Akibat Hukum Perceraian Li’an Terhadap Suami Dengan Istri Dan Kedudukan Anak Akibat Perceraian Li’an Menurut Hukum Islam Dan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (Analisis Putusan Pengadilan Agama Slawi Nomor: xxxx/Pdt. G/2010/PA. Slw).
Arliyani Hidayati
ABSTRAK Skripsi ini membahas perceraian dengan alasan suami menuduh isteri berzina disertai penyangkalan anak dan apakah pemeriksaan perceraian Li’an dalam Putusan Nomor:xxxx/Pdt.G/2010/PA.Slw telah sesuai dengan ketentuan Hukum Islam, lalu bagaimana kedudukan anak Li’an beserta akibat hukum suami istri berdasarkan Hukum Islam dan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974. Skripsi ini dibuat berbentuk yuridis-normatif menggunakan metode deskriptif analitis. Dapat disimpulkan bahwa Suami menuduh istrinya berzina harus melihat dengan mata kepalanya sendiri tidak bisa hanya berdasarkan prasangka dan kecemburuan semata, tetapi tidak dapat membuktikannya dengan empat orang saksi maka dilakukan sumpah li’an sesuai Al-Qur’an surat an-Nur ayat 6 sampai ayat 9. Berakibat suami istri bercerai untuk selamanya dan anak bernasab kepada istri, suami tidak wajib memberi nafkah. Kata Kunci
1.
: Perceraian Li’an, Akibat Hukum Li’an, Kedudukan Anak Li’an
PENDAHULUAN Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dinyatakan pengertian perkawinan dan tujuannya dalam kompilasi hukum Islam bab II Pasal 2 dan 3: Pasal 2: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3: Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah. Namun sebuah ikatan perkawinan tidak selalu berjalan dengan mulus dan bahagia, melainkan didalamnya dapat terjadi permasalahan diantara mereka sampai dapat mengakhiri ikatan perkawinan atau yang disebut perceraian. Perceraian merupakan suatu perbuatan hukum, oleh Universitas Indonesia
Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
karena itu perceraian mempunyai akibat hukum khususnya perceraian secara li’an. Sehingga akan diketahuinya ketentuan-ketentuan yang Allah tetapkan untuk menuju jalan kebenaran, sehingga permasalahan yang akan muncul dapat terselesaikan dengan berpedoman kepada ketentuan Allah yang terdapat dalam Al-quran dan Al-hadis. Dimana zina merupakan salah satu alasan untuk mengajukan perceraian baik itu menurut hukum perdata barat, maupun menurut Islam, bahkan menurut undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam Islam putusnya hubungan perkawinan karena suami menuduh isterinya melakukan zina tanpa ada saksi yang cukup atau tanpa ada empat orang saksi maka suami harus menghadapi dua pilihan yaitu didera / dipukul delapan puluh kali atau memilih dengan bersumpah yaitu dinamakan sumpah li’an (untuk menghindari didera delapan puluh kali) dan kalau isteri menolak tuduhan itu maka istripun harus mengucap sumpah li’an juga, dengan istri mengucap sumpah li’an ini maka dapat melepaskan si istri dari siksaan zina. Dalam li’an, suami tidak diharuskan mendatangkan empat saksi, karena ia telah melihat kejadian tersebut dengan kedua matanya sendiri. 1 Tuduhan yang sangat berbahaya terhadap istrinya tersebut bukan hanya dianggap hanya sekedar tuduhan. 2 Selain suami isteri tersebut terhindar dari siksaan zina karena telah mengucap sumpah li’an tentunya ada akibatakibat hukum lainnya yang berlaku bagi suami isteri maupun bagi anak apabila ada anak yang disangkal keabsahannya. Dimana perceraian merupakan suatu perbuatan hukum, oleh karena itu perceraian mempunyai akibat hukum khususnya perceraian secara li’an. Begitupun akibat li’an tentunya akan mengakibatkan status atau kedudukan anak akibat perceraian secara li’an dapat berubah. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai putusan pengadilan mengenai perkara perceraian li’an oleh suami terhadap istri, yaitu perkara Pengadilan Agama Slawi Nomor :xxxx/Pdt.G/2010/PA.Slw, Berdasarkan pemaparan di atas maka skripsi ini diberi judul “AKIBAT HUKUM PERCERAIAN SECARA LI’AN TERHADAP SUAMI DENGAN ISTRI DAN KEDUDUKAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN LI’AN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 (ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SLAWI NOMOR:xxxx/Pdt.G/2010/PA.Slw.)”
1 2
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 3, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal. 522. Ibid. Universitas Indonesia
Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
A. Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana ketentuan hukum Islam mengenai putusnya perkawinan dengan alasan suami menuduh istri berzina?
2.
Apakah pemeriksaan dan penyelesaian perceraian secara Li’an yang dilaksanakan di Pengadilan Agama Slawi dalam Putusan Nomor :xxxx/Pdt.G/2010/PA.Slw telah sesuai dengan ketentuan Hukum Islam?
3.
Bagaimana kedudukan anak akibat perceraian li’an beserta akibat hukum perceraian secara li’an antara suami dan istri berdasarkan Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974?
2. PEMBAHASAN Ta’arif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. 3 Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. 4 A. Hak Dan Kewajiban Suami Istri Apabila telah sah dan sempurna suatu akad perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka sejak itu menjadi tetaplah kedudukan laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai isteri, dan sejak itu pula suami memperoleh hak-hak tertentu beserta kewajiban-kewajiban tertentu pula, sebaliknya isteri memperoleh hak-hak tertentu beserta kewajiban-kewajiban tertentu pula. Hak yang diperoleh suami seimbang dengan kewajiban yang dipikulkan dipundaknya, sebaliknya hak yang diperoleh isteri seimbang pula dengan kewajiban yang dipikulkan dipundaknya. B. Hak Dan Kewajiban Orang Tua Dan Anak Menurut Hukum Islam 5 Hukum
Islam
mewajibkan
kedua
orang
tua
masing-masing
anak
yang
menyelenggarakan serta bertanggung jawab tentang pemeliharaan dan pengasuhan anak serta segala sesuatu keperluan hidup anak/bayi yang bersifat materiil yaitu nafakah anak, Irdla’ (penyusuan anak), hadlanah (mengasuh anak), maupun yang bersifat immateriil yaitu 3
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), cet. 33, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), hal. 374. 4 Ibid. 5 H. Zahry Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan Di Indonesia, cet. 1, (Yogyakarta: Binacipta, 1978), hal. 69. Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
curahan cinta kasih, penjagaan dan perlindungan, penidikan untuk perkembangan ruhaninya, dan sebagainya. Menurut hukum Islam, nafakah anak dibebankan kepada ayah, sedang ibu dibebani tugas menyusui anaknya dan memeliharanya. Pembagian tugas ini sesuai dengan kondisi dan fungsi masing-masing ayah dan ibu. Menurut hukum Islam, anak berkewajiban memberi nafakah bagi kedua orang tuanya berdasarkan ayat 8 surat 29 (Al Ankabut) dan ayat 14 surat 31 (Luqman) serta beberapa hadits tentang kewajiban anak terhadap orang tuanya, jika kedua orang tua memerlikannya dan anak mampu menyelenggarakannya. Kewajiban anak terhadap orang tuanya di bidang immateriil berupa sikap menghormati, mencintai, mentaati, mendo’akan, serta bertanggungjawab dan membela nama baik kedua orang tuanya atau birul walidain. C. Hak Dan Kewajiban Suami Istri Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 19746 Pasal 31 Undang-undang Perkawinan menyatakan, bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum (tanpa bantuan satu sama lain). Selanjutnya pasal 32 sampai dengan pasal 34 Undang-undang Perkawinan menyatakan sebagi berikut: a.
Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
b.
Rumah tempat kediaman tersebut ditentukan oleh suami isteri bersama.
c.
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai dan hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.
d.
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sebaik-baiknya.
e.
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
D. Hak Dan Kewajiban Antara Orang Tua Dan Anak Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 19747
6
Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang beragama Islam suatu tinjauan dan ulasan secara sosiologi hukum, cet. 1, (jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986), hal. 43. 7 Ibid., hal. 45. Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
Dalam hubungan dengan kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, undang-undang perkawinan dalam pasal 42 sampai dengan 49 menyatakan sebagai berikut: a.
Anak sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Catatan: dengan “akibat perkawinan yang sah kiranya yang dimaksudkan ialah apabila perkawinan itu dilangsungkan setelah calon isteri itu sudah mengandung”.
b.
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
c.
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan, bahwa isterinya telah berzina dan anak itu adalah akibat daripada perzinahan tersebut; dalam hal ini maka pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
d.
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
e.
Kewajiban orang tua tersebut diatas berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri; kewajiban tersebut berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus.
f.
Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak baik mereka.
g.
Jika anak telah dewasa wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga pada garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
h.
Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya.
i.
Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
j.
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan
perkawinan,
kecuali
apabila
kepentingan
anak
itu
menghendakinya. k.
Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak pada garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal: 1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya 2. Ia berkelakuan buruk sekali. Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
l.
Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut dengan catatan bahwa kekuasaan sebagai wali nikah tetap dimiliki. Tentang kewajiban anak terhadap kedua orang tuanya, dalam undang-undang
Perkawinan diatur dalam pasal 46 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa “anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kedudukan mereka secara baik, dan jika anak telah dewasa maka anak itu wajib memelihara kedua orang tua menurut kemampuannya”. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan hukum Islam. E. Pengertian Perceraian Menurut Hukum Islam Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut “talak” atau “ furqah”. 8 Talak berarti “membuka ikatan” berarti bercerai, lawan dari “berkumpul”. 9 Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti: perceraian antara suami istri.10 Mengenai masalah perceraian ini dapat diklasifikasikan antara lain yaitu Talak/Thalaq/Thalak, Ila’, Dhihar, Khulu’, Mubara-ah, Ta’lik Thalaq, fasakh, Syiqaq, Riddah, Li’an. Ditinjau dari segi kemungkinan suami merujuk kembali isterinya atau tidaknya, maka thalak ada dua macam, yaitu:11 a.
Thalak Raj’iy, yaitu thalak yang masih memberi hak kepada suami untuk merujuk bekas isterinya dalam masa iddah isteri, atau dengan istilah lain thalak raj’iy ialah thalak yang untuk kembalinya isteri kepada suaminya tidak memerlukan pembaharuan akad nikah, tidak memerlukan mahar dan tidak memerlukan persaksian. Untuk terjadinya thalak raj’iy diperlukan syarat-syarat yaitu bahwa isteri yang dithalak itu telah dikumpuli secara riil, bukan karena suami memperoleh ganti harta dari isteri, thalak itu baru pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
b.
Thalak Ba’in, yaitu thalak yang jika suami hendak mengembalikan bekas isteri kedalam ikatan perkawinan dengannya haruslah melalui akad nikah baru, lengkap dengan saksi dan mahar. Thalak ba’in ada dua macam, yaitu: 1. Thalak ba’in shughra atau disebut Thalak ba’in kecil, yaitu thalak yang tidak memberi hak bekas suami merujuk kembali bekas isterinya tetapi belum thalak yang ketiga kalinya. Thalak ba’in sughra memberi kemungkinan suami memperistrikan bekas
8
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. 1, (Jakarta: penerbit Bulan Bintang, 1974), hal. 144. 9 Ibid. 10 Ibid. 11 Hamid, Op. Cit., hal. 76. Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
isterinya dengan akad perkawinan yang baru dengan hak thalak yang tinggal yang belum pernah dijatuhkan. 2. Thalak Ba’in Kubro atau disebut thalak ba’in besar, yaitu thalak yang telah ketiga kalinya antara seorang suami dengan seorang isterinya. Pada thalak ba’in kubro juga berlaku segala hukum pada thalak ba’in shugra, ditambah satu ketentuan lagi ialah bahwa bekas suami tidak halal mengawini kembali bekas isterinya itu kecuali isterinya kawin lagi dengan suami lain dan telah berkumpul secara wajar dengan suami lain itu, serta telah bercerai secara wajar pula dan telah selesai iddah dari suami lain itu. Yang termasuk perceraian atau Thalak Ba’in Kubra:12 a. Thalak oleh suami untuk ketiga kalinya. b. Perceraian oleh hakim dalam kasus li’an. c. Perceraian oleh hakim berdasarkan sebab hukum sebab larangan kawin selamanya. F. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Bekas Suami dan Bekas Isteri Menurut Hukum Islam Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah sebagai berikut:13 a. Pada perceraian yang telah memasuki tingkat tidak mungkin di cabut kembali (Thalaq-ba’in), persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi mereka boleh kawin kembali, asal saja belum lebih dari dua pernyataan Thalaq. b. Dalam hal thalaq tiga dijatuhkan, perkawinan kembali hanya dapat dilakukan setelah memenuhi syarat-syarat tertentu yang berat, sedang dalam perceraian karena li’an; perkawinan kembali tidak mungkin lagi dilakukan untuk selamanya. c. Suami atau isteri yang meninggal dalam jangka waktu iddah-thalaq yang dapat di cabut kembali (thalaq raj’i), berhak mendapat warisan dari harta peninggalan yang meninggal. d. Pada perceraian yang tidak dapat di cabut kembali (thalaq ba’in) tidak seorangpun dari suami atau isteri berhak mendapat warisan dari harta peninggalan yang meninggal dunia dalam iddah tersebut. Yang termasuk perceraian Raj’iy ialah: 14
12
Ibid., hal. 94. Latif, Op. Cit., hal 81 14 Hamid, Op. Cit., hal. 94. 13
Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
a. Thalak oleh suami yang baru pertama kali dijatuhkan selain sebelum berkumpul. Thalak sebelum berkumpul meskipun baru pertama kali tidak termasuk Raj’iy. b. Thalak oleh suami yang dijatuhkan untuk kedua kalinya setelah berlalunya thalak Raj’iy yang pertama. Maksudnya adalah perceraian dengan thalak satu dan dua tanpa iwadl/biaya pengganti dan isteri sudah pernah disetubuhi atau seudah pernah berkumpul. Yang termasuk kategoti perceraian Ba’in Shugra ialah: 15 a. Thalak oleh suami sebelum berkumpul walaupun yang pertama kali dijatuhkan oleh suami. b. Perceraian dalam kasus Ila’ oleh hakim berdasarkan gugatan pihak isteri. c. Perceraian oleh Hakim dalam kasus dhihar. d. Thalak dalam kasus khulu’. e. Thalak atau perceraian dalam Khiyar Aib. f. Perceraian oleh Hakim berdasar pengaduan isteri. g. Perceraian dalam kasus syiqaq oleh Hakim. h. Perceraia oleh Hakim berdasarkan sebab hukum selain sebab larangan untuk selamanya. Yang termasuk kategori perceraian Ba’in Kubra: 16 a. Thalak oleh suami untuk ketiga kalinya b. Perceraian oleh Hakim dalam kasus Li’an. c. Perceraia oleh Hakim berdasarkan sebab hukum sebab larangan kawin. G. Terhadap Anak Dalam hal berakhirnya perkawinan dalam kedaan suami isteri dalam keadaan hidup atau cerai hidup ini, penyelesian masalah anak adalah sebagai berikut: 17 a. Tentang nafakah anak, berdasarkan ayat 233 surat Al Baqarah menjadi tanggung jawab ayahnya, juga berdasarkan hadits serta Ijma’, sebab anak adalah bagian dari ayah. b. Pembiayaan hidup anak baik anak laki-laki maupun anak perempuan menjadi kewajiban ayah, bagi anak laki-laki sampai anak dewasa, dapat bekerja dan berdiri sendiri, sedang bagi anak perempuan sampai anak perempuan itu kawin. Kalau anak perempuan sudah kawin maka nafakahnya menjadi kewajiban suaminya, kemudian 15
Ibid. Ibid. 17 Hamid, Op. Cit., hal. 106-107. 16
Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
kalau bercerai dengan suaminya maka kembali nafakahnya menjadi kewajiban ayahnya. c. Anak-anak yang belum mampu bekerja, meskipun sudah dewasa termasuk kedalamnya anak yang menuntut ilmu dan sudah dewasa, maka nafakahnya menjadi kewajiban ayahnya. d. Jika anak sudah bekerja dan belum cukup menafkahi dirinya, maka kekurangan pembiayaan hidupnya menjadi kewajiban ayahnya. Anak perempuan yang bekerja atas kemampuan dan kemauannya sendiri, lalu menjai mampu menafkahi dirinya sendiri, maka nafakah untuk dirinya diambil dari hasil kerjanya. H. Akibat-akibat Hukum Perceraian Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. 1. Mengenai Hubungan Suami Isteri Mengenai hubungan suami isteri adalah jelas bahwa akibat pokok dari perceraian perkawinan, persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi mereka boleh kawin
kembali
sepanjang
ketentuan
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu. Akan tetapi menurut pasal 41 ayat (3)Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Kewajiban dan/atau menentukan sesuatu kewajiban ini tentu berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Mengenai Anak Diatur dalam pasal 41 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 sebagai berikut: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingana anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka Pengadilan memberikan keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya kehidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
I. Posisi Kasus Para pihak: suami (Pemohon disebut S Bin R) dan Isteri (Termohon disebut S Binti SR) menikah sejak tahun 1994. Selama pernikahan mereka, telah dikaruniai 2 (dua) orang anak dan seorang anak yang ketiga yang tidak diakui suaminya sebagai anak sah. Dimana sejak bulan Juli tahun 2008 rumah tangga mulai goyah, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran, penyebabnya suami cemburu kepada termohon dimana pemohon menuduh termohon berselingkuh atau berzina dengan laki-laki lain dan suami merasa bahwa anak ketiga yang telah dilahirkan isterinya bukanlah anaknya. Termohon membantah bahwa Termohon tidak pernah berselingkuh dengan laki-laki lain, karena selama berpisah antara Pemohon dan Termohon masih sering melakukan hubungan badan di rumah orang tua Pemohon dan anak yang ketiga adalah anak sah hasil hubungan antara Pemohon dan Termohon; J. Pertimbangan Hukum Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana di uraikan diatas; 1.
Berdasarkan pengakuan kedua belah pihak yang dikuatkan dengan bukti surat P, maka terbukti menurut hukum bahwa antara Pemohon dengan Termohon telah terikat dalam perkawinan yang sah yang telah menikah pada tanggal 23 september 1994.
2.
Majelis Hakim telah mendengarkan saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon yaitu RT BIN SB dan SN BIN PN, dimana masing-masing saksi tersebut telah memberikan keterangan yang pada pokoknya bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon telah berpisah selama 2 tahun, dan dikaruniai 2 orang anak, sebelum berpisah Pemohon dan Termohon sering terjadi pertengkaran karena faktor kecemburuan yaitu Termohon dituduh selingkuh dengan Dy dan tidak ada satupun saksi yang melihat adanya perselingkuhan antara Termohon dengan Dy;
3.
Bahwa dari bukti-bukti saksi tersebut di atas yang dihubungkan dengan keterangan Pemohon yang tetap menuduh Termohon telah berselingkuh dengan laki-laki lain dan menghasilkan 1 orang anak serta bantahan dari Termohon bahwa dirinya tidak melakukan perselingkuhan dan anak yang ketiga adalah anak yang sah dari hubungan antara Pemohon dan Termohon, maka demi untuk kepastian hukum bagi anak ketiga yang bernama Ltm, Majelis Hakim berpendapat pembuktiannya harus dilakukan dengan mengacu kepada Qur’an Surat An- Nur, ayat 4,6 dan 7 hal ini sesuai dengan pasal 87 dan 88 ayat 1 Undang-undang nomor : 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, oleh karena itu perlu menolak primer permohonan Pemohon dan perlu mengabulkan subsidair dengan menjatuhkan putusan sela yang amarnya sebagai berikut: Menetapkan a. Menyatakan mengalihkan proses perkara ini dari permohonan cerai menjadi perkara li’an; b. Memerintahkan kepada Pemohon (S bin r) untuk mengucapkan sumpah li’an dihadapan sidang Pengadilan Agama Slawi; c. Memerintahkan kepada Termohon (S binti sr) untuk mengucapkan sumpah li’an dihadapan sidang Pengadilan Agama slawi; d. Menangguhkan biaya perkara hingga putusan akhir; 4.
Atas perintah Ketua Majelis Pemohon telah mengucapkan sumpah li’an dan Termohon telah mengucapkan sumpah balik sesuai dengan prosedur dan tata cara yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat An-Nur, ayat 4,6 dan 7, oleh karena itu Majelis Hakim menetapkan telah jatuh talak ba’in kubro dari Pemohon terhadap Termohon. Maka perkawinan antara Pemohon dan Termohon putus untuk selama-lamanya;
5.
Dengan telah dilaksanakannya sumpah li’an maka anak yang bernama Ltm, dinasabkan kepada isteri (Termohon), maka Akta Kelahiran Nomor : xxx/2009 tanggal 18 Nopember 2009, a.n. LTM yang dikeluarkan oleh Kantor DUKCAPIL, Kabupaten Tegal harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, dan Pemohon tidak berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak dimaksud.
6.
Selama pernikahan antara Pemohon dengan Termohon sudah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang bernama Lf dan Lq, dan anak tersebut berada dalam asuhan ibunya incasu Termohon maka biaya hadhonah harus dibebankan kepada ayahnya incasu Pemohon hal ini sesuai dengan maksud pasal 41 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 105 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam dan pasal 149 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.
7.
Menimbang bahwa berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 jo Undang- Uindang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, maka semua biaya yang timbul dalam perkara ini harus dibebankan kepada Pemohon;
K. Putusan Hakim Pengadilan Agama Slawi Maka Putusan Hakim yang akan di Analisis Diantaranya:
Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
1. Menjatuhkan talak ba’in kubro dari Pemohon (S BIN R) terhadap Termohon (S BINTI SR); 2. Menetapkan anak yang bernama : LTM, lahir pada tanggal 30 Oktober 2009 adalah anak dari Termohon dan dinasabkan kepada Termohon; L. Analisis Putusan Li’an merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh Islam kepada umat Islam, jika ditengah-tengah perjalanan suami merasakan ada kejanggalan terhadap anak yang dikandung oleh istrinya, maka jalan yang dapat dilakukan untuk menyangkal anak tersebut yaitu dengan cara li’an. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa:18 “...Jika ada laki-laki yang menzinainya seperti: suami melihat laki-laki tersebut sedang menzinainya atau isteri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya tersebut. Dalam keadaan seperti ini lebih baik dithalaq, bukan mengadakan mula’anah. Tetapi jika tidak terbukti laki-laki yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina. Dan boleh tidak mengakui kehamilan istrinya, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena ia merasa sama sekali belum pernah mencampuri istrinya sejak akad nikahnya, atau ia merasa mencampuri istrinya tetapi baru setengah tahun sedangkan umur kandungannya tidak sesuai”. Dalam menganalisis Putusan perceraian li’an Pengadilan Agama tersebut dapat dianalisis dari dua sudut pandang yang pertama ada para ahli yang berpendapat dalam bukunya mengenai hukum li’an, selain suami atau istri tidak diharuskan mendatangkan empat saksi, akan tetapi suami atau istri telah melihat atau menyaksikan dengan mata kepala sendiri perbuatan zina istrinya atau suaminya dengan kedua matanya sendiri. Sedangkan dari sudut pandang yang kedua dapat dianalisis menurut kompilasi hukum Islam dan sebagian pendapat ahli yang juga terdapat dalam bukunya yang tidak menjelaskan dan menegaskan mengenai suami atau istri telah melihat atau menyaksikan dengan mata kepala sendiri perbuatan zina istrinya atau suaminya. Jika dilihat dari para ahli yang berpendapat dalam bukunya mengenai hukum li’an, selain suami tidak diharuskan mendatangkan empat saksi, akan tetapi suami telah melihat kejadian tersebut dengan kedua matanya sendiri. diantaranya: Apabila suami atau istri menyaksikan dengan mata kepala sendiri perbuatan zina istrinya atau suaminya secara in flagrante delicto, sedangkan suami atau isteri yang 18
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,Juz VIII, (Bandung: PT. Alma’arif Bandung, 1995), hal. 139. Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
menyaksikan itu tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, maka Allah memberikan jalan keluar, melalui sumpah li’an yang dilakukan suami isteri bersangkutan untuk membuktikan bahwa pasangan perkawinannya telah melakukan zina, dan atau pasangan yang dituduh zina menolaknya. 19 Dalam li’an, suami tidak diharuskan mendatangkan empat saksi, karena ia telah melihat kejadian tersebut dengan kedua matanya sendiri. 20 Tuduhan yang sangat berbahaya terhadap istrinya tersebut bukan hanya dianggap hanya sekedar tuduhan. 21 Oleh karena itu, Allah mensyariatkan li’an yang berujung dengan perceraian antara keduanya untuk selamanya. Mereka tidak bisa rujuk kembali. 22 Dari penjelasan ayat-ayat dan Hadis berkenaan dengan li’an dapat disimpulkan bahwa hukum li’an bagi suami yang yakin atau berat dugaannya akan kebenaran tuduhannya adalah mubah atau boleh. 23 Sehingga dapat dikatakan bahwa suami harus menduga secara kuat bahwa isterinya berbuat zina. Namun bila suami tidak kuat dugaannya atas kebenaran tuduhannya itu, maka hukum li’an itu baginya adalah haram. 24 Maka bila dilihat dari pendapat-pendapat tersebut Putusan Majelis Hakim kurang tepat karena tidak mempertimbangkan mengenai hal-hal sebagai berikut: 1. Suami (pemohon) dalam menuduh istrinya (termohon) hanya beradasarkan kecurigaan atau kecemburuan semata dalam menuduh istrinya telah berselingkuh atau berbuat zina bahkan tidak pernah menyaksikan istrinya bersama laki-laki yang dituduhkannya. Sehingga kecurigaan dan tuduhan itu belum dapat dikatakan berat dugaannya akan kebenaran tuduhannya dikarenakan suami atau pemohon tidak pernah mengatakan bahwa pemohon telah melihat dengan mata dan kepalanya sendiri bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain yang bernama Dy. Sehingga ada unsur atau hal yang tidak terpenuhi yaitu suami melihat atau menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri bahwa istrinya berzina dengan laki-laki lain. Dimana hukum li’an bagi suami yang yakin atau berat dugaannya akan kebenaran tuduhannya adalah mubah atau boleh. Sehingga dapat dikatakan bahwa suami harus menduga secara kuat bahwa isterinya berbuat zina. Namun bila suami tidak kuat dugaannya atas kebenaran tuduhannya itu, maka hukum li’an itu
19
Neng Djubaedah, et al., Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, (Jakarta:Fakultas Hukum Universitas Indonesia-Cintya Press, 2005), hal. 91. 20 Qaradhawi, Op. Cit. 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Amir Syariffudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan UndangUndang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 293. 24 Ibid. Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
baginya adalah haram. Seperti halnya suami tidak melihat atau menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri hanya menaruh rasa curiga dan cemburu maka suami tersebut pun belum yakin dengan tuduhannya tersebut benar terjadi atau tidak bahwa isterinya telah berzina, sehingga hal tersebut dapat dikatakan tidak sesuai denga surat an-Nuur ayat 6: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina) padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang benar.” Semestinya hakim menanyakan atau meminta ketearangan dari suami apakah suami telah menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri bahwa istrinya telah berbuat zina dengan laki-laki lain. Sehingga dari hal ini hakim dapat mempertimbangkan perkara ini merupakan perkara li’an atau bukan atau hanya penjatuhan talak biasa dan dalam hal menetapkan bahwa yakin atau tidaknya serta anak itu anak suaminya atau anak dari hasil zina dengan laki-laki lain. 2. Ia juga tidak diharuskan tinggal bersama istrinya yang diragukan, bahkan diyakini, keburukan tingkah lakunya. 25 Akan tetapi ada pengakuan isteri atau termohon bahwa pemohon dan termohon mulai tidur bersama kembali semenjak pada tanggal 29 januari 2009 sampai bulan maret walaupun tidak secara terus menerus. Termohon memberi pernyataan bahwa 3 februari dan kemudian tanggal 17,18, 19, 20, 22, februari 2009 (setelah istri menstruasi) suami menggauli isteri atau termohon. Pada 27 Maret 2009 istri (termohon) melakukan pemeriksaan pada bidan dan dinyatakan positif hamil. Seharusnya hal ini ditanyakan kepada pemohon atau suami apakah benar telah terjadi hubungan suami istri. Agar Hakim dapat mempertimbangkan putusannya secara bijaksana terutama mengenai penetapan status anak yang sedang dipersengketakan statusnya mengenai orang tuanya. Adapun tuduhan berkenaan dengan li’an ini ada dalam dua bentuk. Pertama karena melihat perbuatan zina yang dilakukan istrinya dan kedua menafikan anak yang dikandung oleh istrinya itu syarat yang berlaku untuk tuduhan itu adalah sebagai berikut: 26 Bila tuduhan dalam bentuk melihat perbuatan zina disyaratkan tuduhan itu dijelaskan secara rinci sebagaimana saksi zina memberikan penjelasan karena ucapan li’an yang dilakukan suami menempati kedudukan kesaksian.
25 26
Qaradhawi, Op. Cit. Syariffudin, Op. Cit., hal. 295. Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
Bila tuduhan itu dalam bentuk menafikan anak yang dikandung, dipersyaratkan penjelasan suami bahwa istrinya sebelumnya dalam keadaan bersih dan tidak pernah digaulinya sesudah bersihnya itu. Tentang batas dan tanda bersih itu dikalangan ulama terdapat perbedaan paham. Menurut Imam Malik dalam satu riwayat mengatakan tiga kali haid, dan dalam riwayat lain dikatakan satu kali haid. Sedangkan dari sudut pandang yang kedua dapat dianalisis menurut kompilasi hukum Islam dan menurut pendapat para ahli yang juga terdapat dalam bukunya yang tidak menjelaskan dan menegaskan mengenai suami atau istri telah melihat atau menyaksikan dengan mata kepala sendiri perbuatan zina istrinya atau suaminya. Hanya disebutkan li’an terjadi karena menuduh isteri berbuat zina tanpa menghadirkan empat orang saksi, diantaranya: menurut Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa Li’an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Arti li’an dalam hubungan dengan soal perceraian ini ialah: putusnya hubungan perkawinan karena si suami menuduh istrinya melakukan zina dan si isteri menolak tuduhan itu. Keduanya menguatkan pendirian mereka dengan sumpah. 27 jika dipandang dari pernyataan yang kedua ini yaitu dilihat dari Kompilasi Hukum Islam dan dalam buku tersebut, maka keputusan hakim dalam memutuskan perkara li’an tersebut telah sesuai. Dikarenakan dalam perkara ini suami menuduh istri berbuat zina dengan tetap pendiriannya dan sebaliknya istri juga mempertahankan pendiriannya bahwa ia tidak berzina dengan laki-laki lain. Sehingga hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan bahwa hakim dalam memberi keputusan bahwasanya suami istri tersebut harus melakukan sumpah li’an dalam perkara perceraian ini di Pengadilan Agama Slawi. Selanjutnya mengenai pertimbangan bahwa atas perintah Ketua Majelis Pemohon telah mengucapkan sumpah li’an dan Termohon telah mengucapkan sumpah nukul (sumpah balik) sesuai dengan prosedur dan tata cara yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat An-Nur, ayat 4,6 dan 7. Maka pertimbangan ini kurang tepat karena ayat ini masih kurang lengkap semestinya harus ditambah dengan surat an-Nur ayat 8 dan 9 karena hal ini mengenai penolakan isteri terhadap tuduhan dan sumpah suami. Sehingga istri dapat melepaskan dirinya dari hukuman zina atas tuduhan suaminya itu dengan berli’an pula, yakni “bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa tuduhan suaminya itu tidak benar dan pada kali kelima
27
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. 5, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 118. Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
ia menyatakan bahwa ia sanggup menerima amarah atau la’nat Allah apabila tuduhan suaminya itu benar”. Sehingga yang tepat dalam melakukan prosedur sumpah li’an adalah surat an-Nur ayat 6 sampai ayat 9, yang berbunyi sebagai berikut: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina) padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang kelima: bahwa laknat Allah (akan ditimpakan) atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dapat dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah bahwa suaminya itu sungguh-sungguh termasuk orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah (akan ditimpakan) atasnya, jika suaminya termasuk orang yang benar (Q.S. An-Nuur: 6- 9).28 Prosedur li’an adalah sebagai berikut: seorang suami menuduh isterinya berzina, tetapi tidak dapat membuktikannya. 29 Dalam keadaan ini, untuk mempertahankan tuduhannya yang tidak dapat dibuktikan itu serta terluputnya dari hukum tuduhan, suami dapat berli’an, yakni: “bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa ia menuduh benar dan pada kelima ia menyatakan bahwa ia sanggup menerima la’nat apabila tuduhannya itu tidak benar.”30 Sebaliknya istri dapat melepaskan dirinya dari hukuman zina atas tuduhan suaminya itu dengan berli’an pula, yakni “bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa tuduhan suaminya itu tidak benar dan pada kali kelima ia menyatakan bahwa ia sanggup menerima amarah Allah apabila tuduhan suaminya itu benar”.31 Putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Slawi kurang tepat dalam memutuskan perkara perceraian li’an tersebut dalam hal menetapkan anak ketiga yang lahir dalam pernikahan antara termohon dan pemohon yang bernama LTM, lahir pada tanggal 30 Oktober 2009 adalah anak dari Termohon/istri/ibu anak tersebut dan dinasabkan kepada Termohon. Dalam Hukum Islam seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikan bahwa : 32 1. Suami belum pernah menjima’istrinya akan tetapi istri tiba–tiba melahirkan;
28
Muchtar, Op. Cit., hal. 187. Latif, Op. Cit., hal. 74 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 284. 29
Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
2. Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima’ istrinya sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur; 3. Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima’ suaminya. Walaupun suami dan istri telah saling mengucap sumpah li’an akan tetapi untuk meyakinkan nasab anak tersebut maka Pembuktian tetap digunakan Nabi Muhammad sesuai pada zamannya tersebut yaitu: Diriwayatkan dari Ibn’Abbas r.a.: Hilal bin Umayyah menuduh istrinya melakukan zina dengan Syarik bin Sahma dan membawa persoalan itu kehadapan Nabi Saw. Nabi Saw. Bersabda (kepada Hilal), “bawalah bukti yang menguatkan (empat orang saksi) atau kamu akan dihukum cambuk dipunggungmu.” Hilal berkata “Ya Rasulullah! Jika salah seorang dari kita melihat seorang lelaki lain bersama istrinya, haruskah Ia mencari saksi-saksi?” Nabi Saw. Bersabda, bawalah bukti yang menguatkan (empat orang saksi) atau kamu akan dihukum cambuk dipunggungmu.” Hilal kemudia berkata, “demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran aku berkata benar dan Allah akan mewahyukan kepadamu yang akan menyelamatkan
punggungku
dari
hukuman
cambuk.”
Jibril
turun
dan
menyampaikan wahyu (Allah) kepada Nabi Saw: Dan mereka yang menuduh para istrinya.... (QS Al-Nur (24):6-9). Nabi Saw membacanya hingga sampai pada bagian “....jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” Kemudian Nabi Saw. menyuruh ia pergi (untuk menjemput) perempuan itu (istri Hilal). Hilal pulang dan datang kembali membawa istrinya. Nabi Saw. bersabda, “Allah tahu bahwa salah seorang dari kalian berdusta, jadi siapa diantara kalian yang akan bertobat?” Kemudia istri Hilal bangun dan bersumpah dan ketika ia akan mengucapkan sumpah yang kelima, mereka menghentikannya dan berkata, “(sumpah kelima) itu akan membawa laknat kepadamu (jika kamu bersalah).” Ia tampak ragu melakukannya sehingga kami berpikir bahwa ia akan menyerah. Namun kemudian ia (istri Hilal) berkata, “aku tidak akan menjatuhkan kehormatan keluargaku,” dan melanjutkan (mengambil sumpah). Nabi Saw. Kemudian berkata, “Perhatikan ia. Jika ia melahirkan seorang bayi dengan mata hitam dan berbokong besar dengan kaki yang gemuk maka bayi itu adalah anak Syarik bin Samha.” Dikemudian hari ia melahirkan bayi yang ciri-cirinya seperti yang dideskripsikan Nabi Saw. maka Nabi
Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
Saw. bersabda, “jika persoalan ini tidak diputuskan Allah”, maka aku akan menjatuhkan hukuman yang berat terhadapnya.” 33 Maka dari uraian hadis diatas dapat dilihat bahwa walaupun suami dan istri telah saling mengucap sumpah li’an akan tetapi untuk meyakinkan dam membuktikan mengenai nasab anak yang akan lahir tersebut tetap digunakan Nabi Muhammad sesuai pada zamannya tersebut dalam memutus perkara li’an yaitu terlihat pada kata: “...Perhatikan ia. Jika ia melahirkan seorang bayi dengan mata hitam dan berbokong besar dengan kaki yang gemuk maka bayi itu adalah anak Syarik bin Samha...” Hal ini bahwa pada zaman tersebut hanya dapat dilakukan pembuktian secara menyamakan fisik memiliki kemiripan atau tidak, maka dapat dikatakan bahwa pada zaman sekarang ini pembuktian mengenai penyangkalan anak dapat dilakukan sesuai dengan zaman saat ini atau perkembangan teknologi yang telah ada saat ini. Salah satu yang dapat dilakukan dalam membuktikan status anak tersebut adalah dengan cara tes DNA. Secara bahasa, Deoxrybo Nucleic Acid (DNA) tersusun dari kata-kata “doecyribosa” yang berarti gula pentosa, “Nucleic” yang lebih dikenal dengan “nukleat” berasal dari kata “Nucleus” yang berarti inti serta “acid” yang berarti zat asam. 34 Secara terminologi DNA merupakan persenyawaan kimia yang paling penting, yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. 35 Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, memiliki ayah dan ibu walaupun secara hukum ada di antara hubungan tersebut yang tidak didasarkan dengan perkawinan sah, tetapi secara ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya anak tersebut dapat dibuktikan sebagai anak biologis dari yang bersangkutan. 36 Begitupun setiap anak dilahirkan memiliki ayah dan ibu dalam perkawinan yang sah walaupun secara hukum anak dapat disangkal keabsahannya sebagai anak sah, seharusnya secara ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya anak tersebut dapat dibuktikan sebagai anak biologis dari yang bersangkutan. Anak memiliki hak yang mesti dipenuhi oleh orang tuanya. 37
33
Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Al-Bukhari (Diterjemahkan dari Al-Tajrid Al-Shahih li Alhadits Al-Jami’ Al-Shahih,cet IX, (Bandung: Penerbit Mizan, 2003), hal 752-753. 34 Suryo, Genetika Strata I, cet. 9 (yogyakarta: Gajah Mada University press, 2001), hal. 59. 35 Arum Gayatri, Kamus Kedokteran, (Jakarta: Arcan, 1990), hal. 4. 36 Rio Satrio, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti), Tinjauan Tentang Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Perkawinan Indonesia: analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat [2] dan pasal43 ayat [1], hal. 14. http://badilag.net/artikel/10412-tinjauan-tentang-kedudukan-anak-luarkawin-dalam-sistem-hukum-perkawinanindonesia-oleh-rio-satria-shi-293.html. diunduh pada tanggal 8 Desember 2012 jam 10.05 WIB 37 Ibid. Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
Salah satu akibat dari perkawinan yang sah, anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut adalah anak sah, memiliki hubungan keperdataan secara sempurna dengan kedua orang tuanya, sebagaiman ketentuan pasal 42 UU Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 99 Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 38 Hubungan keperdataan yang dimaksud meliputi hak nasab (garis keturunan) anak dihubungkan kepada ayah (dalam Islam), hak pemenuhan nafkah dari orang tua terhadap anak, hak pemeliharaan dan pendidikan (hadhanah), hak saling mewarisi, hak perwalian nikah bagi ayah atas anak perempuan, dan hak-hak keperdataan lainnya. 39 Untuk itu jangan sampai anak kehilangan hak-haknya sebagai anak dari tanggung jawab orang tuanya tersebut. Sehingga nasab merupakan hal yang sangat penting karena membawa dampak hukum antara orang tua dan anak. Oleh karena itu sangat penting dilakukan pembuktian terlebih dahulu sebelum memutuskan pertalian nasab antara orang tua dan anak tersebut. Pada zaman Rasul yang ada hanyalah al-Qiyafah yaitu suatu keahlian untuk mengetahui kemiripan seseorang melalui jejak atau telapak kaki kepada siapa anak tersebut dinasabkan, yang dilakukan oleh Qaif.40 Dengan adanya perkembangan teknologi yang maju dari dunia kedokteran berupa penemuan DNA maka tes DNA dapat dimanfaatkan menjadi salah satu bukti untuk membuktikan adanya hubungan keturunan antara orang tua dan anak tersebut. Sebagaimana dijelaskan Taufiqul Hulam, bahwa hasil tes DNA mempunyai kegunaan sebagai berikut:41 1. Kasus-kasus yang penyelesaiannya berkaitan dengan pelacakan asal-usul keturunan, seperti kasus perebutan bayi, penentuan ayah dari anak yang dilahirkan. 2. Kasus-kasus yang penyelesaiannya tidak berkaitan dengan pelacakan asal-usul keturunan, seperti kasus pembunuhan, pemerkosaan, dan kasus-kasus lainnya. Maka dapat dilihat bahwa tes DNA dapat digunakan dalam penentuan asal-usul keturunan atau nasab. Raihan A. Rasyid dalam Hukum Acara Peradilan Agama memandang perlu untuk mengikut sertakan pendapat ahli semisal dokter di Lingkungan Peradilan Agama. 42 Pendapat ahli adalah setiap orang yang mempunyai keahlian di bidang tertentu, dan hakim boleh meminta bantuan kepadanya dalam berbagai masalah yang dihadapi agar lebih
38
Ibid., hal. 5. Ibid., hal. 6. 40 Dahlan, Op. Cit., hal. 133. 41 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif , cet. 2, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 127-128. 42 Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet.1, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal 169. 39
Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
terang dan memperoleh kebenaran yang meyakinkan. 43 Bahwa berkenaan dengan masalah ini selain dari aspek pengetahuan keagamaan dan hukum juga dapat dipautkan dalam bidang pengetahuan kedokteran, teknologi dan lainnya. Dalam meminta bantuan pendapat seorang ahli dapat dimintakan oleh hakim ataupun dari pihak yang sedang berpekara. Misalnya untuk menetapkan asal-usul nasab seorang anak meminta bantuan pendapat seorang dokter ahli forensik yang lebih mengetahui mengenai seluk beluk DNA. Tes DNA merupakan hasil tes laboraturium yang dilakukan oleh ahli kedokteran yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dibidangnya tersebut. Sehingga hasil tes DNA dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara akurat. Maka berdasarkan dari ayat-ayat, hadis serta uraian dan penjelasan diatas maka penulis tidak sependapat dengan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Slawi dalam hal menetapkan anak ketiga yang lahir dalam pernikahan antara termohon dan pemohon yang bernama LTM, lahir pada tanggal 30 Oktober 2009 hanya dinasabkan kepada Termohon. Selain hukum Islam penyangkalan disertai pembuktianpun diatur dalam Undangundang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 apabila orang tua atau ayah ingin menyangkal anak tersebut sebagai anaknya harus dilakukan pembuktian, seperti yang terkandung dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan : “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut.” Maka berdasarkan pasal tersebut seharusnya dalam pembuktian kasus ini apabila ayah menyangkal sebagai anaknya atau darah dagingnya maka hakim yang menangani kasus perceraian li’an dan penyangkalan anak yang dilahirkan istrinya tersebut
dapat
memerintahkan suami atau pihak pemohon dan isteri yaitu pihak termohon diantaranya untuk melakukan tes DNA, dikarenakan hal ini diikuti dengan kemajuan teknologi yang mampu memberikan jawaban atau kepastian untuk membuktikan bahwa anak tersebut benar atau tidak bahwa anak tersebut murni memiliki hubungan darah dengan ayahnya.
3. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pertimbangan Hakim mengenai dasar hukum dalam Al-Qur’an Surat An-Nur, ayat 4,6 dan 7, maka pertimbangan ini kurang tepat karena ayat ini masih kurang lengkap semestinya harus ditambah dengan surat an-Nur ayat 8 dan 9 karena hal ini mengenai penolakan istri 43
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 114-115. Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
terhadap tuduhan dan sumpah suami. Sehingga istri dapat melepaskan dirinya dari hukuman zina. Dalam permasalahan ini suami menuduh istrinya berzina hanya berdasarkan prasangka dan kecemburuan semata dimana suami tidak pernah menyaksikan dan mendapati istrinya bersama laki-laki lain sedang berzina. Sedangkan sumpah li’an berdasarkan surat An-Nur ayat 6 dilaksanakan karena suami tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka seharusnya suami menyaksikan sendiri bahwa istrinya telah berzina karena ia sebagai saksi atas dirinya sendiri. Sehingga tuduhan itu dijelaskan secara rinci sebagaimana saksi zina memberikan penjelasan karena ucapan li’an yang dilakukan suami menempati kedudukan kesaksian. Untuk itu putusan hakim pengadilan agama Nomor:xxxx/Pdt.G/2010/PA. Slw kurang sesuai dengan hukum Islam. 2. Dalam permasalahan ini suami menuduh istrinya berzina hanya berdasarkan prasangka dan kecemburuan semata. Sedangkan sumpah li’an berdasarkan surat An-Nur ayat 6 dilaksanakan karena suami tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka seharusnya suami menyaksikan sendiri bahwa istrinya telah berzina karena ia sebagai saksi atas dirinya sendiri. Sehingga tuduhan itu dijelaskan secara rinci sebagaimana saksi zina memberikan penjelasan karena ucapan li’an yang dilakukan suami menempati kedudukan kesaksian. untuk itu putusan hakim pengadilan agama kurang sesuai dengan hukum Islam. 3. Suami isteri yang mengucapkan li’an bebas dari ancaman had qazaf
atau hukuman
tuduhan zina. Perkawinan di antara suami isteri putus untuk selamanya dan nasab anak dihubungkan kepada ibunya dan suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah (dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 162). Dengan perkawinan yang sah maka anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut adalah anak sah, memiliki hubungan keperdataan secara sempurna dengan kedua orang tuanya, sebagaiman ketentuan pasal 42 UU Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 99 Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Hubungan keperdataan yang dimaksud meliputi hak nasab (garis keturunan) anak dihubungkan kepada ayah (dalam Islam), hak pemenuhan nafkah terhadap anak, hak pemeliharaan dan pendidikan, hak saling mewarisi, hak perwalian nikah bagi ayah atas anak perempuan, dan hak-hak keperdataan lainnya. Akan tetapi dengan adanya keputusan li’an maka anak yang disangkal tersebut tidak mendapat hak-hak tersebut. B. Saran 1. Suami isteri sebaiknya mengusahakan agar menghindari perceraian terutama perceraian secara li’an, dikarenakan hanya kecurigaan dan kecemburuan semata yang akan
Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
mengakibatkan akibat hukum yang sangat besar pada hubungan suami istri maupun kepentingan anak. 2. Putusan hakim mengenai perceraian li’an sebaiknya dilakukan apabila suami menuduh istri berbuat zina dengan keyakinan yang kuat lebih meyakinkan lagi bila suami melihat atau menyaksikan dengan matanya sendiri istrinya berzina dengan laki-laki lain, yang tidak mempunyai empat orang saksi yang melihat juga kejadian tersebut. Sehingga sebaiknya hakim menanyakan dengan tegas apa benar suami melihat istrinya berzina dengan laki-laki lain. Hal ini dilakukan agar perceraian secara li’an tidak digunakan dengan mudah dan sewenang-wenang. 3. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi kedokteran yang telah ada maka dalam hal penyangkalan anak pada permasalahan ini salah satu yang dapat dilakukan untuk membuktikan status anak tersebut adalah dengan cara tes DNA. Sehingga hakim dapat memerintahkan para pihak yang bersengketa untuk melakukan tes DNA. Majelis Hakim seharusnya dalam menetapkan perkara status anak tersebut sedapat mungkin menunggu sampai adanya hasil tes DNA tersebut. 4. Majelis Hakim harus lebih cermat dalam memutuskan suatu perkara yaitu harus memuat peraturan yang bersangkutan mengenai alasan-alasan dan dasar-dasar perceraian, serta dalam memuat sumber hukum dari Al-Qur’an maupun hadis harus dengan dasar yang tepat dan lengkap tidak dikurang-kurangi maupun tidak dilebih-lebihkan.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Anshoruddin. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Az-Zabidi, Imam. Ringkasan Shahih Al-Bukhari (Diterjemahkan dari Al-Tajrid Al-Shahih li Alhadits Al-Jami’ Al-Shahih, cet. IX. Bandung: Penerbit Mizan, 2003. Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Djubaedah, Neng. et al. Aspek Pidana Dalam Hukum Islam. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia-Cintya Press, 2005. Gayatri, Arum. Kamus Kedokteran. Jakarta: Arcan, 1990. Hamid, H. Zahry. Pokok-pokok Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan Indonesia, cet. 1. Yogyakarta: Binacipta, 1978.
Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013
Hulam, Taufiqul. Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, cet. 2. Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005. Ichsan, Achmad. Hukum Perkawinan bagi yang beragama Islam suatu tinjauan dan ulasan secara sosiologi hukum, cet. 1. jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986. Latif, H.M. Djamil. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, cet. 2. jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Muchtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. 1. Jakarta: penerbit Bulan Bintang, 1974. Nurudin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004. Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), cet. 33. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000. Rasyid, Raihan A. Hukum Acara Peradilan Agama, cet. 1. Jakarta: Rajawali Press, 1991. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. 5. Jakarta: UI Press, 1986. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Juz VIII. Bandung: PT. Alma’arif Bandung, 1995. Syariffudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta:Kencana, 2011. Suryo. Genetika Strata I, cet. 9. yogyakarta: Gajah Mada University press, 2001. Qaradhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 3, cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-undang Tentang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974. TLN No. 3019. Indonesia. Instruksi Presiden Tentang Kompilasi Hukum Islam. Inpres No. 1 Tahun 1991. C. Internet Satrio, Rio. SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti), Tinjauan Tentang Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Perkawinan Indonesia: analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal43 ayat [1]. http://badilag.net/artikel/10412-tinjauantentang-kedudukan-anak-luarkawin-dalam-sistem-hukum-perkawinan-indonesiaoleh-rio-satria-shi-293.html. Diunduh pada tanggal 8 Desember 2012 jam 10.05 WIB.
Universitas Indonesia Akibat hukum..., Arliyani Hidayati, FH UI, 2013