Nefrotik Syndrome
13
16
Morbili
13
17
Meningitis
13
18
DHF
12
19
Hemofili
9
20
Epilepsi
9
Sumber : Data Rekam Medik Badan Layanan Umum Daerah Ciamis
7 Jumlah kasus Sindrom Nefrotik periode Januari – Mei 2016 di Ruang Melati Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis, Disajikan dalam Tabel 1.3 berikut ini : Tabel 1.3 Daftar 20 Besar Penyakit di Ruang Melati BLUD Ciamis Bulan Januari – Mei 2016 No
Diagnosa
Jumlah
1
GEA
171
2
TF
128
3
Febris Conpulsi
58
4
TBC
47
5
Asthma BR.
45
6
BP
40
7
SD
34
8
Status Asmatikus
27
9
Dengue Fever
26
10
Epilepsi
13
11
Sepsis
12
12
Anemia
11
13
DHF
9
14
Morbili
8
15
DC
7
16
Dehidrasi
6
17
Nefrotik Syndrome
5
18
Viral Infeksi
5
19
Vomitus
4
20 Pancytomia Sumber : Data Rekam Medik Badan Layanan Umum Daerah Ciamis
4
8 Menurut catatan Badan Layanan Umum Daerah Ciamis yang merupakan rumah sakit umum daerah yang dimiliki pemerintah daerah Kabupaten Ciamis. Melalui upaya peningkatan kualitas kesehatan Badan Layanan Umum Daerah Ciamis diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan kesehatan yang profesional dalam penanganan Sindrom Nefrotik (BLUD Rumah Sakit Ciamis, 2016). Penyebab Sindrom Nefrotik sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Sindrom Nefrotik bisa terjadi dari berbagi glomerulopati atau penyakit menahun yang luas. Sejumlah obat – obat yang merupakan racun bagi ginjal juga bisa menyebabkan Sindrom Nefrotik, demikian juga dengan halnya pemakaian heroin intravena. (Suriadi & Rita Yulianti, 2010). Sindrom
Nefrotik
adalah
Glomerulonefritis
kelainan
minimal,
Glomerulonefritis membranoproliferatif, Glomerulonefritis pascatreptokok, Glomerulonefritis Primer, Glomerulonefritis sekunder, infeksi keganasan, efek obat dan toksin. Sindrom Nefrotik berkembang menjadi gagal ginjal total dalam waktu 3 – 4 bulan, maka dari pada itu diperlukan perawatan dan usaha penyembuhan yuang baik dari tenaga kesehatan, baik perawat maupun dokter. Dalam kaitannya dengan proses penyembuhan penyakit Sindrom Nefrotik ini, seorang perawat dituntut untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan klien dengan harapan akan dapat membantu proses penyembuhan dan pengobatan klien. (Arif Mansjoer, 2008) Dengan melihat keadaan tersebut penulis merasa tertarik untuk melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif pada klien Sindrom Nefrotik dengan menggunakan proses keperawatan dan didokumentasikan
9 dalam bentuk laporan studi kasus dengan judul : “Asuhan Keperawatan Pada An. B Usia Anak Sekolah (8 Tahun) Dengan Gangguan Sistem Perkemihan : Sindrom Nefrotik Di Ruang Melati Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Ciamis Tanggal 16 - 20 Juni 2016”. B. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan pelaksanaan Asuhan Keperawatan sebagai berikut : 1. Tujuan Umum Mampu
memperoleh
pengalaman
secara
nyata
dalam
Asuhan
Keperawatan pada klien dengan Sindrom Nefrotik dan mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan secara langsung dan komprehensif meliputi aspek bio-psiko-sosial-spiritual dengan pendekatan proses keperawatan pada klien dengan Sindrom Nefrotik. 2. Tujuan Khusus a. Penulis
mampu
pendekatan
yang
melakukan sistematis
pengkajian untuk
dengan
menggunakan
mengumpulkan
data
dan
menganalisanya serta menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan Sindrom Nefrotik. b. Penulis
mampu
menganalisa
data
dan
menegakan
diagnosa
keperawatan serta menentukan prioritas masalah pada klien dengan Sindrom Nefotik. c. Penulis mampu membuat rencana tindakan perawatan untuk mengatasi masalah pada klien dengan berdasarkan prioritas masalah, rumusan tujuan dan masalah pada klien dengan Sindrom Nefrotik.
10 d. Penulis mampu melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana tindakan yang telah ditetapkan berdasarkan kebutuhan klien. e. Penulis mampu mengevaluasi hasil tindakan perawatan yang telah dicapai berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan dan merencanakan kembali tindak lanjut keperawatan dari hasil evaluasi. f. Penulis mampu mendokumentasikan tindakan asuhan keperawatan klien dengan Sindrom Nefrotik yang dilakukan beserta hasil yang dicapai. g. Penulis mampu melihat kesenjangan antara teori dan praktek serta mampu mencari alternatif pemecahan masalah. C. Metode Telahan Dalam menyusun karya tulis ini, penulis menggunakan metode deskriptif yang berbentuk studi kasus dengan pendekatan proses keperawatan meliputi tahapan pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Sedangkan teknik pengumpulan data melalui pendekatan proses keperawatan yang komprehensif dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1. Observasi, yaitu pengumpulan data secara langsung melihat, mengamati dan mencatat masalah yang berhubungan dengan materi pembahasan. 2. Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan mengadakan wawancara secara langsung terhadap klien, perawat dan keluarga untuk memperoleh data yang lengkap dari tim kesehatan yang terkait dalam memberikan asuhan keperawatan. 3. Dokumentasi,
yaitu
pengumpulan
data
yang
dilakukan
mempelajari catatan - catatan medik yang ada di rumah sakit.
dengan
11 4. Partisipasi aktif, yaitu kerjasama baik antara penulis, perawat ruangan, klien dan keluarga klien yang sangat menunjang dalam pengumpulan data. 5. Studi
kepustakaan
yaitu
penulis
mempelajari
buku-buku
yang
berhubungan dengan kasus Sindrom Nefrotik yang diambil baik dari perpustakaan, internet, maupun materi perkuliahan sebagai acuan dan landasan dalam berfikir atau bertindak. D. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam karya tulis ini terdiri dari empat BAB yaitu : BAB I : Pendahuluan Menjelaskan uraian kasus serta latar belakang, tujuan penulisan, metode telaahan dan sistematika penulisan. BAB II : Tinjauan Teoritis Mengemukakan tentang konsep dasar penyakit meliputi pengertian, anatomi, fisiologi ginjal, faktor resiko dan etiologi, patofisiologi, prognosis, manifestasi klinis, penatalaksanaan medik Sindrom Nefrotik, karakteristik anak usia sekolah, dampak hospitalisasi pada anak dan dampak penyakit terhadap kebutuhan dasar manusia pada anak, serta tinjauan teoritis tentang asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan rasional, implementasi, evaluasi, dan dokumentasi. BAB III : Tinjauan Kasus dan Pembahasan Tinjauan kasus meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan catatan perkembangan.
12 Dan pembahasan dari seluruh proses keperawatan yang meliputi kesenjangan antara tinjauan teoritis dengan tinjauan kasus. BAB IV : Simpulan dan Rekomendasi Bab ini berisikan kesimpulan dari pelaksanaan asuhan keperawatan dan formulasi rekomendasi atau saran yang operasional untuk meningkatkan mutu pelayanan pada klien diruangan.
13
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konsep Dasar 1. Pengertian Sindom Nefotik adalah rusaknya membran kapiler glomerulus yang menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus (Nabiel Ridha, 2014). Sindrom Nefrotik adalah merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik
:
proteinuria,
hipoproteinuria,
hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dan edema (Suriadi & Rita Yuliant, 2010). Sindrom Nnefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh kerusakan glomerulus. Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma menimbulkan (1) proteinuris, (2) hipoalbuminemia, (3) hiperlipidemia, dan (4) edema. Hilangnya protein plasma dari rongga vaskular menyebabkan penurunan tekanan osmotik
plasma
dan
peningkatan tekanan hidrostatik, yang menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dalam rongga intertisial dan rongga abdomen. Penurunan volume vaskular menstimulasi sistem renin-angiotensin yang mengakibatkan disekresikannya hormone antidiuretik dan aldosteron. Reabsobsi tubular terhadap natrium (Na+) dan air mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume intravascular. Retensi cairan ini mengarah pada peningkatan edema. Koagulasi dan trombosis vena dapat terjadi karena
14
penurunan volume vaskular yang mengakibatkan hemokonsentrasi dan kehilangan urine dari koagulasi protein. Kehilangannya imunoglobulin pada urine dapat mengarah terjadinya peningkatan kerentanan terhadap infeksi (Cecily L Betz, 2009). Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa sindroma nefrotik pada anak adalah status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang masif, dengan karakteristik : proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, disertai atau tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia. 2. Anatomi
Sumber : Aprilian Siburian, Juli 2013 Gambar 1.1 Anatomi Ginjal
15
Sumber : Aprilian Siburian, Juli 2013 Gambar 1.2 Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitonel dengan panjang ± 11-12 cm, di samping kiri kanan vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal kiri setinggi vertebra lumbalis III. Pada fetus dan infant, ginjal berlobulasi. Makin bertambah umur, lobulasi makin kurang, sehingga waktu dewasa menghilang (Aprilian Siburian, Juli 2013). Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh columna bertini. Dasar piramid di tutup oleh korteks, sedang puncaknya (papila marginalis) menonjol kedalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor / minor ini bersatu menjadi
16
pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter. Korteks sendiri terdiri atas glomerulus dan tubuli, sedangkan pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk nefron, satu unit nefron terdiri dari glomerulus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang di masukkan pula duktus koligentes) (Aprilian Siburian, Juli 2013). Tiap ginjal mempunyai ± 1,5 – 2 juta nefron, berarti pula ± 1,5 – 2 juta juta glomeruli. Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada glomerulus ini filtrat dimulai, filtrat adalah isotonik dengan plasma pada angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80% filtrat telah diabsorbsi, meskipun konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung, saat filtrat bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotik dengan plasma darah pada ujung duktus mengumpul. Ketika filtrat bergerak turun melalui duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat pada akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan hanya sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih (Eric P.Cohen, 2009). 3. Fisiologi Ginjal Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi
17
ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.. Menurut Syarifuddin (2008) “ Fungsi ginjal yaitu mengeluarkan zat-zat toksik atau racun;
mempertahankan
keseimbangan
cairan;
mempertahankan
keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh; mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh; mengeluarkan sisa metabolisme hasil akhir sari protein ureum, kreatinin dan amoniak”. Tiga tahap pembentukan urine (Guyton & Hall, 2009) : a.
Filtrasi glomerular Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas permukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak. Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan
18
oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler. b.
Reabsorpsi Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
c.
Sekresi Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini
19
membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik. Pada anak-anak jumlah urine dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan umur : 1) 1-2 hari
:
30-60 ml
2) 3-10 hari
:
100-300 ml
3) 10 hari - 2 bulan
:
250-450 ml
4) 2 bulan – 1 tahun
:
400-500 ml
5) 1 – 3 tahun
:
500-600 ml
6) 3 – 5 tahun
:
600-700 ml
7) 5 – 8 tahun
:
650-800 ml
8) 8 – 14 tahun
:
800-1400 ml
4. Faktor Resiko dan Etiologi a. Faktor resiko 1) Proteinuris. 2) Hipoalbuminemia. 3) Hiperlipidemia. 4) Edema 5) Peningkatan kerentanan infeksi
20
b. Etiologi Sebab pasti belum diketahui; akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit auto imun. Jadi merupakan suatu antigen-antibodi. Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu (Apriliani Siburian, Juli 2013): 1) Sindrom nefrotik primer Belum diketahui faktor etioloinya. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyakit ini diturunkan secara resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya. Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut
rekomendasi
dari ISKDC
(International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di
21
bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971) (Eric P.Cohen 2009). Tabel 2.1 Klasifikasi kelainan glomerulus pada Sindrom Nefrotik primer Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL) Sumber : Eric P.Cohen Sindrom Nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa Sindrom Nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi Sindrom Nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.
22
Di Indonesia gambaran histopatologik Sindrom Nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan Sindrom Nefrotik primer yang dibiopsi (Ngastiyah, 2008). 2) Sindrom nefrotik sekunder, Sindrom Nefrotik sekunder timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah (Behrman N, 22006) : a. Penyakit
metabolik
atau
kongenital:
diabetes
mellitus,
amiloidosis, sindrom Alport, miksedema. b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS. c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular. d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis. e. Neoplasma
:
tumor
paru,
penyakit
Hodgkin,
tumor
gastrointestinal. (Doengoes, 2006) 5. Patofisiologi Sindrom Nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh kerusakan glomerulus. Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap
23
protein plasma menimbulkan (1) proteinuris, (2) hipoalbuminemia, (3) hiperlipidemia, dan (4) edema. Hilangnya protein plasma dari rongga vaskular menyebabkan penurunan tekanan osmotik
plasma
dan
peningkatan tekanan hidrostatik, yang menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dalam rongga intertisial dan rongga abdomen. Penurunan volume vaskular menstimulasi system renin-angiotensin yang mengakibatkan disekresikannya hormon antidiuretik dan aldosteron. Reabsobsi tubular terhadap natrium (Na+) dan air mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume intravascular. Retensi cairan ini mengarah pada peningkatan edema. Koagulasi dan trombosis vena dapat terjadi karena penurunan volume vaskular yang mengakibatkan hemokonsentrasi dan kehilangan urine dari koagulasi protein. Kehilangannya imunoglobulin pada urine dapat mengarah terjadinya peningkatan kerentanan terhadap infeksi (Corwin E. 2009). Sindrom Nefrotik adalah hasil patologis dari berbagai faktor yang mengubah permeabilitas glomurulus. Sindrom nefrotik ini dapat digolongkan menjadi jenis primer dan sekunder (Corwin E. 2009). Sindrom Nefrotik digolongkan berdasarkan temuan – temuan klinis dan hasil pemeriksaan mikroskopik jaringan ginjal. Berdasarkan klasifikasi klinis, jenis sindrom ini dibedakan berdasarkan jalannya penyakit, pengobatan, dan prognosisnya. Gejalanya dapat menjadi kronis. Sejumlah anak mengalami kekammbuhan yang berkurang secara bertahap sejalan dengan bertambahnya usia. Prognosis penyakit ini buruk pada anak yang tidak berespons terhadap pengobatan. (Cecily L Betz, 2009)
24
Mengenai perjalanan Sindrom Nefrotik dijelaskan pada bagan dibawah ini : Bagan 1.1 Sindrom Nefrotik Permeabilitas & porositas membrane glomerolus Proteinuria Hipoalbuminemia Tekananonkotik Aktivitas simpatik
Shift cairan intravena ke ekstravaskuler
Katabolisme hati Sintesa hati
Edema, hipovolemi Ggn integritas kulit
Produksi lipoprotein Sintesis albumin Kadar albumin/kolesterol
Sekresi aldosteron & ADH Retensi Na dan air Kelebihan Cairan Kelebihan volume cairan
Suriadi, SKp & Rita Yulianti, SKp, M.Psi, 2010
25
Bagan 1.2 Pathway Sindrom Nefrotik Etiologi :
Glomerulus
- autoimun Permiabilitas glomerulus
- pembagian Sistem imun secara umum menurun
Porteinuria masif Resiko tinggi infeksi Hipoproteinemia Hipoalbumin Hipovolemia
Aliran darah ke ginjal
Sintesa protein hepas
Tekanan onkotik plasma Sekresi ADH
Hiperlipidemia
Volume plasma
Malnutrisi Pelepasan renin
Reabsorbsi air dan natrium
Retensi natrium renal
Gangguan nutrisi
Edema Usus
Vasokonstriksi
- Gangguan volume cairan lebih
Efusi pleura
dari kebutuhan Sesak
- Kerusakan integritas kulit
Hospitalisasi Penatalaksanaan
Kecemasan anak dan orang tua
Personal Hygiene
Kurang pengetahuan : kondisi, prognosa dan program perawatan
Sumber : Apriliani Siburian
Diet
Ketidapatuhan
Resti gangguan pemeliharaan kesehatan
Tirah baring
Intoleransi aktivitas
26
Keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma, yang menimbulkan proteinuria, hipoalbuminemia,
hiperlipidemia,
dan
edema.
Meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan dari proteinuria
menyebabkan
hipoalbuminemia.
Dengan
menurunnya
albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi. Karena terjadi penurunan aliran darah ke renal, maka ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi rennin – angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan air, dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema (Betz L. C, 2009). Pada Sindroma Nefrotik terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan onkotik plasma. Adanya
hiperlipidemia
juga
akibat dari meningkatnya
produksi
lipoprotein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak yang banyak dalam urin (lipiduria). Pada Sindroma Nefrotik juga disertai dengan gejala menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbumin. Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
27
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun (Ngastiyah, 2008). Proteinuria
merupakan
kelainan
dasar
Sindroma
Nefrotik.
Proteinuria sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier (Corwin E. 2009). Pada hiperlipidemia, kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah. Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik (Corwin E. 2009).
28
Lipiduri, Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeable (Corwin E. 2009). Edema, dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemia dan retensi natrium (teori underfill). Hipovolemi menyebabkan peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang (Corwin E. 2009). Membran glomerulus yang normalnya impermebel terhadap albumin dan protein lain menjadi permiabel terhadap protein terutama albumin, yang melewati membran dan ikut keluar bersama urine (hiperalbuminemia).
Hal
ini
menurunkan
kadar
albumin
(hipoalbuminemia), menurunkan tekanan osmotik koloid dalam kapiler mengakibatkan
akumulasi
cairan
di
interstitial
(edema)
dan
pembengkakan tubuh, biasanya pada abdomnal (ascites). Berpndahnya cairan dari plasma ke interstitial menurunkan volume cairan vaskulr (hipovolemia), yang mengaktifkan stimulasi sistem reninangiaotensin dan sekresi ADH serta aldosteron. Reabsorpsi tubulus terhadap air dab sodium meningkatkan volume intravaskuler (Donna L. Wong, 2009 : 1404).
29
6. Prognosis Prognosis tergantung pada kausa Sindrom Nefrotik. Pada kasus anak, prognosis adalah sangat baik kerana minimal change disease (MCD) memberikan respon yang sangat baik pada terapi steroid dan tidak menyebabkan terjadi gagal ginjal (chronic renal failure). Tetapi untuk penyebab lain seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSG) sering menyebabkan terjadi end stage renal disease (ESRD). Faktor – faktor lain yang memperberat lagi sindroma nefrotik adalah level protenuria, control tekanan darah dan fungsi ginjal (Donna L. Wong, 2009). 7. Manifestasi Klinis Tanda dan gejala yang muncul pada Sindom Nefrotik adalah : kenaikan berat badan, wajah tampak lebam, pembengkakan abdomen, efusi pleura, pembengkakan labia dn skrotum, perubahan urine dan rentan terhadap infeksi (Suriadi & Rita Yulianti, 2010). Walaupun gejala pada anak akan berpariasi seiring dengan perbedaan proses mpenyakit, gejala yang paling sering berkaitan dengan Sindrom Nefrotik adalah (Cecily L Betz, 2009) : a) Penurunan keluaran urine dengan urine berwarna gelap, berbusa. b) Retensi cairn dengan edema berat (edema fasial, abdomen, area genital dan ekstremits). c) Distensi abdomen karena edema dan edema usus yang mengakibatkan kesulitan bernafas, nyeri abdomen, anoreksia, dan diare. d) Pucat. e) Keletihan dan Intoleransi aktivitas.
30
Biasanya edema dapat bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edem biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umunya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstremitas bawah. (Nabiel Ridha, 2014) 8. Penatalaksanaan a. Penatalaksanaan Keperawatan Pengkajian (Suriadi & Rita Yulianti, 2010). - Riwayat perawatan - Pemeriksaan fisik khususnya fokus edema - Monitor tanda – tanda vital dan deteksi infeksi dini atau hipovolemi - Status hidrasi - Monitor hasil laboratorium dan pantau setiap hari, adanya protein - Pengkajian pengetahuan keluaga tentang kondisi dan pengobatan b. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan medis untuk Sindrom Nefrotik mencakup (Cecily L Betz, 2009) : 1) Kortikosteroid (prednison atau prednisolon) untuk menginduksi remisi. Dosis akan diturunkan setelah 4 sampai 8 minggu terapi. Kekambuhan diatasi dengan kortikosteroid dosis tinggi untuk beberapa hari. 2) Penggantian protein (albumin dari makanan atau intravena). 3) Pengurangan edema
31
a)
Terapi diuretik (diuretik hendaknya digunakan secara cermat untuk mencegah terjadinya penurunan volume intravaskular, pembentukan trombus atau ketidak seimbangan elektrolit).
b) Pembatasan natrium (mengurangi edema) 4) Mempertahankan keseimbangan elektrolit. 5) Pengobatan nyeri (untuk mengatasi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan edema dan terapi inpasif). 6) Pemberian antibiotik (penisilin oral profilaktik atau agens lain). 7) Terapi imunosupresif (siklofosfamid, klorambusil, atau siklosporin) untuk anak yang gagal merespon terhadap steroid). 9. Karakteristik Anak Usia Sekolah (6 – 12 Tahun) a. Pertumbuhan Anak adalah periode transisi dari masa kanak – kanak menjadi dewasa, yang biasanya antara usia 11 – 20 tahun. Anak merupakan waktu pertumbuhan yang cepat dengan pertumbuhan dramatis pada ukuran dan proporsi tubuh. Selama waktu ini, karakteristik seksual berkembang dan maturitas reproduktif tercapai. Secara umum, anak memasuki pubertas lebih awal (pada usia 9 hingga 10 tahun) dari pada anak laki – laki (pada usia 10 – 11 tahun) (Bherman N. 2006). b. Ciri – ciri perkembangan 1) Perkembangan Motorik pada usia ini, yaitu. a)
Perkembangan motorik kasar perkembangan daya tahan :
32
(1) Koordinasi dapat menjadi masalah akibat pacu tumbuh yang tidak seimbang. (2) Remaja menengah, kecepatan dan akurasi meningkat sertakoordinasi membaik. (3) Peningkatan daya saing. b) Keterampilan motorik halus peningkatan kemampuan untuk memanipulasi objek. (1) Tulisan tangan rapi (2) Ketangkasan jari semakin halus (3) Koordinasi mata tangan yang tepat 2) Perkembangan
komunikasi
dan
bahasa
membaik
dengan
penggunaan tata bahasa dan bagian pembicaraan yang benar, penggunaan kata popular meningkat. Perubahan sifat berkaitan dengan
berubahnya postur tubuh
yang berhubungan dengan
pubertas mulai tampak seperti : a) Mampu melakukan aktivitas rumah tangga, seperti mencuci, menjemur pakaian sendiri , dll. b) Adanya keinginan anak unuk menyenangkan dan membantu orang lain c) Mulai tertarik dengan lawan jenis (Bherman N. 2006). c. Perkembangan Kognitif Jika pada periode sebelumnya, daya pikiran anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak sudah
33
berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada pada stadium belajar (Bherman N. 2006). 10. Dampak Hospitalisasi Pada Anak Anak dapat bereaksi terhadap stress hospitalisasi sebelum mereka masuk, selama hospitalisasi, dan setelah pemulangan. Konsep sakit yang dimiliki anak bahkan lebih penting dibanding usia dan kematangan intelektual
dalam
memperkirakan
tingkat
kecemasan
sebelum
hospitalisasi. (Bherman N. 2006) 11. Dampak penyakit terhadap gangguan kebutuhan dasar pada anak Sejumlah faktor resiko membuat anak-anak tertentu lebih rentang terhadap stress hospitalisasi dibanding dengan yang lainnya. Mungkin karena perpisahan termasuk masalah penting seputar hospitalisasi bagi anak. Berkembangnya gangguan emosional jangka panjang dapat merupakan dampak hospitalisasi. Gangguan emosional tersebut terkait dengan lama dan jumlah masuk rumah sakit, dan jenis prosedur yang dijalani di rumah sakit. (Bherman N. 2006).
34
B. Tinjauan Teoritis tentang Asuhan Keperawatan Proses keperawatan merupakan rangkaian tindakan asuhan keperawatan yang harus di lakukan perawat secara sistematis, sinambung dan professional, mulai dari mengidentifikasi masalah kesehatan klien, merencanakan tindakan, melaksanakan tindakan keperawatan, hingga mengevaluasi hasil dari tindakan (Nursalam, 2008). 1. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2008) a) Pengumpulan data Kegiatan pengumpulan data dimulai saat klien masuk dan di lanjutkan secara terus menerus selama proses keperawatan berlangsung. 1) Identitas (a) Identitas klien Meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, status dan alamat. (b) Identitas Keluarga Meliputi : nama, umur, alamat, pendidikan, pekerjaan hubungan dengan klien. 2) Riwayat Kesehatan Riwayat kesehatan merupakan proses dalam mengkaji status atau
35
masalah kesehatan sekarang dan dahulu serta keluarga, kemudian dapat menggunakan pola PQRST dalam mengumpulkan data yang lebih lengkap tentang setiap keluhan pasien (Prihardjo, 2006) (a) Keluhan Utama Merupakan suatu keluhan yang dirasakan oleh klien sangat mengganggu dari keluhan lain (b) Riwayat kesehatan sekarang Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang terdiri dari : Provikative/palliative (P) yaitu factor penyebab, Quality (Q) seberapa berat nyeri dirasakan, Region (R) seberapa luas nyeri dirasakan, Savety atau skala nyeri (S) seberapa tinggi nyeri yang dirasakan, Time (T) seberapa lama serangan itu terjadi. (c) Riwayat kesehatan dahulu Menerangkan keadaan keluarga apakah ditemukan ada penyakit keturunan kecenderungan alergi dalam satu keluarga, penyakit menular, akibat kontak langsung maupun tidak langsung antara anggota keluarga. (d) Riwayat kesehatan keluarga Menanyakan tentang riwayat penyakit dalam keluarga dekat klien 3) Data aspek biologis (a) Keadaan/ penampilan umum : lemah, sakit ringan, sakit berat, gelisah, rewel.
36
(b) Kesadaran : dapat diisi dengan tingkat kesadaran secara kualitatif atau kuantitatif yang dipilih sesuai dengan kondisi klien. Secara kuantitatif dapat dilakukan dapat dilakukan dengan pengukuran Glassgow Coma Scale (GCS), sedangkan secara kualitatif tingkat kesadaran dimulai dari compos mentis, apatis, somnolen, spoor dan koma. (c) Berat badan/ tinggi badan (d) Tanda-tanda vital yang terdiri dari : (1) Tensi : tekanan sistole / tekanan diastole mmHg (2) Nadi : frekuensi per menit, denyut kuat / tidak, reguler/
ireguler o
(3) Suhu : …… C (4) Frekuensi pernafasan : frekuensi per menit, reguler /
irreguler. 4) Pemeriksaan fisik a) Sistem Neurologik (Doengoes, 2009) Menjelaskan kesimetrisan kepala, ketajaman penglihatan, reflek, kesimetrisan pada leher. b) Sistem Persyarafan (1) Nervus I (olfaktorius) : Bagaimana letak hidung apakah ada secret pada rongga hidung
37
(2) Nervus II (optikus)
:
Bagaimana letak kedua mata, apakah penglihatan normal dan dapat melihat dengan jelas. (3) Nervus III (okulomotorius) : Apakah klien dapat mengangkat kelopak mata atas dan kontraksi isokkor atau mengecil. (4) Nervus IV (troklearis) : Apakah klien dapat memutar bola matanya. (5) Nervus V (trigeminus) : Apakah kliendapat mengunyah dengan baik. (6) Nervus VI (abdusen) : Apakah klien dapat menggerakan matanya ke arah lateral. (7) Nervus VII (facillis ) : Apakah otot otot ektremitas wajah baik, otot disekitar mata , mulut baik dan dapat di gerakan. (8) Nervus VII (acusticus) : Bagaimanakah pendengaran klien? Apakah mampu menjawab pertanyaan dan diikuti perintah, bentuk telinga simetris? apakah menggunakan alat bantu pendengaran. (9) Nurvus IX (glosopharingeus) : Apakah klien dapat membuka mulut dan menelan dengan baik? (10) Nervus X (vagus) : Apakah klien kesilitan dalam menelan.
38
(11) Nervus XI (asesorius spinal) : Apakah klien mampu menggerakan leher, kepala dan bahu tanpa bantuan orang lain? (12) Nervus XII (Hipoglosus) : bagaimanakah dengan fungsi motorik, apakah klien dapat menggerakan lidahnya, apakah fungsi sensorik normal, seperti membedakan rasa manis dan pahit. c) Sistem Pernafasan Dalam sistem pernafasan kaji ketajaman penciuman bentuk dada, adanya nyeri tekan atau tidak, bunyi suara nafas. d) Sistem Kardiovaskuler Dalam sistem kardiovaskuler kaji apakah ada peninggian vena jugularis, capillari refill, frekuensi nadi, bunyi jantung. e) Sistem Gastroitestinal Dalam sistem gastrointestinal kaji mengenai nafsu makan, kebiasaan defekasi, intoleransi makanan, mual, rnuntah dan nyeri. f) Sistem Perkemihan Pada sistem perkemihan kaji frekuensi buang air kecil. warna apakah ada nyeri saat buang air kecil. g) Sistem Muskuloskeletal Kaji bentuk ukuran, kekuatan otot ekstrimitas atas dan bawah serta ROM pasif apakah ada kelainan atau tidak (Wong Donna L, 2006) :
39
(1) Skala Kekuatan Otot : b) 0: tidak ada kontraksi otot. c) 1: kontraksi otot dapat dipalpasi tanpa gerakan persendian. d) 2: tidak mampu melawan gaya gravitasi (gerakan pasif). e) 3: hanya mampu melawan gaya gravitasi. f)
4: mampu menggerakan persendian dengan gaya gravitasi, mampu melawan dengan gaya sedang.
g) 5: mampu menggerakan persendian dalam lingkup gerak penuh, mempu melawan gaya gravitasi, mampu melawan dengan tahan penuh. (2) Jenis Gerakan ROM : (a) Fleksi, yaitu berkurangnya sudut persendian. (b) Ekstensi yaitu bertambahnya sudut pesendian. (c) Hipeekstensi, yaitu ekstensi lebih lanjut. (d) Abduksi, yaitu gerakan menjauhi garis tengah tubuh. (e) Adduksi, yaitu gerakan memutai garis tengah tubuh. (f) Rotasi, yaitu gerakan memutari pusat garis tulang. (g) Eversi, yaitu peputaran bagian telapak kaki ke bagian luar, membentuk sudut persendian. (h) Inverse, yaitu putaran bagian telapak kaki ke bagian dalam bergerak membentuk sudut persendian. (i) Pronasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana
40
pemukaan tangan bergerak ke bawah. (j) Supinasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan bergerak ke atas. (k) Oposisi, yaitu gerakan menyentuh ibu jari kesetiap jari-jari tangan pada tangan yang sama. (Nursalam, 2008) h) Sistem Endokrin Menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan, polipagia, poliurea, polidipsi. (Nursalam, 2008). i) Sistem Integumen Warna kulit, tekstur kulit, turgor kulit, suhu, oedema, infeksi, CRT, kulit pucat, turgor jelek, suhu tubuh meningkat. j) Sistem Genetalia Memeriksa kemungkinan adanya iritasi dan infeksi. 5) Pemeriksan Penunjang Tergantung
sarana
yang
tersedia
dimana
klien
dirawat,
pemeriksaannya meliputi : b) Uji Laboratorium - Uji urine Urinalisis Proteinuria (dapat mencapai lebih dari 2 g/m3/hari Bentuk hialin dan granular Hematuria Uji dipstick urine (hasil positif untuk protein dan darah)
41
Berat jenis urine (meningkatkan palsu karena proteinuria) Osmolalitas urine meningkat. - Uji darah Kadar albumin serum (menurun < dari 2g/dl). Kadar kolesterol serum (meningkat dapat mencapi 450 sampi 1000 mg/dl). Kadar triglserid serum meningkat. Kadar hemoglobin dan hematokrit meningkat (mencapai 500.000 sampai 1.000.000/v l). Kadar elektrolit serum (bervariasi sesuai dengan keadaan penyakit perorangan) (Suriadi, Yuliani Rita 2006). 2. Analisa Data Analisa data merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan metabolisme, menyeleksi, mengelompokan, mengaitkan data, menentukan kesenjangan informasi, melihat pola data membandingkan dengan standar, menginterpretasikan dan akhirnya membuat kesimpulan. Hasil analisa data adalah pernyataan masalah keperawatan atau yang disebut diagnosa keperawatan (Doengoes, 2006). 3. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat dan pseti tentang masalah klien serta penyebab yang dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawtan (Eric P.Cohen, 2009). Diagnosa keperawatan yang lazim timbul pada klien dengan Sindrom Nefrotik (Carpenito – Moyet, L.J., 2008) :
42
a.
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap permeabilitas glomerulus (Suriadi, Yuliani Rita 2006).
b.
Kelebihan volume cairan (total tubuh) berhubungan dengan akumulasi cairan dalam jaringan dan ruang ketiga (Doengoes, 2009).
c.
Resiko kekurangan volume cairan (intravaskuler) berhubungan dengan kehilangan protein dan cairan, edema.
d.
Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang menurun, kelebihan beban cairan cairan, kelebihan cairan (Eric P.Cohen, 2009),
e.
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan pertahanan tubuh.
f.
Perubahan nutrisi kurang dari kebtuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan.
g.
Gangguan citra tubuh behubungan dengan perubahan penampilan.
h.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan.
i.
Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius.
j.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan lemas
k.
Defisit perawatan diri Personal Hygiene berhubungan dengan kurangnya perhatian keluarga terhadap anak yang sakit
l.
Kecemasan keluarga berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan cara perawatannya (Ngastiyah, 2006).
43
4. Perencanaan Perencanaan keperawatan adalah tindakan keperawatan yang akan dilakukankan, bagaimana, kapan itu dilakukan, dan siapa yamg akan melakukan kegiatan tersebut. Rencana keperawatan yang memberikan arah pada kegiatan keperawatan (Suriadi, Yuliani Rita 2006) : a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap permeabilitas glomerulus. 1) Tujuan Volume kelebihan cairan teratasi. Tabel 2.2 Intervensi dan Rasional Intervensi
Rasional
1. Observasi Tanda – tanda vital.
1. Untuk mengetahui keadaan tanda –
2. Kaji dan catat pembesaran abdomen dan Berat Jenis urine
2. Berat
3. Timbang berat badan dengan estimasi yang sama.
tanda vital klien. jenis
urine
dapat
mengindikatorkan regimen terapi. 3. Estimasi penurunan edema.
4. Berikan cairan hati – hati dan diet 4. Mencegah edema bertambah berat. rendah garam.
5. Menjaga nutrisi untuk tubuh
5. Diet protein 1 -2 gr/kg BB/hari. (Suriadi, Yuliani Rita 2006) b. Kelebihan volume cairan (total tubuh) berhubungan dengan akumulasi cairan dalam jaringan dan ruang ketiga (Doengoes, 2009). 1) Tujuan Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti akumulasi cairan (pasien mendapatkan volume cairan yang tepat)
Tabel 2.3
44
Intervensi dan Rasional Intervensi 1. Kaji
masukan
terhadap
Rasional yang
keluaran
relatif
1. Perlu untuk menentukan fungsi
secara
ginjal, kebutuhan penggantian
akurat.
cairan dan penurunan resiko
2. Timbang berat badan setiap
kelebihan cairan.
hari (ataui lebih sering jika
2. Mengkaji retensi cairan.
diindikasikan).
3. Untuk mengkaji ascites dan
3. Kaji perubahan edema : ukur lingkar
abdomen
karena merupakan sisi umum
pada
umbilicus serta pantau edema
edema. 4. Agar tidak mendapatkan lebih
sekitar mata.
dari jumlah yang dibutuhkan.
4. Atur masukan cairan dengan
5. Untuk
cermat.
masukan yang diresepkan.
5. Pantau infus intra vena
6. Untuk menurunkan ekskresi
6. Berikan kortikosteroid sesuai ketentuan. 7. Berikan
mempertahankan
proteinuria. 7. Untuk
diuretik
bila
diinstruksikan.
memberikan
penghilangan sementara dari edema.
(Doengoes, 2009) c. Resiko kekurangan volume cairan (intravaskuler) berhubungan dengan kehilangan protein dan cairan, edema. 1) Tujuan Klien tidak menunjukkan kehilangan cairan intravaskuler atau shock hipovolemik yang ditunjukkan pasien minimum atau tidak ada.
45
Tabel 2.4 Intervensi dan Rasional Intervensi
Rasional
1. Pantau tanda vital.
1. Untuk mendeteksi bukti fisik
2. Kaji kualitas dan frekwensi nadi.
penipisan cairan. 2. Untuk tanda shock
3. Ukur tekanan darah.
hipovolemik.
4. Laporkan adanya
3. Untuk mendeteksi shock
penyimpangan dari normal.
hipovolemik. 4. Agar pengobatan segera dapat dilakukan.
(Cecily L Betz, 2009) d. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang menurun, kelebihan beban cairan cairan, kelebihan cairan. 1) Tujuan Tidak menunjukkan adanya bukti infeksi. Tabel 2.5 Intervensi dan Rasional Intervensi 1.
Rasional
Ajari orang tua tentang tanda dan gejala infeksi.
pada organisme infektif.
2.
Pantau suhu.
3.
Jaga agar anak tetap hangat dan
2. Untuk memutus mata rantai
kering. 4.
Lindungi
penyebar5an infeksi. 3. Memberi
anak
dari
kontak
individu terinfeksi. 5.
1. Untuk meminimalkan pajanan
Gunakan teknik mencuci tangan yang baik.
pengetahuan
tentang tanda dan gejala infeksi. 4. Indikasi
awal
adanya
tanda
infeksi. 5. Karena
kerentanan
infeksi pernafasan. (Cecily L Betz, 2009)
dasar
terhadap
46
e. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan pertahanan tubuh. 1) Tujuan Kulit anak tidak menunjukan adanya kerusakan integritas : kemerahan atau iritasi. Tabel 2.6 Intervensi dan Rasional Intervensi
Rasional
1. Berikan perawatan kulit.
1. Memberikan kenyamanan pada
2. Hindari pakaian ketat.
anak dan mencegah kerusakan
3. Bersihkan dan bedaki permukaan
kulit.
kulit beberapa kali sehari.
2. Dapat mengakibatkan area yang
4. Topang organ edema, seperti skrotum.
menonjol tertekan. 3. Untuk mencegah terjadinya iritasi
5. Ubah posisi dengan sering ; pertahankan
kesejajaran
pada kulit karena gesekan dengan
tubuh
dengan baik.
alat tenun. 4. Untuk
6. Gunakan penghilang tekanan atau
menghilangkan
aea
tekanan.
matras atau tempat tidur penurun
5. Untuk mencegah terjadinya ulkus.
tekanan sesuai kebutuhan.
6. Karena
anak
dengan
edema
massif selalu letargis, mudah lelah dan diam saja. (Cecily L Betz, 2009) f. Perubahan nutrisi : kurang dari kebtuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan 1) Tujuan Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal.
Tabel 2.7
47
Intervensi dan Rasional Intervensi
Rasional
1. Beri diet yang bergizi.
1. Untuk
2. Batasi natrium selama edema dan trerapi kortikosteroid. 3. Beri
lingkungan
menrangsang
nafsu
makan anak. 2. Asupan
natrium
dapat
yang
memperberat edema usus yang
menyenangkan, bersih, dan rileks
menyebabkan hilangnya nafsu
pada saat makan.
makan anak.
4. Beri makanan dalam porsi sedikit pada awalnya.
3. Agar
anak
lebih
mungkin
untuk makan.
5. Beri makanan spesial dan disukai anak.
4. Untuk
merangsang
nafsu
makan anak.
6. Beri makanan dengan cara yang menarik.
5. Untuk mendorong agar anak mau makan. 6. Membantu pemenuhan nutrisi anak dan meningkatkan daya tahan tubuh anak.
(Cecily L Betz, 2009) g. Gangguan citra tubuh behubungan dengan perubahan penampilan. 1) Tujuan Agar dapat mengespresikan perasaan dan masalah dengan mengikutin aktivitas yang sesuai dengan minat dan kemampuan anak.
Tabel 2.8
48
Intervensi dan Rasional Intervensi 1. Gali
masalah
Rasional
dan
perasaan
mengenai penampilan. 2. Tunjukkan
aspek
positif
1. Untuk memudahkan koping. 2. Agar anak merasa diterima.
dari
penampilan dan bukti penurunan edema.
3. Agar
anak
tidak
merasa
sendirian dan terisolasi. 4. Meningkatkan harga diri klien
3. Dorong sosialisasi dengan individu tanpa infeksi aktif.
dan
mendorong
penerimaan
terhadap kondisinya.
4. Beri umpan balik posisitf. (Cecily L Betz, 2009) h. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan. 1) Tujuan Anak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan kemampuan dan mendapatkan istirahat dan tidur yang adekuat. Tabel 2.9 Intervensi dan Rasional Intervensi
Rasional
1. Pertahankan tirah baring awal bila 1. Tirah baring yang sesuai gaya terjadi edema hebat. 2. Seimbangkan
istirahat
gravitasi dapat menurunkan edema. dan 2. Ambulasi menyebabkan kelelahan.
aktifitas bila ambulasi. 3. Rencanakan dan berikan aktivitas tenang.
3. Aktivitas yang tenang mengurangi penggunaan energi yang dapat menyebabkan kelelahan.
4. Berikan periode istirahat tanpa 4. Mengadekuatkan gangguan.
(Cecily L Betz, 2009)
istirahat
anak.
5. Instruksikan istirahat bila anak 5. Anak mulai merasa lelah.
fase
dapat
istirahatnya.
menikmati
masa
49
i. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius. 1) Tujuan Pasien (keluarga) mendapat dukungan yang adekuat. Tabel 3.0 Intervensi dan Rasional Intervensi 1.
Rasional
Kenali masalah keluarga dan kebutuhan
akan
informasi,
dukungan. 2.
Kaji
pemahaman
keluarga
perawatan. dan
jelaskan
profesional kesehatan tentang anak,
prosedur
dan
terapi yang dianjurkan, serta prognosanya. 4.
Gunakan
setiap
tindakan
keperawatan yang dilakukan.
masalah kesehatan anaknya. 4. Memantapkan rencana yang telah disusun sebelumnya. (Donna L Wong, 2004 : 550-552).
6. Keluarga dapat mengidentifikasi
untuk meningkatkan pemaham-
perilaku anak sebagai orang yang
an keluarga tentang penyakit
terdekat dengan anak.
Ulangi
7. Mengoptimalisasi
informasi
sesering
Bantu
keluarga
meng-
intrepetasikan
perilaku
anak
serta responnya. 7.
segala
kesempatan
mungkin. 6.
beradaptasi
5. Untuk memfasilitasi pemahaman
dan terapinya. 5.
terhadap
akan
3. Agar keluarga juga mengetahui
Tekankan
kondisi
kebuutuhan
yang dibutuhkan keluarga. 2. Keluarga
tentang diagnosa dan rencana
3.
1. Mengidentifikasi
Jangan
tampak
terburu-buru,
bila waktunya tidak tepat. (Cecily L Betz, 2009)
kesehatan terhadap.
pendidikan
50
j. Hambatan mobilitas fisik behubungan dengan lemas 2) Tujuan Hambatan mobilitas fisik teratasi Tabel 3.1 Intervensi dan Rasional Intervensi
Rasional
1. Lakukan latihan ROM aktif untuk 1. Tindakan ini mencegah kontradiksi sendi jika tidak merupakan factor indikasi minimal 2 x sehari. 2. Atur
posisi
klien
sendi dan atropi. 2. Mencegah kerusakan kulit dengan
dengan
mengurangi tekanan.
memiringkan tubuhnya kekanan dan 3. Mempertahankan sendi pada posisi kekiri setiap 2 jam.
fungsional dan mencegah deformitas
3. Kaji tingkat fungsional klien dengan
musculoskeletal skeletal.
menggunakan sekala mobilitas. (Cecily L Betz, 2009) k. Devisit perawatan diri Personal Hygiene berhubungan dengan pergatian keluarga terhadap anak sakit. 1) Tujuan Keluarga klien dapat melakukan perawatan diri. Tabel 3.2 Intervensi dan Rasional Intervensi
Rasional
1. Kolaborasi dengan keluarga untuk 1. Kenyamanan klien terpenuhi secara memenuhi keperawatan diri klien. 2. Observasi
kemempuan
optimal.
individu 2. Mengetahui sejauh mana klien dalam
untuk melaksanakan perwatan diri.
melakukan perawatan diri.
3. Lakukan perawatan oral hygiene.
3. Kebersihan klien terjaga.
4. Lakukan perawatan telinga.
4. Kebersihan klien terjaga.
5. Lakukan perawatan lidah.
5. Kebersihan klien terjaga.
6. Lakukan menyeka klien.
6. Kebersihan klien terjaga.
(Cecily L Betz, 2009)
51
l. Kecemasan keluarga berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan cara perawatannya (Ngastiyah, 2006). 1) Tujuan Keluarga tidak terlihat cemas Tabel 3.3 Intervensi dan Rasional Intervensi
Rasional
1. Lakukan pendekatan interpersonal 1. Agar klien dan keluarga merasa dengan klien. 2. Beri
support
diperhatikan mental
kepada
keluarga. 3. Jelaskan
sehingga
akan
mengurangi tingkat kecemasan dan membina hubungan saling mengerti.
tentang
penyakit
yang 2. Dengan dukungan mental keluarga
diderita klien dan perawatan yang
tidak merasacemas dan optimis akan
akan dilakukan.
kesembuhan klien.
4. Libatkan keluarga dalam prosedur 3. Dengan tindakan medis dan perawatan.
menjelaskan
tentang
penyakit dan perawatan yang harus dijalani sehingga pengetahuandan informasi keluarga klien bertambah. 4. Melibatkan
keluarga
akan
mengurangi kecemasan serta belajar secara mandiri pemberian perawatan. (Ngastiyah, 2006) 5. Implementasi Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (proses keperawatan Nikmatur Rohman, 2009). Implementasi dimulai setelah rencana tindakan disusun ditunjukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2008).
52
6. Evaluasi Tahap evaluasi dalam proses keperawatan mencakup pencapaian terhadap tujuan apakah masalah teratasi atau tidak, dan apabila tidak berhasil perrlu dikaji, direncanakan dan dilaksanakan dalam jangka waktu panjang dan pendek tergantung respon dalam ke efektifan intervensi. Tujuan Evaluasi ini adalah untuk (Nursalam, 2008): a. Mengakhiri rencana tindakan keperawatan (klien telah mencapai
tujuan yang telah dicapai). b. Memodifikasi
rencana tindakan keperawatan (klien mengalami
kesulitan untuk mencapai tujuan). c. Meneruskan rencana tindakan keperawatan (klien memerlukan waktu
yang lama untuk mencapai tujuan). Untuk
memudahkan
perawat
mengevaluasi
atau
memantau
perkembangan klien, digunakan komponen SOAP/SOAPIE/SOAPIER. Yang dimaksud dengan SOAPIER adalah: S
: Data Subyektif Yaitu informasi yang didapat dari pasien, setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O : Data Obyektif Yaitu informasi yang didapat berdasarkan hasil pengukuran atau observasi secara langsung kepada klien. A : Assesment/Analisis Yaitu Interpretasi dari data subyektif dan data obyektif. P
: Planning
53
Yaitu perencanaan perawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya. I
: Impelementasi Yaitu tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan intruksi yang telah teridentifikasi dalam komponen P (Perencanaan). Jangan lupa menuliskan tanggal dan jam pelaksanaan.
E
: Evaluasi Yaitu respons klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
R
: Reassesment Yaitu pengkajian ulang yang dilakukan terhadap perencanaan setelah diketahui hasil evaluasi, apakah dari rencana tindakan perlu dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan.
7. Dokumentasi Dokumentasi memberikan catatan tentang penggunaan proses keperawatan untuk memberikan perawatan pasien secara individu. Dokumentasi ini merupakan persyaratan legal dalam setiap lingkungan pelayanan kesehatan. Dokumentasi juga memerlukan tanggal dan spesifik waktu dan harus ditandatangai oleh orang yang menulisnya. Catatan perkembangan merealisasikan implementasi rencana tindakan dengan mencatat bahwa tindakan yang telah dilakukan (Doenges , 2006).
Daftar Pustaka AL – Quran. Surat QS. Al – Anfal : 28 dan QS. Al Kahfi:46. Behrman N. (2006) : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC. Betz, Cecily Lynn, dkk, 2009. Buku Saku Keperawatan Pedriatik. Ed 5 Jakarta : EGC. Corwin E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis 2015. Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2006. Nursing Care Plan: Guidelines for Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih bahasa: I Made Kariasa. Jakarta: EGC. Donna L, Wong. 2006. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC. Eric P.Cohen,MD. Nephrotic Syndrome.[Online].[Cited On 25 August 2009]. Available From URL : http://emedicine.medscape.com/article/244631overview. Guyton and Hall, 2009, Fisiologi Kedokteran edisi 2: Jakarta : EGC. Nabiel Ridha, 2014. Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogakarta : Pustaka Pelajar. Ngastiyah, 2006. Perawatan Anak Sakit Edisi.2, Jakarta : EGC. Nursalam. 2008. Kapitaproses dan Dokumentasi Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta : Salemba Medika. Rekam Medik RSUD Ciamis 2016. Siburian, Apriliani. S.Kep.,Ners. Juli 2013.“Analisis Praktik Keperawatan Anak Kesehatan Masyarakat Pada Pasien Nefrotik di Lantai 3 Selatan RSUP Fatmawati”.Jurnal.http://lib.ui.ac.id/file/file=digital/20351523-PRApriliani%20S.pdf 25 Juni 2016. Suriadi, Yuliani Rita 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak , Edisi 2, Fajar Interpratama.