APBN MASIH ELITIS, TIDAK MEMIHAK WARGA NEGARA, DAN TIDAK AKUNTABEL Sintesis Paper Laporan Tahunan APBN Kesejahteraan KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN (KAI) Jakarta, 4 Desember 2010
I. Gambaran Umum Tahun 2010, lebih dari 12 tahun setelah krisis ekonomi Indonesia 1998, apa yang dapat dikatakan tentang APBN Indonesia? Dalam catatan anggota Badan Pekerja Komisi Anggaran Independen (BP-KAI), APBN masih sarat masalah. Persoalan muncul dari berbagai sisi: (i) belanja sosial; (ii) penerimaan negara; (iii) beban utang; (iv) akuntabilitas; dan (e) reformasi birokrasi. Maka, keadaan APBN Indonesia dapat dicirikan sebagai berikut: di satu sisi masih sangat elitis dan belum memihak warga negara; di sisi lainnya, masih belum akuntabel. Kesimpulan ini diambil oleh Komisi Anggaran Independen (KAI) sesudah melihat dan menemukan hal-hal yang ada dalam APBN 2010 sebagaimana tampak dalam tabel berikut di bawah ini: Aspek Belanja sosial
Penerimaan APBN
Utang
Akuntabilitas
Reformasi Birokrasi
Indikator yang diperiksa
Perkembangan/Penilaian
besaran alokasi kesehatan; besaran alokasi bantuan sosial; cakupan penerima belanja sosial; seberapa responsif pada pengangguran dan kemiskinan. rasio pajak dan non pajak terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto); kebocoran penerimaan pajak (kasus mafia pajak Gayus Tambunan, dkk.) utang dalam negeri; cicilan pembayaran tiap tahun; perbandingan antara cicilan untuk utang dengan alokasi untuk kesehatan. kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kewenangan; hasil audit BPK; kinerja pengawasan DPR.
Jumlah nominal dan proporsional masih tetap minimal; Angka nominal alokasi di 2010 menurun; Cakupan masih terbatas untuk yang miskin (targeting) bukan universal (semua warga negara Indonesia). rendah dibanding negara sebaya; rendah dibandingkan potensinya; potensi yang sebenarnya tidak diketahui; korupsi perpajakan belum diatasi secara sistemik. utang dalam negeri terus membesar; utang terus meningkat sejak 2004; alokasi pembiayaan utang 5 kali lebih besar ketimbang alokasi kesehatan. belum ada perkembangan yang berarti; tingkat korupsi masih tinggi, meluas dan sistemik; korupsi terjadi pada sisi penerimaan dan pengeluaran/belanja APBN; sebagian besar Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) disclaimer; pengawasan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI atas kinerja keuangan pemerintah belum maksimal. lebih sebagai pilot project ketimbang rencana strategis; lebih menaikkan gaji (remunerasi) ketimbang pengurangan korupsi.
renumerasi di Kemenkeu, MA, BPK, Kejaksaan Agung, dan POLRI yang lebih besar; tidak adanya target kinerja/perubahan kinerja.
Secara lebih detail, uraian mengenai kelima aspek di atas dapat dibaca pada point-point di bawah ini. Sebagaimana telah banyak diberitakan, jumlah atau volume anggaran secara nominal semakin meningkat sepanjang 5 tahun terakhir ini, dari angka Rp. 380,3 Triliun (2005) dan pada 2010 naik menjadi Rp 1.047,7 triliun (17,5 % terhadap PDB/Produk Domestik Bruto). Apakah ini berarti kabar baik dan bukti adanya prestasi pemerintah? Belum tentu! Karena secara proporsi, bukan nominalnya, jumlah itu tidak banyak berubah karena volume APBN Indonesia masih berkisar di bawah 20% (dari PDB atau ‘kue ekonomi’ atau nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu).
II. Potret Rinci 2.1 Belanja Sosial Bila volume atau besaran APBN sudah demikian besar, apa artinya uang sebanyak itu bagi hidup dan nasib warga negara? APBN adalah sumberdaya dan wewenang pemerintah. Dengan dana itu, pemerintah dapat membangun atau memperbaiki banyak hal terutama terkait kepentingan warganya. Dengan dana itu, pemerintah dapat menaikkan pendapatan warga negara, menciptakan lapangan kerja, mengatasi kemiskinan dan pengangguran, menyediakan pelayanan pendidikan, kesehatan, penyedia jaminan sosial, menolong korban bencana alam, dan seterusnya. Maka salah satu cara dan ukuran untuk meneropong APBN adalah dari sisi belanja sosial. Dilihat dari belanja sosial, maka satu ciri utama dan menonjol dalam APBN adalah anggaran rutin atau pegawai yang terus meningkat, sementara belanja sosial yang langsung untuk publik lebih kecil dari belanja pegawai.
Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (dalam triliun rupiah) 2010 160.4 107.1 82.2 115.6 157.8 7.2 64.3 30.7
Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Pembayaran Bunga utang Subsidi Belanja Hibah Bantuan Sosial Belanja lain-lain
(%) 22.1 14.8 11.3 15.9 21.8 1 8.9 4.2
Sumber : APBN 2010
Dari komposisi tersebut, tampak bahwa alokasi belanja pemerintah pusat masih didominasi oleh pengeluaran yang sifatnya wajib (non discretionary expenditure), yang meliputi: belanja pegawai, pembayaran bunga utang, subsidi, dan sebagian belanja barang. Sedangkan sisanya merupakan belanja tidak mengikat (discretionary expenditure). Dalam hal ini belanja sosial lebih dekat masuk dalam kelompok bantuan sosial ketimbang kelompok belanja lain. Dalam APBN tahun 2010, alokasi anggaran bantuan sosial ditetapkan sebesar Rp 64,3 triliun atau 1,1 % terhadap PDB.
Alokasi Bantuan Sosial (dalam triliun rupiah) 2009 77.9
% 1.4
2010 64.3
% 1.1
Perubahan -13.6
%
Sumber : Data Pokok APBN 2009 - 2010
Alokasi anggaran bantuan sosial dalam tahun 2010 tersebut, terdiri dari: (i) alokasi dana penanggulangan bencana alam sebesar Rp 3,0 triliun, dan (ii) alokasi bantuan sosial yang disalurkan kepada masyarakat melalui berbagai Kementerian/Lembaga sebesar Rp 61,3 triliun. Data APBN 2010 menunjukkan bahwa belanja sosial jumlahnya kecil dan programnya kurang sesuai dengan persoalan yang dihadapi oleh sebagian besar rakyat. Minimnya alokasi anggaran kesehatan dan tidak adanya alokasi anggaran untuk jaminan bagi pengangguran. Dalam hal kesehatan, data tahun 2007 menunjukkan alokasi kesehatan sebesar 2,28 %, turun hingga 1,68 % pada tahun 2009 dan hanya sedikit naik pada tahun 2010 yang mencapai, Rp 18,0 Triliun atau hanya 2,5 % dari APBN. Meski angkanya naik,
diperkirakan hanya sekitar Rp 12,3 Triliun yang dapat dikategorikan dalam belanja sosial, yaitu untuk anggaran kesehatan sebesar Rp 11,4 Triliun dan keluarga berencana sebesar Rp 900,9 Miliar. Dalam hal pengangguran, angka resmi pengangguran masih relatif tinggi, mencapai 8,14 % pada Februari 2009. 2.2 Sisi Penerimaan Seringkali dikatakan bahwa dengan naiknya angka APBN maka secara nominal pemerintah telah berprestasi dalam menaikkan penerimaan atau pendapatan negara. Namun demikian, klaim prestasi harus diterima dengan hati-hati dan kritis. Memang benar, bahwa angka-angka penerimaan atau pendapatan meningkat secara nominal, tetapi jumlah penerimaan pada 5 tahun terakhir belum mencerminkan potensi sebenarnya. Studi Richard Bird dan Eric M Zolt (2003) menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki tax ratio paling rendah dalam kelompok negara-negara berpenghasilan rendah, yakni pada 12,45 %; bandingkan dengan rata-rata kelompok ini pada angka 17 %. Kini Indonesia sudah masuk pada kelompok negara-berpenghasilan-menengah (medium income country), yakni negara dengan pendapatan per kapita pada kisaran US$ 1.000 s.d. US$ 17.000. Secara rata-rata, perolehan pajak di negaraberpenghasilan-menengah (medium income country) ini sebesar 22 % dari PDB (Bird dan Zort, 2003). Tahun 2010, DPR telah mendesak pemerintah menaikkan perolehan pajak dari level 12 % PDB menjadi 16 % PDB. Karena perolehan pajak Indonesia masih jauh di bawah Thailand dan Srilanka (yang lebih miskin ketimbang Indonesia). Namun, usulan DPR ini ternyata tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah berkilah soal metode perhitungan tax ratio yang belum memasukkan pendapatan daerah. Terlepas dari soal metode perhitungan, Pemerintah hanya mampu berjanji perolehan pajak di sekitar angka 12 % dari PDB. Turun dibandingkan angka tahun 2003 sebesar 13% PDB. Tabel 1: Tax Ratio Beberapa Negara di Asia Tenggara 20.00 18.00 16.00 14.00
Thailand
12.00
Philipina
10.00
Singapore
8.00
Indonesia
6.00
World
4.00 2.00 2005
2006
2007
2008
Sumber: Prakarsa, 2010 (diolah dari berbagai sumber). Pendapatan Indonesia, baik bersumber dari pajak maupun non pajak, masih lebih rendah ketimbang sumber dan potensi yang ada. Mengapa demikian? Macam-macam penyebabnya, antara lain: (i) salah urus (missmanagement) di pusat dan daerah; (ii) tingginya korupsi baik di pusat maupun di daerah; dan (iii) rendahnya transparansi serta akuntabilitas baik di pusat atau di daerah. Pengecekan atas dua sumber penerimaan yakni penerimaan perpajakan dan penerimaan negara dari sektor ekstraktif (pertambangan, minyak dan gas bumi) memperlihatkan secara gamblang bahwa terdapat potensi besar untuk menaikkan dan memperbesar pendapatan pemerintah. Misalnya, pemerintah daerah dalam hal pertambangan batubara telah mengeluarkan 8,000 kuasa pertambangan batubara. Apakah
8,000 perusahaan yang memegang kuasa itu telah membayar pajak atau belum? Dan bila sudah membayar, apakah sesuai dengan besaran kewajibannya? Bila saja kasus-kasus “penggarongan” ala Gayus Tambunan dkk dapat diminimalisir dan dihapus, maka ratusan triliun dapat dijadikan uang negara. 2.3 Sisi Pengeluaran APBN juga dibebani oleh beban utang (dalam dan luar negeri) yang cukup berat. Perkembangan utang dalam APBN, selama ini menunjukkan bahwa utang menjadi elemen utama untuk membiayai defisit APBN. Yang beralih adalah bentuknya, sejak tahun 2005 utang dalam negeri menjadi instrumen pengganti utang luar negeri. Menurut data Dirjen Pengelolaan Utang Kemenkeu (Juli 2010), pada tahun 2005 utang dalam negeri melebihi kebutuhan untuk menutup defisit APBN. Dari Rp 14 triliun defisit APBN (audited), pemerintah telah menarik utang dalam negeri sebesar Rp 23 triliun. Keadaan ini masih berlangsung sampai tahun 2009. Tahun 2008 paling mencengangkan, dari defisit APBN sebesar Rp 4 triliun, pemerintah mendulang utang dalam negeri sebesar Rp 86 triliun. Sementara, dalam APBN 2009 (realisasi), utang dalam negeri sebesar Rp 99 triliun untuk membiayai defisit Rp 87 triliun. Utang Indonesia memang terus mengalami kenaikan. Dengan asumsi nilai rupiah 9.275 per US dollar, dalam kurun waktu antara 2004-2009 utang luar dan dalam negeri mengalami kenaikan dari Rp 1.300 trilliun menjadi Rp 1.591 trilliun. Angka tersebut terus naik hingga menjadi Rp 1.613 trilliun per Juni 2010. Dengan melihat postur APBN, tidak tampak ada upaya serius pemerintah untuk mengurangi utang. Pada tahun 2004 utang per kapita Indonesia sebesar Rp 5,8 juta per kepala, dan pada Februari 2009 melonjak menjadi Rp 7,7 juta per kepala. Selain utang membebani warga negara dalam hitungan rata-rata per kapita, utang juga mengurangi diskresi pemerintah dalam upaya melakukan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Dari tahun ke tahun, wajib dialokasikan dana besar untuk membayar utang, sementara pokok utang tidak kunjung habis bahkan terus bertambah. Pada tahun 2010, APBN-P juga mengalokasikan dana sebesar Rp 105,7 triliun (9,38 % dari total pengeluaran anggaran) untuk membayar bunga utang. Pada saat bersamaan, bandingkan dengan dana yang dialokasikan untuk kesehatan yang turun. Alokasi belanja kesehatan hanya sebesar Rp 17,46 triliun pada tahun 2007, turun menjadi Rp. 17,27 triliun pada tahun 2008, dan naik sedikit menjadi 17,30 triliun pada tahun 2009. Presiden SBY sendiri pernah melontarkan pernyataan “government is broke”, saat membuka Sidang Pleno I Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Jakarta pada Selasa (10/03/2009). Jika Government is broke, mengapa terus menambah utang? Bila pemerintah hanya mengalihkan model beli utang baru untuk menutup utang lama – seperti halnya menggalakkan SBN untuk menutup sebagian utang luar negeri – terus mengurangi diskresi fiskal, mengapa utang terus dilakukan? Selain itu, kiranya pemerintah perlu mencatat tebal bahwa ketergantungan terhadap utang tidak cukup diukur dari rasio terhadap PDB. Apalagi, bertambahnya PDB itu sendiri adalah akibat bertambahnya utang secara signifikan (Dirjen Pengelolaan Utang, Juni 2010). 2.4 Sisi Akuntabilitas Sejauh mana akuntabilitas anggaran? Di mana posisi akuntabilitas administrasi anggaran? Sejauh ini, akuntabilitas dari sistem administrasi keuangan ditopang oleh peran dan eksistensi lembaga pengawasan keuangan yang bersifat internal (Bawasda, Inspektorat, BPKP) dan pengawasan eksternal (BPK). Sejauh ini institusi yang diserahi tanggungjawab atas pemeriksaan keuangan negara dinilai belum berfungsi maksimal. Instansi pengawasan internal masih bersifat tertutup terkait hasil pemeriksaannya. Beberapa kasus pemeriksaan keuangan bahkan menunjukan bahwa pengawas internal tidak berfungsi untuk penguatan akuntabilitas internal instansi, akan tetapi lebih sebagai alat justifikasi bagi praktik-praktik distorsif termasuk korupsi di internal instansi. Di beberapa daerah, indikasi penyalahgunaan wewenang dan dugaan kerugian negara yang ditemukan oleh instansi pengawas eksternal sering berbeda dengan temuan instansi pengawas internal.
Seperti halnya instansi pengawas internal, persoalan juga terkait dengan kinerja dan integritas hasil pemeriksaan keuangan BPK sebagai pemeriksa keuangan secara eksternal. Sejauh ini, hasil-hasil pemeriksaan BPK belum dapat secara maksimal ditindaklanjuti oleh DPRD di tingkat daerah dan DPR di tingkat pusat. Kelemahan dalam mendorong hasil pemeriksaan BPK ini kemudian melemahkan fungsi pengawasan parlemen atas akuntabilitas administrasi keuangan. UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) mengamanatkan pembentukan alat kelengkapan baru yaitu Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang memperkuat peran pengawasan DPR atas kinerja keuangan pemerintah. BAKN bertugas; (i) melakukan penelaahan temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan ke DPR; (ii) menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana kepada komisi-komisi di DPR; (iii) menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi; (iv) memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan; dan (v) penyajian dan kualitas laporan. Tetapi, peran pengawasan (oversight) DPR RI belum bekerja secara maksimal. Hal ini dapat kita lihat dari kinerja BAKN selama setahun lebih ini. Selain karena faktor dorongan politik untuk korupsi, pengelolaan anggaran negara juga masih dinilai buruk. Selama 3 tahun berturut-turut, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tidak bisa diberikan pendapat oleh auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini berarti, pengelolaan anggaran masih jauh dari prinsip-prinsip pengelolaan sesuai dengan standar akuntansi keuangan pemerintah. Status disclaimer juga diberikan untuk pengelolaan keuangan yang masih bertentangan dengan aturan perundangan yang ada (kepatuhan) dan kelayakan presentasi laporan (kepatutan). Laporan BPK terhadap LKPP juga menunjukan masih tingginya indikasi praktek-praktek yang dapat merugikan keuangan negara. Rekapitulasi penerapan opini atas realisasi belanja kementrian/lembaga pemerintah pusat di tahun 2007 menunjukan jumlah lembaga yang diclaimer atau tidak-bisa-diberikan-opini masih tertinggi (85,6%), sementara yang sudah wajar-tanpa-pengecualian baru mencapai 11,79%. Selama ini, proses politik anggaran di Indonesia tidak pernah dianggap penting. Lembaga politik maupun birokrasi umumnya menerima proses perencanaan anggaran yang sudah mengadopsi sistem perencanaan pembangunan bertingkat (Musrenbang). Sayangnya proses ini belum dapat dikatakan telah mewakili aspirasi politik warga. Dari berbagai riset disebutkan bahwa Musrenbang tidak lagi efektif untuk dijadikan sebagai sarana penyerapan aspirasi masyarakat. Ini karena tidak adanya wakil warga di tingkat kecamatan dan di tingkat kabupaten. Sehingga, proses Musrenbang sebenarnya bukan sebuah representasi kepentingan berbasis warga akan tetapi hanya alat justifikasi proses penganggaran untuk dapat disebut telah dilakukan secara aspiratif dan partisipastif. Hilangnya usulan masyarakat dari proses Musrenbang hanya merupakan akibat logis dari tidak adanya perwakilan warga. Selain itu, disebabkan oleh beberapa faktor lain antara lain transparansi anggaran yang tersedia dan juga akuntabilitas pembangunan yang lalu. Karena dari tingkatan desa proses ini telah terputus, sistem perencanaan pembangunan nasional yang dikoordinasikan oleh Bappenas tidak dapat dianggap sebagai mekanisme yang dilakukan secara bottom-up. Korupsi anggaran secara mudah dapat dilihat dari tingginya kebocoran di sisi penerimaan dan di sisi belanja. Korupsi di sektor penerimaan banyak menggerogoti sektor perpajakan dan penerimaan dari sumber daya alam, terutama sektor ekstraktif. Tingginya tingkat korupsi di sektor perpajakan, bisanya tergambar dari rasio pajak (tax ratio). Rasio pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia hingga saat ini masih terlalu kecil bila dibandingan dengan negara lain. Rasio pajak (tax ratio) Indonesia dalam APBN 2009 baru mencapai 12% dan 12,1 % di dalam RAPBN 2010. Angka ini masih terpaut jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia yang pada periode yang sama mencapai 25%. Dan sangat jauh di bawah negara-negara maju seperti Uni-Eropa (EU27) yang mencapai 40%. Penelitian Transparency International menyebutkan adanya hubungan yang berbanding lurus antara peringkat korupsi dengan rasio pajak, dimana dalam rasio pajak Indonesia menduduki urutan 145 di tahun 2009 dan Indeks Persepsi Korupsi 2009 yang berada di urutan 111 dengan skor 2.8 bersama 9 negara lain
dengan skor yang sama. Dari kecenderungan ini, rasio pajak dapat menjadi petunjuk yang jelas tentang hubungan antara tingkat kepatuhan pembayar pajak di satu sisi dengan kinerja pemungut pajak di sisi yang lain. Di sektor ekstraktif, tingkat kebocoran anggaran sangat tinggi. Hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) di tahun 2008 menyebutkan terdapat kebocoran pendapatan di sektor ekstraktif dari hulu hingga hilir. 2.5 Reformasi Birokrasi Berbagai kelemahan dan kekurangan sistemik dalam pengelolaan anggaran baik di sisi penerimaan, belanja dan akuntabilitas tidak lain dan tidak bukan ditentukan oleh para pelaku utama yakni (a) mereka yang memutuskan anggaran; dan (b) mereka yang menggunakan anggaran. Dengan kata lain, yang bertanggungjawab adalah birokrasi, mulai dari Presiden hingga Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota. Karena soal keputusan dan penggunaan anggaran, sebagian besar dilakukan oleh birokrasi. Selain birokrasi, pihak utama yang memutuskan (dan menggunakan) anggaran adalah DPR. Fungsi anggaran DPR memang dijamin konstitusi. Konstitusi secara tegas menyampaikan tiga fungsi DPR, yang salah satunya fungsi anggaran. Dalam konstitusi disebutkan kekuatan fungsi anggaran DPR, apabila DPR tidak menyetujui Rancangan-APBN yang diajukan Presiden, Pemerintah hanya dapat menjalankan APBN tahun yang lalu. Sayangnya, wewenang tersebut belum berjalan efektif. Misalnya dalam hal kenaikan perolehan pajak Indonesia dan Dana untuk “penyelamatan” Century. Bahkan sebaliknya, kelembagaan DPR terlihat memanfaatkan kewenangan itu untuk berbagai kegiatan yang royal sperti pembangunan gedung, studi banding dan sebagainya. Untuk mengatasi rendahnya akuntabilitas dan korupsi yang sistemik, pemerintah menggulirkan reformasi birokrasi. Namun demikian, dibanding kemajuan yang dicapai ternyata reformasi birokrasi itu lebih banyak menggemukkan renumerasi/gaji para pejabat ketimbang hasil lainnya. Genderang reformasi birokrasi di Indonesia dipelopori oleh Departemen Keuangan pada tahun 2007. Pilot proyek reformasi birokrasi Depkeu, diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 289/KMK.01/2007 dan 290/KMK.01/2007. Atas nama reformasi birokrasi ini, pejabat dengan level eselon I atau Direktur Jenderal di lingkungan Departemen Keuangan memperoleh remunerasi mencapai Rp 46,9 Juta per bulannya. Menurut UU No. 1 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan merupakan Bendahara Umum Negara. Lalu apakah selaku bendahara Negara, Depkeu dapat menambah penghasilan dengan mengatasnamakan reformasi birokrasi, cukup dengan landasan yuridis keputusan internal? Dengan alasan pilot project, alih-alih memberikan early warning, BPK sebagai auditor Negara, turut mendapat kucuran tambahan remunerasi. Meskipun, belum ada kejelasan landasan hukum kenaikan remunerasi di tubuh BPK ini. Tunjangan prestasi terus bergulir ke tubuh MA. Melalui Perpres No 19 tahun 2008. Seolah tidak mau rugi, Perpres ini berlaku surut mulai September 2007. Ketua MA mendapatkan tunjangan kinerja hingga Rp 50 Juta. Lingkaran ini menjadi lengkap kiranya. Bendahara yang punya kuasa atas uang, dan sang auditor anggaran serta sang hakim yang memutuskan kebenaran, semua mendapat jatah remunerasi. Dipastikan tambahan tunjangan ini “aman”. Asumsinya, dengan tunjangan ditambah, maka prestasi akan meningkat dan korupsi akan berkurang, adalah tidak relevan. Hasil pemeriksaan BPK menemukan piutang pajak tahun 2007 sebesar Rp. 42,04 triliyun, tidak berhasil ditarik Depkeu. BPK juga melansir lagi-lagi Laporan Keuangan Pemerintah Pusat adalah disclaimer. Tambahan tunjangan juga tidak berpengaruh terhadap keterbukaan MA soal uang perkara yang tidak mau diaudit. Berdasarkan catatan FITRA, kenaikan belanja pegawai pada tahun 2008 di ketiga lembaga ini, menyedot anggaran hingga Rp. 9,5 Trilyun dengan mengalami kenaikan belanja pegawai di Depkeu hingga 270%, MA sebesar 230% dan BPK 163%. Pada tahun anggaran 2009, dengung reformasi birokrasi ini mulai jauh berkurang. Tentunya, Presiden SBY sebagai incumbent akan menjaga citranya dengan tidak mengeluarkan kebijakan tidak populer di tahun Pemilu. Sebagai instrumen politik, kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil/TNI/Polri sebesar 15% di tahun 2009 cukup efektif meraih simpati pemilih ditubuh birokrasi.
III. Rekomendasi 3.1 Untuk Belanja Sosial Pemerintah dan DPR perlu membalik prioritas yang ada selama ini, yakni dengan mengutamakan alokasi untuk belanja sosial terutama untuk kesehatan, bantuan sosial dan tunjangan pengangguran. Alokasi dana untuk Kesehatan misalnya minimal dapat dinaikan menjadi 5-8 % dari total anggaran APBN dan APBD. Dengan kenaikan anggaran, maka cakupan penerima Jamkesmas atau asuransi kesehatan universal Indonesia (untuk seluruh warga negara) dapat dimulai sejalan dengan amanat UU SJSN 2004, UU Kesehatan, dan sebagainya.
3.2 Untuk Aspek Penerimaan Pajak KAI mendukung usulan kenaikan perolehan pajak hingga 16 % PDB oleh DPR sebab hal itu layak dicapai dan dapat dilaksanakan. Tidak ada gunanya kue ekonomi membengkak (PDB) dan pendapatan perkapita mencapai 3000 dolar per kapita bila perolehan pajak rendah. Untuk itu, pemerintah dan DPR perlu membuka potensi pajak yang sebenarnya serta mengusulkan perluasan sumber pajak baru seperti: pajak transaksi elektronik, pajak polusi atau pajak ekologis.
3.3 Untuk Pembiayaan dan Utang KAI merekomendasikan kepada Pemerintah dan DPR RI untuk:
Pertama, menghentikan utang baru. Pemerintah bersama lembaga legislatif harus serius berpikir bagaimana mengatasi problem defisit. Apakah menguatkan sumber pendanaan dalam negeri melalui pengelolaan sumber daya alam yang mandiri, atau melakukan penghematan dan mengurangi porsi belanja yang tidak penting (efisiensi). Bila optimalisasi sumber daya alam yang dipilih, maka akan banyak kebijakan yang harus direvisi. Ada banyak perundangundangan yang tidak menguntungkan bagi kepentingan nasional harus dirombak, seperti Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (Minerba) yang tidak mengatur pentingnya DMO (Domestic Market Obligation) bagi kepentingan nasional, dan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang hingga 95 %.
Kedua, rekayasa keuangan terhadap utang lama. Terhadap utang lama, bila mengikuti ketentuan bunga yang berlaku, maka Indonesia akan terus mengalami penurunan kapasitas fiskal disebabkan beban bunga utang dan cicilan pokok utang. Tengoklah tabel berikut ini, rasanya sudah tidak masuk akal utang baru Indonesia berada jauh di bawah kewajiban membayar bunga dan cicilan utang lama. Jadi, sekedar untuk “gali lubang tutup lubang” saja, Indonesia sudah tidak mungkin mampu melunasi semua utang.
Ketiga, pemerintah harus lebih agresif melakukan negosiasi bilateral terutama dengan Jepang. Mengapa Jepang, karena 44,4% utang luar negeri berasal dari Jepang. Tujuan negosiasi adalah mengurangi pokok utang atau bahkan menghapus pokok utang. Argumen geopolitik dan strategik bisa menjadi salah satu pintu masuk untuk mendekati Jepang. Bukankah argumen ini yang dalam waktu lama dipakai oleh pemerintah untuk mendapatkan penambahan utang? Mengapa tidak bisa dipakai pula untuk mengurangi
atau menghapus utang? Dalam konteks ini, memang strategi negosiasi utang perlu memanfaatkan faktor non teknis ekonomi.
Keempat, sebagai pengelola utang, Pemerintah ke depan juga harus mengembangkan indikator tambahan. Outstanding utang tidak hanya dilihat dengan rasio terhadap PDB, karena debt ratio mengabaikan fakta bahwa pembayaran utang mempunyai konsekuensi terhadap penurunan pelayanan negara terhadap masyarakat. Setiap rupiah yang dibayarkan ke utang, sebenarnya harus didistribusikan bagi pencapaian kesehatan dan akses pendidikan masyarakat yang bermutu. Untuk kasus Indonesia, rasio utang semakin menunjukkan perlunya reorientasi manajemen utang pemerintah, dengan re-fokus kepada pengurangan debt stock, bukan pengalihan utang ke generasi mendatang dan/atau penambahan utang baru. Ini juga membawa konsekuensi tambahan, yaitu utang baru seyognyanya tidak digunakan untuk sisi konsumsi dalam APBN. Tapi justru lebih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur seperti listrik, jalan dan komunikasi.
3.4 Untuk Penerimanaan dari Sektor Ekstraktif
Pemerintah dan DPR harus menetapkan target kuantitatif minimal 5 % dari PDB untuk mendorong kenaikan penerimaan non-pajak dari sektor ekstraktif. Pemerintah dan DPR perlu membuka data-data potensi pajak dari sector ekstraktif dan membandingkannya dengan angka realisasi sehingga penerimaan negara dari perpajakan dan industri ektraktif masih dapat dioptimalkan. Perbaikan tata kelola administrasi pajak serta penegakannya regulasi harus mendapatkan perhatian lebih sungguh-sungguh, sehingga penerimaan negara dari sektor ekstraktif (pertambangan, minyak dan gas bumi) akan meingkat. Mengembangkan dan menegakkan mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat, terutama mekanisme transparansi dan akuntabilitas aliran pendapatan dari sektor ekstraktif. Meninjau ulang kontrak karya perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif sehingga sesuai dengan perkembangan kondisi ekonomi, politik, sosial dan lingkungan.
3.5 Untuk Aspek Akuntabilitas Penerimaan yang besar akan tiada guna apabila terjadi korupsi dan kebocoran secara massif dan sistemik. Oleh karena itu, perlu diberlakukan sistem antikorupsi dan integritas serta sistem akuntabilitas yang tidak tergantung angin rezim politik. Sebagai awal dan niat baik, Pemerintah dan DPR perlu mendeklarasikan “zero corruption” dalam pengelolaan dan penggunaan APBN dan APBD untuk 3 tahun ke depan, sebagai permulaan untuk memulai tindakan sistemik memerangi korupsi. Pran KPK harus kuat baik dalam hal pencegahan maupun penindakan terhadap kasus korupsi sistemik. residen wajib mendukung penguatan kerja-kerja KPK sebagai avant garde pemberantasan korupsi. Ujian yang sederhana bagi KPK adalah soal kasus dana Bank Century, Rekening Gendut, Pengemplang Pajak dan kasus-kasus pengadaan barang; Dalam rangka penguatan akuntabilitas, Presiden harus melakukan tindakan yang sistematis dengan membuat target dan sasaran agar LKPP Pemerintah, Kementerian/Lembaga lebih banyak yang tidak disclaimer (60%) lagi, sebagai bukti pengelolaan keuangan/anggaran Pemerintah/Kementerian/ Lembaga sudah lebih baik sesuai dengan tata kelola keuangan, standard akuntasi yang berlaku dan aturan perundangan. Gagasan Presiden tentang pembentukan Tim Penghematan Anggaran tidak mencerminkan upaya melakukan akuntabilitas di sisi penghematan.
3.6 Untuk Reformasi Birokrasi "Sebetulnya, yang namanya renumerasi itu di ujung dari reformasi birokrasi”, ujar Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Lukita Dinarsyah Tuo tentang reformasi birokrasi dan hubungannya dengan remunerasi. Oleh karena itu, rekomendasi yang KAI tawarkan adalah: (i) Mengefektifkan skema reward and punishment dengan pendekatan berbasis kinerja (performance based) dalam melihat tugas dan kewenangan K/L dan aparatusnya; (ii) Mencegah reformasi birokrasi hanya terpeleset/terjebak menjadi reformasi renumerasi; (iii) Melakukan evaluasi reformasi birokrasi secara menyeluruh dan melibatkan multi stakeholders dan melakukan moratorium remunerasi; (iv) mengusulkan lahirnya Tim Evaluasi yang berisi dari unsur DPR, Pemerintah dan kelompok independen untuk menilai kemajuan dan kelemahan program reformasi birokrasi yang telah berjalan selama ini. ***