WACANA HUKUM
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
PEMALSUAN MEREK DAN PENEGAKAN HUKUMNYA (Ditinjau dari aspek Hukum Pidana)
ESTI ARYANI, SH, MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI Absract: Brand is a very important issue in trading. However, brand counterfeiting often happens to get unlimited advantages for irresponsible and dishonest traders. To make this worse is that the law enforcement for that still faces huge barriers . the barrier comes from the law, the law enforcers and the society. Keywords: law enforcements and law protection
PENDAHULUAN Globalisasi membawa konsekuensi semakin menipisnya batas wilayah antara satu negara dengan negara lainnya. Hal ini ditandai dengan semakin majunya berbagai bidang kehidupan manusia seperti teknologi, informasi, transportasi, dan sebagainya. Demikian juga di bidang ekonomi, perkembangan ekonomi tidak terlepas dari perkembangan ekonomi global. Dalam kehidupan ekonomi, perilaku ekonomi diatur dan dikendalikan oleh norma-norma hukum agar tidak menyimpang dari kebijakan pembangunan yang digariskan oleh pemerintah. Di negara-negara yang perkembangan perekonomiannya maju, aturan-aturan hukum bisnis telah disiapkan jauh ke depan guna mengantisipasi perkembangan perilaku ekonomi agar tidak terjadi penyimpangan dan kecurangan. Sedangkan di negara-negara berkembang, fenomena yang tampak adalah bahwa aturanaturan hukum di bidang akonomi dan perdagangan belum mampu mengakomodasi aktivitas dan proses ekonomi yang terjadi. Merek merupakan bagian penting dalam dunia perdagangan. Dengan merek, produk yang dihasilkan oleh produsen dikenal oleh konsumen. Merek merupakan tanda pengenal asal barang atau jasa yang dihasilkan. Ditinjau dari kacamata produsen, merek digunakan sebagai jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas produk. Para pedagang menggunakan merek untuk promosi barang-barang dagangannya dan untuk memperluas pasar. Bagi konsumen, merek diperlukan untuk melakukan pilihan produk yang akan dibeli. Tidak dapat dibayangkan apabila suatu produk tidak memiliki merek, tentu produk yang bersangkutan tidak akan dikenal oleh konsumen. Oleh karena itu suatu 52
WACANA HUKUM
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
produk, apakah produk tersebut baik atau tidak, tentu akan memiliki merek. Bahkan tidak mustahil merek yang sudah dikenal luas oleh konsumen karena mutu dan harganya, akan selalu diikuti,ditiru, “dibajak”, bahkan mungkin dipalsu oleh para produsen lain yang melakukan persaingan curang (Maulana dalam Erna wahyuni,et al, tt:3). Di Indonesia, hak atas merek diatur dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Perlindungan hak atas kekayaan intelektual, termasuk di dalamnya hak atas merek dan penegakan hukumnya merupakan hal yang sangat penting karena akan berdampak pada iklim perdagangan dalam negeri maupun iklim investasi luar negeri dan perdagangan internasional. Lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya kepastian hukum dapat mempengaruhi investor yang hendak berinvestasi di Indonesia. Dalam mengembangkan usahanya, setiap pengusaha berhak mempropagandakan barang-barang produksinya untuk memperluas pasar. Usaha tersebut hendaknya dilakukan dengan jujur dan tidak melanggar hak orang lain. Namun dalam dunia perdagangan selalu saja terjadi persaingan tidak jujur (unfair competition) antara lain dengan melakukan tindakan meniru atau memalsukan merek yang sudah terkenal tanpa memikirkan hak-hak orang lain yang telah dilindungi oleh hukum. Perbuatan-perbuatan pelanggaran merek tersebut didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan besar dalam waktu relatif singkat karena barang dengan merek terkenal lebih disukai konsumen. Pelanggaran di bidang merek umumnya adalah pemakaian merek terkenal tanpa ijin, atau peniruan terhadap merek terkenal dengan tujuan memudahkan pemasaran. Hal ini dilakukan umumnya untuk kepentingan sesaat,namun sangat merugikan konsumen.
PEMBAHASAN 1. Pengertian dan Fungsi Merek Pengertian merek dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang Undang No 15 tahun 2001 tentang merek, yaitu merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata,hurufhuruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsure-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek merupakan tanda pengenal dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa yang 53
WACANA HUKUM
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
sejenis dan sekaligus merupakan jaminan mutunya bila dibandingkan dengan produk barang atau jasa yang diproduksi pihak lain. Pasal 3 UU No 15 Tahun 2001 Tentang Merek menyatakan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Menurut Muhamad Djumhana dan R.Djubaedillah seperti disitir oleh Adami Chazawi, merek digunakan untuk membedakan barang atau produksi suatu perusahaan dengan barang atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis. Dengan demikian merek adalah tanda pengenal asal barang dan jasa, sekaligus mempunyai fungsi menghubungkan barang
dan
jasa
yang
bersangkutan
dengan
produsennya.
Oleh
karena
itu
menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan. (H.Adami Chazawi,2007 :147) Dalam Pasal 2 Undang Undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek diatur bahwa merek dibedakan menjadi 2 macam, yakni merek dagang dan merek jasa. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya (Pasal 1 angka 2 UU No 15 tahun 2001). Sedangkan merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasajasa sejenis lainnya (Pasal 1 angka 3 UU No. 15 Tahun 2001). Selain itu dalam UU Merek tersebut diatur pula mengenai merek kolektif, yaitu merek dagang atau merek jasa yang digunakan secara bersama-sama (kolektif) oleh beberapa orang atau badan hukum dalam perdagangan. Sebuah merek dapat disebut sebagai merek apabila memenuhi syarat mutlak berupa adanya daya pembeda yang cukup (capable of distinguishing) yakni tanda yang dipakai mempunyai kekuatan untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi suatu perusahaan dari perusahaan lainnya. Untuk mempunyai daya pembeda ini, merek harus dapat memberikan penentuan (individualisering) pada barang atau jasa yang bersangkutan. (Rachmadi Usman,2003:326). 54
WACANA HUKUM
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
Menurut Pasal 5 UU Merek 2001, suatu merek tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu dari unsur-unsur sebagai berikut: 1. bertentangan dengan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku,moralitas
agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, 2. tidak memiliki daya pembeda, 3. telah menjadi milik umum, atau 4. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Dalam Pasal 6 UU Merek 2001 diatur bahwa permohonan pendaftaran merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal HKI apabila merek tersebut : 1. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis. 2. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis. 3. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal. Permohonan pendaftaran merek juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal HKI apabila merek tersebut : 1. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang digunakan sebagai merek dan terdaftar dalam Daftar Umum Merek yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak. 2. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional (termasuk organisasi masyarakat ataupun oarganisasi sosial politik) maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
Masalah merek sangat erat kaitannya dengan persaingan tidak jujur (unfair competition). Secara umum kompetisi atau persaingan dalam perdagangan adalah baik, sebab dapat meningkatkan kualitas maupun kuantitas suatu produk ,memperlancar produksi, yang pada akhirnya akan menguntungkan baik pihak produsen maupun konsumen. Apabila persaingan kemudian sampai pada suatu keadaan dimana pengusaha 55
WACANA HUKUM
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
yang merasa produk miliknya tersaingi dan berusaha menjatuhkan pesaingnya dengan cara-cara yang tidak mengindahkan kerugian yang diderita oleh pihak lain, maka hal ini merupakan awal terjadinya pelanggaran hukum. Persaingan yang dilakukan dengan cara yang tidak mengindahkan aturan hukum, norma sopan santun, norma sosial lain dalam lalu lintas perdagangan akan menjurus pada persaingan curang. Praktek perdagangan tidak jujur meliputi cara-cara seperti : 1. praktek peniruan merek dagang, dilakukan dengan cara meniru merek terkenal (well known trade mark) yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksinya secara pokoknya sama dengan merek atas barang atau jasa yang sudah terkenal (untuk barang atau jasa sejenis) dengan maksud menimbulkan kesan kepada khalayak ramai seakan-akan barang yang diproduksinya sama dengan produk yang sudah terkenal tersebut. 2. praktek pemalsuan merek dagang, dilakukan oleh pengusaha yang tidak beritikad baik dengan cara memproduksi barang-barang dengan mempergunakan merek yang sudah terkenal yang bukan haknya. 3. perbuatan-perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal usul merek. Perbuatan ini masuk dalam persaingan tidak jujur apabila pengusaha mencantumkan keterangan tentang sifat dan asal usul barang yang tidak sebenarnya untuk mengelabui konsumen seakan-akan barang tersebut memiliki kualitas yang baik karena berasal dari daerah penghasil barang bermutu.
2. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Beberapa Kasus Pemalsuan Merek a. Kasus Merek “ Hengst “ Kasus ini berawal dari adanya kesepakatan antara Suwanto Halim, warga Negara Indonesia selaku pemilik merek “ Hengst “ yang terdaftar sejak tahun 1995 untuk produk saringan udara dan saringan oli mesin kendaraan berbahan bakar solar dengan PT Pratama Pionir Sentosa yang berkedudukan hukum di Indonesia. Suwanto memberikan kuasanya kepada PT Pratama Pionir Sentosa untuk memproduksi produk tersebut. Oleh PT Pratama Pionir Sentosa, Suwanto ditunjuk sebagai distributor, akan tetapi PT Pratama Pionir Sentosa pada akhirnya mencabut penunjukan distributor kepada Suwanto dan menyerahkannya kepada orang lain. 56
WACANA HUKUM
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
Suwanto kemudian juga mencabut kuasa pemakaian merek “ Hengst “ kepada PT Pratama Pionir Sentosa, namun PT Pratama Pionir Sentosa masih tetap menggunakan merek tersebut untuk produk-produknya. Suwanto kemudian melaporkan tindak pidana merek yang dilakukan oleh PT Pratama Pionir Sentosa ke Polwiltabes Surabaya. Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum meminta kepada hakim Pengadilan Negeri Surabaya untuk menyatakan bahwa PT Pratama Pionir Sentosa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana merek, yaitu menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 10/Pid.B/2000 tanggal 1 Agustus 2000 menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada PT Pratama Pionir Sentosa yang diwakili oleh direkturnya Herry Wanta Wijaya terbukti, namun perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Hakim dalam putusannya melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum serta mengembalikan semua barang dan mesin-mesin miliknya. Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum menyatakan mengajukan kasasi. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 27 Februari 2001 No. 1677 K/ Pid/2000, memutuskan menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum tersebut. (sumber: www.legalitas.org). Dalam kasus ini, pemilik merek “Hengst” yakni Suwanto Halim telah mendaftarkan hak atas mereknya pada tahun 1995 untuk produk saringan udara dan saringan oli mesin kendaraan berbahan bakar solar. Sebagai pemegang hak atas merek terdaftar semestinya mendapatkan perlindungan hukum. Sangatlah tepat tuntutan jaksa yang menuntut PT Pratama Pionir Sentosa telah melakukan tindak pidana merek.
Putusan hakim PN
Surabaya No. 10/Pid.B/2000 tanggal 1 Agustus 2000 menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada PT Pratama Pionir Sentosa yang diwakili oleh direkturnya Herry Wanta Wijaya terbukti, namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum kepada terdakwa. Menurut pendapat penulis dalam kasus tersebut, terdakwa dapat dijerat dengan Pasal 81 UU No 19 Tahun 1992 Tentang Merek. Unsur-unsur tindak pidana tersebut adalah : -
dengan sengaja
-
tanpa hak
57
WACANA HUKUM
-
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan. Unsur “dengan sengaja“ dapat dilihat dari kehendak PT Pratama Pionir Sentosa untuk
tetap mamproduksi dan memperdagangkan produk merek “Hengst” meskipun telah terjadi pencabutan kuasa pemakaian merek tersebut dari pemilik hak atas merek. Karena telah terjadi pencabutan kuasa pemakaian merek oleh pemilik merek terdaftar maka PT Pratama Pionir Sentosa telah “tanpa hak” tetap menggunakan merek “Hengst” untuk produknya. Unsur “menggunakan” dapat dibuktikan bahwa meskipun PT Pratama Pionir Sentosa sudah tidak memegang kuasa pemakaian merek, tetapi tetap memproduksi dan memperdagangkan produk dengan merek yang sama. Unsur keempat yakni unsur kesamaan merek dapat dibuktikan dengan sertifikat pendaftaran hak atas merek. Menurut hemat penulis unsur-unsur tindak pidana merek yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum terpenuhi, sehingga sangatlah tepat langkah yang diambil oleh jaksa penuntut umum untuk mengajukan kasasi. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 27 Februari 2001 No 1677K/Pid/2000 menyatakan menolak permohonan kasasi. Dalam kasus ini penilaian tentang kepemilikan hak atas merek semata-mata diserahkan pada hakim perkara pidana karena sebelumnya belum pernah ada putusan perdata tentang pemegang hak atas merek yang sah. Hal ini merupakan suatu kerugian bagi pemilik merek.
b. Putusan PN Surabaya No. 174/Pid.B/1994/PN Surabaya Gandhi Gunawan alias A Long didakwa telah melakukan tindak pidana pemalsuan merek sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 82 UU No 19 Tahun 1992.
Terdakwa
dihadapkan
ke
persidangan
untuk
mempertanggungjawabkan
perbuatannya dengan dakwaan dengan sengaja dan tanpa hak telah menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang sejenis yang diproduksi atau yang diperdagangkan yakni merek KING’S pada barang asparagus spears yang sudah terdaftar pada Direktorat Merek Departemen Kehakiman RI sebagai milik NG Tjik Goen alias Wiesye S.G. dengan nomor 010068 yang oleh terdakwa merek tersebut digunakan untuk asparagus spears yang 58
WACANA HUKUM
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
diproduksinya atau yang diperdagangkannya dengan cara membeli 102 (seratus dua) karton, @ 24 (dua puluh empat) kalengan asparagus tanpa etiket/polosan produksi PT ASPARAGUS NUSANTARA BATU MALANG, dari saksi The Ing Tjiok alias Budi Raharjo Teguh, kemudian ditempeli etiket asparagus spears merek KING’S pada kalengan polosan tersebut dengan lem tepung kanji. Etiket tersebut diproduksi sendiri oleh terdakwa yang pada pokoknya sama dengan merek KING’S Asparagus Spears produksi Ng. Tjik Goen alias Wisye S. G yakni sama-sama menggunakan etiket KING’S warna dasar putih dan ada warna biru dengan gambar Asparagus dalam piring warna merah pada sebelah kiri dan kanan dan huruf pada bagian tengah antara tulisan KING’S dan kemudian dijual melalui toko-toko. Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 82 Undang Undang No 19 Tahun 1992 Tentang Merek. Sedangkan dakwaan subsider telah melakukan perbuatan menipu untuk mengelirukan orang banyak atau orang-orang tertentu dengan maksud akan mendirikan atau membesarkan hasil dagangan atau perusahaannya sendiri atau orang lain yang dilakukan terdakwa dengan cara menempelkan etiket merek KING’S pada barang asaparagus dalam kalengan polosan/tanpa etiket, dengan warna dasar putih dan tulisan KING’S putih pada warna dasar biru dan gambar asparagus warna kuning dalam piring warna merah kemudian menambahkan pada label kata-kata KING’S CHEONG LTD. Product of Taiwan The Republic of China dan huruf mandarin untuk menimbulkan kesan sebagai produk luar negeri, padahal produk asparagus dalam kaleng polosan adalah produk dalam negeri , sehingga menimbulkan kerugian bagi saingannya sendiri atau orang lain yakni PT. SUMBER SARI BATU MALANG yang sudah memiliki produk asparagus merek KING’S yang sudah terdaftar pada Direktorat Merek Dep. Kehakiman RI. Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 382 bis KUHP. Terhadap terdakwa, hakim dalam putusannya menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Dalam perkara tersebut, terdakwa terbukti ,melanggar Pasal 82 UU No 19
Tahun
1992 tentang Merek yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan
merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik orang
lain atau badan hukum lain,untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah). Dalam salah satu pertimbangan 59
WACANA HUKUM
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
hukumnya hakim mempertimbangkan bahwa meskipun terdakwa menyatakan bahwa ia telah terlebih dahulu menggunakan merek tersebut tetapi karena terdakwa tidak mendaftarkan hak atas mereknya, maka hukum tidak melindunginya. Hal ini sejalan dengan sistem pendaftaran merek yang dianut undang-undang merek yakni sistem konstitutif, tidak lagi menganut sistem deklaratif. Pendaftaran merek dengan sistem deklaratif dianut pada masa lalu , yakni dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 21 Tahun 1961 yang mengatur bahwa hak khusus untuk memakai suatu merek guna memperbedakan barang-barang hasil perusahaan atau barang-barang perniagaan seseorang atau badan lain diberikan kepada barangsiapa yang untuk pertama kali memakai merek tersebut di Indonesia. Hak khusus untuk memakai merek itu berlaku hanya untuk barang-barang yang sejenis dengan barang-barang yang dibubuhi merek itu dan berlaku hingga tiga tahun setelah pemakaian terakhir merek itu . Menurut ketentuan tersebut, pemegang hak atas merek adalah pemakai pertama merek. Pemakai pertama dianggap sebagai orang yang mendaftarkan merek pertama kali, kecuali jika dibuktikan bahwa ada orang lain yang menjadi pemakai pertama merek tersebut. Pertimbangan hakim didasarkan pada sistem pendaftaran merek yang diatur dalam UU No 19 Tahun 1992 tentang Merek yang menganut sistem konstitutif. Pasal 3 menyatakan bahwa hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi ijin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.
Sistem
konstitutif diatur pula dalam UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Dengan sistem ini lebih terjamin kepastian hukumnya dan lebih memenuhi rasa keadilan. Dalam kasus tersebut meskipun terdakwa menyatakan lebih dahulu menggunakan merek tetapi karena tidak mendaftarkannya maka tidak dilindungi oleh hukum
c. Kasus Tossa Sakti (Suara Merdeka, 3 Mei 2007) PT Tossa Sakti yang menjual sepeda motor merek Tossa diadukan ke Polres Purwakarta oleh PT Astra Honda Motor (AHM) atas dugaan tindak pidana pelanggaran hak cipta dan hak atas merek yang dilakukan oleh PT Tossa Sakti yang menjual sepeda motor merek Tossa. Pengaduan PT Astra Honda Motor (AHM) berdasar atas dugaan 60
WACANA HUKUM
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
penggunaan hak cipta “SUPRA“ dan hak atas merek “ KARISMA “ milik PT AHM yang dilakukan oleh dua dealer PT Tossa Sakti di Purwakarta. Kasus serupa juga terjadi di Kendal Jawa Tengah. Setelah tertunda beberapa kali, majelis hakim PN Kendal yang diketuai oleh Sindhu Sutrisno akhirnya menjatuhkan vonis terhadap Cheng Sen Djiang,alias Gunawan Chandra, Direktur PT Tossa Sakti Kaliwungu, produsen perakit sepeda motor merek Tossa dengan pidana denda Rp. 150.000.000,00 (seratus limapuluh juta rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan. Dalam pemeriksaan terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar Pasal 94 Undang Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu melakukan tindak pidana merek dengan memperdagangkan barang sepeda motor bebek Tossa jenis KRISMA dan SUPRA X yang patut diketahuinya menggunakan merek milik pihak lain. Kedua jenis kendaraan roda dua itu sekilas sulit dibedakan dengan jenis KARISMA dan SUPRA X produk PT Astra Honda Motor (AHM). KRISMA itupun sebelumnya bernama KARISMA, namun kemudian diubah menjadi KRISMA setelah PT Tossa Sakti disomasi oleh PT AHM. Kasus serupa terjadi juga di Denpasar Bali, terdakwa Iriany Christina Sri Gusnawati Hutasoit, SE, karyawan PT Tossa Sakti didakwa telah melanggar Pasal 94 UU No 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan divonis dengan pidana denda sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) oleh Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. PN Denpasar menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah memperdagangkan barang yang diketahui menggunakan merek milik orang lain. Menurut hemat penulis, penjatuhan pidana dalam kasus tersebut terlalu ringan sehungga tidak akan memberikan efek jera bagi pelakunya. Bahkan penjatuhan pidana dalam dua kasus PT Tossa Sakti tersebut yakni putusan PN Kendal dengan putusan PN Denpasar terasa kurang memenuhi rasa keadilan. Cheng Sen Djiang alias Gunawan Chandra, direktur PT Tossa Sakti Kaliwungu, Kendal yang merupakan produsen perakit sepeda
motor
merek
Tossa.
Sedangkan
Iriany
hanya
sebagai
dealer
yang
memperjualbelikan sepeda motor Tossa. Dalam perkara ini posisi Cheng Sen Djiang disamakan dengan Iriany dan penjatuhan pidananyapun tidak maksimal, melainkan hampir sama dengan Iriany. 61
WACANA HUKUM
Hakim
dalam
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
menjatuhkan
putusan
semestinya
mempertimbangkan
tujuan
dibentuknya UU Merek. Tujuan diundangkannya UU Merek adalah untuk melindungi pemegang hak atas merek terdaftar. Dengan pendaftaran hak atas merek, pemegang hak atas merek berhak memperoleh perlindungan hukum. Selain itu dalam konsiderans UU No 15 Tahun 2001 Tentang Merek butir a menyatakan bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat . Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada suatu produk. Dengan merek, suatu benda dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya, dan keterjaminan bahwa produk tersebut original. Dalam sebuah merek melekat reputasi dari produk baik asal muasalnya, kualitasnya maupun originalitasnya. Dengan merek diharapkan para pengusaha yang memproduksi barang atau jasa yang sejenis dapat bersaing secara sehat dengan cara meningkatkan kualitas produknya. Tindakan meniru atau memalsukan merek-merek yang terkenal tanpa menghiraukan hak-hak orang lain yang menjadi pemegang hak atas merek terdaftar dengan motivasi mendapatkan keuntungan yang besar tentu akan mengacaukan perekonomian dan merugikan pihak lain karena akan mengurangi omzet penjualan sehingga akan mengurangi keuntungan yang seharusnya diperoleh. Bahkan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap merek tersebut, karena konsumen mengganggap bahwa merek yang dulu dipercaya memiliki kualitas yang baik ternyata turun kualitasnya.
PENUTUP Dalam kasus-kasus pemalsuan merek, masih terdapat kendala dalam penegakan hukumnya, antara lain masih adanya kelemahan dalam UU Merek, perlunya peningkatan pemahaman tentang HKI di kalangan penegak hukum dan perlunya kesadaran hukum masyarakat, khususnya bagi pemegang hak atas merek untuk mendaftarkan haknya.
--------------------
62
WACANA HUKUM
VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009
DAFTAR PUSTAKA
Erma Wahyuni et al, Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek, tt, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), Yogyakarta. H. Adami Chazawi, 2007, Tindak Pidana Hak atas Kekayaan Intelektual ( HAKI ), Bayumedia Publishing, Malang. Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT Alumni, Bandung. UU No 19 Tahun 1992 Tentang Merek UU No 15 Tahun 2001 Tentang Merek. www.legalitas.org
63