WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
PENGUPAHAN YANG MELINDUNGI PEKERJA/BURUH SUNARNO,SH. MHum Dosen Fakultas Hukum UNISRI Abstraksi Penyebab utama terjadinya perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha didominasi oleh masalah pengupahan, meskipun landasan hubungan perburuhan kita adalah Hubungan Industrial Pancasila. Oleh karena itu, untuk mengurangi masalah tersebut pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan. Semua peraturan tersebut sebagai pelaksana dari UU Nomor 13 Tahun 2003 yang sifatnya imperative, oleh karenanya setiap pelanggaran dapat dijatuhi sanksi berupa denda, pidana kurungan , atau pidana penjara. Sanksi ini dimaksudkan agar pengusaha betul-betul memperhatikan masalah upah. Ada beberapa kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh, antara lain upah minimum dan upah kerja lembur Dasar perhitungan upah minimum dan upah lembur adalah upah pokok dan tunjangan tetap. Penangguhan upah minimum kepada gubernur, sedangkan masalah perbedaan besarnya upah lembur diajukan ke lembaga pengawas ketenagakerjaan. Kata kunci: pengupahan dan melindungi PENDAHULUAN Selama ini penyebab utama terjadinya perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha didominasi oleh masalah pengupahan, sedangkan permasalahan yang disebabkan oleh yang lain hanya sebagian kecil. Perselisihan pengupahan tersebut terjadi karena upaya pengusaha untuk meningkatkan upah pekerja/buruh masih kurang. Hal ini terbukti dari masih banyaknya pengusaha yang membayar upah di bawah ketentuan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Padahal landasan hubungan perburuhan di Indonesia yaitu Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang lebih menonjolkan prinsip partnership antara pekerja/buruh dan pengusaha. Karena besarnya perhatian pemerintah terhadap pengupahan , maka dalam Pasal 185 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Keadaan tersebut di atas jika tidak mendapat perhatian yang serius dapat merusak kondisi kerja dalam perusahaan yang dapat berdampak negative pada kegiatan ekonomi. Bahkan jika
66
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
masalah tersebut beruntum dapat berdampak global yaitu dapat berpengaruh terhadap perhatian investor asing yang akan menanamkan modal di Indonesia. Sementara itu, ada anggapan bahwa upah bagi pekerja/buruh seringkali merupakan satusatunya bekal hidup baginya dan keluarganya. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengatur pengupahan untuk melindungi pekerja/buruh sebagai jaminan bahwa upah itu benar-benar akan dibayarkan oleh pengusaha sesuai dengan peraturan yang ada dan diterima oleh pekerja/buruh sendiri. Di bidang pengupahan, Pasal 88 Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 menjamin agar setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ada beberapa kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh menurut pasal tersebut, namun dalam tulisan ini hanya sebagian yang akan dibahas, yaitu: upah minimum, dan upah kerja lembur. Masalahnya adalah: Apakah sistem pengupahan khususnya upah minimum dan upah kerja lembur sudah dapat menyejahterakan pekerja/buruh?
A. Upah Minimum Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjungan tetap. Sejak disahkannya pengaturan tentang upah minimum, yang terakhir diatur dalam Permenaker Nomor PER-01/MEN/99, penetapan upah minimum mengalami perubahan yang signifikan dari pengaturan sebelumnya, yang semula penetapannya berdasarkan satuan hari, telah diperbarui menjadi satuan bulanan. Dengan demikian tidak timbul lagi masalah upah bagi pekerja yang bulanan untuk pembayaran upah pada hari-hari istirahat dan pada hari libur resmi (Mohd. Syaufii Syamsuddin, 2004:117)
1. Cara Menetapkan Upah Minimum Konsepsi penetapan upah minimum dimaksudkan sebagai jaring pengaman agar upah pekerja/buruh tidak terus turun semakin rendah sebagai akibat tidak seimbangnya pasar kerja. Penetapan upah minimum bukanlah dijadikan sebagai upah standar di perusahaan, akan tetapi upah terendah yang wajib dibayar pengusaha di perusahaannya. Upah minimum ditujukan terhadap pekerja yang baru diterima dengan pendidikan dan jabatan terendah, yang belum mempunyai pengalaman kerja, merupakan pekerja pemula, dan baru pertama sekali memasuki pasar kerja. Pemberlakuan upah minimum ditujukan kepada semua pekerja/buruh baru, termasuk
67
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
yang bekerja dengan masa percobaan, dan hanya boleh diberikan kepada pekerja yang bekerja kurang dari satu tahun. Sedangkan pekerja yang diatas satu tahun, upahnya dirundingkan bersama antara pengusaha dan pekerja/serikat pekerja. Tujuan pemerintah, dalam hal ini adalah gubernur, dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan Pengupahan Provinsi dan/atau bupati/walikota menetapkan upah minimum untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan kebijakan upah minimum, diharapkan akan diperoleh suatu jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh yang layak dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar, yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Upah minimum dapat terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau pun kabupaten/kota dan upah miminmum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia untuk kabupaten/kota, provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum regional daerah yang bersangkutan.(Pasal 88 s.d. 89 UU No. 13 Tahun 2003). Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan, yang tatacara penangguhannya diatur dalam Keputusan Menakertrans No. 23l/Men/2003 tentang Tatacara Penagguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Penangguhan ini
dimaksudkan untuk
membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila
penangguhan tersebut berakhir,
maka perusahaan yang
bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan. Jika ada penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh pengusaha, diberikan dalam jangka waktu paling lama satu bulan terhitung sejak diterimanya permohonan penanguhan secara lengkap oleh gubernur. Jika jangka waktu berakhir dan belum ada keputusan dari gubernur, permohonan penangguhan yang telah memenuhi persyaratan dianggap telah disetujui. Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian, pengusaha yang bersangkutan tetap membayar upah sebesar upah yang biasa diterima pekerja. Sebaliknya, apabila permohonan penangguhan ditolak gubernur, upah yang
68
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh sekurang-kurangnya sama dengan upah minimum yang berlaku terhitung mulai tanggal berlakunya ketentuan upah minimum yang baru. Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan upah tertinggi di perusahaan yang bersngkutan. Secara berkala, dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, pengusaha harus melakukan peninjauan upah. Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan dan kemampuan perusahaan. Pengaturan pengupahan, meskipun ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika pengaturan pengupahan tersebut lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih tegas lagi dinyatakan dalam pasal 185 UU No. 32 Tahun 2003 bahwa pengusaha yang membayar upah lebih rendah daripada upah minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 dan paling banyak Rp 400.000.000,00.
2. Upah Yang Harus Dibayar Menurut Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya. Ketentuan ini tidak berlaku, artinya pengusaha wajib membayar upah apabila: a. Pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melaksanakan pekerjaan. Sakit harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Pengertian sakit tentunya tidak termasuk sakit karena kecelakaan kerja, sebab masalah kecelakaan kerja sudah diatur tersendiri yaitu dalam UU No. 3 Tahun 1993 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
69
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
Pada umumnya pekerja/buruh yang sakit berkepanjangan, Pasal 93 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur sebagai berikut: (a) untuk empat bulan pertama dibayar 100% dari upah, (b) untuk empat bulan kedua dibayar 75% dari upah, (c) untuk empat bulan ketiga dibayar 50% dari upah, dan (d) untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
b.Pekerja /buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya Khusus terhadap pekerja/buruh wanita, untuk melindungi kodratnya, apabila sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan, tidak wajib bekerja, dengan syarat pekerja/buruh wanita tersebut harus memberitahukan hal tersebut kepada pengusaha. Selanjutnya menurut Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa mengenai pekerja/buruh wanita yang melahirkan berhak memperoleh istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan. Demikian juga untuk pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Apakah pekerja/buruh perempuan yang diatur dalam Pasal 82 tersebut mendapatkan upah, tidak diatur dalam undang-undang ini. Pasal 93 UU No. 13 Tahun 2003 hanya mengatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang sakit pada masa haid yang meskipun tidak masuk bekerja namun tetap berhak atas upah. Kami berpendapat, bahwa setiap pekerja/buruh wanita yang sakit belum tentu pasti mendapatkan upah, harus dilihat sesuatu hal yang menyebabkan pekerja/buruh wanita tersebut sakit. Pekerja/buruh
kehilangan haknya atas upah itu hanya bila sakitnya terjadi karena
kesengajaannya atau karena kelakuan yang tidak senonoh Seorang pekerja/buruh wanita menggugurkan kandungan dapat dipandang sebagai sakit yang disengaja. Seorang pekerja/buruh wanita yang belum kawin dan melahirkan anak, pada umumnya dipandang sebagai sakit karena kelakuan tidak senonoh. Pekerja/buruh juga dapat kehilangan haknya atas upah jika sakitnya adalah dari cacad badan yang pada waktu pembuatan perjanjian kerja, pekerja/buruh dengan sengaja memberikan keterangan palsu kepada pengusaha.
70
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
c. Pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh: 1) menikah, dibayar untuk selama tiga hari; 2) menikahkan anaknya, dibayar untuk selama dua hari; 3) mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama dua hari; 4) membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama dua hari; 5) isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama dua hari; 6) suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua, dibayar untuk selama dua hari; 7) anggota keluarga dalam satu rumah tangga meninggal dunia, dibayar untuk selama satu hari; d. Pekerja/burh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang
menjalankan
kewajiban terhadap Negara; UU No. 13 Tahun 2003 tidak mengatur secara terperinci mengenai upah pekerja/buruh yang sedang menjalankan kewajiban terhadap Negara. Oleh karena itu, kita dapat merujuk pada PP No. 8 Tahun 1981 tentang Upah. Dalam peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwa pengusaha wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban Negara, misalnya: wajib militer, pemilihan umum, serta tugas dan kewajiban lainnya yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, selama tidak lebih dari satu tahun. Pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang sedang melakukan kewajiban terhadap Negara dilakukan apabila: (a) negara tidak melakukan pembayaran, atau
(b) negara membayar kurang dari upah
yang biasa diterima oleh
Pekerja/buruh, dalam hal ini maka pengusaha wajib membayar kekurangannya. e. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; Pengertian menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan. Menurut PP No. 8 Tahun 1981, buruh yang menjalankan ibadah menurut agamanya lebih dari tiga bulan dan dalam menjalankan ibadah tersebut lebih satu kali, pengusaha tidak diwajibkan membayar upah.
71
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
f. Pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; Pekerja/buruh tidak kehilangan haknya atas upah yang telah ditentukan menurut jangka waktu, jika ia telah bersedia melakukan pekerjaan yang dijanjikan, tetapi majikan tidak menggunakannya, baik karena salahnya sendiri maupun bahkan karena halangan yang kebetulan mengenai dirinya sendiri. Jika upah berupa uang ditetapkan secara lain dari menurut jangka waktu, buruh tetap pula berhak atas upahnya, dengan pengertian bahwa sebagai upah harus diambil upah rata-rata yang seharusnya dapat diperoleh buruh seandainya ada cukup pekerjaan (Iman Soepomo, 1968:90). Pengertian halangan yang secara kebetulan dialami oleh pengusaha, tidak termasuk kehancuran atau musnahnya perusahaan beserta peralatan yang dikarenakan oleh bencana alam, kebakaran atau peperangan sehingga tidak memungkinkan lagi perusahaan tersebut berfungsi atau menjalankan kegiatannya .force mayeure (Penjelasan Pasal 8 PP No. 8 Tahun 1981). Halangan ini harus terletak dalam lingkungan risiko perusahaan. Sakitnya seorang pengusaha atau meninggalnya pengusaha adalah halangan dari pihak pengusaha, demikian juga misalnya hujan lebat. Akan tetapi, tidak datangnya bahan-bahan pokok karena terhalang banjir, bukanlah halangan termaktub di atas. Demikian juga peratran-peraturan impor yang menghambat. g. Pekerja/buruh melakukan hak istirahat; Berdasar pada Pasal 79 UU No. 13 Tahun 2009, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Waktu istirahat dan cuti yang dimaksud meliputi: 1) istirahat jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama empat jam terus-menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; 2) istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu; Sejak disahkan Permenaker No. PER-0l/MEN/99 bagi pekerja/buruh bulanan tidak ada masalah upah pada hari-hari istirahat dan pada hari libur resmi, karena yang semula penetapannya berdasarkan satuan hari, telah diperbaharui menjadi satuan bulanan. 3) cuti tahunan sekurang-kurangnya dua belas hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama dua belas bulan secara terus-menerus; dan
72
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
4) istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing satu bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama enam tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya selama dua tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja enam tahun. Selama menikmati istirahat panjang, menurut Kepmenakertrans No. 51/MEN/IV/2004, besarnya gaji yang dapat diterima oleh pekerja/buruh untuk tahun ketujuh dan tahun kedelapan berbeda. Pada istirahat panjang tahun ketujuh pekerja/buruh berhak atas upah penuh, sedangkan pada istirahat panjang tahun kedelapan pekerja/buruh hanya menerima kompensasi hak istirahat tahunan sebesar setengah bulan upah.Perlu diingat bahwa hak istirahat panjang baru berlaku bagi pekerja/buruh jika sebelumnya telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 5) Hari-hari libur resmi; Pasal 85 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dijalankan secara terus-menerus atau pada keadan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi wajib membayar upah kerja lembur. Sekarang ini, hari-hari yang dinyatakan sebagai Hari Libur Nasional adalah: Tahun Baru 1 Januari, Proklamasi Kemerdekaan RI, Isra Miraj Nabi Muhamad SAW, Maulid Nabi Muhamad SAW, Tahun Baru Hijriyah, Idhul Adha, Idul Fitri, Hari Raya Natal, Kenaikan Yesus Kristur, Wafat Yesus Kristus, Hari Raya Nyepi, Hari Raya Waisak, Tahun Baru Imlek.
h. Pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serkat Pekerja/Serikat Buruh mengatur banyak hal diantaranya tentang Hak dan Kewajiban serta Perlindungan Hak Berorganisasi. Dalam undangundang tersebut dinyatakan bahwa serikatpekerja/buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya serta
73
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya. Oleh karena itu, pengusaha harus memberi kesempatan kepada pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dalam jam-kerja. Melalui kesepakatan, diatur mengenai jenis kegiatan yang diberikan kesempatan, tata cara pemberian kesempatan, dan pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat upah. i. Pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. Peraturan yang mengatur lebih lanjut tentang ketentuan ini, baik UU No. 13 Tahun 2003 maupun peraturan yang lain belum ada, kecuali hanya menyatakan bahwa pelaksanaan
pengaturan
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. Mengenai jumlah upah minimum diatur oleh Pasal 94. Dalam Pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tujangan tetap, maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Masalahnya adalah apakah yang harus dilakukan bila upah pokok kurang dari 75%. Penjelasan Pasal 94 tidak menjelaskan tentang hal ini. Misalkan seorang karyawan menerima upah dengan komponen upah sebagai berikut: Upah pokok
Rp 10.000,00
Tunjungan tetap
Rp 10.000,00 ---------------------
Total Upah
Rp 20.000,00
Dari paparan di atas, karyawan tersebut hanya menerima upah pokok sebesar Rp 10.000,00 dari total upah Rp 20.000,00, yang berarti upah pokoknya hanya 50%. Jumlah ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 94 di atas, yang menyatakan bahwa upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Apakah yang harus dilakukan oleh pekerja/buruh jika menerima upah dengan susunan komponen seperti tersebut di atas?. Ada dua alternative yang dapat dilakukan oleh masing-masing pihak. Bagi pengusaha dengan cara, upah pokoknya dinaikkan menjadi Rp15.000,00 dan tunjangan tetapnya diturunkan menjadi Rp 5.000,00 sehingga upah pokok menjadi 75% dari total upah. Bagi pekerja/buruh, tentunya menuntut supaya upah pokoknya dinaikkan menjadi Rp 30.000,00 sedangkan tunjangan tetapnya tidak perlu diubah yaitu tetap Rp 10.000,00. Dengan komposisi seperti itu, maka pekerja/buruh menerima upah total Rp 40.000,00 yang berarti jumlah ini dapat memenuhi ketentuan pasal 94
74
WACANA HUKUM
yaitu 75% dari Rp 40.000,00 yaitu
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
Rp 30.000,00. Alternative yang ditawarkan oleh
pekerja/buruh ini tentunya kemungkinan besar akan ditolak oleh pengusaha.
B. Upah Kerja Lembur Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja yang dimaksud adalah: (a) tujuh jam sehari dan empat puluh jam satu minggu untuk enam hari kerja dalam satu minggu, (b) delapan jam sehari dan empat puluh jam satu minggu untuk lima hari kerja dalam satu minggu. Ketentuan waktu kerja ini tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu, misalnya: pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal laut, atau penebangan hutan (Pasal 77 UU No. 13 Tahun 2003). Jadi, pada dasarnya pengusaha sedapat mungkin harus mempekerjakan pekerja/buruh tidak boleh lebih dari ketentuan waktu kerja, karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi, yaitu pada: pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan, pelayaran jasa transpotasi, jasa perbaikan alat transpotasi, usaha pariwisata, jasa pos dan telekomunikasi, penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih (PAM), penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi,usaha swalayan, pusat perbelanjaan dan sejenisnya, media massa, pengamanan, lembaga korservasi, dan pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses produksi. Bahkan , dalam keadaan tertentu pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi, selain pekerjaan yang disebut di atas, berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha (Kepmenakertrans No. : KEP. 233/MEN/2003). Seringkali timbul persoalan apakah seorang pekerja/burh wajib melakukan kerja-lembur yang diminta oleh pengusaha. Ada dua pandangan untuk menjawab masalah ini, yaitu: (a) bahwa kerja-lembur hanya dapat dimintakan bila hal itu telah diatur dalam perjanjian-kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau telah adanya kebiasaan, (b)
mengakui adanya
kewajiban pekerja/buruh melakukan kerja-lembur dalam hal-hal yang luar biasa (Iman Soepomo, 1968:96). Kami condong pada pendapat bahwa tiap perjanjian-kerja dengan sendirinya mengandung kewajiban untuk melakukan kerja-lembur. Jika suatu perjanjian-kerja memang benar mengandung kepimpinan dari pengusaha, maka pengusaha berhak untuk mengatur lamanya
75
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
pekerja/buruh melakukan pekerjaan, sesuai dengan keperluan usahanya. Jadi, pekerja/buruh tidak boleh menolak kerja-lembur tanpa alasan yang dapat diterima. Khusus perusahaan dibidang energi dan sumber daya mineral, termasuk perusahaan jasa penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu, Kepmenakertrans No. KEP. 234/MEN/2003 memberi kelonggaran kepada perusahaan agar memilih dan menetapkan salah satu dari atau beberapa waktu kerja sesuai dengan kebutuhan operasional perusahaan, sebagai berikut: 1) tujuh jam sehari dan empat pulu jam satu minggu untuk waktu kerja enam hari dalam satu minggu; 2) delapan jam satu hari dan empat puluh jam satu minggu untuk waktu kerja lima hari dalam satu minggu; 3) sembilan jam sehari dan maksimum empat puluh lima jam dalam lima hari kerja untuk periode kerja; 4) sepuluh jam sehari dan maksimum lima puluh jam dalam lima hari kerja untuk satu periode kerja; 5) sebelas jam sehari dan maksimum lima puluh lima jam dalam lima hari kerja untuk satu periode kerja; 6) sembilan jam sehari dan maksimum enam puluh tiga jam dalam tujuh hari kerja untuk satu periode tertentu; 7) sepuluh jam sehari dan maksimum tujuh puluh jam dalam tujuh hari kerja untuk satu periode kerja; 8) sebelas jam sehari dan maksimum tujuh puluh tujuh jam dalam tujuh hari kerja untuk satu periode kerja; 9) sembilan jam sehari dan maksimum sembilan puluh jam dalam sepuluh hari kerja untuk satu periode kerja; 10) sepuluh jam sehari dan maksimum seratus jam dalam sepuluh hari kerja untuk satu periode kerja; 11) sebelas jam sehari dan maksimum seratus sepuluh jam dalam sepuluh hari untuk satu periode kerja; 12) sembilan jam sehari dan maksimum seratus dua puluh enam jam dalam empat belas hari kerja untuk satu periode kerja;
76
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
13) sepuluh jam sehari dan maksimum seratus empat puluh jam dalam empat belas hari kerja untuk satu periode kerja; 14) sebelas jam sehari maksimum seratus lima puluh empat jam dalam empat belas haru kerja untuk satu periode jerja;
Waktu kerja yang diatur oleh kepmenakertrans di atas tidak termasuk waktu istirahat yang sekurang-kurangnya selama satu jam, akan tetapi sudah termasuk waktu kerja lembur tetap sebagai kelebihan tujuh jam sehari. Sedangkan pelaksanaan waktu istirahat diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sesuai kebutuhan perusahaan. Perusahaan yang menggunakan waktu kerja seperti di atas, wajib memberikan waktu istirahat dengan ketentuan: 1) setelah pekerja/buruh bekerja secara terus menerus selama enam hari dalam satu minggu atau tujuh jam sehari dan empat puluh jam satu minggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan satu hari istirahat; 2) setelah pekerja/buruh bekerja secara terus-menerus selama lima hari dalam satu minggu atau delapan jam sehari dan empat puluh jam seminggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan dua hari istirahat.
Menurut Konvensi ILO Nomor 105 Tahun 1951 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan UU Nomor 15 Tahun 1999 melarang segala bentuk kerja paksa. Apabila pekerja dipekerjakan lembur yang dilakukan dalam waktu yang berlebihan, atau upah lemburnya tidak dibayar dengan semestinya, atau pekerja tidak bersedia melaksanakan lembur itu dengan sukarela, dan/atau apabila perintah lembur itu ditolah oleh pekerja, akan ada resiko hukuman seperti misalnya pemberhentian, karena dianggap oleh pengusaha
telah menolak
perintah yang layak; hal itu dapat ditafsirkan pengusaha telah melakukan kerja paksa dalam melaksanakan kerja lembur. Dilakukannya pembatasan persyaratan yang tegas dalam pelaksanakan kerja lembur ini, tentunya undang-undang hendak mencegah terjadinya pelanggaran Konvensi ILO tentang kerja paksa di dalam hubungan industrial di Indonesia. Jika pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja yang telah ditentukan, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi yaitu: ada persetujuan dari pekerja/buruh yang
77
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
bersangkutan dan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam sehari dan empat belas jam dalam satu minggu, dan wajib membayar upah kerja lembur. Ketentuan waktu kerja lembur ini tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu (Pasal 78 UU No. 13 Tahun 2003). Di sektor ini, sebagaimana diatur khusus dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Kep. 234/Men/2003 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Per-15/MEN/VII/2005, maksimal waktu kerja adalah dua belas jam per hari, termasuk waktu istirahat sekurang-kurangnya satu jam. Saat ini peraturan yang mengatur waktu kerja lembur dan upah kerja lembur yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Kep-102/Kep/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur Dan Upah Kerja Lembur yang pada prinsipnya mengatur hal-hal sebagai berikut. Pekerja yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak atas upah kerja lembur, dengan ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi. Mereka yang termasuk golongan jabatan tertentu adalah pekerja yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana, dan pengendali jalannya perusahaan, yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak setiap kelebihan jam kerja diakui sebagai kerja lembur, kecuali kerja lembur atas perintah tertulis dari pengusaha yang dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja yang bersedia bekerja lembur yang ditandatangani oleh pekerja yang bersangkutan dan pengusaha, dan persetujuan tertulis dari pekerja yang bersangkutan.. Oleh karena itu, pengusaha membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur. Perhitungan upah kerja lembur didasarkan pada upah bulanan. Di atas sudah dijelaskan bahwa upah kerja lembur dihitung per jam, dan hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam per hari dan 14 jam per minggu. Cara menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan. Ada beberapa peraturan dalam menghitung upah sebulan yaitu dengan memperhatikan: upah pekerja/buruh dibayar secara harian, upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, dan upah pekerja/buruh yang bekerja kurang dari duabelas bulan. Jika upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan besarnya upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 bagi pekerja/buruh yang bekerja enam hari kerja per minggu atau dikalikan 21 bagi pekerja/buruh yang bekerja lima hari kerja per minggu. Akan tetapi, jika upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah sebulan adalah upah rata-rata
78
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
dua belas bulan terakhir. Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari dua belas bulan, maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum setempat. Adapun cara perhitungan upah kerja lembur adalah sebagai berikut: 1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja: a. untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebanyak satu setengah kali upah sejam; b. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebanyak dua kali upah sejam. 2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau libur resmi untuk waktu kerja enam hari kerja empat puluh jam per minggu, maka: a. perhitungan upah kerja lembur untuk tujuh jam pertama dibayar dua kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar tiga kali upah sejam, dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh dibayar empat kali upah sejam; b. apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, perhitungan upah lembur lima jam pertama dibayar dua kali upah sejam, jam keenam tiga kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan empat kali upah sejam. 3. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja lima hari kerja dan empat puluh jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk delapan jam pertama dibayar dua kali upah sejam, jam kesembilan dibayar tiga kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas empat kali upah sejam
Perhitungan upah untuk membayar upah lembur maupun pesangon dan penghargaan masa kerja tentunya hanya mencakup upah pokok dan tunjangan tetap, sehingga berapa pun komposisi upah pokok tidak menjadikan masalah. Namun kalau kita membaca bunyi Pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003 di situ ada masalah, yaitu bahwa yang ditetapkan minimal 75% adalah hanya upah pokok saja, padahal dasar perhitungan upah lembur adalah upah pokok dan tunjangan tetap. Selengkapnya bunyi Pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003 adalah ‘Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap’. Kami berpendapat bahwa Pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003 ini meniru Keputusan Menaker No. KEP. 72/MEN/1984 tentang Dasar Perhitungan Upah
79
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
Lembur dengan secara salah. Kalau keputusan Menaker tersebut menetapkan dalam hal komponen upah mencakup tunjangan tidak tetap, maka komponen upah pokok dan tunjangan tetap haruslah minimal 75%, karena yang dihitung sebagai dasar upah untuk pembayaran waktu lembur hanyalah upah pokok dan tunjangan tetap saja., tetapi Pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan lain. Sejak ditetapkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Kep102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur Dan Upah Kerja Lembur pada tanggal 25 Juni 2004, Pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003 tidak berpengaruh secara perhitungan materiil, tetapi secara formal keputusan menteri tersebut bermasalah. Secara meteriil ketentuannya dapat dibaca dalam Pasal 10 Keputusan Menteri tersebut yang menyatakan bahwa dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100% dari upah; dan dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap, apabila tunjangan tetap lebih kecil dari 75% keseluruhan upah pokok, maka dasar perhitungan upah lembur 75% dari keseluruhan upah. Akan tetapi, secara formal bermasalah sebab keputusan menteri derajadnya lebih rendah daripada undang-undang dalam hal ini UU Nomor 13 Tahun 2003. Pengertian tunjangan tetap adalah pembayaran kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh
atau pencapaian prestasi kerja
tertentu (penjelasan pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003) Contoh penghitungan upah lembur: X menerima upah sebanyak Rp 1.000.000,00 per buluan. Dia bekerja dengan waktu kerja delapan jam per hari dan lima hari per minggu. Pada hari kerja ke lima, X diminta kerja lembur selama tiga jam. Bagaimana cara menghitung upah kerja lembur? Upah sejam adalah 1/173 X Rp 1.000.000,00 = Rp 5.780,30 Jadi, upah kerja lembur untuk: Jam pertama : 1,5 X Rp 5.780,30 = Rp 8.670,00 Jam kedua
: 2 X Rp 5.780,30
Jam ketiga : 2 X Rp 5.780,30
= Rp11.560,00 = Rp 11.560,00
Pemberian upah kerja lembur merupakan kewajiban bagi perusahaan, artinya jika pengusaha tidak memperhatikan aturan tentang kerja lembur, dapat dikenai pidana. Pasal 187 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pelanggaran peraturan pembayaran upah kerja lembur
80
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
merupakan tindak pidana yang dapat dikenai sanksi pidana paling singkat satu bulan dan paling lama dua belas bulan kurungan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,000 dan paling banyak Rp 100.000.000,00. Menurut Kepmennakertrans No. Kep. 102/MEN/VI/2004, jika terjadi perbedaan perhitungan besarnya upah lembur, yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pegawai pengawas ketenagakerjaan kabupaten/kota. Salah satu pihak yang tidak dapat menerima penetapan dari petugas pengawas dapat meminta penetapan ulang kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan di provinsi. Jika terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada perusahan yang meliputi lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi yang sama, yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pegawai pengawas ketenagakerjaan provinsi. Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan di tingkat provinsi, dapat meminta penetapan ulang kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan di Departemen Tenaga Kerja. Dan akhirnya , jika terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada perusahaan yang meliputi lebih dari satu provinsi, yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pegawai pengawas ketenagakerjaan pusat.
KESIMPULAN Secara normative kebijakan pengupahan sudah melindungi pekerja/buruh, karena: 1. Sejak ditetapkan Keputusan Menakertrans No. 102/MEN/VI/2004, Pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003 secara materiil sudah tidak bermasalah. 2. Kerja lembur harus mendapat persetujuan dari pekerja/buruh yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan. 3. Pada dasarnya perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan. 4. Perbedaan perhitungan upah lembur dapat diajukan ke lembaga pengawas yang lebih atas
------------------------
81
WACANA HUKUM
VOLUME VII, NO 2, OKTO. 2008
DAFTAR PUSTAKA
Iman Soepomo. 1968. Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja. Jakarta: PPAKRI Bhayangkara. Mohd. Syaufii Syamsudin. Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial. Jakarta: Sarana Bhakti Persada. UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 72/MEN/1984 tentang Dasar Perhitungan Upah Lembur Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penagguhan Pelaksanaan Upah Minimum Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 234/MEN/2003 tentang Waktu Kerja Dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energ Dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor: KEP 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur
82