Artikel “Profil Tokoh” Butaru Edisi VI
Ir.Bambang Setioko M.Eng, lahir di Klaten pada tanggal 5 Oktober 1948. Pekerjaan atau jabatan saat ini adalah Lektor Kepala di Jurusan Arsitektur Fakultas
Teknik
Unversitas
Diponegoro, Semarang. Lulus Magister of Engineering Urban and Regional Planning Toyohashi University of Technology, Japan tahun 1985 dan saat ini sedang menyelesaiakan gelar Doktor pada Program Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan Program
Pasca
Sarjana
Universitas
Diponegoro.
Jabatan
organisasi yang masih dipimpinnya antara lain Wakil Ketua Dok. Butaru
Dewan
Kehormatan
Propinsi
Ikatan
Konsultan
Indonesia
(Inkindo) Cabang Jawa Tengah, Wakil Ketua III Dewan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah (LPJK) Jawa Tengah, Anggota Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K)
Kota
Semarang dan Anggota Arsitek Profesional Ikatan Arsitek
Indonesia.(IAI) Cabang Jawa Tengah serta aktif pada beberapa kegiatan organisasi alumni Undip Semarang. Adapun beberapa penghargaan yang pernah diterima adalah Dosen Teladan II Universitas Diponegoro
tahun 1987, dan Satyalancana Karya Satya
XX. Wawancara
bersama
Butaru
dilakukan
dengan
ringan
namun
serius.
Beliau
menyampaikan beberapa pemikiran dan pendapat mengenai kearifan lokal dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Kalimat penting yang sering diucapkan beliau adalah kenyataan di dalam implementasi penataan ruang, yakni ”besarnya domain nilai ekonomi dibandingkan nilai sosial” disetiap penyelenggaraan penataan ruang. Berikut adalah cuplikan hasil wawancara Butaru bersama beliau: Butaru: Pertama-tama kami ingin mendapatkan pendapat Bapak mengenai perspektif kearifan lokal dalam penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia? Bambang Setioko:
Penyelenggaraan
penataan
ruang
dan
kearifan lokal sangat berkaitan. Namun kurang tepat bila dikaitkan
dalam
lingkup
nasional
karena
penyelenggaraan
penataan ruang sangat makro. Pada level nasional lebih berupa peta
kebijakan
dipertimbangkan
dan
politik.
dalam
Kearifan
seluruh
lokal
tingkatan
sangat
perlu
penyelenggaraan
penataan ruang yaitu diawali dengan identifikasi kearifan lokal pada masing-masing tingkatan sehingga tidak ada tingkat
Dok. Butaru
kearifan lokal yang sama.
1
Butaru:
Maksudnya
kearifan
lokal
itu
dilakukan
seharusnya
menurut
karakteristik wilayah? Bambang Setioko:
Ya, kearifan lokal itu harus dilakukan berdasarkan karakteristik
wilayah daerah setempat karena di dalamnya ada budaya-budaya masyarakat. Dan kearifan lokal adalah bagian dari budaya. Butaru: Saat ini sejauh mana kearifan lokal dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang? Bambang Setioko:
Secara normatif kearifan lokal sudah dilakukan, namun secara
empiris belum. Mengapa? karena seperti pada pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis, kearifan lokal saat ini masih direspon secara negatif. Contohnya sebagian masyarakat tidak atau masih belum menerima pemanfaatan-pemanfaatan ruang kawasan strategis dimana masyarakat masih melakukan penolakan. Butaru: Menurut Bapak apa saran atau masukan yang harus disampaikan terhadap penolakan oleh masyakarat, khususnya kearifan lokal masyarakat yang tidak teraspirasikan? Bambang Setioko:
Saat ini jawabannya adalah ada pada “kewenangan”, yaitu
kewenangan daerah pada tingkat kabupaten dan kota. Kewenangan daerah yang besar ini ada baiknya dijadikan peluang bagi pembangunan maupun pelaksanaan penataan ruang daerah walaupun pemerintah daerah hingga saat ini masih sering belum “peka” terhadap persoalan kearifan lokal. Sering terminologi kearifan lokal atau peran masyarakat ini hanya memiliki arti dalam konteks ekonomi, padahal sisi
ekonomi tidak selalu
kebutuhan
masyarakat.
dapat
Seperti
menjawab seluruh kawasan
alun-alun,
sebagai ciri perkotaan di Jawa, pemda dalam melakukan pembangunan atau pemanfaatan ruang hanya melihat sumber: www.semarang.go.id
Alun-alun Kota Semarang
dari sisi ekonomi dengan melakukan pembangunan ataupun konversi lahan sekitar
alun-alun
kota
menjadi kawasan perdagangan padahal
alun-alun
sangat
dibutuhkan oleh masyarakat untuk melakukan aktifitas sosial dan aktivitas lain. Sebaiknya tata ruang dalam implementasinya harus disosialisasikan dan pemanfataan ruangnya tidak hanya dilihat dari satu sisi saja (ekonomi) melainkan harus dilihat juga sisi/manfaat lainnya yaitu sisi sosial, sehingga masyarakat akan merasa bahwa pemerintah daerah (maupun pusat) telah menerima kebutuhan masyarakat.
2
Ke depan, kearifan lokal haruslah muncul melalui upaya-upaya masyarakat dalam pelaksanaan proses pemanfaatan ruang. Butaru: Terkait dengan kewenangan pemda yang saat ini memiliki amanat untuk melakukan revisi Perda tentang RTRW, bagaimana kedudukan kearifan lokal dalam proses tersebut? Bambang Setioko: Proses revisi perda merupakan bagian dari ranah politis, yang bisa merubahnya adalah legislatif. Tapi muncul pertanyaan apa mereka itu betul wakil rakyat? Bila
mereka
menjalankan
fungsinya
sebagai
wakil
masyarakat maka kita telah diwakilkan secara tepat. Artinya bahwa aspirasi masyarakat dalam setiap pembuatan atau
Dok. Butaru
penyusunan kebijakan telah diakomodir. Teralirkannya aspirasi masyarakat di legislatif dapat menentukan arah pemanfataan ruang dalam proses revisi RTRW tersebut. Namun dengan masih berlakunya asas “domain ekonomi mengendalikan penataan ruang” maka harapan agar pemanfaatan ruang berjalan baik akan masih jauh dari harapan. Dominasi ini wajib di kurangi atau mungkin dihilangkan. Butaru: Bagaimana peran masyarakat yang menurut peraturan saat ini harus dilibatkan minimal sebanyak 2 (dua) kali? Bambang Setioko:
Secara kuantitatif 2 (dua) kali
sudah cukup, tapi yang terpenting adalah bagaimana kualitasnya. Sering pelibatan ini menjadi “trigi” atau cara yang tidak baik. Misal dalam proses pelibatan tidak semua wakil masyarakat diundang, karena biasanya hanya yang pro terhadap kebijakan pemda saja yang Dok. Butaru
diundang.
Butaru: Pemda masih melakukan hal seperti itu? Bambang Setioko: Ya, masih terjadi. Contohnya saya sendiri selaku anggota lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan ruang (Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota/DP2K) sering tidak diperhatikan. Kami hanya dapat berikan rekomendasi saja. Pada beberapa hal yang bertentangan kami tidak diundang pada saat diskusi atau penyusunan kebijakan. Saat ini selalu kearifan lokal akan kalah bila dilihat secara ekonomi, kecuali bila di indonesia kebijakan publik sudah kuat maka kearifan lokal secara nilai sosial akan dipertimbangkan.
3
Butaru: Masyarakat adat saat ini masih banyak yang menjaga "ruang" adat mereka. Bagaimana sebaiknya posisi “ruang” adat ini dalam pelaksanaan proses perencanaan dan pemanfaatan ruang yang telah ada dan disepakati atau sudah diPerdakan? Bambang Setioko: Kesalahan umum dalam membuat perencanaan tata ruang adalah mengabaikan
“genious
loci”
atau
aspek
lokalitas.
Keterlibatan
masyarakat
lokal/setempat dalam penyusunan produk tata ruang diharapkan dapat meredusir rendahnya kepedulian (awareness) akan
aspek
lokalitas. Harus hati-hati dalam
mempertimbangkan masalah adat/budaya, supaya tidak menjadi kontra produktif dalam pelaksanaannya. Adat (genious loci) jangan dianggap sebagai “antagonist factor” dalam penyusunan sebuah rencana tetapi harus dipandang sebagai “requirement factor” yang harus dipenuhi. Butaru: Saat ini bagaimana upaya yang dilakukan dari sisi akademis terkait masalah kearifan lokal tersebut di setiap penyelenggaraan penataan ruang? Bambang Setioko: Kearifan lokal memberikan jiwa pada suatu ruang atau tempat, tapi akan butuh waktu dalam menciptakannya, dan waktu yang dibutuhkan cukup lama. Contoh penataan ruang publik. Bila ingin dikonversi maka dapat berubah dengan mudah namun bila ruang dikaitkan dengan jiwa sosial maka akan sulit berubah. Sebagai contoh adalah kawasan Alun-alun Semarang, kawasan ini
Dok. Butaru
sudah berubah menjadi kawasan perdagangan. Namun masyarakat masih menilai ada kaitannya dengan kawasan mesjid di sekitar alun-alun. Masyarakat masih menilai kawasan Alun-alun sebagai pusat tengah kota dan sebagai tempat melakukan aktifitas sosial dan agama. Butaru: Dalam UU Penataan Ruang ada hak dan kewajiban masyarakat, apakah muatan yang terkandung di dalamnya sudah mengaspirasikan keinginan dan kebutuhan masyarat? Bambang Setioko:
Secara akomodatif sudah, namun secara empiris sering terjadi
benturan dimana masyarakat pada posisi yang lebih lemah daripada penguasanya. Yang diperlukan adalah mekanisme atau petunjuk teknisnya. Contoh bagaimana masyarakat dapat
mengajukan
keberatan? Masyarakat kita belum
kuat
secara mental
bila
menyangkut persoalan bersama dengan cepat. Namun bila menyangkut persoalan hak perorangan mereka akan bergerak. Kita perlu menyiasati bagaimana kebijakan pemerintah yang baik dapat berjalan sehingga pembangunan sesuai dengan kepentingan umum maka hak perorangan perlu mengalah. Norma-norma yang ada seharusnya lebih
4
detail dalam aturan daerah. Selain itu yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan kedewasaan masyarakat terhadap seluruh aspek kehidupan. Butaru: Saat ini telah berdiri beberapa kelembagaan non Formal penataan ruang yang berdiri atas inisiatif masyakarat seperti Forum Pelaku Tata Ruang di Tangerang Banten, Petagor di Bogor Jawa Barat, Petarung di Depok Jawa Barat. Bagaimana menurut Bapak keberadaan mereka dikaitkan
dengan
penataan ruang? Bambang Setioko: Sepanjang visi misinya positif dan sejalan dengan visi dan misi tata ruang ya baik-baik saja. Saya usulkan keberadaan mereka dijadikan salah satu komponen/member of Forum Group Discussion (FGD), sehingga aspirasinya terwadahi sekaligus menghargai eksistensinya. Public participation sangat diperlukan dalam sosialisasi produk tata ruang. Butaru: Bagaimana peran pemerintah (pusat/daerah) yang tepat terhadap keberadaan forum-forum masysrakat tersebut? Bambang
Setioko:
dalam
RI
UU
Sebagaimana
No.26
Tahun
tertuang
2007
tentang
Penataan Ruang dalam Bab VIII tentang Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat, Pasal 65, masyarakat
(NGO)
diberi
ruang
untuk
berpartisipasi dalam memberikan informasi atau aspirasi, sejak pada tahap penyusunan, sampai dengan pengendalian pemanfaatan Tata Ruang. Dengan demikian pemerintah harus mampu
Dok. Butaru
memperlakukan masyarakat sebagai mitra dan pemberi masukkan/aspirasi. Pasal ini memaksa pemerintah untuk merobah paradigma berpikirnya, dari sebuah intitusi yang dulu berperilaku sebagai “pangreh praja” (penguasa) sekarang harus menjadi “ pamong praja”
(ngemong).
Lompatan
paradigma
ini
berimplikasi
pada
lamanya
proses
penyusunan karena harus melibatkan sedemikian banyak unsur dan harus mewadahi sedemikian banyak aspirasi yang kadang-kadang satu sama lain saling bertentangan. Pemerintah diharapkan mampu menjadi negosiator yang handal, tidak larut dalam aspirasi masyarakat yang kadang-kadang berorientasi pada kepentingan kelompok tertentu dalam dimensi waktu yang pendek, serta yang mampu tetap berpedoman pada visi dan misi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat luas serta mempunyai dimensi waktu yang panjang. Butaru: Menurut Bapak apa perlu pembentukan sebuah badan/komisi penataan ruang baik yang bersifat nasional/lokal?
5
Bambang Setioko: Kondisi saat ini pemerintah “over regulated”. Yang diperlukan lebih pada koordinasinya daripada pembentukan institusi baru dan regulasi baru. Saya berpendapat
bahwa
kewenangan
yang
sekarang
sudah
dipunyai
masing-masing
pemangku kepentingan bidang tata ruang belum didayagunakan secara optimal. Butaru:
Kaitannya
dengan
Ruang
Terbuka
Hijau
(baik
publik/privat),
masyarakat belum banyak yang mengetahui peran akan RTH (malah banyak yang merusak). Bagaimana seharusnya keberadaan RTH dari sudut pandang akademis perencana? Bambang Setioko: Dengan paradigma sustainable development for built environment semua upaya harus diarahkan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Kerusakan lingkungan akan jauh lebih mahal ongkosnya dibandingkan dengan memeliharanya. Berdasar pada justifikasi tersebut di atas tidak ada pilihan lain kecuali memelihara dan mengoptimalkan
ruang terbuka hijau. Korban akibat kerusakan lingkungan hampir
setiap hari muncul di media. Kenapa preseden buruk akibat kerusakan lingkungan masih diragukan? Karena saat ini banyak pejabat pemikirannya hanya
di
finansial
”drive” jangka
oleh
besarnya
pendek
yang
keuntungan
akan
didapat
dengan mengorbankan RTH. Tetapi mereka lupa dampak
negatif
yang berdimensi
lingkungan
yang
tidak
terukur
lingkungan
akibat
banjir,
polusi
sosial
dan
(kerusakan udara
dan
limbah, plasma nutfah dan lain-lain).
Dok. Butaru
Butaru: Di luar konteks penataan ruang, apa kesibukan Bapak saat ini dan apa yang biasa Bapak lakukan di waktu senggang? Bambang Setioko: Saat ini sebagai seorang kandidat doktor kesibukan saya sekarang lebih terfokus pada penyelesaian disertasi program doktor di bidang Arsitektur dan Perencanaan Kota, disamping mengajar di program S1 dan S2 baik di Magister Teknik Perencanaan
Wilayah
dan
Kota maupun
Magisiter
Teknik
Arsitektur Universitas
Diponegoro. Butaru: Format seperti apakah yang tepat dalam melaksanakan hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang menurut Bapak? Bambang Setioko: Saling menghargai kepentingan dan hak “para pihak”. Tidak merasa ada pihak yang lebih dominan. Karena produk tata ruang (yang merupakan produk hasil kerja bersama) pada akhirnya merupakan produk politik yang berupa Peraturan Daerah.
6
Butaru:
Saat ini banyak beberapa perusahaan swasta/privat corporate
mencanangkan kehidupan yang lebih alamiah dan menjaga lingkungan (back to green), bagaimana menurut Bapak peran-peran swasta ini untuk masa akan datang? Bambang Setioko:
Dengan semakin
cerdasnya masyarakat
gerakan
moral
ini
diharapkan akan semakin besar dan berefek seperti bola salju (snow ball effect). Pemerintah diharapkan dapat berperan dalam menjaga iklim sejuk yang sudah mulai terbentuk
meskipun
masih
pada
taraf
embrional
dan
jika
mungkin
memacu
pertumbuhannya, dan jangan malah menghambat pertumbuhaanya. Strategi Insentif dan disinsentif mungkin dapat dipakai untuk mengakselerasi gerakan yang berciri positif ini. Butaru: Terima kasih atas waktu dan pandangan-pandangan Bapak.
7