sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XVIII, Nomor 3 : 117 - 129
ISSN 0216-1877
ASOSIASI FORAMINIFERA DALAM EKOSISTEM BAHARI oleh Ricky Rositasari dan S.M. Sidabutar *) ABSTRACT FORAMINIFERAL ASSOCIATION IN THE MARINE ECOSYSTEM. Many species of foraminifera live in close association with other foraminifera, other animals and plants, and are often temporarily or permanently attached to both animate and inanimate objects. A large foraminifera which is common and characteristics of reef dwelling, is maintenance of symbiotic algae or even paracitic to the higher taxonomic animal. PENDAHULUAN
beberapa jenis mikroalgae. Namun pada keadaan tertentu foraminifera dapat pula menjadi organisme parasit bagi hewan yaang lebih tinggi tingkat taksonominya, keadaan tersebut dapat terjadi karena keterbatasan jenis tersebut dalam beradaptasi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Peran foraminifera yang berasosiasi dengan organisme lain, secara garis besar telah disimpulkan oleh SOURNIIA (dalam LEE et al. 1980) yaitu bahwa foraminifera yang hidup di laut tropis dangkal memiliki peran yang sangat signifikan sebagai konstributor dalam produktifitas primer dan persediaan karbonat.
Asosiasi atau hidup bersama diantara organisme hidup merupakan hal yang banyak dijumpai di dalam suatu ekosistem, baik itu ekosistem bahari maupun darat. Maksud dari hidup bersama diantara organisme ini diduga berhubungan dengan pertahanan terhadap bahaya yang mungkin datang dari lingkungan sekitarnya, kemudahan mendapatkan sumber makanan dan membantu dalam melakukan proses fisiologisnya. Asosiasi pada foraminifera secara garis besar dibagi menjadi tiga macam, yaitu : 1. Sebagai organisme epifit, 2. Sebagai inang dalam simbiosis mutualistik, 3. Sebagai simbion parasitik.
SIMBIOSIS SIMBIOSIS MUTUALISMA
Sebagai organisme epifit foraminifera menggunakan berbagai jenis makroalgae sebagai substratnya. Dalam kehidupan bersimbiosis yaang saling menguntungkan foraminifera berperan sebagai inang bagi *)
Simbiosis mutualisma pada foraminifera ditemukan secara meluas pada jenisjenis yang bercangkang porcelaneous-tidak berpori dan lamellar-berpori. Belum diketahui
Balai Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LJPI, Jakarta.
117
Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
menunjukkan bahwa tipe simbion pada jenis ini tersebar secara bilateral sehingga kedua sisi cangkang harus mendapatkan udara bebas dan pencahayaan yang cukup untuk kepentingan fotosistesis simbion. Lain halnya dengan Soritinae yang lebih menyukai posisi paralel dengan substrat, ini disebabkan karena simbionnya cenderung tersebar secara unilateral di bawah dinding cangkang yang mendapatkan penyinaran langsung. Simbion yang lebih menyukai bagian agak teduh dari cangkang inang , ditemukan
adanya simbiosis pada jenis-jenis foraminifera yang bercangkang agglutinin. Maenurut ANDERSON & BE (dalam LEUTENEGGER 1984) foraminifera memiliki sitoplasma yang sangat spesifik, dimana endoplasma (chamber c y to p las ma ) me r u p a k a n t e mp a t berlangsungnya aktifitas vital organisme ini seperti metabolisma dan reproduksi. Sedangkan ektoplasma (pseudopodia cytoplasma) berfungsi dalam pergerakkan, makan, pelekatan cangkang dan posisi pada substratnya. Simbion biasanya terdapat di dalam endoplasma, hanya pada kasus-kasus tertentu dapat ditemukan dalam ektoplasma. Sebaran simbion yang terletak dalam ektoplasma biasanya di sekitar bagian cangkang yang terbuka seperti pori atau pada sistem kanal. Simbion biasanya tidak tersebar secara merata dalam endoplasma, tetapi cenderung memilih lokasi yang disukainya biasanya di bagian kamar terakhir. Gambar 1 memperlihatkan sebaran simbion di dalam cangkang foraminifera.
pada Borelis schlumbergeri. Ini diduga berhubungan dengan tingginya intensitas matahari di lingkungan tempat hidupnya, karena penyinaran yang terlalu tinggi akan menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis. Heterostegina depressa yang hidup di pantai Makapuu, Hawaii dan jenis yang sama yang hidup di lingkungan terumbu karang Maldives memperlihatkan adaptasi terhadap intensitas matahari yang tinggi, dengan memilih habitat di tempat yang teduh dari perairan dangkal ini. Prilaku yang sama diperlihattkan oleh B. schlumbergeri dan Peneroplis spp yang hidup di sekitar perairan dangkal Laut Merah, mereka hidup dengan berlindung di bawah butir-butir sedimen yang kasar atau berlindung di dekat padang lamun (Halophila). Prilaku adaptatif foraminifera sebagai inang diduga telah berlangsung mulai dari masa Paleogen sampai Neogen dan terus mengalami evolusi sampai saat ini (resen). Oleh karena itu dapat diamati adanya evolusi secara filogenetik pada foraminifera besar dengan berubahnya kecepatan pertumbuhan, peningkatan ukuran cangkang, perubahan struktur internal, morfologi cangkang yang bertahap dan perubahan dalam pembagian kamar (REIZT & HOTTINGER 1984).
Perilaku adaptatif foraminifera terhadap simbion Prilaku adaptatif foraminifera sebagai inang terhadap simbionnya telah dibuktikan oleh HOTTINGER (dalam KITAZATO 1988), dimana jenis-jenis Amphistegina,
Elphidium, Nummulites dan Peneroplis cenderung meletakkan cangkangnya dengan kemiringan lebih dari 45°C terhadap substratnya. Bahkan jenis-jenis foraminifera yang berukuran besar seperti Heterostegina depressa menegakkan cangkangnya dengan berpegang (menggunakan kaki semu) pada filamen-filamen algae (ROTTGER 1976 dalam KITAZATO 1984, gambar 2 - IV memperlihatkan posisi jenis ini diantara filamen algae secara skematis. Prilaku tersebut
118 Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
planatus memiliki simbion yang berasal dari suku Rhodophycea yang menghasilkan butirbutir pati yang terdapat sebagai unit bebas dalam protoplasma inang. Perbedaan ketergantungan antara pasangan inang dan simbion menunjukkan bahwa inang mampu memilih kekhususan sifat dari algae-algae yang terdapat di lingkungannya. Di dalam rreproduksi seksual inang, simbion tidak dipindahkan secara langsung karena ukuran garnet yang terbentuk lebih kecil dari pada ukuran simbion. Hingga saat ini mekanisme perpindahan simbion pada proses reproduksi ini belum diketahui (LE CALVEZ 1938; ROTTGER & SCHMALJOHANN dalam LEUTENEGGER 1984). Dalam reproduksi aseksual, simbion dipindahkan secara langsung dari iang induk kepada individu anak yang berbentuk megalospheric (cangkang dengan kamar pertama yang besar, merupakan ciri foraminifera hasil reproduksi aseksual). Secara alamiah keseimbangan simbiosis antara foraminifera dengan simbionnya ini selalu terjaga, karena ternyata reproduksi seksual pada sebagian besar foraminifera berukuran besar (larger foraminifera) telah mengalami reduksi. Kenyataan tersebut dibuktikan dengan lebih banyaknya foraminifera dengan strukttur cangkang megalospheric ditemukan daripada microspheric (cangkang dengan kamar pertama berukuran kecil, merupakkan ciri foraminifera hasil reproduksi seksual). Dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh LEUTENEGGER (1984) diketahui bahwa foraminifera yang hidup bersimbiosis biasanya hidup dalam suatu habitat yang kurang baik di daerah beriklim tropis maupun subtropis, sehingga timbul suatu diigaan bahwa keadaan oligotrophy merupakan penyebab terjadinya simbiosis antara foraminifera dan algae.
Pengaruh kedalaman terhadap sebaran vertikal Dari pengamatan yang telah dilakukan LEUTENEGGER (1984) disebutkan bahwa kekuatan intensitas cahaya sangat berpengaruh pada sebaran vertikal foraminifera yang memiliki simbion. Inang bagi Chlorophycea hidup di perairan dangkal (sekilar 15 m), inang bagi Dinophycea biasa hidup pada kedalaman antara 60-70 meter, dan inang bagi Diatom biasa ditemukan pada kedalaman sekitar 130 meter. Pada umumnya simbion terkonsentrasi di daerah lateral dinding cangkang foraminifera, dimana posisi tersebut memungkinkan simbion untuk mendapatkan kondisi yang optimal. Kondisi optimal yang dimakksud adalah tersedianya cukup cahaya, suplai makanan dan sebagai tempat pertukaran ion dan molekul dengan lingkungan sekitarnya. Bentuk simbiosis ini menyebabkan terbentuknya adaptasi pada foraminifera dari segi arsitektur cangkang, struktur internal cangkang dan permeabilitas dinding cangkang. Keterlibatan antara inang dan simbion Jenis-jenis simbion pada inang yang berbeda memperlihatkan fungsi yang berbeda pula, karena berdasarkan pengamatan ultrastruktur pada simbion foraminifera diketahui terdapatnya kekhususan yang unik pada hubungan antara inang dan simbion. LEUTENEGGER (1984) melaporkan bahwa
Heterostegina depressa sangat toleran terhadap beberapa jenis simbion, biasanya jenisseperti ini berasosiasi sangat erat dengan terumbu karang. Berbeda halnya dengan Amphistegina dan Sorites yang diketahui mengkonsumsi algae dan menyimpannya di dalam kista makanan yang berukuran besar sehingga banyak dilekati simbion. Peneroplis
119 Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Kecenderungan tersebut dapat ditemukan juga pada in-vertebrata lain. Beberapa simbion pada foraminifera yang berhasil di identifikasikan oleh LEUTENEGGER (1977; 1984), FREUDENTHAL (1962) dan TAYLOR (1969) adalah sebagai berikut: Chlorophycea Simbion yang teridentiflkasi sebagai Chlorophycea ini berukuran sangat halus, banyak ditemukan di dalam cangkang Peneroplis proteus yang hidup di daerah Mediterania. Simbion tersebut diduga berasal dari marga Volvocales aatau Chlorococcales, Strukturr pyrenoid pada suku-suku tersebut sangat identik dengan pyrenoid pada Chlamydomonas hedleyi yang bersimbiosis dengan Archaias ungulatus.
kualitatif dan kuantitatif pengeluaran fotasimilatori.
Diatom Berdasarkan hasil pengamatan terhadap simbiosis antara diatom dengan foraminifera terdapat 4 tipe pyrenoid yang berbeda yakni: 1. Tipe pyrenoid dengan bentuk majemuk (internal compound) 2. Tipe pyrenoid dengan bentuk sederhana (internal simple) 3. Tipe pyrenoid bercelah (invaginaied) 4. Tipe pyrenoid yang berasossiasi (associated) Gambaran skematik keempat tipe tersebut dapat dilihat pada gambar 4. Zooxanthella Zooxanthella memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem terutama di dalam ekosistem terumbu karang, yaitu sebagai salah satu komponen yang menyediakan sumber energi dan nutrisi bagi invertebrata yang menjadi inangnya. Menurut YONGE & NICHOLS (dalam SUHARSONO 1983) zooxanthella termasuk ke dalam suku Dinophyceae yang bersifat uniseluler, berinti tunggal, memiliki pigmen yang berwarna kuning atau coklat. Cara hidup pada sebagian besar zooxantheella adalah dengan bersimbiosis pada organisme invertebrata. LEE et al. (1980) telah berhasil mengisolasi zooxanthella dari Amphistegina lobifera, A. lessonii, A. papillosa dan Heterostegina depressa dalam kultur axenik. Semua simbion tersebut berupa diatom yang berukuran sangat kecil. Beberapa foraminifera dapat dihuni oleh 2 jenis simbion yang berbeda, kadang-kadang ada juga yang dihuni oleh 3 jenis. Beberapa jenis Flagilaria dan
Dinophycea Dinophycea berflagella telah ditemukan hidup di dalam cangkang Amphysorus
hemprichii, Sonites orbiculus dan S. "orbitolotoides". Karakteristik simbion ini mirip dengan Symbiodinium microadriaticum yang banyak dijumpai hidup di dalam tubuh Coelenterata dan Tridacna. Perbedaan antara kedua simbion ini adalah terdapatnya flagella dan jumlah kromosomnya dimana kromosom pada simbion yang hidup dalam cangkang foraminifera dari suku Soritinae berjumlah 6 10 dan kromosom pada S. microadriaticum berjumlah 10 - 20. Rhodophycea Peneroplis planatus, P. pertusus dan Spirolina arietina diketahui mengandung Rhodophycea, dimana simbion pada genus Peneroplis telah berhasil diidentifikasi sebagai Porphyridium. Pengindentifikasian jenis simbion ini dengan menggunakan analisa
120 Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
terhadap pola
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1.
Memperlihatkan jenis-jenis foraminifera dan tipe-tipe simbion yang hidup di dalam cangkangnya (LEUTENEGGER 1984).
121
Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
merupakan diatom epizoik yang hidup di permukaan cangkang H. depressa dan Amphisorus hemprichii. Dari telusru pigmen khlorofil b pada spesimen foraminifera yang di dapat, diduga foraminifera pun dihuni oleh sejumlah kecil zoochlorella.
Nitzschia frustulum var subsalina berhasil diisolasi dari jenis-jenis Amphistegina. Ditemukan juga varietas-varietas yang sangat kecil pada jenis Nitzchia panduriformis yang hidup di dalam cangkang A. lobifera dan Heterostegina depressa, Amphora fenerrina
Tabel 2. Alga simbion yang berhasil diisolasi dari foraminifera besar di Teluk Elat, Laut Merah (LEE et al. 1980)
122
Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dalam cangkang kerang ini tertutup oleh materi yang berwarna coklat muda yang dengan mudah terlepas setelah dilakukan perendaman.
SIMBIOSIS PARASITISMA Beberapa jenis foraminifera diketahui pula hidup sebagai parasit terhadap sesamanya maupun terhadap organisme yang lebih tinggi derajat taksonominya. TODD (1965) telah mengamati Rosalina yang hidup dengan menempelkan diri pada permukaan cangkang pelecypoda Lima (Acesta) angolensis. Secara fisiologis belum diketahui keterikatan jenis foraminifera ini terhadap inangnya, diduga jenis foraminifera ini mendapatkan makanan dari mantel kerang inangnya. Namun terlihat jelas kehadiran simbion ini sangat mengganggu, karena cara melekatkan diri foraminifera ini adalah dengan membuat lubang yang tembus sampai ke bagian dalam cangkang inang. Lubang tersebut berupa sepasang cincin yang tidak beraturan. Foraminifera yang melekatkan diri pada kerang ini biasanya menutupi seluruh tubuhnya dengan sejenis lumpur terpadatkan yang empuk, belum diketahui maksud dari prilaku tersebut. Dalam penelitiannya TODD (1965) mencoba melepaskan foraminifera penempel ini dengan merendam spesimen kerang selama satu malam, setelah itu dengan mudahnya cangkang foraminifera dicongkel dengan menggunakan kuas. Namun tidak seluruh cangkang terambil, bagian kamar termuda masih tertinggal melekat pada cangkang inangnya. Pada bekas tempat pelekatan terlihat tanda-tanda penipisan dan kerusakan, sedangkan pada bagian cangkang foraminifera yang berhubungan dengan inangnya terdapat lebih kurang 9 lubang dan beberapa celah dan retakan kecil. Semula bagian yang melekat dengan inang tersebut diduga sebagai mulut utamanya, namun ternyata hanya merupakan bagian pusar (umbilical view). Lubang yang dibuat foraminifera hingga tembus ke bagian
EPIFIT PRAT (1935), WEIS (1968), FINE & RYAND (dalam SPINDLER 1980) menemukan bahwa komunitas Sargassum merupakan habitat bagi asosiasi biota yang sangat majemuk. Jenis algae ini merupakan tumbuhan laut yang hidup terapung (vertikal kearah permukaan laut), dengan reproduksi secara vegetatif. SPINDLER (1980) telah menemukan 2 jenis foraminifera yang berhasil hidup berasosiasi dengan makroalgae dari jenis Sargassum natans, jenis-jenis tersebut adalah Planorbulina acevalis dan Rosalina globularis. Kedua jenis ini diduga merupakan jenis yang telah mapan berasosiasi dengan komunitas Sargassum, karena dapat ditemukan sepanjang tahun dengan kepadatan yang cukup tinggi mencapai 40 spesimen/gram algae (MUKAI 1971). Fungsi lain dari makroalgae ini selain sebagai habitat juga sebagai media pembantu dalam penyebaran jarak jauh. Pada gambar 2 I, II, III LANGER (1988) memperlihatkan sebaran beberapa jenis foraminifera yang hidup sebagai epifit pada beberapa jenis rumput laut. Dari pengamatan SPINDLER (1981) diketahui ukuran cangkang P. acervalis yang hidup dalam komunitas Sargassum ini berkisar antara 150 - 1600 Urn. Jenis ini cenderung memilih bagian akar dan helaian daun pada segmen yang lebih tua sebagai tempat melekatkan diri. Kecenderungan ini diduga berhubungan dengan kandungan tannin yang tinggi pada bagian yang lebih muda (CONOVER & SIEBURTH dalam SPINDLER 1981). Kenyataan tersebut diperkuat dengan prilaku beberapa jenis
123
Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
bryozoa dan algae biru-hijau yang selalu menghindari habitat yang berdekatan dengan titik tumbuh Sargassum.
Walaupun
Rosalina
dari air laut rata-rata, ini disebabkan oleh tertampungnya air laut yang terhempas dalam kolam-kolam kecil di antara bongkah-bongkah batu yang sangat besar. Air yang tertampung ini akan mengalami penguapan yang tinggi karena selalu mendapat penyinaran yang langsung. Di lingkungan ini hampir tidak dapat ditemukan foraminifera hidup di atas bebatuan, pada umumnya mereka ditemukan sebagai organisme epifit pada komunitas rumput laut yang membentuk lapisan tebal. Gambar 3 memperlihatkan jenis-jenis rumput laut dan jenis foraminifera epifitnya yang hidup di lingkungan pantai berbatu. Lebih detil lagi KITAZATO (1988) berhasil mengamati sebaran foraminifera yang hidup secara epifit pada makroalgae. Berdasarkan cara hidup yang teramati, diketahui terdapat 3 tipe foraminifera epifit yaitu:
globularis
merupakan jenis terpadat kedua setelah P. acervalis, namun tampaknya hanya merupakan habitat sementara bagi jenis ini yaitu pada saat memasuki stadium planktonik. Pada stadium ini R. globularis hasil reproduksi aseksual membentuk kamar pengapung selama melangsungkan reproduksi secara seksual. Dari hasil penelitian BOLTOVSKOY et al (1976) tentang populasi foraminifera yang menggunakan algae sebagai substratnya di Puerto Deseado, Patagonia diketahui bahwa jumlah jenis foraminifera yanng hidup menempel pada algae terutama disebabkan oleh karakteristik dari tumbuhan tersebut. Algae yang menyediakan perlindungan terbaik akan dihuni oleh jenis yang sangat bervariasi dan populasi yang tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi terdapatnya foraminifera epifit pada algae adalah lokasi tempat tumbuhnya, dimana algae dari daerah infralitoral lebih banyak dihuni oleh epifit dibandingkan dengan algae yang tumbuh di daerah mesolitoral. Namun demikian ada juga beberapa jenis algae yang dihindari oleh foraminifera untuk dijadikan substrat, ini diduga karena beberapa jenis algae tersebut mengandung substansi yang beracun. ATKINSON (1969) dan KITAZATO (1984) melakukan pengamatan terhadap foraminifera epifit yang hidup di lingkungan pantai berbatu. Pantai berbatu ini merupakan lingkungan yang sangat spesifik, karena selalu berada dalam hempasan gelombang yang kuat, temperatur yang relatif lebih tinggi dari temperatur air laut sendiri karena mendapat sengatan matahari secara langsung. Demikian juga dengan salinitas yang selalu lebih tinggi
1. Tipe phytal, pada tipe ini foraminifera menjulurkan kaki semunya untuk berpegang pada permukaan rumput laut, dan mengangkat cangkangnya sampai 45° terhadap permukaan. Kaki semu pada tipe foraminifera ini sangat kuat dan liat seperti otot bisus pada moluska. Bentuk cangkanng pada jenis-jenisnya adalah lentikular seperti pada Pararotalia nipponica, Elphidium crispum dan E. reticulosum. 2. Tipe merayap, jenis-jenis ini merupakan jenis khas foraminifera epifit. Bagian yang menempel di permukaan rumput laut adalah bagian dasar cangkangnya. Cangkang foraminifera pada tipe ini biasanya berbentuk konikal (conical) seperti pada jenis Glabratella subopercularis, Patellina corrugata dan Spirilina vivipara.
124 Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 1. Posisi simbion di dalam cangkang foraminifera yang bemkuran besar. Dari penampang melintang terlihat sebaran simbion di sepanjang sisi lateral bagian dalam cangkang, anak panah putih memperlihatkan tempat kaki semu menjulur keluar, dan anak panah hitam menunjukkan sistem kanal jenis-jenis tersebut. So: Soritinae, He: Heterostegina depressa, Ca: Calcarina calcar, Ba: Baculogypsyna sphaerulata, Pe: Peneroplis pertusus, Al: Alveolinella quoyi, El: Elphiddiinae, Am: Amphisteginidae. (LEUTENEGGER 1984).
125 Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 2. Sebaran dan frekuensi keberadaan foraminifera epifit pada beberapa jenis algae, Foraminifera epifit dibagi dalam beberapa morfotipe berdasarkan cara hidupnya (IV). A: tipe penetap, B: tipe merayap, C: tipe berpegang, D: tipe hidup bebas. I. Pada rumput laut dari jenis Pasidonia oceanica foraminifera epifit tersebar pada helaian daun dan bagian akamya. II. Foraminifera epifit pada algae coklat dari jenis Ectocarpus sp tersebar pada helaian daunnya. HI. Helaian daun algae hijau dari jenis Udotea petiola sebagai substrat foraminifera (LANGE 1988).
Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
126
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 3. Sebaran foraminifera bentuk epifit pada beberapa jenis rumput laut yang berbeda di pantai Gbama, Shizuoka, (KITAZATO 1988). a. Gloipeltis complanata b. Viva conglobata h. Copomenia sinuosa c. Corallina pilurifera i. Caulacanthus okamurai d. Myelophycus caespitotus j. Ishige okamurai e. Carpopeliis divaricata k. Gigartina intermedia f. Sargassum kjellmanianum I. Ishige foliacea g.Colpomenia sinuosa m. Eisenia bicyclis
Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
127
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 4. Beberapa tipe pyrenoid yang terletak di dalam khloroplas diatom, dimana BlrPyrenoid majemuk, B2:Pyrenoid sederhana, B3:Pyrenoid bercelah, B4:Pyrenoid berasosiasi (LEUTENEGGER 1984).
128 Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
3. Tipe penetap, foraminifera yang termasuk tipe ini menempelkan diri pada permukaan rumput laut dengan menggunakan lem organik yang disekresikan oleh organisme tersebut. Jenis penetap ini biasanya memiliki bentuk cangkang yang relatif pipih seperti pada Cibicides lobatulus, Rosalina globularis dan Trochamina pacifica. 4. Tipe hidup bebas, foraminifera pada tipe ini hidup dan bergerak keluar-masuk sedimen halus yang berada di bagian basal rumput laut. Cangkang pada tipe ini biasanya berbentuk elongate dengan putaran yang tinggi, seperti pada jenis Quinqueloculina spp, Miliolinella spp dan Bolivina spp.
LANGER, M. 1988. Recent epiphitic foraminifera from vulcano (Mediteranean sea). Rev. Paleobiologie sec. 2:827-832. LEE, JJ., E. MARIE., McEMERY and J.R. GARRISON. 1980. Experimental studies of larger Foraminifera and their symbionts from the Gulf of Elat on The Red Sea. Jour. Foraminiferal Resch. 10 (1: 31 - 47). LEE, JJ., W.A. MULLER., RJ. STONE., M.E. McEMERY and W. ZUCKER. 1969. Intro. Jour, on life in Oceans and Coastal waters. 4. (1):44-61. LEUTENEGGER,S. 1984. Symbionts in benthic forminifera; specifity and host adaptations. Jour. Foraminiferal Resch. 14. (1): 16- 35. MUKAI, H. 1971. The phytal animals on the thalli of Sargassum seratifolium in the Sargassum region, with preference to their seasonal fluctuations. Mar. Biol. 8:170-182. REIZZ, Z AND HOTTINGER, L. 1984. The gulf of Aqaba; Ecological Micropaleontology. Springer-Verlag, Tokyo. SPLINDER, M. 1980. The pelagic Gulfweed Sargassum natans as a habitats for the benthic foraminifera Planorbulina acervalis and Rosalina globularis. N. Jb. Geol. Palaont. Mh. SUHARSONO. 1993. Kandungan zooxanthella pada Karang Batu di Terumbu Karang Pulau Pari. Oseanologi di Indonesia. 16:1-7. TAYLOR, D. L. 1968. In situ studies on the cytochemistry and ultrastructure of a symbiotic marine dinoflagellate. Jour. Mar. Biol. Ass. UK. 58:227-237. TODD, RUTH. 1965. A New Rosalina parasitic on a bivalve. Deep see res. 12:831-837.
DAFTAR PUSTAKA ATKINSON, K. 1969. The association of living forminifera with algae from the littoral zone, South Cardigan Bay, Wales. J.Nat.Hist. 3: 517 -542. BOLTOVSKOY, E., H. LENA and A. ASASI. 1976. Algae as a substrate for foraminifera in the Puerto Deseando area (Patagonia, Argentina). J. mar. biol. ass, India. FREUDENTHAL. 1962. Symbiodinium gen. nov. and Symbiodinium microadriaticum sp. nov., a zooxanthella: Taxonomy, life cycle and morphology: Jour. Protozoology 26: 185 -194. KITAZATO, H. 1988. Ecology of benthic foraminifera in the tidal zone of a rocky shore. Rev. Paleobiologie. spec. 2. : 815825. KTTAZATO,H. 1984. Microhabitats of benthic foraminifera and their application to the fosil assemblages. 2nd Int Symp. Benthic Foraminifera (Pau, April 1983), PP: 339 344.
129
Oseana, Volume XVIII No. 3, 1993