ASPEK PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Echwan Iriyanto, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember
Abstraksi Sebagai negara hukum dan telah merasakan dampak dari korupsi, Indonesia terus berupaya secara konkrit untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Penerapan prinsip pembuktian terbalik merupakan salah satu upaya yang perlu mendapat perhatian baik dari aspek teoritik dan praktik , yaitu dengan mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi disisi lainnya. Kata kunci : Korupsi, pembuktian terbalik seimbang
1. Pendahuluan Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari istilah tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat keadaan yang busuk, jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan
1
(fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal. Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk. Di era demokrasi, korupsi akan mempersulit pencapaian good governance dan pembangunan ekonomi. Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional maka mau tidak mau korupsi harus diberantas, baik dengan cara preventif maupun represif. Maraknya korupsi di Indonesia seakan sulit untuk diberantas dan seakan telah menjadi budaya. Berdasarkan
riset
yang
dilakukan
oleh
Lembaga
Transparency
International Indonesia (TII) tahun 2013, Indonesia berada pada empat negara dengan tingkat korupsi tertinggi dari 118 negara. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan Indonesia menjadi negara yang bebas korupsi sangatlah berat. Sebagai negara hukum dan telah merasakan dampak dari korupsi, Indonesia terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa peraturan perundang-undangan, antara lain Tap MPR, kemudian beberapa UU anti korupsi, diantaranya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kemudian yang paling monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU No. 30 Tahun 2002, yang menjadi dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditambah lagi dengan dua Perpu, lima Inpres dan tiga Kepres. Berbagai upaya pemberantasan korupsi pada umumnya dinilai oleh masyarakat masih belum menggambarkan upaya sungguh-sungguh dari peme rintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan
2
kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih belum lancarnya laju pemberantasan korupsi. Masyarakat menduga masih ada praktek tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Sorotan masyarakat yang demikian tajam tersebut harus dipahami sebagai bentuk kepedulian dan sebagai motivator untuk terus berjuang mengerahkan segala daya dan strategi agar maksud dan tujuan pemberantasan korupsi dapat lebih cepat, dan selamat tercapai. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya bertumpu pada 2 (dua) kegiatan yakni pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan lebih banyak bersifat edukasi, sosialisasi, dan pelibatan seluruh potensi masyarakan sebagai gerakan anti korupsi. Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), KPK diberikan wewenang dalam rangka upaya pencegahan tindak pidana korupsi (a) melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara, (b) menerima laporan dan menetapkan gratifikasi, (c) menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan, (d) merancang
dan
mendorong
terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi, (e) melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum, (f)
melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Upaya-upaya pencegahan tersebut pada dewasa ini belum banyak
memperoleh perhatian kita semua. Upaya yang sudah dilakukan masih bersifat parsial dan belum sistematis. Misalnya, mengenai upaya pemerintah dalam melakukan reformasi birokrasi yang sampai saat ini belum selesai dilaksanakan semenjak awal tahun 2000. Padahal upaya pencegahan potensial lebih efektif dan efisien dalam kerangkan
3
pemberantasan korupsi. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati. Saat ini, upaya yang menonjol dilaksanakan
adalah upaya
penindakan melalui proses peradilan pidana. Proses ini merupakan suatu sistem peradilan pidana yang meliputi proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan. Proses tersebut disamping waktunya cukup lama dan sifatnya kompleks, juga pada masing-masing tahapannya mempunyai permasalahan dan kendala yuridis yang ada, sehingga selama ini timbul kesan bahwa upaya penindakan melalui proses peradilan pidana belum memuaskan rasa keadilan masyarakat. Banyaknya putusan bebas atau hukuman yang ringan terhadap para pelaku korupsi makin menyebabkan kepercayaan masyarakat menjadi semakin rendah. Padahal dalam penjatuhan hukuman atau pidana, sebenarnya hanya terkait dengan proses pemeriksaan di sidang pengadilan khususnya pada proses pembuktian, bukan pada proses penyidikan atau penuntutan. Suatu proses pembuktian tindak pidana korupsi sangatlah kompleks, padahal proses tersebut mempunyai tujuan yang sangat penting yakni untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, dan selanjutnya hakim akan menjatuhkan pidananya. 2.
Permasalahan Proses pembuktian dalam tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan mulai dirasakan kurang berhasil guna dalam menjerat para pelaku korupsi. Pembuktian yang selama ini dilakukan masih sepenuhnya menjadi tanggungjawab penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa (pembuktian biasa/umum). Hal ini tentu sangat memberatkan Penuntut Umum, mengingat kasus-kasus korupsi sangat kompleks dan para pelaku dalam melalukan korupsinya sudah merencanakan sedemikian rupa dengan melibatkan banyak pihak dan modus yang sangat canggih.
4
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur mengenai sistem pembuktian yang berbeda dengan sistem pembuktian yang bersifat umum, yaitu prinsip pembuktian terbalik (vide Pasal
37
jo.
Pasal
12B
dan
penjelasannya).
Namun
dalam
implementasinya, prinsip pembuktian tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena masih menimbulkan problematika yuridis yang perlu segera diselesaikan. Berdasarkan hal tersebut maka makalah ini akan membahas tentang aspek pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi.
3. Pembahasan 3.1
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp. 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata. Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan “Operasi Tertib” yang dilakukan
Komando
Operasi
Pemulihan
Keamanan
dan
Ketertiban
(Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang tersebut kurang berhasil dilaksanakan, dan pada masa reformasi dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan kemudian diikuti dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UUPTPK, perbuatan korupsi sebagai tindak pidana dirumuskan kedalam 30 jenis perbuatan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut : 5
1. Kerugian Keuangan Negara (Pasal 2 dan 3 UUPTPK) 2. Suap Menyuap ( Pasal 5, 6, 11, 12 dan 13 UUPTPK) 3. Penggelapan dalam Jabatan ( Pasal 8, 9 dan 10 UUPTPK) 4. Pemerasan (Pasal 12 UUPTPK) 5. Perbuatan Curang ( Pasal 7 dan 12 huruf h UUPTPK) 6. Benturan kepentingan dalam Pengadaan (Pasal 12 huruf i UUPTPK) 7. Gratifikasi ( Pasal 12 B dan C UUPTPK) Berdasarkan jenis-jenis tindak pidana korupsi tersebut, maka pengertian dari tindak pidana korupsi meliputi ke tujuh jenis tersebut. Namun mengingat hakikat tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara, maka pengertian tindak pidana korupsi secara umum dirumuskan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK yakni : “ suatu perbuatan dengan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Sedangkan ancaman pidana yang ditetapkan dalam UUPTPK terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milayar rupiah). Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UUPTPK, terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi pidana mati. Menurut penjelasan Pasal 2 Ayat (2) UUPTPK, keadaan tertentu yang dimaksud adalah apabila negara dalam keadaan bahaya, bencana alam nasional, recidiev atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Dalam praktek, tindak pidana korupsi yang sering terjadi adalah yang menyangkut kerugian negara, suap menyuap dan gratifikasi seperti yang terjadi dalam kasus Hambalang, Impor Daging Sapi, Korlantas Polri dan yang terakhir Kasus di Mahkamah Konstitusi.
6
3.2 Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan ketentuan Pasal 25 UUPTPK bahwa Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan Hukum Acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UUPTPK. Ini berarti bahwa semua proses penyidikan dan penuntutan dilakukan sama dengan proses dalam perkara pidana umum seperti pencurian, pembunuhan dan lain-lain, sebagaimana yang diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Namun dalam beberapa hal terdapat beberapa penyimpangan seperti tentang alat bukti, lembaga penyidik, penghentian penyidikan dan penyadapan yang dimiliki oleh KPK. Berdasarkan KUHAP alat bukti dalam perkara pidana terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam UUPTPK, alat bukti petunjuk tersebut diperluas dengan informasi dan data secara elektronik. Hal ini disebabkan karena dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, para pelaku korupsi dalam melakukan kejahatannya banyak menggunakan sarana dan data elektronik. Dalam beberapa kasus korupsi, penyidik KPK sering menemukan tersangka korupsi karena adanya rekaman percakapan melalui HP dan selanjutnya dengan bukti tersebut dilakukan tindakan penyadapan untuk melakukan operasi tangkap tangan, seperti kasus di MK tersebut baru-baru ini. Selanjutnya sebagai salah satu upaya untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi, maka melalui Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya disebut UUKPK, dibentuk lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berwenang untuk melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Tujuaan dibentuknya KPK tersebut adalah karena Kepolisian dan Kejaksaan dianggap belum efektif dalam pemberantasan korupsi. (vide konsideran menimbang UUKPK). Sehingga saat ini lembaga penyidik tindak pidana korupsi ada 3 (tiga) yakni Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Disamping itu KPK juga diharapkan dapat melakukan supervisi terhadap lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi. Oleh sebab itu sejak awal KPK
7
hanya didesain sebagai lembaga Ad Hoc, (tidak permanen), dengan harapan apabila Kepolisian dan Kejaksaan sudah kuat dan mampu dengan baik melaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi, maka lembaga KPK akan dibubarkan. Namun pada kenyataannya baik Kepolisian maupun Kejaksaan sampai saat ini masih diragukan kemampuannya walaupun sudah 10 tahun KPK berdiri. Bahkan KPK makin bersinar dihati masyarakat sebagai lembaga
yang
sangat dipercaya dalam memberantas korupsi.
Akibatnya dalam tataran praktis bisa terjadi tumpang tindih bahkan gesekan yang tajam terutama antara lembaga Kepolisian dan KPK dalam penanganan suatu kasus. Hal itu pernah terjadi dalam kasus cicak vs buaya dan penanganan kasus korupsi di Korlantas Polri. Koordinasi di antara ke tiga lembaga tersebut memang belum jelas sehingga rawan akan selalu terjadi gesekan yang justru akan merugikan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi itu sendiri. Khusus terhadap lembaga KPK, agar dalam melakukan penyidikan dan penuntutan dapat berhasil guna, maka UUPTPK menetapkan tidak adanya proses penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap kasus yang ditangani KPK. Ini artinya bahwa apabila suatu kasus sudah ditetapkan oleh KPK masuk dalam tahap penyidikan atau penuntutan, maka kasus tersebut tidak dapat dihentikan dengan alasan apapun dan harus dilimpahkan ke pengadilan untuk di sidangkan (vide Pasal 40 UU KPK). Hal ini mengandung konsekuensi bahwa proses penyelidikan oleh KPK harus benar-benar profesional dan memerlukan waktu. Sebab apabila hasil penyelidikannya tidak dilakukan dengan profesional dan kemudian terlanjur sudah dinaikkan menjadi tahap penyidikan, maka tidak dapat dihentikan lagi misalnya karena alasan tidak cukup bukti. Hal inilah yang sering menimbulkan kesan di masyarakat bahwa KPK lambat dan tidak profesional dalam penyelesaian kasus korupsi. Namun kesan tersebut dapat dijawab oleh KPK bahwa semua perkara korupsi yang ditangani oleh KPK 100% terbukti di persidangan dengan pelakunya dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. Hal ini berbeda dengan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang ditangani oleh
8
Kepolisian atau Kejaksaan, yang diberi wewenang untuk menghentikan penyidikan atau penuntutan apabila ada alasan tidak cukup bukti, bukan perkara pidana atau perkara ditutup demi hukum (vide Pasal 109 Ayat 2 dan Pasal 140 Ayat (2)a KUHAP).
3.2
Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi
Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara korupsi merupakan tahap yang sangat menentukan dari keseluruhan proses peradilan pidana korupsi. Sebab dalam tahapan tersebut akan ditentukan apakah seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi akan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atau tidak, untuk selanjutnya akan diputuskan penjatuhan pidananya. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. (M.Yahya harahap, 1993:793). Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau sering disebut KUHAP. Mengingat Tindak Pidana Korupsi diatur secara khusus dalam UUPTPK, maka hukum acara pembuktiannya
juga diatur khusus dalam UUPTPK yang secara yuridis
menyimpangi KUHAP. Sehingga aspek pembuktian dalam tindak pidana korupsi diatur oleh dua Undang-Undang yakni KUHAP dan UUPTPK. 3.2.1 Sistem Pembuktian KUHAP Hingga kini setelah diberlakukannya KUHAP melalui undang-undang No. 8 tahun 1981, masalah pembuktian diatur secara tegas dalam kelompok sistem hukum pidana formil (acara). Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal diatur pada Bab XVI bagian keempat Pasal 183 sampai Pasal 232 KUHP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum
9
pidana menganut pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan undangundang atau Negatief Wettelijk Overtuiging. Dengan dasar teori Negatief Wettelijk Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” Sedangkan yang dimaksud dengan 2 alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu : a. Keterangan saksi b.Keterangan ahli c.Surat d.Petunjuk e.Keterangan terdakwa Berdasarkan sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan :“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.” Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. Sistem Beban Pembuktian Khusus pada kasus Korupsi sebelumnya kita telah mengetahui bahwa lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. Tindak Pidana Korupsi merupakan pengecualian dan memiliki sifat khusus 10
yang berkaitan dengan Hakim Pidana Materiil maupun Formil. Masalah beban pembuktian, sebagai bagian dari hukum pidana formil mengalami perubahaan paradigma sejak diberlakukan Undang-Undang No. 31 tahun 1999. Berdasarkan Pasal 37 Ayat (1) menunjukkan beban pembuktian dalam perkara Tindak Pidana Korupsi mengalami perubahan paradigma. Di sini terjadi pergeseran beban pembuktian atau shifting of burden of proof, tapi belum mengarah pada reversal of burden of proof (pembalikan beban total). Memang terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana setelah diperkenankan hakim, namun hal ini tidak bersifat imperatif karena hanya merupakan hak saja bagi terdakwa. Sistem pembalikan beban pembuktian dalam undang-undang ini masih terbatas karena masih menunjuk peran Jaksa penuntut umum memiliki kewajiban membuktikan kesalahannya. 3.2.2
Prinsip Pembuktian Terbalik
Istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna dan dipahami sebagai salah satu solusi pemberantasan korupsi. Dari sisi praktek, istilah ini sebenarnya kurang tepat, sebab dari sisi bahasa istilah tersebut dikenal sebagai omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian”. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang biasa apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik. Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalis terletak pada penuntut umum. Namun, mengingat adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan tidak lagi kepada penuntut umum tetapi kepada terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal awam dengan istilah “pembuktian terbalik” Selama ini penerapan pembuktian terbalik dalam UUPTK belum dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini disebabkan karena belum sepenuhnya para penegak hukum memahami hakekat dari prinsip pembuktian terbalik tersebut. Ketidakpahaman para penegak hukum tersebut dapat diterima karena memang secara normatif pencantuman prinsip pembuktian terbalik dalam UUPTK masih sangat teoritis, dan belum implementatif. Akibat
11
keterbatasan UUPTPK tersebut, maka menimbulkan pro-kontra di kalangan hukum mengenai penerapan pembuktian terbalik. Sebagaian mengatakan bahwa pembalikan beban pembuktian secara total akan melanggar hak asasi manusia. Karena sejak awal seseorang ditempatkan dalam posisi bersalah. Apabila ia menolak dan menganggap dirinya tidak bersalah, maka ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Namun bagi yang setuju, penerapan pembuktian terbalik sangat perlu dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, mengingat sifat tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa/extra ordinary. Dalam perkembangannya, muncul gagasan untuk mengakomodir dua perbedaan
pro-kontra
tersebut
yakni
dengan
munculnya
prinsip
"keseimbangan pembuktian" yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Model baru asas pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar. Walaupun di UUPTPK telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (dengan istilah pembuktian terbalik terbatas), namun ketentuan di dalam undang-undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas, melainkan hanya menempatkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya model pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat
referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian
terbalik. Sudah tentu pembuktian terbalik dalam hal hak kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari korupsi menimbulkan pro dan kontra. Pandangan kontra mengatakan bahwa, pembuktian terbalik dalam hak kepemilikan harta kekayaan tersebut juga bertentangan dengan hak asasi 12
manusia yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi. Namun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber kemiskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di semua negara, maka hak asasi individu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak absolut, melainkan hak relatif, dan berbeda dengan perlindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya. Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik dalam konteks proses pembekuan (freezing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascaratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU Nomor 31 tahun 1999. Oleh sebab itu dalam hukum pembuktian kasus korupsi, tidak hanya unsur kerugian negara sebagai unsur pokoknya, akan tetapi juga kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang dirugikan karena korupsi juga seharusnya diakomodasi di dalam revisi UU pemberantasan tindak pidana korupsi.
4. Simpulan Bahwa, penerapan prinsip pembuktian terbalik merupakan salah satu solusi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Namun pengaturannya
harus
mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi, agar tidak menimbulkan problematika yuridis dalam penegakan hukumnya.
13
Daftar Bacaan Andi Hamzah. Ide yang melatarbelakani Pembalikan beban pembuktian. Makalah pada Seminar Nasional Debat Publik Tentang Pembalikan Beban Pembuktian. Tanggal 11 Juli 2001 Universitas Trisakti Martiman Prodjohamidjojo. Penerapan Pembuktian terbalik dalam delik korupsi. Cetakan I. Bandung : CV Mandar Madju, 2001. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Jilid II, Pustaka Kartini, 1993.
KUHAP
Indriyanto Seno Adji, SH.MH, Korupsi dan Pembalikan beban pembuktian. Jakarta 2006, JE Sahetappy, Problematik Beban Pembuktian Terbalik. Jakarta Desember 2003 Romli Atmasasmita. Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi. Harian Seputar Indonesia 27 September 2006 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
14