www.oseanografi.lipi.go.id
ISSN 0216–1877
Oseana, Volume XIV, Nomor 1 : 27–36, 1989.
FORAMINIFERA oleh Ricky Rositasari 1) ABSTRACT FORAMINIFERA. As unicelular animals, foraminifera have specific characteristics such as the capability to build a hard protective shell which is secreted by the animal and to adapt in the various kind of environments. This group of animals has high species diversity and widely distributed both geographically and geologically. These animals can be used as indicator in many aspects. Recent foraminifera are used as indicators in many oseanographic aspects such as chemical, physical and geological and their fossils can also be used as paleoecologic indicators.
analisis foraminifera dalam kegiatan eksplorasi adalah karena foraminifera memiliki bagian tubuh yang keras dengan ukurannya yang kecil, sehingga dengan mudah terawetkan di dalam sedimen. Selain itu sebaran geograflsnya yang luas serta kisaran umurnya yang panjang memungkinkan foraminifera untuk merekam informasi yang sangat berharga tentang sejarah bumi, sehingga hanya dengan menggunakan sejumlah kecil contoh para ahli sudah dapat menganalisis dan menginterpretasi korelasi regional antara satu tempat dengan tempat lainnya, serta sifat oseanografi dan ekologi pada masa lalu. Di samping itu hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa foraminifera dapat juga dipakai sebagai indikator untuk mengetahui keadaan suatu lingkungan yang sedang mengalami tekanan.
PENDAHULUAN Salah satu keunikan dari foraminifera adalah kemampuannya untuk melangsungkan proses fisiologis dalam sek tunggalnya yang memiliki ukuran 1 µm - 2 mm sesempurna proses fisiologis pada organisme bertulang belakang kecuali pada organel perkembangbiakannya. Keistimewaan lainnya adalah kemampuannya untuk membentuk arsitektur serta komposisi kimia yang rumit pada pembentukan cangkangnya sebagai hasil sekresi sel. ANDERSON & ALLAN (1978) menyebutkan bahwa kemampuan untuk membentuk arsitektur serta menyusun komposisi cangkang yang berbeda pada setiap jenis, dikontrol oleh kode genetika yang mempengaruhi proses fisiologisnya. Alasan para ahli perminyakan pada awal perang dunia pertama menggunakan
1) Balai Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.
27
Oseana, Volume XIV No. 1, 1989
www.oseanografi.lipi.go.id
BIOLOGI FORAMINIFERA
Jenis-jenis dari anak ordo Textulariina memiliki kamar lebih dari satu, dindingnya ada yang terdiri dari satu lapisan atau lebih. Struktur dinding terdiri dari tektin dengan lapisan pasiran, kristal butir-butir kalsit dengan atau tanpa lapisan pasiran. Kamar-kamar tersusun dalam satu jajar, terputar atau terpilin. Ciri morfologi pada anak ordo Miliolina adalah jumlah kamar banyak, tersusun secara terputar atau terpilin (Gambar 1), mulut tunggal atau jamak dengan atau tanpa gigi. Dinding cangkang terdiri dari kristal kalsit dengan kenampakan seperti porselen atau dengan tambahan bahan pasiran. Jenis-jenis foraminifera yang termasuk dalam anak ordo Rotaliina memiliki kamar lebih dari satu, sebagian besar memiliki dinding yang berlapis-lapis (Gambar 1). Susunan kamar pada sebagian besar jenisnya terpulir (trochospiral).
Sistematika Dalam sistematik tata nama, foraminifera termasuk dalam filum Protozoa karena organisme ini bersel satu, dan termasuk pada kelas Sarcodina karena sistem pergerakannya terdiri dari kaki semu (pseudopodia). Ordo foraminifera terbagi lagi menjadi 5 anak ordo yaitu Allogramiina, Textulariina, Fusulinina, Miliolina dan Rotaliina. Menurut HAQ & BOERSMA (1984) pembagian anak ordo tersebut didasarkan pada : 1. Mikrostruktur dan komposisi dinding cangkang. 2. Susunan kamar dan dinding tambahan. 3. Bentuk dan modifikasi mulut (apertura). 4. Bentuk kamar. 5. Kebiasaan dan tempat hidup. 6. Karakteristik protoplasma. 7. Perubahan ontogeni. 8. Proses perkembangbiakan 9. Sebaran geologi.
Sel dan isinya Seperti jenis-jenis Protozoa lainnya, foraminifera terdiri dari satu sel yang dilengkapi oleh organel-organel yang berfungsi seperti organ pada organisme bertulang belakang. Badan golgi merupakan organel yang mengatur sekresi sel, mitokondria berfungsi unruk pernafasan, ribosom yang mengandung RNA merupakan tempat sintesa protein dan vakuola yang merupakan tempat pengaturan cairan dan gas dalam protoplasma. Gambar 2 memperlihatkan sel foraminifera hidup secara skematis. Pada umumnya sel foraminifera memiliki satu inti atau lebih dengan anak-anak inti yang berfungsi sebagai cadangan protein. Untuk hidupnya, foraminifera membutuhkan nutrisi yang berasal dari alga, diatom, krustasea, kimah, jenis mereka sendiri dan serpihan bahan organik (MURRAY 1973). Berdasarkan jenis makanannya maka
Anak ordo Allogramiina merupakan kelompok foraminifera yang mempunyai morfologi paling sederhana, yaitu terdiri dari 1 sel dengan bentuk dan struktur cangkang yang sederhana pula. Contoh dari anak ordo ini sangat jarang ditemukan karena cangkang nya tersusun dari bahan tektin yang mudah rusak. Sedangkan jenis-jenis yang memiliki cangkang pasiran hanya sebagian kecil saja. Anak ordo Fusulinina merupakan foraminifera yang berukuran relatif besar dengan susunan kamar yang sangat kompleks, sehingga kelompok ini biasa disebut foraminifera bentonik besar. Kisaran hidupnya dalam kala geologi hanya sampai Triasik (200 juta tahun yang lalu). Jadi pada masa resen (0– 0,23 juta tahun yang lalu) jenis-jenis ini tidak dapat ditemukan lagi.
28
Oseana, Volume XIV No. 1, 1989
www.oseanografi.lipi.go.id
irisan melintang lapis bagian luar lapis Susunan Kamar rongga kamar Milioliina
Gambar 1. Dinding cangkang pada anak ordo Rotaliina dan Milioliina (HAYNESS 1981).
^ kaki semu
mulut endoplasma___ badan golgi
Gambar 2. Gambaran umum sel foraminifera pada waktu hidup (HAYNESS 1981).
29
Oseana, Volume XIV No. 1, 1989
www.oseanografi.lipi.go.id
foraminifera dapat digolongkan sebagai herbivora, karnivora maupun omnivora. Foraminifera menangkap makanan dengan menggunakan kaki semu yang menjulur-julur ke segala arah melalui pori-pori atau mulut. Makanan yang tertangkap akan melekat dan langsung dicerna, sisa jasad dari mangsanya kemudian dilepas. Dalam pergerakannya foraminifera bentonik menggunakan kaki semu yang keluar melalui mulut, sehingga dapat merayap dan bergerak turun-naik pada substratnya. Pada jenis-jenis planktonik pergerakan dilakukan pada sepanjang kolom air, sebagai akibat perubahan kimia pada protoplasma yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam kandungan gas di dalam sel. Foraminifera bentonik memiliki dua fase dalam daur perkembangannya yaitu seksual dan aseksual (Gambar 3). Namun demikian beberapa peneliti seperti HAQ & BOERSMA (1984), CUSHMAN (1955) dan ALBANY (1979) menduga perkembangbiakan yang utama pada foraminifera adalah secara aseksual. Dugaan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa jumlah individu yang memiliki ciri morfologi megalosperik sebagai hasil perkembangbiakan aseksual sangat melimpah.
bahan mineral untuk membentuk kamar yang bam. Sebelum proses ini berlangsung foraminifera akan menyelimuti cangkangnya dengan material-material yang ada di sekitarnya dan menghentikan seluruh aktivitasnya sampai kamar baru terbentuk. Bentuk dan susunan kamar pada foraminifera sangat bervariasi, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu unilokular yang hanya terdiri dari satu kamar dan multilokular yang terdiri dari banyak kamar. Kamar-kamar ini dipisahkan oleh dinding tambahan. Bentuk susunan kamar multilokular dapat dibagi lagi menjadi enam tipe, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4. Cangkang foraminifera secara garis besar dapat dibagi dua yaitu pasiran dan gampingan. Cangkang pasiran tersusun dari bahan-bahan yang terkandung dalam substratnya seperti spikula, pasir, mika atau pecahan-pecahan cangkang organisme lain. Sedangkan cangkang gampingan terbentuk dari hasil akresi dan presipitasi protoplasma. Cangkang gampingan ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu gampingan yang memiliki pori dengan kenampakan seperti kaca dan gampingan tak berpori dengan kenampakan seperti porselen. Setiap cangkang pada foraminifera memiliki mulut yang berfungsi sebagai jalan keluar bagi kaki semu serta gamet-gamet pada saat berlangsung proses perkembangbiakkan. Bentuk dan letak mulut pada setiap cangkang berlainan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4. Pada beberapa marga terdapat hiasan yang berupa gigi pada mulutnya seperti pada marga Quinqueloculina. Selain mulut, gigi dan pori, komponen taksonomi lain adalah hiasan yang dapat berupa jalur-jalur, cucuk, duri, dan tonjolan-tonjolan yang tersebar secara beraturan atau tidak.
Foraminifera memiliki dua macam pertumbuhan yaitu pertumbuhan periodik dan nonperiodik. Pertumbuhan nonperiodik terjadi pada organisme yang memiliki satu kamar pada cangkangnya, seperti jenis-jenis pada anak ordo Allogromiina. Sedangkan pertumbuhan periodik terjadi pada organisme yang memiliki banyak kamar pada cangkangnya seperti jenis-jenis pada anak ordo Rotaliina, Textulariina, Miliolina dan Fusulinina. Pertumbuhan periodik adalah proses pertambahan ukuran cangkang sebagai akibat dari proses presipitasi dan akresi bahan-
30
Oseana, Volume XIV No. 1, 1989
www.oseanografi.lipi.go.id
Megalosperik dewasa
mikrosper ik muda
mikrogperik dewasa
Gambar 3. Daur perkembangbiakan foraminifera (GRELL dalam HAYNESS 1981).
31
Oseana, Volume XIV No. 1, 1989
www.oseanografi.lipi.go.id
Unicoile
Planispi ral
Uniseria mulut
l
d Biserial
Triserial
Polimorphin mulut i
- mulut Trochospiral mulu
ventral
dorsal . mulut irisan melintang Cangkang mUiolin
Unilocular mulut Tubula r
Gambar 4. Bentuk dan susunan kamar pada cangkang multilokular (HAYNESS 1981).
32
Oseana, Volume XIV No. 1, 1989
www.oseanografi.lipi.go.id
EKOLOGI FORAMINIFERA Sebaran Sebaran geografis foraminifera sangat luas, mulai dari perairan tawar sampai perairan dengan kandungan salinitas tinggi, tetapi sebagian besar dari jenis-jenisnya hidup di laut. Tipe lingkungan perairan tertentu tercirikan oleh jenis-jenis yang berbeda, tergantung pada tingkat adaptasi yang dimilikinya. Hasil penelitian MURRAY (1973) menunjukkan bahwa daerah perairan pasangsurut didominasi oleh Elphidium, Quinqueloculina, Ammonia dan beberapa jenis lainnya. Daerah terumbu karang didominasi oleh Peneroplis, Amphistegina. Calcarina dan beberapa jenis gampingan lainnya. Daerah delta didominasi oleh Bolivina, Nonionella, Brizalina dan beberapa jenis khusus lainnya. Lingkungan Biotik Di dalam daur makanan mahkluk hidup, foraminifera dapat berperan sebagai konsumen tingkat pertama atau kedua, karena selain memakan diatom dan alga mereka juga memakan kimah, krustasea dan jenis-jenis mereka sendiri. Di lain pihak foraminiferapun banyak dikonsumsi oleh ikan, ekinodermata dan jenis-jenis fauna lain yang mengambil makanan dengan cara mengisap. Selain sebagai hewan pemangsa dan yang dimangsa, foraminifera juga banyak digunakan sebagai tuan rumah dari beberapa organisme parasit seperti bakteri, nematoda, amuba serta jenis-jenis mereka sendiri. Berdasarkan cara hidupnya foraminifera dapat dibagi menjadi foraminifera planktonik dan bentonik. Jenis planktonik hidup secara mengapung di dekat permukaan air, dan jenis bentonik hidup dengan melekatkan diri pada substrat. Jenis-jenis substrat yang biasa didiami adalah pasir, lempung, rumput laut, cangkang pelesipoda, gastropoda dan
koral. Cara hidup lain yang biasa dilakukan foraminifera adalah dengan mengadakan simbiose bersama alga. Cangkang foraminifera berfungsi sebagai rumah kaca bagi alga, dan alga berfungsi untuk mensintesa nutrisi bagi foraminifera. Bentuk simbiose seperti ini menyebabkan beberapa foraminifera terlihat seperti berwarna hijau, coklat atau merah, sesuai dengan jenis alga yang hidup di dalam cangkangnya. Lingkungan Abiotik Komponen-komponen lingkungan abiotik yang berperan dalam kehidupan foraminifera ada yang berpengaruh secara langsung ada juga yang tidak langsung. Komponen abiotik yang berpengaruh secara langsung adalah : 1. Suhu Pada umumnya foraminifera merupakan organisme poikilotermik (suhu tubuhnya sama dengan suhu lingkungannya). Beberapa jenis foraminifera memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan temperatur lingkungan dan beberapa jenis lain tidak memiliki toleransi tersebut. Pada organisme bentonik perubahan suhu siang-malam dan perubahan musim akan berpengaruh pada sebarannya. Perkembangbiakkan biasanya berlangsung pada temperatur optimum. BRADSHAW (dalam MURRAY 1973) telah mengamati batas toleransi suhu pada Ammonia beccarii tepida, pada suhu 10°C organisme ini tidak membentuk kamar baru, suhu 24°C – 30°C merupakan suhu yang paling optimum untuk berkembang biak, sedangkan suhu 35°C merupakan suhu letal bagi jenis ini Setiap jenis foraminifera memiliki batas toleransi yang berlainan seperti Spirilina vivipara yang mati pada suhu 39°C dan Bolivina compacta mati pada suhu 41 °C.
33
Oseana, Volume XIV No. 1, 1989
www.oseanografi.lipi.go.id
2. Salinitas
1. Kekeruhan air
Sebagian besar foraminifera bentonik merupakan stenohalin atau memiliki kemampuan yang terbatas dalam mentolelir perubahan salinitas seperti pada Rotaliella heterocaryotica yang hanya dapat bertahan pada salinitas 23,5‰ – 37,0‰. Beberapa jenis foraminifera mempunyai kemampuan adaptasi yang besar terhadap perubahan salinitas seperti jenis Ammonia beccarii tepida yang memiliki toleransi salinitas dari 2‰ sampai 41‰, sehingga jenis ini dapat ditemukan di perairan yang bersalinitas rendah maupun tinggi. Jenis-jenis yang beradaptasi terhadap salinitas rendah, sangat jarang ditemukan pada salinitas normal karena perubahan salinitas akan berpengaruh pada densitas air dan tekanan osmotik pada sel foraminifera.
Kekeruhan biasanya dijumpai di daerah pantai dan sekitarnya. Kekeruhan yang tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya dan salinitas yang merupakan salah satu faktor pembatas bagi foraminifera. 2. Intensitas cahaya matahari Cahaya matahari tidak berpengaruh langsung terhadap kehidupan foraminifera tetapi mempengaruhi proses fotosintesa plankton dan alga yang merupakan makanan bagi foraminifera. 3. Kedalaman air FUNNEL (dalam MURRAY 1973) menyebutkan bahwa kemungkinan besar kedalaman air bukan merupakan faktor pembatas bagi foraminifera. Diduga yang menjadi faktor pembatas adalah beberapa parameter yang berkaitan erat dengan perubahan kedalaman seperti tekanan air, densitas, penetrasi cahaya, suhu, kandungan oksigen dan karbon dioksida.
3. Kandungan Oksigen LUTZE (dalam MURRAY 1973) menyebutkan bahwa foraminifera tidak ditemukan pada perairan anoksigenik seperti di cekungan dalam perairan Baltik, tetapi belum ada penelitian yang dapat memastikan bahwa oksigen merupakan faktor pembatas bagi foraminifera.
4. Zat hara dalam perairan Jenis-jenis foraminifera yang paling dipengaruhi oleh zat hara adalah jenis-jenis yang hidup di daerah aliran tempat pembuangan limbah. Akan tetapi kandungan zat hara yang tinggi pada suatu perairan selalu identik dengan kandungan oksigen yang rendah, karena oksigen banyak digunakan untuk dekomposisi bahan organik. Diduga bahwa foraminifera lebih tergantung pada kandungan oksigen daripada terhadap kandungan zat hara. Jenis-jenis yang jumlah individunya meningkat di sekitar daerah tercemar, diduga merupakan jenis yang telah beradaptasi pada kandungan oksigen rendah.
4. Tekanan air BRADSHAW (dalam MURRAY 1973) telah mengadakan pengamatan terhadap daya tahan Ammonia beccarii tepida pada tekanan 1000 atmosfir. Ternyata jenis ini hanya dapat bertahan dalam waktu yang sangat singkat. Ini memperlihatkan bahwa foraminifera perairan dangkal tidak dapat hidup di lingkungan abisal karena mereka telah beradaptasi dengan baik pada lingkungan hidupnya. Faktor abiotik yang berperan secara tidak langsung adalah:
34
Oseana, Volume XIV No. 1, 1989
www.oseanografi.lipi.go.id
minifera hidup. Di dalam kumpulan foraminifera hidup kepadatan anak ordo Rotaliina delapan kali lebih besar daripada kepadatan anak ordo Textulariina, tetapi di dalam kumpulan foraminifera yang sudah mati terjadi hal yang berlawanan. Hal ini diduga disebabkan karena terlarutnya cangkang gampingan yang telah kosong akibat keasaman air yang tinggi. (BANDY, INGE & RESIG dalam MURRAY 1973). Perubahan lain yang diperlihatkan oleh beberapa jenis foraminifera adalah terjadinya perkembangan cangkang yang abnormal. Peningkatan kepadatan foraminifera yang sangat mencolok di sekeliling zona suspensi limbah disebabkan melimpahnya fitoplankton sebagai produsen yang langsung menggunakan zat hara, dan kemudian fitoplankton yang melimpah ini akan dikonsumsi oleh foraminifera. Penggunaan fosil foraminifera sebagai indikator lingkungan purba, sepenuhnya didasarkan pada karakteristik dan perubahan yang diperlihatkan oleh organisme-organisme resen yang ada saat ini. Parameter lingkungan purba yang dapat ditentukan dengan menggunakan foraminifera sebagai indikator adalah iklim, sifat oseanografi, geografi, suhu, umur, korelasi regional dan keadaan ekologis dari suatu perairan laut.
FORAMINIFERA SEBAGAI INDIKATOR LINGKUNGAN Dari hasil analisis data foraminifera dapat dihitung beberapa koefisien yang berguna sebagai indikator beberapa sifat oseanografi, seperti nilai perbandingan jumlah individu yang hidup dengan yang mati (L/D). Semakin rendah nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya tingkat kecepatan sedimentasi, kekeruhan, kekuatan arus, serta rendahnya kandungan zat hara dan oksigen. Dan semakin tingginya nilai L/D menunjukkan terdapatnya intensitas cahaya yang baik, kecerahan air tinggi, serta tingginya kandungan zat hara dan oksigen. Tingginya nilai perbandingan antara jumlah individu yang bercangkang pasiran dengan gampingan (A/C) menunjukkan kadar salinitas dan keasaman yang tingginya serta kandungan kalsium karbonat rendah. Nilai perbandingan antara jumlah individu planktonik dan individu bentonik (P/B) yang tinggi menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan perairan yang dalam dan terbuka, sedangkan rendahnya nilai perbandingan ini menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan perairan dangkal yang dikelilingi oleh daratan. Indikasi lain yang diperlihatkan foraminifera sebagai cerminan keadaan lingkungan adalah perubahan morfologi, keragaman dan kepadatan. Pada perairan yang bersalinitas rendah, diversitas foraminifera akan rendah dengan ukuran cangkang yang mengecil dan menipis. Hal ini terjadi akibat adanya penurunan sekresi kalsium karbonat dari dalam protoplasma. Pada lingkungan yang tercemar, jenisjenis yang beradaptasi akan memperlihatkan peningkatan kepadatan di sekeliling zona suspensi limbah, sebaliknya di dalam zona suspensi sendiri tidak terdapat fora-
DAFTAR PUSTAKA ALBANY, A.D. 1979. Recent shallow water Foraminifera from New South Wales. The Australian Marine Science Association, Australia : 54 pp. ANDERSON, O.R. and ALLAN W.H. BE. 1978. Recent Advances in Foraminifera fine structure research. In : Foraminifera. (R.H. HEADLEY and C.G. ADAMS, Eds.) Acad. Press., London : 10–25.
35
Oseana, Volume XIV No. 1, 1989
www.oseanografi.lipi.go.id
CUSMAN, J.A. 1955. Foraminifera their classification and economic use. Harvard University Press., Massachusetts: 683 pp. HAQ, B.U. and A. BOERSMA. 1984. Introduction to marine Micropaleontology. Elsevier Biomedical., New York: 376 pp.
HAYNESS, J.R. 1981. Foraminifera. Macmillan Publishers, LTD. London : 555 pp. MURRAY, J.W. 1973. Distribution and ecology of living benthic Foraminifera. Crane, Russak and Co, Inc. New York: 525 pp.
36
Oseana, Volume XIV No. 1, 1989