Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan Juni 2015 Vol. 4 No.1 Hal : 79-85 ISSN 2302-6308
Available online at: http://umbidharma.org/jipp E-ISSN 2407-4632
APLIKASI TEKNOLOGI AQUAPONIK PADA SISTEM PEMELIHARAAN UDANG VANAME ( LITOPENAEUS VANNAMEI) BERSALINITAS RENDAH DENGAN TANAMAN SELADA PADA PADAT TEBAR BERBEDA (Aplication of Aquaponics Technology for Pasific white shrimp Litopenaeus vannamei in Low Salinity with Lattuce at the Different Stocking Density) Dodi Hermawan1* 1Jurusan
Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta KM 04, Pakupatan, Serang, Banten *Koresponsdensi:
[email protected] Diterima: 12 April 2015 / Disetujui: 29 Mei 2015
ABSTRACT Aquaponics is a bio-integration of principled recirculation aquaculture and hydroponic plants production both of land and water resources are limited. Application of aquaponics technology maintenance Pasific white shrimp (Litopenaeus vannamei) in low salinity environment an opportunity to enhance the production of Pasific white shrimp. Stocking density is related to the number and weight per unit volume of the unit area water environment. Shrimp can be stocked so dense that individual or collective space is limited can be a barrier for production performance. This study aims to determine the optimum stocking density on maintenance technology aquaponics of Pasific white shrimp in low salinity with lettuce plants on the survival and growth of Pasific white shrimp. This study will be carried out for 4 months, in the Laboratory of Aquaculture, Department of Fisheries, Faculty of Agriculture Untirta. The study consisted of three different treatments in stocking density: treatment A (stocking density of 50 individuals/m2), treatment B (stocking density 75 fish/m2), and treatment C (stocking density of 100 individuals/m2). The results of this study indicate that Pasific white shrimp can be maintained at a low salinity media and maintenance with stocking density 75 individuals/m² give optimal results in supporting the survival and spesific growth rate. Keywords: aquaponics, stocking density, Pasific white shrimp, survival rate, spesific growth rate ABSTRAK Akuaponik adalah bio-integrasi yang berprinsip pada resirkulasi budidaya hidroponik dan produksi tanaman dengan lahan dan sumber air yang terbatas. Penerapan pemeliharaan teknologi akuaponik udang vaname (Litopenaeus vannamei) di lingkungan salinitas rendah untuk meningkatkan produksi budidaya udang vaname. Kepadatan tebaran ada kaitannya dengan jumlah dan bobot per satuan volume dengan satuan luas lingkungan perairan. Udang dapat ditebar sedemikian padat sehingga ruang individu atau kolektif yang terbatas dapat menjadi pembatas bagi kinerja produksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui padat penebaran optimal pada pemeliharaan teknologi akuaponik vaname udang salinitas
80
HERMAWAN
JIPP
rendah dengan tanaman selada pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang vaname. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan, di Laboratorium Budidaya Perikanan, Departemen Perikanan, Fakultas Pertanian Untirta. Penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan padat penebaran udang vaname yang berbeda : perlakuan A (padat tebar 50 ekor/m2), perlakuan B (padat tebar 75 ekor /m2), dan perlakuan C (padat tebar 100 ekor/ m2). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa udang vaname dapat dipelihara pada media bersalinitas rendah dan pemeliharaan dengan padat tebar 75 ekor/m² memberikan hasil yang optimal dalam mendukung kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan spesifik. Kata kunci: akuaponik, padat penebaran, udang vaname, sintasan, laju pertumbuhan spesifik PENDAHULUAN Ketersediaan lahan dan air untuk kegiatan budidaya perikanan dan pertanian semakin terbatas seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan pembangunan. Pertambahan penduduk yang diikuti dengan meningkatnya kegiatan di bidang industri dan perumahan telah mengkonversi lahan budidaya, sehingga setiap waktu luasnya semakin berkurang. Situasi ini menyebabkan perlunya perkembangan teknologi dan inovasi baru sehingga industri akuakultur dapat terus berlanjut. Teknologi dan inovasi baru diperlukan untuk mengantisipasi penurunan produksi akuakultur akibat penyusutan lahan budidaya dan penurunan kualitas perairan. Hal tersebut diharapkan mampu mengurangi limbah dan meningkatkan produktivitas per satuan luas lahan budidaya. Beberapa inovasi baru yang telah diteliti diantaranya adalah sistem sirkulasi (Rijn et al. 2006; Van Wyk 1999), pengembangan lahan basah (Tilley et al. 2002), sistem polikultur yang menggunakan air kolam untuk makan tiram, kerang, dan rumput laut di sungai tercemar (Yuan et al. 2010), penurunan debit air (MartínezCordova et al. 1998), menghilangkan padatan tersuspensi (Ray et al. 2010) dan pemberian pakan yang lebih baik (Casillas-Hernández et al. 2006). Usaha di bidang budidaya perikanan dapat dikembangkan secara bersamaan dengan sektor pertanian melalui teknik akuaponik dengan
memanfaatkan pekarangan rumah. Akuaponik merupakan bio-integrasi dari akuakultur berprinsip resirkulasi dan produksi tanaman/sayuran hidroponik yang dapat dilakukan di pada lahan sempit dan sumber air terbatas, termasuk di daerah perkotaan (Diver, 2006; Ahmad et al. 2007). Sistem akuaponik berperan dalam mengurangi limbah nitrogen sisa pakan yang tidak terkonsumsi dan metabolisme ikan. Udang vaname memiliki sifat euryhalin sehingga dapat dipelihara di daerah perairan pantai dengan kisaran salinitas 0,5 ppt - 40 ppt (Bray et al., 1994). Kondisi ini memberi peluang bagi petambak udang untuk mengembangkan udang vaname di perairan daratan (inland water) dengan salinitas rendah. Potensi lahan untuk pengembangan budidaya di air bersalinitas rendah sangat besar, mencapai 2,072 juta hektar lahan air tawar (kolam dan sawah) dengan belum termanfaatkan sekitar 89,9% (DKP 2005). Budidaya udang vaname di air bersalinitas rendah juga dapat merupakan pilihan alternatif mengingat mulai munculnya berbagai penyakit virus mematikan pada udang vaname yang dipelihara di tambak air payau. Penerapan teknologi aquaponik pemeliharaan udang vaname di lingkungan salinitas rendah, akan membuka peluang untuk meningkatkan produksi budidaya udang vaname. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan padat tebar yang optimum dengan teknologi akuaponik pada pemeliharaan udang vaname bersa-
Vol. 4, 2015 linitas rendah dengan tanaman selada terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang vaname. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan, yakni pada bulan Agustus sampai dengan November 2014 di Laboratorium Budidaya Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian Untirta. Hewan uji yang digunakan adalah postlarva (PL) udang vaname yang berasal dari hatchery yang memiliki induk SPR (Spesific Pathogen Resistant). Sebelum digunakan, postlarva diaklimatisasi selama 15 hari dari PL 10 hingga PL 25. Media pemeliharaan berupa air bersalinitas 30 ppt yang disesuaikan dengan salinitas di hatchery. Pemberian pakan pada benih vaname dilakukan kontinyu 5 kali per hari hingga PL 25 dengan Artemia dan pakan buatan. Sebelum digunakan, seluruh wadah dicuci dengan deterjen, selanjutnya disucihamakan dengan PK (kalium permanganat). Wadah kemudian ditempatkan di atas rak dan diatur secara acak sesuai satuan percobaan. Untuk menjaga kestabilan suhu media maka ruangan kultur dilengkapi lampu penerangan. Media pemeliharaan yaitu air laut yang berasal dari perairan pantai Anyer Banten. Sebelum digunakan, air disterilkan dengan pemberian kaporit 100 ppm dan dinetralkan dengan sodium thiosulfat 50 ppm. Air laut kemudian diendapkan selama 7 hari dalam bak penampung dengan diaerasi. Media air laut bersalinitas sekitar 30 ppt kemudian diencerkan menjadi salinitas 1 ppt. Teknik pengenceran salinitas menggunakan rumus : V1 x N1 = V2 x N2 Keterangan : V1 = Volume akhir (l) N1 = Salinitas akhir (ppt) V2 = Volume air laut diencerkan (l)
Aplikasi Teknologi Aquaponik
81
N2 = Salinitas air laut diencerkan (ppt) Penurunan salinitas dilakukan dengan cara menambahkan air tawar yang mengandung kalsium (CaCO 3). Setiap wadah diisi air bersalinitas 30 ppt yang selanjutnya diturunkan secara gradual hingga salinitas perlakuan akhir 1 ppt. Selama tahapan aklimasi ke salinitas rendah, Artemia diberikan secara ad libitum dengan jumlah sekitar 300 ind/PL dan pakan buatan berbentuk pelet dengan feeding rate sebanyak 10%. Frekuensi pemberian pakan 5 kali dalam sehari yang diberikan pada pukul 06.00, 10.00, 14.00, 19.00, 22.00. Udang berumur 20 hari (PL 10) secara bertahap diaklimasikan selama 15 hari sampai salinitasnya 1 ppt. Penurunan salinitas dilakukan dengan cara menambahkan media air tawar yang mengandung kalsium 50 ppm. Sistem akuaponik dirancang dengan cara menempatkan wadah tanaman di atas akuarium berukuran 70 x 35 x 40 cm yang diisi air sebanyak 85 liter. Wadah tanaman selada hampir menutupi sekitar 70% luasan akuarium ikan. Wadah pemeliharaan tanaman dilengkapi dengan batu apung yang berfungsi sebagai filter fisik, media tempat tumbuh mikroorganisme, dan tempat berdirinya tanaman selada. Wadah tanaman juga dilengkapi dengan pipa PVC berdiameter 1 inci sebagai saluran inlet dan outlet. Bagian ujung pipa yang berada dalam kolam disambungkan dengan pompa untuk menyedot air naik ke wadah pemeliharaan tanaman, sedangkan bagian ujung pipa lainnya disambungkan dengan keran air untuk mengatur debit air yang masuk ke dalam wadah pemeliharaan tanaman. Air dialirkan dengan prinsip resirkulasi, sehingga air buangan dari proses budidaya ikan yang masuk ke dalam wadah pemeliharaan tanaman selada selanjutnya akan digunakan kembali sebagai sumber air pada proses budidaya ikan. Selama penelitian, pengelolaan media air dilakukan secara seksama agar kualitas air tetap terjaga dengan baik.
82
HERMAWAN
JIPP
Kualitas air media dipertahankan pada keadaan yang mendukung sintasan postlarva melalui pengaturan suhu, pH, salinitas, serta aerasi. Pengamatan suhu media dilakukan setiap hari jam 06.00 dan 14.00, sedangkan juga pH, oksigen dan amoniak setiap 7 hari sekali. Rancangan penelitian yang digunakan adalah model rancangan acak lengkap yang terdiri dari tiga perlakuan dengan masing-masing tiga ulangan. Perlakuan ditentukan berdasarkan perbedaan padat tebar udang vaname yang disajikan sebagai berikut : A. Padat tebar udang vaname 50 ekor/m2 atau 13 ekor/wadah B. Padat tebar udang vaname 75 ekor/m2 atau 16 ekor/wadah C. Padat tebar udang vaname 100 ekor/ m2 atau 25 ekor/wadah Parameter Penelitian Sintasan ikan adalah perbandingan jumlah ikan yang hidup di awal dan akhir pembesaran. Rumus yang digunakan untuk menghitung SR adalah sebagai berikut (Effendie 2002): SR = [ Nt / No ] x 100% Keterangan : SR = Kelangsungan hidup ikan (%) Nt = Jumlah ikan yang hidup di akhir pembesaran (ekor) No = Jumlah ikan yang hidup di awal pembesaran (ekor)
Laju Pertumbuhan Spesifik atau Specific Growth Rate (SGR) merupakan laju pertambahan bobot individu dalam persen per hari. SGR dihitung dengan menggunakan rumus (Huisman 1987): SGR(%)=100x Keterangan : We= Bobot ikan akhir (g) Ws= Bobot ikan awal (g) d = Periode pemeliharaan Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan berupa Rancangan Acak Lengkap dengan tiga perlakuan dengan masing-masing tiga ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95%. Untuk melihat perbedaan perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan’s Multiple Range dengan menggunakan program komputer SPSS 17. Hasil dan Pembahasan Tingkat kelangsungan hidup udang vaname yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian ini diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Tingkat kelangsungan hidup rataan post larva udang vaname Waktu
Kelangsungan hidup (%) A
B
C
Minggu 0
100,00±0,00
100,00±0,00
100,00±0,00
Minggu 1
94,87±4,44
98,25±3,04
94,67±2,31
Minggu 2
89,74±4,44
96,49±3,04
88,00±4,00
Minggu 3
89,74±4,44
94,74±0,00
82,67±2,31
Minggu 4
87,18±4,44a
94,74±0,00b
81,33±2,31c
Keterangan: huruf superskrip yang berbeda menyatakan perbedaan antar perlakuan (p<0.05)
Bobot (gram)
Vol. 4, 2015
Aplikasi Teknologi Aquaponik
4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
83
A B C Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2 Waktu
Minggu 3
Minggu 4
Gambar 2 Bobot rerata individu postlarva udang vaname Tabel 2 Laju pertumbuhan harian, suhu, oksigen terlarut, pH dan amoniak Parameter
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
Laju pertumbuhan (%)
11,95±0,23a
13,09±0,23b
12,03±0,01a
Suhu (°C)
26,00-28,00
26,50-28,00
26,50-28,00
pH
7,18-7,47
7,23-7,54
7,09-7,51
Oksigen terlarut (mg/l)
3,50-5,40
3,50-5,40
3,50-5,10
Amoniak (mg/l)
0,04-0,06
0,06-0,08
0,06-0,11
Analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pemeliharaan udang vaname pada salinitas rendah dengan padat tebar berbeda memberikan perbedaan nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup udang vaname (P<0,05). Perlakuan B dengan padat tebar 75 ekor/m² memberikan tingkat kelangsungan hidup yang paling tinggi sebesar 94,74±0,00% dibandingkan dengan perlakuan A (87,18±4,44%) dan perlakuan C (81,33±2,31%). Perbedaan padat tebar berpengaruh terhadap laju pertumbuhan bobot rerata harian. Berdasarkan pengamatan pertumbuhan tiap minggu (Gambar 2), pola pertumbuhan postlarva pada seluruh perlakuan secara umum hampir serupa. Pola pertumbuhan selama pemeliharaan empat minggu penelitian merupakan fase pertumbuhan eksponensial dengan ditandai terus meningkatnya laju pertumbuhan. Pada awal penelitian,
bobot tubuh postlarva di setiap perlakuan adalah sama, namun setelah minggu kedua peningkatan bobot udang lebih tinggi teramati pada perlakuan B (padat tebar 75 ekor/m²) yang berlanjut hingga akhir pengamatan minggu ke empat. Dari data bobot rerata individu maka nilai laju pertumbuhan harian yang terukur berbeda di antara perlakuan padat tebar. Peningkatan padat tebar menunjukkan respon laju pertumbuhan harian lebih tinggi dibandingkan padat tebar lebih rendah, nilai optimum dicapai pada padat tebar 75 ekor/m² dan kemudian menurun. Analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pemeliharaan udang vaname pada salinitas rendah dengan padat tebar berbeda memberikan perbedaan nyata terhadap laju pertmbuhan harian udang vaname (P<0,05). Perlakuan B dengan padat tebar 75 ekor/m² memberikan laju pertumbuhan harian
84
HERMAWAN
yang paling tinggi yaitu sebesar 13,09±0,23 % dibandingkan dengan perlakuan A (11,95±0,23 %) dan perlakuan C (12,03±0,01 %). Salinitas erat kaitannya dengan tekanan osmotik dan ionik air, baik air sebagai media internal maupun eksternal. Perubahan salinitas akan menyebabkan perubahan tekanan osmotik, sehingga semakin rendah salinitas maka tekanan osmotiknya juga akan semakin rendah (Venberg and Vernberg 1972). Tekanan osmotik air bergantung pada ion yang terlarut dalam air tersebut, semakin besar jumlah ion yang terlarut dalam air maka tekanan osmotik larutan akan semakin tinggi. Osmoregulasi merupakan pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan ikan sehingga proses fisiologis tubuh berjalan normal (Rahardjo 1980). Kepadatan tebaran ada kaitannya dengan jumlah dan bobot per satuan volume dengan satuan luas lingkungan perairan. Udang dapat ditebar sedemikian padat sehingga ruang individu atau kolektif yang terbatas dapat menjadi pembatas bagi kinerja produksi. Namun demikian, ketika kepadatan meningkat, baik kualitas air maupun jangkauan pakan menurun dan membatasi kinerja produksi sebelum ruang yang terbatas menjadi suatu faktor. Oleh karenanya, populasi udang yang tebarannya berlimpah (overstocked) merupakan populasi yang kepadatannya berpengaruh negatif terhadap kinerja produksi melalui pengaruhnya terhadap kualitas air dan jangkauan pakan (Schmittou et al. 2004). Pertumbuhan udang dipengaruhi oleh kepadatan udang yang dipelihara. Kepadatan tinggi akan meningkatkan kompetisi dalam tempat hidup, makanan dan oksigen. Pada kepadatan rendah udang lebih mudah dalam mendapatkan makanan dan oksigen sehingga udang lebih mudah untuk tumbuh. Padat penebaran adalah jumlah individu yang ditebar dalam satu wadah
JIPP tertentu dalam batas-batas tertentu. Kepadatan penebaran merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya kompetisi antar organisme budidaya dalam mendapatkan makanan. Peningkatan padat penebaran akan berhenti pada suatu batas tertentu karena pakan dan lingkungan sebagai pembatas (Hickling 1971 dalam Nurmalasari 2007). Meningkatnya padat penebaran individu yang dipelihara akan meningkatkan pula persaingan antara individu yang dipelihara, terutama persaingan untuk memperebutkan ruang gerak dan pakan sehingga individu yang kalah akan terganggu kelangsungan hidupnya. Kelangsungan hidup udang vaname dipengaruhi oleh padat penebaran karena hal ini menimbulkan kompetisi ruang, pakan dan ketersediaan oksigen serta kandungan hara yang dapat mempengaruhi kehidupan biota tersebut. Menurut Effendi (2004), padat penebaran akan menentukan tingkat intensitas pemeliharaan. Semakin tinggi padat penebaran yang berarti semakin banyak jumlah atau biomassa per satuan luas maka semakin intens tingkat pemeliharaannya. Pada padat penebaran yang tinggi, kebutuhan oksigen dan pakan juga besar, serta buangan metabolisme seperti feses, NH3 dan CO2 juga banyak. Kisaran nilai kualitas air yang diperoleh pada media pemeliharaan udang vaname selama penelitian masih memiliki nilai yang baik untuk menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup hewan uji secara layak. KESIMPULAN Udang vaname (Litopenaeus vannamei) dapat dipelihara dengan teknologi akuaponik pada media bersalinitas rendah. Pemeliharaan dengan padat tebar 75 ekor/m² memberikan hasil yang optimal dalam menunjang kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan spesifik udang vaname.
Vol. 4, 2015 DAFTAR PUSTAKA Ahmad T, Sofiarsih L, and Rusmana. 2007. The growth of patin (Pangasius hypopthalmus) in a close system tank. Indonesian Aquaculture Journal. 2 (1): 67-73. Bray WA, Lawrence AL, Leung-Trujillo JR. 1994. The effect of salinity on growth and survival of Penaeus vannamei,with observations on the interaction of IHHN virus and salinity. Aquaculture 122:133-146. Casillas-Hernández, R Magallón-Bara jas F, Portillo-Clarck G, PáezOsuna F. 2006. Nutrient mass balances in semi-intensive shrimp ponds from Sonora, Mexico using two feeding strategies: trays and mechanical dispersal. Aquaculture 258: 289–298. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan Budidaya 2006-2009. Jakarta: DKP RI. Effendie HMI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Effendi I. 2004. Pengantar Akuakultur. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal 140. Hickling CE. 1971. Fish Culture Second Edition. London: Faber & Fabear Queen. Huisman EA. 1987. Principles of Fish Production. Departemen of Fish Culture and Fisheries Wageningen Agricultural University. Wageningen. Netherlands. p: 57-122 Martínez-Cordova LR, Porchas-Cornejo, A, Villareal-Colmenares H, Calde ron-Pérez JA, Naranjo-Paramo J 1998. Evaluation of three feeding strategies on the culture of white Penaeus vannamei Boone 1931 in low water exchange ponds. Aquacultural Engineering. 17: 21–28.
Aplikasi Teknologi Aquaponik
85
Nurmalasari DM. 2007. Pemanfaatan Silase Ikan sebagai Pakan terhadap Produksi Kista Artemia franciscana Pada Berbagai Padat Penebaran. [SKRIPSI]. Purwokerto: Jurusan Biologi Universitas Sebelas Maret. 88 hlm. Rahardjo MF. 1980. Ichtyologi. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan. Departemen Biologi Perairan. Bogor Ray AJ, Lewis BL, Browdy CL, Leffler JW. 2010. Suspended solids removal to improve shrimp (Litopenaeus vannamei) production and an evaluation of a plant-based feed in minimal-exchange, superintensive culture systems. Aquaculture. 299: 89–98. Rijn JV, Tal Y, Schreier HJ. 2006. Denitrification in recirculating systems: theory and applications. Aquacultural Engineering 34, 364– 376. Schmittou HR, Cremer MC, Zhang J. 2004. Beberapa Prinsip dan Praktek Budidaya Ikan pada Kepadatan Tinggi Dalam Keramba Volume Rendah. Amerika: Soybean Association. Hal 34. Tilley DR, Badrinarayanan H, Rosati R, Son J. 2002. Constructed wetlands as recirculation filters in large-scale shrimp aquaculture. Aquacultural Engineering. 26: 81–109. Van Wyk PM. 1999. Principles of recirculating system design, in: (Eds.), Farming marine shrimp in recirculating freshwater systems. Florida Department of Agriculture and Consumer Services, USA. Vernberg WB dan Vernberg FJ. 1972. Environmental Physiology of Marine Animal. Springer-Verlag. New York. Yuan D, Yi Y, Yakupitiyage A, Fitzsimmons K, Diana JS. 2010. Effects of addition of red tilapia (Oreochromis spp.) at different densities and sizes on production, water quality and nutrient recovery of intensive culture of white shrimp (Litopenaeus vannamei) in cement tanks. Aquaculture. 298: 226–238.