101
BAB VI SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN TOKOH MASYARAKAT 6.1.
Sistem Kekerabatan
6.1.1.
Sistem Nilai yang Mengakui Status Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga Status laki-laki dan perempuan dalam keluarga berkaitan dengan
bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Pada Desa Cipeuteuy, laki-laki dan perempuan memiliki perlakuan yang berbeda dalam keluarga, sebagaimana halnya tercermin dari pembagian kerja gender dalam keluarga baik pembagian peran di rumah maupun pada kegiatan usahatani. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan telah terinternalisasi pada tiap keluarga, dan mempengaruhi bagaimana mereka memperlakukan anggota keluarga laki-laki dan perempuan baik pada lingkungan keluarga hingga lingkungan yang lebih tinggi yakni lingkungan sosial ART laki-laki dan ART perempuan. Anak perempuan dan anak laki-laki sedari dini telah diperkenalkan mengenai pembagian kerja gender, dimana laki-laki ditempatkan pada sektor pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menafkahi keluarga dan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan reproduktif yang berkaitan dengan pola pengasuhan dan pekerjaan domestik di rumah. Dengan demikian peran reproduktif sangat melekat pada individu laki-laki sebagaimana halnya peran reproduktif pada ART perempuan.
102
Menurut hasil dari diskusi kelompok terarah (FGD), mekanisme kerja dalam keluarga yang terbentuk secara umum adalah perempuan bekerja di rumah sedangkan laki-laki mencari rumput, mencangkul dan bekerja di sawah. Ketika seorang anak laki-laki beranjak dewasa dan memasuki usia produktif, maka selain bersekolah ia pun mulai diajarkan pada pola-pola pekerjaan yang berkaitan dengan usahatani sebagai salah satu sektor alternatif sumber nafkah bagi penduduk Desa Cipeuteuy yang tercermin pada tiga kampung kasus. Pada awalnya anak laki-laki akan diajarkan untuk mengambil rumput untuk pakan ternak (ngajukut) yang kemudian akan menjadi tugas/pekerjaan rutin yang dilakukan oleh anak laki-laki sebelum bersiap untuk melakukan praktekpraktek usahatani. Selain ngajukut anak laki-laki juga bertugas untuk mengambil kayu bakar di hutan untuk bahan bakar masak (ngala’ hawu). Kayu yang diambil berasal dari hutan TNGHS, dimana kayu-kayu tersebut bukan merupakan hasil tebangan baru, namun kayu bekas tebangan atau ranting-ranting yang telah jatuh, dengan demikian diperlukan sedikit ketrampilan memilih kayu dan mengemas kayu sedemikian rupa untuk mempermudah dalam memindahkan hasil kayu yang di’panen’. Selain daripada itu, anak laki-laki juga telah diajarkan untuk menyisiri kawasan hutan, sehingga ia tidak akan pernah tersesat saat mencari kayu dan selanjutnya, mengingat tiga kampung kasus tersebut seringkali mendapat kunjungan dari turis, peneliti ataupun pendatang, maka ketrampilan tersebut dapat digunakan untuk memandu mereka menyusuri hutan, seperti yang dilakukan oleh Bapak ‘AH’, yang pernah menemani peneliti dari Jepang mengelilingi TNGHS selama tujuh hari tujuh malam. Anak laki-laki yang telah dapat mandiri dalam
103
kegiatan ngajukut dan ngala’ hawu dapat membantu meringankan pekerjaan orang tuanya. Lain halnya dengan perempuan yang sedari dini telah diajarkan untuk melakukan pekerjaan domestik seperti membantu ibu memasak, menyediakan makanan untuk para pekerja dan membantu orang tua mereka mengasuh adikadiknya. Namun demikian, anak perempuan juga diperkenalkan pada kegiatan usahatani yang nantinya akan menjadi pekerjaan mereka, baik sebagai pekerja keluarga maupun sebagai buruh tani. Anak perempuan, sepulang dari sekolah mulai diperkenalkan kepada pekerjaan usahatani yang dilakukan oleh ibu mereka, meliputi
kegiatan
persemaian
(ngabungbung),
penyiangan
(ngarambet),
penanaman (tandur) dan proses panen. Pada beberapa rumahtangga petani, ditemukan bahwa kegiatan mengambil rumput untuk pakan ternak (ngajukut) juga dilakukan oleh anak perempuan. Pembagian kerja yang terjadi juga turut mendorong perbedaan perlakuan laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Perbedaan perlakuan antara RTP satu dengan lainnya relatif berbeda menurut perspektif tiap keluarga dalam memandang kebutuhan laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, dalam hal pendidikan, mayoritas ART menyatakan bahwa kecenderungan laki-laki memiliki pendidikan yang tinggi lebih besar dari perempuan dikarenakan laki-laki kelak akan menjadi penopang keluarga yang diasumsikan dapat bekerja lebih layak ketika mempunyai status pendidikan yang tinggi. Lain halnya dengan beberapa ART yang melalui wawancara mendalam mengungkapkan bahwa mereka lebih mementingkan pendidikan untuk anak perempuannya. Responden tersebut menyatakan bahwa laki-laki sebagai calon kepala rumahtangga harus memiliki
104
ketrampilan yang mencukupi sehingga ia dapat berkontribusi dalam pendapatan keluarga, pun dapat membina keluarga sejak dini, sehingga laki-laki lebih diarahkan pada peningkatan kapasistas dalam melakukan praktek-praktek usahatani daripada mengenyam pendidikan tinggi, yang hasilnya pun belum tentu dapat menjamin masa depan sang anak untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak. Anggapan tersebut muncul, karena anak laki-laki kerabat/tetangga mereka yang mengenyam pendidikan tinggi pada akhirnya kembali lagi ke kampung mereka dan melakukan kegiatan usahatani dengan alasan sulitnya mencari pekerjaan di kota. RTP yang beranggapan demikian cenderung membina anak laki-lakinya mengelola usahatani dan menyekolahkan anak perempuan mereka, agar meningkatkan status mereka dengan harapan nantinya memperoleh jodoh yang lebih baik. Ketika anak mengenyam pendidikan tinggi maka ia akan bertemu dengan lingkungan yang lebih luas, sehingga akan mempengaruhinya dalam penyeleksian pasangan hidup. Mereka mengharapkan pasangan hidup yang diperoleh anaknya berasal dari luar kampung/desa dengan pendidikan yang setara bahkan lebih tinggi.
6.1.2.
Hukum Adat yang Mengatur Kepemilikan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan. Secara tertulis maupun secara adat, penduduk Desa Cipeuteuy tidak
memiliki Hukum Adat yang mengatur mengenai kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya, namun ada kebiasaan- kebiasaan yang kemudian melembaga pada masing-masing kampung yang menjadi acuan dalam pengaturan kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya. Dari hasil diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam yang melibatkan aparat desa dan
105
tokoh masyarakat diluar dari tiga kampung kasus, ditemui beberapa asumsi yang mendasari kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya. Individu laki-laki dan perempuan memperoleh hak atas kepemilikan sumberdaya agraria melalui proses jual beli, hibah dan waris. Kebanyakan kepemilikan lahan oleh perempuan berasal dari hibah dan waris. Sejumlah responden perempuan hasil wawancara mendalam menyatakan bahwa saat ini mereka hidup bersama suami dengan mengelola sumberdaya agraria milik suami. Hal ini bukan karena mereka tidak memiliki lahan, namun dikarenakan lahan yang mereka mereka warisi terletak jauh di tempat tinggal mereka dulu, sehingga mereka harus menjual atau menghibahkannya kepada saudara untuk mengelola lahan tersebut. Selanjutnya responden lainnya menyatakan bahwa mereka mengelola lahan yang dihibahkan oleh orang tua mereka dan meninggali rumah yang diwariskan kepada mereka. Dalam proses jual beli sumberdaya agraria, keduanya mempunyai hak yang sama untuk dapat menjual dan membeli sumberdaya agraria. Tidak ada ketentuan khusus pada tingkat desa yang mengatur proses jual beli atas keduanya kecuali peraturan-peraturan secara hukum yang mengatur syarat-syarat jual beli antara pihak penjual dan pembeli secara umum. Adapun syarat-syarat umum jual beli sumberdaya agraria – dalam hal ini adalah tanah/lahan - telah diatur dalam PS 1320 KUH Perdata dan UUPA dalam UU No 5 th 1960 an PP 24/1997 mengenai jual beli tanah. Adapun syarat umum sah jual beli berinduk pada kesepakatan, dimana subjeknya cakap hukum dan objeknya dalam keadaan tidak bertentangan hukum (tidak dalam status sengketa). Sedangkan syarat khusus untuk jual beli tanah antara lain : bukti Cash and carry, KTP, KK, surat nikah, sertifikat yang telah di cek BPN, 10 tahun melunasi PBB,
106
pembayaran pajak transaksi, dan Akta yang di tanda tangani oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai status hukum yang sama dalam proses jual beli, hanya saja terdapat ketentuan pada penjualan sumberdaya agraria, dimana ketika menjual baik laki-laki maupun perempuan harus didasari atas persetujuan pasangan hidupnya dengan pernyataan tertulis. Namun hal tersebut tidak berlaku jika masing-masing ingin membeli sumberdaya agraria. Selanjutnya mengenai batasan usia di atur dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Baik laki-laki maupun perempuan hanya dapat menjual dan membeli sumberdaya agraria setelah berumur 21 tahun (> 21 tahun), terkecuali jika kondisi individu belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah, maka ia dapat melakukan pembelian sendiri dan penjualan atas persetujuan pasangannya. Jika dalam peraturan hukum jual beli sumberdaya agraria, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, tidak demikian pada sistem pewarisan sumberdaya agraria terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan perolehan hak atas kepemilikan sumberdaya agraria terlihat jelas pada sistem pewarisan dimana antara laki-laki dan perempuan tidak selalu memperoleh bagian yang sama satu dengan lainnya. Hal ini menjadi sangat menarik mengingat Desa Cipeuteuy mempunyai sistem kekerabatan Sunda yang Bilateral. Berbeda dengan sistem kekerabatan di daerah Jawa yang patrilineal, dimana garis keturunan yang digunakan adalah garis keturunan ayah, pada sistem kekerabatan sunda, garis keturunannya berasal dari kedua orang tua, ayah dan ibu. Dengan demikian asumsinya, baik perempuan dan laki-laki memperoleh hak yang sama atas sumberdaya, termasuk sumberdaya agraria. Selain daripada itu, mayoritas penduduk Desa Cipeuteuy merupakan penduduk yang beragama Islam, dimana
107
dalam agama Islam telah diatur pembagian pewarisan yang jelas atas laki-laki dan perempuan12. Pembagian warisan menurut hukum Islam diatur dalam Q.S. An Nisa ayat 11 (4:11)13 yang menyatakan bahwa “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.......”. Dengan demikian laki-laki memperoleh warisan dua kali lebih banyak dari bagian perempuan (2:1). Ketentuan tersebut didasari oleh kondisi dimana kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah14. Pada dasarnya, penduduk Desa Cipeuteuy menggunakan ketentuan dari agama Islam (syari’at hukum Islam) dalam pembagian warisannya, yakni dengan perbandingan L:P=1:2. Dengan demikian laki-laki akan memperoleh bagian yang lebih banyak dari perempuan. Namun, dari kondisi yang demikianlah, beberapa rumahtangga mengaku masih mempertimbangkan kondisi anak laki-laki dan perempuan serta kebijakan keluarga dalam pembagian warisan. Ketiga kampung kasus sendiri memiliki perbedaan dalam sistem pewarisan. Menurut keterangan tokoh masyarakat yang berada di kampung 12
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Q.S. An Nisa (4:7) 13
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah) ; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi) maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Q.S. An Nisa (4:11) 14
......Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka......Q.S. An Nisa (4:34)
108
Sukagalih, proporsi penduduk yang menggunakan syari’at Islam rata-rata hanya 25 persen dibandingkan dengan 75 persen penduduk lainnya yang menggunakan kebijakan keluarganya dan pertimbangan kondisi anak laki-laki dan perempuan dalam pembagian warisan. Demikian halnya yang terjadi pada kampung Cisalimar, dimana sistem pewarisan dengan syari’at Islam masih dijalankan, namun ada kebijakan pembagian harta dengan alternatif hibah melihat dari kondisi individu laki-laki dan perempuan yang akan diwarisi, seperti pernyataan yang dilontarkan Bapak “AH” selaku kepala Dusun pada saat diskusi kelompok terarah berlangsung yang menyatakan bahwa “Kalo waris disini mah pakai sistem hukum Islam, tapi suka ada kebijakan-kebijakan dalam keluarga. Misalnya lakilaki suka lebih besar atau karena perempuan kasihan cuma dapet sedikit yah dikasih lebih banyak lagi. Itu mah tergantung keluarganya juga”. Selanjutnya terdapat tiga pandangan dalam kebijakan keluarga mengenai sistem pewarisan, dimana yang pertama, beberapa responden menyepakati bahwa laki-laki memang seharusnya memperoleh bagian lebih banyak sehingga mereka menjalankan syari’at Islam, dan kebijakan penambahan bagian pun akan lebih besar kepada laki-laki. Seperti pernyataan Ibu ‘AC’ dari kampung Cisalimar yang mengatakan : ”Kan kalo anak laki-laki itu bakalan bawa istri, sedangkan anak perempuan mah nanti dibawa suaminya.” Hal ini juga selaras dengan pernyataan dari Bapak ‘AD’ yang berujar: “Sistem disini mah masih menganut pepatah “lalaki di gawe awewe nungguan di bere” yang berarti bahwa laki-laki yang memberi nafkah dan perempuan yang menunggu diberi. Namun ketika dalam FGD terlontar kasus mengenai pembagian warisan kepada anak perempuaan yang telah menikah dengan laki-laki yang
109
berkecukupan, mereka kembali berkesimpulan bahwa anak perempuan tetap memproleh hak waris, meskipun lebih sedikit dari laki-laki. Pada sistem pewarisan ini stereotipi gender masih mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam pembagian warisan. Lain halnya dengan sistem pembagian waris yang kedua, dimana sistem pewarisan yang berlaku cenderung sama menggunakan cara Islam, yang selebihnya tergantung pada kebijakan keluarga tersebut, namun sistem ini tidak melihat label gender yang disandang individu, misalkan seorang anak perempuan bisa saja ditambah dengan sejumlah hibah sehingga akan memperoleh bagian yang sama dengan laki-laki. Cara lainnya adalah jika terdapat dua orang anak baik itu laki-laki maupun perempuan, dimana anak pertama memiliki penghasilan yang lebih banyak dari anak laki-laki, maka pembagian lebih banyak kepada anak ke dua. Pada sistem pewarisan ini dimungkinkan pembagian kepada anak perempuan akan lebih besar. Hal ini didasari semata-mata oleh rasa sayang orang tua kepada anak perempuannya dan keinginan untuk berbuat adil disamping menjalankan syari’at. Pembagian warisan dengan pemikiran yang ketiga lebih mengedepankan keadilan yang merata antara laki-laki dan perempuan, dan cara inilah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Desa Cipeuteuy secara umum. Menurut penuturan Bapak ’EN’, selaku aparat desa, pembagian warisan di Desa Cipeuteuy tidak lagi menggunakan syari’ah. Sudah menjadi adat dan budaya bahwa pembagiannya dibagi secara rata. “Da’ laki-laki atanapi perempuan, semuanya anak saya, yah masa mau dibedakan, kalo masih ada ibunya ya dibagi rata dengan ibunya juga, disini mah meskipun ustad juga bagi rata aja lah.” ujarnya kemudian.
110
Beririsan dengan pernyataan Bapak ’TR’ yang menyatakan bahwa meskipun mayoritas masyarakat Desa Cipeuteuy beragama Islam, namun dalam pembagian harta warisan yang lebih menonjol adalah adat istiadatnya. Jika dalam agama pembagian warisan diatur yakni 1:2, semisal laki-laki mendapat satu bagian berarti perempuan memperoleh ½ bagian, namun yang terjadi di wilayah ini adalah pembagian secara rata yakni L:P=1:1. Merata yang dimaksudkan bukan hanya berkenaan dengan jumlah namun nominal/nilai rupiah. Dengan demikian pembagian warisan dengan sistem ini dapat dipengaruhi oleh lokasi/tipe lahan dan kondisi sumberdaya agraria. Harga tanah ditentukan menurut kelasnya. Harga tanah kelas 1 akan lebih mahal karena keberadaan tanah tersebut yang terletak di pingir jalan protokol/ibukota desa.Namun harga tanah Cipeuteuy lebih mahal dari Desa Kalapa Nunggal yang secara logika jaraknya lebih dekat dengan Kecamatan, hal ini dikarenakan atmosfer-nya yang sejuk dan lokasinya yang cenderung lebih dekat dengan tempat wisata. Adapun untuk tanah kelas satu harganya berkisar > 50.000/meter. Tanah Kelas dua, dipengaruhi oleh kontur tanah, dimana batasan dimulai dari as jalan menuju batas akhir jalan datar. Harga tanah kelas dua berkisar < 50.000/meter. Kelas tiga merupakan wilayah yang jauh dari jalan, namun masih dapat diakses oleh kendaraan bermotor. Harga berkisar antara 25.000-15.000/meter. Kelas empat, berada jauh dari jalan dan tidak dapat diakses oleh kendaraan bermotor, berkisar antara 5000-10.000/meter. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk wilayah di ibukota desa. Untuk wilayah yang jauh dari balai desa, kelas satu yang ada di daerah tersebut sama dengan kelas tiga di daerah ibukota desa. Dari uraian tersebut, dapat diambil contoh semisal ada dua petak sawah, dimana petak
111
pertama berlokasi di pinggir jalan (kelas satu) yang notabene lebih mahal dan petak kedua yang berlokasi di tengah desa (kelas dua) otomatis harga kedua lahan tersebut berbeda, maka pembagiannya pun berdasarkan nominal rupiah, bukan jumlahnya. Selain
lokasi,
kondisi
sumberdaya
agraria
juga
mempengaruhi
pembagian warisan. Seperti yang telah diketahui, harga sawah lebih mahal dari harga darat yang menurut penduduk desa hal ini disebabkan karena tanah sawah dapat dimanfaatkan untuk menanam padi dan dipergilirkan untuk menanam tanaman palawija dan pemeliharaan ikan. Disamping itu, pembuatan sawah lebih banyak mengeluarkan biaya dan membutuhkan perlakuan (proses pengolahan lahan, irigasi, dan lainnya) yang lebih sulit dari pembuatan ladang/darat. Menurut penduduk desa harga sawah dapat mencapai tiga kali lipat dari harga darat/ladang. Harga juga dapat dilihat dari hasil panen, karena luas lahan pun dapat dilihat dari hasil panen. Jika menanam sebanyak satu gedeng padi (tujuh kilogram padi besar, eman kilogram untuk padi bubuk) harganya berkisar diatas 20.000/meter, itupun sawah yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan desa dan jauh dari jalan utama. Jika sawah yang letaknya di pinggir jalan dan dekat dengan pusat pmerintahan desa, maka harganya dapat mencapai 100.000/meter. Dari kondisi sumberdaya agraria, contoh selanjutnya jika lahan kering dan lahan basah akan diwariskan kepada empat orang anak laki-laki dan perempuan secara seimbang, dimana lahan kering lebih luas dari lahan basah, maka lahan kering akan dibagi menjadi empat bagian yang sama, dan jika lahan basah tidak dapat dibagi dengan merata maka lahan itu akan dijual dan hasilnya akan dibagi rata untuk ke empat orang anak tersebut.
112
6.2.
Pengakuan Komunitas/Desa terhadap Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan
6.2.1.
Derajat Pengakuan Tokoh Masyarakat terhadap Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan Tokoh masyarakat di tingkat desa pada intinya mengakui adanya
kepemilikan perempuan atas sumberdaya agraria sedemikian halnya laki-laki. Berbeda dengan ketentuan hukum yang menetapkan usia 21 tahun sebagai batas usia hak membeli dan menjual, di Desa Cipeuteuy kepemilikan laki-laki dan perempuan telah diakui mulai pada usia 17 tahun keatas. Dengan demikian pengakuan kepemilikan sumberdaya agraria tidak hanya melalui proses jual beli, namun juga melalui sistem pewarisan dan hibah. Desa juga memiliki ketentuan-ketentuan dalan proses jual beli yang dilakukan oleh anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan, Adapun ketentuan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh alat-alat hukum dalam proses jual beli yang diantaranya adalah: pertama, pada lahan milik gonogini, jika istri mau menjual, maka harus ada persetujuan dari suami, dan jika suami menjual harus ada persetujuan dari istri; Kedua, jika menjual tanah milik Suami/Istri, maka harus ada persetujuan dari ahli warisnya; Ketiga, untuk tanah waris/hibah yang dimiliki oleh lebih dari satu orang anak dan salah satu ingin menjual maka harus ada izin dari saudara-saudaranya; Keempat, untuk tanah waris/hibah yang dihibahkan atau diwariskan dan belum dibuatkan akta hibah, maka ketika menjual dalam SPPT-nya masih menggunakan nama Bapak, disamping itu sebelum menjual harus izin saudara-saudaranya (tanda tangan di atas materai) dan membuat Surat Pernyataaan Kuasa Hibah (SPKH) Sebelum Di
113
aktakan, namun jika telah memiliki akta hibah maka tidak perlu dibuatkan surat lagi. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki pengakuan yang sama atas kepemilikan sumberdaya dan keduanya memiliki kemudahan yang sama dalam pengurusan kepemilikan sumberdaya agraria. Tidak hanya kepemilikan laki-laki dan perempuan atas lahan yang mendapat pengakuan dari tokoh masyarakat, penguasaan keduanya atas lahan pun diakui pada tingkat desa dan tokoh masyarakat. Kondisi sumberdaya agraria pada tiga kampung kasus mendorong penduduknya untuk menggarap lahan taman Nasional Gunung Halimun–Salak (TNGHS) dan lahan status quo eks PT. Intan Hepta. Dengan demikian, jumlah penguasaan lahan tentunya lebih banyak dari jumlah kepemilikan lahan. Tidak hanya laki-laki sebagai kepala rumahtangga yang diakui dapat menguasai lahan, namun perempuan–tidak hanya janda-juga diakui atas penguasaan lahan. Sebagai contoh, Ibu ‘SC’ yang tinggal di Kampung Cisalimar yang menguasai lahan sawah milik Bapak ‘ID’ (pemilik lahan yang tinggal di Jakarta) menguasai lahan dengan sistem sewa dan menguasai kebun lahan TNGHS dengan sistem garap dan ia
mendapat
pengakuan
dari
tokoh
masyarakat
setempat
dan
dapat
mempekerjakan beberapa buruh tani untuk mengelola lahannya. Contoh lainnya terjadi di kampung Cisalimar dimana kelompok perempuan secara khusus diberikan hak penguasaan atas lahan garapan kelompok yang dapat diusahakan dan dikelola sesuai dengan kebutuhan kelompok perempuan. Dengan adanya lahan kelompok khusus perempuan tersebut, perempuan selanjutnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan atas lahan yang mereka kuasai sendiri.
114
6.2.2.
Pencatatan Kepemilikan Lahan dalam Letter C Menurut penuturan aparatur desa, sebelum adanya Letter C, bukti
kepemilikan atas tanah yang digunakan adalah Girik dan Blangko. Pada tahun 1967, verifikasi pemilikan lahan yang dilakukan oleh BPN menghasilkan pencatatan kepemilikan lahan melalui Letter C desa. Kemudian pada tahun 1992, girik dan blangko sebagai bukti kepemilikan individu dihilangkan dan diganti dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT). Selain SPPT, sebelum diaktakan terlebih dahulu dibuatkan surat pemindahan kepemilikan hanya sementara (SEGEL). Dengan demikian sertifikasi tanah baru diberlakukan pada tahun 1992, sedangkan Hak Guna Usaha (HGU) sudah disertifikasi dari tahun 1972. Selanjutnya jumlah sertifikasi yang tercatat di desa berjumlah 75 buah dengan kepemilikan sebanyak 50 orang sedangkan jumlah Letter C tercatat hingga berjumlah 813 nomor. Pada tingkat desa diketahui bahwa jumlah laki-laki yang tercatat dalam Letter C desa lebih banyak dari jumlah perempuan. Kepemilikan lahan oleh perempuan yang berasal dari hibah atau waris, bisa jadi tidak tercatat atas nama perempuan tersebut, kecuali ia membeli lahan. Hal ini diduga karena belum adanya pemindahan kepemilikan melalui surat waris dan surat hibah, disamping itu penduduk Desa Cipeuteuy, mayoritas mendaftarkan kepemilikannya atas lahan dengan diatas namakan laki-laki. Menurut pengakuan dari masyarakat, mereka cenderung mendaftarkan dalam Letter C dengan mengatas-namakan/meminjam nama anak laki-laki mereka. Seperti bapak ‘AJ’ yang mengatakan bahwa ketika anak laki-lakinya
115
dewasa, maka ia akan membukukan hartanya atas nama anak laki-lakinya dan bukan anak perempuan pertamanya, pertimbangannya adalah, bahwa penopang keluarga adalah laki-laki dan selama ini laki-laki cenderung mempunyai sifat kritis, sehingga ketika namanya tercantum ia akan memperjuangkan harta tersebut, berbeda dengan sifat anak perempuan yang cenderung pasrah menerima keadaan. Dari anggapan tersebut, tidak sedikit perempuan yang memiliki lahan namun tidak tercatat dalam Letter C dikarenakan lahan tersebut tercatat atas nama saudara laki-laki atau orang tuanya. Dalam pencatatn Letter C terdapat pihak-pihak yang cenderung memilih menggunakan nama anak laki-lakinya dengan pertimbangan bahwa laki-laki dianggap lebih dapat bertanggung jawab untuk menjaga harta benda yang dimilki, sedangkan hanya beberapa pihak yang cenderung tidak mempermasalahkan nama anak perempuan atau laki-laki yang digunakan karena mereka berpandangan bahwa baik laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab dan hak yang sama dalam kepemilikan lahan. Adapun nama perempuan yang tercatat dalam Letter C menandakan bahwa perempuan tersebut memperoleh lahan dari hasil membeli dan jika mewarisi dan mendapat hibah, artinya ia telah mengganti nama pemilik sebelumnya dengan menerbitkan surat waris/hibah sehinga kepemilikannya atas sumberdaya agraria menjadi sah. 6.2.3.
Bukti SPPT Iuran Desa Menurut Individu Pemiliknya Seperti yang telah diuraikan di atas, SPPT mulai diberlakukan pada tahun
1992 sebagai pengganti girik dan blangko. Adapun jumlah SPPT yang tercatat di desa berjumlah 1.212 lembar SPPT dengan kepemilikan sebanyak 308 orang.
116
Setelah dianalisis, dari 308 pemegang SPPT, diperoleh jumlah laki-laki sebanyak 225 orang dan jumlah perempuan sebanyak 83 orang pemegang SPPT. Adapun masing-masing orang berpeluang memiliki satu hingga sepuluh lembar SPPT. Ditemukan beberapa diantaranya menggunakan nama yang berbeda pada tiap SPPT, hal ini diduga memberikan peluang untuk memiliki lembarlembar SPPT selanjutnya, sehingga jika menggunakan nama yang berbeda asumsinya pemiliknya adalah orang yang berbeda. Tercatat pada tahun 2007, total pembayaran pokok sebanyak Rp 8.020.561,-. Untuk SPPT, biasanya digunakan juga nama anak laki-laki sebagai anak pertama, sama halnya dengan pencatatan SPPT, jika anak pertama adalah perempuan, maka tergantung kepada kebijakan keluarga masing-masing.