ASPEK BIOLOGI DAN GENETIKA PADA SISTEM REPRODUKSI MINDI (Melia azedarach Linn.)
DIDA SYAMSUWIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Aspek Biologi dan Genetik Pada Sistem Reproduksi Mindi (Melia azedarach L) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan sebagian sudah diajukan dalam bentuk tulisan di jurnal ilmiah. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi.
Bogor, Juli 2012
Dida Syamsuwida NIM 461070061
iii
iv
ABSTRACT DIDA SYAMSUWIDA. Biological and Genetical Aspects of Reproductive System of Mindi (Melia azedarach Linn.). Under academic supervision of ANDRY INDRAWAN, ISKANDAR Z SIREGAR and ENDAH R PALUPI. The study was aimed to determine biological and genetical aspects of reproductive system of mindi in relation to securing high quality of seeds. The study was conducted at four sites in West Java for the periods of 2009-2011. Direct observation over the trees (n=5-20 trees) were conducted on the periods of flowering and fruiting as well as floral morphology. Representative buds, flowers and fruits were sampled for microscopic dissection and reproductive study. The level of genetic diversities of maintained parental and produced offspring were evaluated either phenotipically or genotipically. Molecular characters were determined by using microsatellite markers. The genotipe deviation was evaluated based on Hardy-Weinberg and inbreeding structures. The observation revealed that floral initiation had proceeded for more than three months and the highest percentage of floral initiation occured in September. Reproductive cycle was proceeded for 5-6 months within the year, first observation commenced from generative buds to flower burst in SeptemberOctober. Fruits reached maturity in January-February that took about 2-3 months after flower burst. The flower was hermaphroditic with position of anther was closed to stigma that selfing might be happened. Stigma receptivity lasted from 08.00 am to 11.00 am, rate of receptif was 66% in average, at 12.00 the receptivity was decreased to 40% and pollen viability was fluctuated from 4,89%7,03% observed from 07.00 am-11.00 am. Controlled pollination exposed that mindi could be able to do both of cross- and self-pollination with the percentage of fruit set ranged of 70-77% and 42-57%, respectively. The genetic variation of mother trees and progenies for all loci and population were at range of 0,49-0,51 and 0,288-0,426, respectively. Genotipe deviation in progeny was detected at a small part of loci in two population with an average fixation index of -0,0680 and thus inbreeding might have been occured in a mating system of mindi in a low level. Assortative mating was detected in a very low degree. Three characters of seedling growth i.e length of bud, length of petiole and ratio of petiole to leaf length, might have to be used as keys to effective indicator for seedling selection. Key words:
Genetic diversity, genotipe deviation, hermaprodititic, inbreeding, microsatellite, reproductive cycle.
v
vi
RINGKASAN DIDA SYAMSUWIDA. Aspek Biologi dan Genetika Pada Sistem Reproduksi Mindi (Melia azedarach Linn.) di bawah bimbingan ANDRY INDRAWAN, ISKANDAR Z SIREGAR DAN ENDAH R PALUPI Mindi (Melia azedarach Linn.) adalah salah satu jenis tanaman cepat tumbuh dari keluarga Meliaceae. Jenis ini memiliki kayu yang berkualitas baik dan sudah banyak dikembangkan pada hutan rakyat khususnya di Jawa-Madura. Penyediaan benih bermutu tinggi sangat diperlukan untuk mendukung pengembangan hutan rakyat yang dapat dimulai dengan melakukan pemilihan pohon plus sebagai sumber benih. Namun demikian, perlu pemahaman sistem reproduksi individu pohon sebagai bagian dari populasi sumber benih. Sistem reproduksi tanaman mindi baik dari aspek biologi maupun genetika sejauh ini belum diketahui dan dipahami dengan jelas dan benar. Oleh karena itu penelitian bertujuan mengkaji aspek-aspek biologi dan genetik pada sistem reproduksi tanaman mindi dalam rangka penyediaan benih berkualitas tinggi untuk peningkatan produktivitas tegakan hutan rakyat.
Secara khusus tujuan
penelitian adalah 1) menganalisis siklus reproduksi termasuk inisiasi bunga, morfologi bunga-buah dan perkembangannya, masa resptivitas stigma dan viabilitas polen serta tipe penyerbukan 2) Menganalisis tingkat keragaman genetik populasi pohon induk dan anakannya serta menganalisis tingkat inbreeding berdasarkan kesetimbangan Hardy-Weinberg dan struktur inbreeding. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2009 s/d 2011 pada tegakan mindi di Jawa Barat yaitu di Desa Gambung-Bandung, Padasari-Sumedang, WanayasaPurwakarta dan Megamendung-Bogor. Siklus reproduksi diamati mulai dari inisiasi bunga, munculnya tunas bunga, bunga mekar hingga buah masak. Pengamatan inisiasi bunga dilakukan terhadap sampel tunas dengan sayatan secara mikroskopis. Pengujian masa reseptivitas stigma menggunakan aktivitas peroksidase dan pengujian viabilitas polen menggunakan media kecambah Brewbaker dalam inkubator suhu 25±1OC, kedua pengujian dilakukan setiap satu jam mulai dari pk. 07.00-08.00 s/d pk.11.00-12.00. Analisis tingkat keragaman genetik pada populasi di Sumedang dan Bandung terhadap 20 pohon induk dan 20 anakan menggunakan penanda DNA mikrosatelit, sedangkan di Wanayasa-Purwakarta menggunakan 9 pohon induk
vii
dan 90 anakan dengan penanda morfologi.
Analisis penyimpangan genetik
menggunakan struktur genotipe Hardy-Weinberg dan struktur in-breeding. Parameter genetik: Persentase polimorfik (PLP), jumlah alel obervasi (Na), alel efektif (Ne), heterosigotas observasi (Ho), heterosigotas ekspetasi (He) dan koefisien inbreeding, indeks fiksasi (Fis) dan perbedaan genetik antar populasi (Fst). Analisis data : ANOVA dilanjutkan dengan chi-square, AMOVA (Analysis of Molecular Variance). Pengolahan data menggunakan perangkat lunak PopGen versi 1.31 dan GenAlEx 6.3. Parameter fenotipik: ukuran morfologi benih, kapasitas perkecambahan dan morfologi semai. Analisis data menggunakan metode statistik peubah ganda dengan pendekatan PCA, PGM dan cluster analysis serta penghitungan nilai duga heritabilitas (Hbs) dan nilai duga kemajuan genetik (KG). Hasil penelitian menunjukkan bahwa inisiasi bunga di Gambung-Bandung Selatan berlangsung lebih dari 3 bulan dimana persentase terbesar terjadi pada bulan September (70%) dan Oktober (60%). Siklus reproduksi berlangsung selama 5 – 6 bulan, mulai dari terjadinya tunas generatif (September), bunga kuncup (September), bunga mekar/anthesis (Oktober), buah muda (Okt-Nop) sampai buah masak panen (Januari-Februari). Mindi memiliki bentuk malai yang disebut panicle, satu malai terdiri atas 30-80 bunga dan mekar secara bergantian. Tipe bunga adalah hermaprodit. Perkembangan bunga terdiri atas lima fase dan fase ke lima ditandai dengan antera yang membuka dan polen sudah berhamburan keluar dan stigma yang berwarna hijau terletak di tengah antera yang memberikan indikasi periode penyerbukan. Stigma dan polen diambil dari bunga yang mekar pada hari pengamatan. Persentase reseptivitas stigma bervariasi mulai dari pengumpulan pukul 08.00 s/d 12.00 yaitu berkisar antara 40-73,33%. Pada pukul 12.00 reseptivitas stigma sudah menurun mencapai 40%. Viabilitas polen mindi berkisar antara 4,89-7,03%. Pengamatan viabilitas polen pada pukul 07.00 mencapai 7% yang tidak meningkat sampai pukul 11.00. Diduga periode penyerbukan terjadi pada pukul 08.00-11.00. Tanaman
mindi
memiliki
kemampuan
melakukan
penyerbukan
silang
(outcrossing) atau penyerbukan sendiri (selfing) dengan kisaran nilai fruit set 7077%. Keragaman genetik populasi pohon induk dan anakan pada kedua populasi termasuk katagori rendah, masing-masing dengan kisaran 0,49-0,51 untuk pohon induk dan 0,297-0,426 untuk anakan. Keragaman genetik pohon
viii
induk dan anak yang tersimpan di dalam populasi mencapai 67% dan 33% keragaman disumbang dari populasi lain. Terjadi penurunan kualitas genetik yang diturunkan oleh tetua terhadap keturunan. Penyimpangan genotipe dari struktur genetik Hardy-Weinberg dan struktur inbreeding terdeteksi pada sebagian lokus di kedua populasi. Secara keseluruhan nilai indeks fiksasi (Fis) rata-rata -0,0680. Hal ini mengkonfirmasi terjadi inbreeding pada sistem perkawinan
tanaman mindi pada tingkat yang masih rendah. Populasi
Sumedang memiliki tingkat penyimpangan genotipe yang lebih tinggi daripada populasi Bandung. Perbedaan genetik antar populasi mencapai 17%. Fenomena perkawinan berpilih (assortative mating) terdeteksi pada populasi Bandung pada lokus yang menyimpang dari struktur Hardy-Weinberg. Karakter daya berkecambah, waktu mulai berkecambah, panjang pucuk semai, panjang petiole daun semai dan ratio panjang petiol terhadap panjang daun, dapat menjadi penciri dalam seleksi pohon induk dan pembibitan pada populasi Wanayasa-Purwakarta. Pohon induk P2, P15 dan P24 pada umumnya memperlihatkan keberagaman karakter fenotipe yang tinggi dibandingkan dengan pohon induk lain. Simpulan
hasil
penelitian
adalah
siklus
reproduksi
tanaman
mindi
berlangsung selama 5-6 bulan dan inisiasi bunga terjadi lebih dari tiga bulan. Bunga termasuk tipe hermaprodit dan rentang waktu antara reseptivitas stigma dan polen viabel terjadi bersamaan. Mindi mampu melakukan penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri. Tingkat keragaman genetik populasi pohon induk dan keturunan termasuk katagori rendah, terdapat penyimpangan genetik namun dugaan inbreeding pada sistem perkawinan tidak terbukti, sedangkan fenomena perkawinan berpilih terdeteksi pada populasi Bandung. Beberapa karakter perkecambahan dan morfologi semai dapat secara efektif digunakan dalam seleksi pembibitan secara fenotipik. Disarankan memanfaatkan potensi tegakan mindi di Sumedang dan Bandung untuk pengembangan sumber benih hutan rakyat namun perlu memperluas keragaman genetik dengan melakukan pengumpulan benih dari lokasi lain yang tersebar di Indonesia terutama dari luar Jawa setelah dilakukan analisis terhadap keragamannya terlebih dahulu.
ix
x
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
xi
xii
ASPEK BIOLOGI DAN GENETIKA PADA SISTEM REPRODUKSI MINDI (Melia azedarach Linn.)
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Mayor Silvikultur Tropika
DIDA SYAMSUWIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
xiii
Penguji Luar : Ujian tertutup : 1. Dr. Ir. Cahyo Wibowo M.Sc 2. Dr. Ir. Yulianti, M.Si.
Ujian terbuka : 1. Dr. Ir. Imam Santoso, M.Sc. 2. Dr. Ir. Supriyanto
xiv
xv
xvi
PRAKATA Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas rakhmat
dan karuniaNya
yang
diberikan kepada
penulis
untuk dapat
menyelesaikan tugas akhir di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Mayor Silvikultur Tropika.
Tugas akhir tersebut
adalah
tersusunnya disertasi yang berjudul ”Aspek Biologi dan Genetika pada Sistem Reproduksi Mindi (Melia azedarach Linn.)”. Dengan tersusunnya disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Prof.Dr.Ir. Andry Indrawan, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Prof.Dr.Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc. dan Dr. Ir. Endah R. Palupi MSc.selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari penyusunan proposal, selama penelitian dan analisis hingga selesainya penulisan disertasi. Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas juga dari bantuan semua pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kepala Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk dapat mengikuti studi program S-3 di Sekolah Pascasarjana, IPB serta Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah memberikan dana Hibah Penelitian Tim Pascasarjana, tahun 2009-2010 (No kontrak: 78/13.24.4/SPK/BG/-PD/2009 dan 4/13.24.4/SPK/PD/2010), sehingga penelitian ini dapat berjalan. Terima kasih disampaikan pula kepada pengelola Program Studi Silvikultur Tropika, seluruh staf Fakultas Kehutanan dan adik-adik di Laboratorium Genetika-Silvikultur khususnya Laswi dan Azizah, yang telah membantu kelancaran penyelesaian studi. Terima kasih yang tak terhingga disampaikan pula untuk suami tercinta (Aam P Permana), anak-anak terkasih (Ghina Amanda Putri dan M Faisal Adha) atas do’a dan keikhlasannya,
serta seluruh keluarga dan teman-teman atas
dorongan moril maupun materil. Akhirnya,
semoga
hasil
penelitian
ini
dapat
bermanfaat
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bagi pengembangan program hutan tanaman di tanah air. Bogor, Juli 2012 Dida Syamsuwida
xvii
xviii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung 3 Juli 1957 sebagai anak terakhir dari enam bersaudara, dari ayah R.O Kosasih (Alm) dan ibu Sudewi Striretna (Almh). Penulis menikah dengan Aam Padma Permana dan dianugerahi satu orang putri dan satu orang putra : Ghina Amanda Putri dan Moch. Faisal Adha. Pendidikan dimulai di Sekolah Dasar Negeri Ciujung II Bandung, Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Bandung dan Sekolah Menengah Atas Negeri I Bandung, Jawa Barat. Pada tahun 1977 penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas MIPA, jurusan Biologi UNPAD Bandung, dan memperoleh gelar sarjana biologi tahun 1983. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai pegawai honorer di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai peneliti Silvikultur pada tahun 1986. Pada tahun 1989 penulis mendapat beasiswa dari pemerintah Australia melalui program AIDAB melanjutkan pendidikan program Pascasarjana di Faculty of Agriculture
and
Forestry,
Melbourne
University,
Victoria-Australia
dan
memperoleh gelar Master of Forest Science pada tahun 1991. Pada tahun 1994, penulis dipromosikan menjadi Kepala Seksi Pelayanan Teknis di Balai Penelitian Pemuliaan Hutan Yogyakarta dan tahun 1996 kembali menjadi peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor sampai sekarang. Tahun 2007 mendapat ijin belajar program doktor pada Sekolah Pascasajana, IPB. Sebagai peneliti, penulis berhasil mencapai jenjang fungsional Ahli Peneliti Utama (APU) pada tahun 2012.
xix
xx
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. DAFTAR TABEL ……………………………………………..…………… DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………….……………..
xxi xxiii xxv xxvii
I.
PENDAHULUAN .……………………………………………………….. 1.1 Latar Belakang…………………………………………………… 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………… 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………….. 1.4 Ruang Lingkup ............................................................... 1.5 Hipotesis………………………………………………………….. 1.6 Manfaat Penelitian ………………………………………... 1.7 Kerangka Pemikiran………………………………………. 1.8 Kebaruan (Novelty) ………………………………………. 1.9 Sistematika Penelitian…………………………………….. 1.10 Risalah Lokasi …………………………………………………….
1 1 4 6 6 7 7 8 10 10 12
II.
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………. 2.1 Deskripsi Umum Mindi …………………………………………… 2.1.1 Sebaran dan Tempat Tumbuh Mindi ……………………. 2.1.2 Karakteristik Pohon, Taksonomi dan Pemanfaatan …... 2.1.2.1 Karakteristik Pohon ……………………………. 2.1.2.2 Taksonomi ……………………………………… 2.1.2.3 Pemanfaatan tanaman ……………………….. 2.2 Biologi Reproduksi ………………………………………………… 2.3 Keragaman Genetik dan Sistem Perkawinan …………………… 2.3.1 Keragaman Genetik ……………………………………….. 2.3.2 Sistem Perkawinan ……………………………………….. 2.3.3 Penyimpangan Genotipe dalam Sistem Perkawinan (Inbreeding) ………………………………………………… 2.4 Penanda Genetik Mikrosatelit ……………………………………. 2.5 Perbenihan Tanaman Mindi ………………………………………. 2.5.1 Sumber benih ………………………………………………. 2.5.2 Produksi benih ……………………………………………...
15 15 15 15 15 17 18 19 23 23 23
III.
ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI ……………………………………….. 3.1 Pendahuluan ………………………………………………………... 3.2 Bahan dan Metode …………………………………………………. 3.3 Hasil dan Pembahasan ……………………………………………. 3.3.1 Hasil …………………………………………………………. 3.3.2 Pembahasan ………………………………………………..
33 33 34 39 39 48
IV.
ASPEK GENETIKA REPRODUKSI …………………………………….. 4.1 Struktur Genetik Populasi Pohon Induk dan Keturunan ……….. 4.1.1 Bahan dan Metode ……………………………………… 4.1.2 Hasil dan Pembahasan …………………………………... 4.2 Keragaman Fenotipik Keturunan …………………………………. 4.2.1 Bahan dan Metode …………………………………………
53 54 54 56 70 70
xxi
26 29 30 30 31
Hasil dan Pembahasan …………………………………...
76
V.
PEMBAHASAN UMUM …………………………………………………...
95
VI.
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………… 6.1 Simpulan …………………………………………………………….. 6.2 Saran …………………………………………………………………
103 103 104
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………..
105
LAMPIRAN ………………………………………………………………………..
115
4.2.2
xxii
DAFTAR TABEL Halaman
1
Uraian tentang topik penelitian/sub-penelitian, kegiatan dan metode pada penelitian Aspek Biologi dan Genetik pada Sistem Reproduksi Mindi (Melia azedarach L) ...................................
9
Rekapitulasi risalah lokasi penelitian dan kegiatan penelitian yang dilakukan pada setiap lokasi ................................................
12
Periode dan waktu perkembangan pembungaan dan pembuahan mindi...............................................................................................
42
4
Tahap perkembangan bunga mindi ..............................................
44
5
Persentase reseptivitas stigma dan perkecambahan polen mindi .......................................................................................................
47
Delapan pasang sekuen primer mikrosatelit beserta urutan basanya dan rentang ukuran yang digunakan, dikembangkan dari jenis Azadirachta indica (Meliaceae) (Bontoong et al. 2008) …………….....................................................................................
56
7
Rangkuman F-statistik untuk semua lokus .................................
58
8
Rangkuman F-statistik untuk semua lokus pada dua populasi ...
59
9
Hasil analisis keragaman molekuler (AMOVA) .............................
60
10 Keragaman genetik pada dua populasi pohon induk dan anakan untuk semua lokus ......................................................................
61
11 Keragaman genetik lokus mikrosatelit pada sampel pohon induk dan anakan mindi dari dua populasi ............................................
63
12 Hasil pengujian statistik struktur genetik dan dua acuan struktur (Hardy- Weinberg dan struktur inbreeding) ...................…………
64
13 Parameter alel preferensi Uij untuk lokus dengan genotipe yang menyimpang dan tidak menyimpang dari struktur HardyWeinberg……………………………………………………………..
66
14 Pengamatan karakter fenotipik keturunan mindi (diadopsi dari Hidayat 2010) …………………………………………………………
71
15 Varians fenotipe, varians genotipe, heritabilitas (H) dan kemajuan genetik (KG) progeni mindi berdasarkan pertumbuhan semai. ....
77
16 Varians fenotipe, varians genotipe, heritabilitas (H) dan kemajuan genetik (KG) progeni mindi berdasarkan pertumbuhan semai. ….
79
2
3
6
xxiii
17 Analisis ragam variabel morfologi benih, perkecambahan dan morfologi semai mindi ..................................................................
80
18 Nilai eigenvalue dan persentase total variasi dari karakter morfologi benih, perkecambahan dan morfologi semai mindi ..…
82
19 Matrik hasil klasifikasi dugaan kedekatan antar pohon induk berdasarkan karakter morfologi benih mindi ................................
85
20 Matrik hasil klasifikasi dugaan kedekatan antar pohon induk berdasarkan kapasitas perkecambahan benih mindi ....................
87
21 Matrik hasil klasifikasi dugaan kedekatan antar pohon induk berdasarkan karakter semai ………………………………….......
88
xxiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Alur kerangka pemikiran penelitian Aspek Biologi dan Genetika pada Sistem Reproduksi Mindi (Melia azedarach ) ...........................
9
2
Peta lokasi penelitian Aspek Biologi dan Genetik pada Sistem Reproduksi Mindi (Melia azedarach L) di Jawa Barat ......................
13
3
Tegakan pohon dan bentuk daun, rangkaian bunga dan buah mindi (insert) ................................................................................................
16
4
Papan mebel kayu mindi bercorak indah ..........................................
18
5
Irisan longitudinal tunas vegetatif memperlihatkan meristem apikal (ma) mindi: tunas generatif memperlihatkan primordia bunga (pb), primordia daun (pd). A. tunas vegetatif : meristem apikal membentuk primordial daun dan B.meristem apikal sudah membentuk primordia bunga ............................................................
39
Grafik terjadinya bakal bunga dan bakal daun pada irisan sampel tunas. .................................................................................................
40
Siklus reproduksi tanaman mindi di Bandung Selatan-Jawa Barat ...........................................................................................................
42
Deskripsi organ bunga A] petal (p), B] pistil (ps) dan sepal (sp), C] anther (a), stigma (s)…………………………………………………….
43
Deskripsi polen (P), lubang pori (lp), dinding luar (ex), dinding dalam (in) dan polen yang berkecambah (KP) serta tabung polen (tp)……
43
10 Perkembangan ovarium menjadi buah muda .....................................
45
11 Pembesaran ovarium [ovr], stilus [st] A) irisan melintang ovarium memperlihatkan 5 ovul [ovl] B) dan penampang melintang buah (bh) memperlihatkan lokus [lk], endokarp [end] dan biji [s] C) ................
46
12 Buah masak berwarna kuning (A) dan benih kering (B) ....................
46
13 Grafik rasio buah/bunga (fruit set) mindi setelah penyerbukan ..........
48
14 Pola polimorfik DNA mikrosatelit pada mindi dengan rentang ukuran 100-220 bp ……………………………………………………….
57
15 Dimensi karakter semai mindi yang diukur ……………………………
73
16 Analisis komponen utama/PCA pohon induk mindi berdasarkan karakter morfologi benih ..................................................................
82
6
7
8
9
xxv
17 Analisis komponen utama/PCA pohon induk mindi berdasarkan karakter perkecambahan ………………………………………………
83
18 Analisis komponen utama/PCA pohon induk mindi berdasarkan karakter morfologi semai ………………………………………………
84
19 Dendrogram hasil clustering pohon induk mindi menggunakan karakter morfologi benih......................................................................
90
20
Dendrogram hasil clustering pohon induk mindi menggunakan karakter perkecambahan benih..........................................................
91
21 Dendrogram hasil clustering populasi pohon induk mindi menggunakan karakter morfologi semai……………………………
92
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN 1
Tabel data skoring inisiasi pembungaan mindi di lokasi GambungBandung .............................................................................................
115
2
Reseptivitas stigma dan Viabilitas Polen............................................
116
3
Penyerbukan mindi di Megamendung-Bogor.....................................
119
4
Produksi buah mindi di lima lokasi di Jawa Barat ............................
120
5
Data Pengukuran Karakter Fenotipik Pohon Induk Mindi...................
121
6
Prosedur Laboratorium Analisis DNA dengan Penanda Mikrosatelit..
123
7
Analisis Data Keragaman Genetik.......................................................
130
xxvii
xxviii
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mindi (Melia azedarach Linn.) adalah salah satu jenis dari keluarga Meliaceae yang termasuk jenis tanaman cepat tumbuh. Jenis ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan rakyat karena bersifat serbaguna (multipurposes tree species). Bagian tanaman lain seperti kulit batang, daun, buah dan biji
dapat dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala,
demam, antiseptik, pestisida atau obat HIV dan kanker karena kandungan antibiotiknya (Khan et al. 2008). Tanaman ini memiliki tiga komponen kimia yang bersifat komersil yaitu azadirachtin, selanin dan meliantriol (Hanum & van der Maesen 1997). Mindi juga merupakan salah satu kayu alternatif pengganti kayu berkualitas yang saat ini sudah mulai sulit ditemukan dan berharga mahal karena permintaan pasar yang semakin meningkat. Kayu dapat digunakan dalam bentuk kayu utuh untuk bahan bangunan, bahan furniture dan barang kerajinan, sebagai kayu lapis dan vinir laminar karena kayu bercorak indah dan mudah dikerjakan (Basri & Yuniarti 2006). Jenis ini juga menghasikan kualitas kayu yang dapat diandalkan untuk bahan pulp dan kayu bakar dengan nilai kalor 5100 kcal/kg (ICRAF database). Tanaman mindi memiliki sifat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tumbuh karena dapat tumbuh pada zona ekologi yang cukup luas. Mindi diduga merupakan jenis eksotik yang berasal dari India (Asia Utara) dengan keragaman tinggi sehingga mudah beradaptasi dengan baik di wilayah Indonesia dan ditemukan tersebar di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Jenis ini tumbuh pada ketinggian 200 – 1400 m dpl dengan curah hujan > 900 mm/thn, termasuk tipe iklim A-C (Martawijaya, et al. 1989, Soerianegara & Lemmens 1995). Di Jawa Barat mindi tumbuh pada daerah dengan curah hujan rata-rata cukup tinggi yaitu > 2000 mm/th (Pramono et al. 2008). Memerlukan tanah dengan drainase yang baik, subur dan sedikit asam (pH 5,5 -6,5). Musim berbuah terjadi pada bulan Desember – Januari setiap tahunnya, walaupun kadang-kadang ada yang berbuah pada bulan Juni (Danu 2000). Hasil survei di Jawa Barat memperlihatkan bahwa pohon mindi banyak dijumpai pada lahan masyarakat sebagai bagian dari ekosistem hutan rakyat
2
(Pramono et al. 2008). Melihat kenyataan ini maka ada kecenderungan masyarakat menggunakan jenis mindi yang dapat beradaptasi luas dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan papannya. Di Kabupaten Bogor dilaporkan bahwa dari luasan hutan yang ada, 4% (13.320 ha) diantaranya adalah hutan rakyat dan jenis mindi mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai bahan pasokan kayu yang dipasarkan secara internasiona. Satu perusahaan eksportir furnitur memerlukan bahan baku kayu mindi sekitar 250 m³ sawn timber setiap bulan (Karyono & Hariyatno 2001). Dengan demikian, tantangan yang perlu diperhatikan adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas tegakan mindi pada lahan masyarakat agar menghasilkan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Penyediaan benih bermutu tinggi sangat diperlukan untuk mendukung pengembangan hutan rakyat yang dapat dimulai dengan melakukan pemilihan pohon plus sebagai sumber benih. Namun demikian, perlu pemahaman sistem reproduksi individu pohon sebagai bagian dari populasi sumber benih. Keragaman genetik tanaman mindi pada beberapa lokasi hutan rakyat di Jawa Barat tergolong rendah yaitu antara 0,16-0,19 dan 70% keragaman terdapat dalam populasi (Yulianti 2011). Produksi benih mindi pada lokasi-lokasi tersebut pada tahun 2009-2010 dilaporkan berkisar antara 5,1 – 9,9 kg/pohon (Atmandhini 2011). Produksi ini dinilai cukup rendah dibandingkan dengan produksi benih yang dilaporkan Nurhasybi & Danu (1997) yakni 15-20 kg/pohon dari beberapa lokasi di Jawa Barat. Keragaman genetik yang cukup rendah sudah diteliti pada beberapa tanaman. Pada pinus keragaman genetik yang rendah dikaitkan dengan sistem perkawinan (Siregar 2000), pada Veratum nigrum (Liliaceae) disebabkan oleh terbatasnya kelimpahan polen dan tidak efektifnya penyerbukan (Liao et al. 2006), dan pada tanaman Trillium camschatcense
(Trilliaceae)
kurangnya
alokasi
sumber
pembungaan
(Tomimatsu & Ohara 2006). Pola sebaran tanaman juga menjadi salah satu penyebab tinggi rendahnya keragaman genetik dalam populasi terutama pada hutan rakyat yang umumnya bercampur dengan tanaman lain dengan pola penanaman yang tersebar serta jumlah dan luasan yang terbatas (Hamid et al. 2008). Dengan demikian dalam upaya pengembangan sumber benih hutan rakyat di Jawa Barat, masih diperlukan pengetahuan dasar yang terkait sistem
3
reproduksi tanaman untuk mendukung peningkatan kualitas benih tanaman mindi yang ditanam pada areal milik masyarakat. Tanaman dengan variasi genetik yang tinggi dapat menghasilkan benih (keturunan) dengan berbagai sifat yang menguntungkan. Irwanto (2006) menyatakan bahwa metode pemuliaan (breeding system) yang tepat untuk suatu jenis tanaman tergantung kepada sistem penyerbukan, tingginya variabilitas, tujuan pemuliaan serta produksi benih. Faegri and van de Pijl (1979), Sedgley (1986) dan Willian et al. (2001) juga mengemukakan bahwa untuk memperoleh strategi pemuliaan yang berhasil secara efisien, reproduksi suatu jenis perlu dipelajari melalui pengamatan yang spesifik terhadap fenologi pembungaan, karakteristik perkembangan bunga, arsitektur pembungaan, penyebaran polen dan vektornya, struktur organ seksual, sistem perkawinan, sistem inkompatibilitas dan implikasi genetik dengan adanya in-breeding serta hubungan paternalistik. Adam & William (2001) menyatakan bahwa penyerbukan pada tanaman tropis di hutan alam dengan jenis yang terisolasi secara spasial, jarang melakukan perkawinan silang, karena itu kompatibilitas pada perkawinan sendiri (self-compatibility) sering terjadi. Pada tanaman mindi fenomena tersebut masih perlu dibuktikan dengan mengkaji karakteristik lingkungan tempat tumbuh serta tipe penyerbukan yang dikaitkan dengan aspek genetik pada sistem reproduksi. Informasi genetik pada suatu populasi sangat diperlukan dan pola variasi genetik di alam sangat ditentukan oleh mekanisme penyerbukan pada tanaman (Sedgley & Griffin 1989). Semakin besar kecenderungan terjadinya perkawinan silang, semakin tinggi variasi genetik yang terjadi dan berpeluang menghasilkan benih yang melimpah dengan vigor yang tinggi (Sedgley & Griffin 1989). Dengan demikian, sistem perkawinan pada tanaman merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembentukan biji yang pada gilirannya akan menentukan tingkat kualitas dan kuantitas benih atau buah yang dihasilkan.
4
Sistem perkawinan acak biasa terjadi pada jenis tanaman hutan dan penyimpangan terhadap genotipe perkawinan acak banyak terbukti pada populasi alam. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan membandingkan struktur genetik populasi pohon induk dan keturunannya (progeny) (Muller-Starck & Liu 1989). Penyimpangan genotipe yang terjadi umumnya disebabkan oleh adanya inbreeding yang merupakan akibat dari perkawinan kerabat (sendiri). Sistem reproduksi tanaman mindi baik dari aspek biologi maupun genetika sejauh ini belum diketahui dan dipahami dengan jelas dan benar. Oleh karena itu dalam penelitian ini telah dilakukan pengamatan terhadap beberapa aspek reproduksi biologi meliputi pengamatan siklus reproduksi, morfologi bunga dan perkembangannya, reseptivitas stigma dan viabilitas polen dan aspek genetika pada sistem reproduksi yang meliputi keragaman genetik pohon induk dan turunannya serta penyimpangan struktur genetik pada sistem perkawinan mindi. 1.2 Perumusan Masalah Studi tentang reproduksi tanaman mindi sejauh ini masih sangat terbatas. Hal ini menyulitkan pengembangan sumber benih mindi karena dalam pembangunan dan pengelolaannya diperlukan informasi dasar yang berkaitan dengan biologi reproduksi termasuk organ reproduksi, siklus reproduksi dan periode perkembangan pembungaan-pembuahan. Dari satu siklus reproduksi tanaman dalam satu periode pembungaan dan pembuahan dapat diprediksi waktu yang efektif melakukan penyerbukan dan kapan buah masak fisiologis dapat dipanen. Siklus reproduksi tanaman mindi belum diketahui secara detail mulai dari inisiasi bunga, tunas generatif, bunga mekar (anthesis) hingga terjadinya pembentukan buah dan buah masak. Kajian terhadap inisiasi bunga sangat diperlukan karena informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga waktu pembungaan. Waktu inisiasi bunga juga merupakan informasi yang diperlukan ketika akan mempercepat atau menstimulasi pembungaan. Struktur organ reproduksi mindi dapat diketahui lebih jelas dan detail melalui pengamatan terhadap morfologi bunga dan tahap perkembangannya. Akan tetapi, informasi tentang morfologi bunga mindi masih sangat terbatas, demikian juga tahapan perkembangannya. Pengamatan morfologi bunga erat kaitannya dengan pemahaman tentang tipe seksual, posisi serta kesesuaian waktu masak antara antera dan/atau keluarnya polen dan stigma. Informasi tersebut diperlukan dalam melakukan penyerbukan buatan. Masa reseptif stigma
5
dan viabilitas polen akan menentukan keberhasilan sistem penyerbukan. Informasi reseptivitas stigma dan viabilitas polen pada tanaman mindi belum diketahui. Oleh karena itu perlu dikaji lebih jauh tentang masa reseptif dan viabilitas polen. Waktu terjadinya stigma yang reseptif dan polen yang viabel juga merupakan informasi yang sangat bermanfaat ketika akan melakukan penyerbukan buatan yang efektif. Struktur organ reproduksi tanaman mindi adalah hermaprodit, dimana organ jantan dan betina berada dalam satu bunga yang sama, sehingga berpeluang terjadinya penyerbukan sendiri (selfing). Dengan
demikian
perlu
dipelajari
tipe
penyerbukannya
dalam
rangka
pembangunan sumber benih dan meningkatkan produksi benih. Beberapa jenis tanaman hutan yang satu famili dengan mindi (Meliaceae) seperti mahoni (Swietenia macrophylla) dan mimba (Azadirachta indica) memiliki derajat penyerbukan silang yang tinggi yaitu masing-masing 96,6% (Lemes et al. 2007) dan 90,4% (Kundu 1999). Tanaman dengan pola penyerbukan silang akan memiliki keragaman yang luas sebagai akibat dari persilangan acak antar individu didalam populasi. Dengan demikian maka diduga keragaman pada keturunannya (progeni) akan mengikuti pola keragaman pohon induk. Akan tetapi pada jenis mindi informasi keragaman genetik pohon induk dan keturunan masih sangat terbatas, dengan demikian perlu mengevaluasi keragaman populasi pohon induk dan keturunannya melalui analisis terhadap variasi fenotipik dan variasi genetik. Sistem reproduksi tanaman mindi dapat dianalisis secara genetik.. Penyimpangan genotipe pada sistem perkawinan sering terjadi pada populasi alam dan umumnya terjadi karena adanya inbreeding yang merupakan akibat dari perkawinan kerabat (sendiri). Oleh karena itu perlu analisis terhadap struktur inbreeding pada sistem reproduksi mindi untuk mengetahui kemungkinan adanya penyimpangan pada sistem perkawinan mindi. Dari perumusan masalah di atas maka beberapa pertanyaan muncul yaitu sebagai berikut: 1. Kapan dan berapa lama terjadinya siklus reproduksi dan kapan inisiasi bunga mindi terjadi dalam satu periode waktu pada suatu populasi tegakan? 2. Kapan terjadinya stigma yang reseptif dan polen yang viabel? 3. Bagaimana tipe penyerbukan tanaman mindi? 4. Bagaimana tingkat dan pola keragaman genetik populasi pohon induk
6
dan keturunan pada jenis mindi dan bagaimana tingkat inbreeding yang terjadi berdasarkan kesetimbangan Hardy-Weinberg dan struktur inbreeding? ontinuing interpretations is the lacot begenetic variatio 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji aspek-aspek biologi reproduksi dan genetik pada sistem reproduksi tanaman mindi dalam rangka penyediaan benih berkualitas tinggi. Tujuan spesifiknya adalah: 1.
Mengetahui aspek biologi reproduksi tanaman mindi yang meliputi siklus reproduksi, morfologi bunga dan tahap perkembangannya, masa
reseptivitas
stigma
dan
viabilitas
polen
serta
tipe
penyerbukan 2.
Menganalisis tingkat keragaman genetik populasi pohon induk dan keturunan serta menganalisis tingkat inbreeding berdasarkan kesetimbangan Hardy-Weinberg dan struktur inbreeding
1.4 Ruang lingkup Kegiatan penelitian meliputi dua aspek besar yang terkait biologi reproduksi dan genetika reproduksi. Aspek lingkungan bukan merupakan bagian dari penelitian studi reproduksi karena aspek ini sudah diteliti oleh Atmandhini (2011) terkait faktor tempat tumbuh dan produksi benih. Penelitian aspek biologi dan genetika pada sistem reproduksi mindi meliputi: 1. Biologi reproduksi tanaman mindi Kegiatan penelitian termasuk: a. pengamatan siklus reproduksi b. penentuan waktu inisiasi pembungaan c. pengamatan morfologi bunga d. pengamatan reseptivitas stigma dan viabilitas polen e. penentuan tipe penyerbukan
2. Keragaman genetik pohon induk dan keturunan pada mindi Kegiatan penelitian termasuk:
7
a. Menganalisis keragaman genetik pohon induk dan keturunan (single tree progeny) b. Menganalisis penyimpangan genetik pada perkawinan mindi menurut struktur Hardy-Weinberg dan struktur inbreeding c. Menganalisis keragaman fenotipik keturunan
1.5 Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: 1. Reseptivitas stigma dan viabilitas polen terjadi pada rentang waktu yang bersamaan, sehingga penyerbukan dapat terjadi secara efektif. 2. Keragaman genetik populasi tanaman mindi yang rendah dengan tipe penyerbukan sendiri cenderung terindikasi adanya penyimpangan genetik pada sistem perkawinan. 1.6 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat dalam peningkatan produktivitas tegakan mindi melalui penyediaan benih bermutu dalam suatu manajemen sumber benih. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya yaitu: 1. Pemahaman tentang biologi reproduksi tanaman yang sangat bermanfaat dalam pengelolaan suatu tegakan atau sumber benih berkaitan dengan manajemen penyerbukan, waktu inisiasi bunga dan pembuahan sehingga masa panen buah mindi dapat di prediksi. 2. Mengetahui tingkat keragaman genetik populasi pohon induk dan anakan mindi pada lokasi yang berbeda sehingga benih atau bibit yang dikumpulkan dari lokasi tersebut dapat diterima tingkat kualitasnya secara genetik sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pengembangan kebun benih rakyat. 3. Mengetahui tingkat struktur inbreeding tanaman mindi dalam suatu populasi dapat digunakan sebagai gambaran tentang fenomena yang terkait dengan persilangan antar kerabat. Informasi ini sangat bermanfaat bagi praktisi dalam membangun kebun benih untuk menghindari penggunaan benih dari tegakan yang terindikasi adanya inbreeding dan memperluas keragaman genetik dengan menggunakan benih dari berbagai provenan.
8
1.7 Kerangka Pemikiran Hutan berbasis masyarakat terutama di pulau Jawa saat ini berkembang cukup pesat (Departemen Kehutanan 2003) dan salah satu jenis potensial yang dapat dikembangkan pada hutan yang dikelola masyarakat atau hutan rakyat adalah mindi. Dalam pengembangannya perlu dukungan dari berbagai sektor yang terkait termasuk diantaranya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Produktivitas tegakan hutan sangat kuat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik serta kombinasi keduanya (Zobel & Talbert 1984). Salah satu upaya untuk menghasilkan produktivitas tegakan hutan yang tinggi terutama pada luasan yang terbatas adalah melalui penggunaan dan penyediaan benih berkualitas tinggi secara berkelanjutan. Benih berkualitas tinggi secara genetis dapat diperoleh dari sumber benih terkatagori (kelas sumber benih) apabila sudah tersedia, selain itu benih berkualitas secara fisik dan fisiologik diperoleh melalui penanganan benih yang optimal. IPTEK perbenihan sangat diperlukan untuk mendukung peningkatan kualitas benih dan produksi yang memadai dalam rangka penyediaan bahan pertanaman. Dengan demikian, sangat penting untuk memahami dan menguasi sistem reproduksi pohon induk sebagai bagian dari populasi sumber benih. Sistem reproduksi tanaman mindi sejauh ini belum diketahui dan dipahami dengan jelas dan benar. Sistem reproduksi meliputi studi tentang aspek biologi reproduksi dan aspek genetika pada sistem reproduksi. Informasi ini sangat bermanfaat dalam pengelolaan suatu tegakan benih atau pembangunan sumber benih berkaitan dengan perolehan benih berkualitas. Pengamatan biologi reproduksi yang meliputi siklus reproduksi, morfologi bunga dan tahap perkembangannya, masa reseptifitas stigma dan viabilitas polen serta tipe penyerbukan menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat terkait prediksi masa panen buah dan efektivitas penyerbukan. Hasil kajia terhadap karakteristik reproduksi secara biologis akan saling mendukung dengan hasil analisis reproduksi secara genetis, sehingga dapat dievaluasi untuk dijadikan bahan pertimbangan perencanaan pembangunan atau pengelolaan sumber benih. Menganalisis sistem reproduksi tanaman mindi dari aspek genetika akan menghasilkan suatu pengetahuan dan pemahaman mengenai keragaman genetik populasi pohon mindi dan keturunan. Keragaman genetik populasi dapat
9
diduga melalui pendekatan marka genetik dan marka morfologi. Penyimpangan genotipe yang mungkin terjadi akibat perkawinan kerabat (selfing) pada tanaman mindi yang mempunyai tipe bunga hermaprodit, dapat diketahui dengan menganalisis tingkat inbreeding berdasarkan kesetimbangan struktur HardyWeinberg dan struktur inbreeding. Seluruh informasi yang didapatkan dari hasil analisis genetika dan biologi terkait sistem reproduksi tersebut tentu akan sangat bermanfaat dalam mengevaluasi pengelolaan sumber benih secara efisien dengan memperhatikan aspek reproduksi yang efektif untuk menghasilkan benih yang berkualitas tinggi secara berkelanjutan. Selain itu informasi yang diperoleh dapat menjawab permasalahan yang berkaitan dengan rendahnya keragaman genetik populasi pohon mindi dan produksi benih pada hutan rakyat di Jawa Barat. Kerangka pemikiran untuk penelitian ini disajikan alurnya pada Gambar 1 .
Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian Aspek Biologi dan Genetik pada Sistem Reproduksi Mindi (Melia azedarach )
10
1.8 Kebaruan (Novelty) Kebaruan informasi yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Diperolehnya informasi mengenai sistem biologi reproduksi tanaman mindi berdasarkan pengamatan siklus reproduksi yang intensif mulai dari inisiasi bunga hingga ke
pembentukan bunga dan buah serta diketahuinya tipe
penyerbukan mindi. 2. Diketahuinya tingkat keragaman genetik tanaman mindi berdasarkan marka molekuler mikrosatelit. 3. Diketahuinya tingkat inbreeding populasi tegakan mindi berdasarkan evaluasi terhadap penyimpangan struktur genetik yang terjadi dan selanjutnya dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam penggunaan tegakan sebagai sumber benih. 1.9 Sistematika Penelitian Tabel 1 Uraian tentang topik penelitian/sub-penelitian, kegiatan dan metode pada penelitian Aspek Biologi dan Genetika pada Sistem Reproduksi Mindi (Melia azedarach L) Topik penelitian/ Sub penelitian Penelitian 1.
Aspek Biologi Reproduksi: Siklus reproduksi dan inisiasi bunga
Morfologi bunga dan tahap perkembangannya
Kegiatan Penelitian
Metode
Mengamati siklus reproduksi dan periode perkembangan pembungaanpembuahan Mengambil tunas, menyayat jaringan dan mengamati primordia bunga di bawah mikroskop.
Pengamatan langsung di plot penelitian di Gambung-Bandung Selatan
Mengamati, mengukur dan membuat foto/ sketsa struktur organ reproduksi. Mengamati dan membuat foto tahap perkembangan bunga
Pengamatan langsung di plot penelitian di Gambung-Bandung Selatan
Pengamatan mikroskopis jaringan tunas
11
Lanjutan Tabel 1 Topik penelitian/ Sub penelitian Reseptivitas stigma dan viabilitas polen
Kegiatan Penelitian
Metode
Mengamati stigma reseptif berdasarkan kriteria tahap pemekaran bunga dengan interval waktu pengambilan sampel bunga setiap 1 jam selama 5 jam
Pengamatan reaksi permukaan stigma terhadap H2O2 (Kearns & Inouye 1993)
Mengamati polen viabel berdasarkan kriteria tahap pemekaran bunga dengan interval waktu pengambilan sampel bunga setiap 1 jam selama 5 jam
Pengamatan perkecambahan polen pada kultur media Brewbaker (Brewbaker&Kwack 1963)
Melakukan penyerbukan buatan dan alami
Penyerbukan sendiri dan silang terkendali, penyerbukan sendiri secara alami dan penyerbukan terbuka (Palupi 2006)
Struktur genetik pohon induk dan keturunan
Menganalisis keragaman genetik pohon induk dan keturunannya (single tree progeny) dengan pendekatan marka DNA dan menentukan tingkat struktur inbreeding berdasarkan kesetimbangan Hardy-Weinberg
Dugaan tingkat keragaman genetik menggunakan penanda mikrosatelit dan menghitung frekuensi inbreeding observasi dan harapan (MullerStarck&Liu 1989)
Keragaman fenotipik keturunan
Menganalisis keragaman genetik keturunan dengan pendekatan marka fenotipik
Observasi deskriptif dengan pengukuran karakter morfologi
Tipe penyerbukan
Penelitian 2.
Aspek Genetika:
12
1.10 Risalah Lokasi Penelitian Penelitian merupakan suatu rangkaian kegiatan penelitian yang dimulai pada tahun 2009 dan diakhiri tahun 2011. Kegiatan penelitian dilaksanakan di Jawa Barat yaitu pada tegakan mindi yang ada di kebun campuran baik milik masyarakat maupun areal perkebunan BUMS. Pemilihan lokasi berdasarkan hasil survey penyebaran tanaman mindi di Jawa Barat yang dilakukan oleh Pramono et al. (2008) yakni daerah penyebaran mindi yang mewakili tipe tapak dengan ketinggian yang berbeda. Tabel 2 Rekapitulasi risalah lokasi penelitian dan kegiatan penelitian yang dilakukan pada setiap lokasi No
Lokasi
Kondisi umum
1
Ds. Tegalmindi, Kec. Megamendung, Kab. Bogor
Letak pada 06 40’ 477” SO 106 53’635’’E. Jenis tanah podsolik coklat, topografi bergelombang. Curah hujan rata-rata 2200-4500 mm/th, ketinggian 710 m dpl. Suhu rata-rata 0 0 berkisar antara 25 C - 29 C dengan kelembaban 70 % - 75 %. Merupakan kebun campuran dengan beberapa jenis tanaman pangan, sayuran dan buahbuahan. Tanaman mindi ditanam pada bagian pematang sebagai tanaman peneduh.
Ds.Nagrak, Kec. Sukaraja, Kab. Bogor
Letak pada 06 40’ 472” SO 106 53’615’’E. Podsolik merah kunig, topografi sedikit bergelombang. Curah hujan rata-rata 2200-4500 mm/th, ketinggian 250-350 m dpl. Suhu rata0 0 rata berkisar antara 26 C - 27 C dengan kelembaban 70 %.
Kab. Purwakarta, Kec.Wanayasa, Ds. Legokhuni
Letak pada 06 39’ 378” SO 106 32’479’’E. Jenis tanah podsolik merah kuning, topografi sedikit O bergelombang dengan kelerengan 5 – O 10 dan ketinggian 620 meter dpl. Suhu 0 rata-rata 26 – 28 C dengan kelembaban 70-75 %, pencahayaan 15.000 – 62.500 flux. Lahan merupakan kebun campuran yang didominasi oleh tanaman teh serta beberapa tanaman keras seperti kopi, pisang, sengon, aren, manggis, cengkeh, pala, suren, kayu afrika, duren, rambutan, kelapa, nangka dan limus. Tanaman mindi merupakan tanaman peneduh yang cukup dominan, ditanam pada tahun 2001.
2
Kegiatan penelitian O
Percobaan tipe penyerbukan
O
Percobaan reseptivitas stigma dan viabilitas polen
O
Keragaman fenotipik keturunan (progeni)
13
Lanjutan Tabel 2
No
Lokasi
Kondisi umum
Kegiatan penelitian
Pemilik memanfaatkan kayu mindi sebagai bahan pembuatan mebel terutama lemari dan kursi. Kayu mindi dinilai lebih tinggi harganya dibandingkan dengan kayu sengon/jeungjing. O
O
3
Ds. Padasari, Kec.Cimalaka, Kab.Sumedang
Letak pada 06 47” S-107 56’E. Jenis tanah podsolik merah kuning, topografi bergelombang dengan ketinggian 600700 meter dpl. Suhu berkisar antara 26O 30 C dan kelembaban 80-85%. Plot penelitian berada di areal kebun milik masyarakat, dimana mindi tumbuh bercampur dengan jenis tanaman lain seperti buah-buahan, tanaman pangan dan jenis hutan lainnya seperti suren, sengon, kayu afrika dlsb.
4
Ds. Gambung, Kec.Ciwidey, Kab. Bandung
Letak pada 07 14’ S-107 56’E . Jenis andosol, topografi bergelombang dengan ketinggian 1340 m dpl, curah hujan rata-rata 1200-1600 mm/th 700, O O suhu berkisar 15 C – 28 C dengan kelembaban 40 % - 50 %.Tegakan mindi berada pada areal perkebunan teh sebagai pohon pelindung.
O
KAB.PURWAKARTA
O
Struktur genetik pohon induk dan keturunan
1.Pengamatan siklus reproduksi, inisiasi bunga dan morfologi bunga 2.Struktur genetik pohon induk dan keturunan
KAB. BANDUNG KAB. SUMEDANG
2 1 4
3
KAB. BOGOR
Gambar 2 Peta lokasi penelitian Aspek Biologi dan Genetika pada Sistem Reproduksi Mindi (Melia azedarach L) di Jawa Barat
14
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Umum Mindi 2.1.1 Sebaran dan Tempat Tumbuh Mindi Mindi merupakan jenis eksotik yang tumbuh baik dan tersebar luas di Indonesia. Di tempat asalnya yaitu Asia Utara (India dan Pakistan) dapat tumbuh hingga ketinggian 2.200 m dpl di kaki pegunungan Himalaya, menyebar hingga ke Solomon, Malaysia dan Indonesia. Kemudian menyebar antar benua yaitu Amerika (Amerika Serikat bagian selatan dan Hawai), Amerika Latin ( Argentina), Eropa (Croatia dan Perancis), China dan Australia (bagian timur dan selatan) (Hanum & van der Maesen 1997). Jenis ini dapat beradaptasi pada perbedaan kondisi yang luas mulai dari dataran rendah (1 – 1.200 m dpl) di Papua Nugini hingga ke dataran tinggi Himalaya (1.200-2.200 m dpl) dengan kisaran suhu dari – 5 0C hingga 39 0C dan curah hujan 600 – 2.000 mm/th (Hanum & van der Maesen 1997). Di Afrika ditanam sebagai tanaman peneduh yang toleran kekeringan dan di Amerika bagian selatan dan barat daya tumbuh liar pada daerah kering dengan curah hujan dibawah 600 mm/tahun. Menurut Heyne (1987) di Jawa mindi tidak tumbuh liar, tapi awalnya ditanam untuk pohon peneduh pada perkebunan kopi pada zaman pendudukan Belanda. Namun di perkebunan teh dan kina Gambung (Bandung Selatan) juga ditemukan mindi sebagai pohon peneduh tanaman teh yang berasal dari India yang ditanam dengan jarak 2,5 m x 2,5 m hingga umur > 10 tahun, kemudian dijarangi dan kayu hasil penjarangan digunakan untuk bahan bakar pada proses pengeringan di pabrik pengolahan teh. Selain itu penanaman mindi juga ditujukan untuk mengurangi serangan hama pada tanaman teh, karena daun dan biji mindi dapat digunakan sebagai biopestisida (Erwan Johan1) 2009 , komunikasi pribadi). 2.1.2 Karakteristik Pohon, Taksonomi dan Pemanfaatan 2.1.2.1 Karakteristik Pohon Tanaman mindi dapat mencapai tinggi total hingga 20 - 25 m dengan tinggi batang bebas cabang 8 - 20 m, diameter 60-80 cm setelah kurang lebih 20 tahun (Gambar 3). Batang silindris tanpa banir, tegak dengan kulit batang ada yang
16
beralur, halus atau berbintil. Bentuk tajuk relatif simetris dengan percabangan melebar, berdaun ringan, tipe daun majemuk, bentuk anak daun bulat lonjong dengan bagian tepi bergerigi atau kadang halus (Gambar 3 insert). Umumnya menggugurkan daun pada musim kering (decidoeus), bertunas setelah masa rontok daun yang diikuti dengan pembungaan. Berakar tunggang yang dalam dengan akar cabang yang banyak (Heyne 1987).
Dokumentasi: Dida Syamsuwida
Gambar 3 Tegakan pohon dan bentuk daun, rangkaian bunga dan buah mindi (insert) Bunga hermaprodit (organ jantan dan betina berada dalam satu bunga), berkelompok dalam satu rangkaian bunga majemuk yang disebut panicle (malai) bunga mekar berbau harum, kelopak bunga berwarna putih (6-7 mm) dengan kolom staminal ungu tua (3-4 mm). Bentuk buah bulat lonjong, berukuran panjang 1 – 2 cm, diameter 0,5 – 1 cm, berwarna kuning saat masak panen, berkulit licin. Buah terdiri atas 4-5 lokus yang masing-masing berisi satu biji, namun
yang
berkecambah
biasanya
hanya
2-3
(Syamsuwida,
tidak
dipublikasikan). Bagian perikarp yaitu lapisan kulit antara mesokarp (daging buah) dengan biji, sangat keras sehingga untuk mengecambahkan benih perlu perlakuan khusus.
17
Sifat kayu: Secara fisik kayu mindi tergolong kelas kuat III dengan berat jenis 0,53 (0,42-0,65) dan keawetan terhadap jamur pelapuk termasuk kelas II-III (Basri & Yuniarti 2006), kekuatan kayu mindi setara dengan mahoni, sungkai, meranti merah. Kayu teras pada pohon mindi berwarna merah coklat muda keunguan dengan kayu gubal berwarna putih kemerahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Serat lurus atau agak berpadu, berat jenis rata-rata 0,53 g/cm3, kerapatan 510-660 kg/m3. Besarnya penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur adalah 3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial). Pengeringan alami, pada papan tebal 2,5 cm dari kadar air 37% sampai 15% memerlukan waktu 47 hari, dengan kecenderungan pecah ujung dan melengkung. Pengeringan dalam dapur pengering dengan bagan pengeringan yang dianjurkan adalah suhu 60-80% dengan kelembaban nisbi 80-40% (Martawidjaja et al. 1989). 2.1.2.2 Taksonomi Klasifikasi tanaman mindi menurut sistematika (taksonomi) tumbuhan adalah sebagai berikut (Stanley & Ross 1983): famili
: Meliaceae
genus
: Melia
species
: azedarach Linn.
Sinonim: Melia australasica A. Juss. Melia composita Willd. Melia dubia Cavanilles Melia japonica Don. Melia bukayan Royle. Melia sempervirens (L.) Sw. Jenis lain yang berfungsi sebagai biopestisida alami serta satu famili dengan mindi adalah mimba (Azadirachta indica A. Juss). Jenis ini memiliki kemiripan dalam bentuk pohon, daun maupun buahnya. Mindi dan mimba dapat dibedakan dari karakteristik kanopi yaitu kanopi mindi lebih ringan dengan gerigi daun tidak terlalu tajam serta permukaan kulit biji berlekuk pada batas antar karpel (ruang biji). Permukaan kulit biji mimba rata (halus). Kulit batang mindi beralur lebih halus dibandingkan dengan mimba.
18
2.1.2.3 Pemanfaatan Tanaman Tanaman mindi dalam bentuk tegakan dapat dimanfaatkan sebagai tanaman ornamental, peneduh, penahan angin dan rehabilitasi hutan dan lahan. Sifatnya yang cepat tumbuh dan mampu tumbuh pada kondisi yang tidak optimal sangat cocok untuk penghijauan dan reklamasi lahan marjinal di area semi arid pada daerah tropis dan subtropis. Kayunya dapat diolah menjadi kayu papan, kayu bakar, pembuatan mebel, pertukangan, veneer, kayu lapis dan bubur kertas (pulp) (Florido et al. 2002). Pemanfaatan mindi untuk kayu bakar sangat baik karena dapat menghasilkan nilai kalor sebesar 5100 kcl/kg. Kayu mindi terbukti baik sebagai bahan baku mebel untuk ekspor dan dikembangkan secara domestik. Sifat kayu mindi yang mudah dikerjakan, dapat mengering tanpa cacat, sangat sesuai untuk pembuatan mebel (Gambar 4). Selain itu kayunya mengkilap dan menghasilkan venir bercorak indah seperti kayu mewah yang terdapat pada kayu sonokeling atau kayu kuku (Martawidjaia et al. 1989).
23cm
Dokumentasi: Dida Syamsuwida
Gambar 4 Papan mebel kayu mindi bercorak indah
Ekstrak daun mindi mengandung insektisida (azadirachtin) yang
dapat
digunakan sebagai bahan untuk mengendalikan hama pada pakaian dan belalang. Kulit mindi dipakai sebagai penghasil obat untuk mengeluarkan cacing usus. Kulit daun dan akar mindi telah digunakan sebagai obat reumatik, demam, bengkak dan radang. Selain itu, suatu glycopeptide yang disebut meliacin diisolasi dari daun dan akar mindi yang berperan dalam menghambat perkembangan beberapa DNA dan RNA dari beberapa virus misalnya virus polio (Khan et al. 2008).
19
Minyak biji adalah merupakan produk penghasil bahan obat paling aktif pada tanaman mindi yang dapat digunakan sebagai antiseptik untuk radang. Juga digunakan untuk rematik dan penyakit kulit serta pengobatan bagian dalam seperti demam malaria dan leprosi (Florido et al. 2002, Khan et al. 2008). 2.2 Biologi Reproduksi Seperti halnya terjadi pada semua makhluk hidup tingkat tinggi, umumnya tanaman secara alami memperbanyak diri melalui alat reproduksi yang terdiri dari organ jantan dan betina.
Perkawinan antara organ jantan dan betina
menghasilkan individu baru yang memiliki sifat gabungan antara kedua organ tersebut. Tanaman memproduksi biji karena secara alami tanaman memiliki kemampuan untuk mempertahankan jenis agar keberadaannya tetap lestari. Selain itu juga untuk menghasilkan individu baru yang beragam agar memiliki berbagai sifat yang menguntungkan. Biji sendiri adalah merupakan ovul yang sudah masak setelah dibuahi yang mengandung embrio, nutrisi tersimpan, integumen dan testa (Esau 1976). Proses reproduksi dimulai dari inisiasi atau induksi pembungaan. Inisiasi biasanya dibedakan dengan induksi. Inisiasi adalah suatu transisi dari meristem vegetatif (memproduksi primordia daun) menjadi apikal reproduktif (primordia bunga) yang akan berkembang menjadi bunga (Owens & Blake 1985). Perubahan ini dilihat secara anatomi dengan pemeriksaan mikroskopis, sedangkan induksi, perubahannya dilihat dari kandungan biokimia seperti asam nukleus, total protein, sintesis RNA, formasi ribosom dan indeks mitosis (Esau 1976, Sedgley & Griffin 1989). Perubahan terjadi beberapa hari, minggu atau bulan sebelum munculnya primordia (bakal) bunga. Inisiasi pembungaan terjadi setelah tanaman melewati fase juvenilitas. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya proses inisiasi pembungaan diantaranya : suhu, intensitas cahaya, panjang hari, kelembaban, mineral dan hara serta faktor cekaman (stress air, pelukaan, pencekikan dll) (Sedgley & Griffin 1989). Siklus reproduksi yang dimulai dari insiasi pembungaan, penyerbukan hingga menghasilkan individu baru pada tanaman Angiopermae di daerah tropis umumnya berlangsung beberapa bulan hingga satu tahun dan tidak diinterupsi oleh masa dormansi (Owens et al. 1991). Lamanya siklus reproduksi suatu jenis tanaman sangat bergantung pada dua faktor utama yaitu genetik dan lingkungan.
20
Siklus reproduksi pada tanaman sayuran misalnya berbeda dengan tanaman keras, secara genetis tanaman sayuran berumur lebih pendek daripada tanaman keras, sehingga siklusnya berlangsung lebih cepat. Tipe
organ
reproduksi
pada
individu
tanaman
bervariasi
seperti
hermaprodit (♂ + ♀ dalam satu bunga), monoecious (♂ + ♀ dalam satu tanaman), androecious (hanya menghasilkan bunga ♂), gynoecious (hanya menghasilkan bunga ♀) serta kombinasi antara karakteristik diatas (Schmidt 2000). Tanaman mindi termasuk tipe hermaprodit dan monoecious, sementara jenis Meliaceae lainnya seperti suren (Toona chinensis) memiliki tipe hermaprodit dan androecious (Hidayat 2008). Struktur organ reproduksi suatu jenis sangat kuat dipengaruhi oleh faktor genetika, namun demikian faktor lingkungan dapat merubah struktur reproduksi terutama dalam ukuran dimensinya melalui proses evolusi. Keragaman yang luas dalam hal ukuran dan morfologi bunga serta pola pemanjangan stamen dan stylus selama bunga hidup (anthesis) ditemukan pada jenis Collinsia dan Tonella yang merupakan jenis tanaman tahunan yang self-compatible (Armbruster et al. 2007). Memahami struktur dan sistem organ reproduksi tanaman hutan sangat penting dalam kaitannya dengan sistem perkawinan yang terjadi, sehingga manajemen penyerbukan dapat dilakukan secara tepat dengan memperhatikan bentuk, ukuran, warna dan aroma bunga yang dapat menarik vektor penyerbuk. Selain memahami struktur bunga dan sebagai bagian dari sistem organ reproduksi, informasi tentang kematangan polen dan reseptivitas stigma sangat penting dalam rangka mempelajari biologi reproduksi. Penyerbukan akan berhasil apabila terjadi sinkronisasi antara polen viabel dengan stigma yang reseptif. Polen yang sudah matang akan menghasilkan daya kecambah yang tinggi dan kematangan polen biasanya dicirikan dengan terbukanya antera (tempat polen diproduksi) dan menempelnya polen pada permukaan stigma.
Ketika
polen matang, secara otomatis kepala sari (antera) akan pecah dan menghamburkan butiran-butiran polen yang matang. Kematangan polen berhubungan dengan penurunan kadar air dan penyusutan jaringan pada stigma, yang merupakan fungsi higroskopis untuk membuka kantung polen. Mekanisme ini diduga merupakan fungsi alami dari tanaman untuk menghamburkan butiran polen demi kepentingan penyebaran dan regenerasi (Sedgley dan Griffin, 1989).
21
Butiran polen tersusun atas empat komponen mendasar: exine atau lapisan dinding terluar, intine atau lapisan dinding dalam (keduanya mengandung protein), pollenkit atau mantel (memberi warna pollen) dan colpi atau lubang germinasi (mengandung lemak) (Esau 1976). Secara visual, polen yang matang dapat dideteksi dari perubahan warna dan kelekatan (stickiness) butiran-butirannya (Sedgley & Griffin 1989, Ghazoul 1997). Perubahan warna permukaan butiran polen dari kuning pucat menjadi kuning terang mengindikasikan adanya peningkatan sporopollenin – bagian dari exine yang merupakan ciri spesifik dari suatu spesies yang mempengaruhi kenampakan luarnya dan pollenkit yang basah, lengket dan berwarna, mengandung lemak, protein, karbohidrat, pigmen, senyawa fenolik dan enzim. Peningkatan kelekatan butiran polen mengindikasikan bahwa polen tersebut telah siap untuk berkecambah dengan melakukan proses hidrasi dan melepaskan protein. Mekanisme hidrasi inilah yang dianggap paling menentukan dalam mengawali terjadinya proses penyerbukan, yang merupakan rangkaian dari proses interaksi jantan-betina, perkecambahan polen dan pembentukan tabung polen (Griffin & Sedgley 1989). Struktur polen beradaptasi dengan cara penyerbukan, apabila bentuk polen lonjong dengan ukuran < 300 µm atau agregat, dinding polen tebal, permukaan berminyak atau lengket maka penyerbukan biasanya dibantu oleh hewan. Sedangkan bentuk polen yang lonjong dengan ukuran> 50 µm, dinding polen tipis dan permukaan tipis tapi mudah menempel, penyerbukan dibantu oleh angin (Faegri and van der Pijl 1979). Penyebaran polen dan biji tanaman sangat berpengaruh terhadap pergerakan gen yang dibawanya. Polen dan biji tanaman semak sering berpencar dekat dengan pohon induk (Levin 1989). Implikasi dari penyebaran polen yang terbatas menyebabkan hubungan antara individu tanaman menurun, akibatnya penurunan fertilitas sering terjadi pada tanaman yang melakukan penyerbukan dengan pohon tetangga terdekat dibandingkan dengan pohon yang melakukan penyerbukan dengan pohon dengan jarak yang lebih jauh (Soute et al. 2002). Stigma diperlukan untuk mendukung hidrasi polen, perkecambahan dan inisiasi pertumbuhan tabung polen. Dukungan ini terjadi dalam periode dan waktu yang tepat selama perkembangan bunga, oleh karena itu reseptivitas stigma mempunyai implikasi yang penting dalam keberhasilan reproduksi
22
individu, biologi penyerbukan suatu populasi dan sistem persilangan jenis (Wyatt 1983, Kalisz et al. 1999, Heslop-Harrison 2000, Sanzol 2003). Reseptivitas stigma
didefinisikan
sebagai
kemampuan
stigma
untuk
mendukung
perkecambahan polen yang mana merupakan tahap yang sangat penting dalam keberhasilan penyerbukan dan sangat bervariasi antar spesies (Heslop-Harrison 2000). Secara umum masa reseptif stigma biasanya ditandai dengan : perubahan warna putik menjadi lebih terang, pembesaran pori-pori pada kepala putik, tangkai putik berangsur menjadi lurus , permukaan putik memproduksi sekresi. Secara visual, reseptivitas stigma dapat dideteksi dari perubahan kelekatan (stickiness), warna dan bentuk, baik pada kepala maupun tangkai putik (Sedgley &Griffin 1989, Owens et al. 1991). Pada saat reseptif stigma mengeluarkan sekresi yang berperan sebagai medium yang berfungsi untuk menangkap butiran polen, serta merupakan penentu keberhasilan pembentukan tabung polen yang akan membawa sel gamet jantan menuju ke ovarium (Sedgley & Griffin, 1989). Menurut Owens et al. (1991), sekresi ekstraseluler tersebut mengandung lemak dan protein yang meningkat pada saat reseptif (Ghazoul 1997). Perubahan warna permukaan putik dari hijau menjadi kuning terang, yang dimulai dari pangkal tangkai putik (stylus) juga menandai reseptifnya stigma. Makin terangnya warna stigma menunjukkan bahwa sel-sel epidermis terluar sedang berkembang untuk meningkatkan produksi sekresi dan pori-pori membesar untuk meningkatkan kemampuan sekresi (Jamsari 2006). Lamanya reseptivitas stigma berlainan untuk setiap jenis, biasanya penyerbukan yang dilakukan oleh bantuan angin lebih lama daripada jenis yang dibantu oleh serangga (Khadari et al. 1995). Reseptivitas dapat berlangsung selama kurang dari satu jam (jenis Avena) atau lebih dari satu minggu seperti pada Eucalyptus (Heslop-Harrison 2000). Fase reproduksi khususnya dari penyerbukan ke pembuahan sangat rentan terhadap kondisi lingkungan saat itu termasuk suhu (Stephenson et al. 1992). Suhu lingkungan dapat mempengaruhi reseptivitas stigma dimana kapasitas stigma dalam mendukung perkecambahan polen akan berkurang dengan semakin tingginya suhu (30 OC). Suhu optimal untuk reseptivitas stigma jenis Prunus avium terjadi pada suhu cukup rendah yaitu 10 OC, karena tanaman
23
ini merupakan jenis temperate dimana lingkungan habitatnya bersuhu rendah (Hedhly et al. 2003). 2.3 Keragaman Genetik dan Sistem Perkawinan 2.3.1 Keragaman Genetik Penilaian keragaman genetik di dalam suatu populasi tegakan merupakan langkah pertama untuk mengevaluasi keragaman genetik saat ini dan yang akan datang (Moran et al 1980). Penilaian untuk menduga (nilai duga) keragaman dari suatu populasi dapat berdasarkan variasi fenotipik dan variasi genetik. Penilaian ini dapat menduga tingkat keragaman genetik pada populasi tegakan alam ataupun populasi hasil penanaman. Keragaman genetik pada populasi hasil pertanaman tidak menunjukkan penurunan keragaman genetik yang signifikan dibandingkan dengan keragaman pada populasi tegakan alam (El-Kassaby & Ritland 1996). Hal ini mengindikasikan bahwa seleksi awal dan perlakuan silang (breeding) tidak menurunkan variasi genetik. Walaupun demikian, struktur genetik pohon induk sangat
kuat pengaruhnya terhadap keragaman benih
(keturunannya) (Nurtjahyaningsih 2008). Karena itu untuk mempertahankan tingkat keragaman genetik yang sama antara populasi pohon induk dengan anakannya, maka derajat perkawinan silang (outcrossing rate) (Moran et al. 1980) dan perkawinan acak yang diimbangi dengan kontribusi semua pohon induk dalam mewariskan gennya (Panmictic Equilibrium) harus tinggi (Chaix et al. 2003) serta harus sinkron dengan pembungaan pohon tetangga disekitar tegakan pohon induk (Gomory et al. 2003). Tingkat dan pola keragaman genetik pohon hutan sangat kuat dipengaruhi oleh sistem perkawinannya serta pergerakan gen diantara populasi dari jenis yang sama (penyebaran gen/gene flow). Sistem perkawinan pada pohon hutan bervariasi dan ada rentang dari mekanisme untuk melakukan penyerbukan silang (outcrossing) ke mekanisme penyerbukan sendiri (self pollination) (Finkeldey 2005). 2.3.2 Sistem Perkawinan Sistem perkawinan adalah sistem yang menentukan penggabungan gametgamet organisme yang berbeda yaitu gamet jantan (♂) dan betina (♀) untuk membentuk zigot (Sedgley & Griffin 1989).
Perkawinan pada tanaman
ditentukan oleh sistem seksual yang mungkin terjadi antara anggota populasi.
24
Oleh karena itu, sistem perkawinan sangat penting dalam membentuk struktur genotipik dari generasi selanjutnya. Menurut Finkeldey (2005) sistem perkawinan populasi tanaman melibatkan beberapa aspek penting yaitu diantaranya penyerbukan sendiri (selfing), penyerbukan silang (outcrossing), kawin acak (random mating), dan kawin berpilih (assortative mating). Tipe sistem perkawinan pada suatu jenis tanaman memiliki pengaruh yang kuat terhadap pola keragaman dan
sistem
perkawinannya sangat tergantung pada karakter yang dipilih (mating reference) untuk mengelompokan tipe-tipe perkawinan kedalam kawin acak ataupun berpilih. Pemilihan mating reference
tergantung pada keberadaan informasi
tentang frekuensi tipe (genotypes) di dalam populasi dan/atau pada aspek khusus dari sistem perkawinan (Starck, Gregorius 1988). Apabila frekuensi dan pemilihan tipe perkawinan yang tepat (mating reference) telah ditentukan maka karakter dasar dari suatu sistem perkawinan disebut sebagai mating preferences (perkawinan yang dikehendaki). Sistem perkawinan dalam suatu tegakan sumber benih perlu dipahami dengan benar karena akan mempengaruhi kualitas maupun kuantitas generasi keturunannya. Dikatakan bahwa potensi yang besar dari suatu sumber benih tidak akan terjadi secara maksimal pada generasi keturunannya apabila beberapa faktor tidak diperhatikan, seperti tidak seimbangnya produksi bunga betina dan bunga jantan, kurangnya sinkronisasi perkembangan diantara organ reproduksi, perbedaan kompatibilitas antar klon, frekuensi yang signifikan dari penyerbukan sendiri secara alami dan pengaruh yang tidak dikehendaki dari sumber polen ekternal (Burczyk & Chalupka 1997). Menurut El-Kassaby et al. (1984) proses pembungaan akan mempengaruhi keberhasilan perkawinan antar klon di dalam suatu populasi sumber benih, dengan demikian akan berdampak terhadap kualitas maupun kuantitas produksi benih yang dihasilkan. Kang (2000) juga mengindikasikan bahwa kelimpahan bunga merupakan kunci keberhasilan perkawinan, karena komposisi genetik pada suatu tegakan sumber benih sangat tergantung pada jumlah bunga betina dan jantan yang dihasilkan oleh populasi pohon induk. Demikian juga, proporsi relatif bunga betina dan jantan akan mempengaruhi jumlah benih bernas melalui tingkat ketersediaan polen ketika organ betina reseptif (Choi et al. 2004). Ikatan yang penting antara setiap generasi berikutnya dari jenis yang bereproduksi seksual adalah transmisi gamet dari organ jantan ke organ betina
25
(Nurtjahjaningsih 2008).
Pola transmisi adalah merupakan sistem perkawinan
suatu jenis (Hartl & Clark 1997), maka bersama-sama dengan aliran gen yang dimediasi oleh polen dan biji mempunyai pengaruh yang kuat terhadap struktur genetik populasi tanaman (Burczyk et al 2004, Dow & Ashley 1998). Berbagai tipe sistem perkawinan dijelaskan sebagai berikut (Finkledey 2005): Perkawinan Acak (random mating): Dalam populasi perkawinan acak, semua mating preferences adalah sama dengan satu. Sebuah tipe Ti dikatakan berkawin acak jika tidak menunjukkan adanya preferensi terhadap tipe tertentu lainnya. Preferensi kawin dari tipe Ti terhadap tipe Tj berarti tipe Tj lebih sering menjadi pasangan dari tipe Ti dibandingkan dengan ‘yang dikehendaki’ berdasarkan frekuensinya di populasi. Dalam hal ini tipe Ti lebih menyukai tipe Tj sebagai pasangan perkawinan (Finkeldey 2005). Perkawinan Berpilih (Assortative Mating): Kawin acak sulit terjadi pada jenis pohon hutan tropis yang mempunyai kerapatan rendah. Struktur spasial dan karakter pembungaan (early atau late flowering) akan menyebabkan adanya preferensi diantara tipe-tipe tertentu atau disebut perkawinan berpilih (assortative mating). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kawin berpilih adalah merupakan sebuah penyimpangan dari kawin acak.
Perkawinan Tidak Acak (Non-Random Mating): Dalam populasi pohon hutan perkawinan tidak acak diharapkan akan sering terjadi.
Hal ini disebabkan periode pembungaan yang jelas bervariasi
pada individu pohon, dan kemungkinan inkompatibilitas prezygotic pada kebanyakan jenis pohon angiospermae, memunculkan berbagai bentuk positif atau negatif dari assortative mating. Penyerbukan sendiri (self pollination) dimungkinkan terjadi pada jenis yang berumah satu (monoceous) dan hermaprodit, namun biasanya dicegah dengan mekanisme genetika yang luas atau perbedaan pematangan antera (putik jantan) dengan stigma (putik betina) yang kesemuanya disebut self-incompatibility.
26
Self-incompatibility secara genetis sering terjadi pada banyak pohon hutan tropis, yang ditandai dengan sedikit atau tidak ada pembentukan biji setelah melakukan penyerbukan sendiri (Bawa et al. 1985). Pada jenis konifer, umumnya yang terjadi adalah perbedaan waktu pematangan antara bunga jantan dan bunga betina, namun dapat juga karena pemandulan sendiri (self-sterility) dimana biji gugur sebelum matang dan kematian ini diduga karena matinya gen resesif, yaitu terjadi setelah individu yang berkerabat dekat melakukan penyerbukan (inbreeding) (NAS 1991). Pada tanaman mindi belum diketahui secara jelas model perkawinan yang terjadi. Walaupun struktur bunga memiliki tipe hermaprodit, namun belum diketahui apakah melakukan perkawinan sendiri atau silang atau campuran keduanya. Memperhatikan potensi reproduksi yang cukup tinggi pada tanaman mindi dengan keberhasilan reproduksi sebelum perkecambahan (KRSP) 34% (Syamsuwida 2009, tidak dipublikasi), maka diduga tanaman mindi banyak melakukan perkawinan silang (outcrossing), sehingga menghasilkan ratio ovul terhadap biji yang relatif tinggi. Walaupun hal ini masih perlu dikaji dengan menganalisis secara genetik pohon induk dan keturunannya untuk mengetahui derajat outcrossing tanaman mindi. 2.3.3 Penyimpangan Genotipe dalam Sistem Perkawinan (Inbreeding) Ketika polen dari suatu pohon
menyerbuki bunga yang terdapat pada
pohon itu sendiri, maka disebut penyerbukan sendiri (selfing). Hal ini juga dapat diterapkan pada penyerbukan yang terjadi antara ramet (bahan tanaman berasal dari organ vegetatif) dari famili yang sama. Meskipun ramet-ramet tersebut berbeda tanaman, mereka tetap identik secara genetik. Selfing sering terjadi pada geitonogami (penyerbukan dari bunga yang berbeda pada satu tanaman) dan autonogami (penyerbukan dari bunga yang sama). Kedua tipe sexual ini termasuk pada tumbuhan hermaprodit yaitu tanaman yang berbunga sempurna dimana gamet jantan maupun betina dihasilkan pada satu bunga yang sama. Penyerbukan sendiri ini tidak mungkin terjadi pada jenis tanaman yang dioecious (berumah dua dimana bunga jantan dan bunga betina dihasilkan pada dua individu yang berbeda). Untuk mengetahui seberapa besar ovul yang dibuahi oleh serbuk sari pada penyerbukan sendiri maka dapat diduga dengan besarnya derajat selfing s. Derajat selfing satu tanaman biasanya dipengaruhi oleh faktor genetik dan
27
lingkungan. Faktor penentu genetik yang benar-benar menolak selfing adalah system seksual dioecious dan system inkompatibilitas. Faktor genetik lain adalah postzygotic self-sterility (sterilitas otomatis setelah zigot) yaitu suatu mekanisme genetis yang menghasilkan keturunan hasil selfing dalam frekuensi rendah. Tanaman hutan yang biseksual, banyak yang mampu melakukan penyerbukan selfing dan outcrossing. Derajat selfing dari tanaman yang melakukan system perkawinan campuran tersebut menunjukkan variasi temporal dan spasial. Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh kondisi lingkungan pada sistem perkawinan campuran. Derajat selfing biasanya diduga berdasarkan pola variasi genetik pada lokus-lokus gen penanda yang terdapat pada keturunan dari satu pohon induk dan atau suatu populasi. Metode yang digunakan adalah pendugaan derajat selfing berdasarkan alelik yang jarang/unik pada lokus gen tertentu. Yang dimaksud dengan alelik yang jarang adalah alelik yang tidak dimiliki oleh pohon lain yang bereproduksi pada populasi yang sama. Alelik yang unik pada lokus gen yang ko-dominan akan mudah dikenali apabila pohon tersebut homozygot. Tetapi kasus ini jarang terjadi pada populasi alam. Pada populasi alam, alelik yang unik biasanya ditemukan pada organisme heterozigot. Metode lain yang digunakan untuk menduga derajat selfing adalah berdasarkan model perkawinan campuran. Struktur genotipik keturunan yang berasal dari selfing berbeda dalam banyak hal dari struktur genotipik keturunan hasil outcrossing. Keturunan hasil selfing hanya mempunyai alelik-alelik dari pohon induknya, pada seluruh lokus gen, meskipun genotipe sebuah keturunan dapat berbeda dari pohon induknya, apabila pohon induknya heterozigot. Keturunan hasil outsrossing membawa alelik-alelik yang ada di populasi. Penurunan proporsi heterozigot yang khas dapat diduga pada keturunan hasil selfing, bila dibandingkan dengan dengan keturunan dari outcrossing secara penuh. Penyimpangan genotipe biasanya selalu ada dalam sistem perkawinan dimana asumsi yang diberikan pada model perkawinan campuran tidak selalu terpenuhi pada populasi tanaman sesungguhnya. Misalnya, model perkawinan campuran mengasumsikan bahwa zigot yang berasal dari selfing atau crossing adalah secara acak. Namun ternyata, frekuensi alelik dari serbuk sari asing yang berhasil diasumsikan, tidak berbeda diantara pohon induk. Penyimpangan dan
28
asumsi lainnya dari model perkawinan campuran kemungkinan adalah jenis tanaman dengan kerapatan rendah. Penyimpangan dari asumsi model tersebut dapat menyebabkan lahirnya pendugaan yang tidak ada artinya secara biologis, seperti derajat outcrossing yang secara nyata lebih tinggi dari 1, sehingga konsekuensinya derajat selfing menjadi negative (suatu hal yang tidak mungkin terjadi) (Finkeldey 2005). Bentuk penyimpangan genotipe yang sering terjadi dalam sistem perkawinan adalah adanya inbreeding (penyerbukan dalam). Selfing bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya inbreeding. Beberapa mekanisme dapat mengurangi kemungkinan selfing, akan tetapi tidak dapat dilakukan pada inbreeding. Tingkat inbreeding tidak hanya ditentukan oleh sistem reproduksi alami, tetapi juga oleh struktur famili yang mana dipengaruhi oleh karakteristik polen dan penyebaran benih (Finkeldey 2005). Penyebaran polen dan benih yang melampaui
batas area dapat
meningkatkan kekerabatan genetik dari individu yang berdekatan didalam sebuah populasi perkawinan jadi berpotensi untuk inbreeding. Ketahanan hidup beberapa pohon dibandingkan dengan yang lainnya dalam sebuah populasi juga dapat
mengakibatkan
relatif
sedikitnya
individu
yang
secara
genetik
mendominasi gene pool . Hal ini, apabila dikombinasikan dengan faktor-faktor seperti ketidaksesuaian antara bunga jantan dan bunga betina, generasi yang overlapping didalam populasi, dan rasio seksual yang tidak sama, akan lebih berpotensi meningkatkan derajat inbreeding. Apomiksis, atau reproduksi uniparental yang tampaknya umum terjadi pada beberapa pohon hutan tropis (Ashton 1988), juga berkontribusi terhadap terjadinya inbreeding. Akibat dari faktor-faktor tadi, maka ukuran populasi yang efektif sehubungan dengan kapasitas reproduksi, sering lebih kecil daripada jumlah total pohon dewasa. Inbreeding dapat juga terjadi pada jenis pohon yang dioecious yang sepenuhnya menghasilkan
self-incompatible. penurunan
Konsekuensi
frekuensi
genetik
heterozygote
dari
inbreeding
dibandingkan
dengan
keturunan yang bukan inbreeding, yang mempengaruhi seluruh lokus-lokus gen.
29
2.4 Penanda Genetik Mikrosatelit Mikrosatelit atau SSRs (Simple Sequence Repeats) merupakan penanda genetik yang terdiri dari rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berulang secara berurutan. Penanda mikrosatelit sangat cocok untuk menganalisis tingkat keragaman genetik dalam populasi serta aliran gen yang terjadi dengan kriteria ko-dominan, allel ganda dan mengandung polimorfisme tinggi serta diwariskan mengikuti hukum Mendel (White & Powel 1997, Weising et al 2005). Akan tetapi, proses yang panjang dalam mengisolasi mikrosatelit dan frekuensi SSR yang relatif rendah pada tanaman (Powel et al. 1996), menyebabkan sekuen primer dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi satu spesies lain yang berdekatan secara taksonomis (dalam satu famili) (White & Powel 1997). Keuntungan lain yaitu apabila satu primer yang spesifik telah didesain, lokus SSR dapat diamplifikasi dari hanya sedikit sampel DNA dengan PCR. Primer PCR yang digunakan khusus untuk mengamplifikasi motif berulang yang hipervariabel dalam genom inti atau organel. Sehingga alel lokus tunggal yang tegas dapat dengan mudah dinilai. Akan tetapi, lokasi bermikrosatelit berbeda antar taxa, sehingga diperlukan pengembangan yang mahal dan sulit (Linhart 2002). Namun demikian, studi tentang konservasi mikrosatelit antar tanaman legume mengindikasikan bahwa ada potensi yang tinggi untuk mentransfer penanda mikrosatelit antar taxa yang berdekatan (Dayanandan et al. 1997). Karena polimorfisme yang tinggi maka mikrosatelit dipandang sebagai penanda molekuler paling informatif dalam memberikan informasi genetik untuk studi keragaman genetik pada populasi alam (Rafalski et al. 1996). Beberapa permasalahan dalam penggunaan penanda mikrosatelit diantaranya: 1) Pemilihan primer untuk mikrosatelit, banyak jenis primer yang telah didesain untuk analisis mikrosatelit pada tanaman. Primer-primer itu perlu diskrining dan dioptimasi sebelum diaplikasikan pada jenis tanaman tertentu, karena setiap tanaman mempunyai karakteristik spesifik yang berbeda satu sama lain 2) Slippage selama proses amplifikasi, termopolimerase dapat salah atau menyimpang sehingga menghasilkan produk yang berbeda dalam ukurannya. 3) Ukuran produk amplifikasi berbeda dari ukuran produk sebenarnya. Ketidakakuratan dalam identifikasi alel mungkin juga disebabkan oleh Taq polimerase yang menambah nukleotida adenosin sampai ujung 3’ produk amplifikasi.
30
Permasalahan juga dapat terjadi ketika pendataan dan dikenal dengan homoplasi. Homoplasi didefinisikan ketika dua alel dalam keadaan sama, tetapi tidak sama secara keturunan. Homoplasi dapat menyebabkan masalah dalam menganalisis genetika populasi, yaitu dapat mempengaruhi pengukuran keragaman genetika, aliran gen, jarak genetika, ukuran pohon tetangga, metode penetapan dan analisis filogenetika (Estoup et al. 2002). Karena kemampuannya dala menghasilkan pita polymorfik, mikrosatelit sangat cocok digunakan dalam mengidentifikasi secara individual, menilai keragaman genetik dan aliran gen serta mengindentifikasi provenan mimba India dan mimba Thailand (Boontong et al. 2008). Mikrosatelit bersama dengan AFLP juga digunakan dalam mengembangkan pemetaan gen yang baru (Gailing & Wuehlisch 2004). Teknik mikrosatelit telah banyak digunakan pada tanaman kehutanan seperti Azadirachta indica (Boontong et al. 2008), mahoni (Swietenia macrophylla) (Lemes et al. 2003, Lemes et al. 2010), Cabralea canjerana (Meliaceae) (Pereira et al. 2011), Phitocelebium elegans (Dayanandan et al. 1997). 2.5 Perbenihan Tanaman Mindi 2.5.1 Sumber Benih Benih yang baik selayaknya diperoleh dari sumber benih yang sudah diidentifikasi
sejarah
genetis,
sebaran
asal
mapun
kesesuaian
tempat
tumbuhnya. Hasil penelitian Pramono et al. (2008) menyatakan bahwa di Jawa Barat masih sedikit ditemukan tegakan mindi yang memiliki potensi untuk dijadikan sumber benih yang layak untuk disertifikasi. Namun demikian, berdasarkan
zonasi
ketinggian
tempat,
beberapa
daerah
dapat
direkomendasikan sebagai berpotensi untuk dikembangkan menjadi areal sumber benih hutan rakyat. Daerah tersebut diantaranya Kecamatan Cigugur – Kab. Ciamis, Kec. Wanayasa – Kab. Purwakarta, Kec. Megamendung dan Sukaraja – Kab. Bogor, Kec. Cimalaka – Kab. Sumedang, Kec. Babakan Rema Kab. Kuningan, Kec. Ciwidey – Kab. Bandung. Secara genetis, keragaman populasi tanaman mindi di hutan rakyat tersebut dikatagorikan sedang yaitu antara 0,16-0,19 (Yulianti 2011), dengan penampakan fenotipe batang dan tajuk yang memperlihatkan pertumbuhan tegakan yang baik.
31
2.5.2 Produksi Benih Produksi buah/benih mindi berkisar antara 15 -20 kg /pohon (Nurhasybi dan Danu 1997) dengan ratio bunga menjadi buah hanya berkisar 16,33 % (Aminah et al. 2008). Sementara itu hasil pengukuran potensi produksi buah mindi pada bulan Februari dan April 2009 di beberapa lokasi di Jawa Barat menghasilkan rata-rata dari 20 pohon yang diunduh setiap lokasi (5 lokasi) adalah berkisar antara 1,58 kg sampai 5,83 kg/pohon (Syamsuwida 2009, tidak dipublikasi). Produksi ini menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan produksi buah yang diukur pada tahun 1997 (Nurhasybi dan Danu 1997). Penurunan produksi buah dapat disebabkan banyak faktor diantaranya faktor lingkungan. Jumlah buah per kg rata-rata sebanyak 2.624 buah (data pengukuran April 2009 di tiga lokasi).
Di Jawa Barat masa pembungaan
serentak umumnya terjadi bulan Juli – September dan buah masak pada bulan Januari – Maret. Tanaman mindi mengalami masa pembuangan pertama ketika berumur 3 – 4 tahun pada kondisi tapak yang subur dengan drainase yang baik. Periode pembungaan dan pembuahan sekitar 6 – 7 bulan (Aminah et al. 2008), namun waktu terjadinya inisiasi pembungaan belum diketahui dengan tepat. Diduga inisiasi bunga terjadi pada periode yang cukup panjang setiap tahunnya (> 2 bulan), karena sering dijumpai dalam satu musim yang sama pada satu populasi, beberapa pohon mengalami pembungaan, pembuahan dan tunas muda secara bersamaan. Tanaman mindi telah diketahui sebagai tanaman berbunga hermaprodit dengan posisi antera dan stigma yang berdekatan, sehingga memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri. Namun belum diketahui apakah terjadi inkompatibilitas antara polen dengan stigma dari bunga yang sama yang menyebabkan penyerbukan sendiri tidak terjadi. Hasil pengamatan pendahuluan yang dilakukan secara sampling terhadap beberapa pohon mindi di Wanayasa – Purwakarta, menunjukkan bahwa keberhasilan reproduksi (KR) mencapai 11,5 % (Syamsuwida, tidak dipublikasi). Nilai ini mengisyaratkan cukup rendahnya potensi reproduksi hasil perkawinan yang terjadi pada saat musim panen bulan Februari 2009. Hasil pengukuran potensi produksi buah memperlihatkan nilai yang sangat rendah pula yaitu berkisar antar 1,58 – 5,83 kg/pohon, karena menurut laporan Nurhasybi dan Danu (1997) rata-rata produksi buah mindi di Bogor per pohon adalah 15 – 20
32
kg. Hal ini menunjukkan bahwa potensi reproduksi mindi di Wanayasa yang rendah mungkin terjadi karena adanya potensi penyerbukan sendiri yang menyebabkan kegagalan dalam menghasilkan biji yang viabel dan akibatnya produksi buah menjadi rendah. Produksi buah yang rendah pada saat diharapkan panen raya kemungkinan juga disebabkan rontoknya buah muda akibat terpaan angin/hujan atau iklim yang tidak mendukung, kurangnya nutrisi atau zat pengatur tumbuh (Sedgley & Griffin 1989).
III. ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI 3.1 Pendahuluan Biologi reproduksi tanaman mindi sejauh ini masih belum dipahami secara detail dengan baik dan pengetahuan mengenai biologi reproduksi sangat penting berkaitan dengan produksi benih. Banyak hal yang perlu untuk dipahami dan dikaji termasuk siklus reproduksi, morfologi pembungaan, reseptivitas stigma dan viabilitas polen serta tipe penyerbukannya. Siklus reproduksi biasanya dimulai dari inisiasi atau induksi pembungaan. Akan tetapi inisiasi bunga atau induksi bunga hanya dapat dideterminasi setelah melalui pemeriksaan mikroskopis atau analisis biokimia jaringan tunas (Owens & Blake 1985). Inisiasi bunga sangat berperan dalam menetapkan waktu yang tepat ketika akan melakukan upaya menginduksi pembungaan. Induksi pembungaan dilakukan untuk mempercepat pembungaan dan meningkatkan jumlah bunga yang pada gilirannya akan meningkatkan pembuahan (Moncur & Hasan 1994). Morfologi pembungaan mindi penting dipelajari untuk melihat struktur organ reproduksi betina. Setiap rangkaian bunga dan bunganya memiliki karakteristik tersendiri yang erat kaitannya dengan sistem penyerbukan, mulai dari warna petal (mahkota bunga), posisi bunga tegak atau menjuntai, letak antera dan stigma, ukuran stilus bahkan bau/aroma yang dikeluarkan bunga. Warna bunga (bagian petal) putih biasanya disukai oleh serangga jenis lebah atau ngengat (Faegri &
van der Pijl 1979). Bunga dengan stilus yang pendek memiliki
reseptivitas stigma lebih lama daripada bunga dengan stilus yang berukuran sedang maupun panjang. Hal ini terjadi karena stigma yang tersembunyi pada stilus berukuran pendek, lebih lambat mengalami pengeringan daripada stigma yang tersembul keluar dari corola (Waites and Agren 2006). Pada tipe bunga hermaprodit, letak antera dan stigma yang berdekatan dengan posisi hampir sejajar akan berpeluang terjadinya penyerbukan sendiri (selfing). Demikian juga dengan ukuran panjang stilus akan mempengaruhi efektivitas terjadinya mekanisme pembuahan (fertilization) (Waites & Agren 2006). Penyerbukan akan berhasil apabila terjadi sinkronisasi antara polen viabel dengan stigma yang reseptif. Reseptivitas stigma berhubungan dengan perubahan morfologi stigma yakni terjadinya pembesaran stigma dan permukaan stigma yang basah dan lengket dari eksudat (Baskorowati 2008). Reseptivitas
34
stigma
didefinisikan
sebagai
kemampuan
stigma
untuk
mendukung
perkecambahan polen dan merupakan tahap yang sangat penting dalam keberhasilan penyerbukan dan sangat bervariasi antar spesies (Heslop-Harrison 2000). Polen yang sudah matang akan menghasilkan daya kecambah yang tinggi dan kematangan polen biasanya dicirikan dengan terbukanya antera (tempat polen diproduksi) dan polen berhamburan keluar. Polen yang berkecambah ditandai dengan pertumbuhan tabung polen. Polen yang berkecambah pada permukaan stigma memberikan indikasi penerimaan stigma terhadap polen (Shanker &Ganeshaiah 1990). Tipe penyerbukan pada tanaman mindi dapat diketahui dengan melakukan penyerbukan sendiri dan silang terkendali (Palupi 2006), sehingga dapat diketahui kompatibilitas antara stigma reseptif dengan polen masak dari rasio jumlah bunga yang menjadi buah (fruit set) dan tipe penyerbukan dievaluasi dari hasil penyerbukan tersebut. Tujuan penelitian adalah mengkaji aspek biologi reproduksi tanaman mindi yang meliputi siklus reproduksi, morfologi bunga dan tahap perkembangannya, masa reseptivitas stigma dan viabilitas polen serta tipe penyerbukan.
3.2 Bahan dan Metode: Percobaan 1. Siklus reproduksi Pengamatan dilakukan pada plot penelitian di Desa Gambung (BandungJawa Barat). Bahan yang digunakan adalah tegakan mindi yang terdiri dari 10 pohon. Setiap pohon yang diamati dipasang tangga dari bambu serta dudukannya untuk memudahkan pengamatan. Metode penelitian adalah observasi langsung yang dilakukan terhadap pohon terpilih dengan menandai 3 cabang yang berbunga dari 10 pohon yang diamati. Setiap cabang ditandai dengan pita berwarna dan pada setiap cabang dipasang label plastik untuk setiap malai bunga yang tumbuh. Perkembangan pembungaan dan pembuahan per malai diamati mulai dari munculnya tunas bunga, bunga mekar, antesis, buah muda hingga buah masak dan jatuh. Setiap perubahan struktur pembungaan dan pembuahan diamati dengan mencatat waktu (tanggal, jam dan periode yang diperlukan untuk setiap perubahan), ukuran dimensi, bentuk dan warna kemudian dicatat dan
35
didokumentasi untuk setiap perubahannya. Metode penelitian ini dikembangkan dari Owens et al. (1991). Analisis data : analisis deskriptif Percobaan 2. Inisiasi Bunga Bahan yang digunakan adalah pohon induk mindi sebanyak 10 pohon. Pengambilan sampel tunas dilakukan pada plot penelitian di desa Gambung, kec. Ciwidey (Bandung-Jawa Barat). Peralatan yang digunakan adalah botol vial ukuran 10 ml, larutan FAA, cutter, pisau silet, pisau scalpel, parafin, vacuum desiccator, plat pemanas (45
O
C), mikrotome, freezer, gelas preparat, cover
glass, bahan pewarnaan (safranin dan anilin blue). Metode dilakukan secara sampling yaitu dengan cara mengambil beberapa contoh bakal tunas dari setiap pohon terpilih secara teratur setiap bulan selama 3 bulan. Tahap pengerjaan adalah sebagai berikut: sebanyak 10 (sepuluh) tunas diambil dari 10 pohon terpilih, tunas kemudian diiris memanjang (longitudinal) dan dimasukan ke dalam botol berisi larutan FAA (Formalin-Acetic Acid-Alcohol /5:5:90 (v:v:v)) sebanyak 10 ml untuk difiksasi. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dilakukan sayatan secara mikroskopis dengan menggunakan mikrotome. Proses penyayatan melalui beberapa tahap pengerjaan mulai dari pembuatan perahu parafin (paraffin boating), penempelan (embedding), penyayatan dengan ketebalan antara 0,5 dan 60 µm, peletakan pita parafin di atas gelas preparat dan pewarnaan dengan safranin dan anilin blue. Preparat pita
hasil
pewarnaan
selanjutnya
diamati
dibawah
mikroskop
dengan
pembesaran 40x (Owens et al.1991). Apabila hasil pengamatan di bawah mikroskop, memperlihatkan bentuk jaringan tunas reproduktif (primordia bunga) dari sampel pohon yang diambil pada bulan tertentu, artinya sudah terjadi proses inisiasi bunga pada bulan tersebut dan jumlah persentase sampel yang menunjukkan tanda inisiasi bunga.
Percobaan 3. Morfologi Bunga-Buah dan Tahap Perkembangan Bunga Pengamatan morfologi bunga di lakukan di plot penelitian di Desa Gambung (Bandung Selatan) bersamaan dengan pengamatan perkembangan pembungaan.
Dengan
demikian,
selama
pengamatan
perkembangan
pembungaan dilakukan juga pengamatan terhadap individu bunga dengan
36
mengukur setiap organ reproduksi, mengamati warna dan bentuknya. Jumlah sampel 5-10 bunga dari setiap malai (3 malai) yang diambil dari 5 pohon. Pengamatan organ reproduksi dilakukan khusus untuk melihat bagianbagian dari organ bunga lebih detil baik secara kasat mata maupun dengan pembesaran mikroskop 10x. Pengamatan morfologi polen dilakukan di bawah mikroskop pembesaran 40x. Hasil pengamatan morfologi bunga digambarkan dalam bentuk sketsa dan foto. Analisis data : analisis deskriptif
Percobaan 4. Reseptivitas Stigma dan Viabilitas Polen Pengujian Reseptivitas Stigma dan Viabilitas Polen (Kearns & Inouye 1993) : Bahan berupa bunga mekar pada hari pengamatan yang dikumpulkan dari beberapa malai masing-masing sebanyak 10 bunga, bahan dan peralatan lainnya seperti: larutan H2O2 3%, gelas preparat, cover glass, pinset, loupe, alkohol 70%. Metode untuk mengetahui waktu reseptivitas stigma, dimana stigma sudah siap diserbuki oleh polen, menggunakan metode. Aktivitas peroksidae stigma (SPA) digunakan untuk menguji adanya reaksi antara permukaan stigma dengan zat kimia H2O2 (hidrogen peroksida). Stigma dikumpulkan dari bunga yang mekar pada hari pengamatan dilakukan. Pengujian dilaksanakan setiap jam mulai dari pk. 08.00 s/d pk. 12.00. Cara pelaksanaan: Pada pk 08.00 dilakukan pengumpulan beberapa malai bunga dari pohon. Stilus yang masih menempel pada bunga, diemaskulasi dari bunga mekar kemudian diletakkan di atas gelas preparat yang telah ditetesi 3% hidrogen peroksida sebanyak 1-2 tetes dan ditutup dengan gelas penutup (cover glass). Setelah beberapa saat (2-3 menit) akan terlihat reaksi gelembung yang menandakan bahwa stigma telah reseptif. Sebanyak 10 stilus digunakan untuk menguji waktu reseptif stigma yang diulang 3 kali. Perlakuan ini dilakukan lagi pada satu jam berikut sampai dengan pk. 12.00. Data hasil yang diperoleh berupa skoring terhadap ada tidaknya gelembung sebagai respon reseptivitas yaitu nilai 1 jika ada respon dan 0 jika tidak ada respon. Data dianalisis menggunakan ANOVA dan uji beda menurut Tukey, pengolahan data menggunakan program Minitab versi 14.
37
Pengujian Viabilitas Polen (Brewbaker & Kwack 1963): Bahan berupa bunga yang dikumpulkan dari beberapa malai berasal dari 5 pohon dan peralatan seperti: inkubator, mikroskop, gelas haemotocytometer, larutan media perkecambahan, botol/vial ukuran 10 ml,
alkohol 70%, pipet,
pinset, scalpel, gelas preparat cekung, cover glass, hand counter, akuades. Metode
yang
digunakan
untuk
pengujian
polen
adalah
dengan
mengecambahkan polen pada kultur media. Dalam penelitian ini dilakukan perkecambahan polen menggunakan media Brewbaker dengan komposisi sebagai berikut (Brewbaker & Kwack 1963): -
Sukrosa (C6H2O6) 100 gr
-
Asam borat (H3BO3) 100 mg
-
Calcium nitrat (CaNO3)2H2O 300 mg
-
Magnesium sulfat (MgSO4 7H2O) 200 mg
-
Kalium nitrat (KNO3) 100 mg Dilarutkan dalam 1000 ml akuades Polen diambil dari bunga yang mekar pada hari pengamatan, dan lima
waktu pengambilan polen mulai dari pk. 07.00-08.00 s/d pk. 11.00-12.00, setelah itu langsung dikecambahkan. Cara
pelaksanaan:
Polen
pada
bagian
antera
diambil
dengan
menggunakan pinset steril dan diletakan di atas gelas preparat cekung yang sudah diberi beberapa tetes larutan media, kemudian diekstrak perlahan dan dimasukan ke dalam botol vial ukuran 10 ml yang sudah diberi larutan media 1 ml. Selanjutnya sampel polen ditempatkan dalam inkubator 25 ±1 OC dan diamati setiap hari sampai terlihat ada polen yang berkecambah. Pengamatan kecambah polen: Siapkan mikroskop elektron, kemudian letakan gelas haemocytometer di bawah mikroskop. Ambil larutan polen dari botol vial dengan menggunakan pipet steril yang sebelumnya larutan diaduk perlahan dan diteteskan di atas gelas haemocytometer kurang lebih satu tetes, biarkan tetesan memenuhi ruang pada alat haemocytometer, kemudian ditutup dengan gelas penutup (cover glass). Selanjutnya dengan menggunakan hand counter, hitung jumlah seluruh polen yang terlihat dan amati serta hitung jumlah polen yang berkecambah. Penghitungan polen diulang sekali lagi dengan meneteskan lagi larutan polen di atas haemocytometer. Kriteria polen yang berkecambah adalah ketika tabung polen sudah terlihat tumbuh dengan ukuran panjang 2 kali ukuran diameter polen (Owens et al 1991).
38
Respon yang diamati : persentase kecambah Analisis data : data dianalisis menggunakan ANOVA, dan uji signifikansi menurut Tukey, pengolahan data menggunakan program Minitab versi 14. Percobaan 5. Tipe Penyerbukan (Palupi 2006) Penyerbukan sendiri (self pollination): Penyerbukan sendiri dengan kontrol tangan : diemaskulasi
dan
secepatnya
dilakukan
bunga yang baru terbuka
penyerbukan
dengan
tangan
menggunakan polen dari pohon yang sama atau bunga yang sama antara pukul 07.00 sampai pk 10.00, kemudian ditandai dengan label dan malai ditutup dengan kain tile transparan. Penyerbukan sendiri secara alami : bunga yang baru terbuka dalam satu malai ditutup langsung dengan kain tile transparan, kemudian ditandai dengan label. Jika penyerbukan berhasil yang ditandai dengan membesarnya ovarium, maka polen dari bunga/tanaman yang sama kompatibel dengan stigma. Hal ini mengindikasikan terjadinya penyerbukan sendiri dan merupakan simulasi terjadi penyerbukan sendiri secara alami. Penyerbukan silang (cross pollination): Penyerbukan silang dengan kontrol tangan : diemaskulasi
dan
secepatnya
dilakukan
Bunga yang baru terbuka
penyerbukan
dengan
tangan
menggunakan polen dari bunga pohon yang lain antara pukul 07.00 sampai pk 10.00, kemudian ditandai dengan label dan malai ditutup dengan kain tile transparan. Penyerbukan silang alami : satu malai bunga yang baru mekar dibiarkan terbuka (tidak ditutup), kemudian ditandai dengan label. Jika penyerbukan berhasil yang ditandai dengan membesarnya ovarium, maka polen dari bunga pohon lain kompatibel dengan stigma. Hal ini mengindikasikan terjadinya penyerbukan silang dan merupakan simulasi terjadinya penyerbukan silang alami. Respon yang diamati: Jumlah bunga menjadi buah Analisis data: data dianalisis menggunakan ANOVA, signifikansi dengan uji jarak berganda Duncan, pengolahan data menggunakan SAS software
39
3.3 Hasil dan Pembahasan 3.3.1 Hasil Inisiasi Bunga Siklus reproduksi dimulai dengan terjadinya inisiasi bunga pada saat mulai membentuk primordia bunga (Gambar 5). Pengamatan jaringan tunas pada bulan Agustus menunjukkan bahwa inisiasi bunga telah terjadi dan mencapai 30%. Pengamatan pada bulan September menunjukkan adanya kuncup malai yang
sudah
dapat
diidentifikasi,
yang
memberikan
indikasi
terjadinya
perkembangan primordia bunga segera setelah inisiasi tanpa diselingi oleh dormansi kuncup generatif sebagaimana terjadi pada jati (Palupi et al. 2010).
Gambar 5 Irisan longitudinal meristem apikal (ma) mindi: tunas generatif memperlihatkan primordia bunga (pb), primordia daun (pd) jenis mindi [B]. A. tunas vegetatif: meristem apikal membentuk primordia daun dan B. Meristem apikal sudah membentuk primordia bunga Pengamatan jaringan tunas pada bulan September menunjukkan peningkatan inisiasi bunga sampai 70% dan pada bulan Oktober menurun menjadi 60% (Gambar 6). Data ini memberikan indikasi bahwa inisiasi bunga terjadi selama lebih dari 3 bulan (Gambar 7), tetapi persentase terbesar terjadi pada bulan September-Oktober. Hasil skoring pengamatan inisiasi dapat dilihat pada Lampiran 3.
Intensitas inisiasi pembungaan (%)
40
70
70 60 40 30
Agustus
30
September
Primordia daun
Oktober
Primordia bunga
Gambar 6 Grafik terjadinya bakal bunga dan bakal daun pada irisan sampel tunas. Siklus Reproduksi Siklus reproduksi mindi di desa Gambung, Kec Ciwidey (Bandung Selatan) berlangsung selama 5 – 6 bulan. Primordia bunga yang telah terinisiasi akan berkembang menjadi kuncup malai. Kuncup malai berkembang membentuk malai terbuka memerlukan waktu 4-5 hari (Tabel 3). Malai berkembang dan kuncup bunga membesar sampai individu bunga mekar memerlukan waktu 14-17 hari. Individu bunga mekar bertahan selama satu hari.
Perkembangan buah
dapat ditunjukan oleh ovarium yang mulai membesar yang dapat diamati pada 67 hari setelah bunga mekar dan akan berkembang menjadi buah muda sekitar satu minggu kemudian. Buah mencapai masak siap panen 71-92 hari atau duatiga bulan setelah bunga mekar yang ditandai dengan warna buah yang menguning. Proses perkembangan pembungaan dan pembuahan dimulai dari munculnya tunas generatif yang keluar dari ketiak daun berupa bendulan kecil, kemudian berkembang menjadi satu kuncup rangkaian bunga (bakal malai) yang masih menyatu. Kuncup bakal malai berkembang menjadi satu rangkaian bunga yang lebih jelas dengan bakal bunga masih menutup. Selanjutnya bunga pada malai bunga berkembang dengan petal (mahkota bunga) yang masih menguncup. Perkembangan selanjutnya individu bunga mekar dengan warna sepal putih dan kolom staminal berwarna ungu (kondisi bunga reseptif). Apabila terjadi penyerbukan, maka bunga akan menggugurkan bagian petalnya dan terlihat ovarium (bagian bawah pistil dimana sepal dan petal menempel) mulai
41
membengkak dan dalam kondisi masih tertutup kolom staminal. Ovarium (kantong embrio) makin lama makin besar dan membentuk buah muda berwarna hijau terang, selanjutnya menjadi buah dewasa dengan ukuran yang lebih besar dan warna hijau tua. Setelah mencapai ukuran tertentu (16-18 mm), warna buah akan berubah menjadi kuning dan coklat tua berkeriput sebelum akhirnya jatuh. Setelah buah jatuh, tanaman mindi tidak langsung merontokan daun, namun daun mengalami penuaan dengan perubahan warna daun dari hijau tua, memudar kemudian menguning dan beberapa bulan kemudian yaitu ketika memasuki bulan Juli mulai tampak sebagian tanaman menggugurkan daunnya sampai bulan Agustus dan bulan September terlihat tunas generatif muncul.
Morfologi bunga Mindi memiliki tipe bunga yang terdapat dalam satu rangkaian (malai) yang dikenal dengan tipe panicle (Esau 1976). Malai bunga berada pada ujung ranting dengan posisi tegak (tidak menjuntai). Satu malai terdiri dari 30-80 individu bunga yang berbau harum dan mekar secara bergantian mulai dari bagian pangkal. Setiap bunga memiliki lima petal (kelopak bunga/corolla) dengan panjang bunga 0,8-1,0 mm, diameter 0,1-0,2 mm, petal berwarna putih yang merupakan bagian bunga untuk menarik serangga (Gambar 8A), tiga sepal berwarna hijau muda dan sebuah kolom staminal berwarna ungu yang membungkus tangkai pistil yang pendek (Gambar 8B), dimana 8 (delapan) antera yang berbulu dengan warna kuning terang saat masak dan bagian stigma (kepala putik) berlendir berwarna hijau terang saat reseptif berada pada bagian ujungnya (Gambar 8C), bagian bawah stylus membesar membentuk ovarium yang terdiri dari beberapa lokus masing-masing berisi ovul. Pada dasarnya setiap bunga terdiri dari organ reproduktif steril dan fertil. Organ-organ seksual yang disebutkan terakhir adalah merupakan organ reproduktif yang fertil yaitu stamen yang terdiri dari antera dan filamen serta pistil yang terdiri dari stigma, stylus dan ovarium.
42 42 pembuahan mindi No
Periode (hari) >60
Waktu
Keterangan
1
Inisiasi pembungaan
2
Tunas generatif
5–6
Agustus Oktober September
3
Kuncup bakal malai
7–9
September
4
Bakal malai membuka, individu bunga masih tertutup Malai membesar, kuncup bunga membesar
4-5
September
10 – 12
September
Individu bunga mekar (anthesisi) Peiode reseptif
4–5
Oktober
1
Oktober
3–4
Oktober
9
Petal (mahkota bunga) gugur Ovarium membesar
6–7
Oktober
10
Buah muda
12 – 16
Oktober Nopember
Bag bawah pistil membengkak, berwarna hijau terang Tabung ovarium membesar, oval, hijau muda
11
Buah dewasa
20 – 25
NopemberDesember
Struktur buah sudah jelas, lebih besar, hijau tua
12
Buah masak fisiologis
30 – 40
Januari – Februari
13
Buah jatuh
30 – 50
Maret– April
Ukuran relatif sama dengan buah dewasa, berwarna kuning Buah mengkerut, keriput, kuning kecoklatan
5 6 7
8
Gambar 7 Siklus reproduksi tanaman mindi di Bandung Selatan-Jawa Barat
Tahap reproduksi
Bakal malai tertutup
Bunga pd tangkai malai bag.bawah sudah ada yang membuka tapi belum mekar Sebagian besar bunga mekar Stigma berlendir, anther terbuka dan butir polen menempel pada permukaan stigma
42
Tabel 3 Periode dan waktu perkembangan pembungaan dan
43
Gambar 8 Deskripsi organ bunga A] petal (p), B] pistil (ps) dan sepal (sp), C] anther (a), stigma (s) Tanaman mindi menghasilkan bunga hermaprodit yaitu organ ♂ dan organ ♀ terdapat dalam satu bunga, posisi antera dan stigma sangat berdekatan, sehingga berpeluang terjadinya penyerbukan sendiri (Gambar 8C). Antera merupakan bagian alat reproduksi jantan dimana polen (serbuksari) diproduksi. Bunga mekar sudah terlihat sejak pukul 07.00 dan tetap terbuka sampai siang hari. Petal gugur 3-4 hari setelah bunga mekar.
Gambar 9 Deskripsi polen (P), lubang pori (lp), dinding luar (ex), dinding dalam (in) dan polen yang berkecambah (KP) serta tabung polen (tp) Polen yang siap berkecambah dan yang sudah berkecambah berwarna putih terang (Gambar 9). Polen mindi berkecambah pada hari ke 7 – 14 pada media kultur Brewbaker (BB). Struktur dinding polen pada dasarnya terdiri dari lapisan luar (exine) dan lapisan dalam (intine). Permukaan dinding luar halus, memiliki 2-4 lubang pori (apertures) yaitu bagian dinding exine yang tipis, tempat
44
dimana tabung polen keluar ketika berkecambah dan saat volume polen berubah karena kelembaban meningkat (Esau 1976). Tahap Perkembangan Bunga Tahap perkembangan bunga dikelompokkan menjadi 5 fase (Tabel 4). Tahapan dimulai dari fase kuncup berwarna hijau yang merupakan bentuk sepal menutup rapat. Fase selanjutnya terjadi perkembangan kuncup sampai bunga mekar dengan posisi petal putih membuka ke atas dimana kolom (pembungkus) pistil berwarna ungu dan antera kuning terlihat. Pada fase ini aroma yang cukup tajam tercium dan tampak serangga mulai berdatangan karena kemungkinan tertarik dengan warna putih petal dan aroma yang keluar. Fase 5 menunjukkan kondisi antera yang membuka dengan polen yang sudah terlepas dan stigma hijau terang (reseptif).
. Tabel 4 Tahap perkembangan bunga mindi Fase Perkembangan
1
Deskripsi 1. Kuncup berwarna hijau, saat sepal menutup rapat
3 mm
2
7 mm
3
2. Kuncup berwarna putih ketika petal muncul dari sepal 3. Kuncup bunga memanjang, petal memisah, diantara celah petal terlihat staminal ungu
4
7 mm
5
1 mm
4. Bunga mekar, kolom staminal berwarna ungu terlihat, antera berwarna kuning terletak pada ujung kolom staminal 5. Antera membuka, polen keluar berhamburan, stigma berwarna hijau terletak di tengah antera
45
Morfologi Buah Apabila terjadi fertilisasi, ovarium membesar, bagian stigma menonjol sedikit dari kolom staminal yang makin lama semakin menonjol dan bagian ovarium semakin membesar. Perkembangan selanjutnya bagian ovarium membentuk buah muda berwarna hijau, bagian stigma dan antera mengering (Gambar 10). Mindi rata-rata mempunyai lima ovul yang akan berkembang menjadi biji. Namun, umumnya hanya tiga biji ditemukan dalam satu buah. Penampang melintang ovarium terdiri dari beberapa lapis yaitu mulai dari lapisan terluar disebut exocarp, kemudian mesocarp yang akan berkembang menjadi daging buah, endocarp yang akan berkembang menjadi kulit buah yang keras dan lokus yaitu ruang-ruang yang didalamnya terdapat ovul (Ng 1992).
Gambar 10 Perkembangan ovarium menjadi buah muda
Morfologi buah terdiri dari bagian eksokarp (lapisan terluar yang membungkus buah), mesokarp (lapisan yang bertekstur lembut), endokarp (lapisan yang bertekstur keras), lokus (ruang tempat biji berada) dan biji yang dilapisi testa (kulit biji) berwarna hitam apabila masak.
46
Gambar 11 Pembesaran ovarium [ovr], stilus [st] A) irisan melintang ovarium memperlihatkan 5 ovul [ovl] B) dan penampang melintang buah (bh) memperlihatkan lokus [lk], endokarp [end] dan biji [s] C) Buah mindi termasuk tipe drupe (Ng 1992), yaitu buah yang ditandai dengan pengerasan lapisan perikarp bagian dalam (endocarp). Buah muda berwarna hijau terang berukuran panjang 5 – 10 mm, membesar dan menjadi buah masak (fisiologis) dengan warna kuning dan berukuran rata-rata diameter 12 mm, panjang 18 mm. Biji di dalam lokus berukuran panjang rata-rata antara 68 mm. Untuk dijadikan bahan tanaman, buah masak harus diekstraksi terlebih dahulu untuk menghilangkan daging buah, selanjutnya dikering-anginkan sehingga memperoleh benih kering dengan kadar air 15% - 20% (Nurhasybi & Sudrajat (2008). Pengertian benih dalam studi ini adalah buah hasil ekstraksi yang sudah kering dimana di dalamnya terdapat beberapa buah biji (Gambar 12B). Tipe kecambah mindi adalah epigeal yaitu kotiledon terangkat di atas permukaan tanah berdasarkan klasifikasi Ng (1992).
Gambar 12 Buah masak berwarna kuning (A) dan benih kering (B)
47
Reseptivitas Stigma dan Viabilitas Polen Persentase reseptivitas stigma bervariasi mulai dari pengumpulan pk. 08.00 s/d pk 12.00 yaitu berkisar antara 40-73,33%. Bunga mindi mulai mekar pada pk.07.00 dan terus mekar secara bergantian sampai pk 11.00. Pengamatan reseptivitas stigma yang dimulai pada pk. 08.00 menunjukkan tingkat reseptif sekitar 66% sampai pk. 11.00. Pada pk 12.00 reseptivitas stigma sudah menurun mencapai 40%. Hasil skoring stigma reseptif dan perkecambahan polen dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 5 Persentase reseptivitas stigma dan perkecambahan polen mindi
Waktu Pk 07.00
Reseptivitas stigma -
Viabilitas polen 7,03 a
Pk.08.00
63,33 a
4,99 a
Pk.09.00
73,33 a
5,08 a
Pk.10.00
66,66 a
5,53 a
Pk. 11.00
66,66 a
4,89 a
Pk.12.00
40,00 b
-
Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang berbeda yang berbeda menyatakan perbedaan signifikan pada α = 5% Pengamatan viabilitas polen mindi yang diambil dari bunga yang mekar pada hari pengamatan berkisar antara 4,89-7,03%. Pengamatan viabilitas polen pada pk. 07.00 mencapai 7% yang tidak meningkat sampai pk.11.00. Dari hasil pengamatan ini diduga penyerbukan dapat terjadi antara pk.08.00-11.00, walaupun pengamatan yang lebih detail terkait hal ini perlu dilakukan. Suhu lingkungan pada percobaan reseptivitas stigma dan viabilitas polen dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tipe Penyerbukan Persentase bunga yang menjadi buah hasil penyerbukan secara alami dengan kondisi terbuka (PAB) berkisar antara 75-79%. Sedangkan hasil penyerbukan terkendali dengan polen yang diambil dari pohon sama (PBPS)
48
menghasilkan persentase bunga menjadi buah antara 25-50%. Pengamatan penyerbukan alami dengan kondisi malai ditutup (PAT) menunjukkan angka ratarata jumlah bunga menjadi buah sebesar 57% dan penyerbukan buatan dengan polen yang diambil dari pohon lain (PBPL) memperlihatkan jumlah rata-rata bunga menjadi buah sebesar 70%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bunga yang disilang terkendali (hand pollination) dengan menggunakan polen dari pohon yang sama (PBPS) memberikan indikasi adanya penyerbukan sendiri (selfing) (Gambar 13). 0.90
A AB
Rasio buah/bunga
0.80 AB
0.70 0.60
B
0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 PAB
PAT
PBPS
PBPL
Cara penyerbukan
Gambar 13 Grafik rasio buah/bunga (fruit set) mindi setelah penyerbukan PAB : Penyerbukan terbuka PAT : Penyerbukan sendiri alami PBPS : Penyerbukan sendiri terkendali PBPL : Penyerbukan silang terkendali
3.3.2 Pembahasan Siklus reproduksi mindi pada lokasi tegakan di Gambung (Bandung Selatan) berlangsung selama 5-6 bulan dimulai dari munculnya tunas generatif pada bulan September. Pembentukan bunga pada siklus reproduksi diawali dengan terinisiasinya primordia bunga yang terjadi selama lebih dari 3 bulan. Pada bulan Agustus sudah terdeteksi adanya primordia bunga dan persentase terbesar terjadi pada bulan September-Oktober. Sebagian kuncup malai sudah dapat diidentifikasi pada bulan September yang menunjukkan bahwa primordia bunga tidak mengalami dormansi tetapi langsung berkembang menjadi kuncup
49
malai. Pengamatan jaringan tunas pada bulan September dan Oktober masih menunjukkan persentase inisiasi bunga yang tinggi (60-70%). Data ini menunjukkan kemungkinan besar inisiasi bunga masih berlangsung pada bulan berikutnya, namun hal ini perlu dijelaskan dengan pengamatan lebih lanjut. Umumnya inisiasi pada jenis tropis berlangsung dalam waktu yang lama seperti pada jenis Shorea stenoptera (Diprterocarpaceae) berlangsung selama lebih dari enam bulan (Syamsuwida & Owens 1997). Pada bulan Oktober sebagian besar bunga mekar dan menjadi buah muda 12-16 hari kemudian. Tahap dari buah muda menjadi buah yang siap panen memerlukan waktu 50-65 hari (Tabel 3) atau jatuh pada bulan JanuariFebruari. Periode perkembangan bunga menjadi buah masak pada tanaman mindi tidak sama untuk setiap daerah. Seperti yang dilaporkan Aminah et al (2009) hasil pengamatan fenologi pembungaan mindi di Bogor menunjukkan pembungaan dimulai dengan ditandai tunas generatif muncul pada bulan Agustus, lebih cepat satu bulan dari tanaman mindi yang diamati di Gambung pada tahun yang sama. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan tempat tumbuh dengan ketinggian dan faktor iklim yang berbeda menyebabkan waktu mulai terjadinya pembungaan yang berbeda pula (Bawa et al 2003). Menurut Gibblin (2005) variasi geografis dalam ketahanan pembungaan didukung dengan adanya perbedaan spesifik gender pada respon yang kondisional terhadap kesesuaian kecepatan pertumbuhan. Selain itu masa pembungaan akan lebih panjang ketika kesesuaian kecepatan pertumbuhan lebih rendah dan pengeluaran energi dalam mempertahankan pembungaan (floral maintenance costs) juga sedikit. Ketahanan pembungaan dalam periode waktu tertentu dipengaruhi oleh jumlah bunga dalam satu malai. Bunga mekar dalam malai yang sebelumnya sebagian kuncup bunganya dibuang memperlihatkan ketahanan mekar (antesis) yang lebih lama daripada kontrol dan ketika bunga tersebut diserbuki, maka dengan cepat bunga (bagian petal) layu (Abdala-Roberts 2007). Dengan demikian ada kemungkinan dalam satu populasi dari jenis yang sama, terdapat perbedaan ketahanan pembungaan yang dipengaruhi oleh jumlah individu bunga dalam malai serta proses penyerbukan yang terjadi. Posisi stigma (alat kelamin ♀) di dalam bunga mempengaruhi efisiensi transfer polen (Waites and Agren 2006). Walaupun demikian, menurut Kittelson and Maron (2000) proporsi penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang dalam suatu populasi dipengaruhi oleh self-sterility, perilaku pembungaan dan
50
keberadaan/aktivitas agen penyerbuk. Struktur dan warna bunga berkaitan erat dengan agen penyerbuk. Menurut Sedgley and Griffin (1989), karakter malai bunga (inflorescence) dan struktur bunga sangat erat kaitannya dengan tipe penyerbukan baik yang yang dilakukan oleh hewan atau angin. Bunga mindi berwarna putih atau krem, berbentuk seperti mangkok yang terdiri dari 5 petal (mahkota bunga), memiliki tempat mendarat dan bunga tegak (Gambar 8A), memberikan indikasi bahwa lebah dan ngengat merupakan polinator untuk jenis ini (Faegri and van der Pijl, 1979). Namun demikian, dugaan ini masih perlu dibuktikan dengan penelitian lebih spesifik terhadap vektor penyerbuk tanaman mindi. Menurut Hedhly et al. (2003) suhu lingkungan dapat mempengaruhi reseptivitas stigma dimana kapasitas stigma dalam mendukung perkecambahan polen akan berkurang dengan semakin tingginya suhu (30 pengamatan mindi, suhu berkisar antara 24-30
O
C). Pada
O
C pada pk.08.00-11.00
merupakan suhu yang optimal untuk reseptivitas stigma dan semakin siang reseptivitas berkurang ketika suhu juga semakin meningkat (antara 32-33 OC) pada pk. 12.00. Bunga mindi memiliki tipe malai yang mekar secara simultan antar ranting dan bunga bersifat hermaprodit dimana letak antera dan stigma sangat berdekatan. Stigma berada di tengah kolom staminal yang pada bagian ujungnya terdapat 8 antera. Masa reseptif stigma dan polen yang viabel terjadi pada rentang waktu yang sama (pk 07.00-11.00) yang menunjukkan masa terjadinya penyerbukan (Tabel 5). Karakter bunga mindi yang mekar bersamaan antar malai serta memiliki tipe hermaprodit dengan posisi stigma dan antera yang berdekatan dan periode penyerbukan pada rentang yang sama menyebabkan peluang terjadinya penyerbukan sendiri (selfing) sangat besar. Hasil pengamatan terhadap tipe penyerbukan bunga mindi juga memberikan indikasi adanya penyerbukan sendiri (Gambar 13). Walaupun demikian, kesimpulan ini masih perlu didukung dengan penjelasan lebih lanjut melalui analisis molekuler yang secara genetis dampak terjadinya selfing akan diwariskan kepada keturunannya (progeny) sehingga terjadi penurunan kualitas benih atau anakan karena adanya penyimpangan genetik (Wiens et al 1987). Berkaitan
dengan
tipe
seksual
bunga
mindi,
Styles
(1972)
mengklasifikasikan mindi sebagai jenis andromonoecious dimana tanaman menghasilkan dua tipe bunga yaitu hermaprodit dan bunga jantan. Pengamatan
51
dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa tanaman mindi yang tumbuh di Desa Gambung, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, hanya menghasilkan bunga hermaprodit. Dalam hal ini, dapat saja terjadi ketika tanaman tumbuh pada lokasi yang berbeda dengan kondisi lingkungan yang sangat berbeda, seperti yang dinyatakan oleh Ambruster et al (2007) bahwa struktur reproduksi tanaman dapat berubah secara evolusi baik oleh faktor genetik
maupun
lingkungan. Penyerbukan sendiri pada tanaman hermaprodit kadang-kadang mampu menghasilkan biji yang viabel. Tanaman tersebut disebut self compatible. Hasil pengamatan penyerbukan pada mindi memperlihatkan bahwa tanaman ini memiliki kemampuan baik melakukan penyerbukan silang (outcrossing) rata-rata sebesar 70% maupun sendiri (selfing) yang mencapai persentase rata-rata 42% (Gambar 13). Menurut Karon (1987) nilai yang dicapai pada penyerbukan sendiri adalah termasuk katagori self compatible. Mekanisme terjadinya fertilisasi (pembuahan) pada jenis self compatible masih belum jelas, namun menurut Souto et al (2002) jenis ini memiliki stilus yang berpotensi sebagai saringan selektif yang dapat secara efektif membedakan genotip polen donor. Waites and Agren (2006) menyatakan bahwa pada tanaman Lythrum salicaria yang memiliki beberapa tipe posisi stigma dan antera, ternyata tipe medium dengan stigma di luar corola (kelopak bunga) menghasilkan seed set paling tinggi melalui proses penyerbukan sendiri (selfing pollination) dan ini menunjukkan jenis yang self compatible. Memperhatikan karakteristik penyerbukan tanaman mindi yang bersifat outcrosser maupun selfer, maka dapat dikatakan bahwa mindi memiliki sumber polen yang cukup berlimpah yang dapat memenuhi kebutuhan proses penyerbukannya. Menurut Widura (2011) tanaman yang dapat menyediakan polennya sendiri, akan memiliki tingkat inbreeding yang tinggi sehingga ia mampu berkembang dengan baik. Namun hal ini perlu dijelaskan lebih lanjut pada hasil analisis struktur inbreeding selanjutnya. Dengan demikian, walaupun tanaman mindi monocious dan self-compatible ternyata juga melakukan penyerbukan silang sehingga termasuk memiliki sistem reproduksi campuran dengan penyerbukan silang yang dominan.
IV ASPEK GENETIKA REPRODUKSI Pendahuluan Penilaian sumber benih mindi pada hutan rakyat harus berdasarkan kepada informasi genetik pohon induk yang ada di dalam populasi tegakan. Penilaian keragaman genetik di dalam suatu populasi tegakan merupakan langkah pertama untuk mengevaluasi keragaman genetik saat ini dan yang akan datang (Moran et al 1980). Informasi genetik sangat diperlukan untuk melihat tingkat keragaman yang dimiliki pohon induk. Apabila tingkat keragaman rendah atau sempit di dalam suatu populasi terutama dalam luasan yang terbatas maka kemungkinan akan terjadi depresi silang dalam (inbreeding depression) yang akibatnya akan menurunkan kualitas genetik keturunannya atau generasi berikutnya, sehingga keragaman genetik secara populasi akan menurun (Finkeldey 2003). Keragaman genetik adalah variasi yang dapat diwariskan dalam populasi sebagai hasil dari perbedaan alel yang ada dalam gen. Penilaian untuk menduga (nilai duga) keragaman dari suatu populasi dapat berdasarkan variasi fenotipik dan variasi genetik. Penilaian ini dapat menduga tingkat keragaman genetik pada populasi tegakan alam ataupun populasi hasil penanaman. Keragaman genetik pada populasi hasil pertanaman tidak menunjukkan penurunan keragaman genetik yang signifikan dibandingkan dengan keragaman pada populasi tegakan alam (El-Kassaby & Ritland 1996). Hal ini mengindikasikan bahwa seleksi awal dan perlakuan silang (breeding) tidak menurunkan variasi genetik. Walaupun demikian, struktur genetik pohon induk sangat
kuat pengaruhnya terhadap
keragaman benih (keturunannya) (Nurtjahyaningsih 2008). Karena itu untuk mempertahankan tingkat keragaman genetik yang sama antara populasi pohon induk dengan anakannya, maka derajat perkawinan silang (outcrossing rate) (Moran et al. 1980) dan perkawinan acak yang diimbangi dengan kontribusi semua pohon induk dalam mewariskan gennya (Panmictic Equilibrium) harus tinggi (Chaix et al. 2003) serta harus sinkron dengan pembungaan pohon tetangga disekitar tegakan pohon induk (Gomory et al. 2003). Akan tetapi terbukti banyak jenis pohon baik pada populasi alam maupun populasi tanaman mengalami penyimpangan genotipe dari perkawinan acak (random). Sehingga penyimpangan dari proses random dalam sistem reproduksi adalah merupakan
54
suatu ketetapan dibandingkan sebagai pengecualian dalam populasi tanaman hutan (Muller-Starck & Liu 1989). Salah satu cara untuk mendeteksi keragaman genetik pohon induk dan anakan dalam satu populasi sumber benih adalah dengan marka DNA. Beberapa pendekatan marka DNA untuk menentukan variabilitas genetik tanaman hutan telah banyak digunakan antara lain RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphysm), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA, AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphysm) dan SSRs (Simple Sequence Reapets) atau Microsatellite. Mikrosatelit atau SSRs merupakan penanda genetik yang terdiri dari rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berulang secara berurutan. Penanda mikrosatelit sangat cocok untuk menganalisis tingkat keragaman genetik dalam populasi serta aliran gen yang terjadi dengan kriteria ko-dominan, allel ganda dan mengandung polimorfisme tinggi serta diwariskan mengikuti hukum Mendel (White & Powel 1997, Weising et al 2005). Teknik mikrosatelit telah banyak digunakan pada tanaman kehutanan seperti Azadirachta indica (Boontong et al. 2008), mahoni (Swietenia macrophylla) (Lemes et al. 2003, Lemes et al. 2010), Cabralea canjerana (Meliaceae) (Pereira et al. 2011), Phitocelebium elegans (Dayanandan et al. 1997). Tujuan penelitian adalah menganalisis keragaman genetik populasi pohon induk dan keturunannya serta menganalisis penyimpangan struktur genetik dari kesetimbangan Hardy-Weinberg . 4.1 Struktur Genetik Populasi Pohon Induk dan Keturunan 4.1.1 Bahan dan Metode Bahan: Bahan yang terdiri dari sampel daun muda pohon induk (20 sampel pohon) dan keturunan (20 sampel) diambil dari dua lokasi tegakan mindi yaitu PadasariSumedang (letak pada 06
O
47” S-107O56’E, ketinggian 600-700 meter dpl.) dan
Gambung-Bandung (Letak pada 07 O14’ S-107O56’E ketinggian 1340 m dpl) , penanda DNA microsatellite dan bahan kimia untuk pengujian. Pemilihan lokasi pengambilan sampel didasarkan atas pertimbangan perbedaan ketinggian tempat tumbuh dan letak geografis yang diasumsikan
55
memiliki perbedaan dalam keragaman genetiknya. Asumsi ini berdasarkan pertumbuhan pohon dan produksi benih mindi di kedua lokasi yang menunjukkan perbedaan (Yulianti 2011, Atmandhini 2011). Alat yang digunakan di laboratorium untuk analisis DNA, meliputi: centrifuge, waterbath, microwave, timbangan analitik, mesin PCR, kamera digital, freezer, bak electrophoresis , bak vacuum dan peralatan gelas. Metode: Estimasi keragaman genetik pohon induk dan keturunannya dilakukan terhadap sampel yang diambil dari dua lokasi. Penanda DNA yang digunakan dalam studi ini adalah
microsatellite. Mikrosatelit adalah penanda DNA co-
dominant dan dicirikan dengan tingkat polymorfisme yang tinggi (Nurtjahjaningsih 2008). DNA diekstraksi dari sampel daun pohon induk dan anakan dengan menggunakan buffer CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) yang dimodifikasi. Kemudian dilakukan uji kualitas dan kuantitas DNA hasil isolasi, seleksi primer, amplifikasi DNA melalui proses PCR dengan menggunakan primer mikrosatelit. Selanjutnya elektroforesis dan visualisasi hasil amplifikasi (Aritonang et al. 2007). Seleksi primer dilakukan terhadap 8 pasang lokus primer untuk mimba (Azadirachta indica) (Tabel 10) (Bontoong et al. 2008). Pada proses PCR digunakan primer hasil seleksi yang mampu mengamplifikasi DNA tanaman mindi. Primer yang berhasil diamplifikasi secara mikrosatelit dari semua sampel yang dianalisa diisolasi, kemudian dilihat lokus mana yang co-dominant, polymorphic, monomorphyc, pita ganda atau tidak teramplifikasi. Prosedur secara detail pengerjaan analisis DNA di laboratorium diuraikan dalam Lampiran 6. Parameter yang diukur: Persentase lokus polimorfik (PPL), jumlah alel yang terdeteksi (Na), jumlah alel efektif (Ne), heterosigositas (Ho), ekspektasi heterosigositas (He), koefisien inbreeding (F), indeks fiksasi (Fis), perbedaan genetik (Fst), Indeks pedigree (Fit) dan AMOVA (Analysis of Molecular Variance) (Lemes et al. 2002; Siregar
2000). Penyimpangan genetik dari struktur
Hardy_Weinberg dan struktur inbreeding diolah secara manual. Pengolahan data untuk menganalisis keragaman pohon induk dan turunannya dalam populasi dan
56
antar populasi digunakan perangkat lunak PopGen versi 1.31 (Raymond M & Rousset 1998) dan GenAlEx 6.3 (Peakall & Smouse 2006).
Tabel 6 Delapan pasang sekuen primer mikrosatelit beserta urutan basanya dan rentang ukuran yang digunakan untuk amplifikasi silang (cross amplification), yang dikembangkan dari Azadirachta indica (Meliaceae) (Bontoong et al. 2008). No
Lokus
Sekuen primer
1
A1-4
F: TGGTAACCAATCTGTGTGTGC
Rentang ukuran (basepair) 210–216
R: CGGTTCCTGGTTTCTTTTGG 2
Ai-5
F: GAAAGGAGGGTTTTCAAATCA
130–182
R: TCGGCCGAACACAATTTTA 3
Ai-6
F: ACAAAATTTTTCCCGTCGAG
122–126
R: AGAGCTATGAATGGTGGACTCAC 4
Ai-11
F: GCATCAGTCAGCCATAGTGC
175–219
R: TTGAAAAATCCTGGCGAGTG 5
Ai-13
F: CCACAAACAAATGGGAAACC
158–188
R: CCCTTATTACAAAAGAAGAGGGAAG 6
Ai-14
F: GTCCACGCAAACAGAGACAC
224–232
R: TTGGCTTGGCTTTCTCTTTC 7
Ai-34
F: ATTTGTGTGTGCGTGCTAGG
146–168
R: CGAGGAACTGAGACTCCTGAA 8
Ai-48
F: TCCCAGTTATTCAACGTAGGC
105–125
R: TCTTAATCATGGATTGCTTCACA
Analisis data keragaman genetik Analisis data untuk menghitung keragaman genetik dilsajikan pada Lampiran 7. 4.1.2 Hasil dan Pembahasan Hasil : Amplifikasi silang penanda mikrosatelit pada mindi Amplifikasi DNA merupakan proses replikasi DNA dengan basa penyusun DNA yang digandakan dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai DNA antara 18-24 nukleotida yang didesain komplemen dengan DNA template dan menjadi batas multiplikasi dengan segmen DNA target (Aritonang
57
et al. 2007). Melalui proses seleksi primer maka akan diperoleh primer yang spesifik untuk suatu jenis tanaman. Tanaman mindi belum memiliki primer spesifik, sehingga diperlukan pendekatan terhadap primer spesifik jenis lain dari satu famili yang sama (Meliaceae) yaitu mimba (Azadirachta indica) (Boontong et al. 2008). Menurut White & Powel (1997) sekuen primer pada mikrosatelit dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi satu spesies lain yang berdekatan secara taksonomis (dalam satu famili). Keberhasilan amplifikasi pasangan primer mikrosatelit dikatagorikan dalam alel yang polimorfik, multi alel dan alel yang sulit dibaca (Nurtjahjaningsih 2010). Hasil amplifikasi silang primer mikrosatelit pada mindi yang dilakukan terhadap
delapan
primer
spesifik
yang
dikembangkan
dari
mimba
memperlihatkan bahwa ada tujuh primer yang teramplifikasi dalam fragmen yang polimorfik dan satu primer teramplifikasi dalam fragmen monomorfik. Primer yang teramplifikasi polimorfik selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi keragaman genetik pada proses PCR yaitu diantaranya: Ai_5, Ai_11, Ai_13, Ai_34, Ai_4, Ai_6, dan Ai_14. Suatu gen dikatakan polimorfik apabila sedikitnya ditemukan dua alel yang berbeda (Finkeldey et al 2005) dan hanya alel polimorfik yang bisa digunakan untuk analisis genetik (Nurtjahjaningsih 2010). Keragaman genetik Dari delapan primer mikrosatelit yang diamplifikasi, ada tujuh primer yang memperlihatkan lokus polimorfik, maka untuk proses PCR digunakan ketujuh lokus primer tersebut. Hasil PCR selanjutnya di elektoforesis pada gel akrilamid dan di visualisasi menggunakan foto digital (Gambar 14).
Gambar 14. Pola polimorfik DNA mikrosatelit pada mindi dengan rentang ukuran 100-220 bp
58
Indeks fiksasi (Fis) adalah jumlah pasangan pada lokus yang memperlihatkan ketidak-seimbangan genotipe. Indeks ini sinonim dengan L-D (Linkage Disequilibrium), dan ukuran populasi efektif (Ne) (Nurtjahjaningsih 2008). Indeks fiksasi pada sebagian besar lokus kecuali lokus Ai_11, Ai_4 dan Ai_14, memperlihatkan ketidak-seimbangan genotipe yang ditunjukkan dengan nilai yang lebih besar dari nol, namun rata-rata nilai Fis pada lokus gen adalah -0,0680 (Tabel 7).
Tabel 7 Rangkuman F-statistik untuk semua lokus Lokus gen
N
Fis
Fit
Fst
Nm
Ai_5 Ai_11 Ai_13 Ai_34 Ai_4 Ai_6 Ai_14
156 156 156 156 156 156 156
0,3356 -0,1603 0,1946 0,3167 -0,4325 0,2083 -0,7471
0,5983 0,2164 0,3932 0,3543 -0,4165 0,3158 -0,6890
0,3954 0,3247 0,2466 0,0551 0,0111 0,1358 0,0332
0,3823 0,5200 0,7638 4,2846 22,1966 1,5909 7,2701
156
-0,0680
0,1190
0,1751
1,1778
Rata-rata
Keterangan: N = jumlah sampel Fis = nilai indeks fiksasi Fst = nilai perbedaan genetik antar populasi Fit = nilai F pedigree Nm = aliran gen, diperoleh dari Fst = 0,25(1-Fst)/Fst (Nei’s)
Dari data ini dapat dijelaskan bahwa lokus gen secara keseluruhan tidak menunjukkan kelebihan homozigot yang menyimpang dari nol. Perbedaan genetik antar populasi dievaluasi dengan menghitung nilai Fst (Weir & Cockerham 1984). Nilai Fst pada semua lokus berkisar antara 0,0111-0,3954 dan rata-rata mencapai 0,1751. Nilai ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan perbedaan genetik antara populasi adalah 0,1751 atau sekitar 17%. Nilai Fst ini cukup tinggi karena perbedaan genetik yang terjadi disebabkan populasi dipisahkan oleh perbedaan geografis yaitu antara Sumedang dan Bandung. Nilai Fit rata-rata mencapai 0,119, ini berarti bahwa nilai inbreeding yang dihasilkan oleh individu itu sendiri adalah sebesar 11%. Aliran gen yang terbentuk pada populasi rata-rata mencapai 1,1778. Aliran gen terbesar terjadi pada lokus Ai_4, dan hal ini menggambarkan variasi genetik lokus cukup tinggi berdasarkan penyebaran gen yang terjadi. Indeks fiksasi pada populasi Sumedang yang menunjukkan nilai lebih dari nol terjadi pada tiga lokus yaitu Ai_5, Ai_13, Ai_34 dan Ai_6 (Tabel 8). Secara
59
spesifik keempat lokus tersebut menyebabkan ketidak-seimbangan genotipe pada populasi Sumedang. Secara keseluruhan indeks fiksasi pada populasi Sumedang menghasilkan nilai lebih dari nol yaitu rata-rata 0,0960. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat inbreeding yang terjadi lebih besar daripada yang diharapkan terjadi pada populasi Sumedang. Pada populasi Bandung ada dua lokus yang menunjukkan nilai indeks fiksasi di atas angka nol yaitu lokus Ai_13 dan Ai_6. Nilai rata-rata di populasi Bandung menghasilkan indeks fiksasi di bawah nol (-0,2850). Dengan demikian, dibandingkan dengan populasi Sumedang, populasi Bandung memperlihatkan tingkat inbreeding yang masih rendah. Nilai Fit rata-rata di Sumedang menunjukkan nilai 0,1615, yang berarti tingkat inbreeding yang dihasilkan individu di populasi Sumedang rata-rata 16% dan di Bandung tingkat inbreeding yang dihasilkan individunya itu sendiri ratarata masih sangat rendah dengan nilai jauh dari nol (-0,1764). Tabel 8 Rangkuman F-statistik untuk semua lokus pada dua populasi Lokus gen
N
Fis
Fit
Fst
Nm
Sumedang Ai_5 Ai_11 Ai_13 Ai_34 Ai_4 Ai_6 Ai_14
40 40 40 40 40 40 40
0,6507 -0,1150 0,0751 0,5687 -0,0513 0,1342 -0,6224
0,6802 0,0883 0,1774 0,5733 -0,0507 0,2114 -0,5686
0,0846 0,1823 0,1105 0,0107 0,0006 0,0892 0,0331
2,7047 1,1211 2,0116 23,1875 399,500 2,5525 7,295
Rata-rata
40
0,0960
0,1615
0,0725
3,2001
Bandung Lokus gen
N
Fis
Fit
Fst
Nm
Ai_5 Ai_11 Ai_13 Ai_34 Ai_4 Ai_6 Ai_14
38 38 38 38 38 38 38
-0,2737 -0.2467 0,3472 -0,1125 -0,8228 0,2876 -0,8486
-0,1525 0,0990 0,4065 -0,0844 -0,8000 0,3594 -0,8474
0,0952 0,2773 0,0908 0,0253 0,0125 0,1004 0,0007
2,3766 0,6517 2,5031 9,6386 19,7500 2,2410 370,000
Rata-rata
38
-0,2850
-0,1764
0,0845
2,7087
Keterangan: N = jumlah sampel Fis = nilai indeks fiksasi Fst = nilai perbedaan genetik antar populasi Fit = nilai F pedigree Nm = aliran gen, diperoleh dari Fst = 0,25(1-Fst)/Fst (Nei’s)
60
Perbedaan genetik (Fst) antar populasi induk dan anak pada di Sumedang rata-rata 7% dan pada di Bandung perbedaannya rata-rata 8%. Perbedaan ini cukup rendah, hal ini menggambarkan bahwa secara genetik perbedaan populasi induk dan anak di Sumedang atau di Bandung tidak terlalu jauh. Pohon Jati di Padangan dalam satu plot populasi memiliki perbedaan genetik yang rendah yaitu antara 3,4-7,8% (Novita 2005). Aliran gen (Nm) rata-rata yang terjadi pada populasi Sumedang dan Bandung
berturut-turut
adalah
3,200
dan
2,708.
Populai
Sumedang
menghasilkan aliran gen yang lebih besar daripada Bandung hal ini terjadi karena pohon induk di Sumedang lebih tersebar daripada di Bandung. Berdasarkan hasil Analysis of Molecular Variance (AMOVA), keragaman genetik pohon induk dan anak yang tersimpan di dalam populasi mencapai 67% dan sisanya tersimpan pada keragaman genetik antar populasi (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik lebih banyak tersimpan di dalam populasi daripada keragaman yang tersimpan antar populasi. Dengan demikian, sumbangan keragaman yang besar diberikan oleh keragaman di dalam individu induk atau anak itu sendiri. Pada beberapa jenis tanaman hutan lainnya seperti oak (Querqus macrocarpa), gaharu (Girinops verstegii), mindi juga menunjukkan nilai keragaman dalam populasi yang lebih tinggi daripada antar populasi masing-masing menyumbangkan keragaman sebesar 97,31%, 89% dan 69% (Craft& Ashley 2007, Siburian 2009, Yulianti 2011). Tabel 9 Hasil analisis keragaman molekuler (AMOVA) Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Estimasi Variasi
%
Antar populasi
3
47,294
15,765
0,753
33%
Dalam populasi
74
110,872
1,498
1,498
67%
Total
77
158,167
2,251
100%
Keragaman genetik populasi pohon induk dan anakan Keragaman genetik (He) populasi pohon induk rata-rata pada semua lokus lebih tinggi (0,501) daripada populasi anakan (0,415) di lokasi Sumedang, demikian juga yang terjadi pada populasi pohon induk dan anakan di Bandung masing-masing yaitu 0,478 dan 0,288 (Tabel 10). Hasil ini sejalan dengan hasil
61
keragaman genetik dengan penanda RAPD pada populasi pohon induk di Sumedang yang dilaporkan paling tinggi keragamannya dibandingkan dengan populasi pohon induk di beberapa lokasi lainnya di Jawa Barat (Yulianti 2011). Hal ini diduga diperoleh dari hasil persilangan acak dengan ketersediaan sumber bunga dan ukuran luas populasi yang efektif. Tabel 10 Keragaman genetik pada dua populasi pohon induk dan anakan untuk semua lokus Populasi Sumedang Induk Anak
N
PLP
Na
Ne
I
He
20 20
40 40
2,285 2,142
2,093 1,776
0,755 0,615
0,501 0,415
Bandung Induk Anak
20 18
40 40
2,428 2,000
1,935 1,482
0,720 0,445
0,478 0,288
40
2,213
1,821
0,633
0,420
Rataan Keterangan:
N : jumlah sampel untuk seluruh lokus PLP: Persentase Lokus Polimorfik Na: jumlah alel observasi untuk seluruh lokus Ne: jumlah alel efektif untuk seluruh lokus I : Indeks Shanon He: heterosigositas harapan
Hasil skoring pohon induk dan anakan pada populasi PadasariSumedang dan Gambung-Bandung disajikan pada Lampiran 8. Tingkat polimorfisme pada semua lokus baik untuk pohon induk maupun anakan pada populasi Sumedang dan Bandung berkisar antara 30-50% atau rata-rata 40% (Tabel 10). Persentase ini cukup tinggi dan tingkat polimorfisme yang tinggi cocok untuk identifikasi keragaman genetik sebagai penanda spesifik (Yuskianti 2011). Jumlah alel efektif (Ne) per lokus berkisar antara 1,935-2,093 pada populasi pohon induk dan antara 1,486-1,776 pada populasi anakan. Semakin banyak jumlah alel terdeteksi akan semakin tinggi dugaan keragaman genetiknya. Pada semua lokus, frekuensi allel efektif pada induk baik dari populasi Sumedang maupun Bandung lebih tinggi daripada anakan. Nilai Indeks Shanon (I) rata-rata pada kedua populasi mencapai nilai 0,633, hal ini berarti kesamaan genetik antar populasi Sumedang dan Bandung adalah 63%. Demikian juga, nilai He pohon induk lebih tinggi daripada He anakan untuk kedua populasi. Hal ini berarti terjadi penurunan kualitas genetik pada populasi anak yang diduga ada penyimpangan genotipe. Penyimpangan dapat terjadi ketika komposisi polen yang berkontribusi pada sistem perkawinan berbeda setiap
62
musim dan menentukan kombinasi alel yang berbeda pada populasi anakan (Nurtjahjaningsih 2008). Ketika perkawinan terjadi di bawah kondisi polen yang terbatas, maka sedikit polen yang dapat melakukan penyerbukan dan biasanya polen yang tidak baik pun bisa menyerbuki ovul sehingga menghasilkan benih yang kurang baik akibat adanya inbreeding atau lethal gen (Hegland & Totland 2007). Variasi genetik yang terjadi pada anakan untuk kedua populasi menunjukkan nilai yang lebih rendah daripada tetuanya (Tabel 10). Hal ini memberikan indikasi bahwa tidak semua gen induk diekspresikan kepada turunannya. Menurut Moran et al. (1980) tingkat keragaman genetik yang sama antara
populasi
pohon
induk
dengan
anakannya
menunjukkan derajat
perkawinan silang (outcrossing rate) yang tinggi dan adanya perkawinan acak yang diimbangi dengan kontribusi yang tinggi dari semua pohon induk dalam mewariskan gennya (Panmictic Equilibrium) (Chaix et al. 2003). Pernyataan ini menghasilkan dugaan bahwa perkawinan acak sedikit terjadi pada jenis mindi di kedua lokasi. Keragaman genetik pada tujuh lokus mikrosatelit terhadap semua sampel pohon induk (N=20) dan anakan (N=18-20) baik dari populasi Sumedang maupun Bandung disajikan pada Tabel 11. Jumlah alel (Na) untuk setiap penanda ditemukan pada pohon induk dan anakan dari kedua populasi berkisar antara 2,000-3,000, sementara jumlah alel efektif (Ne) untuk induk dari populasi Sumedang berkisar antara 1,471 – 2,909 dan untuk anak berkisar antara 1,280 – 2,198. Sedangkan dari populasi Bandung Ne untuk induk ada pada kisaran 1,600-2,150 dan untuk anak pada kisaran 1,057-2,000. Tingkat heterosigositas harapan (He) berdasarkan Nei’s untuk pohon induk dan anak dari populasi Sumedang masing-masing berkisar antara 0,320-0,656 dan 0,219-0,545. Populasi Bandung memperlihatkan tingkat He pada induk antara 0,375-0,535 dan anak antara 0,054-0,500. Tingkat heterosigositas harapan (He) pada semua lokus untuk pohon induk maupun anakan terdapat pada kisaran yang relatif homogen kecuali pada beberapa lokus yaitu Ai_5 dan Ai_13. Hal ini menunjukkan adanya kedekatan pada variasi genetik pohon induk dengan anakan.
63
Tabel 11 Keragaman genetik lokus mikrosatelit pada sampel pohon induk dan anakan mindi dari dua populasi Lokus gen
N
Na
Ne
He
Sumedang Ai_5: induk
20
3,000
2,524
0,604
anak
20
2,000
1,342
0,255
Ai_11: induk
20
2,000
1,995
0,499
anak
20
2,000
1,280
0,219
Ai_13: induk
20
2,000
1,471
0,320
anak
20
3,000
2,198
0,545
Ai_34: induk
20
2,000
1,782
0,439
anak
20
2,000
1,956
0,489
Ai_4: induk
20
2,000
1,995
0,499
anak
20
2,000
2,000
0,500
Ai_6: induk
20
2,000
2,909
0,656
anak
20
2,000
1,995
0,499
Ai_14: induk
20
2,000
1,980
0,495
anak
20
2,000
1,663
0,399
Bandung Ai_5: induk
20
2,000
1,600
0,375
anak
18
2,000
1,057
0,054
Ai_11: induk
20
2,000
1,923
0,480
anak
18
2,000
1,180
0,152
Ai_13: induk
20
2,000
1,835
0,455
anak
18
2,000
1,246
0,197
Ai_34: induk
20
3,000
1,937
0,484
anak
18
2,000
1,314
0,239
Ai_4: induk
20
2,000
2,000
0,500
anak
18
2,000
1,906
0,475
Ai_6: induk
20
3,00
2,150
0,535
anak
18
2,00
1,670
0,401
Ai_14: induk
20
3,00
2,099
0,524
anak
18
2,00
2,000
0,500
Keterangan:
N : jumlah sampel untuk dua populasi Na : jumlah alel observasi Ne : jumlah alel efektif He : heterozigot harapan menurut Nei
64
Struktur Hardy-Weinberg dan Struktur Inbreeding pada Populasi Keturunan Frekuensi genotipe yang diamati diperoleh dari nilai frekuensi alel dan hasil pengujian statistik struktur genetik dibandingkan dengan dua acuan struktur yaitu struktur Hardy-Weinberg dan struktur inbreeding. Struktur genetik pada setiap lokus yang dibandingkan dengan struktur Hardy-Weinberg diuji dalam setiap sampel menggunakan log-ratio probabilitas atau uji-G. Hasil perolehan nilai-G, menunjukkan penyimpangan yang signifikan dari kesetimbangan Hardy-Weinberg (HWE) di lokasi Sumedang yang teramati pada empat lokus kecuali lokus Ai_5, Ai_11 dan Ai_14. Di lokasi Bandung penyimpangan terjadi pada dua lokus yaitu A1_4 dan Ai_14 (Tabel 12). Pada kedua lokasi terjadi penyimpangan walaupun terjadi pada lokus yang berbeda. Tingkat signifikansi bervariasi dari tahap 1% sampai 5%. Menurut Muller-Starck & Liu (1989) frekuensi genotipe observasi tidak dapat dijelaskan dengan asumsi bahwa terjadi pengecualian pada perkawinan acak.
Tabel 12 Hasil pengujian statistik struktur genetik dan dua acuan struktur (Hardy- Weinberg dan struktur inbreeding) Lokus gen Ai_5 Ai_11
Nilai-G (rasio probabilitas) Hardy-Weinberg Struktur inbreeding Sumedang Bandung Sumedang Bandung ns ns ns ns 1,30 0,00 0,00 0,00 2,68
ns
0,09
ns
0,00
ns
0,00
ns
Ai_13
43,10 **
0,20
ns
0,00
ns
0,00
ns
Ai_34
10,36 **
0,36
ns
0,00
ns*
0,00
ns
Ai_4
12,00 **
6,69 **
0,00
ns
0,00
ns
Ai_6
15,47 **
2,35
ns
0,00
ns
0,00
ns
0,36
ns
0,00
ns
Ai_14
2,57
ns
17,00 ** ns
Tingkat signifikansi: 0.05 (*), 0.01 (**), non-signifikan ( )
Nilai struktur inbreeding yang tidak signifikan pada populasi Sumedang dan Bandung terdeteksi pada semua lokus (Tabel 12). Nilai yang tidak berbeda dengan analisis struktur inbreeding pada populasi Sumedang dan Bandung menunjukkan terjadinya inbreeding pada sistem perkawinan mindi pada kedua populasi ini. Kedua populasi menghasilkan nilai koefisien inbreeding yang cenderung
homogen.
Menurut
menunjukkan indikasi inbreeding.
Ziehe
et
al.
(1993) kecenderungan ini
65
Sampel populasi Sumedang memperlihatkan kecenderungan tingkat penyimpangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel populasi Bandung berdasarkan
analisis
Hardy-Weinberg.
Hal
ini
menandakan
terjadinya
penyimpangan pada sistem perkawinan acak mindi dan penyimpangan yang terjadi disebabkan adanya inbreeding menurut hasil analisis struktur inbreeding Menurut Gregorius dalam Muller-Starck & Liu (1989) penyimpangan dari struktur inbreeding dapat dideteksi secara detail jika pendugaan koefisien inbreeding dilakukan untuk homosigot dan heterosigot tunggal pada setiap lokus gen. Beberapa lokus pada populasi Sumedang dan Bandung menunjukkan respon yang berbeda terhadap Hardy_Weinberg, karena itu perlu perlu analisis untuk melihat kemungkinan adanya fenomena lain seperti perkawinan berpilih. Adanya penyimpangan pada beberapa lokus di lokasi Sumedang dan Bandung menurut analisis Hardy-Weinberg dapat juga dikatakan sebagai akibat dari fenomena lain selain inbreeding. Seperti yang telah disebutkan fenomena tersebut diantaranya disebabkan adanya perkawinan berpilih (assortative mating). Analisis lebih detail terhadap kemungkinan adanya preferensi alel pada genotipe keturunan, digunakan persamaan (Gregorius & Hattemer 1987): Uj:i = Pj:i / Rj:i dengan : Uj:i : mating preferensi (j = 1,2,3........) Pj:i : frekuensi mating (genotipe) aktual Rj:i : frekuensi mating potensial
Kisaran nilai berdasarkan Gregorius & Hattemer (1987) yaitu apabila U<1 mengindikasikan populasi negatif
terhadap mating preferensi dan U>1
mengindikasikan positif mating preferensi. Pada Tabel 13 hanya dilakukan analisis masing-masing terhadap tiga lokus yang memperlihatkan penyimpangan dan tidak ada penyimpangan dari struktur Hardy-Weinberg. Lokus Ai_13 pada sampel Sumedang menunjukkan penyimpangan yang tinggi dari struktur Hardy_Weinberg dan terdeteksi adanya inbreeding (Tabel 12). Pada analisis preferensi, alel 1 dan 2 tidak memperlihatkan adanya perkawinan berpilih, namun alel 3 positif mengindikasikan mating preferensi. Sedangkan lokus Ai_13 pada sampel Bandung merupakan lokus yang tidak menunjukkan penyimpangan genetik dari struktur Hardy_Weinberg, namun memperlihatkan adanya inbreeding (Tabel 12) dan mating preferensi pada tipe gen A1A2 (Tabel 13).
66
Tabel 13 Parameter alel preferensi Uj:i untuk lokus dengan genotipe yang menyimpang dan tidak menyimpang dari struktur Hardy-Weinberg Sampel Sumedang
Bandung
Lokus
Genotipe
Frekuensi
Ai_13
A1A1 A2A2 A3A3 A1A2
0,100 0,150 0,050 0,700
0,494 0,600 20,00 0,778
Ai_4
A1A1 A2A2 A1A2
0,05 0,05 0,900
0,200 0,200 0,900
Ai_14
A2A2 A1A2
0,450 0,550
2,222 0,672
Ai_13
A1A1 A1A2
0,778 0,222
0,984 1,778
Ai_4
A1A1 A1A2
0,222 0,778
0,595 1,222
Ai_14
A1A2
1,000
1,000
Uj:i
Fenomena tersebut dapat terjadi karena secara biologi, tipe penyerbukan mindi menunjukkan kecenderungan self-compatible (Gambar 13 BAB 3) yang mengindikasikan kemampuan mindi melakukan penyerbukan sendiri (selfing) dan menghasilkan benih yang viabel. Lokus Ai_4 pada sampel Sumedang dan Bandung menunjukkan penyimpangan struktur Hardy-Weinberg dan struktur inbreeding. Hasil analisis mating preferensi, semua tipe gen adalah negatif melakukan perkawinan berpilih. Dengan demikian, penyimpangan pada lokus Ai_4
lebih
banyak
disebabkan
adanya
inbreeding
daripada
fenomena
perkawinan berpilih. Lokus Ai_14 pada sampel Sumedang tidak menunjukkan adanya penyimpangan, sedangkan pada sampel Bandung terjadi penyimpangan, serta hasil analisis struktur inbreeding keduanya positif inbreeding. Nilai preferensi kedua sampel cenderung U>1 yang mengindikasikan populasi tersebut positif terhadap mating preferensi. Penjelasan yang mungkin diberikan untuk fenomena seperti itu adalah adanya ketergantungan tipe gen terhadap penyerbukan sendiri (self-fertilization) (Muller-Starck & Liu 1989).
67
Pada sampel Bandung semua lokus yang dianalisis memperlihatkan nilai lebih dari satu pada tipe gen heterosigot yang mengindikasikan peningkatan heterosigositas akibat adanya perkawinan berpilih pada alel heterosigot. Kadangkadang dugaan heterosigositas yang tinggi dapat menuntun pada keberadaan alel
langka ketika
lokus mikrosatelit
(Chakraborty et al. 1997).
diterapkan
pada
analisis genetik
Menurut Gregorius & Hattemer (1987) mating
preferensi adalah tipe perkawinan yang dapat meningkatkan heterosigositas dan frekuensi alel tertentu serta mendorong kesetabilan alel tertentu dalam populasi.
Pembahasan: Evaluasi keragaman genetik pohon induk dan keturunan berdasarkan marka DNA dengan penanda mikrosatelit dilakukan terhadap tegakan mindi di lokasi Padasari-Sumedang dan Gambung-Bandung. Hasil evaluasi terhadap tujuh lokus yang digunakan sebagai marker DNA, lokus Ai_11 dapat menjadi penanda spesifik mikrosatelit yang efektif untuk mendeteksi keragaman genetik dan struktur inbreeding mindi. Lokus Ai_4 pada penelitian mimba (Meliaceae) merupakan lokus yang paling bermanfaat untuk menilai keragaman genetik dan aliran gen (Boontong et al. 2008). Secara keseluruhan keragaman genetik populasi pohon induk dan keturunan pada kedua populasi menunjukkan keragaman
dengan katagori
rendah masing-masing dengan nilai He pada kisaran 0,49-0,51 untuk pohon induk dan 0,297-0,426 untuk anakan. Keragaman genetik jenis mahoni (Swietenia macrophylla) dengan menggunakan penanda mikrosatelit pada semua lokus mencapai besaran antara 0,72-0,91 (Lemes et al. 2002), pada mimba (Azadirachta indica) berkisar antara 0,51-0,85 untuk mimba India dan 0,50-0,80 untuk mimba Thailand (Boontong et al. 2008) serta pada Khaya senegalensis dengan kisaran 0,219 – 0,889 (populasi Ghana) dan 0,418 - 0,904 (populasi Senegal) ( Sexton et al. 2010). Keragaman yang rendah yang terdeteksi pada populasi mindi di Sumedang dan Bandung terjadi karena adanya inbreeding, karena hasil analisis menyatakan hasil yang tidak berbeda dengan struktur inbreeding. Beberapa fenomena lain dapat menjadi penyebab rendahnya keragaman genetik diantaranya terjadinya perkawinan berpilih (assortative mating), yaitu adanya genotipe yang spesifik memilih perkawinan pada saat pembungaan sedikit misalnya saat pembungaan awal (early flowering) atau pembungaan akhir (late flowering).
68
Keragaman genetik populasi pohon induk dan keturunan mindi lebih banyak disumbangkan dari keragaman individu yaitu sebesar 65% dan sisa keragaman terjadi karena perbedaan populasi. Hal ini menunjukkan masih besarnya keragaman dalam populasi yang diduga terjadi karena adanya persilangan antar individu pohon yang umum terjadi pada tanaman hutan (Craft & Ashley 2007) dan pada mindi hal ini dimungkinkan karena kemampuan menyerbuk silang cukup tinggi (>70%). Jumlah alel (Na) pada pohon induk dan anakan berkisar antar dua dan tiga dan jumlah alel ekspektasi (Ne) ada pada rentang 2,285-2,429 pada populasi pohon induk dan antara 2,000-2,143 pada populasi anakan. Nilai keragaman genetik pohon induk berada pada kisaran yang lebih tinggi daripada keragaman genetik anakan. Hal ini memberikan indikasi bahwa terjadi penurunan kualitas genetik yang diwariskan oleh tetuanya.
Penurunan kualitas diduga
berkaitan dengan beberapa karakter morfologi bunga, masa reseptivitas dan tipe penyerbukan mindi yang berpeluang melakukan penyerbukan sendiri dan mampu menghasilkan benih (self-compatible). Sehingga keturunan yang diperoleh sebagian diduga hasil dari penyerbukan sendiri. Hasil penyerbukan terkendali yang dilakukan pada tanaman mindi di Megamendung-Bogor menunjukkan bahwa tanaman ini mampu melakukan penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri. Persentase bunga yang menjadi buah pada penyerbukan sendiri (selfing) berkisar antara 42-57% (Gambar 13) dan nilai tersebut menurut Karron (1987) dapat dikatagorikan sebagai tanaman yang mempunyai self-compatible tinggi (highly self-compatible). Hasil analisis secara genetik pada keturunan mindi membuktikan bahwa penyimpangan genotip dari struktur genetik Hardy-Weinberg terjadi pada sebagian besar lokus di populasi Sumedang. Dengan demikian, penyimpangan yang terjadi termasuk katagori tinggi karena hasil evaluasi pada struktur Hardy-Weinberg ada empat lokus dari tujuh lokus yang secara nyata menunjukkan penyimpangan serta hasil analisis struktur inbreeding memberikan indikasi terjadi inbreeding pada sistem perkawinan acak mindi. Penyimpangan struktur genetik yang terjadi dapat juga disebabkan oleh fenomena seperti adanya perkawinan berpilih (assortative mating), seleksi viabilitas dan efek Wahlund (Wahlund effect) (Muller-Starck & Liu, 1989). Fenomena inbreeding pada sistem perkawinan tanaman dapat dievaluasi apabila
69
hasil pengukuran struktur inbreeding memperlihatkan kecenderungan homogen dan bernilai positif (Ziehe et al. 1993). Populasi Sumedang lebih tinggi penyimpangannya daripada populasi Bandung. Nilai indeks fiksasi dan indeks pedigree populasi Sumedang menunjukkan angka positif, yang berarti nilai inbreeding terdeteksi pada populasi ini,
sedangkan
kedua
nilai
indeks
tersebut
pada
populasi
Bandung
memperlihatkan angka negatif. Perbedaan genetik antar populasi mencapai 17%. Deviasi antara nilai heterosigositas yang diamati dengan nilai heterosigositas yang diharapkan dari individu induk dan anakan berdasarkan nilai indeks fiksasi terdeteksi pada empat lokus dengan nilai relatif rendah dan indek fiksasi (Fis) rata-rata adalah -0,0680. Hal ini berarti bahwa penyimpangan yang terjadi pada populasi induk dan anak dari kedua lokasi relatif masih rendah. Memperhatikan karakteristik penyerbukan tanaman mindi yang mampu melakukan penyerbukan silang maupun sendiri, maka hasil analisis genetik terhadap sistem reproduksi mindi yang cenderung menyimpulkan inbreeding rendah adalah cukup relevan. Apabila kecenderungan yang terjadi berkaitan dengan frekuensi homosigot ada pada setiap lokus maka diasumsikan bahwa sebagian dari penyimpangan genotipe yang signifikan dari perkawinan acak adalah disebabkan inbreeding (Muller-Starck & Liu 1989). Kenyataan pada tanaman mindi, frekuensi homosigot cenderung ditemukan pada sebagian besar lokus. Dengan demikian dugaan adanya inbreeding semakin kuat walaupun dalam tingkat yang rendah. Penyimpangan yang terjadi kemungkinan diakibatkan oleh fenomena yang terkait perkawinan berpilih yaitu adanya variasi genotipe yang tergantung pada periode tahunan pembungaan sehingga tanaman melakukan preferensi terhadap struktur spasial dan karakter pembungaan (early atau late flowering) (Tomimatsu & Ohara 2006). Namun dugaan ini perlu diperkuat dengan pengamatan terhadap pola pembungaan mindi dalam satu populasi pada beberapa periode pembungaan. Hasil analisis genetik terhadap dugaan perkawinan berpilih menunjukkan adanya tipe gen pada sampel Sumedang dan Bandung yang positif mating preferensi namun terjadi pada lokus yang berbeda. Dengan demikian, fenomena perkawinan berpilih dapat terjadi pada mindi. Fenomena lain yang terkait sistem reproduksi seperti seleksi viabilitas terhadap homosigot tertentu misalnya pada tahap presigot (sebelum fertilisasi) yaitu ketika proses seleksi terhadap polen yang kompatibel (Abreu et al. 2012).
70
Hal lain yang dapat menjelaskan adanya penyimpangan genetik adalah terkait efek Wahlund (Muller-Starck & Liu 1989). Pada populasi Sumedang fenomena ini mungkin terjadi, karena sampel anakan yang diperoleh, dikumpulkan dari daerah sekitar pohon induk, tidak langsung berasal dari benih yang diambil dari pohon induk terpilih. Kondisi ini memungkinkan adanya anakan dari daerah lain tercampur pada saat sampling, sehingga ditemukan genotipe yang menyimpang dari populasi tersebut. Namun demikian, perlu analisis lebih lanjut terhadap kemungkinan adanya efek Wahlund pada sampel bibit dari Sumedang.
4.2 Keragaman Fenotipik Keturunan 4.2.1 Bahan dan Metode Bahan: Bahan tanaman untuk pengukuran fenotipik keturunan adalah tegakan mindi yang ada di Wanayasa-Purwakarta (terletak pada 06O39’378” S dan 107 O
32’479”E dengan ketinggian 620 m dpl.) sebanyak 9 pohon induk dan anakan
yang berasal dari benih yang diunduh dari 9 pohon induk terpilih. Bahan dan peralatan yang digunakan untuk pengukuran pohon dan pengambilan sampel buah di lapang antara lain: hagameter, teropong, pita ukur, galah berkait, kantong plastik, silica gel, kertas label, bak kecambah dan timbangan. Metode: Metode yang digunakan dalam pengamatan variasi fenotipik keturunan mindi adalah metode observasi deskriptif dengan cara pengukuran karakter morfologi benih, kapasitas perkecambahan dan semai, masing-masing berjumlah 20 benih untuk pengukuran dimensi benih, (4 x 25) benih untuk perkecambahan dari setiap pohon induk dan 10 anakan berasal dari 9 pohon induk untuk pengukuran morfologi semai. Variabel yang diukur terdiri atas beberapa karakter morfologi benih dan kapasitas perkecambahan dan morfologi semai (Tabel 14). Pengukuran karakter morfologi
semai
merupakan
pengembangan
dari
Hidayat
(2010)
pada
pengukuran bibit suren sebagai hasil modifikasi dari beberapa penelitian tanaman hutan yang dilaksanakan oleh Kremer et al. (2002), Rawat & Bakshi (2011), Samal et al. (2003), Ginwal et al. (2004), dan Ozel (2010). Ditetapkan
71
tiga karakter morfologi benih, empat karakter perkecambahan dan 17 karakter pertumbuhan semai yang terdiri dari karakter batang dan daun serta modifikasi metode pengukurannya (Tabel 14). Tabel 14 Pengamatan karakter fenotipik keturunan mindi (diadopsi dari Hidayat 2010) No
Karakteristik
Kode
Satuan
Cara pengukuran/ penghitungan
A 1
Struktur benih Panjang
PB
mm
2
Diameter
DM
mm
3
Berat
BB
gr
Diukur dengan mengguna kan caliper dari bagian hilum (pangkal) sampai ujung Diukur dengan mengguna kan caliper pada bagian tengah benih Ditimbang dengan mengguna kan timbangan analitik digital
B 1
Karakter perkecambahan Daya berkecambah
DB
persen
WMB
hari
TB
hari
Dihitung dengan menghitung jumlah hari perkecambahan sejak benih ditabur hingga pengamatan diakhiri
RHB
%/hari
Dihitung dari perbandingan DB dengan TB
TTBS
cm
Diukur dengan alat mistar dari pangkal batang sampai ujung batang utama semai
Dihitung dengan menghitung jumlah benih yang berkecambah normal dibagi dengan jumlah total benih yang ditabur dikali 100% Dihitung dengan menghitung jumlah hari benih mulai berkecambah sejak penaburan
2
Waktu mulai berkecambah
3
Total perkecambahan
4
Rata-rata harian berkecambah
C 1
Karakter semai Tinggi total batang semai
2
Tinggi batang bebas daun
TBDS
cm
Diukur dengan alat mistar dari pangkal batang sampai cabang daun pertama
3
Diameter batang semai
DBS
mm
Diukur dengan mengguna kan caliper pada ketinggian batang 1 cm diatas permukaan media tumbuh (Gambar 5)
4
Kekokohan semai
RTDS
indeks
Dihitung dari perbandingan nilai TTBS dengan DBS dikali 100
hari
batang
72
Lanjutan Tabel 14 No Karakteristik 5 Kelurusan semai
batang
Kode KLBS
Satuan indeks
Cara pengukuran/ penghitungan Diukur dengan mengamati kelurusan batang dan bentuk batang secara visual dari berbagai arah. Kelurusan batang diklasifikasikan ke dalam (a) bentuk “I” (lurus dari pangkal hingga ujung) poin 3, (b) bentuk “j” (bengkok di bagian pangkal atau dibagian tajuk) poin 2, dan
PPS
cm
PDTS
cm
Dihitung dari nilai TTBS dikurangi nilai TBDS Diukur dengan mengguna kan mistar dari mulai pangkal tangkai daun sampai ujung daun Dihitung banyaknya daun pada batang semai Diukur dengan mengguna kan mistar dari pangkal anak daun sampai ujung daun Diukur dengan menggunakan mistar pada bagian helaian daun terlebar, mulai dari tepi daun sisi kiri hingga tepi helaian daun sisi kanannya Jarak anak daun pertama terhadap pangkal petiol, diukur dengan menggunakan califer pada pangkal tangkai daun (petiol) Dihitung dari nilai perbandingan PADS dengan LADS Diukur dengan mengunakan califer , pada bagian petiol daun Diukur dengan menggunakan mistar dari ujung petiol sampai titik helaian daun terlebar. Dihitung dari perbandingan JLDS dengan PADS Dihitung dari nilai perbandingan PPDS dengan ukuran PAD dikali 100. Dihitung dari nilai perbandingan ukuran setengah lebar lamina (1/2 LAD) dengan PAD dikali 100
6
Panjang pucuk
7
Panjang terpanjang
8
Jumlah daun
JDS
9
Panjang anak daun
PADS
cm
10
Lebar anak daun
LADS
cm
11
Jarak anak pertama
JADP
cm
12
Rasio panjang lebar anak daun Panjang petiol
RPLDS
Rasio
PPDS
mm
14
Jarak helai daun terlebar
JLDS
cm
15
Bentuk Lamina daun
BLDS
Indeks
16
Rasio panjang petiol terhadap panjang daun
RPDS
Indeks
17
Rasio lebar lamina terhadap panjang daun
LWR
Indeks
13
daun
daun
Uji perkecambahan benih: Uji
perkecambahan
benih
dilakukan
untuk
menentukan
karakter
perkecambahan benih yang dikumpulkan dari pohon induk terpilih. Benih hasil pengeringan diuji daya berkecambahnya dengan menyemaikan benih pada bak kecambah. Untuk mempercepat perkecambahan, kulit benih direndam terlebih
73
dahulu dengan larutan asam sulfat 69% selama 45 menit, kemudian direndam air dingin beberapa menit, selanjutnya dicuci dan dibilas air mengalir beberapa kali hingga sisa asam tidak terlihat lagi (Yulianti 2011). Pengamatan dilakukan setiap hari untuk menghitung daya berkecambah, waktu mulai berkecambah, total hari perkecambahan dan rata-rata harian berkecambah. Pengamatan diakhiri ketika tidak ada lagi benih yang tumbuh. Penyiapan bahan semai: Kecambah yang tumbuh pada pengujian perkecambahan, dipelihara hingga berumur 6 minggu. Semai selanjutnya digunakan untuk bahan pengukuran karakter morfologi pada analisis keragaman fenotipik keturunan.
Gambar 15 Dimensi karakter semai mindi yang diukur
Analisis Data Keragaman Fenotipik Keturunan Analisis keragaman fenotipik Data pengukuran karakter fenotipik keturunan dianalisis menggunakan komponen
varians.
Nilai
varians
fenotipik
karakter
morfologi
benih,
perkecambahan dan morfologi semai dihitung berdasarkan rumus pada Steel & Torrie (1995). Kriteria penilaian terhadap luas atau sempitnya variasi fenotipik
74
dievaluasi berdasarkan Pinaria (1995), yaitu: jika σ
2 f
≥ 2 sd σ 2f variasi luas
dan jika σ 2f < 2 sd σ 2f variasi sempit. Korelasi antar karakter dihitung dengan program SPSS versi 18 berdasarkan korelasi Pearson dan uji signifikansi korelasi digunkan uji t-student menurut Gaspersz (1991). Nilai
varians
komponen varians
fenotipik
karakter
morfologi
keturunan menggunakan
dalam tabel sidik ragam (ANOVA) dan pengolahan data
menggunakan program SAS. Keragaman fenotip dan genotip dapat diduga dari nilai kuadrat tengah (expected mean square/EMS) dari nilai ANOVA , yang dihitung menurut Singh & Caudhary (1979) dalam Hidayat (2011):
Varians genetik (σ 2g ) =
(MS2-MS1)
r Varians fenotipik (σ 2f ) = σ 2e + σ 2g Luas atau sempitnya variabilitas genetik dan fenotip suatu karakter dinilai berdasarkan varians genetik (σ 2g ), varians fenotip (σ 2f ), standar deviasi genetik (σ
2 σ g
) dan standar deviasi fenotip (σ
2 σ f
) menurut Anderson&Bancroft (1952)
dalam Wahdah et al. (1996). Kriteria penilaian terhadap luas atau sempitnya variasi fenotipik dan genetik dievaluasi berdasarkan Pinaria (1995), yaitu: Jika σ 2f ≥ 2 σσ2f , maka varians fenotipiknya luas Jika σ 2f < 2 σσ2f , maka varians fenotipiknya sempit Jika σ 2g ≥ 2 σσ2g , maka varians genetiknya luas Jika σ 2g < 2 σσ2g , maka varians genetiknya sempit Pendugaan nilai heritabilitas karakter morfologi keturunan Nilai heritabilitas dalam arti luas (broad-sense heritability) digunakan untuk menghitung nilai heritabilitas karakter morfologi keturunan yaitu dengan menghitung ratio total varians genetik di dalam populasi keturunan terhadap varians fenotipik, berdasarkan rumus sebagai berikut (Zobel & Talbert, 1984): σ 2g Hbs
= σ 2f
75
Kriteria penilaian terhadap tinggi rendahnya nilai duga heritabilitas dikategorikan menurut Stanfield (1991) yaitu: Tinggi jika nilai Hbs > 0,5 Sedang jika nilai Hbs antara 0,2 – 0,5 Rendah jika nilai Hbs < 0,2 Analisis nilai duga kemajuan genetik (KG) Nilai duga kemajuan genetik (KG) diperlukan untuk mengetahui sejauh mana respon terhadap seleksi karakter fenotipik. Nilai KG diperoleh dari nilai harapan kemajuan genetik (HKG) yang dinyatakan dalam bentuk persen (Falconer, 1960) dalam Hidayat (2011), yaitu: HKG = k.H. σf HKG KG =
x dengan: H = nilai heritabilitas k = diferensial seleksi (k=2,06 pada intensitas 5%) x = nilai rata-rata suatu karakter σf = standar deviasi varians fenotip Kriteria penilaian terhadap besar kecilnya kemajuan genetik dikategorikan menurut Begum & Sobhan (1991) dalam Rostini et al. (2006), yaitu: Besar jika nilai KG > 0,14 Sedang jika nilai KG antara 0,07 – 0,14 Kecil jika nilai KG < 0,07
Analisis komponen utama karakter fenotipik keturunan Analisis komponen utama karakteristik fenotipik keturunan menggunakan metode analisis peubah ganda (Analysis Multivariate) dengan pendekatan Analisis Ragam yang digunakan untuk melihat keragaman antar individu pohon induk , Principal Component Analysis (PCA) yang digunakan untuk mendeteksi karakter-karakter yang paling nyata mendukung keragaman pohon induk, serta Canonical Discriminant Analysis (CDA) dimana nilai canonical dari variabel canonical yang nyata dimasukan dalam prosedur hirarki Cluster Analysis dengan metode keterkaitan rata-rata berdasarkan jarak Euclidean antar variabel.
76
PCA diolah dengan menggunakan Minitab 14 dan nilai-nilai fungsi (component)
diseleksi
serta
dianalisis
menggunakan
program
SPSS.
Sedangkan analisis ragam digunakan ANOVA dan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) untuk pengujian signifikansi, pengolahan data menggunakan program SAS. 4.2.2 Hasil dan Pembahasan Varians Fenotipe dan Genotipe, Heritabilitas dan Kemajuan Genetik Karakter Morfologi Benih dan Kapasitas Perkecambahan Mindi Varians genotipik karakter morfologi benih yaitu panjang benih (PB), diameter benih (DM) dan berat benih (BB) menunjukkan nilai yang termasuk kriteria sempit, sedangkan hasil analisis varians fenotipik terhadap tiga karakter morfologi benih menunjukkan bahwa PB memiliki varians fenotipe yang luas. Dari empat karakter perkecambahan, tiga diantaranya mempunyai varians fenotipe dan genotipe yang luas yaitu DB (daya berkecambah), WMB (waktu mulai berkecambah)
dan
TB
(total
perkecambahan).
Karakter-karakter
yang
mempunyai varians fenotipe yang luas dapat digunakan dalam mendukung kegiatan seleksi pohon induk, apabila diikuti dengan varians genotipe yang luas dan nilai duga heritabilitas yang tinggi (Murdaningsih et al. 1990). Namun menurut Crowder (1990) nilai varians fenotipe yang luas belum tentu memiliki nilai varians genotipe yang luas pula. Nilai duga heritabilitas karakter keturunan mindi berdasarkan morfologi benih dan perkecambahan berada pada tingkat rendah menurut klasifikasi Stanfield (1991). Dari semua karakter morfologi yang diukur hanya ada satu karakter yang tergolong sedang yaitu waktu mulai berkecambah (WMB), sisanya tergolong rendah (Tabel 14). Dengan demikian, variasi karakter fenotipik yang diukur diduga cukup rendah diturunkan dari induk kepada keturunannya. Nilai duga heritabilitas memberikan indikasi kekuatan pewarisan genetik suatu karakter dari tetua kepada turunannya. Sehingga parameter WMB dapat mengukur sampai sejauh mana penampilan suatu tanaman lebih disebabkan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Menurut Poespodarsono (1988) makin tinggi nilai duga heritabilitas suatu karakter makin besar pengaruh faktor genetik dibanding faktor lingkungan.
77
Walaupun karakter-karakter pada umumnya memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas pada penelitian ini, akan tetapi tidak didukung dengan nilai heritabilitas yang tinggi maka perlu evaluasi lebih lanjut terhadap nilai kemajuan genetiknya. Nilai duga kemajuan genetik untuk karakter WMB dan RHB, termasuk kedalam kriteria besar menurut klasifikasi Begum & Sobhan (1991) diacu dalam Rostini et al.(2006). Akan tetapi apabila karakter-karakter morfologi dievaluasi berdasarkan ke empat parameter yang diukur, maka karakter daya berkecambah (DB) dan waktu mulai berkecambah (WMB), memiliki
varians fenotipe dan
genotipe yang luas serta nilai heritabilitas rata-rata sedang dan kemajuan genetik yang berkisar antara sedang-besar (Tabel 15). Dengan demikian, diduga seleksi terhadap kedua karakter tersebut akan memperoleh hasil yang efektif. Tabel 15 Varians fenotipe, varians genotipe, heritabilitas (H) dan kemajuan genetik (KG) keturunan berdasarkan morfologi benih dan kapasitas perkecambahan Mindi No
Karakter
Morfologi benih: 1 PB (n=20) 2 DM (n=20) 3 BB (n=20) Perkecambahan: 1 DB (n=4) 2 WMB (n=4) 3 TB (n=4) 4 RHB (n=4)
Var(ge notipe)
Var (fenotipe)
H
KG (%) 0,0004 0,0008 0,0196
K K K
0,0756 0,4264 0,0166 1,5034
S B K B
0,124 0,042 0,002
S S S
4,925 1,316 0,042
L S S
-
53,824 71,019 23,810 0,0166
L L L S
395,000 302,71 142,590 0,108
L L L S
0,1362 0,2346 0,1669 0,1542
R S R R
Keterangan : Kriteria varians fenotipe dan genotipe: L = luas, S = sempit Kriteria heritabilitas (H): S = sedang, R = rendah Kriteria kemajuan genetik (KG): B = besar, S = sedang, K = kecil
Varians Fenotipe dan Genotipe, Heritabilitas dan Kemajuan Genetik Karakter Morfologi Semai Mindi Hasil analisis varians fenotipik terhadap 17 karakter morfologi semai menunjukkan bahwa panjang pucuk semai (PPS), panjang petiole daun semai (PPDS) dan ratio panjang petiol terhadap panjang daun (RPDS) memiliki varians fenotip dan genotipe yang luas (Tabel 16). Ketiga karakter yang mempunyai varians fenotipe yang luas cukup efektif dalam mendukung kegiatan seleksi pembibitan. Efektifitas seleksi suatu karakter tergantung kepada variasi genetik yang dimiliki dan kemudahan karakter tersebut untuk diturunkan (Dudley 1997). Pewarisan karakter dapat dinilai dari besarnya nilai heritabilitas yang diperoleh.
78
Sebanyak sepuluh karakter dari 17 karakter morfologi semai yang diukur menunjukkan varians genotipe yang luas dan sebelas karakter memperlihatkan varians fenotipe yang luas. Dengan demikian, variasi karakter morfologi yang diukur diduga bukan diturunkan dari induk akan tetapi lebih kuat disebabkan faktor lain selain genetik. Nilai duga heritabilitas memberikan indikasi kekuatan pewarisan genetik suatu karakter dari tetua kepada turunannya. Sehingga parameter ini dapat mengukur sampai sejauh mana penampilan suatu tanaman lebih disebabkan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Walaupun karakter-karakter pada umumnya memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas pada penelitian ini, akan tetapi tidak didukung dengan nilai heritabilitas yang tinggi maka perlu evaluasi lebih lanjut terhadap nilai kemajuan genetiknya. Panjang pucuk semai (PPS), panjang petiole daun semai (PPDS) dan ratio panjang petiol terhadap panjang daun (RPDS) memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas serta nilai kemajuan genetik yang berkisar antara sedang-besar (Tabel 15). Dengan demikian, seleksi terhadap ketiga karakter tersebut akan memperoleh hasil yang cukup efektif. Seleksi akan efektif dilakukan terhadap karakter yang mempunyai nilai heritabilitas dan nilai kemajuan genetik tinggi (Murdaningsih et al. 1990, Yousaf et al. 2008). Nilai duga heritabilitas semua karakter pertumbuhan semai yang diukur termasuk kriteria rendah. Hal ini memberikan indikasi bahwa karakter pertumbuhan semai mindi pada populasi Wanayasa-Purwakarta sangat sedikit diwariskan kepada keturunannya.
Analisis komponen utama, dugaan kedekatan dalam kelompok dan pola kekerabatan antar pohon induk berdasarkan jarak taksonomi Analisis keragaman Hasil analisis ragam morfologi benih mindi menunjukkan bahwa semua karakter variabel morfologi benih memperlihatkan perbedaan yang nyata antar pohon induk. Hal ini berarti bahwa semua karakter morfologi benih yang diamati dapat dijadikan untuk mengidentifikasi keragaman fenotipik didalam populasi sembilan pohon induk.
79
Tabel 16
Varians fenotipe, varians genotipe, heritabilitas (H) dan kemajuan genetik (KG) progeni mindi berdasarkan pertumbuhan semai.
No
Karakter *)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
TTBS TBDS DBS RTDS KLBS PPS PDTS JDS PADS LADS JADP RPLDS PPDS JLDS BLDS RPDS LWR
(n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10) (n=10)
Var (genotipe) 3,732 2,019 2,432 4,653 0,006 4,900 3,152 1,994 0,315 0,0579 0,1380 0,1657 2,389 0,1157 0,0065 28,755 55,625
L L L L S L L L S S S S L S S L L
Var (fenotipe) 41,091 21,399 26,133 49,692 0,287 50,782 37,396 22,264 4,020 0,855 1,754 1,654 23,052 1,279 0,067 720,982 595,052
H
KG (%)
L L L L S L L L L
0,0908 0,0943 0,0930 0,0936 0,0221 0,0964 0,0842 0,0895 0,0784
R R R R R R R R R
0,0021 0,0032 0,0080 0,0051 0,0461 0,0048 0,0021 0,0018 0,0005
K K K K K K K K K
S S S L S S L L
0,0677 0,0786 0,1002 0,1036 0,0905 0,0975 0,1061 0,0934
R R R R R R R R
0,1737 0,2249 0,2262 0,0202 0,1793 1,4948 0,9834 0,0188
B B B K B B S K
*) Singkatan pada karakter dapat dilihat pada Tabel 14
Karakter perkecambahan yang diukur meliputi daya berkecambah (DB), waktu mulai berkecambah (WMB), total hari perkecambahan (TB) dan rata-rata harian berkecambah (RHB) juga menunjukkan bahwa pohon induk yang diamati menunjukkan perbedaan nyata dilihat dari beberapa variabel perkecambahan yang diukur diantaranya WMB, TB dan RHB. Dengan demikian, variabel perkecambahan tersebut dapat dijadikan penciri dalam keragaman fenotipik pada populasi pohon induk mindi. Daya berkecambah tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap perbedaan pohon induk, jadi tidak dapat dijadikan penentu dalam keragaman populasi pohon induk. Sebagian besar karakter morfologi semai yang diukur mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap keragaman populasi 9 pohon induk, kecuali karakter KLBS (kelurusan batang semai), RPLDS (ratio panjang lebar daun semai) dan JLDS (jarak helai daun terlebar). Dengan demikian, karakter morfologi semai yang diukur pada umumnya dapat dijadikan ciri untuk menentukan keragaman populasi pohon induk (Tabel 17).
80
Tabel 17 Analisis ragam variabel morfologi benih, perkecambahan dan morfologi semai mindi Karakter
Wilks' Lambda
F
df1
df2
Sig.
Morfologi benih PB (n=20) DM (n=20) BB (n=20)
.914 .887 .847
2.020 2.735 3.854
8 8 8
171 171 171
.047 .007 .000
Perkecambahan DB (n=4) WMB (n=4) TB (n=4) RHB (n=4)
.606 .172 .528 .564
2.198 16.241 3.011 2.611
8 8 8 8
27 27 27 27
.060 .000 .015 .029
Morfologi semai TTBS (n=10) TBDS (n=10) DBS (n=10) RTDS (n=10) KLBS (n=10) PPS (n=10) PDTS (n=10) JDS (n=10) PADS (n=10) LADS (n=10) JADP (n=10) RPLDS (n=10) PPDS (n=10) JLDS (n=10) BLDS (n=10) RPDS (n=10) LWR (n=10)
0,542 0,519 0,538 0,520 0,955 0,448 0,666 0,595 0,717 0,779 0,715 0,887 0,188 0,865 0,763 0,081 0,711
8,548 9,373 8,687 9,348 0,476 12,455 5,083 6,902 3,996 2,872 4,030 1,286 43,838 1,585 3,143 115,116 4,114
8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
81 81 81 81 81 81 81 81 81 81 81 81 81 81 81 81 81
0,000 0,000 0,000 0,000 0,870 0,000 0,000 0,000 0,000 0,007 0,000 0,262 0,000 0,142 0,004 0,000 0,000
Singkatan pada karakter dapat dilihat pada Tabel 14
Panjang benih, diameter benih dan berat benih adalah merupakan karakter morfologi yang kuat untuk membedakan 6 populasi mindi di Jawa Barat (Yulianti et al. 2011). Demikian juga kapasitas perkecambahan benih merupakan karakter yang secara fisiologis dapat menentukan keragaman populasi pada jenis Indian rice (Jones & Nielson 1999). Keragaman populasi yang dikaitkan dengan karakter morfologi, anatomi, fisiologi dan biokimia benih sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti (Hattermer 1991, Kundu & Tigerstedt 1999, Rawat & Bakshi 2011). Hasil penelitian Rawat & Bakshi (2011) menyebutkan bahwa karakter morfologi benih, perkecambahan dan penampilan awal pertumbuhan semai jenis Pinus wallichiana berkorelasi dengan faktor geografis,
81
sehingga karakter-karakter tersebut dapat dijadikan penentu dalam seleksi provenan yang unggul. Hasil perhitungan Canonical Discriminant Analysis (CDA) menunjukkan adanya tiga fungsi pertama yang dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar keragaman yang dapat diduga dari karakter morfologi benih, empat fungsi efektif berdasarkan empat karakter perkecambahan benih dan delapan fungsi utama berdasarkan morfologi semai (Tabel 18). Besaran korelasi canonical yang dimiliki setiap fungsi dapat menetapkan secara definitif adanya keragaman. Ketiga fungsi tersebut, menerangkan bahwa keragaman populasi pohon induk dilihat dari nilai korelasi canonical dapat dijelaskan oleh variabel panjang, diameter dan berat benih sebesar 43,6% pada fungsi 1, sebesar 30,5% pada fungsi 2 dan 20,9% pada fungsi 3. Apabila fungsi 1 dan 2 digabung maka nilai kumulatifnya adalah 88,1%. Dengan demikian, fungsi 1 dan fungsi 2 cukup mampu menduga adanya keragaman sebesar 88,1 % (Tabel 18). Pada karakter perkecambahan, fungsi 1 dengan nilai Eigenvalue sebesar 6,192 mampu menduga adanya keragaman sebesar 72,7%, fungsi 2 dengan nilai Eigenvalue sebesar 1,323 mampu menduga adanya keragaman sebesar 15,5%. Apabila kedua fungsi tersebut digabung, maka akan menghasilkan nilai kumulatif sebesar 88,3%, sehingga dari kedua fungsi tersebut
akan mampu
menduga adanya keragaman pada populasi pohon induk mindi sebesar 88,3% berdasarkan karakter perkecambahan benih mindi (Tabel 18). Hasil perhitungan CDA di atas memperlihatkan adanya delapan fungsi pertama yang dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar keragaman yang dapat diduga dari karakter morfologi semai. Dari delapan fungsi tersebut, ada empat fungsi efektif yang memiliki nilai korelasi canonical di atas 70% dan dapat menduga keragaman populasi pohon induk mindi berdasarkan 17 karakter morfologi semai. Dengan demikian, keragaman populasi pohon induk mindi yang didasarkan pada karakter morfologi semai dapat diduga sebesar 96,3% pada fungsi 1 dengan nilai Eigenvalue 12,807, pada fungsi 2 sebesar 79,8% dengan nilai Eigenvalue 1,758, pada fungsi 3 dengan nilai Eigenvalue 1,081 sebesar 72,1% dan fungsi 4 dengan nilai Eigenvalue 1,011 sebesar 70,9%.
82
Tabel 18 Nilai eigenvalue dan persentase total variasi dari karakter morfologi benih,perkecambahan dan morfologi semai mindi
Fungsi Morfologi benih: 1 2 3 Perkecambahan: 1 2 3 4 Morfologi semai: 1 2 3 4 5 6 7 8
% Keragaman
% Kumulatif
Canonical Correlation
0,234 a 0,103 a 0,046
a
61,2 26,9 11,9
61,2 88,1 100,0
0,436 0,305 0,209
a
72,7 15,5 7,4 4,3
72,7 88,3 95,7 100,0
0,928 0,755 0,623 0,518
72,9 10,0 6,2 5,8 2,3 1,6 1,0 0,3
72,9 82,9 89,1 94,8 97,1 98,8 99,7 100,0
0,963 0,798 0,721 0,709 0,539 0,471 0,384 0,205
Eigenvalue
6,192 a 1,323 a 0,633 a 0,367 a
12,807 a 1,758 a 1,081 a 1,011 a 0,409 a 0,285 a 0,173 a 0,044
Apabila keempat fungsi tersebut digabung, maka akan menghasilkan nilai kumulatif sebesar 94,8%, sehingga dari keempat fungsi tersebut akan mampu menduga adanya keragaman pada populasi pohon induk mindi sebesar 94,8% berdasarkan karakter morfologi semai mindi. Analisis berdasarkan PCA (Principal Component Analysis) bertujuan untuk mengetahui kedekatan antar pohon induk dengan variabel fenotipik baik morfologi benih, kapasitas perkecambahan maupun morfologi semai.
Gambar 16 Analisis komponen utama/PCA pohon induk mindi berdasarkan karakter morfologi benih
83
Pohon induk P13 dan P29 berada dalam kuadran yang memiliki kekuatan pada karakter diameter benih dan berat benih. Sedangkan pohon-pohon induk P24 dan P28 memiliki kedekatan dalam karakter panjang benih, P2 berada satu kuadran dengan P24 dan P28 namun cukup jauh dengan kedua karakter tersebut. Pohon induk lainnya (P8, P15, P17 dan P20) berada pada kuadran yang berbeda dan satu sama lain berjauhan berdasarkan karakter panjang, diameter dan berat benih (Gambar 14).
Gambar
17
Analisis komponen utama/PCA pohon berdasarkan karakter perkecambahan
induk
mindi
Hasil PCA dengan dasar karakter perkecambahan memperlihatkan bahwa pohon induk P20 dan P28 memiliki kedekatan dalam karakter total hari perkecambahan (TB) dan pohon induk P15 memiliki karakter daya berkecambah (DB) dan rata-rata harian berkecambah (RHB) yang cukup besar, namun tidak ada kedekatan dengan pohon induk lain berkaitan dengan kedua karakter tersebut. Pohon induk lainnya (P2, P8, P17, P13, P24 dan P29) masing-masing tidak memiliki kedekatan dalam karakter perkecambahan (Gambar 17).
84
Gambar
18
Analisis komponen utama/PCA pohon berdasarkan karakter morfologi semai
induk
mindi
Hasil analisis komponen utama untuk karakter morfologi semai memperlihatkan bahwa pohon induk P17, P8, P29 dan P13 terdapat dalam satu kuadran yang sama dan memiliki kedekatan dalam karakter morfologi semai diantaranya JDS, JLDS, TTBS. PPS, PDTS, LADS dan PADS. Sedangkan pohon induk P2, P20, P28 berada dalam satu kuadran, namun yang memiliki karakter morfologi semai KLBS yang kuat adalah P28 dilihat dari jaraknya yang lebih dekat. Pohon induk P15 berada pada satu kuadran tersendiri dan mempunyai karakter semai BLDS, RPDS, PPDS, TBDS dan RTDS yang besar. Namun masih perlu dibuktikan lebih lanjut apakah P15 memiliki karakter morfologi tersebut. Pohon induk P24 juga berada sendiri pada satu kuadran yang di dalamnya terdapat karakter morfologi JADP, RPLDS, DBS dan LWR yang kemungkinan dimiliki secara kuat oleh pohon induk P24. Akan tetapi dugaan ini masih harus dievaluasi dengan menganalisis besarnya kedekatan pohon induk tersebut terhadap karakter morfologi semai. Untuk mengetahui dengan jelas seberapa besar kedekatan pohon induk berdasarkan karakter fenotipik benih maka didekati dengan analisis Predicted Group Membership (PGM). Hampir semua pohon induk, masing-masing memiliki karakter morfologi benih dengan besaran persentase yang bervariasi (Tabel 17). Pohon induk P2 mempunyai 25% karakter morfologi benih dan 75% karakter morfologi benih tersebar di pohon induk lainnya dengan besaran 5% sampai
85
20%. Karakter morfologi benih paling tinggi dimiliki oleh pohon induk P13 (50%). P28 dan P24 memiliki kedekatan yang cukup besar pada karakter morfologi benih yaitu 40% terutama variabel diameter seperti yang diperlihatkan pada Gambar 14. Memperhatikan matrik hasil klasifikasi PGM (Tabel 19), tampak bahwa pada umumnya populasi pohon induk pada tegakan di Wanayasa memiliki kesamaan dalan karakter morfologi benih yang diwakili dengan variabel panjang, diameter dan berat benih. Karakter morfologi benih paling kuat dimiliki oleh pohon induk P13 yaitu sebesar 50% yang berdasarkan analisis PCA dicirikan oleh karakter diameter benih (Gambar 14). Sedangkan pohon induk yang tidak mempunyai kedekatan satu sama lain berdasarkan PCA adalah P2, P8, P15, P17, P20 dan P29. Dalam hal ini apabila dihubungkan dengan hasil klassifikasi PGM yang menunjukkan kedekatan satu sama lain berdasarkan karakter morfologi benih, maka keragaman yang ditunjukan pada PCA kemungkinan dari karakter fenotipik benih lain yang tidak diamati. Tabel 19 Matrik hasil klasifikasi dugaan kedekatan antar pohon induk berdasar kan karakter morfologi benih mindi Pohon induk P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29 Total
P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29
Predicted group membership (Jumlah benih dalam setiap pohon induk) P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29 Total
5 3 1 1 2 2 0 2 3 19 P2 25 15 5 5 10 10 0 10 15
4 10 3 1 1 2 2 0 4 27 P13 20 50 15 5 5 10 10 0 20
4 1 3 2 2 1 3 1 1 18 P8 20 5 15 10 10 5 15 5 5
0 2 5 6 4 3 1 3 4 28
1 0 1 1 2 2 2 4 0 13
3 1 2 5 0 5 8 2 4 30
Persentase P15 P17 P24 0 5 15 10 0 5 25 5 10 30 5 25 20 10 0 15 10 25 5 10 40 15 20 10 20 0 20
0 0 0 1 1 2 2 0 0 6 P28 0 0 0 5 5 10 10 0 0
2 2 4 2 8 2 2 7 2 31 P20 10 10 20 10 40 10 10 35 10
1 1 1 1 0 1 0 1 2 8 P29 5 5 5 5 0 5 0 5 10
20 20 20 20 20 20 20 20 20 180 Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100
86
Berkaitan dengan karakter perkecambahan, 25% karakter dimiliki oleh pohon induk P28, sedangkan 75% karakter perkecambahan lainnya diduga disebar ke pohon induk P15 (50%) dan P29 (25%). Jadi ada kedekatan karakter perkecambahan antara ketiga pohon tersebut. Pohon induk lainnya pada umumnya tidak mengindikasikan kekuatan pada karakter perkecambahan yang ditunjukkan dengan nilai 0%. Sementara itu P29 diduga memiliki kedekatan 100% karakter perkecambahan dengan P8, demikian juga untuk P20 dengan P28 (Tabel 20). Melihat hasil analisis PCA, P29 dan P8 berada pada kuadran yang berjauhan (Gambar 15) yang mengindikasikan keragaman diantara keduanya, namun pada hasil analisis PGM menunjukkan kedekatan yang sangat erat (100%). Dalam hal ini keragaman yang diperlihatkan pada hasil analisis PCA kemungkinan berasal dari karakteristik perkecambahan lain yang tidak diamati dalam penelitian ini. Sedangkan pada P20 dan P28 kedekatan yang ditunjukan pada analisis PGM didukung oleh hasil analisis PCA dimana kedua pohon induk tersebut berada dalam kuadran yang sama dan letak keduanya berdekatan dengan karakter total hari perkecambahan (TB). Pohon induk P2 dan P8 masing-masing memiliki 70% karakter morfologi semai dan 30% karakter semai lainnya diduga disebar ke pohon induk lainnya. P2 menyebarkan ke P8, P17 dan P29, sedangkan P8 ke P17 dan P20. Pohon induk P13 dan P17 masing-masing mempunyai 80% karakter morfologi semai dan 20% lainnya secara berturut-turut disebarkan ke P20, serta P13 dan P8 (Tabel 20). Pohon induk P15 adalah satu-satunya pohon yang memliliki 100% karakter morfologi semai dan apabila disilangkan dengan hasil analisis PCA, ternyata pohon induk ini berada dalam satu kuadran tersendiri yang mempunyai 5 karakter semai yang kuat yaitu BLDS, RPDS, PPDS, TBDS dan RTDS (Gambar 16).
87
Tabel 20 Matrik hasil klasifikasi dugaan kedekatan antar pohon induk berdasarkan kapasitas perkecambahan benih mindi Pohon induk P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29 Total
P2
P13
0 0 0 3 0 0 0 0 0 3 P2
P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29
Predicted group membership (Jumlah individu) P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29
0 0 0 0 0 3 0 0 0 3 P13
0 0 0 75 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 75 0 0 0
0 0 0 0 0 1 0 0 4 5 P8
0 0 0 0 0 25 0 0 100
1 0 0 0 0 0 2 0 0 3
0 3 1 0 0 0 0 0 0 4
0 1 0 1 3 0 0 0 0 5
Persentase P15 P17 P24
25 0 0 0 0 0 50 0 0
0 75 25 0 0 0 0 0 0
0 25 0 25 75 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 1 4 0 5 P28
0 0 0 0 0 0 25 100 0
2 0 1 0 0 0 0 0 0 3 P20
50 0 25 0 0 0 0 0 0
Total
1 0 2 0 1 0 1 0 0 5 P29
25 0 50 0 25 0 25 0 0
4 4 4 4 4 4 4 4 4 36 Total
100 100 100
100 100 100 100
100 100
Pohon induk P24 mempunyai 60% karakter morfologi semai dan 40% karakter lainnya disebar ke P17, P28, P20. Hasil PCA menunjukkan bahwa P24 berada pada satu kuadran dengan 4 karakter morfologi semai (Gambar 16). Pohon induk P20 dan P29 masing-masing memiliki 20% karakter semai dan sebesar 70% karakter semai lainnya dari P20 disebar ke P29. Sebaliknya, P29 menyebarkan karakter semai lainnya sebesar 60% ke P20. Walaupun hasil PCA memperlihatkan posisi P20 dan P29 yang berjauhan, tampaknya kedua pohon induk tersebut memiliki kedekatan yang cukup kuat dalam karater fenotipik lainnya. Karakter morfologi semai merupakan perwakilan karakter fenotipik yang sangat kuat mempengaruhi keragaman pohon induk mindi di lokasi Wanayasa. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pohon induk dengan nilai persentase keragaman yang tinggi (60%-100%). Banyaknya karakter morfologi semai yang diukur (17 karakter) menyebabkan banyaknya variasi untuk membedakan sifat fenotipe pohon induk.
88
Tabel 21 Matrik hasil klasifikasi dugaan kedekatan antar pohon induk berdasarkan karakter semai mindi Pohon induk P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29 Total
P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29
P2
P13
7 0 0 0 0 0 1 1 0 9
0 8 0 0 1 0 0 0 1 10
P2
P13
70 0 0 0 0 0 10 10 0
Predicted group membership (Jumlah individu) P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29
0 80 0 0 10 0 0 0 10
1 0 7 0 1 0 0 0 1 10 P8
10 0 70 0 10 0 0 0 10
Hasil penelitian Hidayat
0 0 0 10 0 0 0 0 0 10
1 0 2 0 8 1 3 0 0 15
0 0 0 0 0 6 0 0 0 6
Persentase P15 P17 P24
0 0 0 100 0 0 0 0 0
10 0 20 0 80 10 30 0 0
0 0 0 0 0 60 0 0 0
0 0 0 0 0 1 4 0 0 5
0 2 1 0 0 2 1 2 6 14
1 0 0 0 0 0 1 7 2 11
P28
P20
P29
0 0 0 0 0 10 40 0 0
0 20 10 0 0 20 10 20 60
10 0 0 0 0 0 10 70 20
Total
10 10 10 10 10 10 10 10 10 90 Total
100 100 100
100 100 100 100
100 100
(2011) menyebutkan bahwa karakter tinggi,
diameter dan kekokohan batang pada bibit surian (Toone sinensis) umur 6 bulan merupakan karakter yang cukup kuat untuk dijadikan pembeda dalam keragaman antar provenan, demikian juga karakter panjang daun, panjang anak daun dan lebar anak daun. Hasil analisis pada semai mindi juga memperlihatkan bahwa karakter di atas menjadi yang penciri utama dalam penilaian keragaman pohon induk. Pada semai mindi maupun bibit surian karakter KLBS (kelurusan batang) tidak menjadi penentu dalam keragaman. Hal ini disebabkan pertumbuhan batang pada semai mindi (umur 5-6 minggu) ataupun surian masih relatif muda, sehingga pembentukan batang masih cukup baik (rata-rata lurus) dan merata pada semua semai, sehingga indeks kelurusan batang mindi atau surian tidak berbeda antar pohon induk.
89
Analisis klaster berdasarkan jarak taksonomi dimaksudkan untuk mengetahui kedekatan rata-rata antar pohon induk dengan mengelompokan ke dalam beberapa klaster berdasarkan tingkat perbedaan secara morfologis. Hasil analisis klaster disajikan dalam bentuk dendrogram. Dengan memotong titik jarak pada angka 15 maka diperoleh dua klaster yang memperlihatkan keragaman berdasarkan karakter morfologi benih (Gambar 17). Pada gambar dendrogram terlihat bahwa klaster pertama terdiri dari 5 pohon induk (P24, P28, P2, P13 dan P29) berjarak 2 % dari klaster kedua terdiri dari 4 pohon induk (P17, P20, P8 dan P15). Apabila disilangkan antara hasil cluster analysis dengan PCA, maka klaster pertama merupakan kelompok yang terdiri dari populasi pohon induk yang sama dengan kelompok pohon induk yang berada pada kuadran yang relatif dekat dengan penentu karakter morfologi benih (Gambar 14). Demikian juga dengan klaster kedua terdiri dari pohon induk yang sama dengan pohon induk pada kuadran PCA yang tidak memiliki penciri karakter morfologi benih. Kombinasi analisis PCA dan teknik lain sangat tepat digunakan untuk pengelompokan (Mohammadi & Prasanna 2003) dan Cluster analysis adalah metode yang
sangat sesuai untuk
mengetahui hubungan kekerabatan
(Mellingers 1972). Menurut Mohammadi & Prasanna (2003) manfaat utama menggunakan PCA disilangkan dengan cluster analysis adalah bahwa masing-masing karakter fenotipe/ genotipe dapat digabung menjadi hanya satu kelompok. Seperti yang diperlihatkan pada hasil analisis PCA untuk karakter morfologi benih yang disilangkan dengan hasil cluster analysis menunjukkan hasil yang sejalan.
90
Gambar 19 Dendrogram hasil clustering populasi pohon induk mindi menggunakan karakter morfologi benih Cluster analysis untuk karakter perkecambahan benih dalam bentuk dendrogam dipotong pada titik jarak antara angka 5 dan 10, maka diperoleh tiga klaster yang menunjukkan adanya keragaman fenotipik berdasarkan karakter perkecambahan (Gambar 18). Klaster pertama terdiri dari sekelompok pohon induk berjumlah 4 pohon (P17,P8, P13 dan P24), klaster kedua terdiri dari 3 pohon induk (P2, P20, P28) dan klaster ketiga terdiri dari 2 pohon induk (P29 dan P15). Hasil cluster analysis disilangkan dengan hasil PCA maka terlihat klaster pertama menunjuk pada kelompok pohon induk pada kuadran yang berjauhan dengan kelompok yang memiliki karakter perkecambahan, klaster kedua merupakan kelompok pohon induk yang sama dengan kelompok pada kuadran yang mempunyai kedekatan dengan karakter WMB dan TB, dan klaster ketiga adalah kelompok yang sama dengan pohon induk yang memiliki kedekatan dengan karakter DB dan RHB.
91
Gambar 20
Dendrogram hasil clustering karakter perkecambahan
pohon induk mindi menggunakan
Dengan memotong titik jarak pada angka 10 maka diperoleh tiga klaster yang memperlihatkan keragaman berdasarkan karakter morfologi semai (Gambar 18). Pada gambar dendrogram terlihat bahwa klaster pertama terdiri dari enam pohon induk (P28, P20, P8, P17, P13 dan P29), klaster kedua terdiri dari dua pohon induk (P2 dan P15) dan klaster ketiga terdiri dari satu pohon induk (P24). Jarak antara klaster pertama dan kedua cukup dekat yaitu keduanya ada di bawah angka 5, sedangkan klaster ketiga memiliki jarak yang agak jauh (antara angka 5 – 10) dengan kedua klaster lainnya. Dengan demikian, pohonpohon induk pada klaster pertama masing-masing memiliki kedekatan fenotipik yang berdasarkan morfologi semai, pohon induk P2 memiliki kesamaan karakter morfologi semai dengan P15 sehingga berada dalam satu klaster. Pohon induk P24 pada klaster ketiga memiliki karakter morfologi semai tersendiri yang berbeda cukup jauh dengan pohon induk lainnya yaitu dengan jarak 25%.
92
Apabila disilang dengan hasil analisis PCA, pohon induk P2 dan P15 masing-masing berada pada kuadran yang berbeda (Gambar 16) sementara hasil clustering kedua pohon induk tersebut berada dalam satu kelompok. Dalam hal ini ada dugaan bahwa kedekatan keduanya adalah berdasarkan karakter fenotipik lainnya diluar karakter morfologi semai yang diukur. Pohon induk P24 pada analisis PCA berada pada kuadran tersendiri yang mempunyai beberapa karakter morfologi semai yang tampaknya cukup kuat mempengaruhinya, sehingga dapat dibedakan dengan pohon induk lainnya dan ini didukung dengan hasil clustering yang membentuk kelompok tersendiri dengan jarak yang cukup jauh (Gambar 19).
Gambar 21 Dendrogram hasil clustering populasi pohon induk mindi menggunakan karakter morfologi semai
Pembahasan Evaluasi keragaman genetik populasi tegakan mindi di WanayasaPurwakarta dilakukan berdasarkan marka morfologis terhadap keturunan menurut karakter morfologi benih, kapasitas perkecambahannya dan karakter pertumbuhan semai. Evaluasi keragaman genetik berdasarkan marka DNA dengan penanda mikrosatelit dilakukan baik terhadap pohon induk maupun anakan.
93
Hasil evaluasi terhadap tiga karakter morfologi benih dan empat karakter perkecambahan menunjukkan bahwa morfologi benih termasuk panjang (PB), diameter (DM) dan berat benih (BB) tidak menunjukkan varians genotipe yang luas dan hanya satu karakter (PB) yang menunjukkan varians fenotipe yang luas. Dengan demikian, karakter morfologi benih tidak efektif digunakan untuk kegiatan seleksi pohon induk. Hal ini didukung pula oleh hasil Predicted Group Membership (PGM) pada analisis komponen utama yang menunjukkan kedekatan antar sembilan pohon induk mindi berdasarkan karakter struktur benih. Sementara hasil evaluasi terhadap karakter perkecambahan menunjukkan bahwa dari empat karakter perkecambahan, tiga diantaranya mempunyai varians fenotipe dan genotipe yang luas yaitu DB (daya berkecambah), WMB( waktu mulai berkecambah) dan TB (total perkecambahan), sehingga ketiga karakter perkecambahan dapat digunakan dalam mendukung kegiatan seleksi pohon induk. Walaupun demikian, hasil evaluasi terhadap nilai varians ini harus didukung oleh nilai heritabilitas dan nilai duga kemajuan genetik untuk menghasilkan ketetapan yang lebih akurat. Dilihat dari nilai heritabilitas dan nilai kemajuan genetik, karakter morfologi benih termasuk katagori rendah, sedangkan karakter perkecambahan yaitu karakter daya berkecambah (DB) dan waktu mulai berkecambah (WMB), memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas serta nilai heritabilitas rata-rata sedang dan kemajuan genetik yang berkisar antara sedang-besar. Dengan demikian, kedua karakter tersebut cukup akurat untuk mendukung seleksi pohon induk dan berdasarkan hasil analisis fungsi komponen utama kapasitas perkecambahan mampu menduga keragaman pohon induk sebesar 88,3% Evaluasi keragaman genetik anakan berdasarkan karakter pertumbuhan semai menunjukkan bahwa panjang pucuk semai (PPS), panjang petiole daun semai (PPDS) dan ratio panjang petiol terhadap panjang daun (RPDS) memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas serta nilai kemajuan genetik yang berkisar antara sedang-besar. Dengan demikian, penggunaan ketiga karakter tersebut dalam seleksi pembibitan akan memperoleh hasil yang cukup efektif. Secara keseluruhan nilai duga heritabilitas semua karakter pertumbuhan semai yang diukur termasuk kriteria rendah. Hal ini memberikan indikasi bahwa karakter pertumbuhan semai mindi pada plot penelitian Wanayasa sangat sedikit diwariskan kepada keturunannya. Walaupun demikian, berdasarkan analisis komponen utama pertumbuhan semai merupakan karakter yang sangat kuat
94
mempengaruhi keragaman antar pohon induk mindi yang ditunjukkan dengan nilai persentase yang tinggi (60%-100%) pada analisis PGM. Karakter pertumbuhan semai yang kuat mempengaruhi keragaman antar pohon induk tampaknya lebih disebabkan faktor lingkungan daripada genetik. Hasil
pengukuran
jarak
fenotipe
berdasarkan
cluster
analysis
menunjukkan keragaman pohon induk yang dibagi menjadi beberapa kelompok baik
berdasarkan
karakter
morfologi
benih,
perkecambahan
maupun
pertumbuhan semai. Berdasarkan ketiga karakter fenotipik yang di analisis secara clustering, pohon induk P2, P15 dan P24 pada umumnya memperlihatkan keberagaman karakter fenotipe yang tinggi dibandingkan dengan pohon induk lain. Jarak antar ketiga pohon induk tersebut yaitu P2 dengan P15 berjarak 80,7 meter, P2 dengan P24 berjarak 111,8 meter dan jarak antara P15 dengan P24 adalah 33,9 meter (Lampiran 9). Informasi jarak antar pohon pada keragaman fenotipik diperlukan terkait faktor lingkungan yang kemungkinan mempengaruhi pertumbuhan pohon.
.
V. PEMBAHASAN UMUM Pengembangan sumber benih mindi untuk hutan rakyat khususnya di Jawa Barat memerlukan dukungan limu pengetahuan yang kuat dalam rangka penyediaan benih bermutu tinggi. Pemilihan pohon induk sebagai penghasil benih yang merupakan awal untuk memperoleh benih bermutu, memerlukan pemahaman yang dalam tentang sistem reproduksi tanaman baik dari aspek biologi maupun genetik. Hasil penelitian pada berbagai lokasi hutan rakyat di Jawa Barat menunjukkan bahwa tegakan mindi yang dikelola masyarakat memiliki keragaman genetik yang relatif rendah. Hal ini dapat terjadi karena berbagai kemungkinan seperti sejarah penyebaran mindi yang merupakan jenis introduksi, penggunaan benih untuk penanaman yang berasal dari beberapa pohon induk dan keterbatasan pengetahuan dalam upaya budidayanya. Seperti yang telah diketahui bahwa keragaman genetik dalam populasi dipengaruhi terutama oleh penyebaran geografis dari jenis, sistem perkawinan, cara penyebaran biji dan sistem reproduksi (Hamrick et al 1992). Secara geografis penyebaran mindi pada hutan rakyat di Jawa Barat cukup terbatas, mengingat lahan rata-rata hutan rakyat yang dimiliki petani relatif tidak luas. Cara penyebaran biji mindi secara alami tidak jauh, karena buah mindi tidak bersayap dan mempunyai bobot yang relatif berat sehingga ketika masak, buah jatuh di bawah pohon dan buah kurang disukai hewan. Sistem perkawinan tanaman mindi terindikasi acak, akan tetapi dari tipe penyerbukan dan analisis struktur inbreeding pada populasi Sumedang diduga sistem perkawinan mindi cenderung acak namun ada penyimpangan genotipe. Sistem reproduksi mindi secara biologi menunjukkan beberapa karakteristik morfologi bunga, masa reseptif dan polen viabel serta tipe penyerbukan yang mendukung terjadinya penyerbukan sendiri (selfing). Morfologi bunga dan proses perkembangan bunga mindi, mempunyai peran yang penting dalam mencari jawaban mengapa keragaman genetik rendah. Mindi memiliki tipe bunga hermaprodit, dengan proses pemekaran yang simultan antar ranting bunga dalam satu malai menyebabkan besarnya peluang terjadi penyerbukan sendiri secara alami pada suatu populasi. Konsekuensinya pada program pemuliaan yang melakukan kegiatan hibridisasi akan memerlukan
96
proses penyilangan khusus yaitu penyerbukan terkendali dengan teknik emaskulasi bunga di dalam satu malai. Tahapan perkembangan bunga mindi terdiri atas beberapa fase dan fase yang paling penting adalah fase ketika sepal membuka dan kolom staminal berwarna ungu terlihat dengan antera yang membuka dan stigma berwarna hijau terang ditengahnya, maka pada saat ini periode penyerbukan dimulai. Stigma yang reseptif dan polen yang matang merupakan prasyarat untuk keberhasilan penyerbukan. Reseptivitas stigma pada mindi berlangsung selama satu hari dan pagi hari mulai pk. 08.00 sampai pk. 11.00 merupakan periode reseptif yang efektif. Sementara itu viabilitas polen mindi yang baik terjadi pada rentang waktu dari pk. 07.00 sampai pk. 11.00, dengan demikian waktu penyerbukan yang efektif dimana stigma reseptif dan polen viabel adalah pada pk. 08.00-pk.11.00. Petal atau mahkota bunga mindi berwarna putih dan saat mekar tercium aroma yang khas seperti bunga melati. Hal ini memberikan indikasi bahwa tanaman mindi melakukan penyerbukan juga dibantu oleh serangga, khususnya lebah atau ngengat yang menyukai warna bunga putih. Sementara aroma yang dikeluarkan juga menarik serangga untuk mengunjungi bunga. Walaupun demikian, perlu penelitian tersendiri terkait vektor penyerbuk mindi. Bunga dalam keadaan mekar (antesis) bertahan selama satu hari. Implikasinya adalah periode untuk melakukan penyerbukan dibatasi oleh waktu. Apabila bunga tidak mendapat kunjungan dari serangga penyerbuk pada periode penyerbukan, maka ada peluang bagi bunga untuk melakukan penyerbukan sendiri. Walaupun demikian, tanaman mindi juga melakukan penyerbukan silang (outcrossing) dilihat dari ratio jumlah buah/bunga yang cukup tinggi yaitu ratarata 70% hasil penyerbukan silang terkendali. Dengan demikian, hasil penyerbukan secara biologi perlu didukung analisis genetik untuk melihat apakah ada penyimpangan struktur genetik pada sistem perkawinan mindi, sehingga bisa diduga terjadinya penyerbukan silang atau sendiri pada mindi. Morfologi buah sangat penting dipelajari terutama untuk mengetahui lapisan-lapisan dinding yang membentuk buah dan biji yang ada di dalamnya. Hal ini berguna ketika akan melakukan ekstraksi (pengeluaran biji dari buah) atau skarifikasi yaitu perlakuan memecahkan dormansi kulit biji secara fisik untuk mempercepat perkecambahan. Buah mindi termasuk tipe drupe yaitu buah yang ditandai dengan pengerasan lapisan dalam perikarp yang membentuk endokarp. Pemecahan dormansi kulit biji mindi cukup sulit dilakukan karena ketebalan dan
97
kekerasannya.
Perendaman biji dengan asam
sulfat
cukup membantu
memecahkan dormansi untuk skala penelitian tapi tidak efisien dan tidak aman dilakukan untuk skala luas terutama oleh masyarakat petani. Siklus reproduksi mempunyai peranan penting dalam dinamika populasi tanaman karena keberhasilan manipulasi penyilangan dapat dilakukan dengan mempercepat atau memperlambat pembungaan. Satu siklus reproduksi tanaman mindi memerlukan waktu lima sampai enam bulan dimulai dari munculnya tunas generatif. Siklus reproduksi biasanya dimulai dari inisiasi bunga yang dalam pengamatannya memerlukan metode tersendiri dengan membuat irisan tunas jaringan secara mikroskopis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa inisiasi bunga mindi terjadi lebih dari tiga bulan. Sehingga satu siklus reproduksi apabila dimulai dari inisiasi bisa berlangsung lebih dari enam bulan. Dari pengamatan siklus ini, maka diketahui waktu mulai terlihatnya pembungaan mindi di Gambung (Bandung Selatan) yakni bulan September – Oktober dimana pada bulan ini primordia bunga sudah terinisiasi. Dengan demikian, tanaman mindi tidak mengalami dormansi antara pembentukan primordia bunga menjadi kuncup bakal malai. Informasi ini sangat penting ketika praktisi akan merencanakan pemanenan buah untuk bahan pertanaman. Saat inisiasi bunga mindi terdeteksi bulan Agustus-September maka dapat diprediksi buah diunduh pada bulan Januari-Februari atau sekitar enam sampai tujuh bulan kemudian atau dua-tiga bulan setelah bunga mekar karena bunga mekar terjadi pada bulan Oktober. Proses pembungaan dan pembuahan akan berulang terus setiap tahun dalam periode yang relatif sama karena tanaman mindi tidak mengalami fase dormansi pada
setiap
tahap
perkembangannya.
Informasi
inisiasi
bunga
sangat
bermanfaat juga apabila akan mempercepat pembungaan tanaman mindi dengan perlakuan silvikultur dan waktu yang tepat untuk perlakuan tersebut adalah satu atau dua bulan sebelum terjadinya inisiasi. Selama periode reproduksi, kemungkinan kegagalan hidup dapat terjadi pada setiap tahap perkembangan mulai dari pembungaan hingga pembuahan. Kegagalan pada setiap tahap tersebut mempunyai risiko yang sama terhadap kualitas dan kuantita produksi benih yang dihasilkan, dengan demikian perlu manajemen yang baik pada setiap peristiwa perkembangan tanaman. Penggunaan penanda mikrosatelit untuk jenis mindi yang dikembangkan dari delapan pasang lokus primer untuk mimba (Azadirachta indica) adalah cukup baik dan bermanfaat sebagai penanda mikrosatelit dalam menganalisis
98
keragaman genetik dan struktur inbreeding jenis mindi. Dari delapan penanda tersebut hanya satu yang menghasilkan fragmen monomorfik dan selanjutnya tidak digunakan dalam proses PCR. Hasil evaluasi terhadap tujuh lokus yang digunakan sebagai marker DNA, lokus Ai_11 dapat menjadi penanda spesifik mikrosatelit yang efektif untuk mendeteksi keragaman genetik dan struktur inbreeding tanaman mindi. Namun perlu parameter lebih detil untuk menjelaskan penanda mikrosatelit spesifik untuk mindi sehingga dapat mengambil kesimpulan yang lebih akurat. Keragaman genetik populasi pohon induk dan keturunan pada kedua populasi termasuk kedalam katagori rendah yang ditunjukan dengan nilai He masing-masing dengan kisaran 0,49-0,51 untuk pohon induk dan 0,297-0,426 untuk anakan. Pada jenis tanaman hutan lainnya seperti mimba India (Azadirachta indica) menghasilkan nilai He antara 0,51-0,85 dan mimba Thailand berkisar antara 0,50-0,80 (Boontong et al 2008), mahoni (Swietenia macrophylla) antara 0,72-0,91 (Lemes et al 2002). Jumlah alel (Na) pada pohon induk dan anakan berkisar antar dua dan tiga dan jumlah alel efekitf (Ne) ada pada rentang 2,285-2,429 pada populasi pohon induk dan antara 2,000-2,143 pada populasi anakan. Nilai keragaman genetik pohon induk berada pada kisaran yang lebih tinggi daripada keragaman genetik keturunan. Penurunan kualitas genetik dapat terjadi melalui tipe penyerbukan pada tanaman mindi yang memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri karena memiliki karakteristik biologi reproduksi yang mendukung ke arah selfing. Karakteristik tersebut diantaranya tipe malai yang tegak dan bunga mekar secara simultan antar ranting dalam malai, tipe bunga hermaprodit dengan posisi stigma dan antera yang berdekatan dan sejajar, reseptivitas stigma dan polen viabel terjadi pada rentang waktu yang sama serta kemampuan menghasilkan buah setelah menyerbuk sendiri. Dengan demikian, diduga anakan yang ada pada populasi Sumedang maupun Bandung merupakan sebagian dari produk penyerbukan sendiri. Hasil penyerbukan terkendali yang dilakukan pada tanaman mindi di Megamendung-Bogor menunjukkan bahwa tanaman ini mampu melakukan penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri. Persentase bunga yang menjadi buah pada penyerbukan sendiri (selfing) berkisar antara 42-57% (Gambar 13) dan nilai tersebut menurut Karron (1987) dapat dikatagorikan sebagai tanaman yang mempunyai self-compatible tinggi (highly self-compatible). Hasil analisis
99
secara
genetik
terhadap
keturunan
mindi
membuktikan
bahwa
terjadi
penyimpangan genotipe dari struktur genetik Hardy-Weinberg baik pada populasi di Sumedang maupun Bandung. Penyimpangan itu terdeteksi pada sebagian kecil lokus. Penyimpangan yang terjadi termasuk katagori rendah karena hasil evaluasi pada struktur inbreeding hanya ada dua sampai tiga lokus dari tujuh lokus yang secara signifikan menunjukkan penyimpangan. Penyimpangan yang terjadi bukan karena adanya inbreeding karena menurut Ziehe et al.(1993) suatu populasi dikatakan inbreeding apabila hasil pengukuran struktur inbreeding memperlihatkan kecenderungan homogen dan bernilai positif. Beberapa fenomena selain inbreeding dapat menjelaskan penyebab penyimpangan, diantaranya perkawinan berpilih, seleksi viabilitas dan efek Wahlund (MullerStarck & Liu 1989).
Adanya pembungaan awal atau akhir (early and late
flowering) pada tanaman memungkinkan terjadinya perkawinan berpilih dan pada mindi fenomena ini perlu diamati lebih jauh untuk menjelaskan dugaan perkawinan berpilih yang menyebabkan penyimpangan genotipe. Populasi Sumedang lebih tinggi penyimpangannya daripada populasi Bandung.
Perbedaan
genetik
antar
populasi
mencapai
17%.
Deviasi
heterosigositas dari individu anakan berdasarkan nilai indeks fiksasi (Fis) ratarata adalah -0,0680. Hal ini berarti bahwa penyimpangan yang terjadi pada populasi keturunan dari kedua lokasi relatif masih rendah. Kenyataan ini memperkuat dugaan adanya inbreeding pada sistem perkawinan tanaman mindi dalam katagori rendah. Dugaan ini didukung oleh tipe penyerbukan mindi yang juga mampu melakukan penyerbukan silang sebesar 70%. Fenomena perkawinan berpilih (assortative mating) di populasi Sumedang dan Bandung terdeteksi pada tingkat rendah. Evaluasi terhadap pola keragaman genetik populasi pohon induk mindi yang diduga dari karakter fenotipik pada kondisi lingkungan di WanayasaPurwakarta
menunjukkan
bahwa
tiga
karakter
morfologi
benih
tidak
memperlihatkan varians genotipe yang luas dan hanya satu karakter (PB) yang menunjukkan varians fenotipe yang luas. Hasil analisis komponen utama menunjukkan kedekatan antar sembilan pohon induk mindi berdasarkan karakter struktur benih. Nilai heritabilitas dan nilai kemajuan genetik untuk karakter morfologi benih termasuk katagori rendah. Berdasarkan evaluasi terhadap beberapa analisis yang digunakan, karakter morfologi benih tidak cukup efektif
100
digunakan menjadi penciri dalam kegiatan seleksi pohon induk mindi di lokasi Wanayasa-Purwakarta. Sementara
hasil
evaluasi
terhadap
karakter
perkecambahan
menunjukkan bahwa tiga karakter mempunyai varians fenotipe dan genotipe yang luas termasuk DB (daya berkecambah), WMB( waktu mulai berkecambah) dan TB (total perkecambahan). Nilai heritabilitas karakter perkecambahan ratarata sedang dan kemajuan genetik yang berkisar antara sedang-besar. Hasil analisis fungsi komponen utama kapasitas perkecambahan mampu menduga keragaman pohon induk sebesar 88,3%.
Dengan demikian, ketiga karakter
perkecambahan cukup akurat untuk mendukung seleksi pohon induk. Evaluasi keragaman genetik anakan berdasarkan karakter pertumbuhan semai menunjukkan bahwa panjang pucuk semai (PPS), panjang petiole daun semai (PPDS) dan ratio panjang petiol terhadap panjang daun (RPDS) memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas serta nilai kemajuan genetik yang berkisar antara sedang-besar. Secara keseluruhan nilai duga heritabilitas semua karakter pertumbuhan semai yang diukur termasuk kriteria rendah. Hal ini memberikan indikasi bahwa karakter pertumbuhan semai mindi pada plot penelitian Wanayasa sangat sedikit diwariskan kepada keturunannya. Walaupun demikian,
berdasarkan
analisis
komponen
utama
pertumbuhan
semai
merupakan karakter yang sangat kuat mempengaruhi keragaman antar pohon induk mindi yang ditunjukkan dengan nilai persentase yang tinggi (60%-100%) pada analisis PGM. Karakter pertumbuhan semai yang kuat mempengaruhi keragaman antar pohon induk tampaknya lebih disebabkan faktor lingkungan daripada genetik. Akan tetapi, penggunaan tiga karakter pertumbuhan semai yaitu panjang pucuk, panjang petiole dan ratio panjang petiole terhadap panjang daun, dalam seleksi pembibitan akan memperoleh hasil yang cukup efektif karena memiliki penilaian yang tinggi berdasarkan parameter yang diukur. Penilaian terhadap kualitas fenotipik pohon induk berdasarkan karakter morfologi benih, kapasitas perkecambahan dan
pertumbuhan semainya
menghasilkan ketetapan bahwa pohon induk P2, P15 dan P24 pada plot populasi di Wanayasa-Purwakarta memperlihatkan keberagaman karakter fenotipik yang tinggi dibandingkan dengan pohon induk lain. Ketiga pohon induk tersebut masing-masing berada pada kelompok yang berbeda pada pengukuran jarak fenotip berdasarkan cluster analysis. Dengan demikian, pohon induk yang secara fenotipik memperlihatkan keragaman tersebut layak untuk dijadikan pohon
101
penghasil benih dalam perencanaan pengembangan sumber benih hutan rakyat. walaupun demikian, analisis keragaman berdasarkan marka molekuler masih diperlukan untuk memperkuat dugaan keragaman genetik berdasarkan fenotipik.
103
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan: Inisiasi bunga terjadi selama lebih dari 3 bulan, tetapi persentase terbesar terjadi pada bulan September-Oktober. Siklus reproduksi mindi pada lokasi tegakan di Gambung (Bandung Selatan) berlangsung selama 5-6 bulan mulai dari munculnya tunas generatif pada bulan September, bunga mekar (anthesis) dan petal gugur bulan September-Oktober hingga buah siap dipanen pada bulan Januari-Februari. Bunga mindi memiliki tipe hermaprodit yang berpeluang terjadinya penyerbukan sendiri (selfing). Fase ke lima dari tahap perkembangan bunga menunjukkan kondisi antera yang membuka dengan polen yang sudah terlepas dan
stigma
hijau
terang
yang
mengindikasikan
periode
penyerbukan.
Reseptivitas stigma berkisar antara 63-66% yang terjadi dari pk. 08.00 sampai pk.11.00 dan reseptivitas menurun pada pk. 12.00. Viabilitas polen pada pk.07.00 mencapai 7% dan tidak meningkat sampai pk.11.00, sehingga penyerbukan dapat terjadi antara pk.08.00-11.00. Penyerbukan terbuka dan silang terkendali menghasilkan nilai fruit set antara 70-77%, hal ini menunjukkan bahwa
tanaman mindi memiliki kemampuan melakukan penyerbukan silang
(outcrossing) atau penyerbukan sendiri (selfing). Keragaman genetik populasi pohon induk dan anakan berdasarkan penanda mikrosatelit pada kedua populasi dikatagorikan rendah yaitu pada kisaran 0,49-0,51 untuk pohon induk dan 0,28-0,42 untuk anakan. Terjadi penurunan kualitas genetik yang diturunkan oleh tetua terhadap anakannya. Rendahnya
keragaman
genetik
umumnya
bukan
disebabkan
terjadinya
inbreeding. Keragaman genetik pohon induk dan anak yang tersimpan di dalam populasi mencapai 67%. Penyimpangan genotipe dari struktur genetik HardyWeinberg terdeteksi pada sebagian besar lokus dan struktur inbreeding tidak terdeteksi pada semua lokus di kedua populasi. Secara keseluruhan nilai indeks fiksasi (Fis) rata-rata -0,0680. Dengan demikian, inbreeding pada sistem perkawinan tanaman mindi pada tingkat yang masih rendah. Di populasi Sumedang terjadi penyimpangan pada perkawinan acak, sedangkan populasi Bandung melakukan perkawinan acak. Perbedaan genetik antar kedua populasi tersebut mencapai 17%.
104
Karakter daya berkecambah, waktu mulai berkecambah, panjang pucuk semai, panjang petiole daun semai dan rasio panjang petiol terhadap panjang daun dapat menjadi penciri dalam seleksi pohon induk dan pembibitan pada populasi Wanayasa-Purwakarta. Pohon induk P2, P15 dan P24 pada umumnya memperlihatkan keberagaman karakter fenotipe yang tinggi dibandingkan dengan pohon induk lain.
6.2 Saran: Beberapa saran dapat dilakukan untuk pengembangan sumber benih hutan rakyat di Jawa Barat, yaitu sebagai berikut: 1.
Pengumpulan buah mindi untuk bahan pertanaman sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan waktu panen yang tepat dimana periode pembuahan setiap lokasi tegakan penghasil benih akan berbeda.
2.
Populasi tegakan mindi di Padasari-Sumedang dan di Gambung-Bandung masih dapat dijadikan sumber benih untuk pengembangan sumber benih hutan rakyat karena dugaan inbreeding pada sistem perkawinan mindi masih pada tingkat rendah. Namun demikian, untuk memperluas keragaman genetik perlu melakukan pengumpulan benih dari lokasi lain yang tersebar di Indonesia terutama dari luar Jawa setelah dilakukan uji keragamannya.
3.
Seleksi pembibitan di lokasi tegakan mindi Wanayasa-Purwakarta dapat dilakukan dengan memperhatikan karakter pertumbuhan semai dan untuk memperluas variasi genetik sebaiknya sampel bibit diperoleh dari beberapa wilayah tegakan mindi yang tersebar di Indonesia yang sudah teruji tingkat keragamannya.
DAFTAR PUSTAKA Abdala-Roberts L, Parra-Tabla V, Navarro J. 2007. Is Floral Longevity Influenced by Reproductive Costs and Pollination Success in Cohniella ascendens (Orchidaceae)? Ann Bot, 100(6): 1367–1371 Abreu AG, Priolli RHG, Azevedo-Filho JA, Nucci SM, Zucchi MI, Coelho RM, Colombo CA. 2012. The genetic structure and mating system of Acrocomia aculeata (Arecaceae). Genetic Molecular Biololgy 35 (1) Aminah A, Syamsuwida D, Muharam A. 2009. Perkembangan Pembungaan dan Pembuahan Mindi (Melia azedarch Linn.). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Bogor Aritonang KV, Siregar IZ ,Yunanto T. 2007. Manual Analisis Genetik Tanaman Hutan Di Laboratorium Silvikultur Fakulta Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Laboratorium Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Armbruster WS, Mulder CPH, Baldwin BG, Kalisz S, Wessa B, Nute H. 2007. Comparative Analysis of Late Floral Development and Mating-System Evolution in Tribe Collinsieae (Scrophulariaceae S.L.). American Journal of Botany 94(7): 1183–1192 Atmandhini, RGB. 2011. Hubungan faktor tempat tumbuh dengan produksi buah mindi (Melia azedarach L) di hutan rakyat Jawa Barat. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana- IPB. Basri E, Yuniarti K. 2006. Sifat dan bagan pengeringan sepuluh jenis kayu hutan rakyat untuk bahan baku mebel. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan. 175-182 Baskorowati L. 2008. Reproductive biology of Meulaleca alternifolia (Maiden&Betche) Cheel (dessertation). Australian National University. Bawa KS, Kang H, Grayum MH. 2003. Relationships among Time, Frequency, and Duration of Flowering In Tropical Rain Forest Trees . American Journal of Botany 90(6): 877–887. Boontong
CM, Pandey, Changtragoon S. 2008. Isolation and characterization of microsatellite markers in Indian neem (Azadirachta indica var, indica A, Juss) and cross-amplification in Thai neem (A. indica var, siamensis Valenton), Springer Science+Business Media BV
Brewbaker JL , Kwack BH. 1963. The essential role of calcium ion in pollen germination and pollen tube growth. American Journal of Botany (50):859-865
106
Burczyk J, Chalupka W. 1997. Flowering and cone production variability and its effect on parental balance in a scot pine clonal seed orchard. Annual Science Forest (54):129-14. Burczyk J, Chybicki IJ. 2004. Cautions in direct gene flow estimation in plant population, Evolution 58(5): 956-963 Chaix G, Gerber S, Razafimaharo V, Vigneron P, Verhaegen D, Hamon S. 2003. Gene flow estimates with microsatellite in a Malagasay seed orchard of Eucalyptus grandis. Theoretical and Applied Genetics 107:705-712 Chakraborty R, Kimmel M, Stivers DN, Davison LJ, Deka R. 1997. Re;atives mutation rates at di, tri, tetra-nucleotide microsatellite loci. Proceedings of the National Academic of Sciences of the USA 94:1041-1046 Choi WY, Kang KS, Jang KW, Han SU, Kim CS. 2004. Sexual assimetry based on flowering assesment in a clonal seed orchard of Pinus densiflora. Silvae Genetica 53(2):55-59 Crow JF, Kimura M. 1970. An introduction to population genetic theory. Harper and Row, New York. Crowder LV. 1990. Genetika Tumbuhan. Gajah Mada Universitas Press. Diterjemahkan oleh Kusdiarti L. 499 hal Craft KJ, Ashley MV. 2007. Landscape genetic structure of bur oak (Querqus macrocarpa) Savannas in Illinois. Forset Ecology and Management 239:13-20 Danu . 2000. Mindi (Melia azedarch Linn.). Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor Dayanandan S, Bawa KS, Kesseli R. 1997. Conservation of microsatellites among tropical trees (Leguminosae). American Journal of Botany 84(12): 1658–1663 Dow BD, Ashley MV. 1998. High levels of gene flow in bur Oak revealed by paternity analysis using microsatellites. The Journal of Heredity 89(1):62-70 El-Kassaby YA .1992. Domestication and genetic diversity,,should we be concerned? Forest Chronicle. 68:687-700 El-Kassaby YA, Fashler AMK, Sziklai O. 1984. Reproductive phenology and its impact on genetically improved seed production in a DouglasFir seed orchard, Silvae Genetica 33(4-5):120-125 El-Kassaby YA, Ritland K.1996. Impact of selection and breeding on the genetic diversity in Douglas-fir. Biodiversity and Conservation 5:795-813
107
Esau K. 1976. Anatomy of Seed Plants, 2 nd edition. John Wiley & Sons
Estoup A, Jarne P, Cornent JM. 2002. Homoplasy and mutation model at microsatellite loci and their consequnces for population genetic analysis. Mol. Ecol. 11: 1591-1604. Faegri K ,
van der Pijl. 1979. Principles of Pollination Ecology. 2nd ed. Pergamon, Oxford
Finkeldey R . 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis, Djamhuri E, Siregar IZ, Siregar UJ, Kertadikara AW (Alih bahasa). Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding. Gottingen. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Florido HB, de Mesa PB, Pader LP, Cortiguerra FF. 2002. Paraiso Melia azedarach Linn, Sibukao Caesalpinia sappan L. Research Information Series on Ecosystems. Volume 14 No.1 Gailing O, Wuehlisch GV. 2004. Nuclear markers (AFLP) and chloroplast microsatellite differ between Fagus sylvatica and F. orientalis. Silvae Genetica 53(3):105-110 Ginwal HS, Kumar P, Sharma VK, Mandal AK. 2004. Seed sources variation in growth peformance of Eucalyptus camadulensis Dehn. of Australain origin in India. Silvae Genetica 54(4):182-186 Gomory D, Bruchanik R, Longauer R. 2003. Fertility variation and flowering asynchrony in Pinus sylvestris: consequences for the genetic structure of progeny in seed orchards. Forest and Ecology Management 174:117-126 Gregorius HR, Hattemer HH. 1987. Characterisation of mating system. Journal Theory of Biology. 128:407-422 Griffin
AR, Ching KK, Johnson K W, Hand FC, Burgess IP. 1982. Processing Eucalyptus pollen for use in controlled pollination. Silvae Genetica 31: 198 – 203
Hamrick JL, Godt MJ.1989. Allozyme diversity in plant species. In: Brown ADH, Clegg MT,Kahler AL, Weir BS (eds): Plant population genetics, breeding and genetic resources, Sinauer Assc, Sunderland, Mass:43-63 Hamrick JL, Godt MJW, Sherman-Broyles, Sl . 1992. Factors influencing levels of genetic diversity in woody plant species. New Forests 6, 95–124. Hamid Ah, Ab-Shukor NA, Senin AL. 2008. Morphometric and genetic variation of six seed sources of Azadirachta excelsa (Jack). Jacobs. Journal of Biological Science 8:702-712 Hanum F, van der Maesen LJG. 1997. Plant Resources of South-East Asia no.11, Auxiliary plants. Prosea Bogor. Indonesia
108
Hattermer HH. 1991. Genetic analysis and Population genetics. In Fineschi et al. (eds) Biochemical markers, seed weight, cotyledon number and growth rate of Western hemlock seedlings. Canadian Journal of Forest Research 11(3): 662-670 Hegland SJ, Totland O. 2007. Pollen limitation affects progeny vigour and subsequent recruitment i the insect pollinated herb Ranunculus acris. Oikos 116:1204-1210 Heyne K . 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta Heslop-Harrison Y. 2000. Control gates and micro-ecology: the pollen–stigma interaction in perspective. Annals of Botany 85 (Suppl. A): 5–13 Hedhly A, Hormaza JI, Herrero M. 2003. The Effect of Temperature on Stigmatic Receptivity in Sweet Cherry (Prunus Avium L.). Plant, Cell and Environment. 26 : 1673–1680 Herlihy CR, Eckert CG. 2005. Evolution of Self-Fertilization at Geographical Range Margins? A Comparison of Demographic, Floral, and Mating System Variables in Central Vs, Peripheral Populations of Aquilegia Canadensis (Ranunculaceae). American Journal of Botany. 92(4): 744–751 Hartl DL, Clark AG . 1997. Principle of population genetics 3rd ed. Sinauer Associates inc. USA. 542p Hidayat Y. 2010. Variasi genetik populasi pohon surian (Toona sinensis Roem) di Pulau Jawa, [Desertasi], Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung Irwanto .
2006. Hubungan Konseptual Antar Keragaman dan Perolehan Genetik www,irwantoshut,com
Jamsari . 2006. Struktur bunga, waktu kemasakan polen serta reseptivitas stigma species Uncaria gambir . Lab Bioteknologi dan pemuliaan Tanaman. Program Studi Pemuliaan tanaman. Universitas Andalas Padang Kalisz S, Vogler D, Fails B, Finer M, Shepard E, Herman T, Gonzales R, 1999, The mechanism of delayed selfing in Collinsia verna (Scrophulariaceae), American Journal of Botany. 86: 1239–1247 Kang KS. 2000. Clonal and annual variationof flower production and composition of gamet gene pool in a clonal seed orchard of Pinus densifloria. Canadian Journal of Forest Research 30:1275-1280 Karron JD ,1987, A comparison of level of genetic polymorphism and selfcompatibility in geographically restricted and widespread plant congeners, Evolutionary Ecology, 1:47-58
109
Karyono, Hariyatno. 2001. Peluang dan Tantangan Pemasaran Kayu Mindi (Melia Azedarach L.) : Studi Kasus Di Bogor Jawa Barat. Info Sosial Ekonomi. (2)2:77-86 Kearns CA, Inouye DW . 1993. Techniques for pollination biologists University Press of Colorado, Niwot, Colorado, USA. Khadari B, Gibernau M, Anstett MC, Kjellberg F, Hossaert-McKey M. 1995. When fig wait for pollinators: the length of fig receptivity. American Journal of Botany , 82: 992–999 Khan AV, Athar AK, Indu S . 2008. In Vitro Antibacterial Potential of Melia azedarach Crude Leaf Extracts Against Some Human Pathogenic Bacterial Strains, Ethnobotanical Leaflets 12: 439-445 Kundu SK, Tigerstedt PMA. 1999. Variation in net photosynthesis, stomatal characteristics, leaf area and whole plant phytomass production among ten provenances of neem (Azadirachta indica). Tree Physiology. 19 (1): 47-52 Kremer A, Dupouey JL, Deans JD, Cottrel J, Csaikel U, Finkeldey R, Espinal S, Jensen J, Kleinschmit J, Dam BV, Ducousso A, Forrest I,Heredia UL, Lowe AJ, Tutkova M, Munro RC, Steinhof S, Badeau V. 2002. Leaf morphological differentiation between Querqus robur and Querqus petraea is stable across western European mixed oak stands. Annual Forest Science 59:777-787 Lankinen A, Armbruster WS, Antonsen L. 2007. Delayed Stigma Receptivity in Collinsia Heterophylla (Plantaginaceae): Genetic Variation and Adaptive Significance in Relation to Pollen Competition, Delayed Self-Pollination, and Mating-System Evolution. American Journal of Botany 94(7): 1183–1192 Lemes MR, Brondani RPV, Grattapaglia D. 2002. Multiplexed Systems of Microsatellite Markers for Genetic Analysis of Mahogany, Swietenia macrophylla King (Meliaceae), a Threatened Neotropical Timber Species. The Journal of Heredity 93(4) Lemes MR, Gribel R, Proctor J, Grattapgalia D. 2003. Population genetic structure of mahogany (Swietenia macrophylla King, Meliaceae) across the Brazilian Amazon, based on variation at microsatellite loci: implications for conservation. Moleculer Ecology.12:28752883 Lemes MR, Grattapaglia D , Grogan J, Proctor J, Gribel R . 2007. Flexible mating system in a loged population of mahogany (Swietenia macrophylla King, Meliaceae): implications for the management of threatened neotrpical tree species. Plant ecology 192:169-179
110
Lemes MR, Dick CW, Narro C, Lowe Aj, Cavers S, Gribel R. 2010. Chloroplast DNA microsatellite reveal contrasting Phylogeographic structure in mahogany (Swietenia macrophylla King, Meliaceae) from Amazon and Central America. Tropical Plant Biology. 3:4049 Levin DA . 1989. Proximity-dependent cross compatibility in Phlox. Evolution 43: 1114–1116 Liao W-J, Hu Y, Zhu B-R, Zhao X-Q, Zeng Y-F, Zhang D-Y. 2009. Female reproductive success decreases with display size in monkshood Aconitum kusnezoffii (Ranunculaceae). Annals of Botany 104: 1405–1412 Martawidjaja A, Iding K, Mandang YL, Soewanda AP, Kadir K .1989. Atlas Kayu Indonesia, Jilid II. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan, Bogor, Hal 96-99 Mellingers JS .1972. Measures of genetic similarity and genetic distance, studies in genetics, VII Univ Tex Publ, 27 13: 145- 153 Moncur MW, Hasan O. 1994. Floral induction in Eucalyptus nitens. Tree Physiology 14:1303 – 1312. Moran GF, Bell JC, Matheson AC. 1980. The genetic structure and level of inbreeding in a Pinus radiata D Don seed orchard. Silvae Genetica 29 (5-6):190-193 Mohammadi SA, Prasanna BM .2003. Analysis of genetics diversity in crop plants: salient statical tools and considerations, Crop Sci 43: 12351248 Muller-Starck G, Liu YQ.1989. Inferences on the Reproductive System of Cunninghamia lanceolata. Forest Ecology and Management, 29:187-198 Murdaningsih HK, Baihaki A, Satari G, Danakusuma T, Permadi AH. 1990. Variasi genetik sifat-sifat tanaman bawang poutih di Indonesia. Zuriat 1(1):32-36 Ng FSP. 1992. Manual of Forest Fruits, Seeds and Seedlings. Vol 2. Malayan Forest Record No.34. Forest Research Institute Malaysia. Kualalumpur Nishihiro J, Washitani I. 2011. Post-pollination process in a partially selfcompatible distylous plant, Primula sieboldii (Primulaceae). Plant Species Biology. 26: 213–220 Novita I. 2005. Aliran gen (gen flow) di Kebun Benih klonal Jati Padangan, Jawa Tengah. Sekolah pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Nurhasybi, Danu . 1997. Mengenal Budidaya Mindi (Melia azedarach Linn.). Tekno Benih. Badan Litbang Kehutanan. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor
111
Nurhasybi, Sudradjat DJ. 2008 . Eksplorasi benih tanaman hutan untuk konservasi dan pembangunan sumber benih. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan. Bogor Nurtjahjaningsih ILG. 2008. Study on Genetic Diversity and Mating System in A Seedling Seed Orchard of Pinus merkusii. [Dessertation]. School of Agricultural and Life Sciences. The University of Tokyo. Japan. Nurtjahjaningsih ILG. 2010. Pengembangan penanda mikrosatelit pada Pinus merkusii mnggunakan metode dual suppression dan screening penanda. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 4(1):25-35 Owens JN, Blake MD. 1985. Forest Tree Seed Production: A Review of the Literature and Recommendation for Future Research. Information Report PI-X-53, Petawawa National forestry Institute. Canadian Forestry service. Agriculture Canada Owens JN . 1985. Contraints to Seed Production: Temperate and tropical forest trees. Tree Physiology 15:477-484 Owens JN, Sornsathapornkul P, Tangmitchareon S. 1991. Studying Flowering and Seed Ontogeny inTropical Forest Trees, ASEANCanada Forest tree Seed Centre. Muak Lek, Saraburi, Thailand Özel HB, Ertekin M, Tunçtaner K. 2010. Genetic variation in growth traits and morphological characteristics of eastern cottonwood (Populus deltoides Bartr.) hybrids at nursery stage. Scientific Research and Essays. Vol. 5 (9): 962-969 Palupi ER , Owens JN. 1998. Reproductive Phenology and Reproductive Success of Teak (Tectona grandis LF). Int.J Plant Sci. 159(5):833842 Palupi ER . 2006. Genetric, Biotic and Physiological Factors in Seed Production o teak (Tectona grandis L.f): A case study in clonal seed orhard in East Java. Dessertation. Graduate School, Bogor Agricultural University Palupi ER, Owens JN, Sadjad S, Soedarsono, Solihin DD. 2010. The importance of fruit set, fruit abortion, and pollination success in fruit production of teak (Tectona grandis). Canadian Journal of Forest Research. 40(11): 2204-2214 Peakell R, Smouse PE. 2006. GENALEX 6: Genetic Analysis in Excell. Population genetic software for teaching and research. Molecular Edology Notes.6:288-295 Pereira
MF, Bandeira LF, Blanko AJV,Coelho ASG, Ciampi AY, Franceschinelli EV. 2011. Isolation and Characterization in microsatellite loci on Cabralea canjerana (Meliaceae). American Journal of Botany. e1-e3
112
Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. PAU-IPB bekerja sama dengan Lembaga Sumber adaya Informasi IPB, Bogor. 169 hal Pramono AA et al. 2008. Sebaran Potensi Sumber Benih jenis Potensial (Mindi) di Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Bogor. Pramono AA et al. 2009. Teknik Peningkatan Produksi Benih Mindi (Melia azedarach L) di Hutan Rakyat. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Bogor Rafalski JA, Vogel JM, Morgante M, Powell W, Andre C, Tingey SV. 1996. Generating and using DNA markers in plants. In: Analysis of nonmammalian genomes—a practical guide. 1st ed (Birren B and Lai E, eds). New York: Academic Press. 75–134 Rawat K, Bakshi M. 2011. Provenance variation in cone, seed and seedling characteristics in natural populations of Pinus wallichiana A.B. Jacks (Blue Pine) in India, Annual Forestry Research. 54(1): 3955 Raymond M, Rousset F .1998. Genepop (Version 3.1c) an updated,Version of genepop V.1.2 (1995): population genetics software for exact tests and ecumenicism. Journal of Heredity, 86, 248–249 Rostini NE, Yuliani, Hermiati N. 2006. Heritabilitas, kemampuan genetik dan korelasi karakter daun dengan buah muda heritabilitas pada 21 genotip nenas. Zuriat 17(2):114-121 Samal S, Rout GR, Lenka PC. 2003. Analysis of genetic relationships between populations of cashew (Anacardium occidentiale L.) by using morphological characterisation and RAPD marker. Plant Soil Environ. 49 (4):176-182 Sanzol J, Rallo P, Herrero M. 2003. Asynchronous Development of Stigmatic Receptivity in the Pear (Pyrus Communis; Rosaceae) Flower. American Journal of Botany 90(1): 78–84 Schmidt L. 2000. Guide to handling of Tropical and Subtropical Forest Seed, Danida Forest Seed Centre. Humlebaek, Denmark Sexton GJ, Frere CH, Dieters MJ, Godwin ID, Prentis PJ. 2010. Development and Characterization of Microsatellite Loci for Khaya Senegalensis (Meliaceae). American Journal of Botany: e111– e113 Siburian RHS. 2009. Keragaman genetik Girinops verstegii asal Papua berdasarkan RAPD dan mikrosatelit. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Singh, RK, Cahudhary BD .1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Kaylan Publishers Idiana New Delhi
113
Shanker RU, Ghaneshaiah KN. 1990. Pollen grain deposition patterns and stigma strategies in regulating seed number per pod in multiovulated species. In Reproductive Ecology of Tropical Forest Plants. Bawa KS and Hadley M (eds). Man and The Biosphere Series. 7:165-177 Sharry SE and Teixeira da Silva JA. 2006. Effective Organogenesis, Somatic Embryogenesis and Salt Tolerance Induction In Vitro in the Persian Lilac Tree (Melia azedarach L.). Floriculture, Ornamental and Plant Biotechnology Volume II. Global Science Books Sedgley M, Griffin AR. 1989. Sexual Reproduction of Tree Crops, Academic Press. Sydney Sedgley M. 1986. Reproductive biology of Acacias. In: Australian Acacias in Developing Countries, ed. J.W. Turnbull. ACIAR Proceeding No. 16:54 – 56 Sedgley M. 1989. Ovule and seed development in Eucalyptus woodwardii Maiden (Symphyomyrtus). Botanical Gazette 150: 271 – 280. Sedgley M. 1991. Insect Visitors to Flowering Branches of Acacia mangium and A, auriculiformis . ACIAR Workshop Siregar IZ. 2000. Genetic aspects of the reproductive system of Pinus merkusii Jungh, et de Vriese in Indonesia. Cuvillier Verlag. Gottingen Singh KP, Kushwara CP . 2006. Diversity of Flowering and Fruiting Phenology of Trees in a Tropical Deciduous Forest in India. Annals of Botany 97: 265–276 Soerianegara I, Lemmens. 1995. Plant Resources of South-East Asia No.II. Auxiliary plants. PROSEA Bogor. Indonesia Souto CP, Aizen MA, Premoli AC. 2002. Crossing distance, kinship and pollen performance. American Journal of Botany Vol. 89(3): 427– 432 Stanley TD, Ross EM. 1983. Flora of south-eastern Queensland. Vol. 1 Queensland Department of Primary Industries. Brisbane, Australia Stephenson AG, Lau TC, Quesada M, Winsor JA .1992. Factors that affect pollen performance. In Ecology and Evolution of Plant Reproduction (ed. R. Wyatt), pp. 119–134. Chapman & Hall, New York, USA Styles BT. 1972. The flower biology of Meliaceae and its bearing on tree breeding. Silvae Genetica 21(5):175-182 Syamsuwida D, Owens JN. 1997. Time and method of floral initiation and effect of paclobutrazol on flower and fruit development in Shorea stenoptera (Dipterocarpaceae). Tree Physiology 17:211-219
114
Tomimatsu H, Ohara M. 2006. Evolution of Hierarchical Floral Resource Allocation Associated with Mating System in an Animal-Pollinated Hermaphroditic Herb, Trillium Camschatcense (Trilliaceae). American Journal of Botany 93(1): 134–141 Wahdah R, Baihaki A, Setiamihardja R, Suryatmana G. 1996. Variabilitas dan heritabilitas laju akumulasi bahan kering pada biji kedelai. Zuriat 7 (2) Waites AR and Agren J. 2006. Stigma Receptivity and Effects of Prior Self Pollination on Seed Set in Tristylous Lythrum Salicaria (Lythraceae). American Journal of Botany 93(1): 142–147 Weir BS, Cockerham CC. 1984. Estimating F-statistics for the analysis of population structure. Evolution 38:1358-1370 Weising K, Nybom H, Wolff K, Kahl. 2005. DNA Fingerprinting in Plants: Principle, Methods and Applications. London: CRC Press. Wiens D, Calvin CL, Wilson CA, Davern CI, Frank D, Seavey SR. 1987. Reproductive success, spontaneous embryo abortion and genetic load in flowering plants, Oecologia 71:501-509 Widura A. 2011. Inbreeding dan inbreeding depression. Artikel Ilmiah. Arya widura’s blog. White G and Powel W. 1997. Cross-species amplification of SSR loci in the Meliaceae family. Blackwell Science Ltd. Molaculer Ecology (6):1195-1197 Yousaf A, Atta BM, Akhter J, Monneveux,Lattef Z .2008. Genetic variability, association and diversity studies in wheat (Triticum aestivum L) germpalsm. Pak Journal of Botany. 40(5):2087-2097 Yulianti, Siregar IZ, Wijayanto N, Dharma T IGK, Syamsuwida D. 2011. Genetic Variation of Melia azedarach L in Community Forests of West Java assesed by RAPD. Journal of Biodiversity 12(2):64-69 Yuskianti V. 2011. Fragmen polimorfik penanda RAPD untuk analisis genetik sengon (Falcataria mollucana). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. 5(1):55-62 Ziehe M, Hattemer HH, Bergmann F, Herzog S. 1993. Aufgabensammlung zur Forstgenetik. J.D Sauerlander’s Verlag. Frankfurt am Main. Pp 1-35. Zobel B, Talbert J. 1991. Applied Forest Tree Improvement. Waveland Press. Inc. USA. Pp 505
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Tabel data skoring inisiasi pembungaan mindi di lokasi GambungBandung No pohon
Juli akhir/ awal agustus
September
Oktober
meristem vegetatif
apikal reproduktif
meristem vegetatif
apikal reproduktif
meristem vegetatif
apikal reproduktif
1
1
0
0
1
0
1
2
1
0
0
1
1
0
3
1
0
1
0
1
0
4
0
1
1
0
1
0
5
1
0
0
1
0
1
6
1
0
0
1
0
1
7
1
0
0
1
0
1
8
0
1
0
1
0
1
9
1
0
1
0
1
0
10
0
1
0
1
0
1
7
3
3
7
4
6
70
30
30
70
40
60
Total Persenta se
116
Lampiran 2. Reseptivitas stigma dan Viabilitas Polen Tabel 1. Data skoring pengukuran reseptivitas stigma mindi Waktu pengambilan stigma
Ulangan 1
2
3
Pk. 08.00
1
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
Persentase
70
60
60
Pk.09.00
1
0
0
1
1
0
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
Persentase
70
80
70
Pk. 10.00
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
0
Persentase
60
70
70
Pk.11.00
0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
0
1
1
117
Lanjutan Tabel 1
Ulangan
Waktu pengambilan stigma
1
2
3
1
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
Persentase
60
60
80
Pk.12.00
1
0
1
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
40
40
40
Persentase
Tabel 2. Analisis keragaman (ANOVA) pengaruh waktu pengambilan terhadap reseptivitas stigma df
Sum of Squares Mean Square
Perlakuan
4
1973,3
493,3
Galat
10
466,7
46,7
Total
14
2440,0
Tabel 3 Uji beda rata-rata persentase reseptivitas stigma Perlakuan
Nilai rata-rata
Pk 08.00
63,33
A
Pk 09.00
73,33
A
Pk 10.00
66,67
A
Pk 11.00
66,67
A
Pk 12.00
40
B
Keteranangan: Nilai yang diikuti huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
F
Sig. 10,57
0,001
118
Tabel 3. Data perkecambahan polen
Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waktu pengambilan polen Pk. 07.00 Pk. 08.00 Pk. 09.00 Pk. 10.00 Pk. 11.00 3,13 0,00 0,00 3,23 0,00 1,52 0,84 6,25 4,44 2,44 0,00 12,50 16,39 14,29 0,00 4,69 2,56 13,04 16,67 4,55 11,29 4,55 10,00 11,11 9,68 15,13 0,00 0,00 0,00 8,33 9,09 8,43 0,00 0,00 19,05 14,29 16,00 0,00 0,00 0,00 4,17 0,00 0,00 0,00 0,00
Tabel 4. Analisis keragaman (ANOVA) pengaruh waktu pengambilan terhadap daya kecambah polen df Perlakuan
Sum of Squares Mean Square 4
2,08
0,52
Galat
40
70,53
1,76
Total
44
72,61
F
Sig. 0,29
0,880
Tabel 5 Suhu rata-rata pada saat pengujian reseptivitas stigma dan viabilitas polen No
Waktu
Suhu rata-rata (OC) pengujian reseptivitas stigma
Suhu rata-rata (OC) pengujian viabilitas polen
1
Pk.07.00-08.00
23,1
22,7
2
Pk.08.00-09.00
24,3
24,5
3
Pk.09.00-10.00
26,3
28,1
4
Pk.10.00-11.00
30,5
30,6
5
Pk.11.00-12.00
32,5
33,1
119
Lampiran 3. Penyerbukan mindi di Megamendung-Bogor Tabel 1. Data persentase bunga menjadi buah (fruit set) hasil penyerbukan tanaman mindi Penyerbukan Ulangan Alami kondisi terBuka (PAB)
Penyerbukan Alami kondisi terTutup (PAT)
1 2 3 Rataan
0,71 0,27 0,72 57
0,77 0,79 0,75 77 A
Penyerbukan Buatan Polen dari pohon Sama (PBPS) 0,50 0,50 0,25 42
Penyerbukan Buatan Polen dari pohon Lain (PBPL) 0,50 0,80 0,80 70 B
Gambar 1 A. Proses emaskulasi (pemotongan bagian petal) pada penyerbukan buatan B. Proses penutupan malai bunga setelah penyerbukan buatan dan/atau alami (PAT, PBPS dan PBPL)
120
Lampiran 4: Produksi buah mindi di lima lokasi di Jawa Barat Lokasi
Rata-rata produksi buah (kg/phn) Tahun 2009
Tahun 2010
Rata-rata per tahun
Ds. Legok Huni, Kab. Purwakarta
14,7±2,1
5,0±0,7
9,9±1,3
Ds. Mekarsari/ Gambung, Kab. Bandung
5,1±0,6
1,2±0,1
3,1±0,4
Ds. Babakan Rema, Kab. Kuningan
5,8±1,5
5,6±1,5
5,7±1,1
Ds. Nagrak, Kab. Bogor
4,3±0,5
5,5±0,7
4,9±0,4
Ds. Sukakarya, Kab. Bogor
5,1±0,3
5,2±0,3
5,1±0,2
Sumber: Atmandhini (2011)
121
Lampiran 5: Data Pengukuran Karakter Fenotipik Pohon Induk Mindi Tabel 1. Data rata-rata perkecambahan mindi dari lokasi Wanayasa (Purwakarta) Tanggal penaburan: 09/06/2011 Praperlakuan: H2SO4 (45') Jumlah benih: 4 x 25 benih No Daya Waktu mulai phn Berkecambah/ berkecambah/ ind DB (%) WMB (hari) 2 21 45,25 8 10 41,00 13 4 39,00 15 41 24,50 17 12 41,00 24 16 24,25 28 22 39,50 29 34 23,75 20 24 41,50
Total hari berkecambah/ TB(hari) 58,00 51,00 46,50 57,50 49,50 54,75 65,00 53,25 62,00
Rata-rata harian berkecambah/RH B (%/hr) 0,33 0,20 0,44 0,68 0,24 0,30 0,33 0,63 0,39
Tabel 2. Data rata-rata dari 20 benih untuk pengukuran struktur benih mindi
No phn
Variabel Panjang (mm)
Diameter (mm)
Berat (g)
2 8 13 15 17 24 28 29 20
12,426 ±1,802 11,634±1,594 12,674±1,635 11,754±1,326 11,446±1,304 12,558±1,882 11,623±1,389 12,430±1,501 12,579±1,519
7,941±0,625 7,961±0,807 8,411± 0,769 8,198±0,760 7,759±0,807 8,103±0,542 7,662±0,694 8,388±0,724 8,099±0,657
0,410±0,113 0,360±0,102 0,466±0,112 0,370±0,086 0,333±0,110 0,403±0,103 0,327±0,090 0,432±0,113 0,398±0,104
122
Tinggi batang bebas daun /TBDS (cm)
Diame ter batang semai /DBS (cm)
Kekoko han batang semai /RTDS (indeks)
Kelurus an batang semai /KLBS( indeks)
Panjan g pucuk /PPS (cm)
Panjan g daun terpanj ang /PDTS (cm)
Jumla h daun/ JDS (helai )
Panjan g anak daun /PADS (cm)
Lebar anak daun/ LAD S (cm)
Jarak anak daun perta ma /JAD P (cm)
Rasio panjan g lebar anak daun/R PLDS (cm)
Panja ng petiol /PPD S (cm)
Jarak helai daun terleb ar /JLD S (cm)
Bentuk lamina daun /BLDS (indeks )
Rasio panjang petiol terhadap panjang daun /RPDS (indeks)
Rasio lebar lamina thdp panjang daun/ LWR (indeks )
Ph2
14,12
8,26
1,497
9,723
2,9
5,86
10,18
5,9
3,99
1,84
2,22
2,199
0,54
1,56
0,395
0,135
22,89
Ph13
17,98
6,05
1,875
9,686
2,6
11,93
12,19
11
4,59
1,99
1,18
2,309
0,51
1,74
0,385
0,111
21,77
Ph8
13,94
6,14
1,908
7,654
2,8
7,8
12,29
10
4,84
2,43
0,98
2,094
0,82
1,89
0,380
0,17
24,57
Ph15
13,27
6,02
1,307
10,573
2,7
7,15
9,99
8,8
3,53
1,82
1,24
1,939
5,2
1,67
0,495
1,468
26,54
Ph17
14,71
5,49
1,518
9,859
2,9
9,22
11,35
9,1
4,68
2,16
1,3
2,163
0,68
1,83
0,389
0,145
23,32
Ph24
17,00
3,98
6,182
4,564
2,8
13,02
15,56
9
5,42
2,52
1,97
2,152
0,72
1,83
0,342
0,129
39,03
Ph28
11,66
3,53
4,327
5,007
2,9
8,121
9,76
8,1
3,98
1,94
1,45
2,063
0,54
1,56
0,398
0,139
24,62
Ph29
15,92
5,28
2,024
8,043
2,8
10,64
13,04
10,7
4,94
2,33
1,06
2,103
0,7
1,85
0,372
0,14
23,72
Ph20
11,26
3,81
2,563
5,602
2,9
7,45
9,67
8,7
3,69
1,7
1,26
2,235
0,47
1,39
0,388
0,135
22,77
Tabel 3 Data rata-rata dari 10 tanaman untuk pengukuran morfologi semai mindi umur 6 minggu
122
Tinggi total batang semai/ TTBS (cm)
123
Lampiran 6: Prosedur Laboratorium Analisis DNA dengan Penanda Mikrosatelit I. PERALATAN DAN BAHAN 1.1. Peralatan: alat-alat gelas (gelas ukur, erlenmeyer, mikropipet, tube, mortar dan pestel, rak tube dll), Freezer, inkubator, sentrifuge, neraca analitik,
stirer,
desicator,
hotplate,kamera
digital,
UV
transluminator, vortex and peltier thermal cycler (alat untuk PCR), microwave, electrophorecys chamber (vertikal), 1.2. Bahan : material daun muda, bahan-bahan kimia II. Persiapan larutan : 1. Larutan Tris-HCl (1M) Digunakan untuk tambahan dalam pembuatan buffer ekstrak. Pembuatan: timbang Tris-HCl sebanyak 1,817 g + akuades 15 ml, larutkan kemudian diukur pHnya (8,0). 2. Larutan NaCl (5M) Digunakan untuk memekatkan, memisahkan DNA dari larutan dan mengendapkan DNA serta membentuk benang-benang nukleat, Endapan DNA akan tampak seperti tepung berwarna putih. Pembuatan: timbang NaCl sebanyak 4,383 g + akuades 15 ml, larutkan sampai homogen. 3. Larutan EDTA/Etilen Diamin Tetra Acetat (0,5M) Larutan ini merupakan salah satu komponen untuk buffer ekstraksi yang berfungsi sebagai pengikat ion bivalen Mg2- dan Ca2- yang menjadi kofaktor bagi enzim nuklease. Adanya EDTA menyebabkan enzim nuklease menjadi tidak aktif. Pembuatan: Timbang EDTA sebanyak 2,79 g + akuades 15 ml dilarutkan sampai homogen.
124
4. CTAB/Cetil Trimetil Amonium Bromida 10% w/v Digunakan untuk melisis dinding sel tanaman sehingga isi sel bisa keluar dengan merusak protein dan melepaskan sebagian polisakarida dari DNA. Pembuatan : Timbang CTAB sebanyak 1,5 g + akuades 15 ml, larutkan sampai homogen. 5. Mercaptoetanol 1% v/v Digunakan untuk meisolasi DNA dan dapat mereduksi ikatan sulfida dari enzim polifenol oksidase. Pembuatan: larutkan 1 ml mercatoetanol dalam 100 ml akuades sampai homogen. 6. PVP 1% Digunakan untuk menghambat enzim polifenoloksidase dan mendegradasi rantai DNA Pembuatan: Timbang PVP 1 gr + 100 ml akuades larutka sampai homogen 7. Chloroform : Isoamylalkohol (24:1) Khloroform digunakan untuk membersihkan DNA dari protein dan polisakarida,sedangkan isoamylalkohol berfungsi untuk mengurangi busa khloroform yang terjadi pada saat pengocokan. Pembuatan: Campurkan khloroform sebanyak 24 ml dengan 1 ml isoamylalkohol, aduk sampai homogen. 8. Propanol dingin Digunakan untuk mengendapkan DNA. Pebuatan: dinginkan propanol murni 25 ml dalam freezer untuk pengendapan DNA
125
9. Buffer pencuci Pembuatan: etanol 96% sebanyak 11,875 ml + akuades 3,125 ml,larutkan. Kemudian amonium asetat sebanyak 0,012 dimasukan kedalam larutan tersebut dan dibiarkan larut sampai homogen. 10. Buffer TE Digunakan untuk melarutkan DNA sebelum melakukan analisis DNA Pembuatan: Timbang Tris-HCl 0,091 gr + 15 ml akuades, larutkan dan diukur Ph (8,0). Timbang EDTA 0,056 gr dan masukkan ke dalam larutan tersebut, campurkan sampai homogen. 11. Etanol Digunakan untuk mengendapkan DNA 12. Phenol Digunakan untuk mengikat protein dan sebagian RNA, mendegradasi senyawa phenol yang ada dalam jaringan tanaman. 13. Buffer Ekstrak Buffer ekstrak terdiri dari campuran beberapa larutan dengan jenis dan komposisi sebagai berikut: No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Bahan Tris-HCl 1 M NaCl 5 M EDTA 0,5 M CTAB 10% Merkapetanol PVP 1% Akuades
1 sampel reaksi (μ l) 100 280 40 200 5 100 280
126
II. PROSEDUR KERJA Ada 2 kegiatan yang akan dilakukan yaitu isolasi DNA dan analisis dengan penanda Mikrosatelit. A. EKSTRAKSI/ISOLASI DNA Ekstraksi DNA atai isolasi DNA merupakan metode pemisahan DNA dari nbahan-bahan yang tidak diperlukan. Metode ekstraksi DNA terdiri dari metode berdasarkan perbedaan gradien konsentrasi dengan menggunakan larutan CsCl dan metode CTAB. Penggunaan metode CTAB lebih sering digunkan karena lebih mudah dan kemungkinan adanya enzim pendegredasi DNA leboh kecil dibandingkan dengan metode lain (Rogers and Bendich,1994). Tahapan Kerja : 1. Pengambilan sampel Sampel daun muda diambil dari pohon induk dan semai sebanyak 4 -5 helai masukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi silica gel. Simpan dalam freezer apabila tidak langsung digunakan. 2. Penggerusan sampel daun Sampel daun masukkan ke dalam mortar yang bersih, kemudian tambahkan nitrogen cair dan secepatnya digerus sampai halus, Hasil gerusan dimasukan ke dalam tube berukuran 2 ml dan tambahkan 500 – 700 µl buffer ekstrak dan 100
µl PVP 2%, kemudian tube divortex agar jaringan daun
dengan larutan buffer tercampur dengan baik. 3. Proses inkubasi Proses inkubasi dilakukan selama 45 ‘ – 1 jam dalam water bath dan setiap 15 menit sekali dibolak-balik. Suhu optimal yang digunakan dalam proses inkubasi berkisar antara 65 OC – 70 OC. 4. Pemurnian DNA Apabila proses inkubasi telah selesai maka tube diangkat dan didinginkan selama 15 menit, kemudian tambahkan khloroform sebanyak 500 µl dan phenol sebanyak 10 µl, selanjutnya disentifuge selama 2 menit dengan
127
kecepatan 13000 rpm. Sentrifuge dilakukan untuk memisahkan bahan-bahan kimia atau fase organik dari fase cair berupa supernatan. Bagian yang diambil untuk digunakan selanjutnya adalah fase air. Fase air dipindahkan ke tube baru, kemudian tambahkan kloroform sebanyak 500 µl dan phenol 10 µl lalu disentrifuge kembali dan supernatan atau fase air dipindahkan lagi ke tube baru. 5. Pengendapan DNA Supernatan hasil tahap 4 kemudian ditambahkan isopropanol dingin sebanyak 500µl
dan
NaCl/NaOAc
sebanyak
300
µl
kemudian
aduk
dengan
menggunakan vortek. Campuran kemudian disimpan dalam freezer selama 45 menit – 1 jam agar mengendap. Kemudian campuran disentrifuge selama 2 menit pada kecepatan 13.000 rpm. Setelah itu buang cairan dengan hati-hati agar pelet DNA tidak sampai terbuang. 6. Pencucian pelet DNA Pelet DNA hasil kegiatan 5 kemudian ditambah dengan etanol 100% sebanyak 300 µl, sentrifuge selama 2 menit pada 13.000 rpm, buang cairan dengan hatihati agar pelet DNA jangan sampai terbuang, proses ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan tujuan agar pelet DNA yang didapatkan cukup murni. 7. Pengeringan pelet DNA Pelet DNA yang telah tercuci kemudian dikeringkan dalam desikator selama ± menit, DNA yang telah kering kemudian ditambahkan buffer TE sebanyak 20 µl dan disentrifuge. 8. Pembuatan gel Gel yang digunakan untuk uji kualitas DNA adalah agarose 1% dan 5%. 9. Running/Elektroforesis Running/elektroforesis bertujuan untuk melihat bermigrasinya DNA. Sebanyak 3 µl DNA ditambahkan 2 µl blue juice, kemudian dengan menggunakan mikropipet campuran tersebut dimasukan ke dalam lubang sumur gel di dalam bak elektroforesis yang telah diisi larutan buffer dan dialiri listrik.
128
10. Pewarnaan DNA Larutan utama yang digunakan untuk pewarnaan adalah sibernitrat. Proses pewarnaan dilakukan beberapa tahap yaitu sebagai berikut: 1. Masukkan gel hasil elektrophoresis ke dalam larutan etanol dalam sebuah wadah, goyang selama 10 menit diatas shaker dengan kecepatan 5,5 rpm 2. Angkat, pindahkan ke wadah berisi akuades 1 l, goyang diatas shaker selama 5 menit 3. Angkat, masukkan ke dalam wadah berisi larutan sibernitrat, goyang selama 15 menit 4. Angkat, masukkan lagi ke akuades selama 10 detik 5. Angkat, masukkan ke dalam wadah berisi larutan NaOH selama kurang lebih 15 menit, sampai pita DNA terlihat 6. Untuk menjernihkan pita, gel masukkan ke dalam akuades 3 menit 7. Angkat, masukkan ke dalam larutan etanol selama 3 menit. Selanjutnya pita DNA difoto dengan menggunakan kamera digital. B. ANALISIS PENANDA DNA DENGAN MIKROSATELIT Analisis DNA terdiri dari 4 tahapan yaitu uji kualitas dan kuantitas DNA hasil isolasi, seleksi primer, amplifikasi DNA melalui proses PCR serta elektroforesis dan visualisasi hasil amplifikasi. Uji kualitas DNA : Siapkan larutan agarose 5% (5 gr agarose dilarutkan dalam 100 ml TAE) sebanyak 4 ml tambahkan 5 x TBE
4 ml, kemudian diaduk
menggunakan stirer sampai jernih, biarkan mengeras selama 15 menit. Pelet DNA hasil pengeringan ditambahkan
larutan buffer TE µl kemudian
disentrifuge. Ambil 3 µl larutan DNA tersebut tambahkan 2 µl BJ (Blue Juice) 10X
dan
masukkan
ke
dalam
sumur
gel
agarose.
Selanjutnya
running/elektroforesis pada tegangan 350 volt selama ± 60 menit. Hasil elektroforesis kemudian direndam dalam larutan EtBr (Etidium Bromide) selama 10 menit dan selanjutnya difoto menggunakan kamera digital. Seleksi primer: dilakukan untuk menentukan primer mikrosatelit mana yang mampu mengamplifikasi DNA mindi. Sampel DNA dari 20 pohon induk dan 9 semai, diambil masing-masing 1 µl kemudian masukkan ke dalam satu tube menjadi DNA bulk (DNA total). Dari tube tersebut ambil 1 µl kemudian
129
tambahkan 99 µl akuabides (pengenceran 100 x). Untuk proses PCR, siapkan tube baru sejumlah primer mikrosatelit yang ada (misalnya 10 pasang primer mikrosatelit), masukkan ke dalam masing-masing tube sepasang primer mikrosatelit (3 µl untuk 1 pasang primer ) + 7,5 µl greengotac + 2,5 µl nucleasefree water + 2 µl DNA mix. Selanjutnya disentrifuge selama 5 - 10 detik. Masukkan ke dalam mesin PCR dengan mengatur suhu dan tahapan reaksi dengan total siklus 37 kali. Tahapan dalam proses PCR Suhu ( O C)
Tahapan
Waktu (menit)
Jumlah siklus
Pre denaturasi
95
2
1
Denaturasi
95
1
37
Annealing
56
2
37
Extension
72
2
37
Final extension
72
5
1
DNA
hasil
PCR
kemudian
dielektroforesis
dengan
menggunakan
polyacrilamide untuk mikrosatelit. Gel yang digunakan dalam pembuatan gel untuk uji kualitas DNA adalah gel
polyacrilamide 30%. Biasanya digunakan
larutan gel 6% dengan komposisi sbb: Polyacrylamide 30% (ml)
4
ml
5 x TBE (ml)
4
ml
DW /Nuclear water (ml)
12
ml
APS 10% (µl)
160 µl
Temed (µl)15
15
µl
Tegangan yang digunakan 350 Volt selama 1 jam, kemudian diberi pewarnaan dengan melakukan perendaman pada larutan pewarna sibernitrat dengan tahapan pengerjaan seperti pada poin A 10. Primer yang menghasilkan pita atau jumlah amplifikasi yang terbanyak selanjutnya digunakan untuk amplifikasi DNA dari 20 sampel induk dan 9 anakan.
130
Lampiran 7: Analisis data keragaman genetik Frekuensi alel : Frekuensi alel diduga dengan cara menghitung semua alel yang ada pada semua genotipa yang muncul, maka : ni pi = 2n dimana : pi a dalah frekuensi alel pada contoh ni adalah jumlah alel yang ada n adalah jumlah total contoh individu Frekuensi genotipe : Frekuensi genotipe diamati berdasarkan hasil zimogram, jumlah aktual genotipa homosigot dan heterosigot dapat dihitung. Apabila terdapat nij pengulangan dari genotipa AiAj pada unit contoh yang diamati, maka freuwensi genotipa untuk AiAj adalah : nij pij = n dimana : pij adalah frekuensi genotipa nij adalah jumlah genotipa AiAj pada unit contoh n adalah jumlah total contoh individu
Apabila ada dua alel, maka untuk mengetahui frekuensi genotipa harapan, dihitung berdasarkan struktur HARDY-WEINBERG, melalui penghitungan frekwensi alel, yaitu pi untuk alel Ai dan pj untuk alel Aj (i#j) (Muller-Starck & Liu 1989), maka : Pii = pi² atau Pjj = pj² dan Pij = 2 pipj, Sedangkan struktur inbreeding dihitung : P1ii = pFii + pi2 (1-Fii) = pi2 + pi Fii (1-pi ) dan
131
P1ij = 2pi (1-Fij) pj = 2pi pj - 2 pi pj Fij dimana Fii dan Fij adalah koefisien inbreeding untuk setiap lokus dan dihitung: Pii – pi2 Fii =
Pij dan
Fij = 1 -
pi (1-pi)
2pipj
Penghitungan struktur dan keragaman genetik dalam populasi - Persen lokus polimorphi (Percentage of polymorhyc loci /PPL) : Proporsi polimorfi atau lokus yang heterosigot merupakan cara pendekatan pertama untuk mengetahui adanya keragaman genetik. Suatu lokus gen dikatakan polimorfik apabila minimal ditemukan ada dua alel yang berbeda dan dikatakan monomorfiki apabila tidak ada alel yang berbeda. Persen lokus polimorfik dihitung : ∑ (PL) PPL = ∑(PL)+∑(ML) dimana : PPL = persen lokus gen polimorfik , ∑ (PL) = jumlah lokus gen polimorfik dan ∑(ML) = adalah jumlah lokus gen monomorfik.
- Jumlah rata-rata alel per lokus (A/L) Penghitungan ini berdasarkan jumlah variabel alel yang ada pada setiap lokus, dihitung : ∑ (A) A/L = ∑(PL)+∑(ML) dimana A/L = rata-rata jumlah alel per lokus gen, ∑ (A) = jumlah total alel pada semua lokus, ∑ (PL) = jumlah lokus gen polimorfik dan ∑(ML) = adalah jumlah lokus gen monomorfik. - Keragaman genetik (Genetic diversity/v) Penghitungan ini didasarkan pada jumlah genotipe yang pada setiap lokus serta frekwensinya. Nilai v dihitung berdasarkan jumlah differensiasi
132
efektif dari tipe genotipe, bisa kurang atau sama dengan jumlah aktual tipe genotipe yang ada, maka v dihitung : n v = [∑ pk 2]-1 , dimana pk adalah frekwensi tipe genotipa ke -k k=1 - Heterosigositas observasi dan harapan (Ho dan He = δT ) Penghitungan heterosigositas digunakan untuk melihat karekteristik struktur genotipe. Nilai heterosigositas observasi (Ho ) merupakan proporsi seluruh genotipe heterosigot yang dihitung berdasarkan tiap lokus atau rata-rata semua lokus. Sedangkan heterosigositas harapan (He ) atau diferensiasi total populasi δT dihitung dengan : He = [ 1- ∑pi2 ] = δT , dimana pi adalah frekwensi dari alel ke-i
Lampiran 8 Tabel 1 Hasil skoring penanda mikrosatelit pada induk dan anak dari populasi Sumedang dan populasi Bandung Primer Individu S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15
Ai_5 Ai_11 Ai_13 Ai_34 Ai_4 Ai_6 Ai_14 22 12 11 22 12 11 12 22 12 11 22 12 11 12 22 12 11 22 11 11 12 22 12 11 22 11 11 12 22 22 11 22 11 22 12 22 12 11 22 11 11 12 22 11 11 22 11 11 12 22 12 11 22 11 11 12 22 11 11 22 11 22 22 22 12 11 12 11 22 12 11 12 12 22 12 22 12 11 12 11 12 22 22 12 11 12 11 11 22 13 12 11 12 11 12 22 33 12 11 22 11 11 22 33 12
133
Lanjutan Tabel 1
Primer
Individu Ai_5 Ai_11 Ai_13 Ai_34 Ai_4 Ai_6 Ai_14 S16 13 12 11 12 22 33 12 S17 33 12 12 12 22 33 12 S18 33 22 22 11 22 33 12 S19 33 11 22 22 22 33 12 S20 12 11 22 11 22 33 22 B1 12 22 22 33 12 33 12 B2 12 12 22 33 12 33 12 B3 11 12 22 22 12 33 12 B4 11 12 22 22 12 33 12 B5 11 12 22 22 12 33 12 B6 11 11 22 22 12 33 12 B7 12 22 22 22 12 33 12 B8 11 22 22 22 12 33 12 B9 11 22 22 22 12 11 12 B10 11 22 12 22 12 11 12 B11 12 12 12 12 12 12 12 B12 12 12 22 22 12 12 12 B13 11 12 22 12 12 11 12 B14 12 12 11 12 12 11 23 B15 12 12 11 12 12 11 11 B16 12 11 11 12 12 11 22 B17 12 12 12 12 12 11 12 B18 12 12 12 12 12 11 12 B19 11 12 11 12 12 11 12 B20 11 22 11 12 12 11 12 AS1 22 12 33 12 22 12 12 AS2 22 12 22 12 12 12 12 AS3 12 12 11 12 12 12 12 AS4 12 22 22 22 12 12 12 AS5 12 22 11 22 11 12 12 AS6 12 22 12 22 12 12 22 AS7 22 22 12 22 12 12 22 AS8 22 22 12 22 12 12 22 AS9 22 22 12 22 12 12 22 AS10 22 22 12 22 12 22 22 AS11 22 22 12 22 12 12 22 AS12 22 22 12 22 12 12 22 AS13 22 22 12 11 12 12 22 AS14 22 22 12 11 12 12 22 AS15 22 22 12 11 12 12 12
134
Lanjutan Tabel 1 Primer Individu Ai_5 Ai_11 Ai_13 Ai_34 Ai_4 Ai_6 Ai_14 AS16 22 22 12 11 12 12 12 AS17 22 22 12 11 12 12 12 AS18 22 22 12 11 12 12 12 AS19 22 22 12 11 12 12 12 AS20 11 11 22 22 12 12 12 AB1 11 12 12 12 11 12 12 AB2 11 11 12 12 11 12 12 AB3 11 11 12 12 12 12 12 AB4 12 11 12 12 12 12 12 AB5 11 11 22 12 11 12 12 AB6 11 11 22 22 12 12 12 AB7 11 11 22 22 12 12 12 AB8 11 11 22 22 12 12 12 AB9 11 11 22 22 12 12 12 AB10 11 11 22 22 12 11 12 AB11 11 12 22 22 11 11 12 AB12 11 12 22 22 12 11 12 AB13 11 11 22 22 12 11 12 AB14 11 11 22 22 12 11 12 AB15 11 11 22 22 12 11 12 AB16 11 11 22 22 12 11 12 AB17 11 11 22 22 12 11 12 AB18 11 11 22 22 12 12 12 Keterangan: S(1-20) : induk populasi Sumedang AS(1-20) : anak dari populasi Sumedang B (1-20) : induk populasi Bandung AB (1-38) : anak dari populasi Bandung
135
LAMPIRAN 9. Tabel jarak antar pohon induk pada plot penelitian di Wanayasa-Purwakarta DARI POHO N KE01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
02 12, 2 0,0
03 19, 9 31, 8 0,0
04
05
7,6
7,8 19, 9 12, 0 15, 0
5,0 26, 9 0,0
0,0
06 30, 4 31, 0 34, 7 28, 7 30, 5 0,0
07 79, 4 81, 2 75, 7 78, 7 77, 2 50, 2 0,0
08 90, 7 92, 2 87, 0 89, 9 88, 6 61, 3 11, 4 0,0
09 97, 0 95, 0 98, 6 94, 1 97, 0 66, 7 31, 1 26, 8
10 93, 4 92, 2 93, 7 90, 9 92, 9 62, 9 24, 0 19, 7
0,0
7,3 0,0
11 78, 6 80, 2 75, 0 77, 8 76, 4 49, 2 1,0 12, 2 31, 1 24, 0 0,0
12 77, 1 76, 0 78, 0 74, 7 76, 7 46, 7 18, 4 22, 8 20, 6 16, 3 17, 7
13 78, 8 76, 6 81, 4 75, 7 79, 1 48, 6 25, 5 28, 6 18, 4 16, 8 24, 8
0,0
7,2 0,0
14 103 ,3 94, 8 115 ,0 96, 9 107 ,5 81, 2 80, 2 81, 5 57, 5 63, 0 79, 5 61, 9 54, 7 0,0
15 80, 7 73, 8 90, 5 75, 0 84, 0 56, 0 56, 9 60, 4 41, 3 44, 6 56, 1 38, 6 31, 9 26, 3
16 86, 7 79, 7 96, 5 81, 0 90, 0 62, 1 60, 1 62, 7 41, 5 45, 7 59, 4 41, 7 34, 7 21, 0
0,0
6,1 0,0
17 99, 6 92, 7 109 ,0 94, 0 102 ,8 74, 4 66, 0 66, 5 41, 9 47, 6 65, 5 48, 0 40, 8 15, 7 19, 0 13, 0
18 99, 5 91, 7 110 ,2 93, 4 103 ,3 76, 0 72, 5 73, 7 49, 7 55, 2 71, 8 54, 2 47, 0
0,0
8,3
7,8 20, 1 14, 3
0,0
19 114 ,5 106 ,6 125 ,3 108 ,4 118 ,4 91, 0 83, 5 83, 1 57, 3 63, 7 83, 0 65, 8 58, 6 12, 8 35, 0 29, 0 18, 0 15, 1 0,0
20 161 ,7 157 ,0 166 ,6 157 ,3 163 ,3 132 ,8 99, 9 92, 1 69, 9 76, 3 100 ,0 89, 8 85, 4 75, 3 85, 0 79, 9 68, 0 73, 0 63, 5 0,0
21 120 ,6 113 ,3 130 ,3 114 ,8 124 ,0 95, 6 82, 8 81, 0 54, 4 61, 3 82, 4 65, 8 58, 8 22, 0 40, 0 34, 0 21, 2 22, 0 9,9 53, 7 0,0
22 124 ,1 117 ,6 132 ,2 118 ,7 126 ,8 97, 5 78, 8 75, 6 48, 8 56, 0 78, 5 63, 0 56, 4 31, 3 43, 8 38, 1 25, 2 29, 1 20, 4 44, 1 11, 0
23 116 ,5 110 ,5 123 ,9 111 ,4 118 ,9 89, 3 69, 6 66, 7 39, 8 47, 0 69, 3 53, 8 47, 3 30, 4 37, 2 31, 9 20, 0 26, 0 22, 6 48, 1 15, 8
0,0
9,2
24 111 ,8 106 ,3 118 ,7 106 ,9 114 ,0 84, 1 63, 3 60, 4 33, 6 40, 7 62, 9 47, 5 41, 1 32, 0 33, 9 29, 2 19, 0 26, 3 26, 4 51, 1 21, 2 15, 5
25 110 ,0 104 ,9 116 ,4 105 ,3 112 ,0 81, 9 59, 8 56, 8 30, 0 37, 1 59, 5 44, 3 38, 0 34, 2 33, 4 29, 2 20, 2 28, 0 29, 5 52, 2 24, 8 19, 0
26 105 ,2 100 ,4 111 ,0 100 ,7 106 ,9 76, 7 53, 8 51, 1 24, 4 31, 4 53, 5 38, 2 32, 0 36, 4 30, 9 27, 5 21, 2 29, 4 33, 6 56, 6 30, 0 25, 0
27 104 ,5 100 ,0 109 ,8 100 ,1 106 ,0 75, 6 51, 2 48, 4 21, 6 28, 7 51, 0 36, 1 30, 1 38, 9 31, 8 28, 9 23, 5 31, 8 36, 4 57, 3 32, 8 27, 5
28 133 ,2 127 ,0 140 ,7 128 ,0 135 ,7 106 ,0 83, 7 79, 4 52, 9 60, 2 83, 6 69, 1 63, 0 40, 8 53, 3 47, 7 35, 0 39, 0 29, 2 34, 5 19, 3 9,9
29 134 ,3 129 ,5 139 ,7 129 ,9 136 ,0 105 ,6 76, 0 69, 9 45, 0 52, 0 76, 0 64, 0 58, 9 52, 2 58, 0 53, 3 42, 2 48, 3 42, 3 27, 5 33, 0 22, 0
30 131 ,6 127 ,2 136 ,2 127 ,3 132 ,9 102 ,4 71, 0 64, 5 40, 2 47, 0 71, 0 59, 7 55, 0 53, 9 57, 0 52, 7 42, 5 49, 3 45, 0 30, 5 36, 2 25, 3
A 144 ,8 140 ,1 149 ,7 140 ,4 146 ,3 115 ,8 84, 2 77, 1 53, 6 60, 3 84, 2 73, 3 68, 6 61, 5 68, 6 63, 8 52, 4 58, 2 50, 7 17, 0 41, 0 30, 4
B 152 ,6 148 ,4 156 ,5 148 ,5 153 ,7 123 ,2 88, 3 80, 2 58, 8 65, 0 88, 5 79, 1 75, 2 71, 9 78, 0 73, 4 62, 4 68, 4 61, 1 12, 2 51, 4 40, 8
C 136 ,8 133 ,3 140 ,0 133 ,1 137 ,6 107 ,1 71, 0 63, 1 41, 8 47, 8 71, 2 62, 2 58, 7 64, 6 65, 5 61, 7 52, 5 59, 7 56, 0 29, 0 47, 3 36, 4
D 125 ,9 126 ,7 122 ,4 124 ,7 124 ,0 96, 0 46, 9 35, 5 39, 0 37, 5 47, 6 51, 9 54, 1 93, 3 80, 2 79, 9 77, 8 86, 0 89, 9 72, 7 84, 1 75, 0
E 145 ,9 146 ,8 141 ,8 144 ,8 143 ,8 116 ,1 66, 6 55, 2 57, 6 57, 0 67, 4 71, 9 73, 8 108 ,3 98, 1 97, 1 93, 2 101 ,4 103 ,1 72, 7 96, 0 85, 9
F 138 ,4 138 ,4 135 ,8 136 ,7 136 ,9 108 ,2 60, 1 48, 8 46, 6 47, 0 60, 8 62, 7 63, 7 95, 7 86, 3 85, 0 80, 8 89, 0 90, 4 63, 1 83, 4 73, 4
135
22
01 0, 0
POHON (meter)
136
24 25 26 27 28 29 30 A B C D E F
0,0
6,3
9,9
15, 8
0,0
3,6
9,5
18, 4 12, 1
0,0
6,1
8,5
0,0
2,8 0,0
16, 8 22, 2 25, 0 31, 0 33, 1 0,0
22, 4 24, 1 24, 8 29, 2 30, 0 16, 2
23, 5 23, 7 23, 6 26, 9 27, 2 21, 1
0,0
5,8 0,0
32, 5 34, 7 35, 5 39, 7 40, 3 22, 1 10, 6 13, 6 0,0
42, 5 44, 2 44, 6 48, 2 48, 4 32, 4 20, 3 21, 3 10, 4 0,0
34, 2 33, 5 32, 7 34, 7 34, 2 31, 4 15, 2 11, 1 15, 7 17, 3 0,0
68, 3 63, 5 60, 4 57, 0 54, 4 74, 3 59, 7 53, 9 62, 3 60, 8 46, 7 0,0
80, 7 76, 9 74, 2 72, 0 69, 7 83, 0 67, 1 61, 9 66, 5 61, 9 52, 2 20, 1 0,0
68, 0 64, 3 61, 6 59, 5 57, 3 70, 7 55, 0 49, 7 55, 2 51, 6 40, 4 14, 3 12, 7 0,0
136
23
137