Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern N Vinky Rahman
ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN, PASCA ARSITEKTUR MODERN
N Vinky Rahman Staf Pengajar Pada Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Abstrak • We are indoors, live, love, bring up our families, worship,work,grow old,sicken and die indoors. Architecture mirrors every aspect of lives-social. Economical spritua (Eugene raskin) • Architecture is communication between man and environment, (Lynden Herbert). Telaah singkat dalam makalah ini akan menitikberatkan pada pembahasan mengenai desain dalam arsitektur melalui pendekatan humanis yaitu pendekatan prilaku dan pendekatan social. Pendekatan ini dipilih dengan harapan agar dapat memberikan motivasi baru dan pencerahan bagi praktisi rancang bangun dan rekayas dalam memberikan alternatif solusi desain lingkungan fisik yang lebih tanggap terhadap kebutuhan, keinginan dan nilai-nilai kemanusiaan, selain juga tanggap terhadap fenomena semakin rusaknya lingkungan fisik dan alami yang sehat dan nyaman dapat terus berlangsung. Kata-kata kunci : Arsitektur, Lingkungan ,Arsitektur Modern.
Pendahuluan Dalam perjalanan sejarah arsitektur,sudah bukan rahasia lagi bahwa arsitektur modern menghadapi banyak gugatan dan kegagalan dalam implementasinya. Berdasarkan telaah literature, kegagalan tersebut antara lain oleh karena arogansi yang begitu kental dalam nafas modern yang ditampilkannya,selain juga karena kekurangpekaan gerakan ini dalam membaca keberagaman wacana social yang ada dalam masyarakat yang dilayaninya. Contoh yang sering dijumpai adalah maraknya bangunan-bangunan megah, tinggi dan mewah di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung dan Surabaya, yang kondisinya sangat mencolok jika dibandingkan dengan perumahan-perumahan yang bahkan cederung kumuh di sekitarnya. Tidak lagi tersedianya lahan terbuka untuk bermain, bersosialisasi dan rekreasi bagi masyarakat setempat juga dibentuk oleh intensitas transportasi yang begitu tinggi. Arsitektur dan lingkungan binaan tidak lagi ramah dan tidak mencerimkan kepedulian akan eksistensi nilai-nilai kemanusian dalam wadah lingkungan fisiknya. Manusia hanya dianggap sebagai mesin berjiwa dengan kemampuannya menghasilkan nilai-nilai ekonomi secara kuantitas belaka. Fenomena yang mengkhwatirkan ini sebagian besar dilahirkan dari budaya industrialisasi yang memetingkan nilai ekonomi dan percepatan perputaran uang. Kekhwatiran ini akan semakin bertambah jika disadari kemungkinan dampak buruknya pada lingkungn baik fisik maupun alami dalam jangka panjang. Makna Arsitektur Keberadaan sebuah lingkungan binaan, termasuk jalan raya di dalam kota yang didiami manusia memiliki pengaruh yang tidak sedikit terhadap perilaku dan aktivitas mnusia, bagaimana manusian merasakan keberadaan diri mereka di
dalamnya dan yang lebih terpenting adalah bagaimana manusia dapat hidup berdampingan dengan sewajarnya bersama manusia lainnya. Salah satu hal yang mendasari gejala ini adalah karena dalam hidupnya, manusia butuh berkoperasi atau bekerjasama, suatu hal yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti misalnya saat manusia bersosialisasi dalam lingkungannya. Dalam proses sosialisais itu, apek komunikasi menjadi penting, karena dengan komunikasi manusia dapat saling berbagai pengalaman dalam kehidupan. Proses komunikasi tersebut juga terjadi antara manusian dengan lingkungannya dalam bentuk perilaku atau perangai. Arsitektur merupaakn bagian dari lingkungan tempat terjadinya pertukaran informasi budaya yang melibatkan komunikasi di dalamnya. Dengan demikian, hal penting untuk dipertimbngkan adalah bagaimana input informasi yang dimasukkan ke dalam arsitektur dan output bagaimana yang akan dihasilkan darinya, bagaimana manusia menggunakan informasi tersebut dalam kaitannya dengan aktivitas yang dilakukannya sehari-hari dalam arsitektur yang mewadahinya. Aritektur sebagai lingkungan binaan dapat dilihat sebagai proses dan catatan dari kejadian-kejadian budaya masa lalu yang dikomunikasikan hingga kini (Lynden Herbert,1972). Dalam kaitannya dengan sosialisasi, proses komunikasi yang terjadi antara manusia dengan bangunan dalam tingkat masyarakat atau manusia yang jamak merupakan proses uang beragam dan tidak mudah untuk dimengerti, namun dalam tingkat pribadi tidaklah demikian. Proses komunikasi antara manusia dan arsitektur menyangkut proses mengalami dan pengalaman yang dimiliki oleh manusia. Secara pribadi, manusia dapat mersakan pengalamannya terhadap arsitektur. Ketika proses mengalami ruang dan bntuk merupakan sebuah 141
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005
proses yang dapat dinikmati oleh manusia, maka ketika itulah arsitejtur trjadi (William Wayne Caudill, et al, 1978). Arsitektur memiliki peranan penting dalam membantu manusia dalam proses kegaiatan yang harus dilakukannaya. Peran arsitektur di sini adalah mengupayakan kemudahan proses tersebut. Ditinjau dari segi kebutuhan praktis,yang merupakan hal yang umum bagi setiap orang, adalah pengetahuan dan kesadaran seseorang akan selalu mencari isyarat-isyarat yang menginformasikan yang diperlukan manusia secara wajar, aman dan nyaman. Proses pencarian isyarat ini muncul dalam wujud beragam pada beragam waktu. Manusia – Lingkungan dan Arsitektur Modern Era industrialisasi yang dimulai pada tahun 1759 memberikan pengaruh yang besar dalam dunia arsitektur, hingga jiwa uniformity dan anonymous yang ada pada industri muncul dalam wacana arsitektur, yaitu pada era arsitektur modern. Pergeseran dan perubahan cara pandang manusia dalam melihat diri dan eksistensinya dalam lingkungannya merupakan salah satu pemicu terjadinya gugatan yang membawa kegagalan bagi arsitektur modern. Sebagai pengguna dan atau penikmat arsitektur, dilandasi wawasan informasi yang semakin luas, manusia semakin mengingnkan standar kepuasan dan kenyamanan yang lebih baik pula, antara lain dalam hal arsitektur atau lingkungan fisik. Di sisi lain, lingkungan fisik secara tidak langsung membentuk karakter diri manusia, baik yang menghuni maupun yang menikmatinya. Pada saat awal kemuncullannya, aritektur modern antara lain menawarkan ide keserderhanaan dan keseragaman bentuk fisik dengan menggunakan pendekatan desain secara rasional. Konsep yang dihadirkan adalah penekanan pada fungsi dan efisiensi melalui pemulihan material dan teknik rancang bangun yang paling mudah dan praktis, yang dianggap dapat memoderenisasikan manusia sehingga didapatkan suatu bentuk tatanan yang harmonis dengan konsep keabadian yang dapat dinikmati sepanjang waktu. Tujuan modernisasi tersebut dapat diartikan sebagai tidak pentingnya lagi semua hal yang ada kaitannya dengan masa lalu. Pada dasarnya, teknologi dalam industri diciptakan untuk dapat mempermudah hidup manusia. Termasuk dalam hal ini rsitektur.Akan tetapi dengan cara pendekatan, penyampaian dn perwujudan yang dijumpai dalam aristktur modern, ternyata tujuan tersebut malah memberikn dampak yang deskriptif atau memberikan kosekuensi yang buruk bila terus diterapkan secara membabi buta. Dalam hal ruang terbuka kota, arsitektur modern bahkan turut berperan menghadirkan ruang-ruang terbuka kota yang tidak tergunakan dengan baik (lost Out door Space). Dalam konteks social, gerakan modern lebih menitikberatkan pada rancang bangun dan rekayasa lingkungan fisik yang mengatur bagaimana manusia 142
seharusnya menjalani hidupnya (berkeinginan mengendalikan dan membatasi) dari pada menawarkan solusi yang memberikan keluasan bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari secara normal. Hal ini berarti mengesampingkan aspek sosia masyarakat sebagai bagian dari nilai-nilai penentu lingkungan fisik. Mungkin pendapat ini menunjukkan adanya kesan arogansi tersebut. Arogansi timbul dari asumsi para praktis agar rancangan yang dihasilkan dalam kerangka ideology tersebut mencerminkan citarasa seni dan keindahan dari klien atau sang pengguna. Kecenderungan ini muncul pada era-era sebelumnya, oleh karena klien atau pengguna memilih sendiri perancang yang dipercayainya memiliki kemampuan keilmuan dan teknik yang tinggi. Dalam konteks masyarakat tradisional, perancang bahkan hanya dapat berkarya dalam kerangka adat dan tradisi yang sudah memiliki batasan tertentu dalam pelaksanaaanya. Dengan demikian, bangunan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan sang pengguna; bagaimana pengguna hidup dalam kesehariannya di dalam kerangka social setempat yang kemudian diwadahi dalam bangunan. Oleh karena itu, jika ditinjau dari sisi aspek kesejarahannya arsitektur non-modern (kalau boleh disebut demikian) adalah merupakan hasil upaya yang paling optimal dalam beradaptasi dengan aspek social masyarakatnya, sedangkan arsitektur modern pada perkembangannya menunjukkan pola keseragaman yang anomies dan mengarah pada adanya ketidakpedulian pada identitas pribadi atau komunitas local sebagai klien atau pengguna. Sekali lagi, hal ini memetingkan pada nilai ekonomi dan percepatan perputaran uang. Industrialisasi menciptakan konglomerat – konglomerat baru sebagai klien yang membayar,dan bukan sebagai klien sebagai pengguna.Hal ini turut menyebabkan terbetuknya ideology arsitektur modern. Rumah-rumah tidak lagi dihargai sebagai wujud aktualisasi diri sebagaimana di ungkapkan oleh Abraham Maslow, akan tetapi dipandang sebagai proyek yang bernilai ekonomis bagi segelintir orang yang sanggup membiayai pembangunan rumah dalam bentuk blok bertingkat dan bernilai banyak. Dengan ide ini, pemukiman dibangun seperti mesin berinti banyak, tanpa adanya ruang-ruang terbuka sebagai tempat sosialisasi, tempat bermain anak-anak dan rekreasi. Mengutip Le Corbusier yang menyatakan pada awal abad ini bahwa rumah merupakan sebuah mesin di mana manusia hidup di dalamnya ‘’a house as a machine for living’’, rumah adalah sebagai mesin di mana kita hidup di dalamnya , kantor adalah sebuah mesin untuk di mana orang bekerja didalamnya dan katedral adalah sebuah mesin di mana kita berdoa di dalamnya. Pernyataan ini menujukkan adanya prospek yang mengkhwatirkan, karena apa yang telah terjadi adalah para perancang kini merancang untuk mesin bukan untuk manusianya.
Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern N Vinky Rahman
Secretariadi, Chandigarh India (1958) – Le Corbusir Ironisnya, pada saat yang sama, Le Corbuiser sebagai seorang arsitek (yang sering disebut-sebut sebagai Bapak Arsitektur Modern) justru terlibat dalam paradigma buruknya arsitektur modern tersebut. Ia merancang sebuah rumah bersusun yang dikombinasikan dengan fasilitas umum dan social yang lengkap seperti sekolah dan kantor pos di Chandigarh, India. Namun yang terjadi adalah bangunan perumahan tersebut tidak mendapatkan tanggapan yang baik dari penggunaannya. Salah satunya adalah karena rumah susun tersebut tidak dapat mewadahi perilaku yang cukup memadai jumlahnya dalam jarak tempuh relatif dekat. Contoh tersebut mewujudkan bahwa arsitektur modern belum dapat mewadahi kebutuhan perilaku spsifik dari klien pengguna, selain kebutuhan dan persyaratan teknis dan biologis semata, yang berarti factor manusia dengan segala keragaman dan perilakunya belum dipertimbangkan secara masak. Dengan melihat pola perkembangan yang ada, kini saatnya kalangan perancang dan kalangan terkait lain yang berkepentingan mulai meletakkan kembali nilai-nilai eksistensi manusia dalam lingkungannya. Perkembangan yang pada saat ini menunjukkan bahwa kita sudah sampai pada titik dalam sejarah, di mana nilai-nilai kemanusian, kualitas hidup dan lingkungan menjadi pertimbangan utama dibandingkan nilai-nilai ekonomi, kualitas keuangan dan teknologi. Sebagai akibat dari proses industrialisasi yang cenderung menyeragamkan tingkat kesejahteraan, banyak ditemukan tanda-tanda kekosongan jiwa, kebingungan, tujuan yang tidak jelas bahkan keterasingan yang menunjukkan adanya degradasi nilai kemanusian (Brenda & Robert Vale 1991 : 124). Dengan memanfaatkan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada semaksimal mungkin, diharapkan kita dapat meningkatkan kualitas hidup manusia dalam lingkungannya, melalui produk arsitektur yang dapat tanggap perilaku dan tanggap social.
Desain Aristektur dengan Pendekatan Perilaku Dalam bukunya Designing Place for people, CM. Deasy mengemukakan tentang prilaku manusia yang kompleks, dimana studi di dalamnya melibatkan bidang studi psikologi, sosiologi dan antropologi. Interskasi antar manusia sebagai salah satu factor yng mendasari terbetuknya perilaku manusia, merupakan hal yang tidak kalah kompleksnya, karena berakar pada factor-faktor pendorong sebagaimana diungkapkkan oleh Abraham Maslow, yaitu : 1. kebutuhan akan makanan dan minuman 2. kebutuhan akan rasa aman dan keselamatan 3. kebutuhan akan kasih sayang 4. kebutuhan akan aktualisasi diri Seluruh factor ini menempati urutan yang sama pentingnya dalam hidup manusia, dengan perubahan dan penyesuaian sesuai dengan pertambahan usia. Berlangsung dalam dinamika waktu yang berkesinambungan. Menurut Jon Lang, lingkungan yang ditempati oleh manusia terdir dari • lingkungan fisik : alami dan binaan • lingkungan terrestrial : alami, bumi-proses dan struktur • lingkungan animate : organisme hidup yang menempati • lingkungan social : hubungan antar manusia dan makhluk lain • lingkungan cultural : norma perilku dan artefak • lingkungan biogenic : membentuk setting/kerangkan fisik bgi kehidupan manusia • lingkungan sociogenic : Sistem sosil, norma prilaku dan dipengaruhi oleh siklus hidup, status social ekonomi dan kegiatan. Sedangkan perilaku oleh Jon Lang (1994) didefenisikan sebagai seluruh bentuk kegiatan yang dapat diamati secara langsung ataupun tidak langsung. 143
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005
Pendekatan melalui teori prilaku dalam lingkungan atau yang oleh Lynden Herbert disebut sebagi behaviorism theory merupakan salah satu cara atau alat dalam upaya menghadirkan arsitektur yang lebih manusiawi. Teori ini mengemukakan prinsip dasar sebagai berikut : • Evolusi biologis merupakan hasil dari mutasi dan seleksi alam yang terjadi secara acak • Evolusi mental merupakan hasil dari uji coba yang dilakukan secara acak, dengan latar belakang imbalan akan sesuatu (rewards) yang disebut sebagai the carrot and the stick attitude of learning (imbalan dan hukuman) • Semua organisme, termasuk manusia, pada dasarnya merupakan aotumata paslf yang dikendalikan oleh lingkungannaya, berdasrkan kemampuan adaptasi masing-masing organisme terhadap lingkungannya tersebut. • Pendekatan ilmiah yang tepat untuk diterapkan adalah melalui pengukuran dan pemetaan secara kuantitaitf yang diukur dari pola yang berulang dari setiap gejala yang terjadi. • ‘Pengkondisiaan’ merupakan kata kunci dalam menjelaskan bagaimana perilaku manusia, mengapa dan bagaimana mereka berprilaku, terlepas dari fakta bahwa pengkodisian memiliki keterbatasan tersendiri. Teori perilaku pada awalnya berangkat dari apa yang disebut sebagai myth of quantifiability, yang menyatakan bahwa perilaku yang bisa dipetakan adalah perilaku yang dapat dipilah-pilah dan diuraikan dalam bentuk kaitan stimulus-respons (Lynden Herbert, 1972). Sebagimana juga diungkapkan oleh jon Lang, hubungan antara manusia dan lingkungannya dapat diuraikan sebagai berikut : • Perilaku berlangsung dalam konteks lingkungan tertentu • Kualitas lingkungan dapat mempunyai dampak luas terhadap perilaku dan kepribadian individu • Lingkungan berperan sebagai pembentuk kekuatan motivasi pada manusia (proses afektif dan attitudinal serta adaptasi) • Hubungan manusia dan lingkungan bersifat integral dan timbal balik. Penjelasan menyeluruh tentang organisme manusia dengan perilakunya tidak hanya terbatas pada diri apa dan kandungan apa yang ada pada organisme tersebut, akan tetapi juga bagaimana manusia berhubungan dengan lingkungannya ,bagaimana manusia melakukan modifikasi lingkungan, dan bagaimana lingkungan juga turut membentuk pengaruh dalam modifikasi dalam diri manusia itu sendiri (transaksional), Berhasil atau tidaknya upaya perancang dalam mengakomodasikan pola perilaku manusia sangat tergantung pada dua factor penting, yaitu :
144
• •
Informasi yang sangat spesfik Kepekakaan perancang dalan menerjemahkan informasi yang spesifik tersebut ke dalam bentukan fisik yang paling tepat. Walaupun tidak semua pola perilaku dapat dapat atau harus diakomodasi dalam desain, sang arsitektur harus benar-benar memahami pola-pola yang terjadi, sehingga desain yang terjadi tidak memberikan pengaruh buruk terhadap pola keseharian penggunanya. Perilaku umum yang dapat dijumpai dalam sebuah komunitas adalah perilaku sosialnya. Salah satu upaya untuk menyediakan banyak tempat pertemuan potensial yng dikembangkan dan ide dasar bahwa kedekatan (proximity) akan membentuk hubungan social, misalnya tempat sosialisasi di ruang terbuka kota (public space) bagi semua aktivitas publik baik individual maupun kolektif. Semakin banyak dibuat tempat-tempat pertemuan, maka akan semakin banyak pertemuan yang terjadi setiap saat. Kehidupan publik akan berkembang kerena adanya berbagai kekuatan social dan karakter yang spesifik adri kelompok masyarakat, yaitu kekuatan-kakuatan : • Alami Bersifat ad-hoc, informal dan atraktif. Pada umumnya ruang semacam ini diperoleh dari partisipasi masyarakat, selain dapat juga terjadi secara temporer di pojok-pojok jalan, tangga atau disepanjang koridor,. • Buatan Budaya ruang di Indonesia seperti umumnya masyarakat Asia lainnya, masih menganggap hal ini sebagai hal baru. Masyarakat Indonesia merupakan yang sangat mengagungkan privacy sehingga kebutuhan untuk berinteraksi secara social tidak harus terwadahi dalam suatu ruang terbuka yang dirancang dan terpusat, tetapi dapat terjadi di mana-mana berdampingan dengan aktivitas lain. Istilah privacy di sini merujuk pada adanya kebutuhan individu akan ruang gerak pribadi dimana tidak semua orang bebas memasuki ruang pribadi tersebut. Di Indonesia, dapat diambil contoh Jawa, yang memiliki ruang terbuka dengan konsep ritual keagamaan dan kenegaraan yang jauh dari fungsi komersil. Namun di Bandung, pada masa pemerintahan Hindia Belanda ruang terbuka mengalami pergeseran makna ritual sebagai bagian dari kegiatan ibadah, menjadi makna ekonomi yang melayani kebutuhan sehari-hari masyarakat. Dalam bukunya ‘’ Seni Bangunan dan Binakota di Indonesia.’’ Bagoes P. Wiryomartono mengemukakan fakta bahwa linieritas antara alun-lun dan pola permukiman merupakan bagian dari kegiatan social ekonomi di luar bangunan, sehingga jalan tidak hanya sebagai tempat orang berjualan.
Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern N Vinky Rahman
Dalam sejarah arsitektur barat, sejak akhir Perang Dunia ke-2, fenomena public space berkembang seiring dengan bermunculannya berbagai strata masyarakat dengan kehidupan publik yang beraneka ragam, kondisi seperti ini analogis dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang melakukan pembangunan dengan heterogenitas masyarakatnya yang tinggi, di mana kondisi masyarakat individualisme bergeser menjadi masyarakat demokratis. Meninjau pada kekuatan legal yang mempengaruhinya, public space muncul karena adanya minat yang besar dari masyarakat kota dari golongan menengah, Golongan ini menjadi pencetus suatu gerakan yang disebut sebagai gerakan lingkungan (environment movement), yang salah satu dari usahanya adalah menuntut pemeritah agar dapat menghidupkan kembali ruang-ruang terbuka publik seperti taman, playgroup dan ruang –ruang terbuka lainnya di kota. Kecenderungan struktur ruang atau taman – taman kota yang mulanya berukuran besar dan hanya terdapat di pusat-pusat kota dan pusat pemerintahan, kini tersebar di dalam dan sekitar hunian penduduk. Hal ini diakibatkan oleh karena munculnya berbagai tipe perumahan dalam lingkungan berkepadatan tinggi. Salah satu ruang yang menjadi pertimbangan utama mereka adalah tempat bermain bagi anakanak. Ruang terbuka untuk bermain anak pada umumnya terdapat di perkampungan imigran, baik itu dibuat khusus maupun sebagai perluasan dari taman-taman yang sudah ada. Orang tua anak-anak tersebut menginginkan mereka bermain dengan aman di sekitar rumah mereka, daripada harus secara khusus datang ke taman pusat bermain oleh adanya kemungkinan anak-anak mereka akan diganggu oleh kelompok-kelompok masyarakat yang tidak menyukai keberadaan mereka. Karakter permainan pada saat itu lebih diarahkan pada pendidikan. Kelompok anak-anak tersebut didampingi oleh pemimpin kelompok atau guru mereka. Sekolah, hunian dan playgroup merupakan sebuah system ruang yang saling berkait satu sama lainnya. Playgroup, apangan sekolah dan taman-taman setempat, juga jalan lingkungan merupakan sebuah rona di mana anak-anak dan orang dewasa berinteraksi dengan lingkungannya (place). Semakin ia terikat dengan place-nya, perilku seseorang terhadap lingkungan akan tetap sama walaupun profil ruangnya berubah. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh besar dari lingkungan terhadap kepribadian seseorang. Denagan demikian rekan citra, nostalgia dan kenangan akan lebih berarti dari pada profil ruang dan fasilitas yang ada.Ruang-ruang yang terbentuk dari memori dan pencitraan kolektif seperti ini disebut dengan childhood space. Pola perilaku pada ruang terbuka kota yang mengambil contoh tempat bermain anak, merupakan salah satu contoh bentukan fisik informasi spesifik penggunannya yaitu anak-anak. Ruang terbuka kota yang sesuai dengan
karakter anak-anak belum tentu akomodatif bagi kebutuhan bagi kebutuhan dan perilaku orang dewasa. Dengan demikian aspek social serta nilai kemanusian dalam pembentukan lingkungan fisiknya. Perilaku pengguna dapat juga diterjemahkan melalui konsep flexibility sebagai cara untuk mempersoalkan arsitektur dan mengakomodasikan perbedaan gaya hidup. Konsep ini memberikan kemungkinan berbagai perubahan dan penyesuaian yang ingin dilakukan pengguna, atau bhkan membuat kontribusi-kontribusi individual misalnya pada rumah tinggal mereka, seperti yang pernah ditawarkan oleh Adolf Loos dengan membantu pengguna dalam mengakomodasi beragam kebutuhan social yang berarti juga tanggap terhadap partisipasi pengguna (user participation) yang membutuhkan keleluasaan lebih besar. Pendekatan Ekologi Pada Arsitektur Vernakular Pertimbangan pengguna, selain dalam kaitannya dengan pola perilaku individu maupun social juga berkaitan dengan isu keseimbangan lingkungan seperti polusi, pemanasan global dan perusak lapisan ozon. Ekologi dan keseimbangan lingkungan merupakan dasar siklus kehidupan manusia di atas bumi , baik secara biologis maupun budaya. Desain lingkungan fisik berkaitan erat dengan perkembangan produk, peralatan, mesin, artefak, material dan lainnya yang secara langsung memberikan dampak terhadap ekologi. Dalam pertemuan para ahli lingkungan dalam Agenda 21 di Rio de Jeneiro pada tahun 1992, dikemukakan berbagai fakta yang mengkhwatirkan tentang pencemaran lingkungan yang berdampak buruk terhadap bumi yang kita tinggali. Berbagai kesepakatan telah dicapai dalam pertemuan tersebut, antara lain dengan mengupayakan semua bentuk desain yang lebih tanggap terhadap lingkungan secara positif dan integrative. Desain yang dikembangkan harus menjadi jembatan antara budaya, teknologi, dan kebutuhan manusia yang berarti menempatkan manusia sebagai factor penting dalam desain. Sekali lagi, nilai kemanusian prilaku manusia dan nilai-nilai social menjadi faktor penentu keberhasilan desain yang lebih manusiawi. Melalui pendekatan ini, desain dibuat dalam kerangka konsep arsitektur hijau yang di dalamnya mencakup pemanfaatan seluruh potensi alam dengan bijak dalam karya arsitektur, sebagaimana dikutip dari Brenda dan Robert Vale dalam bukunya The Green Architecture : Design for a Sustainable Future yaitu bahwa ‘’a green architecture regoinazes the importance of all people involved with itl’’. Karyakarya seperti ini banyak dijumpai pada arsitektur tradisional dan arsitektur vernakular yang banyak menggunakan kayu sebagai bahan baku utama yang sudah terbuku selama ratusan bahkan ribuan tahun bahwa contoh-contoh diri karya arsitektur tersebut ramah lingkungan, bahkan cenderung fisik tempat 145
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005
manusia tersebut tinggal. Arsitektur harus dapat dinikmati dan dialami melalui semua indera dan tidak hanya dapat dinikmati secara visual saja, informasi visual dapat memberikan gambaran yang utuh, akan tetapi keindahan yang sebenarnya harus digali dan dipahami lebih dalam lagi, dan keindahan tersebut akan dijumpai pada arsitektur vernakular lahir dari proses pemahaman, proses perwujudan nilai dan tradisi, serta proses ritualisasi yang menjadikan arsitektur ini memiliki nilai kekayaan yang lebih bijak daripada arsitektur yang ada akhir-akhir ini. Arsitektur vernakular memiliki beberapa ciri yang menandai perjalanan proses tersebut, yaitu: • Arsitektur vernakular dibangun bersama berdasarkan pengetahuan local (local knowledge) yang praktis dan teknis sifatnya • Pada umumnya dibangun oleh setiap pengguna dan kelompoknya, yang berarti arsitektur vernakular tanggap terhadap kebutuhan pengguna dengan segala perilaku individu dan sosialnya • Menerapkan seni pertukangan local dan kualitas yang tinggi, uang menunjukkan adanya penghargaan terhadap nilai-nilai pribadi, tidak anonymus dan tidak terdapat unsur keseragaman dalam hasilnya, kecuali dalam batasan nilai adat dan tradisi tertentu yng tidak boleh dilanggar. Ketidakseragaman ini muncul Karena dalam setiap hasil terkandung unsur identitas dan jati diri penciptanya yang ditransformasikan melalui seni ketukangan yang diterapkan pada setiap karya • Mudah dipelajari dan mudah dipahami, yang berarti memberikan keleluasaan bagi pengguna untuk berapresiasi (menikmati, menggunakan,menjelajahi bahkan mengubah ulang) secara penuh dalam karyanya. • Menggunakan material local yang memberikan identitas lokal yang kuat • Secara ekologis jenis aritektur ini cukup teruji oleh zaman (adapun terhadap iklim flora, fauna dan gaya hidup local • Skala bangunan manusiawi yang menunjukkn adanya keinginan untuk memberikan skala ruang terbuka yang nyaman bagi sosialisasi, bercermin dan rekreasi bagi warga setempat (socially fit) Berdasarkan penjelasan di atas, jenis arsitektur ini mencerminkan pemenuhan kebutuhan social yang lebih optimal yang dapat mengakomodasi secara langsung kebutuhan dan keinginn manusia penggunaannya daripada aritektur yang dibentuk semata-mata oleh arogansi arsitek modernis, kepekaan akan skala bangunan, misalnya memberikan pengaruh yang besar apada masyarakat untuk memehami konsep yng ada dalam setiap bentuk fisik, bahkan memberikan kenyamanan individual bagi setiap manusia yang ingin menikmatinya secara utuh. Fenomen yang unik ingin dari arsitektur vernacular ini juga telah diterapkan 146
dalam desain sejumlah arsitek ternama, seperti Frank Llyod Wright dan Alvr Aalto. Berangkat dari pemahaman akan kelebihan yang ada pada arsitektur vernacular tersebut, yang ada pada arsitektur vernacular tersebut, eksistensi manusia pengguna harus menjadi dasar bagi desain yang akan diciptakan. Setiap budaya memiliki ideology tersendiri, setiap kelompok social mempunyai ciri dan karakter tersendiri, setiap manusia memiliki keinginan dan kebutuhan yang berlainan pula satu dengan lainnya. Perbedaan organisasi, kelembagaan, corak social dan perilaku individu memberikan makna ruang yang berada pula dan perbedaan akan sulit diakomodasi oleh kaidahkaidah arsitektur umum yang diuniversalisasikan. Selain itu perlu juga dipertimbangkan factor-faktor perbedaan iklim, corak geografis dan karakter alam dari setiap daerah.
Penutup Pada akhirnya, lingkungan alami maupun binaan harus menjadi pertimbangan rekayasa dan rancang bangun, agar semakin bijak berkarya dalam konteks kemajuan teknologi yang semakin canggih. Perkembangan sistem informasi dengan keleluasaan jaringan yang semakin fleksibel, apabila dimanfaatkan secara bijaksana dapat menjadi pendukung. Namun apa artinya teknologi jika satu – satunya pengguna teknologi, yaitu manusia, tidak dapat menikmati lingkungnnya secara nyaman, bahkan cenderung mengalami penurunan semangat, kualitas bahkan harkat. Hal ini akan semakin memburuk bila keadaan lingkungan alami secara keseluruhan mengalami perusakan total akibat kecerobohan praktisi rekayasa dan rancang bangun dalam membaca fenomena yang sedang berlangsung. Jika ekspresi fisik pola kehidupan social dipahami dan dimengerti secara utuh oleh seorang arsitek, maka dasar pendekatan baru dalam desain melalui pendekatan perilaku, social dan pendekatan ekologi dapat menjamin masa depan bagi lingkungan alami dan binaan yang ditempati oleh manusia.
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5.
Altman. Irwin & Stokols, Daniel, (1987), Handbook of Environment Psychology Vol. 1,New York ; John Willey & Sons. Brolin, Brent C, The Failure of Modem Architecture, (1976), New York : Van Nostrand Reinhold Company. Carr, Stephen; Francis, Mark; Rlvlin, Leanne G, & Stone, Andrew M, (1992), Public Space, Cambridge : Cambridge University Press. Herbert, Lynden, (1972), A New Language for Environmental Design, New York : New York University Press Lang, Jon, (1987), Creating Architectur Theory: The Role of the Behavior Sciences in Environmental Design, New York: Van Nostrand Reinhold Company.
Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern N Vinky Rahman
6.
McDonough, William, (1996), Design, Ecology and The Making of Things, in Neisbitt, Kate (ed), Theorizing a New Agenda for Architecture, New York : Princeto Architecture Press, pp. 398-407 7. Papanek, Victor, (1995), The Green Imperative : Ecology and Ethnic In Design and Architecture, Singapore ; Thames and Hudson. 8. Trancik, Roger, (1986), Finding Lost Space : Theories of Urban Design, New York : Van Nostrand Reinhold Company 9. Vale, Brenda & Robert, (1991), The Green Architecture : Design for a Sustainable Future, Singapore : Thames and Hudson. 10. Broadbent, Geoffney, et als (eds), (1980). Meaning and Behavior in the Built Environment, New York ; John Willey and Sons
147