ARAHAN RESOLUSI KONFLIK IMPLEMENTASI ZONASI DI TAMAN NASIONAL WASUR KABUPATEN MERAUKE DIRECTION CONFLICT RESOLUTION OF ZONING IMPLEMENTATION IN WASUR NATIONAL PARK MERAUKE REGENCY
1
Saiful Anwar, 2Amran Achmad, 3Muh. Hatta Jamil
1
Balai Taman Nasional Wasur Merauke, 2Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, 3Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi: Saiful Anwar Balai Taman Nasional Wasur Merauke Kabupaten Merauke – Papua Hp. 087841648486 Email:
[email protected]
Abstrak Implikasi dari penerapan zonasi Taman Nasional Wasur memicu situasi pro-kontra dari pemangku kepentingan terkait pemanfaatan sumberdaya dan ruang dan menimbulkan bentuk konflik baru dalam kawasan. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis kendala dalam pengimplementasian zonasi Taman Nasional Wasur, dan (2) merumuskan alternatif resolusi konflik pengelolaan sumber daya hutan di Taman Nasional Wasur agar kinerja pengelolaannya meningkat. Metode penelitian yang digunakan, yaitu metode kualitatif fenomenologis yang mengangkat fenomena interaksi sosial dalam penataan ruang dan wilayah. Jenis data yang diambil, yaitu data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer menggunakan wawancara dan diskusi kelompok terfokus, sedangkan data sekunder diperoleh melalui kajian dokumen. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif berdasarkan tujuan dan tahapan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan 1) Kendala pada implementasi zonasi TN Wasur yang telah disepakati adalah ; a). Belum jelasnya batas masing-masing zona kecuali zona khusus dan zona budaya sejarah; b). Pelaksanaan sosialisasi dan penyuluhan tidak terlaksana pada semua kampung dan distrik; c). Institusionalisasi aturan zonasi banyak dilanggar oleh stakeholder; dan d). Manajemen serta kapasitas pengelola lemah. 2). Analisis kuadran memperlihatkan banyaknya stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh dalam zonasi TN Wasur. Untuk itu alternatif resolusi konflik implementasi zonasi TN Wasur antara lain : a). Untuk masyarakat yang telah lama bermukim secara turun temurun dalam kawasan, yaitu dengan mengembangkan proses dialog secara terbuka dengan pemilik ulayat (marga), melakukan pemetaan partisipatif hak ulayat tingkat marga, penyusunan masterplan pemberdayaan berbasis potensi lokal, bantuan pemasaran usahatani serta sentuhan teknologi untuk meningkatkan nilai tambahnya, b). Untuk masyarakat pendatang dengan motif ekonomi, dilakukan pengawasan yang ketat, pendampingan melalui kemitraan yang tepat dan pengembangan sumber pendapatan baru bagi masyarakat sekitar, c). Bagi pengelola kawasan (Balai TN Wasur), untuk membangun proses multipihak dan memanfaatkan potensi yang terdapat pada setiap stakeholder dalam mencapai tujuan pengelolaan terkait fungsi, peran dan tanggung jawab masing-masing melalui kolaborasi pengelolaan. Kata kunci : Konflik; stakeholder; pengelolaan; sumberdaya hutan.
Abstract The implications of applying zoning Wasur National Park triggered pros and cons of situation of the stakeholders and the resource utilization of space and lead to a new form of conflict in the region. The research aimed at: 1) analysing the constrains of the zoning implementation of Wasur National Park; 2) formulating the conflict resolution alternative of the zoning implementation in Wasur National Park in order that the management performance of Wasur National Park improved. The research used the qualitative phenomenology which raised the social interaction phenomenon in regional spatial planning. The research used the primary and secondary data. The primary data were collected by an interview and focus group discussion. The secondary data were obtained by a documentary study. The data were analysed by a qualitative descriptive method based on the objectives and research procedures. The research result indicates that: 1) Constraints on the implementation of zoning Wasur National Park (NP) agreed upon is a). the unclear boundary of each zone except special zones and zones of cultural history; b). socialization and education is not implemented in all villages and districts; c). institutionalization zoning rules are violated by the stakeholders; and d). management and the authority capacity is weak. 2). Quadrant analysis shows the number of stakeholders who have an interest and influence in Wasur NP zoning. For that alternative conflict resolution Wasur NP zone implementation include: a). For people who have long lived in the area for generations, by developing an open dialogue with the owners of customary (clan), participatory mapping of customary rights genus, the preparation of the master plan based empowerment potential of local, farm marketing assistance and a touch of technology to increase the value added, b). For migrant communities with economic motives, are carefully controlled, proper mentoring through partnerships and the development of new sources of income for local communities, c). For the area manager (Wasur NP Authority), to build a multi-stakeholder process and exploit the potential of which is on each stakeholder in achieving management objectives related to the functions, roles and responsibilities of each through collaboration management. Key-words: Conflict, stakeholder, management, forest resource.
PENDAHULUAN Taman Nasional Wasur (TNW) ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 2882/Kpts-IV/1997 tanggal 23 Mei 1997
dengan luas 413.810 ha.
TNW dihuni
oleh 4 masyarakat suku asli, yaitu suku Malind Imbuti, Kanume, Marori Men Gey dan Yeinan. Mereka telah hidup dan berdiam secara turun temurun serta memiliki hak adat atas seluruh tanah dalam kawasan (Palma dkk., 2012). Bagaimana mengintegrasikan visi konservasi dan nilai kearifan sebagai basis cara pandang dalam merencanakan ruang bagi pemenuhan kehidupan dan kesejahteran masyarakat di kawasan TNW, menjadi tantangan tersendiri terutama setelah masyarakat secara sadar telah memetakan kawasan adat yang disebut sebagai tempat penting Masyarakat Malind melalui konsensus masyarakat adat tentang tempat penting pada tahun 2008, serta Review Penyusunan Zonasi TNW pada tahun 2011 yang telah berusaha mengakomodir kearifan Suku Malind dalam pola ruang. Namun dalam implementasi rupanya kesepakatan adat dan review zonasi tersebut kurang diperhatikan sebagai salah satu arahan penting untuk melestarikan kawasan dan lebih jauh meminimalisir konflik-konflik yang selama ini terjadi di TNW. Masyarakat adat Malind (khususnya Sub Suku Kanume, Marory Men-Gey, Malind Imbuti dan Yeinan) tersebut kini menghadapi
persoalan sosial-ekonomi
yang
harus
dipenuhi dan cenderung meningkat. Faktor tekanan penduduk (laju imigrasi) dan intervensi ekonomi pasar menyebabkan perubahan perilaku masyarakat untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Berbagai persoalan gangguan terhadap kawasan yang terjadi diantaranya adalah berkembangnya permukiman (kampung) di dalam kawasan hingga ke zona rimba, penebangan liar, perburuan dan kegiatan penambangan bahan galian C (pasir dan tanah timbun) serta tingkat pemahaman, pendapat dan kapasitas yang berbeda dari para pihak penyelenggara, praktisi dan pengguna ruang di Kabupaten Merauke menyangkut perencanaan tata ruang dalam tahapan pemanfaatan dan pengendalian ruang terutama kawasan konservasi. Oleh Baja (2012), ini disebut sebagai ”konflik spasial”, dimana daerah diperhadapkan dengan pilihan yang sulit ; disatu sisi adalah masalah perlindungan/ekologi, sedangkan di sisi lain adalah terdapatnya sumber pendapatan daerah yang luar biasa nilainya seandainya sumber daya tersebut dikelola dengan baik. Konflik-konflik yang terjadi dalam pengelolaan TNW pada akhirnya dapat menghasilkan kinerja pengelolaan yang kurang optimal. Dengan kondisi demikian, tujuan akhir pengelolaan taman nasional untuk mewujudkan kawasan lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak pernah tercapai. Berdasarkan situasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah merumuskan alternatif resolusi konflik pengelolaan sumberdaya hutan di TNW agar kinerja pengelolaannya meningkat.
METODE Pendekatan dan Jenis Penelitian Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif fenomenologi berbasis spasial yang mengangkat fenomena interaksi sosial dalam penataan ruang wilayah. Metode ini ditentukan dengan tujuan untuk mendapatkan data dan informasi mendalam tentang fakta-fakta konflik ruang yang terjadi pada pengelolaan sumberdaya hutan di TNW. Studi fenomenologi berusaha melakukan investigasi terhadap arti dan makna pengalaman individu tentang suatu konsep atau suatu fenomena (Cresswell, 1998 dalam Salam, 2011). Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan yang diperlukan dalam penelitian rekayasa sosial, dengan objek bukan hanya permasalahan individu tetapi pada permasalahan kelompok masyarakat. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di TNW dari bulan Mei sampai bulan September 2014. Proses pengambilan data berlangsung di permukiman yang memiliki situasi wilayah yang berbeda, yaitu: Kampung Kuler (Suku Malind Imbuti di pesisir pantai), Kampung Yanggandur (Suku Kanume di pedalaman) dan Kampung Wasur (Suku Marori-Mengey di tepi jalan trans Irian). Pemilihan ketiga kampung dalam penelitian ini didasarkan dengan pertimbangan representasi keberadaan suku yang berada di dalam dan sekitar kawasan TNW. Selain itu juga dilakukan pengambilan data di kantor Balai TNW, kantor LSM WWF dan kompleks perkantoran Pemkab Merauke. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer dengan observasi lapang, Focus Group Discussion (FGD), wawancara dengan kuesioner, dan wawancara mendalam. Informan diambil melalui metode purposive sampling, serta beberapa orang informan kunci yang diwawancara secara mendalam, dimana mereka merupakan representasi dari Balai Taman Nasional Wasur (BTNW), Lembaga Masyarakat Adat (LMA), LSM, Forum Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Wasur (FKP-TNW), Pemerintah Daerah (Pemda), dan tokoh masyarakat. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen dari beberapa sumber antara lain: dokumen kesepakatan adat dan zonasi TNW, dokumen perencanaan TNW, laporan kegiatan, statistik tingkat distrik
dan kabupaten
serta jenis dokumen lain yang berisi tentang perencanaan pembangunan instansi stakeholder, termasuk dokumen Pembangunan Wilayah Kab. Merauke untuk melengkapi data primer.
Teknik Analisis Dalam penelitian ini teknik analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif kualitatif dan analisis stakeholder. Untuk menjawab tujuan penelitian, maka tahap pertama secara simultan analisis diarahkan pada data: 1) Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders terhadap zonasi TNW; 2) Kebutuhan dan aspirasi stakeholders tentang implementasi zonasi dan 3). Kendala dan tantangan implementasi zonasi TNW. Berdasarkan hasil sintesis tahapan pertama tersebut, maka selanjutnya sintesis diarahkan untuk merumuskan arahan resolusi konflik pengelolaan sumber daya hutan di taman nasional wasur secara deskriptif kualitatif. Analisis stakeholders dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pemanfaatan sumber daya alam dalam sistem zonasi TNW dengan menggunakan stakeholder grid, dimana posisi kuadran dapat menggambarkan ilustrasi mengenai posisi dan peranan yang dimainkan oleh masing-masing stakeholders terkait dengan zonasi TNW di kabupaten Merauke yaitu : (1) Subject (kepentingan tinggi tetapi pengaruh rendah); (2) Key Players (kepentingan dan pengaruh tinggi); (3) Crowd (kepentingan dan pengaruh rendah); (4) Context Setters (kepentingan rendah tetapi pengaruh tinggi) (Reed et al., 2009). Hasil penilaian kepentingan dan pengaruh tersaji pada Tabel 2 dan Gambar 1. Analisis kebutuhan dan aspirasi dikelompokkan menurut kemiripannya berdasarkan kebutuhan sinergis dan tidak sinergis masing-masing stakeholder (jika kebutuhan dan aspirasi antarstakeholder saling mendukung zonasi, kebutuhan dianggap sinergis, dan sebaliknya). Data konflik selanjutnya dibedakan berdasarkan level permasalahan dikelompokkan ke dalam konflik vertikal dan konflik horizontal, sedangkan bentuk dan level konflik dianalisis dengan mengelompokkan data kebutuhan dan aspirasi yang tidak sinergis ke dalam bentuk konflik berdasarkan Fisher et al (2001); Fuad dan Maskanah (2000) : 1) Konflik tertutup (latent) jika ada tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik dan seringkali salah satu atau kedua belah pihak belum menyadari adanya konflik; 2). Konflik mencuat (emerging) jika pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebnayakan permasalahannya jelas dan proses penyelesaian masalah belum berkembang. 3). Konflik terbuka (manifest) jika pihak-pih ak yang berselisih terlibat aktif dalam perselisihan, mungkin sudah mulai bernegosiasi dan mungkin telah mencapai jalan buntu.
Selain itu pembahasan dikonfirmasi dengan
menggunakan indikator tata kelola yang adaptif (Adaptive Governance) (ICEL GFI, 2012).
HASIL Kendala dalam implementasi kesepakatan adat dan zonasi TNW Hasil identifikasi menunjukkan bahwa beberapa stakeholder yang terlibat dalam proses penetapan dan implementasi zonasi TNW melalui beberapa programnya di lokasi penelitian, dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok yaitu kelompok pemerintah, kelompok masyarakat dan kelompok LSM. Berdasarkan jenis institusi dan level adminitrasif secara vertikal dapat dikelompokkan pada level pusat dan kabupaten, distrik dan tingkat kampung, seperti disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan matriks hasil kepentingan dan pengaruh stakeholder, posisi Kuadran I (Subject) Kelompok stakeholder yang memiliki kepentingan terhadap zonasi TNW yang tinggi namun pengaruhnya rendah ditempati oleh pengusaha lokal dan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Merauke serta pengusaha luar (pedagang pengepul pasir/tanah timbun, hasil buruan dan kayu bakar), keberadaannya ada di sekitar daerah penyangga. Posisi Kuadran II (Key Stakeholder) stakeholder tersebut memiliki kepentingan dan pengaruh paling tinggi diisi oleh WWF Region Sahul BTNW, Merauke, LMA, Bappeda Merauke, Kampung Kuler, Kampung Wasur, Kampung Yanggandur, Distrik Merauke, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Merauke, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Merauke. Posisi pada Kuadran III (Crowd) stakeholders yang memiliki kepentingan rendah dan pengaruh yang cukup tinggi terhadap zonasi TNW tidak ada, dan Kuadran IV (Context Setter) ) stakeholders yang memiliki kepentingan rendah dan pengaruh yang tinggi terhadap zonasi TNW ditempati oleh FKPTNW. Matriks hasil kepentingan dan pengaruh stakeholder tersaji pada Gambar 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stakeholder ini memiliki pengaruh tinggi dan kepentingan yang rendah terhadap zonasi. Matriks hasil kepentingan dan pengaruh stakeholder tersaji pada Gambar 1. Hal ini disebabkan karena stakeholder yang dipilih semuanya berperan langsung dalam pengelolaan TNW. Walaupun pengusaha lokal dan pengusaha luar yang menjadi pengepul dan Disperindagkop yang menempati Kuadran I, peluang stakeholder ini untuk menjadi Key Stakeholder dalam pengelolaan akan semakin besar jika selalu dilibatkan utamanya dalam proses manajemen kolaboratif yang saat ini tengah diusung sebagai agenda utama pihak BTNW. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders dapat berubah tipenya sepanjang waktu dan dampak tersebut perlu dipertimbangkan (Reed et al., 2009). Stakeholder yang berada di posisi Key Stakeholder harus diperhatikan karena merupakan kelompok paling kritis dan mempunyai pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap fenomena pemanfaatan ruang TNW. Jika posisinya Subject maka perlu diberdayakan. Jika tidak diberdayakan, ada
kemungkinan mereka melakukan perlawanan dan membentuk aliansi dan pada saatnya akan berada pada kuadran Key Stakeholder tetapi terjadi konflik dalam proses tersebut. Kebutuhan dan aspirasi stakeholders diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan fokus grup diskusi serta pencermatan terhadap tugas pokok dan fungsinya berdasarkan aturan yang menjadi dasar hukumnya. Metode terakhir ini dilakukan khususnya terhadap stakeholder yang berasal dari pemerintahan. Stakeholder yang dianalisis adalah stakeholders yang berperan langsung dalam pengelolaan taman nasional saat ini.
Selanjutnya kebutuhan
stakeholder dimaksud disajikan dalam Tabel 2. Secara umum, semua aspirasi stakeholder seperti yang disajikan pada tabel tersebut mendukung zonasi TNW. Aspirasi sebagian stakeholder untuk melakukan penyuluhan secara rutin kepada masyaralat dengan metode yang lebih menarik dengan menggunakan alat peraga dan mudah dipahami aturannya
atau dengan menggandakan dan menempelkan peta zonasi dan
pada setiap rumah warga di dalam kawasan merupakan hal yang perlu
diperhatikan, agar mereka memahami zonasi TNW. Aspirasi mengenai kejelasan apa yang boleh dan tidak boleh dalam zonasi TNW juga perlu diperhatikan. Dalam hal kebutuhan dan aspirasi masing-masing stakeholder, menunjukkan bahwa penyuluhan dan sosialisasi zonasi TNW, tidak bisa hanya kepada masyarakat saja tetapi juga kepada pihak pemerintah daerah beserta jajarannya yang melakukan aktifitas di dalam kawasan TNW. Menurut hasil wawancara dengan stakeholder, penyuluhan dan sosialisasi secara terus menerus dan dilakukan dengan cara yang bervariasi. Biaya yang dibutuhkan akan menjadi sangat besar jika semua cara tersebut dibebankan kepada pihak BTNW saja, namun apabila dikerjakan bersama dengan instansi terkait di daerah maka biayanya akan menjadi lebih ringan. Proses penetapan zonasi dan implementasinya sebagai aturan yang telah disepakati bersama, melibatkan beberapa stakeholder baik secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholder tersebut masing-masing memiliki kebutuhan dan aspirasi tersendiri terkait dengan pemanfaatan ruang dan sumberdaya hutan dalam kawasan TNW. Ketika kebutuhan stakeholder tidak terpenuhi dan aspirasi mereka juga tidak terakomodir maka kemungkinan konflik akan terjadi, bahkan mungkin konflik sudah terjadi tetapi masih dalam bentuk konflik laten (Fisher et al., 2001). Konflik laten ini perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara efektif supaya tidak terjadi konflik terbuka dan menggangu kinerja pengelolaan. Hal ini sejalan dengan apa yang diuraikan oleh Nurfatriani dkk (2007), yang menyatakan masih banyak pihak yang belum menyadari tentang besarnya peranan hutan dalam mengatur fungsi berbagai fungsinya sehingga terjadi berbagai gangguan terhadap kinerja kawasan hutan.
Faktor Penyebab Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Wasur Berdasarkan hasil analisis, fenomena open acces dan faktor kelembagaan yang lemah menjadi akar penyebab konflik sumberdaya hutan di TNW. Pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan tidak dapat mengatasi para pencari kesempatan atau penunggang gratis (free riders). Lemahnya kelembagaan dari pihak berwenang untuk menjaga dan mengelola TNW mengakibatkan kawasan TNW sebagai state property menjadi sumberdaya alam yang secara de facto dapat diakses oleh setiap orang untuk mengambil dan mengelolanya. Lemahnya kelembagaan dalam pengelolaan kawasan TNW di kabupaten merauke dapat didentifikasi berdasarkan hal-hal sebagai berikut : 1) Tata batas kawasan sebagian besar banyak yang sudah hilang atau tidak ditemukan; 2). Tata batas zonasi di lapangan belum sepenuhnya dilakukan pada seluruh zona. Saat ini BTNW baru mampu memasang tanda pada daerah yang berbatasan dengan zona khusus dan zona budaya sejarah; 3). Kurangnya sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat; 4) Lemahnya pelembagaan institusi/kesepakatan zonasi TNW. Masih terjadinya konflik antara masyarakat dengan BTNW tersebut menunjukkan bahwa kesepakatan zonasi yang telah dibangun sebagai sebuah institusi sangat rapuh karena banyak dilanggar oleh masyarakat, hal ini dapat diketahui dari kasus-kasus yang oleh pihak BTNW dianggap sebagai gangguan atau aktifitas yang mengancam kelestarian kawasan. Dari awal tahun 2013 sampai dengan pertengahan tahun 2014, di TNW setidaknya telah ditangkap 32 orang tersangka dengan berbagai macam barang bukti; 5). Sumberdaya pengelola yang sangat terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya.; 6). Aksesibilitas yang rendah ke dalam kawasan terutama saat musim penghujan, sebaliknya pada saat musim kemarau seluruh kawasan termasuk zona inti dapat diakses dengan kendaraan bermotor sehingga menyulitkan pengawasan. Meskipun sudah ada Kantor Seksi Pengelolaan TN Wilayah I, II dan III yang berada di kampung/distrik, tetapi sarana prasarana dan personil yang ada masih sangat kurang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Efek yang muncul sebagai akibat masalah tersebut adalah degradasi kawasan konservasi, ketidakpastian usaha. Permasalahan inti adalah perebutan lahan pengelolaan sumberdaya alam yang tersedia di dalam TNW, memberikan efek nyata terhadap degradasi kawasan konservasi. Konflik yang terjadi di lokasi studi merupakan secara umum adalah konflik vertikal, masyarakat yang levelnya berada di bawah melawan pemerintah (BTNW) yang levelnya di atas, khususnya dalam hal kewenangan.
Selanjutnya uraian tentang tipe konflik adalah
sebagai berikut : a). Konflik laten, terjadi di semua lokasi studi. Konflik tipe ini dipicu oleh perbedaan yang sifatnya vertikal dalam memperoleh hak, akses dan kontrol terhadap
sumberdaya. Masyarakat saat ini masih bisa memanfaatkan sumberdaya hutan di dalam kawasan meskipun beberapa yang hal diantaranya tergolong illegal seperti menebang pohon yang berdiri untuk diambil kayunya sebagai kayu bakar atau bahan bangunan sperti yang terjadi di Kampung Wasur, penggalian pasir dan tanah timbun yang dilakukan secara diamdiam di Kampung Kuler. Kondisi ini dapat mencuat menjadi konflik mencuat ketika petugas TNW melakukan operasi represif terhadap kegiatan yang dianggap sebagai pelanggaran hukum; b). Konflik yang mencuat (emerging), ditemukan antara BTNW dan masyarakat terjadi di tiga lokasi studi yaitu Kampung Wasur, Kampung Kuler dan Kampung Yanggandur. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan narasumber yang menggunakan istilah “kita dan mereka” untuk menyebut pihak lawan.
Masyarakat merasa kepentingan mereka
terganggu dengan penetapan zonasi taman nasional. Di sisi lain pihak BTNW juga mengungkapkan kurangnya dukungan masyarakat terhadap usaha konservasi yang dilakukan. Konflik mencuat ini juga terjadi antara BTNW dengan pihak Pemda (Disperidagkop Merauke) yang dicirikan dengan telah teridentifikasinya pihak-pihak yang berselisih, telah diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, dan proses penyelesaian masalah belum berkembang; c). Konflik terbuka/termanifestasikan (manifest), konflik ini juga terjadi di tiga lokasi studi, yaitu Kampung Wasur, Kampung Kuler dan Kampung Yanggandur. Hal ini dapat dilihat dari telah adanya perlawanan dari masyarakat terhadap larangan-larangan yang disampaikan para petugas, seperti larangan berburu dengan senapan angin dan senjata api, menebang pohon dan menjual kayunya keluar kawasan dan larangan menambang pasir/tanah timbun, meskipun telah ada respon/tindakan dari petugas BTNW terhadap kejadian yang dianggapnya pelanggaran. Berdasarkan level permasalahannya, konflik pengelolaan TNW dibedakan menjadi: a) Konflik vertikal antara BTNW dan masyarakat kampung Kuler, Wasur dan Yanggandur; b) Konflik horizontal antara BTNW dan Pemda. Konflik antara BTNW dengan Pemda sebagai konflik mencuat, hal ini terutama terkait pelaksanaan program dan bantuan untuk masyarakat kampung. Berbagai bentuk dan level yang terjadi di lokasi penelitian, merupakan wujud dari hubungan yang tidak sinergis antara berbagai pihak. Sehingga harus dicarikan jalan keluarnya agar menjadi hubungan yang sinergis. Menurut Hardiansyah (2012), menyatakan bahwa di dalam suatu permasalahan, terdapat pihak lain yang bersinergi dan merupakan hubungan antar stakeholder.
PEMBAHASAN Penelitian ini
merumuskan beberapa langkah-langkah yang diharapkan mampu
menjadi arahan resolusi konflik pengelolaan sumberdaya hutan di TNW, antara lain sebagai berikut : 1).
Tata batas masing-masing zona TNW perlu segera diselesaikan, disertai
dengan sosialisasi secara terus menerus; 2). Sumber daya manusia pengelola perlu dibenahi kualitas dan kuantitasnya, khususnya sarana prasarana dan personil Kantor SPTNW I, II dan III; 3). Sosialisasi dan penyuluhan kepada Pemda kemudian bersama-sama kepada masyarakat perlu dilakukan secara terus menerus; 4). Konflik antara BTNW dan masyarakat di ketiga lokasi penelitian perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara efektif; .4) Peningkatan komunikasi dengan masyarakat perlu dilakukan terkait dengan pemberian kepastian mengenai apa-apa saja kegiatan yang boleh atau tidak boleh di dalam kawasan terutama apabila menyangkut hak ulayat masyarakat. Kemungkinan konflik serupa ini juga terjadi di kampung-kampung lainnya di dalam kawasan TNW; 5). Konflik mencuat antara BTNW dengan Pemda diselesaikan
dengan cara membangun proses fasilitasi, melalui
koordinasi yang intensif dengan para stakeholders dalam mengevaluasi dan merumuskan kembali strategi pelaksanaan kesepakatan zonasi TNW, agar dapat berjalan sesuai dengan amanat yang disepakati bersama; 6) Memperjelas isi dokumen kesepakatan zonasi TNW khususnya yang menyangkut fungsi, peran dan tanggung jawab masing-masing aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kesepakatan zonasi TNW. Sejalan dengan Weible dkk (2010), yang mengutarakan bahwa isu utama tata kelola pemerintahan khususnya di bidang lingkungan yaitu semakin meningkatnya kompleksitas permasalahan, sehingga perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam mencari solusinya. Diperlukan suatu wadah kerjasama untuk menyeimbangkan berbagai sudut pandang yang berbeda-beda dari setiap stakeholders dalam rangka mencapai solusi kebijakan yang efektif. Manajemen lingkungan secara kolaboratif merupakan salah satu wadah tersebut. Mengacu pada pandangan tersebut, maka konsep resolusi konflik yang ditawarkan agar dapat diakomodir oleh semua stakeholders adalah pendekatan kolaborasi manajemen. Melalui pendekatan ini, pengelolaan TNW secara kolaborasi tidak lagi bertumpu pada satu pemangku kepentingan tetapi menyebar dalam kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang telah dapat mengatur dirinya sendiri menurut wewenang, peran dan fungsi, serta tanggung
jawab masing-masing.
Langkah pertama yang dilakukan adalah memperkuat
kelembagaan FKPTNW sebagai wadah kolaborasi yang sudah ada, dimana saat ini kepengurusannya terdiri atas yang meliputi Perguruan Tinggi, SKPD terkait, para kepala distrik, para tokoh adat, para kepala kampung, LSM, para pengusaha, dan stakeholders
lainnya. Pelaksanaan di lapangan merupakan proses alami tanpa ada unsur paksaan, utamanya adalah negosiasi kepentingan dengan stakeholder yang berada pada posisi Key Stakeholders, Subject dan Context Setter sebagai pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan pengaruh dalam proses implementasi zonasi. Khan (2008), juga menyatakan bahwa prinsip pengaturan kelembagaan itu penting terutama untuk memberikan pilihan-pilihan aksi bersama (collective actions) yang benar-benar dapat dijalankan oleh para pihak terkait. Kolaborasi berbagai pihak ini bukan sekedar saling mendukung, namun bagaimana rencana kerja masing-masing pihak dapat dipertemukan sehingga terjadi aksi bersama. Hasil pembelajaran bersama itulah akan berdampak pada peningkatan kapasitas kedua pihak (Salman, 2012). Dengan demikian, kolaborasi perencanaan yang dibangun juga akan mempertemukan rencana kerja Balai TNW dan Pemerintah Kabupaten Merauke (dinas terkait), sehingga memunculkan fitur baru, pembelajaran bersama serta peningkatan kapasitas yang akan diperoleh kedua pihak. Suatu keputusan untuk berkolaborasi merupakan suatu pilihan strategis bagi suatu lembaga pemerintah khususnya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang spesifik. Banyak cara bagi pemerintah untuk berkolaborasi dalam mencapai tujuan tersebut (Koontz dkk., 2006). KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan seperti yang diuraikan sebelumnya, analisis kuadran memperlihatkan banyaknya stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh dalam zonasi TN Wasur, untuk itu alternatif resolusi konflik implementasi zonasi TN Wasur antara lain : a). Untuk masyarakat yang telah lama bermukim secara turun temurun dalam kawasan, yaitu dengan mengembangkan proses dialog secara terbuka dengan pemilik ulayat (marga), melakukan pemetaan partisipatif hak ulayat tingkat marga, penyusunan masterplan pemberdayaan berbasis potensi lokal, bantuan pemasaran usahatani serta sentuhan teknologi untuk meningkatkan nilai tambahnya, b). Untuk masyarakat pendatang dengan motif ekonomi, dilakukan pengawasan yang ketat, pendampingan melalui kemitraan yang tepat dan pengembangan sumber pendapatan baru bagi masyarakat sekitar, c). Bagi pengelola kawasan (Balai TN Wasur), untuk membangun proses multipihak dan memanfaatkan potensi yang terdapat pada setiap stakeholder dalam mencapai tujuan pengelolaan terkait fungsi, peran dan tanggung jawab masing-masing melalui kolaborasi pengelolaan. Saran yang diberikan adalah BTNW membangun koordinasi yang intensif antar para stakeholder dalam mengevaluasi dan merumuskan kembali strategi pelaksanaan kesepakatan zonasi TNW secara holistik dan transparan, agar dapat dipahami, dimengerti dan diimplementasikan secara bersama oleh seluruh aktor yang terlibat di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA Baja S. (2012). Perencanaan Tata Guna Lahan Dalam Pengembangan Wilayah. Pendekatan Spasial dan Aplikasinya. Penerbit Andi : Yogyakarta. Fisher S; Ludin J; Williams S; Abdi D.K; Smith R; dan Williams S. (2001). Mengelola Konflik : Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak. The British Council :Jakarta. Fuad H.F dan Maskanah S. (2000). Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin: Bogor. Hardiansyah G. (2012). Analisis Peran Berbagai Stakeholder Dalam Menyongsong Era Pembangunan KPH Di Kabupaten Ketapang. Jurnal EKSOS. Volume 8, Nomor 3, Oktober 2012 Hal 186 - 194 ICEL GFI. (2012). Indikator Tata Kelola Kehutanan Versi 2.0 dan Panduan Penggunaan. Governance Forest Initiative (Inisiatif Tata Kelola Kehutanan). Jaringan Tata Kelola Hutan Indonesia, Jakarta. Khan A. (2008). Alternatif Penyelesaian Masalah Peraturan Perundangan: Sebuah Pelajaran Penataan Kelembagaan. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. XIV (1): 47-53 Koontz T.M; Thomas C.W. (2006). What Do We Know and Need to Know about The Environmental Outcomes of Collaborative Management. Public Administration Review; Dec 2006; 66, SI; ProQuest Research Library pg. 111 Nurfatriani F dan Handoyo. (2007). Nilai Ekonomi Manfaat Hidrologis Hutan Di Das Brantas Hulu Untuk Pemanfaatan Non Komersial. Jurnal Info Sosial Ekonomi. Vol. 7 No. 3 September Th. 2007, 193 – 214. Palma A.S.M; Achmad A; Dassir M. (2012). Model Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Wasur. Jurnal Sains & Teknologi Seri-Seri Ilmu Pengetahuan. Vol.12 No.1: 12-21 Reed M. S; Graves A; Dandy N; Posthumus H; Hubacek K et al. (2009). Who's in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management, 90 (5), 1933-1949. Salam M. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif : Menggugat Doktrin Kuantitatif. Masagena Press. Makassar. Cetakan Kesatu. Salman D. (2012). Manajemen Perencanaan Berbasis Komunitas dan Mekanisme Kolaborasi Serta Peran Fasilitator. Cetakan Pertama. Sulawesi Capacity Development Project: Kerjasama Teknis Kemendagri RI, Pemprov. S-Sulawesi, 29 Pemkab./Kota di Sulawesi dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). Weible C.M; Moore R.H. (2010). Analytics and Beliefs; Competing Explanantions for Defining Problems and Choosing Allies and Opponents in Collaborative Environmental Management. Public Administration Review: Sep/Oct 2010;70,5; ProQuest Research Library pg. 756
Lampiran Tabel 1.
No 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12 13
14
15 16
Stakeholder yang terlibat dalam proses penetapan dan implementasi zonasi TNW berdasarkan level administrasi
Level Stakeholder BTNW* Bappeda Merauke* Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Merauke* Dinas Kehutanan dan Perkebunan Merauke Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Merauke Distrik Merauke* Distrik Sota* Distrik Naukenjerai* Kampung Wasur* Kampung Yanggandur* Kampung Kuler* WWF Region Sahul Merauke* Forum Kolaborasi Pengelolaan TN Wasur / FKP-TNW* Lembaga Masyarakat Adat / LMA Kabupaten Merauke* Pengusaha Luar Pengusaha Lokal
Pusat
Kabupaten
Distrik
Kampung
√
√ √ √
Pemerintah Pemerintah Pemerintah
√
Pemerintah
√
Pemerintah
√ √ √
Keterangan
√
Pemerintah Pemerintah Pemerintah Masyarakat Masyarakat Masyarakat LSM
√
LSM
√
LSM
√ √ √
√
Ket : * Stakeholder yang terlibat scera intensif dalam proses penetapan zonasi
√
Swasta Swasta
Tabel 2. Tingkat kepentingan stakeholders Asal Stakeholder 1
2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
15 16
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
BTNW (KBTU) BTNW (KSPTNW II) BTNW (KSPTNW III) BTNW (KSPTNW I) BTNW (PEH) BTNW (PEH) BTNW (Polhut) BTNW (Penyuluh) BTNW (Perencana) BTNW (Evlap) Bappeda Merauke (Kabid Tata Ruang) Bappeda Merauke (staf)
m. n. o. p. q. r. s. t. u. v. w. x. y.
Kabid Disbudpar Merauke Kabid Dishutbun Merauke Kabid Disperidgkop Merauke Staf Distrik Merauke Staf Distrik Sota Kepala Distrik Naukenjerai Kepala Kampung Wasur Kepala Kampung Yanggandur Kepala Kampung Kuler WWF Region Sahul Merauke WWF Region Sahul Merauke FKP-TNW (Tokoh agama) FKP-TNW (Perempuan)
z. aa. bb. cc.
Ketua LMA Marory Mengey Ketua LMA Malind Imbuti Ketua LMA Kanume Pengusaha Luar
dd. Pengusaha Lokal ee. Pengusaha Lokal
K1 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5
K2 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4
K3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3
K4 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4
K5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
∑K 23 21 23 21 21 21 21 21 21 20 20
P1 4 4 4 4 3 3 4 3 4 3 5
P2 5 5 4 4 3 3 5 3 4 3 2
P3 5 5 4 4 3 4 5 3 4 4 4
P4 5 4 5 3 4 3 4 4 4 4 5
P5 5 5 5 5 4 3 5 4 4 4 3
∑P 24 23 22 20 17 16 23 17 20 18 19
4 3 5 4 4 4 4 4 3 3 4 4 2 4 5 5 5 2 3 3
3 3 5 4 4 4 4 4 4 3 4 4 1 4 4 4 4 4 2 2
3 4 5 3 5 3 4 5 5 5 5 4 2 4 5 5 5 4 3 3
4 4 4 3 4 3 3 5 4 4 5 5 4 4 5 4 5 2 4 4
4 4 4 3 3 4 4 5 4 4 3 5 2 4 4 5 4 1 2 3
18 18 23 17 20 18 19 23 20 19 21 22 11 20 23 23 23 13 14 15
4 3 3 2 3 3 4 4 3 4 5 4 3 4 5 4 4 1 1 1
2 2 2 1 3 2 2 2 3 3 5 5 3 3 3 3 3 1 1 1
3 4 3 1 4 4 5 5 5 5 5 5 5 4 5 4 4 1 1 1
3 4 2 2 2 2 3 3 3 4 5 5 4 4 5 5 4 1 1 1
3 2 4 3 2 2 2 4 2 3 3 3 2 4 4 4 4 1 2 2
15 15 14 9 14 13 16 18 16 19 23 22 17 19 22 20 19 5 6 6
Keterangan : 5 : sangat tinggi; 4=tinggi; 3= cukup tinggi; 2=kurang tinggi; 1=rendah. K1 : Berapa besar manfaat zonasi TNW bagi kehidupan atau tugas stakeholder K2 : Berapa besar perubahan zonasi mempengaruhi kehidupan atau tugas stakeholder K3 : Berapa besar tingkat ketergantungan stakeholder terhadap sumberdaya TNW K4 : Berapa besar manfaat yang diperoleh stakeholder dengan adanya kegiatan yang dilarang dan dan diperbolehkan di TNW K5 : Berapa besar tingkat akomodasi zonasi terhadap kearifan lokal P1 : Berapa besar kemampuan stakeholder dalam memperjuangkan aspirasi sehingga akhirnya dapat diakomodir dalam zonasi TNW P2 : Berapa besar kontribusi fasilitas yang diberikan stakeholder dalam proses penetapan zonasi TNW P3 : Berapa besar kapasitas SDM yang disediakan oleh stakeholder untuk ikut aktif dalam mendukung proses penetapan zonasi TNW P4 : Berapa besar tingkat keterlibatan stakeholder dalam proses penetapan zonasi TNW P5 : Berapa besar kemampuan stakeholder dalam membantu pelaksanaan zonasi TNW agar sesuai dengan yang telah disepakati atau ditetapkan
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
BTNW (KBTU) BTNW (KSPTNW II) BTNW (KSPTNW III) BTNW (KSPTNW I) BTNW (PEH) BTNW (PEH) BTNW (Polhut) BTNW (Penyuluh) BTNW (Perencana ) BTNW (Evlap) Bappeda Merauke (Kabid Ta ta Ruang) Bappeda Merauke (staf)
m. n. o. p. q. r. s. t. u. v. w. x. y.
Kabid Disbudpar Merauke Kabid Dishutbun Merauke Kabid Disperidgkop Merauke Sta f Distrik Merauke Sta f Distrik Sota Kepala Distrik Naukenjerai Kepala Kampung Wasur Kepala Kampung Yanggandur Kepala Kampung Kuler WWF Region Sahul Merauke WWF Region Sahul Merauke FKP-TNW (Tokoh agama) FKP-TNW (Perempuan)
z. aa. bb. cc.
Ketua LMA Marory Mengey Ketua LMA Malind Imbuti Ketua LMA Kanume Pengusaha Luar
dd. Pengusaha Lokal ee. Pengusaha Lokal
Gambar 1. Matriks hasil kepentingan dan pengaruh stakeholder