Aplikasi ZPT Padi Metode SRI
APLIKASI ZAT PENGATUR TUMBUH NAA DAN BAP PADA TANAMAN PADI SAWAH YANG DITANAM DENGAN METODE SRI (THE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION) (Growth and yield of rice in response to NAA and BAP under SRI (The System of Rice Intensification))
Sumardi1, Kasli2, A. Syarif2 , N. Akhir2, M. Kasim2, dan S. Anwar3 1 Dosen Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu 2 Dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang 3Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
ABSTRACT Yield improvement of rice can be accelerated by improving plant growth in the field. This can be managed by cultural technique and application of plant growth substance capable of improving the pattern of assimilates distribution, growth and development of particular organ. SRI (The System of Rice Intensification) is intended to improve plant yield while maintaining the quality and fertility of soil. Similarly, auxin, such as Naphtalene Acetic Acid (NAA) and cytokinin, such as Benzyl Amino Purine (BAP) can be used to improve the performances of stem and head of rice better than other growth substances. The objective of this study was to determine the concentration of plant growth substance that best for rice growth and yield under SRI. The study was conducted from April to July 2006 at Seed Service Center, Semarang, the Province of Bengkulu. The experiment was set up in a randomized complete block design with three replicates. The treatments were no plant growth substance, 60 ppm BAP, 60 ppm NAA, 40 ppm NAA + 60 ppm BAP, and 60 ppm NAA + 60 ppm BAP. Results indicated that BAP at 60 ppm produced the highest LAI (3.57), highest head number (24.12/hill), number of seed per head (128.91), highest 1000 dry grain (26.63 g) and dried seed (8.886 g/12. 5m2). Key words: NAA, BAP, system of rice intensification
PENDAHULUAN
A
khir-akhir ini masalah pangan menjandi isu nasional, dimana ratarata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.49%, sementara laju pertumbuhan beras nasional hanya 1.34%. Oleh karena itu pemerintah harus mengambil keputusan yang bijak dan tepat. Untuk jangka pendek sekalipun sebenarnya bukan merupakan keputusan yang tepat, namun untuk saat ini yang dianggap baik adalah mengimpor beras dari negara tetangga penghasil beras seperti Thailan, China dan Vietnam. Rata-rata volume impor beras nasional setiap tahunnya hingga tahun 2006 sebesar 2-2.5 juta ton beras (Sawit, 2006). Rata-rata produktivitas sawah beririgasi teknis di Indonesia masih tergolong rendah, yakni berkisar 4.66 ton/ha (Las, 2004). Rendahnya produktivitas padi sawah disebabkan antara lain pengelolaan lingkungan tumbuh yang dilakukan belum secara terpadu, sehingga belum memberikan lingkungan
ISSN 1979-0228
tumbuh yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan padi sawah. The System of Rice Intensification (SRI) yang dikembangkan di Madagaskar pada awal 1980-an oleh Father Henri de LaulaniƩ pada dasarnya adalah optimalisasi pengelolaan sub-sub sistem dalam ekosistem tanaman padi sawah. Selanjutnya sub-sub sistem tersebut akan bersinergi membangun dan memanfaatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan. Sub sistem lingkungan tumbuh akar yang diupayakan selalu dalam kondisi aerobik, bertujuan menyediakan suplai O2 yang cukup untuk respirasi akar dan mikroorganisme tanah. Sub sistem tanaman yang ditanam pada umur pindah bibit muda, bertujuan untuk mengurangi periode stagnasi dan memberikan kesempatan yang panjang untuk menghasilkan anakan secara optimal (Uphoff, 2003). Di Indonesia Balitpa mengembangkan Integrated Crop Management (ICM). ICM menyoroti 3 komponen utama yakni; 1)
121
Jerami Volume I No. 1, Januari - April 2008
pengelolaan air secara intermitten, 2) pengelolaan nutrisi dan 3) pemindahan bibit pada umur muda. Metode ini mampu menghasilkan rata-rata 6.9 t.ha-1, sedangkan pada tingkat petani produksi rata-rata 5.4 ton per hektar (Wardana et al., 2002). Konsep pengelolaan air secara intermitten pada dasarnya sejalan dengan konsep SRI. Pada SRI secara tegas menyatakan penggunaan air minimal, lahan cukup air untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi namun tidak sampai tergenang memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan yang tergenang secara terus menerus (Uphoff dan Randriamiharisoa, 2002). Dikaitkan dengan hasil penelitian Yang et al. (2002), menunjukkan, perlakuan kekurangan air yang masih pada batas toleransi (air tanah 0.025 Mpa setelah antesis) mengakibatkan remobilisasi karbon dari culm dan sheaths selama periode pengisian biji meningkat 47-61% untuk padi hibrid japonica/indica (J/I) dan 12-26% untuk hibrid indica/indica (I/I). Partisi karbon dari daun bendera ke biji juga meningkat antara 18-28%, dan laju pengisian biji meningkat 0.14-0.36 mg hari-1 biji-1 serta hasil biji meningkat sebesar 4.4-13.3%. Yang at al., (2003), mengemukakan bahwa perlakuan potensi air tanah -0.025 Mpa 9 hari setelah antesis pada dua galur hibrid indica Pei-Ai 645/Yangdao 6 dan Pei-Ai 64 S/E 32, dapat meningkatkan hasil yaitu berturut-turut seesar 10% dan 9% Secara ilmiah terbukti budidaya padi sawah dengan tidak mengenangi secara terusmenerus dapat meningkatkan hasil. Permasalahan lain yang masih menjadi perhatian adalah tingginya spikelet steril. Rata-rata persentase spikelet steril padatan tanaman padi sawah berkisar 24.2%-28.2% (Peng et al, 1999; Peng et al (2000). Upaya untuk mereduksi jumlah spikelet steril (gabah hampa) adalah dengan meningkatkan kekuatan sink, yaitu bagaimana meningkatkan kemampuan semua spikelet yang terbentuk untuk menarik fotosintat yang dihasilkan oleh surce, sehingga sesedikit mungkin spikelet yang telah terbentuk steril. Selanjutnya spikelet yang berada pada ujung malai akan bertambah volumenya sehingga meningkatkan kapsitas isinya (Venkateswarlu dan Visperas, 1987). Pada padi yang tergolong varietas unggul baru memiliki sifat sink limited, artinya organ 122
daun yang berfungsi sebagai source sebenarnya masih dapat menghasilkan asimilat, namun ukuran biji telah tetap (fixed). Sehingga di lapangan ketika bulir telah menguning (matang), daun masih berwarna hijau dan segar. Ada dua kemungkinan yang menjadi penyebab hal ini; 1) kekuatan sink menarik asimilat rendah dan 2 ) kapasitas yang dapat diisi asimilat terbartas. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan persentase spikelet fertil adalah dengan meningkakan kekuatan dan kapasitas sink. Hal ini berhubungan dengan mekanisme partisi asimilat. Pada tanaman termasuk di dalamnya padi sawah, yang berperan mengatur distribusi asimilat ke seluruh bagian tubuh tanaman adalah fitohormon. Kemampuannya sebagai regulator dapat ditingkatkan dengan menambahkan senyawa sejenis (sintetis) dari luar organ tubuh. Senyawa ini disebut dengan zat pengatur tumbuh (Plant Growth Regulator). Zat pengatur tumbuh bersifat spesifik dalam mempengaruhi proses fisiologi tanaman, seperti mempengaruhi pola partisi asimilat, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organ tertentu (Arteca, 1996). Aplikasi BAP pada konsentrasi 20 ppm menghasilkan rata-rata spikelet fertil 86.75% (kontrol 78.44%) dengan jumlah spikelet per malai 139 (kontrol 134 spikelet). Aplikasi BAP pada konsentrasi 25 ppm menghasilkan rata-rata spikelet fertil 85.78% dengan rata-rata jumlah spikelet per malai 153.05 (Sumardi, 2005). Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh jenis dan konsentrasi ZPT serta kemungkinan kombinasinya untuk meningkatkan kekuatan sink tanaman padi sawah yang dibudidayakan dengan SRI.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan Juli 2006. Dibudidayakan pada lahan sawah beririgasi teknis Balai Benih Pembantu (BBP) milik Dnas Pertanian Kota Bengkulu, bertempat di Desa Semarang, Kecamatan Sungai Serut, Kota Bengkulu. Percobaan merupakan faktor tunggal, yakni perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT), yang terdiri dari 5 taraf, yakni A = tanpa pemberian ZPT, B = pemberian BAP 60 ppm, C = pemberian NAA 60 ppm, D =
ISSN 1979-0228
Aplikasi ZPT Padi Metode SRI
pemberian NAA 40 ppm + BAP 60 ppm, dan E = pemberian NAA 60 ppm + BAP 60 ppm. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap, dengan 3 ulangan. Padi sawah yang digunakan varietas IR-64 dengan status benih Breeder Seed (BS). Teknik budidaya yang dilakukan mengacu pada SRI. Persiapan lahan dilakukan dengan olah tanah sempurna (OTS) menggunakan hand tracktor. Benih dipindahtanamkan setelah bibit berumur 10 hssb (hari setelah sebar benih). Bibit ditanam 1 batang per titik tanam, dengan sistim tandur jajar jarak tanam 25 X 25 cm. Untuk membangun kesuburan tanah setelah pengolahan tanah ke-2, ditambahkan bahan organik (pupuk kandang) kotoran sapi sebanyak 15 ton/ha. Zat Pengatur Tumbuh diaplikasikan pada saat tanaman berumur 56 hari setelah sebar benih, yaitu pada saat tanaman memasuki fase primordia. Aplikasi dilakukan pada sore hari (cuaca cerah) sekitar pukul 16.00-17.00 WIB, dengan cara menyemprotkan ZPT sesuai dengan jenis dan konsentrasinya ke seluruh bagian tanaman. Untuk mengambil kesimpulan dari perlakuan yang diberikan, dilakukan pengamatan pada parameter; tinggi tanaman, indeks luas daun, jumlah malai per rumpun, jumlah bulir per malai, berat 1000 biji, dan hasil gabah kering giling (12,5 m2).
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi tanaman merupakan salah satu paramater yang dijadikan indikator suatu respon tanaman terhadap perlakuan ZPT yang diberikan setelah dibandingkan dengan tanaman yang memperoleh perlakuan yang berbeda. Respon tersebut dapat bersifat negatif maupun positif, tergantung dengan tujuan yang diharapkan. Untuk tanaman padi sawah sebenarnya tanaman yang terlalu tinggi kurang diharapkan karena akan lebih rentan terhadap kerebahan. Tinggi tanaman padi sawah yang ideal untuk sutau varietas perlu dihubungkan dengan komponen hasil lainnya. Auksin adalah senyawa kimia organik dengan karakteristik yang memiliki kapasitas memacu pemanjangan sel pucuk pada daerah sub apikal. Auksin secara umum mempengaruhi proses-proses lainnya selain pemanjangan sel, tetapi pemanjangan sel
ISSN 1979-0228
merupakan hal yang paling utama, sedangkan sitokinin mempunyai kemampuan memobilisasi asimilat ke daerah yang memperoleh perlakuan dengan sitokinin secara eksogen (Arteca, 1996). Indeks luas daun merupakan perbandingan antara luas daun total per rumpun dengan luas tegakannya. Luas tegakan yang dimaksud adalah jarak tanam yang digunakan. Indeks luas daun sangat ditentukan oleh luas daun total. Pada tanaman padi sawah luas daun disamping ditentukan oleh luas daun per individu daun, juga sangat dipengaruhi oleh jumlah anakan yang dihasilkan. Berdasarkan fungsinya daun sebagai organ utama sebagai source, maka indeks luas daun erat hubungan dengan laju pertumbuhan tanaman. Indeks luas daun optimal tercapai jika laju pertumbuhan tanaman tidak lagi memberikan respon terhadap peningkatan indeks luas daun. Secara logis untuk meningkatkan laju pertumbuhan tanaman upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan luas daun hingga tercapai indeks luas daun yang optimum. Suatu metode yang lazim digunakan untuk mengatur luas daun adalah dengan mengatur kerapatan tanaman per satuan luas lahan dan perlakuan pemupukan, baik pupuk anorganik maupun pupuk organik. Jumlah anakan yang dihasilkan oleh tanaman padi sawah sangat ditentukan oleh periode pilkron yang dimiliknya hingga tanaman menghasilkan malai. Satu periode pilokron membutuhkan 5-7 hari tergantung dengan kondisi lingkungan. Pada kondisi yang optimum fase vegetatif tanaman padi dapat berlangsung selama 12 pilokron sebelum tanaman menghasilkan malai. Upaya untuk mencapai periode pilokron yang panjang adalah dengan memindahkan bibit pada umur yang masih muda. Saat yang paling baik untuk transplanting bibit adalah selama pilokron ke-2 atau maksimum ke-3, sehingga tidak ketinggalan fase berlipat (eksponensial) yang dimulai pada pilokron ke4 (Berkelaar, 2001), anakan (tillering) secara eksponensial mulai terlihat pada pilokron ke-8. Bibit dengan umur 8-15 hari dengan 2 daun kecil pertanda tanaman belum mulai pertumbuhan pilokron ke-4 (Uphoff, et al., 2002).
123
Jerami Volume I No. 1, Januari - April 2008
Tabel 1.
Tinggi tanaman, indeks luas daun dan jumlah malai per rumpun, akibat pemberian zat pengatur tumbuh BAP dan NAA Rata-rata Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Indeks luas daun Jumlah malai per rumpun Tanpa ZPT 93.76 b 2.25 b 21.73 b BAP 60 ppm 101.80 a 3.57 a 24.12 a NAA 60 ppm 102.72 a 3.33 a 23.00 a BAP 60 ppm+NAA 40 ppm 97.72 ab 3.28 a 23.82 a BAP 60 ppm + NAA 60 ppm 94.94 b 2.23 b 21.27 b
Angka-angka pada pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5 %
Berat 1000 biji juga merupakan sifat yang diturunkan induknya, yang menggambarkan besarnya ukuran biji. Namun sifat ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang diterimanya. Zat pengatur tumbuh NAA dari golongan auksin dan BAP dari golongan sitokinin ternyata mampu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan biji, sehingga berat 1000 biji menjadi berbeda dengan perbedaan perlakuan yang diberikan. Bertambah besarnya berat 1000 biji berarti terjadi pertambahan ukuran volume pada organ sink, yakni bulir. Artinya aplikasi ZPT pada tanaman padi sawah dapat meningkatkan ukuran sink dan meningkatkan kekuatan sink menarik asimilat yang dihasilkan oleh source. Berdasarkan parameter yang diamati aplikasi BAP 60 ppm dan NAA 40 ppm memberikan hasil yang lebih baik dengan tanpa ZPT dan BAP 60 ppm dan NAA 60 ppm sedangkan tanpa ZPT sama baik dengan BAP 60 ppm dan NAA 60 ppm. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Weaver (1972) dalam Arteca (1996) bahwa benzyl amino purine (BAP) mempengaruhi pembelahan sel, pembentukan organ, pembesaran sel dan organ, mengatur meningkatkan kecepatan translokasi asimilat ke jaringan yang diperlakukan dengan benzyl amino purine secara eksogen. Kecepatan translokasi produk fotosintesis seperti sukrosa untuk ditranslokasikan dari daun ke berbagai organ pengguna (sink) akan menentukan laju fotosintesis oleh daun. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa pemotongan biji atau buah yang sedang tumbuh (pengguna kuat) akibatnya menghambat proses fotosintesis beberapa hari kemudian, khususnya pada daun terdekat dengan yang biasanya mengirim produk fotosintesis ke organ tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan demikian adalah terjadinya pembentukan butir-butir pati pada kloroplas,
124
ketika trnaslokasi lambat dan fotosintesis cepat. Selanjutnya butir pati akan menakan tilakoid sehingga sangat rapat di dalam kloroplas, dan secara fisik menghambat cahaya mencapai tilakoid yang selanjutnya menyebabkan proses fotosintesis terhambat (Salisbury dan Roos, 1995). Hasil ini memberikan informasi bahwa zat pengatur tumbuh BAP 60 ppm dan NAA 60 ppm secara sendiri-sendiri maupun kombinasi BAP 60 ppm dengan NAA 60 ppm dapat digunakan untuk membantu mengarahkan dan mempercepat translokasi serta partisi asimilat ke biji lebih banyak dibandingkan ke jerami. Menurut Hopkins, (1995) ada dua faktor utama yang mempengaruhi kekuatan sink pada biji, yaitu turgor sel dan hormon. Kandungan sitokinin pada biji lebih tinggi pada kondisi pengairan yang baik dibandingkan dengan stres air, terutama setelah pertengahan sampai akhir fase pengisian biji. Hasil penelitian ini sejalan dengan Yang et al., (2001b) yang mengemukakan bahwa peningkatan kandungan sitokinin dan IAA pada biji pada awal fase pengisian biji berhubungan erat dengan laju peningkatan pengisian biji. Kandungan sitokinin dan IAA maksimun tercapai sebelum tercapainya laju pengisian biji maksimum, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa sitokinin dan IAA berperan sebagai regulasi pada fase awal pengisian biji pada padi. Hal ini tentu berkorelasi positif dengan berat 1000 biji. Berat 1000 biji adalah suatu indikator untuk melihat kekuatan sink, yaitu kemampuan organ sink dalam hal ini biji untuk menarik asimilat hasil fotosintensis. Semakin besar kekuatan sink akan mempengaruhi proporsi asimilat yang dipartisi ke jerami. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pengaruh yang berantai dan positif akibat pemberian zat pengatur tumbuh BAP dan NAA masing-masing dengan konsentrasi
ISSN 1979-0228
Aplikasi ZPT Padi Metode SRI
60 ppm. Dimulai dari indeks luas daun, jumlah malai per rumpun (anakan produktif), jumlah bulir per malai, berat 1000m biji, hingga pada akhirnya hasil gabah, yakni gabah kering giling,
seperti yang disajikan pada Tabel 1 dan 2. Artinya zat pengatur tumbuh BAP pada konsentrasi 60 ppm memberikan pengaruh yang simultan.
Tabel 2.
Jumlah bulir per malai, berat 1000 biji dan hasil GKG per plot akibat pemberian zat pengatur tumbuh BAP dan NAA Rata-rata Perlakuan Jumlah bulir per GKG per plot (g) Berat 1000 biji (g) malai (12.5 m2) Tanpa ZPT 119.61 b 24,13 c 5.094 b BAP 60 ppm 128.91 a 26,63 a 8.886 a NAA 60 ppm 118.27 bc 25,18 b 8.262 a BAP 60 ppm+NAA 40 ppm 116.39 bc 26,31 ab 7.830 a BAP 60 ppm + NAA 60 ppm 112.64 c 25,27 b 5.196 b
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5 %
Menurut Yang et al., (2002), dikemukakan bahwa padi hibrid japonica/indica heterosis memiliki kekuatan sink yang rendah, hal ini disebabkan rendahnya aktivitas sink (kandungan ATP, Polyamine, IAA dan aktivitas enzim yang berhubungan dengan sintesis pati di dalam biji) selama pengisian biji. Translokasi asimilat dan remobilisasi asimilat yang tersimpan pada jerami ke biji selama periode pengisian biji pada I/I Hs berkisar sekitar 64%. Pada saat matang hanya 44.1% dari 14C yang ada pada daun bendera yang dipartisi ke biji dan sisanya tertinggal di jerami dan daun. Peningkatan kandungan sitokinin dan IAA pada biji pada awal fase pengisian biji berhubungan erat dengan laju peningkatan pengisian biji. Kandungan sitokinin dan IAA maksimun tercapai sebelum tercapainya laju pengisian biji maksimum, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa sitokinin dan IAA berperan sebagai regulasi pada fase awal pengisian biji pada padi (Yang et al., . Wang, 2001).
KESIMPULAN 1. Tanaman padi sawah varietas IR-64 yang dibudidayakan dengan metode SRI memberikan respon yang positif terhadap aplikasi zat pengatur tumbuh, khususnya golongan auksin dari jenis NAA (Nafthalene Acetic Acid) dan golongan sitokinin dari jenis BAP (Benzyl Amino Purine). 2. Penggunaan NAA dan BAP secara bersama menghasilkan respon yang lebih rendah dibandingkan jika diaplikasn secara tunggal
ISSN 1979-0228
3. Konsentrasi BAP 60 ppm diaplikan secara tunggal memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan aplikasi NAA pada konsentrasi yang sama, serta penggunaan secara bersama-sama.
DAFTAR PUSTAKA Arteca, R.N., 1996. Plant Growth Substances, Principles and Aplications. Chapman & Hall. Dept. BC. 115 Fifth Avenue, New York. Berkelaar, D., 2001. Sistem intensifikasi padi (The System of Rice Intensification-SRI). Sedikit dapat memberi lebih banyak. Buletin ECHO Development Notes, Januari 2001. ECHO Inc. 17391 Durance Rd. North Ft. Myers F1.33917 USA. Pp. 1-6. Hopkins, W.G. 1995. Introduction to Plant Physiology. The University of Western Las, I., 2004. Inovasi teknologi tanaman padi untuk sistem pertanian berkelanjutan. Indonesian Institiute for Rice Research (IIRR), Sukamandi. Makalah Pelatihan Peningkatan SDM Perguruan Tinggi dalam Penemgangan Sistim Pertanian Berkelanjutan. Padang, 2-6 Desember 2004. Peng, S., K.G.Cassman, S.S. Virmani, J. Sheehy and G.S. Khus, 1999. Yiel potential trends of tropical rice the relese of IR8 and the challenge of increasing rice yield potential. Crop Sci. 39:1552-1559. Peng, S., R.C. Laza, R.M. Visperas, A.L. Sanico, K.G. Cassman, and G.S. Khus, 2000. 125
Jerami Volume I No. 1, Januari - April 2008
Grain yield of rice cultivars and lines developed in the philippines since 1966. Crop Sci. 40:307-314. Salisbury, F. B., and C.W. Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan. ITB, Bandung. Sawit, M.H., 2006. Indonesia dalam tatanan perubahan perdagangan beras dunia. Makalah BPS di Rakornas Inpres, Yogyakarta 1-2 Mei 2006. Sumardi, 2005. Pengujian 5 jenis zat pengatur tumbuh terahap produktivitas padi IR64. Penelitian Pendahuluan Disertasi PPs UNAND. Tidak dipubikasikan. Uphoff, N., and R. Randriamiharisoa, 2002. Reducing water use in irrigated with the System of Rice Intensification (SRI). Proceedings Of A Thematic Workshop on Water-Wise Rice Production, 8-11 April 2002 at IRRI Headquarters in Los Banos, Philippines. Uphoff, N., K.S. Yang, P. Gypmantasari, K. Prinz, and H. Kabir, 2002c. The system of rice intensification (SRI) and its relevance for food security and natural resources management in Southeast Asia. International Symposium Sustaining Food Security and Managing Natural Resources in Southeast Asia, Challengest for 21 th Century, January 811,2002 at Ciang Mai, Thailand. Uphoff, N., 2003. Initial Report on China National S.R.I. Workshop. Hangzhon, March 2-3,2003.
Venkateswarlu, B., and R.M. Visperas, 1987. Source-Sink Relationships in Crop Plants. International Rice Research Institute. Manila, Philippines. Wardana, I.P., P.S. Bindraban, A. Gani, A.K. Makarim, and I. Las. 2002. Biophysical and Economic Implication of Integrated Crop and Resource Management for Rice in Indonesia. Proceedings Of A Thematic Workshop on Water-Wise Rice Production, 8-11 April 2002 at IRRI Headquarters in Los Banos, Philippines. Yang, J., J. Zhang, Z. Wang and Q. Zhu. 2001a. Activities of starch hydrolitic enzymes and sucrose-phosphate in the stems of rice subjected to water stress during grain filling. Journal of Experimental Botany. 52(364):2169-2179. Yang, J., J.Zhang, Z. Wang, 2001b. grains of rice during grain 127:315-323.
Wang, Q. Zhu, and W. Hormonal cange in the subjected to water stress filling. Plant Physiol.
Yang, J., J. Zhang. L. Liu, Z. Wang, and Q. Zhu, 2002. Carbon remobilization and grain filling in japonica/indica rice subjected to postanthesis water deficits. Agron. Yang, J., J. Zhang, Z. Wang, L. Liu and Q. Zhu, 2003. Posanthesis water deficits enhance grain filling in two-line hybrid rice. Crop. Sci. 43:2099-2108.J. 94:102-109.
------------------------------oo0oo------------------------------
126
ISSN 1979-0228