APLIKASI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN PADA SEKOLAH-SEKOLAH MENENGAH KEC. KRESEK BALARAJA BANTEN
Oleh: LAELATUSSA’ADAH 102018224095
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1427 H/2007 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “APLIKASI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN PADA SEKOLAH-SEKOLAH KEC. KRESEK BALARAJA BANTEN”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Nopember 2006, skripsi ini telah diterima sebagaisalah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Kependidikan Islam, Program Studi Manajemen Pendidikan. Jakarta, 16Nopember 2006 Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Anggota
Sekretaris Merangkap
Prof. Dr. Rosyada,MA
Prof. Dr. Aziz Fahrurrozi, MA
NIP. 150 231 356
NIP. 150 202 343
Anggota Penguji I
Penguji II
Dra. Hj. Fadhilah Suralaga, M. Si NIP. 150 215 283
Dra. Yefnelti Z,M.P d NIP. 150 209 382
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas segala rahmat dan taufiq-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Kependidikan Islam-Manajemen Pendidikan dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan bantuan, bimbingan serta motivasi. Sehubungan dengan itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan dan menyelesaikan skripsi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Dra. Yefnelti, Ketua Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syraif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Drs. Syauki, MPd, Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Dra. Hj. Ery Rossatria, M. Ag dan Bapak Drs. Agus Salim, MM, Dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan petunjuk-petunjuk yang berharga kepada penulis, sehingga skrpsi ini dapat terselesaikan.
5. Seluruh dosen fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang dengan ikhlas menaburkan ilmu-ilmunya kepada penulis semoga Allah SWT menerima segala amal baik mereka. 6. Pegawai Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melengkapi referensi dalam penyelesaian skripsi. 7. Pegawai Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melengkapi referensi dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Seluruh Kepala Sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menggali informasi yang ada disekolah. 9. Bagian Tata Usaha serta dewan guru dan siswa-siswi Sekolah Menengah Kec.Kresek Balaraja yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 10. Sembah sujud padamu ayahanda tercinta H. Khalwani (Alm) dan ibunda tersayang Hj. Badi’ah, atas segala kasih sayang dan kesabaran dalam mendidik ananda. Thank’s bangat wat kakak-kakakku tersayang yang ga’ bisa ell sebutin satu persatu (C0z banyak buanget), n’ keponakan-keponakanku yang lucu2 (sayang Bilah ucapin makasih banyak ya). Keluarga besar paman H. Unsil Habib Mansyur yang ada di Saudi Arabia (makasih banyak ya paman atas segala bantuannya). Nenek-nenekku tersayang (makasih atas do’anya). Pokoknya ell sayang banget….. 11. Sahabat-sahabatku: “Dian n’ Edot (makasih atas nasehat n’ bantuan selama ini, gw sayang banget ma lo), amel, upay (thank’s buanget y), rika, the ti2n ienda, K’yogi, fery, iszoer, marlin, paseh, arob, kakek, erwin, uni (kpn nich qt jln2 lg, aturnuhun y), sahabtku angkatan 2002 Lisna, pi2n, ika, salman, memes, rahmah, isma” (maf y gw da ga sopan ma lo2 pd, sory gw duluan y), n’ yang terakhir biasa gw panggil “Uda-Qu”, (say selama ini km yang bikin el
tegar dalam menghadapi hidup ni n’ da bantuin el wat nyelesain skripsi ini, makasih ya). 12. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan dalam ucapan terima kasih ini, yang telah memberi bantuan moril maupun materil kepada penulis hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini. Tidak ada yang dapat penulis berikan kepada semua pihak yang telah membantu, kecuali mendo’akannya. Semoga budi baik dari semua pihak mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amiiiiiin…… Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak-pihak yang memerlukannya.
Jakarta, November 2006
Penulis,
, DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SIDANG........................................... ii KATA PENGANTAR...................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 10 C. Pembatasan Masalah ........................................................................... 10 D. Perumusan Masalah............................................................................. 11 E. Manfaat Penelitian............................................................................... 11 F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 12
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Gender dan Kesetaraan Gender ......................................... 14 B. Aplikasi Kesetaraan Gender dalam Pendidikan .................................. 17 1. Landasan Teori Studi Gender .................................................. 19
2. Landasan Hukum Gender ........................................................ 22 3. Prinsip Kesetaraan Gender ...................................................... 23 4. Fungsi dan Relasi Keberadaan Gender.................................... 29 C. Pendidikan ........................................................................................... 35 1. Pengertian Pendidikan ............................................................. 35 2. Tujuan Pendidikan................................................................... 37 D. Gender Mainstreaming ........................................................................ 39 1. Pengertian Gender Mainstreaming .......................................... 39 2. Faktor-faktor Pendukung Gender Mainstreaming................... 41 3. Kebijakan Pendidikan Berkesetaraan Gender ......................... 46 E. Kerangka Berfikir ................................................................................ 48 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN vi A. Tujuan Penelitian.............................................................. 53 B. Disaen Penelitian ..................................................................... 53 C. Waktu Penelitian ..................................................................... 54 D. Populasi dan Sampel................................................................ 54 E. Jenis Penelitian ........................................................................ 55 F. Tehnik Pengumpulan Data ...................................................... 56 G. Variabel Penelitian .................................................................. 58 H. Kisi-kisi Instrumen .................................................................. 59 I. Tehnik Pengolahan Data.......................................................... 60
BAB IV
HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Obyek Penelitian....................................... 63 B. Pembelajaran Berspektif Gender............................................ 65 1.
Proses Pembelajaran ....................................................... 65
2.
Proses Pengelolaan Manajemen Kesiswaan Berspektif Gender ............................................................................ 79
C. Analisis Kesetaraan Gender dalam Pendidikan dan Profil Manajemen di Sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja ...... 91
BAB V
1.
Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan............................. 91
2.
Profil Manajemen Pendidikan.......................................... 93
PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................ 100 B. Saran...................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
3.1
Variabel penelitian dan indikator manajemen pendidikan........................ 59
3.2
Kisi-kisi instrumen .................................................................................... 59
4.1
Proses pembelajaran pendidikan di sekolah bertujuan mengembangkan berbagai aspek pada peserta didik baik laki-laki maupun perempuan...... 65
4.2
Dalam kegiatan belajar mengajar lebih berpartisipasi .............................. 66
4.3
Lebih lengkap dan rapih buku catatan pelajaran...................................... 66
4.4
Lebih lengkap buku referensi/pelajaran .................................................... 67
4.5
Bertugas memasang jadwal piket.............................................................. 68
4.6
Lebih sering ditugaskan ke depan ............................................................. 68
4.7
Lebih sering bertanya................................................................................ 69
4.8
Lebih tepat waktu dalam mengumpulkan tugas........................................ 70
4.9
Lebih berpartisipasi dalam kegiatan kelompok/diskusi ............................ 70
4.10
Menjadi ketua kelas .................................................................................. 71
4.11
Menjadi sekretaris ..................................................................................... 72
4.12
Menjadi bendahara .................................................................................... 72
4.13
Menjadi konsumsi ..................................................................................... 73
4.14
Menjadi humas .......................................................................................... 73
4.15
Menjadi pemimpin upacara....................................................................... 74
4.16
Menjadi peserta upacara............................................................................ 75
4.17
Bila terlambat dibei sangsi lebih berat ...................................................... 75
4.18
Perlakuan harus berbeda ........................................................................... 76
4.19
Tugas piket siswa perempuan menyapu lantai.......................................... 76
4.20
Tugas piket siswa laki-laki membuang sampah........................................ 77
4.21
Tugas piket laki-laki membersihkan papan tulis....................................... 77
4.22
Siswa diberikan kesempatan yang sama dalam proses belajar ................. 78
4.23
Siswa lebih rapih dalam penyampaian laporan......................................... 78
4.24
Dalam kegiatan praktikum bertugas membersihkan alat-alat praktikum.. 79
4.25
Proses pengelolaan manajemen pendidikan mengembangkan keahliankeahlian ..................................................................................................... 80
4.26
Berkonsultasi sebelum memilih jurusan ................................................... 80
4.27
ix Jurusan/Program studi IPS ........................................................................ 81
4.28
Jurusan/Program studi IPA ....................................................................... 81
4.29
Jurusan/Program studi bahasa ................................................................... 82
4.30
Jurusan/Program studi keahlian komputer ................................................ 82
4.31
Jurusan/Program studi tata boga ............................................................... 83
4.32
Jurusan/Program studi tata busana ............................................................ 83
4.33
Juruisan/Program studi akuntansi ............................................................. 84
4.34
Jurusan/Program studi sekretaris .............................................................. 84
4.35
Jurusan/Program studi mesin .................................................................... 85
4.36
Jurusan/Program studi matematika ........................................................... 86
4.37
Jurusan/Program studi farmasi.................................................................. 86
4.38
Jurusan/Program studi kesenian................................................................ 87
4.39
Jurusan/Program studi teknik industri....................................................... 87
4.40
Jurusan/Program studi pariwisata ............................................................. 88
4.41
Jurusan/Program studi perhotelan ............................................................. 88
4.42
Jurusan/Program studi kesejahteraan keluarga ......................................... 89
4.43
Jurusan/Program studi bisnis .................................................................... 89
4.44
Jurusan/Program studi penjualan .............................................................. 90
4.45
Jumlah kepala sekolah dan guru menurut jenis kelamin........................... 94
4.46
Jumlah siswa menurut jurusan dan jenis kelamin ..................................... 96
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan, termasuk kemajuan dalam bidang teknologi informasi. Hal ini, telah membuka kesempatan bagi umat manusia untuk mengakses semua informasi global, yang mengakibatkan terjadinya gejala dunia tanpa batas (bordless world). Peristiwa yang tejadi disuatu belahan dunia, dapat dengan mudah dan cepat diketahui oleh masyarakat di bagian dunia lainnya. Demikian juga dengan masalah kesetaraan gender. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan manusia tersebut untuk mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia, dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota masyarakat, yaitu kepada peserta didik. Mengingat belajar adalah proses bagi peserta didik dalam membangun gagasan atau pemahaman sendiri, maka kegiatan belajar hendaknya memberikan kesempatan kepada peserta didik antara laki-laki dan perempuan, untuk melakukan hal itu secara lancar dan termotivasi.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dua tujuan. Pertama, sebagai hamba-Nya yang selalu taat menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, sebagai khalifah dimuka bumi yang mampu memimpin mulai dari dirinya sendiri, orang lain, hingga bangsa ataupun dunia. Dalam kapasitas sebagai hamba dan khalifah tidak ada diskriminasi bagi laki-laki dan perempuan, mereka sama-sama mempunyai potensi. Pendidikan merupakan kata kunci yang menjadi elemen penting dalam kehidupan masyarakat. Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu proses belajar dan penyesuaian setiap individu secara terus menerus terhadap nilainilai budaya dan cita-cita masyarakat.”1 Qasim Amin, seorang pembaharu Mesir meletakkan pendidikan sebagai “isu utama gerakannya”,2 karena menurutnya pendidikan merupakan salah satu pintu untuk melakukan perubahan. Telah banyak tokoh pendidikan di Indonesia seperti Mahmud Yunus, Zainuddin Labai El Yunusi, H. A. R. Tilaar, Mastuhu, Arif Rahman dan Azyumardi Azra, yang berbicara mengenai pendidikan perempuan di Indonesia. Sedangkan tokoh pendidikan yang berbicara dan memperjuangkan pendidikan perempuan antara lain Rahman El Yunusiah, R. A. Kartini, dan Dewi Sartika, selain itu ada yang memperjuangkan melalui organisasi masyarakat Islam, seperti Nyai Ahmad Dahlan, dan Nyai Sholihah Wahid Hasyim.
1
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), Cet ke-1. h, 4 2 Ala’i Najib, Yang Luput: Pendidikan Perempuan, Swara Rahima No. 7, (Maret 2003), h. 16, 18
Begitu banyak penelitian, seminar, tentang pendidikan perempuan di Indonesia, diduga bahwa “budaya dan interpretasi agama sepertinya menjadi salah satu halangan terbesar bagi progresivitas perempuan.”3 Hal ini sangatlah beralasan, apabila melihat suatu kenyataan, dan mengingat sejarah pada zaman dahulu bahwasannya masyarakat kita yang patriarkis telah melakukan domestikasi perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan. Berabadabad perempuan diposisiskan pada sebuah citra baku yaitu masak (memasak), macak (bersoleh), dan manak (melahirkan), dalam hal ini biasa didengar dengan singkatan 3M. Perempuan merupakan kata yang identik dengan kelembutan, cinta, dan kasih sayang. Perempuan sebagai sosok yang sangat istimewa, karena keistimewaan perempuan itulah maka perbincangan tentang perempuan tidak akan pernah habis untuk dibahas. Perempuan kata sebagian orang adalah keajaiban kedelapan setelah tujuh keajaiban dunia. Sejak keberadaannya, pembahasan soal perempuan telah menghabiskan berjuta-juta lembar kertas kerja dan jurnal, dari tulisan yang paling ringan semacam novel, sampai kajian yang serius dimeja seminar. Itulah gambaran tentang perempuan. Zaman berubah, musim berganti. Abad keduapuluh datang dicirikan dengan bangkitnya semangat pengkajian terhadap eksistensi perempuan. Tuntutan-tuntutan berubah sebagai akibat dikenalnya istilah yang belakang hari terus berkembang, yaitu
3
Nurul Azkiyah, Keterkaitan Pendidikan Formal Perempuan dan Dunia Pembangunan, dalam jurnal perempuan No. 23, Tahun 2002,. hal. 15
emansipasi perempuan. Gerakan perempuan awalnya bertolak pada kesetaraan pendapatan dalam dunia kerja antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, gerakan emansipasi yang mengusung isu gender ini tidak liput merambat dalam bidang politik. Banyak diketahui bahwa perempuan kurang terimplementasikan dalam parlemen dalam hampir semua negara di dunia. Terlepas dari progresivitas pendidikan mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Miki Caul, “perempuan dalam parlemen rata-rata hanya mencapai 12% dari keseluruahan anggota parlemen.”4 Prosentase perempuan di DPR/MPR, demikian pula prosentase perempuan di daerah juga tidak kalah sedikit. Ini bisa mengacu pada terfokusnya isu feminisme di daerah kota terutama wilayah ibu kota negara, yang bisa menjadi bahaya tersendiri dari diberlakukannya disentralisasi. Tanpa bermaksud mengatakan bahwa disentralisasi cenderung memiliki efek negatif, isu gender dalam disentralisasi perlu lebih ditekankan dan dijadikan agenda tersendiri. Gender sebagai pembagian fungsi sosial bukanlah persoalan selama menimbulkan keadilan sosial. Pada masa masyarakat pra-primitif, umpamanya, pada saat itu para antropolog mensinyalir telah terciptanya keadilan sosial dan kesetaraan gender. Menurut riset para antropolog pada babak masyarakat pra-primitif yang dikenal sebagai masyarakat liar (savage society), sekitar satu juta tahun yang lalu, sistem masyarakat saat itu menganut pola keibuan (material system). Perempuan
4
Miki Caul, Womens Representation In-Parlement:The Rok of Political Pasties, Party Politics, (London: Sage Publication, 1999), Vol, 5, No. 1, hal. 79-98
lebih dominan dalam pembentukan suku dan ikatan keluarga. Menurut para antropolog, “pada babak ini terjadinya keadilan sosial dan kesetaraan gender.”5 Perempuan dan laki-laki berasal dari unsur yang sama yaitu tanah, yang berarti perempuan dan laki-laki itu setara tidak ada kelebihan yang satu dengan yang lain. Dari segi asal kejadian, namun bagaimanapun juga antara keduanya itu tetap ada perbedaan yang mendesak. Baik dari segi fisik maupun mental, tetapi perbedaan itu hanya sekedar untuk membedakan kelompok masing-masing, tidak menunjukan satu lebih mulia dari yang lain atau satu yang berkuasa atas yang lainnya. “Rasional dan logis merupakan ciri maskulin, realistis dan pragmatis merupakan ciri feminim.”6 Dalam suatu pengambilan keputusan membutuhkan adanya suatu pendekatan diantaranya teori dan kajian empirik untuk memberi adanya suatu pertimbangan objektif, inovatif, dan intuitif yang disertai adanya suatu keterlibatan emosional. Masyarakat Kec. Kresek Balaraja, Peranan laki-laki dalam lapangan pekerjaan serta kegiatannya adalah diluar rumah. Sementara peranan perempua dalam lapangan pekerjaan dan kegiatannya adalah di dalam rumah. Dengan demikian, masing-masing mempunyai peranan dan tugas sendiri sesuai dengan pembawaan dan naluri yang telah digariskan Allah ta’ala. “Bila laki-laki bertugas untuk memproduksi materi dan
5
Evelyn Reed, Women’s Evolutions From Matrialchal Clenro Patrialchal Family A. Nunuk P. Murniah, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, (Magelang: IndonesiaTera, 2004), Cet ke-2, h. 57 6
pengelolaannya maka perempuan memproduksi generasi manusia itu sendiri dan mendidiknya.”7 Di sini tampak betapa pentingnya peranan dan pengaruh perempuan terhadap generasi mendatang. Rasulullah SAW telah memberikan kabar gembira bahwa orang yang mendidik dua orang anak gadis dengan pendidikan Islam ia akan mendapatkan surga, anak gadis sekarang adalah ibu rumah tangga di masa mendatang. Perempuan yang dapat mengendalikan buaian dengan tangan kanannya, ia akan dapat mengendalikan dunia dengan tangan kirinya, ketika ia melahirkan para pemimpin, ahli pikir, reformasi akidah umat dan pahlawan kebenaran yang dibanggakan umat. “Sektor yang paling strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender adalah sektor pendidikan.”8 Alasan yang paling sederhana adalah pada dunia modern seperti sekarang ini, yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yang paling menonjol adalah perbedaan kemampuan intelektualnya. Di mana konsep “mencari nafkah” telah berubah makna dan dapat disederhanakan menjadi “mencari uang”, dan segala keperluan sandang, pangan, dan perumahan dapat ditukar dengan uang. Dalam kehidupan sekarang ini, soal mencari atau mendapatkan uang, boleh jadi kaum perempuan lebih efektif. Apabila tingkat pendidikan antara laki-laki dan perempuan sudah setara, maka tidak ada lagi alasan untuk membedakan laki-laki dan perempuan.
7
Muhammad Al-khalaf, Pengaruh Wanita terhadap generasi kini dan esok, (Jakarta: CV. Firdaus, 1992), Cet ke-1, h. 1 8 Ace Suryadi, Kesetaraan Gender Dalam Bidang Pendidikan, (Bandung: PT GENESINDO, 2004), Cet ke-1. h, i
Kedudukan perempuan tidak dibatasi dalam mengatualisasikan dirinya hanya pada sektor “dapur, sumur, dan kasur”’ saja, tetapi ia juga dapat membantu suaminya mencari nafkah dan mengurus rumah tangganya terutama pendidikan anak-anaknya, dan juga dituntut untuk dapat ikut ambil bagian dalam perkembangan masyarakat dan pembangunan negaranya. Seperti dalam pandangan gender bahwa perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya tidak dibatasi dan dibedakan dengan laki-laki. Laki-laki dan perempuan diciptakan dari unsur yang sama, karena yang membedakan posisi dan kedudukan perempuan dari kaum laki-laki adalah bentuk budaya atau lingkungan masyarakat tertentu. Seperti yang diungkapkan dalam buku Siti Musda Mulya yang berjudul Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam, bahwa gender adalah seperangkat sikap, peran,tanggung jawab, tugas, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan. Akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan, jadi gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peranan-peranan dan tanggung jawab lakilaki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai perubahan zaman dengan perbuatan gender, maka melahirkan peran sosial. Adanya kodrat bagi perempuan sering digunakan untuk mengecilkan peran sosial perempuan dalam masyarakat. Istilah ini terus digunakan di dalam masyarakat sampai saat ini. Adanya kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan secara genetik berbeda, tanpa memberikan penjelasan secara tuntas. Maka kesimpulan tersebut dapat dijadikan legitimasi terhadap realitas sosial yang menempatkan perempuan dalam
anggapan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex). “Pandangan menganaktirikan terhadap kodrat perempuan seringkali dihubungkan dengan norma Agama.”9 Dalam pranata sosial yang berkembang, pemahaman tentang kodrat bahwasannya laki-laki diatas perempuan. Secara khusus perempuan lebih banyak bersifat pelarangan-pelarangan atau pembedaan peran sosial-budaya perempuan. “Perbedaan peran budaya ini biasanya diistilahkan dengan beban gender (gender assegment).”10 Apabila kesetaraan dalam bidang pendidikan telah tercapai, kemudian di dalam keluarga masih terjadi hubungan patriarhi, maka tidak perlu dipersoalkan. Hubungan patriarhi yang membagi dan membedakan tugas perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan keluarga, tidaklah perlu dipermasalahkan apabila kondisi tersebut merupakan pilihan keluarga dan tidak merugikan perempuan. Hal yang perlu diwaspadai adalah efek negatif dari hubungan patriarhi yang telah mengubah konsep “perlindungan” menjadi “penguasaan laki-laki” terhadap perempuan. Efek negatif inilah yang perlu dipermasalahkan dan dicegah, diantaranya melalui kesetaraan pendidikan dan perlindungan hukum bagi perempuan.
9
Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan Dalam Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), Cet ke-1, h. 2 10 Ibid., h. 8
Hal yang sering dipermasalahkan oleh kaum perempuan adalah apabila penguasaan laki-laki terhadap perempuan kemudian berubah menjadi sebuah penindasan, penyelewengan dari konsep hubungan patriarhi seperti ini yang sangat merugikan kaum perempuan. Sudah berabad-abad masalah perempuan diupayakan untuk diselesaikan. Tetapi, tampaknya perjalanan untuk mewujudkan solusi itu masih jauh. Upaya peningkatan pengetahuan perempuan melalui pendidikan khusus perempuan sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Namun, upaya itu belum mencapai hasil dan tahap ideal. Dalam proses pembelajaran masih saja perempuan dan laki-laki dibedakan, baik dalam materi pembelajaran, tehnik penyampaian, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran, serta tentang proses manajemen pendidikan dalam sekolah. Hal ini yang pernah ada pada sekolah Kec. Kresek Balaraja. Berdasarkan pemikiran latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui proses pendidikan pada sekolah menengah di daerah Kec. Kresek Balaraja yang berkesetaraan gender. Penulis akan melakukan penelitian dan menulisnya dalam sebuah skripsi yang berjudul “APLIKASI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN DI SEKOLAH-SEKOLAH MENENGAH KEC. KRESEK BALARAJA BANTEN.”
B. Identifikasi Masalah 1. Profil gender pada pendidikan menengah di Kec. Kresek Balaraja dilihat dari komponen pengawasan, kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan siswa berdasarkan kesetaraan gender! 2. Profil manajemen pendidikan di berbagai lembaga pendidikan Kec. Kresek Balaraja berkesetaraan gender! 3. Penyelenggaraan manajemen pendidikan pada jenjang pendidikan menengah berkesetaraan gender! 4. Proses kesetaraan gender pada sekolah menengah di Kec. Kresek Balaraja! 5. Penerapan kesetaraan gender dalam proses penyelenggaraan manajemen pendidikan di sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja! 6. Penerapan kesetaraan gender dalam proses pembelajaran di sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja!
C. Pembatasan Masalah Dengan judul Aplikasi Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di Kec. Kresek Balaraja yang memiliki ruang lingkup pembahasan yang sangat luas, maka untuk memperjelas dan mempermudah pokok bahasan dalam penelitian, penulis membatasi masalah pada penerapan kesetaraan gender dalam proses pembelajaran dan
penyelenggaraan menejemen pendidikan pada jenjang pendidikan menengah dilihat dari kesetaraan gender. Proses pembelajaran yang dimaksudkan dilihat dari materi pembelajaran, tehnik penyampaian pembelajaran, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Sedangkan penyelenggaraan menejemen pendidikan jenjang pendidikan menengah mencakup manajemen dilingkungan sekolah dan profil pendidikan berkesetaraan gender pada 12 sekolah menengah di Kec. Kresek Balaraja.
D. Perumusan Masalah Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pelaksanaan kesetaraan gender dalam pendidikan di sekolahsekolah menengah Kec. Kresek Balaraja dilihat dari; materi pembelajaran, tehnik penyampaian dan proses pembelajaran, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran? 2. Bagaimana manajemen pendidikan di sekolah, dan profil pendidikan berdasarkan gender pada sekolah-sekolah menengah di Kec. Kresek Balaraja?
E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini untuk menambah wawasan pengetahuan penulis, tentang kesetaraan gender dalam proses pendidikan dan juga tentang proses
manajemen pendidikan yang berkesetaraan gender, serta sebagai bahan dalam penenlitian yang akan datang, karena menurut penulis dalam penelitian kesetaraan gender itu sangatlah penting bagi kehidupan sekarang dan yang akan datang.
G. Sistematika Penulisan Bab I, Pendahuluan yang menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II, Kajian Teori yang menguraikan tentang Pengertian Gender dan Kesetaraan Gender, Aplikasi Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan, Landasan Teori Studi
Gender, Landasan Hukum Gender, Prinsip Kesetaraan Gender meliputi;
Prinsip Kesetaraan Gender dalam Ajaran Isla, dan Prinsip Kesetaraan Gender dalam Ajaran Kristiani. dan Fungsi dan Relasi Keberadaan Gender. Pendidikan meliputi; Pengertian Pendidikan, dan Tujuan Pendidikan. Kebijakan Pendidikan dalam Kesetaraan
Gender.
Gender
Mainstreaming
meliputi;
Pengertian
Gender
Maistreaming, dan Faktor-faktor Pendukung Gender Mainstreaming. Kerangka Berpikir Bab III, Metodologi Penelitian yang meliputi: Tujuan Penelitian, Disain Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian, Populasi dan Sampel, Jenis Penelitian, Tehnik Pengumpulan Data, Variabel Penelitian, dan Kisi-Kisi Instrumen.
Bab IV, Hasil Penelitian yang meliputi; Gambaran Umum Obyek Penelitian, Pembelajaran Pendidikan Berspektif Gender yang meliputi; Proses Pembelajaran, dan Proses Pengelolaan Manajemen Kesiswaan Berspektif Gender, Analisis Kesetaraan Gender dalam Pendidikan dan Profil Manajemen di Sekolah-sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja yang meliputi; Kesetaraan Gender dalam Pendidikan, dan Profil Manajemen. Bab V, Penutup yang meliputi; Kesimpulan, dan Saran-saran
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Gender dan kesetaraan gender Pembicaraan tentang gender saat ini begitu mengemuka dengan tajam, walaupun pengertian gender sering diartikan secara keliru. Kekeliruan lainnya, tampak pula dalam menafsirkan esensi gender itu sendiri. Sebagian kalangan ada yang menganggapnya sebagai kodrat Tuhan (divine creation) atau sesuatu yang memang ditetapkan dari “sana” sementara sebagian lainnya, menganggap gender sebagai konstruksi masyarakat (social construction). Gender pada manusia mulanya adalah suatu klasifikasi gramatical untuk benda-benda menurut jenis kelaminnya terutama dalam bahasa-bahasa Eropa. Kemudian Ivan Illich menggunakannya untuk membedakan segala sesuatu di dalam masyarakat verticuler seperti bahasa tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, dan waktu, harta milik, tabu, alat-alat produksi dan lain sebagainya. Kata gender dalam bahasa Indonesia meminjam dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, jika dilihat dalam kamus tidak secara jelas membedakan antara kata gender dan seks, keduanya berarti “jenis kelamin.”11 Dalam Webster New World Dictionary, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi tingkah laku.”12 Untuk memahami gender harus dibedakan kata gender dengan jenis kelamin (seks). Pengertian jenis kelamin 11
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1992), Cet. ke-XX, h. 265 12 Victoria Neufeldt dalam Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 33
merupakan: “pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelmain tertentu.”13 Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.”14 Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sementara lakilaki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu kewaktu dan dari tempat ketempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender. Atau bisa dikenal dengan konsep gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Karena gender ditentukan secara sosial, maka: “ideologi dan wawasan suatu bangsa turut serta membangun gagasan tentang identitas.”15 Pemakaian gender dalam wacana feminisme dicetuskan pertama kali oleh Anne Oakley. Perbedaan antara seks (jenis kelamin) dan gender adalah “seks
13
Lynda Birke, Women, Feminism and Biology, (England: The Harvest Press, 1986), h. 90 Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), Cet. ke-1, h. 9 15 Situ Ruhaini Dzuhayatin MA dalam Mansour Fakih, et al., Membincang Feminisme, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 231 14
berkaitan erat dengan ciri-ciri biologis dan fisik tertentu, termasuk kromosom dan genitalia (external maupun internal).”16 Pengertian gender diatas selaras dengan yang dikemukakan oleh Aida Vitayela, bahwa gender adalah “suatu konsep yang menunjuk pada suatu sisitem peranan dan hubungannya antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis akan tetapi oleh lingkungan sosial, politik, dan ekonomi.”17 Hilary M. Lips dalam bukunya yang populer Sex and Gender: an Introduction memaknai gender sebagai “harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan” (Cultural expectations for women and man).18 Pendapat seperti ini senada dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap “keseluruhan pranata mengenai penentuan fungsi sosial berdasarkan jenis kelamin adalah termasuk anak cabang kajian gender” (What a given society defisus as masculine or feminine is a componen of gender).19 Pada mulanya orang tidak terlalu tertarik untuk membedakan seks dan gender, karena persepsi yang berkembang di dalam masyarakat menganggap perbedaan gender (gender defferences) sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin (seks defferences). Pembagian peran dan kerja secara seksual dipandang sesuatu yang wajar
16
Anne Oakley, Sex, Gender, and Society, (New York: Harper and Row, 1972), h.87 Aida Vitayela S. Hubels, feminism dan pemberdayaan perempuan, dalam Dadang S. Anshory et al., (Peny)., membincangkan feminisme Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1997), h.24 18 Hilary M. Lips, Sex and Gender: an Introduction, (California, London, Toronto: Mangfield Publishing Company, 1993), h.4. 19 Linda L. Lindsey, Gender Role a Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), h. 2 17
akan tetapi belakangan disadari bahwa: “tidak mesti perbedaan seks menyebabkan ketidakadilan gender (gender inqualities).”20 Dari berbagai definisi gender di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa: gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mendefinisikan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dengan mengaitkannya pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin, sehingga nantinya berdampak pada posisi dan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupannya. Adapun kesetaraan gender adalah peluang dan kesempatan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Sehingga apabila kata gender dipadukan dengan kata kesetaraan itu berarti adanya suatu keinginan agar perbedaan gender tidaklah menjadi penyebab adanya perbedaan perlakuan yang menguntungkan di satu pihak tetapi mungkin pihak lainnya. Kesetaraan gender adalah suatu kondisi dimana penempatan hak dan kewajiban berdasarkan gender sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing, tidak kemudian berarti adanya kesamaan dalam segala hal, karena masing-masing jenis kelamin mempunyai fungsinya sendiri terutama dalam masalah yang berhubungan dengan biologis. B. Aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan Aplikasi adalah penerapan atau penggunaan sesuatu ke dalam sesuatu, untuk mencapai tujuan yang direncanakan agar mencapai tujuan tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Dalam arti, aplikasi dalam gender merupakan penerapan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan.. Pendidikan dalam kesetaraan gender merupakan perpaduan antara pendidikan dan gender. Pendidikan sebagaimana yang telah disimpulkan oleh penulis bahwa usaha sadar yang di lakukan oleh orang dewasa untuk membantu dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak didik secara teratur dan sistematis kearah kedewasaan melalui bimbingan pengajaran, latihan-latihan, dan di curahkan dalam rangka mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik ketingkat kedewasaan, dan hal ini di lakukan baik di dalam maupun di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup, demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggitingginya.
20
Mansour Fakih, loc. cit., h. 9
Sedangkan gender penulis simpulkan suatu konsep yang digunakan untuk mendefinisikan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dengan mengaitkannya pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin, sehingga nantinya berdampak pada posisi dan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupannya. Dari definisi aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan merupakan penerapan atau penggunaan peluang dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan bimbingan baik itu pertumbuhan dan perkembangan anak didik secara teratur dan sistematis kearah kedewasaan melalui bimbingan pengajaran, latihan-latihan, dan dicurahkan dalam rangka mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik ketingkat kedewasaan, dan hal ini dilakukan baik di dalam maupun diluar sekolah yang berlangsung seumur hidup, demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggitingginya. Hal ini sejalan dengan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan mnejunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” 21 1. Landasan Teoritis Studi Gender Dalam studi gender di kenal beberapa teori dasar yang sangat mempengaruhi proses studi ini. Teori-teori tersebut adalah : a. Teori feminisme liberal Dalam pemikiran kelompok ini adalah: “semua manusia laki-laki dan perempuan di ciptakan seimbang dan serasi, dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya.”22 Feminisme liberal memberikan teoritis akan kesaman wanita dalam potensi rasionalitasnya. Namun berhubung wanita di tempatkan pada potensi tergantung pada suami dan kiprahnya dalam sektor domestik, maka yang lebih dominan timbul pada diri wanita adalah aspek emosiaonal ketimbang 21
Umaedi, M. Ed, Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MMBS/M), (Jakarta: CEQM, 2004), Cet. ke-1. h. 345 22 Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, selanjutnya dibaca Argumn, Cet. ke-2, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 64
rasional. “Apabila tidak bergantung pada suami dan tidak berkiprah di sektor domestik, maka wanita akan menjadi makhluk rasional seperti kaum pria.”23 Kelompok ini pada intinya mendasarkan asumsinya pada penghargaan terhadap penghargaan, bahwa: “setiap manusia mempunyai hak asasi manusia yaitu untuk hidup, mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari kebahagiaan.”24 Karenanya kelompok ini membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki. Mereka menghindari agar perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran termasuk bekerja di luar rumah. “Dengan demikian tidak ada lagi kelompok jenis kelamin yang lebih dominan.”25 b. Feminisme Marxis – Sosialis Kelompok aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyrakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa, ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. “Teori kebudayaan (nature) sebenarnya merupakan bantahan terhadap teori kodrat alam (nurture).”26 Aliran ini menolak anggapan tradisional dan para teolog tentang “status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, karena faktor biologis dan latar belakang sejarah.”27 Para penganut teori ini beranggapan, ketimpangan gender dalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah gaji perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. Struktur ekonomi akan kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap status perempuan. Karena itu, untuk mengangkat harkat martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan penunjangan kembali secara mendasar, terutama dengan “menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik.”28 c. Teori Sosio-Biologis 23
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, (Bandung: Mizan, 1999), h. 119 Ibid., h. 118 25 Nasarudin Umar, op. cit., h. 65 26 Ahmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, (Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2001), Cet. ke-1, h. 25 27 Ibid. 28 Ibid., h. 66 24
Teori ini mencoba menggabungkan antara nature dan nurture laki-laki dan perempuan. Teori ini beranggapan, faktor biologi dan faktor sosial-budaya menyebabkan laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Fungsi reproduksi perempuan yang lebih rumit dianggap sebagai faktor penghambat untuk mengakses ke dunia publik, berbeda dengan laki-laki yang tidak mengalami faktor tersebut. Perbedaan fisik laki-laki dan perempuan sangat jelas terlihat; rata-rata pria mempunyai fisik dan otot yang lebih besar dari pada perempuan, perempuan mempunyai struktur tulang pelik yang lebih besar, yang memang sesuai untuk menyokong kehamilan-kehamilan semua ini dapat menghambat perempuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan otot-otot besar. Perbedaan hormon juga mempengaruhi tingkat agresifitas, dimana laki-laki lebih agresif dibandingkan perempuan, sedangkan perubahan hormon pada perempuan serasa siklus menstruasi, menyusui, dan kehamilan adalah sifat khusus feminim. Perbedaan fisik ini memberikan “implikasi yang signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya dibandingkan laki-laki.”29 Secara sosial pun laki-laki dominan secara politik dalam semua masyarakat. Hal ini dikarenakan faktor biologis bawaan mereka, sehingga hal ini memberikan pada masing-masing jenis kelamin dan pengaruh jenis kelamin dalam perkembangan prilaku manusia. Semuanya memperkuat kesimpulan bahwa biologi manusia adalah suatu komponen penting dalam prilaku yang berbeda antara jenisjenis kelamin. “Teori sosio-biologis ini juga tetap berkeinginan melanggengkan sistem patriarhi.”30 2. Landasan Hukum Gender Masalah kesetaraan gender sudah menjadi kebutuhan atau tuntutan bagi umat manusia di seluruh dunia, sehingga telah menjadi ketetapan Majelis Umum PBB, yang dapat menjadi rujukan semua pihak, agar kesetaraan gender dilaksanakan di semua negara. Beberapa rujukan yang dapat dijadikan landasan hukum kesetaraan gender: a. Konvensi Wanita Tahun 1981 Konvensi wanita tahun 1981, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB; Pasal 1, 2, 3, 4, dan 5. b. Inpres No. 5 Tahun 1995 Apa yang dinyatakan Presiden tersebut “pada hakekatnya wanita sebagai insan pembangunan mempunyai peran sejajar dengan pria” kemudian dikokohkan 29 30
Ibid., h. 69-70 Ibid.
dalam Inpres No. 5 Tahun 1995. dengan demikian, maka semakin kokoh lagi upaya untuk meningkatkan peran perempuan. Hal ini dimaksudkan agar mereka mempunyai kedudukan dan peran yang setara dengan laki-laki, sekaligus bias gender yang dikenakan padanya, khususnya dalam kehidupan publik dapat dieliminasi. c. Propenas Tahun 2000 Propenas yang responsip gender juga terlihat dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang : “Program Pembangunan Nasional dijelaskan bahwa program peningkatan kualitas hidup perempuan memiliki sasaran yaitu meningkatnya kualitas dan peranan perempuan diberbagai bidang.”31 d. Undang-undang Dasar 1945 UUD 1945, BAB X tentang warga negara, Pasal 27 ayat (1). “Sejak tahun 1945 prinsip kesetaraan pria dan wanita di depan hukum telah diakui. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tidak membedakan jenis kelamin di muka hukum.”32 3. Prinsip Kesetaraan Gender Kesetraan gender adalah seperti sebuah frase (istilah) “suci” yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tataran praksis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi “kestidaksetaraa” yang dialami oleh para wanita. Maka, istilah kesetaraan gender serimh terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil, dan semacamnya. Istilah-istilah tersebut memang dapat membangkitkan emosi, kekesalan, dan memicu rasa simpati yang besar kepada kaum perempuan. Oleh karena itu agenda feminis mainstream (struktural, fungsional, konflik, dan sosialis) semenjak awal abad ini hingga sekarang adalah “bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di dalam.”33 Istilah kesetaraan gender dalam pemahaman masyarakat umum seringkali memunculkan rasa ambivalensi. Apakah pria dan wanita memang betul-betul harus sama sehingga segalanya harus setara? Bagaimana dengan perbedaan biologis antara pria dan wanita yang sering membawa kondisi ketidaksetaraan?
31
Ace Suryadi, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, (Bandung: PT GENESINDO, 2004), Cet. ke-I, h. 85 32 Endang Sumiarni, Jender dan Feminisme, (Yogyakarta: Wonderful Publishing Company, 2004), Cet ke-I, h. 33 33 Ratna Megawangi, loc. cit., h. 9
Di satu sisi ada yang sangat mengharapkan adanya kesetraan, dikarenakan mereka menganggap bahwa konsep gender merupakan kontruksi sosial. Sehingga perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam tataran sosial. Di sisi lain ada yang menganggap perbedaan jenis akan selalu berdampak terhadap konstruksi konsep gender dalam kehidupan sosial. Dua kelompok tersebut di atas pada dasarnya mempunyai satu prinsip yang sama, yaitu menghilangkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Akan tetapi keduanya juga berbeda dalam memahami keadilan. Apakah suatu keadilan harus harus membagikan sesuatu dengan sama rata atau suatu keadilan itu harus membagikan sesuatu menurut proporsi dan kapasitas masing-masing dan tidak harus sama rata? Dengan melihat konsep kesetaraan gender di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender tidak hanya memberikan keuntungan kepada suatu pihak saja. Yaitu pihak perempuan, namun juga memberikan keuntungan bagi pihak laki-laki. a. Prinsip Kesetaraan Gender dalam Ajaran Islam Di awal sejarah munculnya ajaran agama Islam, kaum perempuan telah memperoleh kemerdekaan dan mereka juga memperoleh suasana hati dan batin yang cerah. Hal ini dikarenakan di dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan didasarkan ppada kesetaraan manusiawi. Dengan demikian tampak adanya persamaan dan keadilan pada keduanya, yaitu sebagai makhluk yang memilki kedudukan yang sama di hadapan Allah sebagai sang pencipta. Di dalam ajaran Islam, kesetaraan dan keadilan gender dapat dilihat pada bagaimana ajaran Islam memberikan posisi laki-laki dan perempuan sebagai berikut: 1. “Hamba Tuhan 2. Khalifah di bumi 3. Penerima perjanjian primordial 4. Sebagai Adam dan Hawa dalam drama komsis.”34 Adapun penjelasan dari posisi laki-laki dan perempuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sebagai hamba Tuhan
34
Zubha Zaitunnah, Rekonstruksi Pemahaman Gender dalam Islam, (Jakarta: el-KAHFI, 2002), h. 49
Di dalam Al-qur’an, laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang hanya menyembah kepada Tuhan, hal ini ditegaskan pada ayat-ayat Al-qur’an sebagai berikut: a. Hamba yang paling ideal adalah muttaqun (Q. S. al-Hujurat, 49:13). Muttaqun artinya sebagai orang-orang yang bertaqwa, untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, atau kelompok etnis tertentu. b. Laki-laki dan perempuan dalam kapasitasnya sebagai hamba, akan memperoleh penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya (Q. S. alNahl, 16:97). 2. Sebagai khalifah di bumi Laki-laki dan perempuan sama-sama memilki tugas sebagai khalifah di bumi yang mempertanggungjawabkan kekhalifahannya di bumi sebagaimana mereka samasama harus bertanggung jawab sebagai khalifah di bumi dapat dilihat pada surat al-A’raf 7:155. 3. Sebagai penerima perjanjian primordial Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial dan sama-sama mengemban amanah. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia lahir dari rahimnya. Ibunya, ia terlebih dahulu harus harus menerima perjanjian dengan Tuhannya. Dalam Islam tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak didni, yaitu semenjak dalam kandungan, sejak awala sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. 4. Sebagai Adam dan Hawa dalam drama komsis Adam dan Hawa terlihat secara aktif dalam drama komsis yaitu, keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga. Semua ayat yang menceritakan tentang drama komsis, yaitu cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang. Dari beberapa penjelasan di atas mengenai prinsip-prinsip kesetaraan, dapat ditemukan bahwa perbedaan yang terjadi antara pria dan wanita itu bukanlah suatu
yang kodrat (divine creation), melainkan merupakan sesuatu yang dihasilkan dari sebuah kontruksi budaya sosial. Dan intinya adalah natara laki-laki dan perempuan adalah sama, baik secara spiritual, peran, prilaku, intelektual, dan emosional. b. Prinsip Kesetaraan dalam Ajaran Kristiani Di dalam ajaran Kristiani, khususnya dalam ajaran agama Katolik, tidak memandang adanya perbedaan status antara laki-laki dan perempuan. Keduanya dipandang sebagai sama-sama makhluk Tuhan yang memilki kedudukan, peran, dan derajat yang sama di hadapan Allah Bapa. Menurut Marry Ann Glendon, seperti yang dikutip oleh Bainar dan Alchi Halik, Gereja Katolik memandang bahwa: “ajaran Yesus Kristus sebenarnya memperkuat status dan kedudukan perempuan dalam dalam kehidupan bermasyarakat.”35 Bentuk pengakuan atas kesetaraan kedudukan perempuan ini tampak dari pemberlakuan ide monogami dalam hukum gereja yang menyatakan bahwa seorang pria tidak boleh beristeri lebih dari satu orang ketetapan hukum ini merupakan penerapan ayat Injil Matius 19: 6 yang berbunyi “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”36 Dengan demikian tampak bahwa landasan hukum gereja mengisyaratkan tidak adanya perceraian antara sepasang suami isteri yang telah menikah secara hukum Katolik. Tidak adanya perceraian tersebut merupakan salah satu upaya Gereja dalam menyetarakan hak dan kedudukan perempuan dan laki-laki. Di era tahun 1990-an, Paus Yohanes Paulus II menerjemahkan masalah kedudukan perempuan ini ke dalam bahasa yang lebih spesifik. Hal ini terungkap di dalam suratnya yang ditujukan kepada para delegasi sebagai pembukaan Konfrensi Wanita sebagai berikut: “Kebutuhan yang paling mendesak untuk mewujudkan kesetaraan antara pria dan wanita di segala bidang adalah adanya upaya yang sama untuk pekerjaan yang sama, adanya perlindungan bagi ibu-ibu bekerja, berkeadilan dalam karier dan kepangkatan, adanya hak dan kewajiban suami isteri yang sama berkenaan dengan tanggung jawab dalam keluarga dan pengetahuan atas segala semua yang berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga 37 negara dalam sebuah negara demokrasi.”
Dengan demikian, tampak bahwa Gereja Katolik pada hingga saat ini terus memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki maupun perempuan. Namun meskipun dalam ajaran Katolik juga menerapkan adanya kesetaraan dan keadilan gender, tetapi pada pelaksanaannya tetap saja adanya usaha dari para 35
Bainar dan Alchi Halik, Jagat Wanita: Dalam Pandangan Para Tokoh Dunia, (Jakarta: PT. Pustaka CIDESINDO, 1999), h. 163 36 Alkitab: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1997). 37 Bainar dan Alchi Halik, op. cit., h. 165
tokoh didalamya untuk tetap menempatkan perempuan sebagaiwarga kelas dua. Itulah sebabnya tidak pernah ditemukan dalam sejarah adanya perempuan yang menjadi pemimpin ibadat keagamaan. 4. Fungsi dan Relasi Keberadaan Gender Ada hal yang harus diluruskan dalam fungsi dan relasi keberadaan perempuan dan laki-laki. Terutama opini yang seakan mengendap dan mengkristal dalam alam bawah sadar publik, bahwa eksistensi kaum pria lebih utama dibanding kaum perempuan. Opini ini dengan sendirinya membidani dan membesarkan struktur ketidakadilan dalam berbagai bentuk. Laki-laki menganggap perempuan sebagai pelengkap dan memiliki kekuasaan absolut atas perempuan. Relasi seperti ini secara ontologi merupakan modus utama kekerasan terhadap perempuan (violence agains women). Sehingga mengiring praktek ketidakadilan dalam berbagai bentuk; dominasi, marginalisasi, dan eksploitasi yang semakin meraksasa. Praktek ketidakadilan ini, merupakan suatu bentuk rekayasa sistem yang androsentris. Dalam sistem ini, fungsi dan relasi keberadaan perempuan dan lakilaki mengalami pengkavlingan dalam hal peran sosial. Pada gilirannya pengkavlingan budaya tersebut, sayangnya menciptakan ruang yang pincang dan bercorak hirarkis. Laki-laki ditempatkan di sektor publik dan perempuan di sektor domestik yang mobilitasnya senantiasa berputar di sekitar sumur, dapur, dan kasur. Sebuah fenomena klasik “-meminjam istilah sukidi- untuk semakin melanggengkan rasionalitas sistem patriarkhi di masyarakat.”38 Laki-laki yang ditempatkan di sektor domestik dengan sendirinya memiliki kemandirian ekonmi. Sedang perempuan yang berada di sektor domestik menjadi tergantung laki-laki, sehingga kondisi perempuan amat rawan akan tindak ketidakadilan. Hal ini terus berlangsung dan meraksa secara sistemik. Ringkasnya sistem ini beroperasi dari sudut logika dan kepentingan laki-laki. “Mulai dari institusi yang terkecil bernama keluarga sampai terbesar bernama negara.”39 Budaya patriarkhi ini, melata secara sistemik bahkan sampai menerobos ke ruang agama. Keluarga dan agama, sejatinya, merupkan teritori teraman atau suatu anugrah terindah yang Tuhan berikan untuk manusia. Ironisnya, hal tersebut sering dilibatkan atau dijadikan “tunggangan” untuk memekarkan dan melestarikan sistem patriarkhi di masyarakat. Pada level keluarga, patriarkhi yang berarti “kekuasaan yang laki”, digunakan untuk menyebut “suatu jenis keluarga yang dikepalai oleh laki-laki.”40 Tak jarang pula institusi ini menjadi sarang praktek kekerasan atas wanita. Praktek kekerasan tersebut, ibarat gayung bersambut, karena dibentangi oleh dalil agama. Agama secara langsung atau tidak, dilibatkan untuk mensyahkan dan menjaga kesinambungan relasi pincang antara pria dan 38
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), Cet. ke-1, h. 101 Ibid. 40 Ibid. 39
wanita. Manurut relasi pincang ini, barangkali berakar dari narasi “drama ketuhanan” di seputar proses penciptaan dan keberadaan pria dan wanita narasi “drama ketuhanan” ini, dapat kita temui diantaranya dalam Kitab Kejadian pasal 18, sebagai berikut: “Tuhan Allah berfirman, tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”41
Dalam Al-qur’an pun, khususnya mengenai relasi keberadaan laki-laki dan perempuan dapat kita jumpai dalam Q. S. al-Nisa: 34, yaitu: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin atas kaum perempuan. Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lainnya. Dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu wanita yang shaleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat (suami) tidak hadir oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuz-nya (pelanggaran atas kewajiban suami istri) nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka. Dan pukullah mereka kemudian jika mereka mentaati-Mu, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesengguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.”42
Redaksi-redaksi tersebut ketika ditafsirkan, setidaknya, akan menciptakan ruang paradoks tersendiri. Satu ruang penafsiran yang tidak seharusnya berkonotasi negatif, dan satu ruang lainnya yang seharusnya penuh muatan positif. Dalam panggung penafsiran untuk konteks Islam, ungkapan laki-laki adalah qawwamun melahirkan rentetan paradoks dikalangan para penafsir. Ungkapan tersebut diantaranya dimaknakan, bahwa laki-laki adalah penanggung-jawab, pemimpin, dan penjaga kaum perempuan. Dari berbagai pemaknaan itu terkesan, ada sebahagian para muffasir (fuqoha) yang berusaha memberikan status yang lebih unggul pada kaum laki-laki. Meskipun secara normatif bisa dikatakan alQur’an memihak pada kesetaraan status atas kedua jenis kelamin. Namun secara “kontekstual al-Qur’an mengakui kelebihan kaum laki-laki dibidang tertentu.”43 Pada level inilah, para musafir berusaha memukul rata superioritas laki-laki. Dalam konteks ini Ali Asghar, mengatakan, bahwa pemahaman ayat tersebut di atas harus dilihat setting historis saat ayat tersebut di turunkan. Pada saat itu, ruang gerak perempuan dibatasi hanya di sekitar wilayah rumah, dan laki-laki yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Al-qur’an memperhitungkan kondisi tersebut dan menempatkan posisi laki-laki menjadi superior terhadap perempuan. Namun, perlu dicatat bahwa al-Qur’an tidak menganggap bahwa suatu struktur sosial bersifat normatif. Sebuah struktur sosial pasti dan memang akan selalu 41
Al-kitab edisi Indonesia Mengikuti pengalihan bahasa Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, 1982 43 Nurul Agustina, Tradisional Islam dan Feminisme, Ulumum Qur’an, No., 5 dan 6, Vol., V, 1994, h. 19 42
berubah. Bila dalam suatu “struktur sosial perempuanlah yang menjadi pencari nafkah dan memainkan peran yang dominan dalam keluarganya, pastilah posisi perempuan akan menjadi superior.”44 Dengan demikian, posisi superior yang ditegaskan al-Qur’an itu bersifat relatif. Secara implisit al-Qur’an menyatakan, bahwa perempuanpun sangat mungkin memiliki kelebihan atas laki-laki, yaitu dengan ungkapan “Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian (lain).” Penegasan qawwamun atas perempuan karena pihak laki-laki memberi nafkah kepada perempuan (bima anfaqu min amwalihim). Di sini meninjukan superioritas itu tidaklah bersifat bawaan dari sananya. Namun, lebih dikarenakan adanya faktor kemandirian ekonomi. Oleh karena itu, menurut Didin Syafruddin superioritas tersebut bersifat kasbi. Artinya, ditentukan oleh kemampuan dalam bidang ekonomis. Karena “bersifat kasbi, maka perempuan memperoleh peluang sama dengan laki-laki dalam memperoleh superioritas baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.”45 Begitu pula dalam menafsirkan pasal 18 dalam Kitab Kejadian tersebut di atas. Idealnya, menafsirkan pasal tersebut tidak seharusnya berkonotasi negatif, yaitu untuk memecahkan kesunyian Adam lalu dibuatlah ciptaan kedua, yaitu perempuan (I lawa) sebagai kawan baginya. Di sisi lain penafsiran pasal tersebut, seharusnya penuh muatan positif, bahwa laki-laki tidak bisa hidup dan berkembangbiak tanpa kehadiran perempuan. Apalagi redaksi tersebut, secara detail menjelaskan keberadaan wanita sebagai penolong atas pria. Sehingga simplisit posisi superior itu ada di tangan wanita, atau minimal memiliki relasi yang setara. Masalahnya karakter dasar penafsiran itu bersifat socially conditioned, dibentuk sesuai dengan kondisi sosial yang berkembang saat itu. Sehingga yang mengemuka adalah corak penafsiran yang maskulin, karena struktur sosial saat itu amat androsentris. Sehingga superioritas wanita itu dieliminasi menjadi inferior, sebaliknya posisi ciptaan awal itu bukan berarti superior. Relasi superior-inferior tersebut, merupkan produk budaya saat itu. Menurut Rebecca Chop relasi superior-inferior terhadap wanita, merupakan sebuah “bentuk pengkerangkengan budaya yang diciptakan untuk perempuan.”46 Dimana proses pengkrangkengan tersebut, telah “memingit” wanita dalam sektor domestik, terikat dengan kegiatan reproduksi, memelihara anak dan menjaga rumah. Sehingga pertumbuhan fisik wanita menjadi lebih kecil dibanding pria.
44
Ali Ashgar Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), Cet. ke-1, h. 237 45 Didin Syafrudin, Argumen Supremasi atas Perempuan Penafsiran Klasik Q. S. al-Nisa: 34, Ulumul Qur’an, No. 5 dan 6, Vol. V, 1994, h. 7-8 46 Rebecca Chop, Hawa yang Tahu: Perlawanan Teologi Feminis terhadap Kerangka Kerja Filsafat Ilmu Pengetahuan Aliran Laki-laki, dalam Zakiyuddin Baidhawy (ed), Wawancara Teologi Feminis, h. 176
Dalam tradisi Yahudi posisi perempuan juga terlihat marjinal. Apalagi jika ditarik dalam konteks perceraian, maka terlihat adanya suatu pola relasi superior-inferior yang cukup kental. Dalam lima kitab pertama Perjanjian Lama disebutkan, suami dapat menjatuhkan cerai apabila menemukan “sesuatu yang buruk, menjengkelkan, dan keji” tentang isterinya. Namun sebaliknya istri tidak dapat menceraikan suami sekalipun suaminya bermoral bejat, kejam, keji atau katakanlah tidak bertanggung-jawab. Mishnah menyatakan istri dapat “disisihkan dengan persetujuan atau tanpa persetujuannya” (Yebamuth 14:1). Sehingga tak diperlukan lagi proses pengadilan untuk menceraikannya. Para rabi pun sebagian besar mempunyai sikap yang sama dalam hal ini. Hillel, umpanya, mengatakan bahwa suami berhak menceraikan istrinya karena suatu sebab “sekalipun si istri Cuma merusak hidangan untuk suaminya” (Getting 9:10). Menurut sebagian rabi lain, boleh saja mencerai apabila istri mencaci, mengomel, atau menghadik begitu keras di dalam rumah sehingga tetangga dapat mendengar suaranya, atau jika istri pergi dari rumah dengan rambut kusut (Khetuboth 7:6). Dalam kondisi seperti inilah Yesus tampil sebagai figur revolusioner untuk mengubah tradisi yang timpang tersebut. Menurut William E. Phipp, situasi gender yang timpang itu, menggugah emphati Yesus. Bagi Yesus, bahwa berpegangan hanya kepada hukum Musa, Hillel atau rabi-rabi lainnya tidak akan cukup, karena hukum perceraian itu sudah melenceng dari sudut prinsip penciptaan. Bagaimana sebuah konsep penciptaan mengarah pada sebuah bentuk mitra yang sejajar. Seperti halnya kisah di taman Eden yang secara gamblang menjelaskan, bahwa “persahabatan adalah alasan perkawinan.”47 Lebih dari itu “perkawinan adalah sebuah peristiwa yang merayakan persahabatan yang monogamis.”48 Sebagaimana yang tertera dalam Kitab Markus 10:8, dimana “keduanya lalu menjadi satu daging.” B. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan Berbicara tentang pendidikan sebenarnya bukanlah masalah baru, karena pendidikan itu sudah ada sejak manusia ada dimuka bumi. Hanya saja perwujudan pendidikan itu sendiri berbeda-beda dari zaman ke zaman seiring dengan perubahan tempat dan waktu. Secara etimologi pendidikan berarti “pemeliharaan.”49 Dan sejalan dengan yang dikemukakan oleh Drs. Agus Basri, pendidikan adalah “pelihara, ajar.”50 Istilah 47
Kejadian 2:18 William E. Phipp, Muhammad dan Isa: Telaah atas Sosok dan Risalahnya, Terjemahan, Ilyas Hassan, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. ke-1, h. 181-182 49 W. J. S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), Cet. ke-7, h. 250 50 Agus Basri, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1994), h. 19 48
pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhirnya “kan” yang mengandung arti “perbuatan.” Istilah pendidikan terjemahan dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogi” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti “pembagunan atau bimbingan.”51 Dalam bahasa Arab kata pendidikan adalah terjemahan dari kata “tarbiyah” yang berarti “mendidik.”52 Secara terminologi pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai nilai-nilai agama di dalam masyarakat dan kebudayaan. Sedangkan istilah lain adalah mendidik, yang mempunyai arti “menanamkan tabiat,”53 yang baik agar anak mempunyai sifat yang baik dan kepribadian yang utama. Banyak para pakar pendidikan mengemukakan tentang pengertian pendidikan, di dalam buku “ilmu pendidikan” M. Alisuf Sabri ada beberapa ahli mengartikan pendidikan sebagai berikut : 1. Langeveld, mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbing nya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang di sadari dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang dewasa dengan anak didik dan diarahkan kepada tujuan pendidikan. 2. Hoogveld, mendidik adalah membantu anak supaya ia cakap dalam menyelenggarakan hidupnya atas tanggung jawab sendiri. 3. SA, Branata dkk, pendidikan ialah usaha yang sengaja di adakan baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan. 4. Ki Hajar Dewantara, mendidik adalah menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. 51
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet. ke-I, h. 1 Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. ke-3 53 Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: PT Pustaka Nasional, 1983), Cet. ke-3, h. 27 52
Menurut M. Arifin bahwa pendidikan “segala orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam pendidikan formal maupun non formal.”54 Dari berbagai pengertian tentang pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang di maksud pendidikan adalah usaha sadar yang di lakukan oleh orang dewasa untuk membantu dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak didik secara teratur dan sistematis kearah kedewasaan melalui bimbingan pengajaran, latihan-latihan, dan di curahkan dalam rangka mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik ketingkat kedewasaan, dan hal ini di lakukan baik di dalam maupun di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. 2. Tujuan Pendidikan Dalam setiap usaha atau kegiatan tertentu ada tujuan atau target sasaran yang ingin dicapai. Tujuan ini merupakan hal yang sangat penting agar setiap kegiatan yang dilakukan tidak sia-sia. Karena tujuan merupakan batas akhir yang dicita-citakan seseoranag dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam tujuan juga terkandung cita-cita, kehendak, dan kesengajaan serta berkonsekuensi dan upaya untuk mencapainya, demikian pula kegiatan/usaha pendidikan sengaja dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Karena pentingnya tujuan pendidikan yang merupakan masalah sentral dalam proses pendidikan, hal itu disebabkan oleh fungsi-fungsi yang dipikulnya. Ahmad D. Marimba menyebutkan empat (4) fungsi tujuan pendidikan tersebut adalah: a.
Tujuan berfungsi mengakhiri usaha Sesuatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai arti apa-apa. Selain itu, usaha mengalami permulaan dan mengalami pula akhirnya. Ada usaha yang terhenti karena sesuatu kegagalan sebelum mencapai tujuan, tetapi usaha tersebut belum dapat dikatakan berakhir. Pada umumnya, usaha berakhir kalau tujuan akhir tercapai.
b.
Tujuan berfungsi mengarahkan usaha Tampak adanya antisipasi (pandangan ke depan) kepada tujuan, penyelewengan akan terjadi dan kegiatan yang dilakukan tidak akan berjalan secara efesien.
c.
Tujuan berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari satu segi tujuan membatasi ruang gerak usaha. Namun, dari segi lain tujuan tersebut dapat mempengaruhi dinamika dari usaha itu.
d.
Fungsi dari tujuan ialah memberi nilai (sifat), pada usaha itu. Ada usaha-usaha yang tujuannya lebih luhur, lebuh mulia, lebih luas dari usaha-usaha lainnya. Hal ini menunjukkan
54
5
M. Alisu Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1999), Cet. ke-1, h. 4-
bahwa “dalam rumusan setiap tujuan selalui disertai dengan nilai-nilai yang hendak diusahakan perwujudannya.”55
Prof. Hasan Langgulung 1986 dalam bukunya “Manusia dan Pendidikan” mengatakan, bahwa tujuan pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia. Sedangkan tujuan khusus selalu berubah dan tergantung pada lembaga dimana pendidikan itu diajarkan. Tujuan khusus ini sering dirumuskan dalam bentuk tujuan kurikulum, tujuan institusional dan tujuan nasional. 1. Kebijakan Pendidikan Berkesetaraan Gender Dalam dunia pendidikan perlu adanya suatu kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan, baik itu bagi laki-laki maupun perempuan. Setidaknya negara mampu untuk menyetarakan pendidikan, sehingga semua warga negara bisa merasakan pendidikan tersebut. Hal-hal yang perlu ada dalam undang-undang pendidikan adalah: a). Memastikan bahwa kesempatan yang sama diberikan kepada anak perempuan dan perempuan dewasa dalam semua level pendidikan, sehingga antara laki-laki dan perempuan dapat setara dalam mendapatkan pendidikan. b). Memastikan bahwa pendidikan dasar diwajibkan untuk anak usia sekolah, berbagai upaya perlu dilakukan dengan: (i). “Menghapuskan semua biaya pendidikan dasar untuk anak-anak perempuan dari keluarga berpenghasilan rendah. (ii). Memberikan beasiswa kepada anak-anak perempuan.”56 d). Menghapus semua undang-undang diskriminatif yang akan mengakibatkan anak perempuan untuk tidak dapat berpartisipasi atau meneruskan pendidikan, misalnya hak murid untuk melanjutkan pendidikannya walaupun hamil dan memberikan izin cuti melahirkan, memberikan dukungan bagi perempuan untuk terus melanjutkan sekolah. e). “Memastikan bahwa dalam hubungan antara pendidikan dan permintaan tenaga pekerjaan diperhatikan keseimbangan gender sehingga baik dalam pendidikan maupun dalam tenaga kerja tidak terjadi gap (jurang) gender.”57 g). Memperkuat hubungan antara sektor pendidikan dan pelatihan-pelatihan pada lapangan pekerjaan.
55
Abuddin Nata, MA, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. ke-1, h. 45-46 56 Disadur dan Dimodifikasi dari buku: Gender and Development, (United Nations, 1990) 57 Ibid.
Sistem Administrasi pada lembaga pendidikan sangat menentukan dalam proses pengelolaan manajemen, baik itu masalah pelayanan maupun keuangan. Perlu adanya Reformasi pada tingkat administrasi sehingga akan terciptanya kesetaraan gender pada dunia pendidikan: a). Meningkatkan jumlah sekolah perempuan. b). Memberikan training gender pada semua tenaga administrasi baik kepada laki-laki maupun perempuan. c). Memastikan perempuan terlibat dalam merancang, sistem pendidikan dan aspek manajemennya. Sistem Kurikulum sangatlah penting bagi proses belajar mengajar, sehingga perencanaan pengajaran akan berjalan sesuai dengan tujuan. Kurikulum merupakan bagian yang penting untuk menjamin kesetaraan gender dalam pendidikan, maka perlu adanya sistem kurikulum yang berkesetaraan gender, yaitu: a). Pendidikan kewarganegaraan, demokrasi dan Hak Asasi Manusia d). Pendidikan yang mementingkan nilai-nilai toleransi dan keberagaman e). Mendukung perempuan mempelajari ilmu pengetahuan dan matematika Perlu adanya peningkatan kualitas guru sehingga dalam proses pembelajaran siswa-siswi dapat dengan mudah memahami dan mengerti dalam menerima ilmu pengetahuan. Dan juga dapat lebih menguasi dalam mata pelajaran. Adapun yang harus dilakukan adalah penungkatan kualitas guru seperti: a). Jumlah tenaga pendidikan di tingkat nasional maupun daerah ditambah b). Training untuk para guru diperkuat. c). Meningkatkan guru-guru perempuan dalam semua tingkat pendidikan sehingga kesetaraan dalam pendidikan dapat tercapai. Perlu dipastikan bahwa terdapat pendidikan alternatif yang disediakan oleh pemerintah untuk anak-anak yang tidak dapat bersekolah secara reguler. Bila pendidikan non-formel ini disediakan maka perlu juga dipikirkan penyediaan tempat bekerja atau paling tidak diberikan informasi-informasi lowongan pekerjaan. Pada zaman sekarang pendidikan sangatlah penting dalam kehidupan sehingga seseorang itu bisa bersaing dalam dunia kerja, maka dari itu kita bisa menciptakannya dari awal yaitu dari dunia pendidikan yang mencetak generasi yang baik dan terampil yang diberikan baik itu bagi laki-laki dan perempuan, sehingga tidak ada kesenjangan dalam kehidupan. Kebijakan dalam pendidikan yang berkesetaraan gender sangatlah dibutuhkan bagi manusia.
D. Gender Mainstreaming 1. Pengertian Gender Mainstreaming Peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan di berbagai aspek kehidupan, kecuali yang bersifat kodrati, sebenarnya tidak ada yang baku atau spesifik hanya dapat dilakukan oleh kaum laki-laki saja atau perempuan saja. Tetapi pada hakekatnya dapat dilakukan oleh siapa saja sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilki serta didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kuatnya budaya patriarhi seringkali membakukan peran-peran sosial. Ekonomi dan politik yang cenderung memarjinalkan atau bahkan diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin. Kondisi semacam ini, ternyata telah melemahkan upaya menggali dan mengembnagkan diri untuk menjadi kekuatan dalam menghadapi persoalan pembangunan yang sedang kita laksanakan. Pandangan yang menganggap kaum perempuan adalah “sub-ordinat kaum laki-laki, telah menimbulkan dampak negatif mulai dari lemahnya partisipasi dalam pengambilan keputusan, rendahnya semangat berwirausaha, sampai dengan kurang berdayanya menghadapi berbagai tindak kekerasan yang dialami perempuan.”58 Dengan demikian, meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui “kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender serta meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat sangatlah penting.”59 Kerangka pemahaman terhadap kesadaran gender dikenal oleh Moser dan Levy dengan “kerangka kebutuhan gender praktis dan kebutuhan gender strategis. Kebutuhan gender praktis berkaitan dengan fungsi yang diterima dalam pola pembagian kerja (division of labor).”60 Untuk perempuan kebutuhan gender praktis yaitu mengisi fungsi produksi, reproduksi, dan tanggung jawab serta peran mengatur masyarakat. Di mana manusia untuk rumah tangga dan mengumpulkan bahan bakar termasuk tanggung jawab perempuan, ketika lebih efesien menggunakan kompor, kebutuhan gender praktis lebih meningkat. 58
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu Keperempuan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001) 59 Siti Musda Mulya, et. all, Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 2003), Cet. ke-2, h. xi 60 Ratna Megawangi, loc. cit., h. 55
Kebutuhan gender praktis berkaitan dengan peranan gender yang ada, sementara kebutuhan gender strategis berkaitan dengan peningkatan peranan gender yang adil untuk perempuan. Kebutuhan gender strategis dimulai dengan asumsi bahwa “perempuan tersub-ordinasi oleh laki-laki sebagai konsekuensi diskriminasi institusi dan sosial terhadap perempuan.”61 Dalam praktek, pendekatan yang menekankan kebutuhan gender praktis mungkin akan mengenalkan dan memberi pertimbangan akan adanya kebutuhan gender strategis. Tetapi pada sisi lain, memuaskan kebutuhan gender praktis menguatkan adanya pembagian kerja dalam rumah tangga, yang mensub-ordinasi perempuan, membuat air lebih mudah diperboleh, bagi perempuan tidak merubah posisi hubungannaya dengan laki-laki. Pendekatan yang menekankan kebutuhan gender strategis sering digunakan oleh aktifis perempuan untuk melawan keberadaan struktur dan sosial yang memperlakukan perempuan secara tidak adil. Gender mainstreaming diberbagai instansi pemerintah, mengharapkan proses identifikasi dan analisis isu gender serta mengenali faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender pada setiap rumusan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. Rumusan itu kemudian ditindaklanjuti sesuai dengan kebutuhan laki-laki dan perempuan secara adil dan setara. Dengan demikian, yang dimaksud dengan gender mainstreaming adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi atas kebijakan, dan program pembangunan nasional yang mempunyai tujuan kesetaraan peran, dan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi atas kebijakan, dan program pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2. Faktor-faktor Pendukung Gender Mainstreaming Pada mulanya kondisi gender mainstreaming di negara Indonesia tidak terlepas dari usaha-usaha peran aktif perempuan. Sebelum perempuan belum pernah atau bahkan tidak pernah menjadi prioritas dalam pembangunan. Pada kenyataannya perempuan banyak mengalami masalah dalam kehidupannya; baik itu berkaitan dengan dirinya, keluarganya (anak, suami, orang tua, mertua, keluarga batih), lingkungan sosial maupun dunia sekitarnya sepanjang kehidupannya dengan tujuan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
61
Ibid.
Pembicaraan mengenai perempuan merupakan pembicaraan yang mengemuka dan menarik setidaknya sejak adanya Konfrensi Wanita di Nairobi (1975) yang dijadikan sebagai tonggak Tahun Wanita Internasional. Kemudian dilanjutkan dengan John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam bukunya “Megatrend 2000” yang meramalkan kepemimpinan wanita (Decade of Women in Leadership) sesuai yang terbukti. Menurut Waiten (1992), pemahaman tentang peran gender terbentuk melalui tiga proses, operant conditioning, abservational learning, self-socialization. Selfsocialization62 berkembang melalui tiga tahap, yaitu (a) anak belajar mengklasifikasikan dirinya sebagai pria atau wanita dan memahami jenis kelmainnya sebagai sesuatu yang permanen, (b) anak melakukan penilaian terhadap karakteristik dan prilaku yang berkaitan dengan jenis kelmainnya, (c) mereka mengusahakan perilaku yang tetap sesuai dengan peran gender yang dianggap tepat dalam budayanya. Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kenyataan perlunya pengarusutamaan gender dalam pembangunan (Gender Mainstreaming) belumlah menjadi kenyataan. Peran gender menjadi sangat bervariasi dalam pola kehidupan tiap orang, tiap keluarga, juga tiap budaya maupun negara. Namun budaya yang cenderung merugikan kaum perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam hal-hal berikut yang mengakibatkan pengarusutamaan gender menjadi sangat perlu. Adapun sebab-sebab terjadi pengarusutamaan gender dikarenakan oleh: Pertama, marginalisasi. Pemingitan peran kaum perempuan; kaum perempuan dianggap sebagai warga masyarakat kelas dua. “Perempuan sendiri cenderung enggan menjadi nomor satu, karena takut dijauhi atau dicela kaum laki-laki (cinderella complex), perempuan lebih memilih jadi subordinat laki-laki.”63 Kedua, stereotip. Masyarakat mempunyai norma tertentu tentang perempuan yang ideal yaitu feminim, sementara laki-laki adalah maskulin, padahal terjadi pada kenyataannya setiap orang memilki dua karakteristik sekaligus (androgin), yaitu feminim sekaligus maskulin. Dalam kehidupannya sebagai suatu streotip, perempuan diharapkan menjadi figur yang feminim, yaitu lembut, halus, teliti, rajin, patuh, taat, cantik, cermat dan sebagainya. Sementara laki-laki diharapkan menjadi figur yang maskulin: gagah, perkasa, gentlemen, kuat cerdas, kasar, memimpin, macho dan sebagainya. Padahal secara psikologis orang yang 62
Weiten, W., Psychology: Themes and Variations, (California: Brooks/Cole Publishing Company, 1992) 63 Ibid.
androgen secara seimbang memilki banyak kelebihan seperti harga diri yang lebih tinggi, kemampuan komunikasi yang lebih efektif, dan lebih fleksibel. Dalam setiap individu besarnya kadar feminitas maupun maskulinitas sangat variatif antara satu orang dengan orang lain. Meskipun kemudian ada yang lebih memperdalam lagi menjadi “feminitas positif dan feminitas negatif, serta maskulin positif dan maskulin negatif.”64 Ketiga, beban ganda. Pembagian kerja di dunia domestik untuk perempuan, sementara laki-laki di sektor publik, sehingga ketika perempuan pergi ke sektor publik ada beban ganda yang disandangnya. Beban ganda ini sebagian besar dijalani kaum perempuan sementara semestinya ada juga beban ganda juga untuk kaum laki-laki, karena memang pekerjaan domestik bukanlah kodrat perempuan. Keempat, kekerasan. Perempuan dengan fungsi reproduksinya sering mengalami kekerasan di tempat kerja atau bahkan di dalam rumah tangga sendiri. Mulai dari kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Juga kekarasan yang dilakukan oleh individu, institusi maupun negara. Dalam rumah tangga perempuan dianggap tidak produktif, sehingga harus menuruti kemauan laki-laki si pencari nafkah utama, padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Dalam dunia publik, di tempat kerja perempuan yang haid, mengandung, melahirkan, menyusui, sering tidak memperoleh haknya secara wajar. Bahkan sering mengalami intimidasi untuk dikeluarkan. Sementara dalam tingkat negara, kadang kekerasan yang diderita perempuan sering tidak tampak di mata publik karena terjadi di sektor domestik. “Kadang perempuan yang mengalami tindak kekerasan dipersalahkan publik, karena perempuan tersebut berdandan menor ataupun sebab lainnya yang lebih disebabkan karena ia berjenis kelamin perempuan.”65 Terjadinya gender mainstreaming tidak hanya dikarenakan sebab-sebab diatas, tetapi adapula faktor-faktor pendukung pengarusutamaan gender diatas, melainkan untuk mengidentifikasi apakah laki-laki dan perempuan: 1. memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan 2. berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, termasuk proses pengambilan keputusan 3. memilki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan 4. memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.
64 65
Ibid. Ibid.
Dengan demikian Gender Mainstreaming menjadi bahan perbincangan perempuan aktivis, LSM, dan lain sebagainya yang bergerak di masalah perempuan, wal hasil, Gender Mainstreaming menjadi salah satu Instruksi Presiden nomor sembilan tahun dua ribu (Inpres No. 9 Th. 2000) dengan tujuan meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa, dan bernegara. Gender Mianstreaming merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan Lembaga Pemerintah di Pusat dan Daerah. E. Kerangka Berfikir Pendidikan merupakan hal yang terpenting bagi kehidupan manusia, karena manusia sangat membutuhkan pendidikan bagi kehidupan sehari-hari. Dengan adanya pendidikan manusia bisa mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan, mengetahui tata cara komunikasi dengan orang lain, mengikuti perkembangan teknologi yang semakin canggih baik di negara Indonesia maupun di negara lain dan juga dapat meningkatkan martabat hidup seseorang. Aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan merupakan keinginan bersama, bukan halnya perempuan yang menginginkan kesetaraan dalam pendidikan akan tetapi laki-laki pun menginginkan akan hal itu, sehingga tidak terjadinya kesenjangan-kesenjangan di bidang pendidikan yang dialami oleh perempuan. Dengan adanay kesetaraan gender dalam pendidikan, maka keadilan yang ada di rumah, sekolah, maupun masyarakat akan terwujud. Hal ini dibantu dengan sebuah alat yang menghapus ketidakadilan tersebut yaitu dengan pendidikan. Apabila kita melihat kenyataan dan pendapat-pendapat orang bahwa, laki-laki lebih berkompeten dalam mengambil posisi yang lebih menentukan dalam pengelolaan pendidikan baik dalam birokrasi pendidikan di daerah, maupun dalam pengelolaan satuan pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan lebih banyaknya lakilaki yang menduduki jabatan struktural sejak tingkat pusat sampai dengan pendidikan. Dalam suatu penjurusan yang berada di sekolah-sekolah menengah terlihat bahwa laki-laki identik dengan penjurusan teknik, dan perempuan identik dengan sekretaris, tata boga dan sebagainya. Di sini kita lihat bahwa ketidaksetaraan gender menjadi semakin jelas, hal ini mengakibatkan keterpurukan perempuan dalam kehidupan. Karena kita ketahui dengan adanya pendidikan manusia bisa meningkatkan martabat dan meningkatkan kualitas kehidupan yang sejajar dengan kehidupan manusia yang lainnya. Bagaimana perempuan bisa meningkatkan martabat kehidupan mereka sebagai perempuan, pendidikan saja mereka tidak merasakan. Di sini terlihat ketidakadilan dalam memperoleh pendidikan yang mengakibatkan adanya kesenjangan dalam gender.
Penelitian yang berada di sekolah menengah di Kec. Kresek Balaraja membahas tentang penerapan kesetaraan gender dalam proses pendidikan yang menyangkut: materi pembelajaran, tehnik penyampaian pembelajaran, proses pembelajaran, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran, serta tentang penyelenggaraan manajemen pendidikan dan administrasi dalam aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan. Hal ini yang mencakup tentang pelaksanaan kesetaraan gender dalam pendidikan di sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja dan yang meliputi: materi pembelajaran antara laki-laki dan perempuan, tehnik penyampaian pembelajaran antara laki-laki dan perempuan, proses pembelajaran antara laki-laki dan perempuan, sistem pembelajaran dalam akses laki-laki dan perempuan, dan evaluasi dalam akses laki-laki dan perempuan, serta tentang manajemen pendidikan dan administrasi sekolah meliputi: pemilihan penjurusan/program studi antara laki-laki dan perempuan, proses pengelolaan manajemen pendidikan, profil pendidikan antara laki-laki dalam memperoleh pendidikan. Hal ini digunakan untuk memperoleh permasalahan tentang kesenjangan gender dalam pendidikan yang ada di sekolah tingak menengah yang berada di Kec. Kresek Balaraja. Setelah mengetahui gambaran tentang sejauh mana penerapan atau penggunaan pendidikan yang berada di daerah Kec. Kresek Balaraja dalam kesetaan gender. Hal ini akan menciptakan pertanyaan-pertanyaan tentang kesetaraan gender dalam pendidikan, kemudian pertanyaan itu dapat dicarikan solusi sehingga permasalahan tentang penggunaan pendidikan dapat menuju tingkat setara baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga terciptalah aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan di Kec. Kresek Balaraja. Pemecahan-pemecahan permasalahan yang bersifat kesetaraan gender dalam pendidikan diantaranya: dengan adanya peningkatan kesadaran baik bagi siswa, orang tua, dan masyarakat akan pentingnya pendidikan baik itu bagi laki-laki maupun perempuan, serta menerapkan kesetaraan gender dalam pemilihan jurusan/program studi antara laki-laki dan perempuan, pengelolaan manajemen pendidikan serta penerimaan siswa/siswi baru. Sehingga terciptalah aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan di sekolah-sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja. Kerangka berfikir tentang aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan, dapat dilihat secara ringkas dalam skema berikut ini:
Kerangka Berfikir
P
didik
G
d
Proses Pembelajaran, dan Pengelolaan Manajemen Pendidikan Sekolahsekolah Menegah di Kec. Kresek Balaraja dilihat Dari Aplikasi Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Gambaran Obyek
Pemecahan Masalah
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Tujuan Penelitian Dalam penulisan skripsi ini terdapat beberapa tujuan yang dianggap sangat penting dan mendasar serta menjadi tujuan utama yaitu: 1. untuk mengetahui proses pembelajaran yang meliputi; tehnik pembelajaran, materi pembelajaran, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran yang ada di sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja. 2. untuk mengetahui penyelenggaraan manajemen pendidikan dan profil pendidikan berkesetaraan gender. 3. untuk mengetahui apakah sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja sudah berkesetaraan gender.
B. Disain Penelitian Desain Penelitian adalah “semua proses yang diperlukan dalam erencanaan dan pelaksanaan penelitian.”66 Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, desain ini digunakan untuk mendapatkan deskripsi tentang suatu kenyataan, yaitu tenta ng aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan. 66
Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 99
C. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Sekolah Menegah yang ada di Kec. Kresek Balaraja. Adapun waktu penelitian dilaksanakan pada semester ganjil 2005-2006. dengan tahapan sebagai berikut: 1. Tahap persiapan yang meliputi: pembuatan proposal skripsi, studi pendahuluan, penyusunan instrumen penelitian, dan izin penelitian 2. Tahap pengumpulan data 3. Tahap pengolahan dan analisa data 4. Tahap penyusunan laporan 5. Laporan hasil penelitian.
D. Populasi dan Sampel Populasi adalah “keseluruhan obyek penelitian yang terdiri dari manusia, benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam sebuah penelitian.”67 Atau sampel adalah “jumlah keseluruhan unit analisis, yaitu obyek yang diteliti.”68 Populasi dari penelitian ini adalah seluruh Sekolah Menengah yang berada di Kec. Kresek Balaraja. Jumlah Sekolah Menengah yang ada di Kec. Kresek Balaraja adalah sebanyak 12 Sekolah. Menurut Suharsimi Arikunto, “dalam pengambilan
67
Hermawan Rasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 49 68 Irwan Suhartono, Metode Penelitian Sosial suatu Tehnik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), Cet. ke-4, h. 57
sampel bila jumlah subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi.”69 Teknik pengambilan sampel digunakan sampel kelompok (cluster sample), yaitu berdasarkan perwakilan dari masing-masing kelompok dengan rincian 10 angket kelas 11, 10 angket kelas 12, dan 10 angket kelas 13 dengan jumlah keseluruhan 30 angket pada tiap sekolah. Kategorinya meliputi kelompok Sekolah Menengah Atas (SMA) meliputi: SMA ISLAM AL-FALAH, SMA MANDIRI, dan SMA PGRI. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) meliputi: SMK AL-HIKMAH, SMK YUPPENTEK, SMK PGRI, dan SMK MANDIRI. Sekolah Tehnik Mesin (STM) yaitu: STM KORPRI 02. Dan
Madrasah Aliyah (MA) meliputi: AL-
KHAERIYAH, MADRASAH ALIYAH NEGERI, AL-SYARIEF, dan MANBA’UL HIKMAH.
E. Jenis Penelitian Pada penelitian ini penulis menggunakan penelitian diskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi dan situasi yang sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan. Data yang diperlukan untuk penelitian ini adalah tentang aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan pada Sekolah Menengah. Data yang diambil sehubungan dengan hal tersebut adalah proses pembelajaran pendidikan di Sekolah Menengah, proporsi jumlah siswa Sekolah Menengah menurut aplikasi kesetaraan gender dan pemilihan jurusan/program studi, latar belakang para siswa memilih jurusan/program studi, proses pengelolaan manajemen pendidikan di Sekolah Menengah, jumlah kepala sekolah, jumlah guru, dan jumlah lulusan sekolah menurut aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan. 69
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. ke-5, h. 112
E. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan, selalu ada hubungan antara metode engumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan tehnik sebagai berikut: 1. Observasi Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan statistik fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam penelitian ini penulis mengadakan pengamatan langsung di sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja. Hal ini untuk memperoleh tentang penerapan kesetaraan gender dalam proses pembelajaran. 2. Angket Cara ini dilakukan dengan cara menyebarkan angket kepada guru, dan siswa pada Sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja. Masing-masing sekolah diberikan 30 angket meliputi: 10 angket kelas 10, 10 angket kelas 11, dan 10 angket kelas 12, yang dijadikan sebagai responden yang digunakan untuk mendapatkan data dan informasi-informasi yang berhubungan dengan aplikasi kesetaraan gender dalam pendiidkan atau faktor lain yang berkaitan dengan masalah yang diambil. 3. Wawancara Cara ini dilakukan untuk menggali data melalui interview atau percakapan langsung dengan bagian dengan Kepala Sekolah tingkat menengah di Kec. Kresek Balaraja, dan bagian tata usaha. Untuk memperoleh data mengenai penjurusan/program studi, proses pembelajaran pendidikan, dan proses pengelolaan manajemen pendidikan, di Sekolah Menengah di Kec. Kresek Balaraja. 4. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi adalah dengan menyelidiki dokumen-dokumen tertulis untuk memperoleh data proporsi jumlah siswa menurut aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan, dan pemilihan jurusan/program studi. Jumlah kepala sekolah, jumlah guru, jumlah lulusan untuk tahun ajaran 2005/2006, dan jumlah sekolah menurut aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan yang berada di Kec. Kresek Balaraja. F. Variabel Penelitian Dalam penelitian ini terdapat satu variabel. Variabel tersebut adalah aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan, dimana pengertian aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan dapat disimpulkan yaitu merupakan
penerapan atau penggunaan peluang dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh usaha sadar yang di lakukan oleh orang dewasa untuk membantu dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak didik secara teratur dan sistematis kearah kedewasaan melalui bimbingan pengajaran, latihan-latihan, dan dicurahkan dalam rangka mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik ketingkat kedewasaan, dan hal ini dilakukan baik di dalam maupun diluar sekolah yang berlangsung seumur hidup, demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Proses pembelajaran pendidikan yang meliputi; materi pembelajaran, tehnik penyampaian, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Proses manajemen pendidikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen kesiswaan dalam kesetaraan gender dilihat dari proses pengelolaan manajemen pendidikan, pemilihan jurusan/program proses pembelajaran, manajemen pendidikan, dan profil pendidikan Sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja. Tabel 3.1 Variabel Penelitian dan Indikator Variabel
Aplikasi Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan
Indikator • Proses pembelajaran pendidikan antara laki-laki dan perempuan. • Materi pembelajaran antara laki-laki dan perempuan. • Tehnik penyampaian dalam proses pembelajaran antara laki-laki dan perempuan. • Sistem pembelajaran dalam akses laki-laki dan perempuan. • Evaluasi pembelajaran dalam akses laki-laki dan perempuan. • Proses pengelolaan manajemen pendidikan antara laki-laki dan perempuan. • Manajemen Kesiswaan dalam kesetaraan gender pada pemilihan jurusan/program studi. • Profil pendidkan antara laki-laki dan perempuan.
G. Kisi-Kisi Instrumen Kisi-kisi instrumen yang digunakan dalam memperoleh data dan informasi-informasi di Sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja yang meliputi: pemilihan jurusan/program studi, latar belakang dalam pemilihan jurusan, proses pengelolaan manajemen pendidikan, dan proses pembelajaran pendidikan.
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen
Variabel
Indikator •
Pengelompokan siswa menurut proses pembelajaran.
Aplikasi Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan •
Proses pengelolaan manajemen pendidikan
No. Pertanyaan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39.
Jumlah
42
39
H. Teknik Pengolahan Data Yang dimaksud dengan pengolahan data dalam pembahasan ini adalah langkah-langkah yang ditempuh penulis untuk memperoleh hasil ahir dalam penelitian. Dalam pengolahan data dan analisa ini penulis memperoleh data melalui dokumentasi, wawancara, dan angket kemudian dioleh dan diedit yang selanjutnya dianalisa dan disimpulkan. Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, perlu segera digarapoleh penulis, atau disebut dengan pengolahan data. Secara garis besar, “pekerjaan analisa data meliputi 3 langkah yaitu, persiapan, tabulasi, dan penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian.”70 1. Persiapan
70
Suharsimi Arikunto, loc. Cit, h. 209
Kegiatan dalam langkah persiapan ini antara laian: mengecek nama dan kelengkapan identitas pengisi, mengecek kelengkapan data artinya memeriksa isi instrumen pengumpulan data, dan mengecek macam isian data.
2. Tabulasi Pengolahan data dengan memindahkan jawaban yang terdapat dalam angket kedalam tabulasi. Kemudian setelah data diolah, sehingga hasil angket dinyatakan sah, maka penulis selanjutnya melakukan analisa data dengan teknik deskriptif kualitatif dengan presentase. Rumus yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: F P = — × 100 % N Keterangan: P = Persentase yang dicari F = Frekuensi (jumlah jawaban responde) N = Number of cases (banyaknya individu)71 3. Penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian
71
Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. ke-16, h. 40
Maksud rumusan yang dilakukan ini adalah pengolahan data yang diperoleh dengan menggunakan rumusan-rumusan atau aturan-aturan yang ada, sesuai dengan pendekatan penelitian atau desain yang diambil Setelah ada persiapan, tabulasi, dan penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian, maka analisa data dilakukan dengan menghitung banyaknya centengan/chek list dalam setiap kolom yang berbeda nilainya tersebut. Kemudian mengalihkan ferekuensi pada masing-masing kolom dengan nilai kolom yang bersangkutan dan dibagi dengan banyaknya responden yang ada. Selanjutnya nilai tersebut dikategorikan menjadi “Selalu” dan “Tidak pernah”. Sehingga dapat diambil kesimpulan untuk masing-masing jawaban.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian Pentingnya
kesetaraan
gender
dalam
setiap
pembangunan,
berarti
menempatkan prioritas pembangunan negara menjadi titik sentral. Pembangunan di sini, bukan berarti hanya pembangunan ekonomi tetapi juga pembangunan pendidikan, politik, budaya, yang semuanya ini dituntut untuk direformasi sehingga akan menciptakan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. “Pada prinsipnya gender bisa berbeda dan dipengaruhi oleh waktu dan tempat, sehingga gender tidak bisa berlaku universal.”72 Akan tetapi apabila melihat pada era reformasi ini membuat sesuatu yang tidak mungkin akan menjadi kenyataan. Hal ini terjadi juga pada pendidikan. Secara perlahan-lahan manusia mengalami inovasi yang dipengaruhi oleh waktu dan tempat, sebagaimana yang digambarkan di atas. Hal ini menuntut adanya persamaan hak untuk mendapatkan dan memperoleh proses pembelajaran pendidikan, serta proses pengelolaan manajemen pendidikan yang menyangkut tentang gender
72
Ace Suryadi, Kesetaraan Gender Dalam Bidang Pendidikan, (Bandung, PT GENESINDO, 2004), Cet. ke-1. h, 34
antara laki-laki dan perempuan. Masalah ini yang selalu menjadi pembahasan dalam dunia pendidikan, sehingga terjadinya kesenjangan gender. Data dari penelitian ini adalah sekolah menengah di Kec. Kresek Balaraja, yang terdiri dari 12 sekolah dengan rincian sebagai berikut: SMK sebanyak 3 sekolah, STM sebanyak 2 sekolah, SMA sebanyak 3 sekolah, MA sebanyak 4 sekolah. Dalam penelitian ini menggunakan angket dengan responden berasal dari siswa-siswi sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja dan guru. Untuk siswa Sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja diambil 5% dari sampel yang diambil yaitu sebanyak 360 responden. Angket tersebut diberikan kepada setiap sekolah sebanyak 30 responden, dengan jumlah 360 responden dan 12 sekolah. Dengan rincian kelas I sebanyak 10 orang terdiri dari 5 siswa laki-laki dan 5 siswa perempuan, kelas II sebanyak 10 orang terdiri dari 5 siswa laki-laki dan 5 siswa perempuan, kelas III sebanyak 10 orang terdiri dari 5 siswa laki-laki dan 5 siswa perempuan. Sedangkan untuk guru diambil 10% dengan jumlah responden 48 orang yang terdiri dari 24 guru laki-laki dan 24 guru perempuan. Latar belakang respon guru berasal dari S2 keguruan, S2 non keguruan, S1 keguruan, S1 non keguruan, sarjana muda, dan pesantren. Wawancara dilakukan dengan kepala sekolah dari tiap-tiap sekolah menengah, dan dengan bagian tata usaha. Akan tetapi dengan adanya kesibukankesibukan yang menyangkut tentang pendidikan, sehingga kepala sekolah tidak ada di tempat maka diwakilkan oleh wakil kepala sekolah bagian kurikulum dengan rincian sebagai berikut; kepala sekolah SMK PGRI I, kepala sekolah SMK MANDIRI,
kepala sekolah SMK AL-HIKMAH, kepala sekolah STM KORPRI 02, wakil kepala sekolah bagian kurikulum STM YUPPENTEK 3, kepala sekolah SMA PGRI, kepala sekolah SMA MANDIRI, wakil kepala sekolah bagian kurikulum SMA AL-FALAH, kepala sekolah MAN, kepala sekolah MA EL-SYARIEF, kepala sekolah MA ALKHAERIYAH, kepala sekolah MANBA’UL HIKMAH. Hasil wawancara terdapat pada lampiran-lampiran. Hasil dari angket atau sekor mentah yang berkaitan dengan proses pembelajaran pendidikan, dan proses pengelolaan manajemen pendidikan terdapat pada lampiran-lampiran. B. Pembelajaran Berspektif Gender 1. Proses pembelajaran Dalam proses pembelajaran yang meliputi; materi pembelajaran, tehnik penyampaian, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran, setiap sekolah mempunyai keragaman. Hal ini yang ada dalam penelitian.
Tabel 4.1 Proses pembelajaran bertujuan mengembangkan berbagai aspek
Proses pembelajaran Responden mengembangkan berbagai aspek Siswa Guru
Selalu (%) 100 100
Tidak pernah (%) -
Dari 360 responden yang berasal dari para siswa, 100% menyetujui bahwa proses pembelajaran pendidikan di sekolah bertujuan mengembangkan berbagai aspek pada peserta didik baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini sama dengan angket guru dari 48 responden, bahwa 100% menyetujui proses pembelajaran pendidikan di sekolah bertujuan mengembangkan berbagai aspek pada peserta didik baik laki-laki maupun perempuan. Tabel 4.2 Dalam kegiatan belajar mengajar lebih berpartisipasi Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki berpartisipasi Selali (%) Tidak pernah (%) 43 57 42 58
Siswa perempuan berpartisipasi Selalu (%) Tidak pernah (%) 80 20 83 17
Dalam proses pembelajaran sebaiknya siswa/siswi ikut berpartisipasi sehingga dalam kegiatan belajar mengajar tersebut siswa/siswa mengerti dan memahami apa yang disampaikan oleh guru. Dari 360 responden yang berasal dari siswa, menyatakan 43% setuju kalau siswa laki-laki berpartisipasi dan 57% tidak setuju. Sedangkan untuk siswa perempuan menyatakan 80% setuju, dan 20% tidak setuju. Akan tetapi dari 48 responden yang berasal dari guru, menyatakan 42% setuju kalau laki-laki berpartisipasi dan 58% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 83% kalau siswa perempuan berpartisipasi dan 17% tidak setuju. Artinya dalam kegiatan belajar mengajar siswa perempuan lebih berpartisipasi. Tabel 4.3 Buku catatan pelajaran Responden
Siswa laki-laki lebih lengkap dan rapih Siswa perempuan lebih lengkap dan rapih Selalu (%) Tidak pernah (%) Selalu (%) Tidak pernah (%)
38 40
Siswa Guru
62 60
92 96
8 4
Dalam mentransferkan ilmu dari pendidik ke peserta didik, hendaknya siswa mempunyai catatan sehingga lebih mudah lagi untuk mengulang kembali apa saja materi-materi yang disampaikan oleh guru. Dari 360 responden yang berasal dari siswa menyatakan, 38% setuju bahwa siswa laki-laki lebih lengkap dan rapih dan 62% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 92% setuju dan 8% tidak setuju. Sedangkan angket guru sebanyak 48 responden menyatakan 40% setuju kalau siswa laki-laki lebih lengkap dan rapih dan 60% tidak setuju. Artinya siswa perempuan lebih lengkap dan rapih dalam buku catatan pelajaran. Tabel 4.4 Buku referensi/pelajaran Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki lebih lengkap Selalu (%) Tidak pernah (%) 40 60 39 61
Siswa perempuan lebih lengkap Selalu (%) Tidak pernah (%) 94 6 93 7
Buku referensi/pelajaran merupkan pedoman dalam kegiatan belajar mengajar bagi siswa/siswi. Dari 360 responden yang berasal dari siswa menyatakan, 40% setuju kalau laki-laki lebih lengkap dalam buku referensi/pelajaran dan 60% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 94% setuju dan 6% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru sebanyak 48 responden menyatakan, 39% setuju kalau siswa laki-laki lebih lengkap dalam buku referensi/pelajaran dan 61 tidak setuju. Untuk siswa perempuan 93% setuju dan 7% setuju. Artinya dalam kegiatan belajar mengajar siswa perempuan lebih lengkap dalam buku referensi/pelajaran.
Tabel 4.5 Memasang jadwal piket dan alat peraga Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki bertugas Selalu (%) Tidak pernah (%) 81 19 98 2
Siswa perempuan bertugas Selalu (%) Tidak pernah (%) 52 48 58 42
Dalam dunia kelas harus ada gambar, alat peraga dan jadwal piket untuk menunjang proses pembelajaran pendidikan. Dari hasil angket siswa sebanyak 360 responde menyatakan, 81% setuju kalau siswa laki-laki bertugas memasang jadwal piket dan alat peraga dan 19% tidak setuju. Untuk perempuan 52% setuju dan 48% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru sebanyak 48 responden menyatakan, 98% setuju kalau siswa laki-laki bertugas memasang jadwal piket dan 2% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 58% setuju dan 42% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan baik siswa laki-laki mapun siswa perempuan bertugas memasang jadwal piket dan alat peraga. Tabel 4.6 Ditugaskan ke depan Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki lebih sering Selalu (%) Tidak pernah (%) 43 57 65 35
Siswa perempuan lebih sering Selalu (%) Tidak pernah (%) 82 18 83 17
Seorang guru agar materi yang disampaikan kepada siswa/siswi bisa dimengerti maka, siswa/siswi diajak aktif untuk ke depan sehingga hal ini mempermudah merangsang pemahaman bagi mereka. Dari hasil angket siswa sebanyak 360 responden menyatakan, 43% setuju bila siswa laki-laki lebih sering ke depan dan 57% tidak setuju. Bagi siswa perempuan 82% setuju dan 18% tidak setuju. Sedangkan hasil angket guru sebanyak 48 responden menyatakan 65% setuju kalau siswa laki-laki lebih sering ke depan dan 35% tidak setuju. Hal ini ada sedikit perbedaan antara siswa dan guru yang menyatakan siswa laki-laki lebih sering ke depa. Akan tetapi semua ini ingin menciptakan agar proses pembelajaran tidak ada perbedaan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.7 Lebih sering bertanya Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki lebih sering Selalu (%) Tidak pernah (%) 60 40 75 25
Siswa perempuan lebih sering Selalu (%) Tidak pernah (%) 94 6 88 12
Untuk proses pembelajaran itu bisa diterima oleh peserta didik hendaknya siswa di beri kesempatan untuk bertanya pada materi pelajaran tersebut. Drai ahasil angket siswa sebanyak 360 responden menyatakan, 60% kalau siswa laki-laki lebih sering bertanya dan 40% tidak setuju. Untuk perempuan 94% setuju dan 6% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari geru sebanyak 48 responden menyatakan, 75% setuju kalau siswa laki-laki lebih sering bertanya dan 25% tidak setuju. Untuk
perempuan 88% setuju dan 12% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan.
Tabel 4.8 Tepat waktu dalam mengumpulkan tugas Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki lebih tepat Selalu (%) Tidak pernah (%) 35 65 38 62
Siswa perempuan lebih tepat Selalu (%) Tidak pernah (%) 97 3 98 2
Seorang guru yang ingin siswa/siswinya memahami dalam mata pelajaran, maka siswa/siswi tersebut diberikan tugas untuk bisa dimengerti dan dipahami. Dari 360 responden siswa menyatakan,35% setuju kalau laki-laki lebih tepat waktu dalam mengumpulkan tugas dan 65% tidak setuju. Lain halnya bagi siswa perempuan 97% setuju dan 3% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru sebanyak 48 responden menyatakan 38% setuju kalau siswa laki-laki lebih tepat waktu dalam mengumpulkan tugas dan 62% tidak setuju. Akan tetapi untuk siswa perempuan 98% setuju dan 2% tidak setuju.artinya siswa perempuan lebih tepat waktu dalam mengumpulkan tugas.
Tabel 4.9 Lebih berpartisipasi dalam belajar kelompok/diskusi Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki berpartisipasi Selalu (%) Tidak pernah (%) 68 32 63 37
Siswa perempuan berpartisipasi Selalu (%) Tidak pernah (%) 96 4 98 2
Strategi pembelajaran salah satunya adalah belajar kelompok/diskusi agar siswa/siswi bisa lebih memahami dan mengerti dalam proses pembelajaran pendidikan. Dari 360 responden siswa menyatakan 68% setuju kalau siswa laki-laki lebih berpartisipasi dalam belajar kelompok/diskusi dan 32% tidak setuju. Lain halnya bagi siswa perempuan 96% setuju dan 4% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru sebanyak 48 responden menyatakan, 63% setuju kalau siswa laki-laki lebih berpartisipasi dalam belajar kelompok/diskusi dan 37%. Untuk siswa perempuan 98% setuju dan 2% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan dalam partisipasi antara siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam belajar kelompok/diskusi. Tabel 4.10 Menjadi ketua kelas Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 96 4 98 2
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 49 51 58 42
Dalam sebuah kelompok harus mempunyai ketua sehingga bisa lebih tepat sasaran dalam perencanaannya, hal ini juga harus ada dalam sebuah kelas. Dari 360 responden siswa menyatakan 96% setuju apabila siswa laki-laki menjadi ketua kelas, dan 4% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 49% setuju dan 51% tidak setuju. Lain halnya pendapat dari guru yang menyatakan 98% setuju kalau siswa lakilaki menjadi ketua kelas dan 2% tidak setuju. Untuk perempuan 58% setuju dan 42% tidak setuju. Artinya hal ini terjadi perbedaan pendapat antara siswa dan guru tentang
siapa yang sesuai menjadi ketua kelas, akan tetapi pada dasarnya antara laki-laki dan perempuan bisa menjadi ketua kelas.
Tabel 4.11 Menjadi sekretaris kelas Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 44 56 52 48
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 98 2 100
Hasil dari angket siswa sebanyak 360 responden menyatakan, 44% setuju apabila siswa laki-laki sesuai untuk menjadi sekretaris kelas dan 56% tidak setuju. Sedangkan untuk siswa perempuan 98% setuju apabila siswa perempuan sesuai menjadi sekretaris kelas dan 2% tidak setuju. Lain halnya dari hasil angket guru sebanyak 48 responden yang menyatakan, 52% setuju apabila siswa laki-laki sesuai menjadi sekretaris kelas dan 48% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 100% menyetujui. Hal ini adanya perbedaan pendapat antara siswa dan guru tentang sekretaris kelas, akan tetapi pada dasarnya ingin menyetarakan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam suatu jabatan kelas.
Tabel 4.12 Menjadi bendahara Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 52 48 64 36
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 98 2 100
Dari 360 responden siswa menyatakan bahwa, 52% setuju apabila siswa lakilaki menjadi bendahara dan 48% tidak setuju. Akan tetapi bagi siswa perempuan 98% setuju apabila siswa perempuan menjdi bendahara dan 2% tidak setuju. Sedangkan hasil angket guru sebanyak 48 responden menyatakan, 64% setuju apabila siswa laki-laki menjadi bendahara dan 36% tidak setuju. Lain halnya bagi siswa perempuan 100% menyetujui apabila siswa perempuan menjabat sebagai bendahara. Tabel 4.13 Menjadi bagian konsumsi Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki bagian konsumsi Selalu (%) Tidak pernah (%) 47 53 46 54
Siswa perempuan bagian konsumsi Selalu (%) Tidak pernah (%) 96 4 98 2
Dari hasil angket siswa yang mempunyai 360 responden menyatakan bahwa, 47% siswa laki-laki menjadi bagian konsumsi dan 53% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 96% setuju apabila siswa perempuan menjadi bagian konsumsi dan 4% tidak setuju. Sedangkan hasil angket guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 46% setuju apabila siswa laki-laki menjadi bagian konsumsi dan 54% tidak setuju. Akan tetapi apabila siswa perempuan menjadi bagian konsumsi menyatakan 98% setuju dan 2% tidak setuju. Artinya siswa perempuan sesuai menjadi bagian konsumsi. Tabel 4.14 Menjadi bagian humas
Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 88 12 96 4
Siswa perempuan sesuai Selalu (%) Tidak pernah (%) 59 41 77 33
Hasil angket yang berasal dari siswa yang mempunyai 360 responden menyatakan, 88% setuju kalau siswa laki-laki menjadi bagian humas dan 12% tidak setuju. Untuk siswa perempuan menyatakan 59% setuju dan 41% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan bahwa, 96% setujun apabila siswa laki-laki menjadi bagian humas dan 4% tidak setuju. Akan tetapi untuk siswa perempuan menyatakan 77% setuju dan 33% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam menjabat sebagai humas. Tabel 4.15 Menjadi pemimpin upacara Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 96 4 100
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 64 36 67 33
Dalam satu minggu proses pembelajaran terdapat satu hari upacara bendera. Dari 360 responden siswa menyatakan, 96% setuju apabila siswa laki-laki menjadi pemimpin upacara dan 4% tidak setuju. Lain halnya bagi siswa perempuan menyatakan, 64% setuju apabila siswa perempuan menjadi pemimpin upacara dan 36% tidak setuju. Sedangkan hasil angket guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 100% menyetujui bahwa siswa laki-laki menjadi pemimpin upacara. Untuk siswa perempuan 67% setuju dan 33% tidak setuju.
Tabel 4.16 Menjadi peserta upacara Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 90 10 85 15
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 96 4 92 8
Adanya pemimpin upacara pasti mempunyai peserta upacara. Dari 360 responden siswa menyatakan, 90% setuju apabila siswa laki-laki menjadi peserta upacara dan 10% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 96% setuju dan 4% tidak setuju. Sedangkan hasil angket guru yang mempunyai 48 responden mneyatakan, 85% setuju apabila siswa laki-laki menjadi peserta upacara dan 15% tidak setuju. Lain halnya bagi siswa perempuan 92% setuju dan 8% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan untuk menjadi peserta upacara. Tabel 4.17 Bila terlambat diberikan sangsi yang lebih berat
Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki diberikan sangsi lebih berat Selalu (%) Tidak pernah (%) 45 55 35 65
Siswa perempuan diberikan sangsi lebih berat Selalu (%) Tidak pernah (%) 50 50 8 92
Untuk menciptakan disiplin dalam suatu sekolah, maka dibuatlah tata tertib sehingga proses pembelajaran berjalan dengan tertib. Dari hasil angket siswa sebanyak 360 responden menyatakan 45% setuju kalau siswa laki-laki diberikan sangsi yang lebih berat dan 55% tidak setuju. Untuk perempuan 50% setuju dan 50% tidak setuju.
Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden yang menyatakan 35% setuju kalau siswa laki-laki diberikan sangsi yang lebih berat dan 65% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 8% setuju dan 92% tidak setuju. Artinya antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan tidak ada perbedaan dalam mendapatkan sangsi bila terlambat. Tabel 4.18 Perlakuan berbeda dalam proses belajar mengajar Siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam proses belajar mengajar harus berbeda
Responden
Selalu (%) 15 4
Siswa Guru
Tidak pernah (%) 85 96
Dari angket siswa sebanyak 360 responden menyatakan, 15% setuju kalau perlakuan terhadap siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam proses belajar mengajar harus berbeda dan 85% tidak setuju. Sedangkan hasil angket guru yang mempunyai responden sebanyak 48 menyatakan 4% setuju dan 96% tidak setuju. Artinya perlakuan terhadap siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam belajar mengajar tidak ada bedanya. Tabel 4.19 Tugas piket
Responden
Siswa Guru
Siswa perempuan menyapu lantai Selalu (%) 89 96
Tidak pernah (%) 11 4
Dari hasil angket siswa yang mempunya 360 resonden menyatakan, 89% setuju apabila tugas piket siswa perempuan menyapu lantai dan 11% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan 96% setuju dan 4% tidak setuju. Tabel 4.20 Tugas siswa
Responden
Siswa Guru
Siswa laki-laki membuang sampah Selalu (%) 82 81
Tidak pernah (%) 18 19
Dari 360 responden siswa menyatakan, 82% setuju kalau siswa laki-laki bertugas membuang sampah dan 18% tidak setuju. Sedangkan hasil angket guru sebanyak 48 responden menyatakan, 81% setuju kalau siswa laki-laki bertugas membuang sampah dan 19% tidak setuju. Artinya tugas siswa laki-laki adalah membuang sampah. Tabel 4.21 Tugas piket
Responden
Siswa Guru
Siswa laki-laki membersihkan papan tulis Selalu (%) 90 88
Tidak pernah (%) 10 12
Dari 360 responden siswa menyatakan, 10% setuju kalau siswa laki-laki adalah membersihkan papan tulis dan 90% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 88% setuju kalau siswa laki-laki membersihkan papan tulis dan 12% tidak setuju. Artinya tugas siswa laki-laki adalah membersihkan papan tulis.
Tabel 4.22 Diberikan kesempatan yang sama dalam proses pembelajaran
Siswa laki-laki dan Responden perempuan diberikan kesempatan yang sama Siswa Guru
Selalu (%) 98 98
Tidak pernah (%) 2 2
Dalam kegiatan belajar mengjar seorang pendidik memberikan kesempatan yang sama baik bagi siswa laki-laki maupun siswa perempuan. Hasil dari angket siswa sebnayak 360 responden menyatakan 98% setuju dan 2% tidak setuju. Hal ini sama dengan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden yang menyatakan 98% setuju dan 2% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam mendapatkan kesempatan dalam proses pembelajaran pendidikan. Tabel 4.23 Dalam penyampaian laporan
Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki lebih rapih Selalu (%) Tidak pernah (%) 56 44 71 29
Siswa perempuan lebih rapih Selalu (%) Tidak pernah (%) 82 12 98 2
Dalam kegiatan belajar mengajar, seorang guru memberikan evaluasi baik itu berupa tugas maupun latihan-latihan sehingga siswa/siswi bisa lebih memahami dan mengerti. Dari 360 responden siswa menyatakan, 56% setuju kalau siswa laki-laki lebih rapih dalam penyampaian laporan dan 44% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 82% setujudan 12% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 71% setuju kalau siswa laki-laki lebih rapih dalam penyampaian laporan dan 29% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 98% setuju dan 2% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan lebih dalam penyampaian laporan tugas. Tabel 4.24 Membersihkan alat-alat praktikum Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki bertugas membersihkan Siswa perempuan bertugas membersihkan Selalu (%) Tidak pernah (%) Selalu (%) Tidak pernah (%) 82 13 62 38 71 29 98 2
Dari 360 responden siswa menyatakan, 82% setuju kalau siswa laki-laki bertugas membersihkan alat-alat praktikum dan 13% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 62% setuju dan 38% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 71% setuju apabila siswa laki-laki bertugas membersihkan alat-alat praktikum dan 29% tidak setuju. Untuk siswa perempuan
98% setuju dan 2% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan bagi siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam bertugas membersihkan alat-alat praktikum. 2. Proses pengelolaan manajemen kesiswaan berspektif gender Dalam proses pengelolaan manajemen pendidikan di sekolah yang menyangkut juga manajemen kesiswaan, dapat kita lihat dari hasil angket siswa dan guru dalam perspektif gender.
Tabel 4.25 Mengembangkan keahlian-keahlian
Proses pengelolaan manajemen pendidikan Responden mengembnagkan keahlian bagi siswa laki-laki maupun siswa perempuan Siswa Guru
Selalu (%) 100 100
Tidak pernah (%) -
Dalam kegiatan belajar mengajar proses pengelolaan manajemen pendidikan sangatlah penting sehingga proses pembelajaran dapat mengembangkan keahliankeahlian bagi siswa laki-laki maupun siswa perempuan. Dari 360 responden siswa dan 48 responden guru menyetujui 100% bahwa proses pengelolaan manajemen pendidikan di sekolah bertujuan mengembangkan keahlian-keahlian pada peserta didik baik siswa laki-laki maupun siswa perempuan.
Tabel 4.26 Berkonsultasi dalam memilih jurusan Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki berkonsultasi Selalu (%) Tidak pernah (%) 74 26 59 41
Siswa perempuan berkonsultasi Selalu (%) Tidak pernah (%) 94 6 100 -
Dari 360 responden siswa menyatakan, 74% setuju apabila siswa laki-laki sebelum memilih jurusan/program studi berkonsultasi dengan teman, guru, orang tua, kakak, dan adik yang mengetahui tentang masa depan jurusan tersebut dan 26% tidak setuju. Untuk perempuan 94% setuju dan 6% tidak setuju. Sedangkan hasil angket guru yang mempunyai48 responden menyatakan, 59% setuju siswa laki-laki sebelum memilih jurusan/program studi berkonsultasi dengan teman, guru, orang tua, kakak, dan adik yang mengetahui tentang masa depan jurusan tersebut dan 41% tidak setuju. Untuk siswa perempuan menyetujui 100%. Tabel 4.27 Jurusan/program studi IPS Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 73 27 73 27
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 72 28 81 19
Dari hasil angket siswa yang mempunyai 360 responden menyatakan, 73% setuju kalau jurusan/program studi IPS sesuai untuk siswa laki-laki dan 27% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 72% setuju dan 28% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 73% setuju apabila jurusan/program studi IPS sesuai untuk siswa laki-laki dan 27% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 81% setuju dan 19% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan
dalam pemilihan jurusan/program studi IPS bagi siswa laki-laki maupun siswa perempuan. Tabel 4.28 Jurusan/program studi IPA Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 72 28 77 23
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 77 23 75 25
Dari 360 responden siswa menyatakan, 72% setuju apabila jurusan/program studi IPA sesuai untuk siswa laki-laki. Untuk siswa perempuan 77% setuju dan 23% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempeunyai 48 responden menyatakan, 77% setuju apabila jurusan/program studi IPA sesuai untuk siswa lakilaki dan 23% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 75% setuju dan 25% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan dalam jurusan/program studi IPA antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.29 Jurusan/program studi bahasa Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 77 23 81 19
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 78 22 85 15
Dari hasil angket siswa yang mempunyai 360 responden menyatakan, 77% setuju kalau siswa laki-laki memilih jurusan/program studi bahasa dan 23% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 78% setuju dan 22% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 81% setuju apabila jurusan/program studi untuk siswa laki-laki dan 19% tidak setuju.
Untuk siswa perempuan 85% setuju dan 15% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan dalam jurusan/prgram studi bahasa untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.30 Jurusan/program studi keahlian komputer Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 82 18 85 15
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 74 26 85 15
Dari hasil angket siswa yang mempunyai 360 responden, menyatakan 82% setuju kalau jurusan/program studi keahlian komputer untuk siswa laki-laki dan 18% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 74% setuju dan 26% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden mneyatakan, 85% setuju apabila jurusan/program studi untuk siswa laki-laki dan 15% tidak setuju. Sedangkan 85% setuju dan 15% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan dalam jurusan/program studi keahlian komputer untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.31 Jurusan/program studi keahlian tata boga Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 26 74 42 58
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 87 13 90 10
Dari hasil angket siswa yang mempunyai 360 responden menyatakan, 26 setuju kalau jurusan/program studi keahlian tata boga untuk siswa laki-laki dan 74 tidak setuju. Untuk siswa perempuan 87% setuju dan 13% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 42% setuju kalau
jurusan/program studi keahlian tata boga untuk siswa laki-laki dan 58 tidak setuju. Akan tetapi untuk siswa perempuan 90% setuju dan 10% tidak setuju. Artinya ada perbedaan dalam jurusan/program studi keahlian tata boga antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.32 Jurusan/program studi keahlian tata busana Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 31 69 44 56
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 91 9 92 8
Dari hasil angket siswa yang mempunyai 360 responden menyatakan, 31% setuju kalau jurusan/program studi tat busana untuk siswa laki-laki dan 69% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 91% setuju dan 9% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan 44% setuju kalau jurusan/program studi keahlian tata busana untuksiswa laki-laki dan 56% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 92% setuju dan 8% tidak setuju. Artinya ada perbedaan dalam jurusan/program studi keahlian tata busana bagi siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.33 Jurusan/program studi keahlian akuntansi Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 81 19 90 10
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 81 19 92 8
Dari hasil angket siswa yang mempunyai 360 responden manyatakan, 81% setuju apabila jurusan/program studi keahlian akuntansi untuk siswa laki-laki dan
19% tidak setuju. Hal ini juga sama dengan siswa perempuan 81% setuju dan 19% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 90% setuju apabila jurusan/program studi keahlian akuntansi untuk siswa laki-laki dan 10% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 92% setuju dan 8% tidak setuju. Artinya dalam jurusan/program studi keahlian akuntansi tidak ada perbedaan baik itu bagi siswa laki-laki maupun siswa perempuan. Tabel 4.34 Jurusan/program studi keahlian sekretaris Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 23 77 40 60
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 95 5 92 8
Dari 360 responden siswa mneyatakan, 23% setuju kalau jurusan/program studi keahlian sekretaris untuk siswa laki-laki dan 77% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 95% setuju dan 5% tidak setuju. Sedangkan hasil angket guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 40% setuju kalau jurusan/program studi keahlian sekretaris untuk siswa laki-laki dan 60% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 92% setuju dan 8% tidak setuju. Artinya ada perbedaan dalam jurusan/program studi keahlian sekretaris bagi siswa laki-laki maupun siswa perempuan. Tabel 4.35 Jurusan/program studi keahlian mesin Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 93 7 96 4
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 55 45 75 25
Hasil angket dari siswa yang mempunyai 360 responden emnyatakan, 93% setuju kalau jurusan/program studi keahlian mesin untuk siswa laki-laki dan 7% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 55% setuju dan 45% tidak setuju. Hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden manyatakan 96% setuju kalau jurusa/program studi keahlian mesin untuk siswa laki-laki dan 4% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 75% setuju dan 25% tidak setuju. Artinya jurusan/program studi keahlian mesin sesuai untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan.
Tabel 4.36 Jurusan/program studi keahlian matematika Responden Siswa Guru
Siswa laki-lakii Selalu (%) Tidak pernah (%) 85 15 90 10
Siswa perempuan sesuai Selalu (%) Tidak pernah (%) 85 15 90 10
Dari 360 responden siswa yang mempunyai 360 responden menyatakan, 85% setuju kalau jurusan/program studi keahlian matematika untuk siswa lki-laki dan 15% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 85% setuju dan 15% tidak setuju. Sedangkan hasil angket guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 90% setuju apabila jurusan/program studi keahlian matematika untuk siswa laki-laki. Dan 10% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 90% setuju dan 10% tidak setuju. Artinya jurusan/program studi keahlian matematika sesuai untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan.
Tabel 4.37 Jurusan/program studi keahlian farmasi Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 84 16 88 12
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 79 21 88 12
Dari hasil angket siswa yang mempunyai 360 responden menyatakan, 84% setuju kalau jurusan/program studi keahlian farmasi untuk siswa laki-laki dan 16% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 79% setuju dan 21% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 88% setuju apabila jurusan/program studi keahlian farmasi dan 12% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 88% setuju dan 12% tidak setuju. Artinya jurusan/program studi keahlian farmasi sesuai untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.38 Jurusan/program studi keahlian kesenian Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 66 34 58 42
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 81 9 96 4
Dari hasil angket siswa yang mempunyai 360 responden menyatakan, 66% setuju kalau jurusan/program studi keahlian kesenian untuk siswa laki-laki dan 34% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 81% setuju dan 9% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 58% setuju apabila jurusan/program studi keahlian kesenian untuk siswa laki-laki dan 42% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 96% setuju dan 4% tidak setuju. Artinya
jurusan/program studi keahlian kesenian sesuai untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.39 Jurusan/program studi keahlian teknik industri Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 81 9 90 10
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak selalu (%) 63 37 75 25
Dari hasil angket siswa yang emmpunyai 360 responden menyatakan, 81% setuju kalau jurusan/program studi teknik industri dan 19% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 63% setuju 37% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang emmpunyai 48 responden menyatakan, 90% setuju kalau jurusan/program studi keahlian teknik industri dan 10% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 75% setuju dan 25% tidak setuju. Artinya jurusan/program studi teknik industri sesuai untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.40 Jurusan/program studi keahlian pariwisata Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 84 16 90 10
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 88 12 92 8
Dari hasil angket siswa yang mempunyai 360 responden menyatakan, 84% setuju kalau jurusan/program studi keahlian pariwisata untuk siswa laki-lakidan 16% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 88% setuju dan 12% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan 90% setuju kalau jurusan/program studi keahlian pariwisata dan 10% tidak setuju. Untuk siswa
perempuan 92% setuju dan 8% tidak setuju. Artinya tidak ada perbedaan untuk jurusan/program studi keahlian pariwisata untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.41 Jurusan/program studi keahlian perhotelan Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 81 19 77 23
Siswa perempuan Selalu(%) Tidak pernah (%) 86 14 88 12
Dari hasil angket siswa yng mempunyai 360 responden menyatakan, 81% setuju kalau jurusan/program studi keahlian perhotelan untuk siswa laki-laki dan 19% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 86% setuju dan 14% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 77% setuju apabila jurusan/program studi keahlian perhotelan untuk siswa laki-laki dan 23% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 88% setuju dan 12% tidak setuju. Artinya jurusan/program studi keahlian perhotelan sesuai untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.42 Jurusan/program studi keahlian kesejahteraan keluarga Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 88 12 90 10
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 83 17 96 4
Dari ahsil angket siswa yang emmpunyai 360 responden menyatakan, 88% setuju kalau jurusan/program studi keahlian kesejahteraan keluarga untuk siswa lakilaki dan 12% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 83% setuju dan 17% tidak setuju.
Akan tetapi hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 90% setuju kalau jurusan/program studi keahlian kesejahteraan keluarga dan 10% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 96% setuju dan 4% tidak setuju. Artinya jurusan/program studi keahlian kesejahteraan keluarga sesuai untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.43 Jurusan/program studi keahlian bisnis Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki sesuai Selalu (%) Tidak pernah (%) 93 7 96 4
Siswa perempuan sesuai Selalu (%) Tidak pernah (%) 88 12 92 8
Dari hasil angket guru yang mempunyai 360 responden menyatakan, 93% setuju kalau jurusan/program studi keahlian bisnis untuk siswa laki-laki dan 7% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 88% setuju dan 12% tidak setuju. Sedangkan hasil angket daru guru yang mempunyai 48 responden menyatakan, 96% setuju kalau jurusan/program studi keahlian bisnis untuk siswa laki-laki dan 4% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 92% setuju dan 8% tidak setuju. Artinya jurusan/program studi keahlian bisnis sesuai untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan. Tabel 4.44 Jurusan/program studi keahlian penjualan Responden Siswa Guru
Siswa laki-laki Selalu (%) Tidak pernah (%) 92 8 75 25
Siswa perempuan Selalu (%) Tidak pernah (%) 90 10 92 8
Dari hasil angket siswa yang mempunyai 360 responden manyatakan, 92% setuju kalu jurusan/program studi keahlian penjualan untuk siswa lki-laki dan 8%
tidak setuju. Untuk siswa perempuan 90% setuju dan 8% tidak setuju. Sedangkan hasil angket dari guru yang mempunyai 48 responden manytakan, 75% setuju kalau jurusan/program studi untuk siswa laki-laki dan 25% tidak setuju. Untuk siswa perempuan 92% setuju dan 8% tidak setuju. Artinya jurusan/program studi keahlian penjualan untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan.
C. Analisis Kesetaraan Gender dalam Pendidikan dan Profil Manajemen di Sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja 1. Kesetaraan gender dalam pendidikan Berbicara masalah kesesetaraan gender dalam pendidikan yang ada di sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja, terkait dengan proses pelaksanaan kesetaraan gender tersebut dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini bisa kita lihat dari hasil wawancara dengan para kepala sekolah yang mempunyai peranan penting bagi terlaksananya proses pembelajaran. Menurut kepala SMK PGRI 1, “kesetaraan gender perlu diterapkan pada sekolah menengah, hal untuk mendapatkan pendidikan tidak perlu dibedakan karna disekolah ini kebanyakan perempuan.”73 Secara tidak langsung pada sekolah SMK
73
Ramli Rosehan, Kepala SMK PGRI 1, Wawancara Langsung, Kresek Balaraja, 29 September 2006.
PGRI 1 sudah bersifat setara dalam pendidikan. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan pendidikan yang ada disekolah bahwasannya; “semua proses pembelajaran pendidikan bersifat setara antara siswa laki-laki dan siswa perempuan.”74 Hal ini juga dikatakan oleh kepala SMA PGRI, “secara umum manusia mempunyai hak yang sama dan juga mempunyai kewajiban masing-masing sehingga kesetaraan itu ada dalam pendidikan.”75
Dikatakan oleh wakil kurikulum STM
YUPPENTEK 3, “meskipun kodrat perempuan berbeda dengan laki-laki dan perempuan lebih banyak mempunyai psikomotor akan tetapi hal ini tidak mengurangi dalam pendidikan, jadi kesetaraan dalam pendidikan itu sangatlah perlu.”76 Secara langsung pada sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja mengetahui akan pentingnya pendidikan tersebut, dengan pentingnya pendidikan itu maka baik laki-laki maupun perempuan wajib mendapatkan kesetaraan dalam pendidikan. Dalam hal kesetaraan gender dalam pendidikan Kec. Kresek Balaraja sudah bisa dikatakan setara dalam pendidikan, salah satu contohnya bisa dilihat pada STM yang mempunyai jurusan mesin dan hal ini identik dengan laki-laki. Akan tetapi pada STM Kec. Kresek Balaraja tidak harus laki-laki yang bisa masuk, perempuan pun bisa untuk memasuki pada sekolah tersebut. Hal ini sama dikatakan oleh kepala STM KORPRI 02, “dalam kebijakan pendidikan yang ada disekolah pendidikan diberlakukan untuk laki-laki dan perempuan, tidak ada perbedaan dalam
74
Ibid. Suprin, Kepala SMA PGRI, Wawancara langsung. Kresek Balaraja, 29 September 2006. 76 Edi Priyono, Kepala Sekolah STM YUPPENTEK 3, Wawancara Langsung, Kresek Balaraja 1 Oktober 2006. 75
mendapatkan pendidikan tersebut.”77 Hal ini sama dikatakan oleh kepala MA ALKHAERIYAH, “kebijakan dalam pendidikan harus bersifat setara, sehingga akan menciptakan kemampuan daya pikir dan keluasan untuk belajar antara laki-laki dan perempun.”78 Dalam kegiatan belajar mengajar yang menciptakan manusia yang kreatif dan dapat mengaplikasikan kreatifnya tersebut, maka baik siswa laki-laki maupun siswa perempuan harus diperlakukan sama. Salah satu contohnya bisa dilihat dari kegiatankegiatan siswa sebagai utusan perwakilan sekolah, menurut Kepala Sekolah Menengah: “Dalam kegiatan-kegiatan diluar sekolah yang mengirim siswa sebagai utusan perwakilan sekolah, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tergantung dari jenis kegiatan, prestasi, kemampuan, dan minat yang dimiliki oleh siswa.”79 Hal ini bisa menggambarkan proses pembelajaran pada sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja ini yang sudah bersifat setara dalam pendidikan, baik itu dari kebijakan, kegiatan belajar mengajar maupun dari proses pembelajaran pada sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja. Meskipun kesetaraan gender dalam pendidikan sudah teraplikasi pada sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja, akan tetapi para kepala sekolah masih memberlakukan kesetaraan gender itu sampai sekarang, “ dalam kegiatan belajar mengajara diberlakukan yang sama baik itu, dalam tugas 77
Muhammad Dodi Sumarna, Kepala STM KORPRI 02, Wawancara langsung, Kresek Balaraja 2 Oktober 2006. 78 Ahmad Wajedi, Kepala MA AL-KHAERIYAH, Wawancara Langsung, Kresek Balaraja 2 Oktober 2006. 79 Data Hasil Wawancara dengan Kepala Sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja.
siswa, kegiatan siswa, tata tertib, peluang, bantuan, fasilitas, komoditas yang bersifat setara dalam kegiatan belajar mengajar sampai kapanpun.”80 2. Profil Manajemen Pendidikan Untuk menciptakan kesetaraan gender dalam pendidikan dibutuhkan manajemen yang baik. Hal ini tentu saja membutuhkan tenaga pengajar dan peserta didik yang baik. Agar rencana yang telah dibuat oleh instansi lembaga pendidikan itu tercapai dan kesetaraan gender dalam pendidikan itu terlaksana. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah dari 12 sekolah menengah yang ada di Kec. Kresek Balaraja, proporsi kepala sekolah, guru pada posisi penting dan guru menurut jenis kelamin adalah sebagai berikut: Tabel. 4.45 Jumlah Kepala Sekolah dan Guru Menurut Jenis Kelamin Tahun 2006/2007
No.
Sekolah
Kepala
Guru pada Posisi
Sekolah
Penting
Guru
L
P
L
P
L
P
Jmlh
1.
SMK PGRI 1
1
-
5
-
20
15
35
2.
SMA PGRI
1
-
5
-
19
17
36
3.
STM YUPPENTEK 03
1
-
4
1
62
-
62
4.
MAN
1
-
4
1
27
10
37
80
Ibid.
5.
STM KORPRI 02
1
-
5
-
38
4
42
6.
SMA MANDIRI
1
-
4
1
50
18
68
7.
SMK MANDIRI
1
-
4
1
12
16
28
8.
MA MANBA’UL HIKMAH
1
-
5
-
17
-
17
9.
MA EL-SYARIEF
1
-
4
1
15
3
18
10.
MA AL-KHAERIYAH
1
-
5
-
31
41
72
11.
SMK AL-HIKMAH
1
-
4
1
12
4
16
12.
SMA AL-FALAH
1
-
4
1
14
5
19
Sumber: Data hasil wawancara Dari hasil wawancara tersebut terlihat bahwasannya, proporsi yang menduduki posisi yang paling penting dalam sekolah adalah laki-laki. Dari 12 sekolah yang ada di Kec. Kresek Balaraja dipimpin oleh laki-laki. Guru yang mempunyai posisi penting sebagian besar adalah laki-laki. Jumlah guru sebagian besar adalah laki-laki. Untuk menjadi pemimpin di tingkat sekolah menengah menurut Bpk. Dr. Edi Priyono (Wakil Kepala sekolah STM YUPPENTEK 03) adalah: “Harus memiliki pangkat minimal D3, masa kerja minimal selama 10 tahun dan pernah menjabat sebagai wakil kepala sekolah serta harus mengikuti beberapa tes. Selain itu juga harus mempunyai skill dan menguasai materi pelajaran, dan memahami manajemen yang baik.”81 Hal ini tidak terjadi pada suatu lembaga pendidikan yang bersifat yayasan. Dimana hanya bersifat penunjukan dari pengurus yayasan dan kemudian akan 81
Edi Priyono, op. cit
diadakan rapat dewan guru sehingga menghasilkan keputusan musyawarah. Salah satu contohnya pada sekolah Al-khaeriyah, walaupun demikian Bpk. Drs. H. Ahmad Wajedi selaku kepala sekolah telah lama berkecimpung di dunia pendidikan dan sudah puluhan tahun menjadi guru pada sekolah yang beliau pimpin sekarang. Posisi pada suatu instansi pendidikan merupakan hak otonomi masing-masing sekolah, yaitu dengan melihat masa kerja, keahlian, kompetensi, dan kreadibilitas yang dimiliki oleh personel masing-masing. Dan yang paling penting adalah memiliki aspek kepemimpinan dan menguasai manajemen pendidikan yang baik. Adapun untuk menjadi seorang guru pada sekolah harus mengikuti beberapa tes yang ditetapkan oleh masing-masing sekolah. Dan untuk menjadi seorang guru diantaranya: lulusan D1, D2, atau D3, Strata Satu (S1) dan memiliki akta IV, atau pesantren yang biasa pada suatu lembaga pendidikan. Dari tabel 4.45 dapat dilihat bahwa posisi perempuan sebagai pengambil keputusan ditingkat Sekolah Menengah masih sangat kecil jumlahnya. Hal ini dapat diketahui dari jumlah kepala sekolah dan guru-guru yang menempati posisi penting di sekolah. Adapun hasil wawancara tentang peserta didik, dimana peserta didik juga merupakan bagian dari profil manajemen pendidikan adalah sebagai berikut: Tabel 4.46 Jumlah siswa menurut jurusan dan jenis kelamin Tahun 2006/2007
No
Sekolah
Kelas
Jurusan
. X
1.
SMK PGRI 1
XI
XII
P
Akuntansi
50
65
105
Sekretaris
45
106
151
M. Penjualan
30
35
65
Akuntansi
45
63
108
Sekretaris
46
109
155
M. Penjualan
26
40
66
Akuntansi
47
54
101
Sekretaris
30
90
120
M. Penjualan
25
29
54
344
591
935
X
-
134
84
218
XI
IPA
24
39
63
IPS
81
55
136
IPA
20
49
69
IPS
67
59
126
326
286
612
Mesin
100
2
102
Listrik
92
-
92
Otomotif
100
-
100
Mesin
90
-
90
Listrik
100
2
100
Otomotif
100
-
100
Mesin
80
-
80
SMA PGRI XII
Total
X
XI
3.
Jumlah
L
Total
2.
Jenis Kelamin
STM YUPPENTEK 03 XII
Listrik
70
4
70
Otomotif
90
-
90
792
8
800
Total
4.
MAN
X
-
59
110
169
XI
IPA
24
50
74
IPS
30
80
110
IPA
26
75
101
IPS
24
29
53
163
344
507
Mesin
50
2
57
Listrik
50
-
50
Otomotif
55
-
55
Mesin
54
-
54
Listrik
59
2
61
Otomotif
49
-
49
Mesin
45
-
45
Listrik
30
2
32
Otomotif
37
-
37
479
6
485
XII
Total X
XI
5.
STM KORPRI 02 XII
Total
6.
X
-
150
214
364
XI
IPA
115
119
234
IPS
95
97
192
IPA
80
87
167
IPS
75
78
153
515
595
1110
SMA MANDIRI XII
Total
X SMK MANDIRI
Administrasi
19
115
134
Akuntansi
15
72
87
Administrasi
15
115
130
Akuntansi
15
63
78
Administrasi
15
102
117
15
28
43
94
495
589
Perkantoran
XI 7.
Perkantoran
XII
Perkantoran Akuntansi Total
8.
X
-
20
20
40
XI
IPA
16
29
45
IPS
10
25
35
IPA
12
15
27
IPS
13
20
33
71
109
180
MA MANBA’UL HIKMAH XII
Total
9.
MA EL-SYARIEF
X
IPS
30
19
39
XI
IPS
28
27
55
XII
IPS
20
29
49
78
65
143
Total
10.
X
-
15
22
37
XI
IPA
9
22
31
IPS
17
16
33
IPA
12
14
26
IPS
12
17
30
MA AL-KHAERIYAH XII
Total X
XI 11.
SMK ALHIKMAH XII
65
91
157
Akuntansi
10
10
20
Multimedia
9
6
15
Akuntansi
8
7
15
Multimedia
5
4
10
Akuntansi
10
5
15
Multimedia
8
11
19
50
44
94
Total
12.
X
-
79
46
125
XI
IPA
15
11
26
IPS
22
20
42
IPA
17
15
32
IPS
25
15
40
158
107
265
3135
2741
5876
SMA AL-FALAH XII
Total Total Keseluruhan
Data di atas bersumber dari hasil wawancara dengan pihak sekolah. Dapat diketahui bahwasanya jumlah keseluruhan siswa laki-laki dan jumlah keseluruhan siswa perempuan belum berimbang, secara total keseluruhan siswa laki-laki lebih banyak daripada siswa perempuan, yaitu mencapai 60% dibandingkan dengan total keseluruhan siswa perempuan yang hanya mencapai 40%. Tidak semua program studi atau jurusan pada sekolah itu dikhususkan sebagai program studi atau jurusan untuk perempuan, seperti pada jurusan IPA didomonasi oleh perempuan atau sebaliknya. Walaupun ada beberapa jurusan yang lebih
didominasi oleh siswa perempuan, seperti sekretaris dan siswa laki-laki lebih didomonasi pada program studi atau jurusan tehnik. Pada sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja ada beberapa ketentuan dalam pemilihan jurusan yang telah ditentukan oleh masing-masing sekolah. Pada sekolahsekolah negeri ada ketentuan dalam memasuki sekolah dan pemilihan jurusan berpatokan pada nilai, minat anak, psikotes, dan dilakukan wawancara dengan orang tua siswa. Selain itu pada sekolah-sekolah swasta disesuaikan dengan minat siswa dan seleksi yang ditetapkan oleh pihak sekolah masing-masing. Pada dasarnya tidak ada perbedaan perlakuan yang ditetapkan oleh pihak sekolah dalam pemilihan program studi atau jurusan. Hal ini tentu saja dilihat dari minat, bakat, dan prestasi siswa dalam sekolah.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitan pada sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja tentang kesetaraan gender dalam pendidikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam proses pembelajaran pada sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja pada prinsipnya tidak ada perbedaan bagi laki-laki dan perempuan, baik dalam hal materi pembelajaran, tehnik penyampaian, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Akan tetapi dilembaga pesantren terkadang budaya dan lingkungan sangat mempengaruhi adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan kesenjangan gender, khususnya dalam hal penentuan kegiatan ekstrakurikuler. 2. Dalam proses pengelolaan manajemen pendidikan kesiswaan yang menyangkut tentang pemilihan program studi atau jurusan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada masing-masing sekolah, hal ini dilihat dari prestasi, minat, dan bakat siswa. Meskipun ada penjurusan yang didominasi oleh siswa laki-laki yaitu jurusan tehnik dan penjurusan yang didominasi oleh siswa perempuan yaitu sekretaris. Meskipun demikian pada intinya dalam pemilihan penjurusan program studi atau jurusan tergantung dari kemampuan siswa-siswi, dan pihak sekolah hanya sebagai fasilitator yang menyalurkan bakat dan keahlian.
3. Aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan sangatlah penting karna hal ini menyangkut dengan hak asasi manusia dalam mendapatkan pendidkan. Secara struktural kesetaraan gender dalam pendidikan pada sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja sudah terlaksana, hal ini terlihat dari jawaban angket siswa dan guru yang dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan pendidikan. B. Saran Pengambilan keputusan pada sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja sangat didominasi oleh laki-laki. Dimana kepercayaan perempuan untuk menjabat sebagai pemimpin sekolah sangatlah kecil, misalkan pada sekolah yayasan untuk menjadi kepala sekolah ditunjuk oleh pihak pengurus yayasan dan hal ini biasanya untuk lakilaki. Setidaknya kesetaraan itu tidak hanya dalam mendapatkan pendidikan saja akan tetapi dalam menjabat sebagai pemimpin pun perlu adanya kesetaraan baik itu bagi laki-laki maupun perempuan. Hendaknya
pada
sekolah
menengah
Kec.
Kresek
Balaraja
bisa
mempertahankan dan meningkatkan dalam berbagai aspek pendidikan yang bersifat kesetaraan gender. Dan hendaknya pula pada pihak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya jurusan Manajemen Pendidikan, seyogyanya melakukan penelitianpenelitian serupa guna mengetahui, apakah pada sekolah-sekolah yang ada di sekitar kita bersifat setara baik untuk laki-laki maupun perempuan dalam mendapatkan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Nurul, Tradisional Islam dan Feminisme, Ulumum Qur’an, No., 5 dan 6, Vol., V, 1994 Alkitab: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1997 Al-khalaf, Muhammad, Pengaruh Wanita terhadap generasi kini dan esok, Jakarta: CV. Firdaus, 1992, Cet, ke-1 Al-kitab edisi Indonesia Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, Cet, ke-5 Azkiyah, Nurul, Keterkaitan Pendidikan Formal Perempuan dan Dunia Pembangunan, dalam jurnal perempuan No. 23, Tahun 2002 Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998, Cet, ke-1 Basri, Agus, Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1994 Bainar dan Halik, Alchi, Jagat Wanita: Dalam Pandangan Para Tokoh Dunia, Jakarta: PT. Pustaka CIDESINDO, 1999 Birke, Birke, Women, Feminism and Biology, England: The Harvest Press, 1986 Caul, Miki, Womens Representation In-Parlement:The Rok of Political Pasties, Party Politics, London: Sage Publication, 1999, Vol, 5, No. 1 Chop, Rebecca, Hawa yang Tahu: Perlawanan Teologi Feminis terhadap Kerangka Kerja Filsafat Ilmu Pengetahuan Aliran Laki-laki, dalam Zakiyuddin Baidhawy (ed), Wawancara Teologi Feminis Daradjat, Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, Cet, ke-3 Didin Syafrudin, Argumen Supremasi atas Perempuan Penafsiran Klasik Q. S. alNisa: 34, Ulumul Qur’an, No. 5 dan 6, Vol. V, 1994
Disadur dan Dimodifikasi dari buku: Gender and Development, (United Nations, 1990) Dzuhayatin, Ruhaini, Situ, dalam Fakih, Mansour, et al., Membincang Feminisme, Surabaya: Risalah Gusti, 1996 Echols, M., John, dan Shadily, Hassan, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1992, Cet, ke-XX Engineer, Ashgar, Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet, ke-1 Evelyn, Reed, Women’s Evolutions From Matrialchal Clenro Patrialchal Family Fakih, Mansour, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, Cet, ke-1 Hasyim, Syafiq, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu Keperempuan dalam Islam, Bandung: Mizan, 2001 Hilary M. Lips, Sex and Gender: an Introduction, California, London, Toronto: Mangfield Publishing Company, 1993 Hubels, S, Vitayela, feminism dan pemberdayaan perempuan, dalam Dadang S. Anshory et al., (Peny)., membincangkan feminisme Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita, Bandung:Pustaka Hidayah, 1997 Linda L. Lindsey, Gender Role a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990 Mengikuti pengalihan bahasa Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, 1982 Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda, Bandung: Mizan, 1999 Mulya, Musda, Siti, et. All, Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 2003, Cet, ke-2 Murniah, P. Nunuk, A, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, Magelang: IndonesiaTera, 2004, Cet, ke-2 Muthali’in, Ahmad, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2001, Cet, ke-1
Najib, Ala’I, Yang Luput: Pendidikan Perempuan, Swara Rahima No. 7, Maret 2003 Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Nazir, Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998 Neufeldt, Victoria dalam Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender, Jakarta: Paramadina, 1992 Okley, Anne, Sex, Gender, and Society, New York: Harper and Row, 1972 Phipp, E. William, Muhammad dan Isa: Telaah atas Sosok dan Risalahnya, Terjemahan, Ilyas Hassan, Bandung: Mizan, 1998, Cet, ke-1 Poerwadarmita, S. J. W, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, Cet, ke-7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994, Cet. Ke-1 Rasito, Hermawan, Pengantar Metodologi Penelitian, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992 \Suhartono, Irwan, Metode Penelitian Sosial suatu Tehnik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000, Cet, ke-4 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Penerbit Kompas, 2001, Cet, ke-1 Sumiarni, Endang, Jender dan Feminisme, Yogyakarta: Wonderful Publishing Company, 2004, Cet, ke-1 Suryadi, Ace, Kesetaraan Gender Dalam Bidang Pendidikan, Bandung: PT GENESINDO, 2004, Cet, ke-2 Umaedi, Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MMBS/M), Jakarta: CEQM, 2004 Umar, Nasaruddin, Kodrat Perempuan Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999, Cet, ke-1 ______________, Argumen Kesetaraan Gender, selanjutnya dibaca Argumn, Cet. Ke-2, Jakarta: Paramadina, 2001, Cet, ke-2
W., Weitin, Psychology: Themes and Variations, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1992 Zaitunnah, Zubha, Rekonstruksi Pemahaman Gender dalam Islam, Jakarta: elKAHFI, 2002 Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya: PT Pustaka Nasional, 1983, Cet, ke-3