ASUHAN KEPERAWATAN ASTHMA Posted on April 4, 2008 by harnawatiaj PENGERTIAN Asma adalah penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon dari trachea dan bronkus terhadap bermacam –macam stimuli yang ditandai dengan penyempitan bronkus atau bronkhiolus dan sekresi yang berlebih – lebihan dari kelenjar – kelenjar di mukosa bronchus II. ETIOLOGI Faktor Ekstrinsik Asma yang timbul karena reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh adanya IgE yang bereaksi terhadap antigen yang terdapat di udara (antigen – inhalasi ), seperti debu rumah, serbuk – serbuk dan bulu binatang Faktor Intrinsik Infeksi : - virus yang menyebabkan ialah para influenza virus, respiratory syncytial virus (RSV) - bakteri, misalnya pertusis dan streptokokkus - jamur, misalnya aspergillus · cuaca : perubahan tekanan udara, suhu udara, angin dan kelembaban dihubungkan dengan percepatan iritan bahan kimia, minyak wangi, asap rokok, polutan udara emosional : takut, cemas dan tegang aktifitas yang berlebihan, misalnya berlari III. PATOLOGI Asma ialah penyakit paru dengan cirri khas yakni saluran napas sangat mudah bereaksi terhadap barbagai ransangan atau pencetus dengan manifestasi berupa serangan asma. Kelainan yang didapatkan adalah: Otot bronkus akan mengkerut ( terjadi penyempitan) Selaput lendir bronkus udema Produksi lendir makin banyak, lengket dan kental, sehingga ketiga hal tersebut menyebabkan saluran lubang bronkus menjadi sempit dan anak akan batuk bahkan dapat sampai sesak napas. Serangan tersebut dapat hilang sendiri atau hilang dengan pertolongan obat. Pada stadium permulaan serangan terlihat mukosa pucat, terdapat edema dan sekresi bertambah. Lumen bronkus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil dalam secret didlam lumen saluran napas. Jika serangan sering terjadi dan lama atau menahun akan terlihat deskuamasi (mengelupas) epitel, penebalan membran hialin bosal, hyperplasia serat elastin, juga hyperplasia dan hipertrofi otot bronkus. Pada serangan yang berat atau pada asma yang menahun terdapat penyumbatan bronkus oleh mucus yang kental. Pada asma yang timbul akibat reaksi imunologik, reaksi antigen – antibody menyebabkan lepasnya mediator kimia yang dapat menimbulkan kelainan patologi tadi. Mediator kimia tersebut adalah: a. Histamin - Kontraksi otot polos - Dilatasi pembuluh kapiler dan kontraksi pembuluh vena, sehingga terjadi edema - Bertambahnya sekresi kelenjar dimukosa bronchus, bronkhoilus, mukosaa, hidung dan mata b. Bradikinin - Kontraksi otot polos bronchus - Meningkatkan permeabilitas pembuluh darah - Vasodepressor (penurunan tekanan darah)
- Bertambahnya sekresi kelenjar peluh dan ludah c. Prostaglandin - bronkokostriksi (terutama prostaglandin F) IV. MANIFESTASI KLINIK Wheezing Dyspnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot- otot asesori pernapasan pernapasan cuping hidung batuk kering ( tidak produktif) karena secret kental dan lumen jalan napas sempit diaphoresis sianosis nyeri abdomen karena terlibatnya otot abdomen dalam pernapasan kecemasan, labil dan penurunan tingkat kesadarn tidak toleran terhadap aktifitas : makan, bermain, berjalan, bahkan bicara V. STADIUM ASMA Stadium I Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk proksisimal, karena iritasi dan batuk kering. Sputum yang kental dan mengumpul merupakan benda asing yang merangsang batuk Stadium II Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan dahak yang jernih dan berbusa. Pada stadium ini anak akan mulai merasa sesak napas berusaha bernapas lebih dalam. Ekspirasi memanjang dan terdengar bunyi mengi. Tampak otot napas tambahan turut bekerja. Terdapat retraksi supra sternal, epigastrium dan mungkin juga sela iga. Anak lebih senang duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau kursi. Anak tampak gelisah, pucat, sianosisi sekitar mulut, toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta bergerak lambat pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi supra sternal dan interkostal. Stadium III Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat , aliran udara sangat sedikit sehingga suara napas hampir tidak terdengar. Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan. Juga batuk seperti ditekan. Pernapasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi napas yang mendadak meninggi. VI. KOMPLIKASI 1. Status asmatikus 2. Bronkhitis kronik, bronkhiolus 3. Ateletaksis : lobari segmental karena obstruksi bronchus oleh lender 4. Pneumo thoraks Kerja pernapasan meningkat, kebutuhan O2 meningkat. Orang asam tidak sanggup memenuhi kebutuhan O2 yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk bernapas melawan spasme bronkhiolus, pembengkakan bronkhiolus, dan m ukus yang kental. Situasi ioni dapat menimbulkan pneumothoraks akibat besarnya teklanan untuk melakukan ventilasi 5. Kematian VII. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Riwayat penyakit atau pemeriksaan fisik Foto rontgen dada Pemeriksaan fungsi paru : menurunnya tidal volume, kapasitas vital, eosinofil biasanya meningkat dalam darah dan sputum Pemeriksaan alergi (radioallergosorbent test ; RAST) Analisa gas darah – pada awalnya pH meningkat, PaCO2 dan PaO2 turun (alkalosis respiratori ringan
akibat hiperventilasi ); kemudian penurunan pH, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 (asidosis respiratorik) VIII. PENATALAKSANAAN Pencegahan terhadap pemajanan alergi Serangan akut dengan oksigen nasal atau masker Terapi cairan parenteral Terapi pengobatan sesuai program - Beta 2-agonist untuk mengurangi bronkospasme, mendilatasi otot polos bronchial Albuterol (proventil, ventolin) Tarbutalin Epinefrin Metaprotenol - Metilsantin, seperti aminofilin dan teofilin mempunyai efek bronkodilatasi - Antikolinergik, seperti atropine metilnitrat atau atrovent mempunyai efek bronchodilator yang sangat baik - Kortikosteroid diberikan secara IV (hidrokortison), secara oral (mednison), inhalasi (deksametason) KONSEP KEPERAWATAN I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN 1. Riwayat asthma atau alergi dan serangan asthma yang lalu, alergi dan masalah pernapasan 2. Kaji pengetahuan anak dan orang tua tentang penyakit dan pengobatan 3. Riwayat psikososial: factor pencetus, stress, latihan, kebiasaan dan rutinitas, perawatan sebelumnya 4. Pemeriksaan fisik Pernapasan - Napas pendek - Wheezing - Retraksi - Takipnea - Batuk kering - Ronkhi Kardiovaskuler Takikardia Neurologis Kelelahan Ansietas Sulit tidur Muskuloskeletal Intolerans aktifitas Integumen Sianosis pucat Psikososial Tidak kooperatif selama perawatan Kaji status hidrasi - Status membran mukosa - Turgor kulit - Output urine II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan napas b.d. bronkospasme dan udema mukosa Kelelahan b.d. hipoksia dan peningkatan kerja pernapasan Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. distress GI Resiko kekurangan volume cairan b.d. meningkatnya pernapsan dan menurunnya intake oral Kecemasan b.d. hospitalisasi dan distress pernapasan Perubahan proses keluarga b.d. kondisi kronik Kurang pengetahuan b.d. proses penyakit dan pengobatan] III. INTERVENSI KEPERAWATAN 1. Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan napas b.d. bronkospasme dan udema mukosa Tujuan : - anak akan menunjukkan perbaikan pertukaran gas ditandai dengan : tidak ada wheezing dan retraksi batuk menurun warna kulit kemerahan - anak tidak menunjukkan gangguan ketidakseimbangan asam basa yang ditandai dengan saturasi oksigen ± 95 % Intervensi: a. Kaji RR, auskultasi bunyi napas R/: sebagai sumber data adanya pewrubahan sebelum dan sesudah perawatan diberikan b. Beri posisi high fowler atau semi-fowler R/; mengembangkan ekspansi paru c. Dorong anak untuk latihan napas dalam dan batuk efektif R/: membantu membersihkan mucus dari p[aru dan napas dalam memperbaiki oksigenasi d. Lakukan suction jika perlu R/: membantu mengeluarkan secret yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak sendiri e. Lakukan fisioterapi R/: membantu pengeluaransekresi, menmingkatkan ekspansi paru f. Berikan oksigen sesuai program R/ : memperbaiki oksigenasi dan mengurangi sekresi Monitor peningkatn pengeluaran sputum R/: sebagai indikasi adanya kegagalan pada paru h. Berikan bronchodilator sesuai indikasi R/: otot pernapasan menjadi relaks dan steroid mengurangi inflamasi 2. Kelelahan b.d. hipoksia dan peningkatan kerja pernapasan Tujuan : Anak menunjukkan penurunan kelelahan ditandai dengan tidak iritabel, dapat berpartisipasi dan peningkatan kemampuan dalam beraktifitas Intervensi : Kaji tanda – tanda hipoksia / hypercapnea ; kelelahan, agitasi, peningkatan HR, peningkatan RR R/: deteksi dini untuk mencegah hipoksia dapat mencegah keletihan lebih lanjut Hindari seringnya melakukan intervensi yang tidak penting yang dapat membuat anak lelah, berikan istirahat yang cukup R/: Istirahat yang cukup dapat menurunkan stress dan meningkatkan kenyamanan Minta orang tua untuk selalu menemani anak R/: Menurunkan ketakutan dan kecemasan Berikan istirahat cukup dan tidur 8 – 10 jam tiap malam R/: istirahat cukup dan tidur cukup menurunkan kelelahan dan meningkatkan resistensi terhadap infeksi Ajarkan teknik manajemen stress R/ : Bronkospasme mungkin disebabkan oleh emosional dan stress
3. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. distress GI Tujuan : Anak akan menunjukkan penurunan distress GI ditandai dengan: Penurunan nausea dan vomiting, adanya perbaikan nutrisi / intake Intervensi: a. Berikan porsi makan kecil tapi sering 5 – 6 kali sehari dengan makanan yang disukainya R/: makanan kecil tapi sering menyediakan energi yang dibutuhkan , lambung tidak terlalu penuh, sehingga memberikan kesempatan untuk penyerapan makanan. Makanan yang disukai mendporong anak untuk makan dan meningkatkan intake b. Berikan makanan halus, rendah lemak, gunakan warna R/: Makanan berbumbu dan tinggi lemak dapat meningkatkan distress pada GI sehingga sulit dicerna c. Anjurkan menghindari makanan yang menyebabkan alergi R/:Dapat menimbulkan serangan akut pada anak yang sensitive Resiko kekurangan volume cairan b.d. meningkatnya pernapsan dan menurunnya intake oral Tujuan : Anak dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat ditandai dengan turgor kulit elastis, membrane mukosa lembab, intake cairan sesuai dengan usia dan berat badan, output urine : 1-2 ml/kg BB/jam Intervensi: a. Kaji turgor kulit, monitor urine, output tiap 4 jam R/: untuk mengetahui tingkat hidrasi dan kebutuhan cairannya b. Pertahankan terapi parenteral sesuai indikasi dan monitor kelebihan cairan R/: kelebihan cairan dapat menyebabkan udema pulmonar c. Setelah fase akut, anjurkan anak dan orangtua untuk minum 3-8 gelas / hari, tergantung usia dan berat badan anak R/: anak membutuhkan cairan yang cukup untuk mempertahankan hidrasi dan keseimbangan asam basa untuk mencegah syok Kecemasan b.d. hospitalisasi dan distress pernapasan Tujuan : Kecemasan menurun, ditandai dengan anak tenang dan dapat mengekspresikan perasaannya Intervensi: a. Ajarkan teknik relaksasi; latihan napas dalam, imajinasi terbimbing R/: pengalihan perhatian selama episode asma dapat menurunkan ketakutan dan kecemasan b. Berikan terapi bermain sesuai indikasi R/: terapi bermain dapat menurunkan efek hospitalisasi dan kecemasan c. Informasikan tentang perawatan, pengobatan dan kondisi anak R/: menurunkan rasa takut dan kehilangan control akan dirinya Sumber: Betz L. Cecily. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Dina Dr,dr,. Penatalaksanaan Penyakit Alergi. Speer Kathleen Morgan.Pediatric Care Planning Ashwill, Ngastiyah. Perawatan anak Sakit. Corwin, J. Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi. Suriadi, SKp., Rita, SKp. Asuhan Keperawatan pada Anak.
ASKEP ASTHMA BRONKHIALE ASTHMA BRONKHIALE A. Pengertian Asthma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996). Asthma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996). Asthma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001). Asthma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon. trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The American Thoracic Society). B. Etiologi Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asthma bronkhial. 1. Faktor predisposisi o Genetik Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan. 2. Faktor presipitasi o Alergen Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : 1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Seperti : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi. 2. Ingestan, yang masuk melalui mulut. Seperti : makanan dan obat-obatan. 3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. seperti : perhiasan, logam dan jam tangan. o Perubahan cuaca. Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu. o Stress. Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati. o Lingkungan kerja. Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti. o Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut. C. Klasifikasi Asthma Berdasarkan penyebabnya, asthma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu : 1. Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asthma ekstrinsik. 2. Intrinsik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. 3. Asthma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan nonalergik. D. Patofisiologi Asthma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asthma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asthma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest. E. Manifestasi Klinik Manifestasi Klinik pada pasien asthma adalah batuk, dyspne, dari wheezing. Dan pada sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan
gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu : 1. Tingkat I : o Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru. o Timbul bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test provokasi bronkial di laboratorium. 2. Tingkat II : o Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas. o Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan. 3. Tingkat III : o Tanpa keluhan. o Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas. o Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali. 4. Tingkat IV : o Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing. o Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas. 5. Tingkat V : o Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai. o Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel. Pada asma yang berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan kesadaran, penderita tampak letih, takikardi. F. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium. o Pemeriksaan sputum Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya: Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug. o Pemeriksaan darah. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan. 2. Pemeriksaan Radiologi Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut: o Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
o Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah. o Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru. o Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal. o Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru. 3. Pemeriksaan tes kulit Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. 4. Elektrokardiografi Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu : o Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation. o Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block). o Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative. 5. Scanning Paru Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru. 6. Spirometri Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. G. Penatalaksanaan 1. Pengobatan farmakologik : o Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan : 1. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin). Nama obat : Orsiprenalin (Alupent) Fenoterol (berotec) Terbutalin (bricasma) Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup,suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya dihirup. 2. Santin (teofilin) Nama obat : Aminofilin (Amicam supp) Aminofilin (Euphilin Retard) Teofilin (Amilex) Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya
saling memperkuat. Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering). o Kromalin Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anak-anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan. o Ketolifen Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah dapat diberika secara oral. 2. Pengobatan non farmakologik: o Memberikan penyuluhan. o Menghindari faktor pencetus. o Pemberian cairan. o Fisiotherapy. o Beri O2 bila perlu. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ASTHMA BRONKHIALE A. Pengkajian 1. Riwayat kesehatan yang lalu: o Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya. o Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan. o Kaji riwayat pekerjaan pasien. 2. Aktivitas o Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas. o Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari. o Tidur dalam posisi duduk tinggi. 3. Pernapasan o Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan. o Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur. o Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung. o Adanya bunyi napas mengi. o Adanya batuk berulang. 4. Sirkulasi o Adanya peningkatan tekanan darah. o Adanya peningkatan frekuensi jantung. o Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis. o Kemerahan atau berkeringat. 5. Integritas ego o Ansietas o Ketakutan o Peka rangsangan o Gelisah 6. Asupan nutrisi
o Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan. o Penurunan berat badan karena anoreksia. 7. Hubungan sosal o Keterbatasan mobilitas fisik. o Susah bicara atau bicara terbata-bata. o Adanya ketergantungan pada orang lain. 8. Seksualitas o Penurunan libido. B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul 1. Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus. 2. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru. 3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat. C. Intervensi Diagnosa Keperawatan 1 : Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus. Tujuan : Jalan nafas kembali efektif. Kriteria Hasil : • Sesak berkurang • Batuk berkurang • Klien dapat mengeluarkan sputum • Wheezing berkurang/hilang • TTV dalam batas normal keadaan umum baik. Intervensi : • Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya : mengi, erekeis, ronkhi. R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma berat). • Kaji / pantau frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan ekspirasi. R/ Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dpat ditemukan pada penerimaan selama strest/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi. • Kaji pasien untuk posisi yang aman, misalnya : peninggian kepala tidak duduk pada sandaran. R/ Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi. • Observasi karakteristik batuk, menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk keefektipan memperbaiki upaya batuk. R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada klien lansia, sakit akut/kelemahan. • Berikan air hangat. R/ penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus. • Kolaborasi obat sesuai indikasi.Bronkodilator spiriva 1×1 (inhalasi). R/ Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa. Diagnosa Keperawatan 2 : Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru. Tujuan : Pola nafas kembali efektif. Kriteria Hasil : • Pola nafas efektif • Bunyi nafas normal atau bersih • TTV dalam batas normal • Batuk berkurang
• Ekspansi paru mengembang. Intervensi : • Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal. R/ Kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada. • Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti crekels, mengi. R/ ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan pernafasan. • Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. R/ Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan. • Observasi pola batuk dan karakter sekret. R/ Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi. • Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk. R/ Dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi dan ditambah ketidak nyaman upaya bernafas. • Kolaborasi o Berikan oksigen tambahan. o Berikan humidifikasi tambahan misalnya : nebulizer. R/ Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret. Diagnosa Keperawatan 3 : Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat. Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi. Kriteria Hasil : • Keadaan umum baik • Mukosa bibir lembab • Nafsu makan baik • Tekstur kulit baik • Klien menghabiskan porsi makan yang disediakan • Bising usus 6-12 kali/menit • Berat badan dalam batas normal. Intervensi : • Kaji status nutrisi klien (tekstur kulit, rambut, konjungtiva). R/ Menentukan dan membantu dalam intervensi lanjutnya. • Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh. R/ Petikan pengetahuan klien dapat menaikan partisi bagi klien dalam asuhan keperawatan. • Timbang berat badan dan tinggi badan. R/ Penurunan berat badan yang signipikan merupakan indikator kurangnya nutrisi. • Anjurkan klien minum air hangat saat makan. R/ Air hangat dapat mengurangi mual. • Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering. R/ memenuhi kebutuhan nutrisi klien. • Kolaborasi o Consul dengan tim gizi/tim mendukung nutrisi. R/ Menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan. o Berikan obat sesuai indikasi. o Vitamin B squrb 2×1. R/ Defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.
o Antiemetik rantis 2×1 R/ untuk menghilangkan mual / muntah. DAFTAR PUSTAKA Baratawidjaja, K. (1990) “Asma Bronchiale”, dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FK UI. Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC. Crockett, A. (1997) “Penanganan Asma dalam Penyakit Primer”, Jakarta : Hipocrates. Crompton, G. (1980) “Diagnosis and Management of Respiratory Disease”, Blacwell Scientific Publication. Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC. Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC. Hudak & Gallo (1997) “Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik”, Volume 1, Jakarta : EGC. Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”, Jakarta : EGC. Pullen, R. L. (1995) “Pulmonary Disease”, Philadelpia : Lea & Febiger. Rab, T. (1996) “Ilmu Penyakit Paru”, Jakarta : Hipokrates. Rab, T. (1998) “Agenda Gawat Darurat”, Jakarta : Hipokrates. Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “Keperawatan Medikal Bedah”, Buku Satu, Jakarta : Salemba Medika. Staff Pengajar FK UI (1997) “Ilmu Kesehatan Anak”, Jakarta : Info Medika. Sundaru, H. (1995) “Asma ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya”, Jakarta : FK UI.