14 Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1), 2009: 14-34
A. Karim Makarim
APLIKASI EKOFISIOLOGI DALAM SISTEM PRODUKSI PADI BERKELANJUTAN1) A. Karim Makarim Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jalan Merdeka No. 147, Bogor 16114
PENDAHULUAN Sampai saat ini padi tidak hanya sebagai makanan pokok sebagian besar penduduk, tetapi juga merupakan sumber perekonomian bagi sebagian besar petani di pedesaan serta berperan dalam berbagai aspek sosial dan politik nasional. Berdasarkan kenyataan ini maka usaha peningkatan produktivitas padi nasional menjadi sangat kompleks, dan upaya peningkatan produktivitas padi tetap perlu mendapat prioritas yang tinggi dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Di sisi lain, adanya berbagai kendala biofisik dan teknis dalam peningkatan produktivitas padi membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan holistik. Produktivitas padi nasional pada tahun 2006 rata-rata 4,57 ton GKG/ha dengan produksi 54,06 juta ton pada areal panen 11,82 juta ha. Pada lahan sawah irigasi, produktivitas padi 4,78 t/ha dengan produksi 51,2 juta ton pada areal panen 10,71 juta ha (Badan Pusat Statistik 2006). Data tersebut menyiratkan bahwa lahan sawah tetap menjadi andalan untuk pengadaan produksi pangan nasional. Sebaliknya,
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 25 Juni 2007 di Bogor.
pemanfaatan lahan bukan sawah (tadah hujan, gogo, dan rawa pasang surut) masih terbatas dengan tingkat hasil masih rendah (± 3,31 t/ha), padahal lahan tersebut sangat potensial dan akan makin luas digunakan pada masa mendatang. Masih rendahnya produktivitas padi pada lahan bukan sawah disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: (1) belum terpecahkannya kendala lingkungan biofisik; (2) keterbatasan genetik varietas padi berpotensi hasil tinggi dan/atau tahan/ toleran terhadap berbagai kendala biofisik seperti hama, penyakit, kekeringan, keracunan Fe, Mn, Al, suhu dingin, dan drainase buruk; dan (3) cara pengelolaan tanaman yang beragam dan sering kali tidak optimal karena adanya kendala sosial, ekonomi, dan budaya. Besarnya keragaman kondisi lingkungan biofisik pertanaman padi, sosial ekonomi petani dan masyarakat pedesaan menuntut pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik dengan sejumlah alternatif teknologi untuk karakteristik tertentu atau spesifik lokasi. Kendala dan masalah utama dalam penerapan teknik budi daya spesifik lokasi adalah: (1) terbatasnya kemampuan dalam menerjemahkan kondisi lingkungan pertanaman padi menjadi kebutuhan terhadap komponen teknologi budi daya; (2) belum terbiasanya memberikan rekomendasi tek-
Aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi berkelanjutan
nologi untuk skala kecil atau spesifik lokasi; (3) belum tersedianya alat bantu sederhana untuk menentukan cara budi daya yang tepat di suatu wilayah; (4) terbatasnya kemampuan penyuluhan; dan (5) belum dimanfaatkannya komponen teknologi budi daya yang beragam secara optimal oleh petani. Kendala dan masalah tersebut dapat dipecahkan melalui penggunaan sistem pakar (expert system) padi yang ditunjang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), khususnya teknologi informasi (TI). Pendekatan ekofisiologi yang diaplikasikan melalui analisis sistem dan dioperasionalkan dengan sistem pakar merupakan terobosan dalam upaya peningkatan produktivitas dan produksi padi nasional di masa mendatang. Selama ini ekofisiologi dianggap sebagai ilmu dasar yang teoritis, tidak berhubungan dengan ilmu-ilmu terapan lainnya seperti agronomi (ilmu bercocok tanam), ilmu tanah, ilmu hama-penyakit tanaman, dan pemuliaan sehingga dinilai tidak aplikatif. Makalah ini bertujuan: (1) memopulerkan aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi; (2) memperkenalkan sistem pakar untuk budi daya padi spesifik lokasi; dan (3) menyusun strategi, kebijakan, dan program ekofisiologi ke depan.
DINAMIKA PENERAPAN EKOFISIOLOGI DALAM PERAKITAN TEKNOLOGI BUDI DAYA PADI Ekofisiologi sebagai Bidang Ilmu Multiguna Ekofisiologi tanaman merupakan salah satu cabang ilmu dalam fisiologi tanaman yang mempelajari proses tumbuh kem-
15
bangnya tanaman (Salisbury dan Ross 1978). Berbeda dengan cabang ilmu lain dalam fisiologi yang umumnya mempelajari proses di dalam jaringan tanaman, ekofisiologi lebih menekankan bagaimana faktor lingkungan berpengaruh terhadap proses di dalam tanaman. Faktor lingkungan ada yang sulit dikendalikan (iklim) dan ada yang mudah diatur (lahan, air, dan cara budi daya). Bidang ekofisiologi dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek pertanian, seperti: (1) menerjemahkan karakteristik lingkungan tumbuh (biotik dan abiotik) menjadi dugaan keragaan pertumbuhan (potensi hasil dan hasil aktual) tanaman sehingga pewilayahan komoditas dan produktivitas dimungkinkan; dan (2) memberikan saran modifikasi lingkungan tumbuh mendekati optimal melalui cara budi daya yang tepat (spesifik lokasi) agar penyerapan hara, pemanfaatan radiasi surya, dan proses pertumbuhan tanaman berlangsung optimal. Bidang ekofisiologi dapat menerangkan proses dinamis di dalam tanaman sebagai respons terhadap faktor eksternal (lingkungan dan pengelolaan). Oleh karena itu, model dinamis, simulasi, dan analisis sistem sangat tepat untuk diterapkan bagi upaya peningkatan produktivitas. Dengan cara ini, (1) pendugaan respons tanaman terhadap lingkungan secara spesifik lokasi dan musim dapat dilakukan; (2) bentuk tanaman tipe ideal untuk potensi hasil tinggi dapat dirancang; (3) potensi hasil berbagai varietas padi pada lingkungan (lokasi dan musim) tertentu dapat diduga (Sutoro et al. 1991); (4) perubahan produktivitas tanaman akibat perubahan iklim global dan anomali iklim untuk masa kini dan mendatang dapat digambarkan (de Rozari et al. 1992); (5) dengan memanfaatkan model dinamika hara dalam tanah dan kesesuaiannya
16
A. Karim Makarim
dengan pola pertumbuhan perakaran tanaman memungkinkan pengelolaan hara (pemberian pupuk) secara tepat pada lokasi spesifik (Makarim et al. 1991); dan (6) proses pelepasan gas-gas rumah kaca (GRK) dari lahan pertanian sebagai fungsi dari berbagai aspek budi daya tanaman, termasuk varietas dengan karakteristik tertentu, dapat dikuantifikasi sehingga cara mitigasi yang tepat untuk mengurangi emisi GRK dapat ditentukan (Makarim et al. 1996; Makarim dan Setyanto 1997). Pendekatan ekofisiologi hampir selalu berdasarkan proses (dinamika) sehingga hasil pendugaan dan anjurannya akan lebih akurat, ilmiah (dapat diterangkan), dinamis, dan spesifik lingkungan (lokasi dan musim). Keunggulan tersebut sesuai untuk merakit sistem pakar, yaitu perangkat lunak yang dapat digunakan sebagai konsultan untuk menjawab berbagai pertanyaan praktis tertentu, seperti menentukan teknik budi daya padi spesifik lokasi, yang diyakini dapat meningkatkan produktivitas padi, pendapatan petani, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Perbaikan Pengelolaan Hara dan Pupuk Kondisi lingkungan Indonesia yang beragam menyebabkan hasil dan permasalahan dalam sistem produksi padi pun sangat bervariasi, antara lain masalah hara dan pemupukan. Identifikasi hara yang sering menjadi penyebab rendahnya atau berkurangnya hasil padi sawah, sawah tadah hujan, dan padi gogo telah dilakukan di berbagai lokasi dengan teknik minus satu unsur, yang sekarang dikenal dengan nama petak omisi (omission plots) (Hidayat et al. 1989; Abdulrachman et al.
2003), maupun dengan diagnosis hara tanaman (Hidayat dan Makarim 1992). Kahat N, keracunan Fe, kekeringan, dan salinitas merupakan penyebab utama rendahnya hasil padi masa lalu dan juga untuk masa mendatang (Makarim et al. 1989; Makarim 2006). Hara N. Tanah sawah di Jawa hampir semuanya kahat N dengan persen respons berkisar antara 30-75%. Artinya, tanpa pemberian pupuk N, hasil padi berkurang 25-70% dari biasanya (yang diberi 90 kg N/ha). Hara N selain esensial bagi pembentukan gabah, juga meningkatkan kualitas hasil tanaman pangan lainnya (Ismunadji dan Makarim 1987). Hara P. Hara P bermasalah di sebagian besar lahan masam (latosol, podsolik atau Oxisols, Ultisols) dengan persen respons berkisar antara 50-75%. Lahan tersebut terutama terdapat di Jawa Barat, Lampung, dan tanah-tanah sawah di sekitar wilayah rawa pasang surut (Makarim et al. 1989; Gunarto et al. 1998). Namun, pada kebanyakan (± 85% luas baku) lahan sawah di Jawa dan Madura, tanaman padi tidak/ kurang respons (kenaikan hasil <10%) terhadap pemberian pupuk P (Pusat Penelitian Tanah 1988). Hara K. Tanah kahat K dicirikan dengan tanah bertekstur kasar (berpasir), tanah tua masam, tanah alkalin, dan tanah berliat tipe 2:1 (Grumusol atau Vertisol) (Djazuli dan Makarim 1992). Hal ini disebabkan sumber K banyak berasal dari sisa-sisa jerami tanaman padi sebelumnya, dari air irigasi, dan dari mineral tanah itu sendiri. Namun, pada daerah persawahan intensif (hasil dan total biomassa tinggi) yang hanya menekankan pemberian pupuk N dan P secara berlebih tanpa penambahan K, dengan waktu lahan akan menjadi kahat K (Makarim 1993). Selain itu, secara
Aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi berkelanjutan
tidak langsung hara K juga berperan dalam menguatkan dinding sel tanaman sehingga tanaman lebih tahan terhadap serangan hama, penyakit, dan kekeringan (Makarim et al. 1989) Hara S. Pada kondisi sawah terlalu reduktif atau pH tanah netral hingga alkali, tanaman padi sering kekurangan belerang (S). Kahat hara S antara lain ditemukan di daerah Cihea (Cianjur), Secang (Magelang), Ngale (Ngawi), dan beberapa lokasi lainnya (Ismunadji et al. 1986). Pada lahan kering, kahat S umumnya disebabkan oleh neraca hara negatif, artinya lebih banyak S ke luar dari sistem (hasil panen, sisa-sisa tanaman yang diangkut) dibandingkan dengan jumlah S yang masuk (dalam bentuk pupuk, air hujan atau bahan organik) ke dalam sistem (Makarim 1990, 1991; Sismiyati et al. 1992, 1994). Kahat hara S dapat menurunkan hasil gabah hingga 50%, meskipun pada luasan yang sempit (< 1% dari total luas areal sawah). Hara mikro (Zn, Cu). Melalui diagnosis kandungan hara mikro tanah pada lahan sawah bukaan baru bertekstur pasir dan berkeracunan besi di daerah Nagedang, Riau, pemberian larutan 0,5% Cu dan 1% Zn yang disemprotkan ke daun tanaman padi atau setara dengan 2 kg ZnSO4 dan 1 kg CuSO4/ha disertai perbaikan drainase dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman, menghijaukan warna daun yang telah kuning, dan meningkatkan hasil padi. Dengan perlakuan seperti itu, sawah menjadi produktif dengan hasil ± 3 t GKG/ha yang sebelumnya selama 8 tahun tanaman belum pernah tumbuh hingga menghasilkan gabah (Makarim et al. 1997). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa koreksi kekurangan hara yang tepat pada tanaman padi akan berdampak besar terhadap peningkatan
17
hasil dan produksi padi, penghematan penggunaan pupuk dan input produksi lainnya, serta ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan petani. Inilah salah satu peran ekofisiologi melalui diagnosis hara tanaman dan penerjemahan karakteristik lahan mendukung sistem produksi padi berkelanjutan yang perlu disosialisasikan secara meluas. Setelah jenis hara yang dibutuhkan diketahui, selanjutnya jumlah kebutuhan pupuk yang optimal bagi tanaman padi perlu ditetapkan. Sejarah singkat penetapan dosis pupuk adalah sebagai berikut: 1. Percobaan dosis pupuk bertingkat di lokasi tertentu. Cara ini langsung dapat mengetahui takaran pupuk optimum di lokasi tersebut, namun kelemahannya tidak dapat digunakan untuk lokasi lain sehingga perlu banyak lokasi dan musim. 2. Penetapan dosis pupuk berdasarkan status hara tanah. Cara ini lebih akurat dibandingkan cara pertama karena mempertimbangkan jumlah hara yang sudah ada di dalam tanah. Untuk mendukung cara ini, dikembangkan uji tanah dan test kit (Brown 1962; Mombiela et al. 1981; Soepartini 1995). Perubahan cara rekomendasi dari cara pertama ke kedua dilaporkan telah banyak menghemat penggunaan pupuk dan meningkatkan produksi padi secara nasional (Pusat Penelitian Tanah 1988). Permasalahan utama dalam mengusahakan ketepatan pemberian pupuk adalah faktor efisiensi atau efisiensi recovery, yaitu banyaknya hara asal pupuk yang masuk terserap ke dalam tanaman dibagi dengan hara pupuk yang diberikan. Efisiensi ini merupakan fungsi dari berbagai faktor eksternal (tekstur tanah, pH tanah,
18
A. Karim Makarim
iklim, pengelolaan tanaman, bentuk pupuk dan cara pemberiannya) dan faktor internal tanaman (pola perakaran, pola pertumbuhan tanaman, kesehatan tanaman, dan kebutuhan hara per fase tumbuh tanaman) (Fagi et al. 1990; Sismiyati et al. 1992; Makarim et al. 1995). Keselarasan antara pertumbuhan tanaman dan akar, serta dinamika ketersediaan hara di dalam tanah sangat berpengaruh terhadap besarnya efisiensi (Makarim et al. 1991; 1994).
Penyiasatan Sistem Produksi Padi di Lahan Marginal Lahan marginal yaitu lahan yang secara alami memiliki kendala bagi pertumbuhan tanaman, seperti lahan berkadar besi tinggi, lahan sulfat masam, lahan kering masam, dan tanah organik. Lahan-lahan tersebut banyak terdapat di Indonesia dan bahkan dijadikan sasaran untuk perluasan areal tanaman padi pada masa mendatang.
Penyiasatan Kendala Keracunan Besi Pada lahan berkadar besi tinggi seperti pada kasus pembukaan lahan baru di Batumarta, Sumatera Selatan (Makarim et al. 1989) dan di Nagedang, Riau (Makarim et al. 1997), hasil padi meningkat dari sangat rendah (< 1 t GKG/ha) menjadi ± 4 t GKG/ha dengan cara berikut: (1) penggunaan varietas padi yang relatif toleran terhadap keracunan besi seperti Cisanggarung, Batang Ombilin, dan IR42; (2) pengaturan tata air melalui saluran drainase dan pencucian besi terlarut; dan (3) pemberian pupuk P dan K berlebih dari dosis anjuran biasa.
Penyiasatan Kendala Lahan Kering Masam Bukaan Baru Lahan kering bukaan baru di daerah transmigrasi Sitiung II, Sumatera Barat, mengalami kehilangan lapisan olah tanah pada waktu pembukaan lahan dan meninggalkan lapisan tanah yang memadat, tanah sangat masam (pH 4,0-4,5), kejenuhan Al sangat tinggi (80-90%), miskin hara, dan tererosi berat (Makarim et al. 1989). Pada kondisi tanah demikian, tanaman pangan termasuk juga gulma tidak mampu tumbuh. Tindakan perbaikan dilakukan dengan membuat teras-teras bangku dan memberi kapur pada jalur yang akan ditanami saja agar efisien dan efektif menurunkan kejenuhan Al-dd menjadi sekitar 30% pada daerah perakaran tanaman. Pupuk N, P, dan K diberikan sesuai dengan status hara tanah dan kebutuhan tanaman dalam pola rotasi padi gogo – kedelai – kacang hijau. Hasil padi gogo varietas Sentani waktu itu mencapai 2,0-2,5 t GKG/ha, kedelai 1,7–2,0 ton biji kering/ha, dan kacang hijau 1 ton biji/ha. Pada tahun kedua, hasil yang diperoleh hampir sama, meskipun kapur tidak diberikan lagi.
Penyiasatan Lahan Rawa Pasang Surut Lahan rawa pasang surut bagi tanaman pangan khususnya padi pada umumnya memiliki kendala pH rendah hingga sangat rendah (<5,0), keracunan Fe dan Al, dan kahat P. Strategi untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut ditempuh dengan dua cara utama, yaitu: (1) reklamasi lahan; dan (2) pengelolaan tanaman. Reklamasi lahan dilakukan dengan pengaturan tata air mikro untuk mencuci/
Aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi berkelanjutan
membuang kelebihan ion Fe 2+, SO 4 2(sulfat), dan asam-asam organik dari lahan seraya memasukkan air tawar/pengairan sehingga kondisi tanah menjadi lebih baik (Djajusman et al. 1995). Kapur diberikan secara efisien (1 t/ha) sekali saja untuk menginisiasi pertumbuhan akar tanaman. Pupuk KCl diberikan sedikit berlebih (100 kg/ha) guna meningkatkan ketahanan tanaman terhadap keracunan besi, penyakit, dan kekeringan. Dengan cara demikian, hasil padi meningkat dari 1-2 t/ha menjadi 3-4 t/ha (Aslan et al. 1992; Anwar et al. 1994). Dengan makin membaiknya kondisi tanah akibat reklamasi lahan, makin banyak pilihan komoditas dan varietas yang dapat dikembangkan. Cara pengelolaan tanaman dilakukan dengan memilih komoditas dan varietas yang relatif toleran, seperti padi varietas Kapuas, Cisanggarung, IR42, IR66, Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Dendang, dan Batanghari (Suprihatno et al. 2000). Pada lahan dengan kemasaman dan kadar besi lebih tinggi dapat digunakan varietas unggul lokal dengan umur 120-150 hari dan hasil 2-3 t/ha, seperti Talang, Ceko, Mesir, Jalawara, Siam Lemo, Semut, Pontianak, Sepulo, Pance, Salimah, Jambi Rotan, dan Tumbaran. Lahan pasang surut di Indonesia luasnya mencapai 20,1 juta ha (WidjajaAdhi et al. 1994). Keberhasilan peningkatan produktivitas tanaman pangan di wilayah ini tentunya akan nyata meningkatkan produksi nasional dan memperkuat ketahanan pangan.
Perbaikan Faktor Internal Tanaman Keterbatasan potensi hasil padi makin terasa dengan sulitnya meningkatkan hasil padi aktual meskipun berbagai cara pengelolaan tanaman-lingkungan telah
19
dilakukan. Varietas berdaya hasil tinggi dipilah berdasarkan bentuk tajuk, yang erat kaitannya dengan efektivitas menangkap radiasi surya untuk fotosintesis. Bentuk tajuk dinilai menggunakan parameter statistik, skewness, yaitu kesimetrisan distribusi luas daun. Koefisien skewness dari 20 varietas yang dinilai berkisar antara -0,035 (IR70) dan +0,348 (IR66), sedangkan IR64 mempunyai skewness +0,177. Makin kecil nilai skewness, makin luas bagian daun tanaman di bagian atas dan makin berat biomassa yang dihasilkan akibat lebih efektifnya tajuk menyerap radiasi surya (Sutoro dan Makarim 1997). Cara ini dapat digunakan dalam program seleksi varietas berdaya hasil tinggi. Hasil fotosintesis sebagian digunakan dalam respirasi dan sebagian dialokasikan ke bagian-bagian tanaman utama seperti batang, daun, malai, dan akar. Varietas yang efisien mempunyai ciri hasil fotosintesis lebih banyak dialokasikan ke bagian tanaman yang paling bermanfaat pada tiap fase tumbuhnya; misalnya pada fase vegetatif lebih banyak ke daun yang sedang aktif berfotosintesis, dan pada fase generatif lebih banyak ke malai untuk pengisian gabah. Varietas IR64 memiliki proporsi bobot daun pada fase vegetatif 0,46, sedangkan varietas unggul tipe baru (VUTB) sedikit lebih tinggi yaitu 0,47-0,50. Pada fase matang fisiologis, proporsi bobot ke malai untuk varietas IR64 adalah 0,57, sedangkan VUTB beragam antara 0,53-0,60 (Makarim et al. 2005a). Dengan demikian, perbaikan pola alokasi seperti digambarkan di atas akan dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Hubungan sinks dan sources dalam tanaman juga menentukan potensi hasil tinggi. VUTB Fatmawati, misalnya, termasuk varietas yang memiliki sinks tinggi, namun source kadang kala kurang memadai
20
A. Karim Makarim
(Makarim et al. 2004). Pada kondisi kurang sinar matahari, drainase buruk, dan kahat N, sinks yang banyak tersebut tidak terisi oleh sources sehingga persentase jumlah gabah hampa tinggi. Pada varietas dengan jumlah sink terbatas atau jumlah total gabah sedikit, sources yang sama dengan VUTB Fatmawati telah memenuhi hampir seluruh gabah yang terbentuk sehingga persentase gabah isi mendekati 100%, namun tingkat hasilnya tetap tidak tinggi. Oleh karena itu, dalam usaha memaksimalkan produktivitas padi tidak bisa dipisahkan antara tanaman dan lingkungan, tetapi harus dipandang sebagai suatu sistem yang merupakan prinsip ekofisiologi.
Perbaikan Pengelolaan Tanaman Peningkatan jumlah populasi tanaman dalam upaya meningkatkan hasil padi ternyata tidak selalu dapat tercapai. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kuantitas dan/atau kualitas sebagian komponen hasil lainnya serta meningkatnya serangan penyakit (Makarim et al. 2005a). Oleh karena itu, pada pertanaman rapat, diperlukan pemupukan N dan K tambahan. Setiap varietas padi memiliki keunggulan dan kelemahan, berupa potensi hasil (tinggi atau rendah), umur (pendek atau panjang), rasa nasi (pulen atau pera), tahan atau rentan terhadap hama-penyakit tertentu, toleran atau peka terhadap keracunan Fe, Mn, Al, kemasaman tanah, salinitas, dan kesesuaian dengan permintaan pasar dalam hal rasa nasi, aroma, dan bentuk gabah. Penanaman varietas yang tepat di lokasi yang tepat, selain akan memberikan hasil sesuai dengan potensinya, juga akan menaikkan harga jual gabah. Prinsip ekofisiologi dalam pengelolaan tanaman menjadi sangat penting. Penge-
lolaan dan kondisi lingkungan selalu diterjemahkan pengaruhnya terhadap proses fisiologis tanaman, seperti laju fotosintesis, respirasi, partisi, dan penuaan, yang akhirnya menentukan tingkat hasil. Pengelolaan yang baik akan dapat mengoptimalkan proses fisiologi dalam tanaman sebagai prasyarat untuk mencapai hasil tinggi.
LANDASAN PEMIKIRAN APLIKASI EKOFISIOLOGI MELALUI ANALISIS SISTEM Analisis Sistem Dalam pendekatan ekofisiologi dan analisis sistem, objek atau fokus studi dipandang sebagai suatu “sistem”, memiliki batas maya (boundary) yang ruang lingkupnya ditentukan oleh siapa yang menganalisis. Sistem tersebut memiliki ciri sebagai berikut: (1) ada komponenkomponen penyusunnya dengan peran dan status masing-masing; (2) ada proses yang menyebabkan komponen-komponen tersebut saling bergantung sehingga berkembang atau mati secara bersama; dan (3) ada faktor lingkungan, termasuk pengelolaannya oleh manusia, yang mempengaruhi sistem tersebut (Salisbury dan Ross 1978). Ukuran dan kekompleksan sistem sangat beragam. Dalam sistem yang besar terdapat beberapa subsistem penyusunnya. Contoh sistem adalah sistem tata surya, sistem bumi, sistem pertanian, sistem pertanaman, sistem individu tanaman, sistem/subsistem organ tanaman, dan sistem/subsistem sel (Penning de Vries et al. 1989; Hidayat dan Makarim 1990; Makarim 1993). Sistem tersebut secara dinamis dan teratur seolah-olah berjalan
Aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi berkelanjutan
dengan sendirinya, padahal ada aturanaturan dan hukum-hukum pengikatnya. Mempelajari sistem beserta aturanaturannya dikenal dengan nama analisis sistem. Analisis sistem mampu menyederhanakan gambaran lingkungan yang kompleks menjadi suatu sistem yang terpola, terstruktur rapi komponennya, jelas peran masing-masing, berpengaruh atau terpengaruhi, terukur, dan terumuskan dengan baik sehingga dapat disusun suatu model simulasi dinamis.
21
tukan akumulasi biomassa dan ukuran organ-organ tanaman. Proses inilah yang menghubungkan komponenkomponen menjadi satu kesatuan atau sistem. 3. Lingkungan, yang berpengaruh terhadap jalannya sistem seperti radiasi surya, suhu maksimum dan minimum, air dan hara dalam tanah, fisik tanah, hama dan penyakit, serta faktor pembatas lainnya.
Sistem Pertanaman Padi Sistem Individu Tanaman Individu tanaman merupakan suatu sistem yang bersifat dinamis (hidup) yang terdiri atas: 1. Komponen-komponen utama seperti (a) daun, yang dapat mengolah sinar radiasi surya menjadi karbohidrat/ energi untuk tumbuh dan berkembangnya organ-organ tanaman lainnya atau disebut sebagai sources; (b) batang, sebagai penopang tanaman, penyalur senyawa-senyawa kimia dan air dalam tanaman, dan sebagai cadangan makanan; (c) akar, penguat/penunjang tanaman untuk dapat tumbuh tegak, menyerap hara dan air dari dalam tanah untuk selanjutnya diteruskan ke organ lainnya di atas tanah yang memerlukan; (d) malai dan gabah/produk, sebagai penampung (sinks) akhir energi dan substansi yang dihasilkan tanaman. Lama periode pengisian gabah, kecepatan akumulasi karbohidrat pada sinks, serta besarnya kehilangan menentukan tingkat hasil gabah akhir. 2. Proses yang berlangsung selama pertumbuhan tanaman, seperti fotosintesis, respirasi, partisi, penuaan, serta penyerapan hara dan air sangat menen-
Sistem pertanaman padi merupakan sistem yang berupa populasi tanaman padi, terdiri atas individu-individu yang saling berinteraksi dengan karakteristik tertentu, dipengaruhi oleh lingkungan seperti iklim (radiasi surya, suhu), kondisi tanah, air, dan cara pengelolaan. Pertanaman muda menangkap sinar matahari dengan kemampuannya yang dipengaruhi oleh sifat varietas (bentuk dan ukuran tajuk), ketersediaan air dan hara sehingga mampu tumbuh karena suhu udara menunjang proses tumbuh. Selama pertumbuhan, berbagai kondisi lingkungan seperti iklim, tanah, air, hama, penyakit, gulma, dan pengelolaan terus mempengaruhinya secara positif maupun negatif. Bila hubungan atau aturan/hukum suatu proses dalam sistem diketahui maka prediksi akhir dari suatu proses dapat diduga, seperti pada penggunaan analisis sistem dan pemodelan. Adanya tambahan pengaruh pengelolaan terhadap sistem akan dapat diduga akibatnya terhadap hasil akhir dari sistem tersebut sehingga skenario perubahan dan kondisi optimal dapat dicari. Dengan memanfaatkan prinsip ekofisiologi dan pendekatan analisis sistem
22
serta kemampuan komputer dan programnya, telah disusun model simulasi dinamis PADI.CSM untuk menyimulasi respons tanaman terhadap lingkungan (Makarim et al. 1999). Contoh manfaat dari penggunaan PADI.CSM adalah sebagai berikut: 1. Dapat menduga dosis pupuk optimum spesifik lokasi, spesifik varietas dan musim. 2. Dapat menduga besarnya hasil suatu komoditas: potensinya, hasil tanpa pupuk, hasil dengan pemberian pupuk dosis tertentu, dan hasil optimum. 3. Dapat mengidentifikasi kendala utama hasil tanaman, kendala kedua, ketiga, dan seterusnya sehingga prioritas pemecahan masalah dapat ditentukan. 4. Dapat menduga besarnya keuntungan (Rp/ha) dan penghematan penggunaan pupuk (kg/ha). 5. Dapat memberikan gambaran (skenario) akibat dari perubahan lingkungan, seperti pemanasan bumi global atau peningkatan konsentrasi gas CO2 di atmosfir (Makarim et al. 1999; Makarim dan Partohardjono 2002). Berdasarkan model tersebut dan dengan menggunakan data iklim dari berbagai lokasi di Indonesia, potensi hasil padi beragam antara 7,5 dan 11,0 t GKG/ ha, bergantung pada waktu tanam. Dalam hal ini, radiasi surya, suhu maksimum dan minimum menentukan tinggi rendahnya potensi hasil. Pemanfaatan radiasi surya merupakan faktor pembatas bagi varietas padi yang ada sekarang dalam berproduksi. Sebagai contoh, untuk menghasilkan 1 kg gabah kering giling, tanaman padi memerlukan intensitas radiasi surya 19,4 MJ, sedangkan untuk pembentukan dan pertumbuhan batang dan daun diperlukan radiasi surya masing-masing 17,0 dan 17,4 MJ/kg
A. Karim Makarim
(Penning de Vries et al. 1989). Jika tanaman padi menghasilkan gabah 5 t/ha dengan bobot kering jerami 6 t/ha maka radiasi surya yang termanfaatkan oleh pertanaman adalah 200.200 MJ/ha, padahal selama pertumbuhannya terpancar sekitar 22 juta MJ atau efisiensi pertanaman padi dalam memanfaatkan radiasi surya baru 0,91%. Dengan demikian, pemanfaatan radiasi surya sebagai sumber energi yang tidak terbatas untuk pertanian, khususnya untuk padi sawah, masih sangat rendah. Peluang untuk meningkatkan pemanfaatan radiasi surya cukup besar, yaitu melalui: (1) perbaikan morfofisiologi tajuk tanaman; dan (2) cara budi daya, baik dalam pengaturan tata ruang pertanaman maupun kualitasnya. Poin 1 merupakan perbaikan melalui pemuliaan, sedangkan poin 2 merupakan hasil rakitan agronomi dan ekofisiologi.
Keragaman Lingkungan dan Produktivitas Tanaman Di Indonesia, kondisi lahan sawah dan lingkungannya sangat beragam, baik sifat fisik dan kimia tanah, kecukupan air irigasi, tingkat serangan dan jenis hama-penyakit padi, iklim (suhu dan radiasi surya) atau ketinggian tempat dari permukaan laut. Selain itu, kondisi sosial, ekonomi, budaya, kemampuan, dan kemauan petani juga berbeda antardaerah dan bahkan antarlokasi. Untuk itu diperlukan sistem produksi spesifik lokasi berdasarkan prinsip ekofisiologi. Produktivitas tanaman padi ditentukan oleh lingkungan tumbuhnya. Lingkungan tumbuh dapat dipilah ke dalam lingkungan abiotik dan biotik. Lingkungan abiotik meliputi: (1) iklim: radiasi surya dan suhu udara (maksimum dan minimum) yang erat
Aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi berkelanjutan
kaitannya dengan tinggi tempat (dataran rendah, sedang dan tinggi), curah hujan dan musim tanam (musim hujan atau musim kemarau); (2) kecukupan air (irigasi teknis, nonteknis); dan (3) kondisi tanah: kesuburan, fisik, dan biologik tanah. Lingkungan biotik meliputi jenis dan intensitas serangan hama dan penyakit. Varietas/tanaman padi, sebagai objek yang dikelola, untuk memberi hasil yang maksimal, selama pertumbuhannya menerima pengaruh/rangsangan secara terusmenerus dari lingkungan sekitarnya. Varietas tersebut memiliki keragaman sifat internal seperti umur, bentuk tajuk dan akar, serta kepekaan atau ketahanan terhadap kekurangan atau kelebihan air, hara, radiasi surya, suhu, hama dan penyakit tertentu. Cara budi daya atau komponenkomponen teknologi dalam budi daya yang berperan penting dalam mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman sering kali tidak berfungsi karena adanya perbedaan kondisi internal tanaman dan lingkungan pertumbuhan. Dapat disimpulkan bahwa sifat internal tanaman dan lingkungannya sangat kompleks, berbeda menurut tempat dan waktu, sehingga diperlukan cara budi daya ideal (spesifik lokasi dan musim) agar tanaman dapat berproduksi maksimal. Pendekatan yang sesuai dengan permasalahan lingkungan yang kompleks dan faktor internal tanaman/varietas yang beragam adalah ekofisiologi. Dalam pendekatan ekofisiologi, pertumbuhan tanaman merupakan ekspresi hasil interaksi antara faktor genetik tanaman dan lingkungan. Pemilihan kedua faktor tersebut secara tepat dapat menghasilkan produktivitas tanaman yang maksimal dan efisien. Pengelolaan tanaman tidak lain merupakan cara untuk mengubah lingkungan tanaman (media tumbuh, ruang gerak tanaman, dan waktu tanam) sehingga optimal bagi
23
tanaman untuk tumbuh dan berproduksi. Prinsip dan pertimbangan ekofisiologi tersebut diaplikasikan melalui analisis sistem sehingga diperoleh rumusan cara budi daya padi spesifik lokasi. Untuk operasionalnya diciptakan sistem pakar padi untuk pemupukan, penetapan varietas, dan cara budi daya. Dengan cara demikian dapat dicapai produktivitas tanaman padi yang optimal, keuntungan maksimal, serta sistem produksi berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Keragaan dan Inovasi Teknologi Budi Daya Banyak teknologi padi yang telah dihasilkan oleh lembaga penelitian, terutama Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) dengan tingkat keunggulan yang berbeda menurut lokasi. Dengan makin berkembangnya iptek maka varietas padi kini dikelompokkan menjadi varietas unggul baru (VUB), varietas unggul tipe baru (VUTB), dan padi hibrida. Hingga saat ini Departemen Pertanian telah melepas lebih dari 180 varietas unggul padi dengan karakteristik yang berbedabeda. Hal ini memberi peluang bagi penyebaran varietas unggul di lingkungan tertentu dan sesuai dengan keinginan petani. Penggiliran varietas menjadi lebih memungkinkan dengan makin banyaknya varietas sehingga dapat menekan perkembangan hama dan penyakit tertentu. Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu atau lebih populer disebut PTT merupakan salah satu contoh inovasi teknologi spesifik lokasi dan dinamis. Penerapannya berdasarkan karakteristik lingkungan, menitikberatkan pada pemecahan masalah prioritas setempat, dan memanfaatkan teknologi terbaik yang
24
kompatibel menurut kondisi lahan dan kemampuan petani setempat (Las et al. 2002a, 2002b). Penerapan model PTT padi sawah pada berbagai kabupaten di Indonesia meningkatkan hasil 0,5-3,0 ton GKG/ha. Perbedaan produktivitas tersebut disebabkan oleh beragamnya kondisi lingkungan biofisik tanaman, seperti intensitas serangan hama dan penyakit, kesuburan tanah, ketersediaan air, dan pengelolaan lahan dan tanaman. Berdasarkan biaya dan keuntungan yang dicapai akibat penerapan PTT, terdapat dua tipe wilayah PTT, yaitu: - Tipe I, biaya usaha tani padi meningkat akibat penggunan bahan organik dan tambahan tenaga, berkisar antara Rp66.500 dan Rp867.500/ha, namun keuntungan juga meningkat Rp309.000Rp2.294.800/ha. Besarnya keragaman keuntungan berkaitan erat dengan kondisi infrastruktur dan lingkungan biofisik. - Tipe II, biaya usaha tani berkurang atau menghemat input Rp17.800-Rp263.700/ ha, serta keuntungan meningkat Rp599.600-Rp 5.307.000/ ha (Makarim et al. 2005b). Dampak yang diharapkan dari pengembangan PTT selain meningkatkan produktivitas dan keuntungan, adalah dapat melestarikan sumber daya alam dan lingkungan. Hal ini tentu penting artinya bagi upaya keberlanjutan sistem produksi. Penerapan PTT di berbagai lokasi sebagian besar belum sesuai dengan kaidah spesifik lokasi karena beberapa komponen teknologi, seperti bibit muda, tanam satu bibit per rumpun dan tanam jajar legowo, belum diterapkan petani. Jika komponen teknologi yang diterapkan dalam model
A. Karim Makarim
PTT lebih spesifik, sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, maka produktivitas padi masih dapat ditingkatkan, begitu pula keuntungan yang diperoleh.
MEMBEDAH KEBUNTUAN BUDI DAYA PADI DENGAN SISTEM PAKAR BERBASIS EKOFISIOLOGI Berdasarkan prinsip ekofisiologi tanaman padi, berbagai alternatif komponen inovasi teknologi perlu dimanfaatkan sebaikbaiknya untuk menghadapi lingkungan pertanian yang beragam. Dengan strategi tersebut, komponen-komponen teknologi hasil penelitian diinventarisasi, dikerahkan, dan dimanfaatkan sebaik-baiknya karena: 1. Setiap komponen teknologi yang telah teruji baik di suatu lokasi tentu diperlukan di lokasi lain dengan karakteristik yang serupa. 2. Tidak satu pun komponen teknologi budi daya padi menjadi terbaik di semua lokasi mengingat beragamnya kondisi lingkungan abiotik (iklim, tanah, air), biotik (hama, penyakit, gulma), serta kondisi sosial, ekonomi, dan budaya petani. 3. Ada lokasi dengan kondisi lingkungan tertentu yang memerlukan suatu alternatif teknologi yang dianggap tidak penting karena tidak unggul di lokasi pengujian yang berbeda kondisinya. Berbagai alternatif komponen teknologi siap pakai untuk kondisi lingkungan spesifik, baik berupa varietas maupun teknik pengelolaan lahan, air, tanaman, dan organisme pengganggu (LATO) telah tersedia di BB Padi dan lembaga penelitian lainnya. Komponen-komponen teknologi
Aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi berkelanjutan
alternatif terbaik disajikan informasinya ke dalam beberapa sistem pakar berikut: 1. Untuk cara budi daya padi dinamakan “Sistem Pakar Padi” (SIPADI) (Makarim et al. 2002). 2. Untuk varietas spesifik lokasi dinamakan “Sistem Pakar Varietas Padi” (SIPAVAR). 3. Untuk pemupukan berimbang spesifik lokasi disebut “Sistem Pakar Pemupukan Padi” (SIPAPUKDI) (Makarim et al. 2004).
Sistem Pakar Padi (SIPADI) SIPADI merupakan perangkat lunak sederhana yang dapat digunakan untuk menetapkan komponen budi daya padi sawah spesifik lokasi, berdasarkan pendekatan PTT, dibuat dalam format Microsoft Excel sehingga mudah dioperasikan. Sistem pakar ini memberikan saran atau rekomendasi teknologi budi daya spesifik lokasi dan partisipatif kepada penggunanya. Input sebagai pertimbangan dalam menyusun cara budi daya didasarkan pada: (1) karakteristik biofisik, sosial, ekonomi wilayah yang akan menerapkan satu sistem budi daya padi; dan (2) pilihan/keinginan petani terhadap suatu komponen teknologi budi daya padi. Output SIPADI berupa paket teknologi anjuran budi daya padi lengkap spesifik lokasi dan partisipatif yang terbaik untuk wilayah tersebut. SIPADI dibuat berdasarkan prinsip sebagai berikut: (1) menerapkan komponen teknologi budi daya baru yang terbaik, sesuai dengan karakteristik wilayah tertentu sehingga teknologi yang diterapkan efisien dan efektif; (2) menerapkan komponen teknologi yang dapat menanggulangi permasalahan setempat sehingga akan nyata dan terasa langsung manfa-
25
atnya bagi pengguna/petani; (3) memilih sebanyak mungkin komponen teknologi budi daya yang saling kompatibel sehingga akan menghasilkan efek sinergis; (4) menghindarkan penggunaan satu atau lebih komponen teknologi yang “saling berlawanan” atau “saling menghilangkan pengaruh” atau yang dapat menambah permasalahan setempat sehingga tidak terjadi pengurangan efek positif terhadap hasil tanaman; dan (5) memperhitungkan pilihan atau keinginan petani setempat atas suatu komponen teknologi serta menilainya sesuai dengan tingkat keinginan petani sehingga ada unsur partisipatif yang dapat mempermudah adopsi dan mempercepat penyebaran teknologi secara berkesinambungan. Dengan menggunakan SIPADI, data dan informasi hasil PRA, survei atau data sekunder mengenai karakteristik wilayah digunakan secara baik dan sistematis untuk menentukan komponen teknologi yang sesuai untuk wilayah tersebut. Selanjutnya, untuk komponen teknologi yang memerlukan ketelitian lebih seperti varietas dan pemupukan, di mana aspek kondisi lingkungan, petani dan pengguna atau pasar sangat menentukan, dibuatkan sistem pakar varietas padi.
Sistem Pakar Varietas Padi (SIPAVAR) Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian terus berupaya mencari terobosan peningkatan produksi padi melalui perakitan dan pengembangan varietas unggul. Pada tahun 2000-an telah dilepas sejumlah VUB, VUTB, dan varietas hibrida dengan potensi hasil lebih dari 7,0 t/ha, melebihi produktivitas varietas unggul yang dilepas sebelumnya. Namun kenya-
26
taan di lapangan menunjukkan, hasil varietas-varietas tersebut beragam antarlokasi, berkisar antara 5,0 dan 10,0 t/ha (Makarim dan Suhartatik 2005). Hal ini membuktikan besarnya pengaruh lingkungan dan cara pengelolaan tanaman terhadap produktivitas. Berbagai varietas padi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian telah diadopsi petani dengan luas pengembangan yang sangat berbeda antardaerah, < 1% hingga 29%, meskipun setiap varietas yang dilepas memiliki keunggulan yang spesifik. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu: 1. Lembaga-lembaga penghasil varietas baru tidak tahu persis ke mana produknya harus dikembangkan karena belum teridentifikasinya wilayah permintaan akan varietas-varietas spesifik. 2. Petani umumnya belum mengetahui varietas yang tersedia, apalagi karakteristiknya, padahal banyak yang sesuai untuk dikembangkan di wilayahnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kesalahan persepsi dan kurangnya promosi dari pengembang varietas yang cenderung mengunggulkan 1-2 varietas saja yang seolah-olah terbaik di semua tempat. Dua kebutuhan besar di atas dipertemukan dengan satu sistem pakar yang dinamakan Sistem Pakar Varietas Padi (SIPAVAR). SIPAVAR disusun berdasarkan suatu pemahaman bahwa tidak ada satu varietas padi pun yang selalu paling unggul dan paling disenangi oleh semua masyarakat di semua lokasi, apalagi Indonesia memiliki lingkungan biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang beragam. Input yang diperlukan dalam mengisi SIPAVAR dan sekaligus merupakan faktor
A. Karim Makarim
yang biasanya dipertimbangkan pengguna dalam memilih varietas adalah: (1) jenis lahan; (2) tinggi tempat (m dpl); (3) hama dan penyakit endemis; (4) kesuburan tanah; (5) rasa nasi; (6) potensi hasil; (7) bentuk gabah; (8) warna gabah; (9) kerontokan; (10) umur; dan (11) kerebahan. Kelebihan SIPAVAR dibandingkan pangkalan data biasa adalah prioritas permasalahan ataupun tingkat keinginan pengguna dapat dipertimbangkan dengan memberi nilai skor (1-5) yang lebih besar terhadap peubah tertentu yang prioritas. Output SIPAVAR adalah nama sejumlah varietas yang memenuhi kriteria yang diinginkan pengguna.
Sistem Pakar Pemupukan Padi (SIPAPUKDI) Penghematan penggunaan pupuk disertai dengan peningkatan hasil tanaman merupakan suatu cara yang dapat segera dirasakan manfaatnya oleh petani. Untuk memudahkan penghitungan kebutuhan pupuk yang berimbang dan spesifik lokasi, dibuat perangkat lunak sederhana yang diberi nama Sistem Pakar Pemupukan Padi atau SIPAPUKDI (Makarim 2006). Dengan pesatnya perkembangan varietas-varietas baru berdaya hasil tinggi (>7 t/ha) seperti VUB, VUTB, dan hibrida, serta perbaikan pengelolaan lahan-air-tanamanorganisme pengganggu (LATO), kebutuhan tanaman akan hara juga meningkat. Faktor varietas atau target hasil perlu dipertimbangkan dalam menyusun saran pemupukan. Cara ini sesuai dengan pendekatan sistem tanah-tanaman atau ekofisiologi. Penetapan dosis pupuk dengan SIPAPUKDI didasarkan pada status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Cara ini
Aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi berkelanjutan
mempertimbangkan selain jumlah hara yang tersedia di dalam tanah, juga kebutuhan hara tanaman, yang merupakan fungsi dari tingkat hasil dan biomassa (target hasil) (Makarim et al. 1993; Dobermann et al. 1996; Makarim 2006). Selisih masing-masing hara (N, P, K) yang dibutuhkan tanaman dan yang tersedia di dalam tanah merupakan jumlah hara dalam bentuk pupuk yang perlu ditambahkan ke tanah. Tidak semua hara pupuk yang diberikan dapat diserap tanaman karena sebagian hilang tercuci, terfiksasi atau tidak terjangkau akar. Oleh karena itu, jumlah hara pupuk yang diberikan perlu ditambah dengan faktor inefisiensi. Tekstur tanah merupakan salah satu faktor yang sering menentukan besarnya inefisiensi tersebut. Rekomendasi berdasarkan SIPAPUKDI, selain dapat mengurangi jumlah penggunaan pupuk, juga dapat mengakomodasi peningkatan hasil ke level tinggi sesuai dengan pengelolaan yang optimal.
STRATEGI, KEBIJAKAN, DAN PROGRAM KE DEPAN Strategi yang diperlukan dalam memopulerkan aplikasi ekofisiologi melalui sistem pakar adalah: 1. Pembentukan forum komunikasi di bidang ekofisiologi atau dengan bidang lain guna memperkaya dan memperluas wawasan iptek dan aplikasi disiplin ekofisiologi yang selama ini terkesan teoritis saja. 2. Peningkatan jumlah ekofisiogist yang kini “mendekati kepunahan”, padahal ilmu ini sangat besar sumbangannya baik terhadap ilmu-ilmu terapan (agronomi, ilmu tanah modern, dan lingkungan), maupun terhadap ilmu dasar
27
(pemuliaan modern dan bioteknologi) yang sebagian telah diuraikan dalam makalah. 3. Penggalian berbagai aplikasi di bidang ekofisiologi, sebagai pembuktian dan sekaligus terobosan pemecahan masalah di bidang pertanian, khususnya dalam sistem produksi padi berkelanjutan. Dukungan kebijakan yang diperlukan untuk pengembangan ekofisiologi aplikatif adalah sebagai berikut: 1. Pengaktifan pertemuan-pertemuan ilmiah yang membahas peran aspek ekofisiologi dan keterkaitannya dengan bidang lain, pembahasan rencana penelitian bersama dengan perguruan tinggi dan lembaga riset lainnya di bidang ekofisiologi, seminar, dan penerbitan makalah. 2. Penambahan tenaga ekofisiologist baik melalui pendidikan formal, pelatihan, maupun pendampingan peneliti-peneliti junior yang berbakat dan berminat, serta dukungan sarana, prasarana dan dana penelitian secara kontinu, tepat waktu, dan efisien. 3. Penajaman cara pemecahan masalah sistem produksi padi melalui pendekatan ekofisiologi yang aplikatif, antara lain: (a) evaluasi aspek ekofisiologi terhadap berbagai galur/calon varietas unggul tipe baru untuk percepatan penemuan dan pelepasan VUTB dan VUTB hibrida baru; dan (b) pengoptimalan efek interaksi VUB/VUTB/ hibrida dan lingkungan melalui pembuatan model-model simulasi yang menggunakan kaidah-kaidah ekofisiologi tanaman. Program ekofisiologi untuk masa mendatang harus difokuskan pada perbaikan
28
faktor internal tanaman padi, yaitu varietas yang efektif dapat memanfaatkan kondisi lingkungan seperti radiasi surya, air, dan hara melalui: 1. Potensi proses. Membenahi sinks dan sources varietas-varietas padi, yaitu merakit varietas yang memiliki sinks dan sources secara maksimal dan seimbang sehingga potensi hasilnya dapat melebihi 10 t/ha (tanaman ideal). Tanaman tipe ini tajuknya harus dapat memanfaatkan radiasi surya secara maksimal dan memiliki sinks (berupa malai) dengan jumlah gabah yang lebat (>300 bulir/malai). Varietas-varietas unggul baru yang ada sekarang (VUB) pada umumnya memiliki sinks sebagai pembatas (jumlah gabah per malai sedikit, < 200 bulir/malai), sedangkan VUTB seperti Fatmawati pembatasnya adalah source (luas dan kualitas daun kurang) sehingga hasil tinggi sukar dicapai dan tingkat hasil bervariasi sejalan dengan beragamnya radiasi surya dan kualitas tajuk. Dengan demikian, perakitan varietas baru harus dapat meningkatkan sources dan sinks tanaman secara bersamaan. 2. Potensi daya serap input. Memperbaiki pola perakaran tanaman padi yang ideal. Ada kecenderungan tanaman padi lebih sering mengalami kekeringan akibat anomali iklim dan El-Nino serta makin ketatnya persaingan penggunaan air. Tanaman padi yang memiliki jelajah akar ke dalam tentunya berpeluang dapat menemukan air lebih besar. Perakaran yang dalam tersebut dimungkinkan apabila tanaman mampu mendapatkan oksigen yang cukup di tanah atau masuk dari udara melalui pembuluh aerenkhima ke akar. Selain itu, akar tanaman yang ideal memiliki daya serap terhadap air dan hara yang
A. Karim Makarim
kuat, tidak seperti varietas-varietas yang ada sekarang. Akar seperti ini harus memiliki energi absorpsi yang kuat, total permukaan akar yang luas (banyak akar halus), mengeluarkan eksudat untuk mengkhelat dan menyerap hara yang sukar tersedia seperti P, bersimbiosis dengan sejumlah mikroorganisme penambat N dan penyedia P, serta toleran terhadap keracunan Al, Fe, dan pH rendah. Varietas yang memiliki sifat demikian akan fleksibel, tidak harus memerlukan banyak pupuk untuk mencapai hasil tinggi. 3. Efisiensi proses. Meningkatkan efisiensi pertumbuhan dengan mengefisienkan energi dan materi hasil fotosintesis yang sudah diserap tanaman. Varietas yang efisien digambarkan sebagai varietas yang cenderung memasok fotosintat ke daun daripada ke batang semasa fase vegetatif, dan banyak ke malai/gabah setelah fase reproduktif. Remobilisasi dan translokasi fotosintat dan hara di dalam tanaman ke malai pada varietas ideal terjadi lebih banyak sehingga hasil tanaman tinggi dan rasio gabah/jerami > 1,0. Gambaran tipe ideal varietas tanaman yang berpotensi hasil tinggi secara ekofisiologi tersebut dapat dijadikan landasan atau arah perakitan varietas yang sesuai dengan kondisi lingkungan kini dan masa mendatang. 4. Efisiensi pemanfaatan output. Dalam aspek lingkungan, program ekofisiologi membantu memberikan gambaran mengenai varietas-varietas padi yang secara morfofisiologi berpotensi mengemisi gas-gas rumah kaca (CO2, CH4 dan N2O) rendah. Varietas-varietas demikian biasanya berkaitan erat dengan efisiennya tanaman dalam menggunakan fotosintat yang sudah terbentuk, atau
29
Aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi berkelanjutan
rendahnya eksudat akar, memiliki root oxidizing power yang kuat atau struktur aerenkhima dalam batang yang dapat menghambat aliran gas metan ke udara. Dalam program ini, diharapkan sistem budi daya padi masa depan lebih ramah lingkungan, tanpa atau sangat sedikit mengemisi gas metan dan gasgas rumah kaca lainnya yang selama ini diisukan sebagai salah satu penyebab pemanasan bumi global.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Kesimpulan Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pendekatan ekofisiologi melalui penerapan analisis sistem dan pemodelan merupakan salah satu strategi inkonvensional dan terobosan dalam pengembangan pertanian di Indonesia, khususnya tanaman padi. 2. Pengembangan pertanian harus dilaksanakan secara menyeluruh (sistem), baik komponen, proses maupun lingkungannya. Pemecahan masalah seharusnya dimulai dari subsistem yang paling berpengaruh karena dampaknya akan nyata terhadap sistem secara keseluruhan. 3. Memberikan dukungan dan perhatian akan perkembangan pertanian di tingkat mikro (petani, tingkat desa) dengan menyediakan teknologi budi daya optimal spesifik lokasi. 4. Teknologi tersebut dapat ditetapkan menggunakan sistem pakar yang sudah tersedia seperti SIPADI, SIPAVAR, dan SIPAPUKDI. 5. Berkembangnya pertanian di tingkat petani/desa akan mempercepat per-
kembangan pertanian di tingkat yang lebih luas lagi karena petani individu dilibatkan secara partisipatif dan spontan serta faktor lingkungan diperhitungkan.
Implikasi Langkah operasional untuk meningkatkan produktivitas dan produksi padi nasional berkelanjutan adalah sebagai berikut: 1. Menerjemahkan dengan baik karakteristik lingkungan menjadi suatu tindakan, baik berupa kebijakan maupun cara budi daya spesifik lokasi. 2. Menginventarisasi komponen teknologi yang tersedia yang telah diketahui keunggulan, kelemahan, dan kesesuaiannya dengan kondisi lingkungan tertentu. 3. Memanfaatkan berbagai komponen teknologi alternatif untuk digunakan pada spesifik lingkungan serta dibutuhkan petani. 4. Menyediakan alat bantu seperti sistem pakar, alat uji, dan bagan warna daun untuk mempermudah penentuan budi daya padi yang tepat (optimal) untuk petani pada suatu wilayah. 5. Memberikan pelayanan rekomendasi yang diawali dalam skala kecil (kelompok tani) kemudian dikembangkan ke skala yang lebih besar seperti hamparan, desa, dan wilayah. 6. Menggunakan hasil karakterisasi lingkungan wilayah sentra produksi padi, baik biofisik, sosial, ekonomi maupun permasalahan spesifik sebagai bahan pertimbangan dalam penerapan cara budi daya spesifik lokasi dengan sistem pakar. Daftar pertanyaan karakteristik lokasi (lingkungan dan petani) dibuat sebagai input dalam sistem pakar.
30
A. Karim Makarim
Karakteristik yang diminta merupakan peubah yang mudah dikenali petani, serta biasanya sudah tersedia. Pendekatan ekofisiologi melalui penerapan analisis sistem dan pemodelan merupakan salah satu strategi inkonvensional dan terobosan dalam pengembangan pertanian di Indonesia, khususnya tanaman padi. Hal ini antara lain karena dalam pandangan analisis sistem: (1) pengembangan pertanian harus dilaksanakan secara menyeluruh (sistem), baik komponen, proses maupun lingkungannya; (2) pemecahan masalah seharusnya dimulai dari subsistem yang paling berpengaruh karena dampaknya akan nyata terhadap sistem secara keseluruhan; (3) memperkuat subsistem berarti memberikan dukungan dan perhatian akan perkembangan pertanian di tingkat petani, tingkat desa, wilayah dan seterusnya dengan jalan memberikan teknologi budi daya optimal spesifik lokasi; (4) teknologi budi daya optimal spesifik lokasi dapat ditetapkan menggunakan sistem pakar yang sudah tersedia seperti SIPADI, SIPAVAR, dan SIPAPUKDI; dan (5) berkembangnya pertanian di tingkat petani/desa akan mempercepat perkembangan pertanian di tingkat yang lebih luas lagi karena petani individu dilibatkan secara partisipatif dan spontan, serta faktor lingkungan diperhitungkan.
PENUTUP Orasi ini mengangkat peran ekofisiologi yang selama ini sangat teoritis, terpisah dari praktek budi daya tanaman padi, menjadi lebih aplikatif dan multiguna dengan mempertegas pandangan terhadap sistem, subsistem, dan lingkungan
yang tidak terpisahkan sebagai landasan utama pembuatan sistem pakar budi daya padi spesifik lokasi. Sistem pakar budi daya padi di lapang dapat berperan sebagai pendamping/alat bantu/konsultan bagi penyuluh dan praktisi lapang lainnya, mempermudah pengembangan budi daya padi spesifik lokasi yang aktual sehingga selain meningkatkan hasil padi, juga pendapatan petani, produksi, dan pendapatan daerah secara keseluruhan. Sistem pakar dapat mengakomodasi teknologi terbaru yang lebih baik dan bersifat partisipatif dengan pengguna. Dengan demikian, perbaikan kualitas sistem produksi padi akan terus berkembang dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Abdulrachman, S., A.K. Makarim, dan I. Las. 2003. Kajian kebutuhan pupuk NPK pada padi sawah melalui petak omisi di wilayah pengembangan PTT. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Anwar, E.K., S. Partohardjono, I.G. Ismail, A. Askin, dan A.K. Makarim. 1994. Serapan hara dan pertumbuhan padi sawah pada lahan sulfat masam potensial. Penelitian Pertanian 14(2): 3742. Aslan, A., A. Sudradjat, E.A. Kosman, dan A.K. Makarim. 1992. Pengelolaan hara dan agronomi padi dan palawija di lahan pasang surut Karang Agung Ulu. hlm. 99-106. Dalam Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. hlm. 169-177.
Aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi berkelanjutan
Brown, W.G., T.L. Jackson, and R.G. Petersen. 1962. A method for incorporating soil test measurements into fertilizer response functions. Agron. J. 54: 152-154. de Rozani, M. B., Koesoebiono, N. Sinukaban, D. Murdiyarso, and A.K. Makarim. 1992. Socio-economic impacts of climate change. Agromet, Jurnal Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia 7(1): 51. Djajusman, M., S. Sastraatmadja, I.G. Ismail, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995. Penataan lahan dan pengelolaan air untuk meningkatkan produktivitas lahan sulfat masam. Dalam Sunihardi, A. Musaddad, T. Alihamsyah dan I.G. Ismail (Ed.). Teknologi Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Djazuli, M. dan A.K. Makarim. 1992. Tanggapan tanaman padi sawah, padi gogo, kacang hijau dan kedelai terhadap pemupukan K pada tanah Grumosol. hlm. 120-128. Kumpulan Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Bogor, 19-20 Februari 1992. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Dobermann, A., K.G. Cassman, S. Peng, P.S. Tan, C.V. Phung, P.C. Sta Cruz, J.B. Bajita, M.A.A. Adviento, and D.C. Olk. 1996. Precission of nutrient management in intensive irrigated rice systems. Proc. International Symposium on Maximizing Sustainable Rice Yield through Improved Soil and Environmental Management. Khon-Kaen, Thailand. p. 133-154. Fagi, A.M., A.K. Makarim, dan M.O. Adnyana. 1990. Efisiensi pupuk pada tanaman pangan. hlm. 145-155. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunan Pupuk V, Cisarua, 12-13
31
November 1990. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Gunarto L., A. Taher, M.Rauf, A.K. Makarim, A.A. Daradjat, dan Suyamto. 1998. Pemupukan padi sawah: Status, efisiensi, dan strategi pengelolaan fosfor. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XVII(4): 138-148. Hidayat, A., I. Nasution, and A.K. Makarim. 1989. Nutrient status of the lowland alluvial soils from five supra insus areas of West Java (Indonesia). Seminar on Research Results of Food Crops, Bogor, 13-14 February 1989. Vol. 3: 682-698. Hidayat, A. dan A.K. Makarim. 1990. Simulasi dan analisis sistem untuk penelitian tanaman pangan. Penelitian Pertanian 10(1): 36-40. Hidayat, A. and A.K. Makarim. 1992. Uji cepat P daun untuk menduga respon tanaman padi sawah terhadap pemupukan P. Penelitian Pertanian 12(1): 29-40. Ismunadji, M., A.K. Makarim, dan Ponimin Pw. 1986. Pengaruh belerang dan fosfor terhadap status hara dan pertumbuhan padi sawah pada tanah Latosol Secang. Kumpulan Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Bogor, 17-18 Desember 1988. (Palawija). Vol. 2: 157165. Ismunadji, M. and A.K. Makarim. 1987. Urea: Experience on arable crops. Proc. the International Symposium on Urea Technology and Utilization, Kuala Lumpur, Malaysia. 11 pp. Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, dan A. Gani. 2002a. Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 37 hlm.
32
Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A. Gani, H. Pane, dan S. Abdulrachman. 2002b. Pengelolaan Tanaman dan Sumber daya Terpadu Padi Sawah Irigasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Makarim, A.K., M. Ismunadji, and von Uexkull. 1989. An overview of major nutritional constraints to rice production on acid soils of Indonesia. p. 199-203. In P. Deturck and F.N. Ponnamperuma (Eds.). Proc. International Symposium on Rice Production on Acid Soils of the Tropics. Institute of Fundamental Studies, Kandy, Sri Lanka. Makarim, A.K. 1990. S research on upland crops in Indonesia. In G. Blair and R. Lefroy (Eds). Sulfur Fertilizer Policy for Lowland and Upland Rice Cropping Systems in Indonesia. ACIAR Proc. 29: 91-94. Makarim, A.K. 1991. A rice grain sulfur survey and S balance study in Java. ACIAR project 8804 Final Report. The University of New England, Australia. p. 78-82. Makarim, A.K., A. Hidayat, and H. ten Berge. 1991. Dynamics of soil ammonium, crop nitrogen uptake, and dry matter production in lowland rice. p. 214-238. In F.W.T. Penning de Vries, H.H. van Laar and M.J. Kropff (Eds.). Simulation and Systems Analysis for Rice Production (SARP). Pudoc, Wageningen, the Netherlands. Makarim, A.K. 1993. Penggunaan tehnik simulasi pada sistem produksi padi. Risalah Seminar Tanaman Pangan. hlm 118-133. Makarim, A.K., Ponimin Pw., S. Roechan, Sutoro, O. Sudarman, dan A. Hidayat. 1993. Peningkatan efisiensi dan efek-
A. Karim Makarim
tivitas pemupukan N pada padi sawah berdasarkan analisis sistem. hlm. 675681. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Makarim, A.K., O. Sudarma, and Sismiyati R. 1994. Nitrogen uptake of irrigated rice and of soil solution ammonium following fertilizer application: a case study for a Haplorthox in West Java, Indonesia. SARP Proc. Suweon, Korea, DLO-Res Inst. Ag. Soil Fertility, Dept of TPE, Wageningen, The Netherlands. Makarim A.K., I. Las, A.M. Djulin, K. Idris, Y. Heryatno, Sutoro, dan F. Abidin. 1995. Aplikasi analisis sistem dan modeling untuk mengembangkan lahan marginal wilayah jalur selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Laporan Riset Unggulan Terpadu II Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor. 82 hlm. Makarim, A.K., P. Setyanto, and A.M. Fagi. 1996. Suppressing methane emission from rainfed lowland rice field at Jakenan, Central Java. p. 365-378. Proc. The International Symposium on Maximizing Sustainable Rice Yields through Improved Soil and Environmental Management, Khon-Kaen, Thailand. Makarim, A.K. and P. Setyanto. 1997. Mitigation analysis of greenhouse gases (GHG) for agriculture. Proc. National Workshop on Assessment of Greenhouse Gases Abatement Options. ALGAS. Makarim, A.K., I.G. Ismail, dan D. Pasaribu. 1997. Farming system trial di daerah irigasi Madona, Riau. Laporan Akhir Provincial Irrigated Agriculture Development Project (PIADP). Kerja sama
Aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi berkelanjutan
Bagian Proyek Pengembangan Lahan Berbantuan IBRD dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 60 hlm. Makarim, A.K., I. Las, A.M. Djulin, dan Sutoro. 1999. Penentuan takaran pupuk untuk tanaman padi berdasarkan analisis sistem dan model simulasi. Agronomika I(1): 32-39. Makarim, A.K. dan S. Partohardjono. 2002. Analisis sistem sebagai alat bantu penyusunan strategi peningkatan produksi, pendapatan petani dan pengembangan usaha tani palawija. hlm. 497-509. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Palawija. Buku 2: Hasil Penelitian dan Pengkajian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Makarim, A.K., I. Las, A.M. Fagi, I.N. Widiarta, dan D. Pasaribu. 2004. Padi Tipe Baru. Budi daya dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 48 hlm. Makarim, A.K. dan E. Suhartatik. 2005. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan, air, tanaman dan organisme (LATO) pada pertanaman padi varietas elit. Lokakarya Pemuliaan Partisipatif dan Lokakarya Diseminasi Hasil Penelitian Padi Tipe Baru, Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, 24-26 Februari 2005. 15 hlm. Makarim, A.K., E. Suhartatik, dan Ikhwani. 2005a. Optimalisasi komponen hasil varietas padi. Laporan akhir. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 80 hlm. Makarim, A.K., D.M. Arsyad, dan A. Ghozi. 2005b. Model simulasi peningkatan produksi kedelai di lahan suboptimal. hlm. 19-36. Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Sub-
33
optimal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Makarim, A.K. 2006. Pemupukan berimbang pada tanaman pangan. Risalah Seminar 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 80-88. Mombiela, F., J.J. Nicholaides, and L.A. Nelson. 1981. A method to determine the appropriate mathematical form for incorporating soil test levels in fertilizer response models for recommendation purposes. Agron. J. 73: 937-941. Penning de Vries, F.W.T., D.M. Jansen, H.F.M. ten Berge, and A. Bakema. 1989. Simulation of ecophysiological processes of growth in several annual crops. Simulation Monographs. Pudoc. Wageningen, Netherlands. 271 p. Pusat Penelitian Tanah. 1988. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa MT1987/88. Rapat Pembahasan Hasil Penelitian Evaluasi Keperluan Fosfat Lahan Sawah Intensifikasi di Jawa, Bogor 6 Agustus 1988. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1978. Plant Physiology. 2nd ed. Wadsworth Publ. Co., Inc., Belmont, California. 422 pp. Sismiyati, R., Ponimin Pw, dan A.K. Makarim. 1992. Studi dinamika hara lahan sawah di tanah Aluvial, Kaliasin, Tangerang. Prosiding Seminar Hasilhasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, Vol. III: 655-662. Sismiyati, R., Sukirman, dan A.K. Makarim. 1994. Kajian dinamika hara lahan sawah yang berproduktivitas tinggi dan rendah. Penelitian Pertanian 14(2): 43-51. Soepartini. 1995. Status K tanah dan tanggap padi terhadap pemupukan KCl di Jawa Barat. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 13: 27-40.
34
Suprihatno, B., T. Alihamsyah, dan E.E. Ananto. 2000. Teknologi pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian tanaman pangan. hlm. 252-277. Dalam A.K. Makarim et al. (eds). Tonggak Kemajuan Penelitian Tanaman Pangan. Konsep dan Strategi Peningkatan Produksi Pangan. Puat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Sutoro dan A.K. Makarim. 1997. Bentuk tajuk berbagai varietas padi dan hubungannya dengan potensi produksi. Penelitian Pertanian 15(2): 1-4.
A. Karim Makarim
Sutoro, S. Hardjowigeno, and A.K. Makarim. 1991. Potential production of six rice varieties at two different locations in West Java. Workshop at IRRI, Los Banos, Philippines. 19 pp. Widjaya-Adhi, I P.G., S. Karama, Didi Ardi S., dan K. Nugroho. 1994. Potensi dan kendala pengembangan lahan rawa pasang surut, lebak dan pantai. Prosiding Pertemuan Nasional Rawa SWAMPS II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.