1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggaranya pembangunan sebagai kegiatan pengelolaan negara tidak terlepas dari kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan pada instansi pemerintah. Dana kegiatan ini bersumber dari keuangan negara (APBN/APBD) yang jumlahnya tidaklah sedikit. ”Pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia menduduki peran yang sangat penting untuk menggerakkan aktivitas ekonomi. Di samping jumlah uang yang berputar cukup besar, keterlibatan dunia usaha dan birokrat publik juga sangat besar. Oleh karena itu pengadaan barang/jasa pemerintah dapat menjadi wahana untuk memperbaiki perilaku dunia usaha dan birokrat publik secara menyeluruh terutama sebagai wahana untuk memulai penyelenggaraan pemerintah yang baik.” 1 Pengadaan barang/jasa pemerintah secara khusus diatur dalam Peraturan Perundang-undangan setingkat Peraturan Presiden. Dalam kurun waktu tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 yang telah diubah beberapa kali, terakhir perubahan ketujuh dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007. Sejak tanggal 1 Januari 2011 Keppres No. 80/2003 beserta perubahannya dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi dengan lahirnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jika dibandingkan antara Kepres Nomor 80 Tahun 2003 dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 terdapat perbedaan-perbedaan prinsipil yang 1
Iwan Hardian, Senarai Pengadaan barang/jasa Pemerintah; Kasus Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Temuan BPK RI, Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah, Jakarta, 2011, hlm. 87.
2
didasari oleh 7 (tujuh) gagasan pokok perubahan yaitu : penyederhanaan prosedur, mengurangi ekonomi biaya tinggi, mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat, melindungi usaha kecil, meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri, meningkatnya profesionalitas pelaksana pengadaan barang dan penyelarasan aturan. Perpres No. 54 tahun 2010 dan perubahannya beserta Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pemerintah No. 6 Tahun 2012 merupakan payung hukum yang memberi pedoman dan kewenangan atau kekuasaan bagi aparatur pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan pengadaan. Perpres Nomor 54 Tahun 2010 sampai saat ini telah mengalami dua kali perubahan yaitu dengan lahirnya Perpres Nomor 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 yang mengubah beberapa pasal. Perubahan pertama hanya mengubah Pasal 44. Inti dari perubahan pertama ini adalah dibolehkannya penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia jasa konsultansi di bidang hukum meliputi konsultan hukum/advokat atau pengadaan arbiter yang tidak direncanakan sebelumnya untuk menghadapi tuntutan hukum dari pihak tertentu kepada pemerintah yang sifatnya harus disegerakan. Sedangkan pada perubahan kedua dengan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 terjadi banyak penambahan materi pada pasal-pasal tertentu. Sisi lain kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang menarik untuk dicermati adalah yang berkaitan dengan kontraknya. Kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah meliputi 3 (tiga) aspek hukum yaitu hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana. Ketiga aspek
3
hukum ini akan selalu berkaitan sejak awal kegiatan pengadaan sampai pelaksanaan kontrak. Kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan sangat rentan akan ketidakpastian perlindungan hukum karena tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Suatu kontrak yang dibuat di bawah tangan akan mengikat para pihak sepanjang isi dan tanda tangannya tidak disangkal oleh para pihak tersebut. ”Kontrak pengadaan mempunyai kekuatan yang sah dan mengikat jika kontrak itu ditandatangani oleh pejabat yang mempunyai kapasitas untuk itu.” 2 Masalah kontrak biasanya diatur dalam ranah hukum perdata yang mana mengatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna barang /jasa sejak penandatanganan kontrak sampai dengan berakhirnya kontrak. Hubungan hukum antara pengguna dengan penyedia yang terjadi pada proses penandatanganan kontrak pengadaan barang/jasa sampai dengan proses berakhirnya kontrak merupakan hubungan hukum perdata khususnya hubungan kontraktual. Dalam proses ini pengguna barang/jasa adalah pemerintah yang diwakili oleh Pengguna Anggaran atau Kuasanya atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Pejabat Pengadaan atau ULP sebagai individu. Sedangkan penyedia barang/jasa adalah orang atau badan hukum . Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada buku III tentang Perikatan disebutkan bahwa perikatan dapat lahir karena 2
Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian; Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah, Jilid I, Laksbang PRESSindo, Yogyakarta, 2009, hlm. 107.
4
Undang-Undang atau lahir karena perjanjian. Perjanjian dalam pengadaan barang/jasa
adalah
suatu
persetujuan
dengan
mana
pihak
yang
menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain dengan penerima suatu harga tertentu. Perjanjian merupakan dasar pelaksanaan kegiatan. Perjanjian menurut R. Subekti adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. 3 Subjek hukum dalam sebuah perjanjian atau kontrak adalah orang atau badan hukum. Sebuah badan hukum diwakili oleh orang yang diberi kewenangan oleh badan hukum untuk melakukan perjanjian dengan pihak lain. Organisasi pemerintah sebagai badan hukum publik diwakili oleh pejabat yang diberi kewenangan berdasarkan Peraturan Perundangundangan. Wenang pejabat ini merupakan syarat mutlak untuk sahnya perjanjian karena berkaitan erat dengan syarat kecakapan yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Salah satu indikator suatu kontrak telah disepakati adalah adanya tandatangan dari para pihak pada kertas dokumen kontrak tersebut. Namun demikian, banyak terjadi pihak yang menandatangani kontrak terkesan asal tanda tangan saja. Dia tidak memahami konsekuensi hukum atas kontrak yang
telah
ditandatangani
bahkan
lebih
memprihatinkan
lagi
menandatangani kontrak tanpa membaca dan memahami pasal demi pasal pada kontrak dimaksud. Seseorang dapat menjadi tergugat di muka Hakim
3
Subekti R, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm.39
5
karena dia menandatangani suatu kontrak. Kesalahan proses pengadaan dan pembuatan kontrak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dapat menjadikan kontrak pengadaan tersebut batal (void) atau bahkan dapat dibatalkan (voidable). Asas kebebasan berkontrak sangat dibatasi pada kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah karena secara teknis Peraturan Presiden yang mengatur tentang pengadaan telah mengatur sedemikian rupa tentang apa saja yang harus ada dalam klausul kontrak. Dengan demikian maka dianggap sangat perlu para pihak memahami aspek hukum perjanjian sebelum hubungan hukum tersebut terjadi. Aspek hukum perjanjian tersebut meliputi hukum perjanjian berdasarkan KUHPerdata dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 antara lain, sumber perikatan dan hubungan perikatan dengan perjanjian, asas-asas perjanjian, syarat sahnya perjanjian serta hal-hal yang harus diatur secara umum dan khusus dalam kontrak pengadan barang/jasa pemerintah. KUHPerdata dan Perpres No. 54 Tahun 2010 beserta perubahannya merupakan Peraturan Perundang-undangan yang berada pada tingkat hierarki yang berbeda, namun keduanya merupakan acuan wajib dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah. Perpres No. 54 Tahun 2010 lahir karena kepentingan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang menghendaki adanya aturan khusus dalam penyelenggaraan pengadaan
6
barang/jasa pemerintah. Perpres No. 54 Tahun 2010 merupakan hukum khusus (lex specialis) yang mengatur mengenai kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, sedangkan KUHPerdata merupakan hukum umum (lex generalis) yang mana buku III mengatur tentang perikatan. Akan tetapi Perpres No. 54 Tahun 2010 tidak dapat mengenyampingkan KUHPerdata karena KUHPerdata lebih tinggi tingkat hierarkinya. Perpres No. 54 Tahun 2010 dapat dikesampingkan/dibatalkan oleh KUHPerdata berdasarkan asas lex superiore de rogaat lex imperiore (hukum yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan hukum yang lebih rendah). Namun demikian, sepanjang Perpres No. 54 Tahun 2010 tidak bertentangan dengan KUHPerdata atau peraturan yang lebih tinggi lainnya maka Perpres tersebut berlaku dan mengikat. Suatu kontrak yang telah dibuat secara sah akan mengikat bagi mereka yang membuatnya seperti halnya Undang-Undang. Hal ini telah dinyatakan dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Ini artinya bahwa para pihak wajib menepati janjinya seperti yang diuraikan dalam kontrak. Terikatnya para pihak tidak semata-mata terdapat pada apa yang diperjanjikan saja tetapi juga terdapat beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral sedemikian rupa sehingga asas-asas, nilai moral, kepatutan dan kebiasaan yang berlaku mengikat para pihak. Hal ini diakomodir dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Namun selain itu pada sebuah kontrak yang penting adanya asas itikad baik dalam pembuatan kontrak ini sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-
7
Undang Hukum Perdata yang menyatakan ”perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik”. Ini sangat penting agar kontrak itu dapat berjalan dengan sebagimana mestinya. Dibuatnya sebuah kontrak mestinya juga memikirkan bagaimana kontrak tersebut dapat dijalankan secara mudah dan efisien. Para pihak harus dilindungi dari kerugian akibat ulah pihak yang lain. Wanprestasi atau ingkar janji dapat saja terjadi, namun kontrak harus mengantisipasi agar hal tersebut tidak terjadi atau meskipun tidak dapat dihindari harusnya kerugian pihak yang satu akibat ulah pihak yang lain tidak boleh terjadi. Dalam hal kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah pihak penyedia barang dan instansi pemerintah tidak boleh melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun pada dasarnya kontrak tersebut adalah perbuatan perdata, untuk mengantisipasi kerugian negara maka diaturlah sedemikian rupa kontrak tersebut sehingga sebagian prosesnya termasuk dalam ranah hukum administrasi negara. Syarat sah kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 pada dasarnya tidak bertentangan dengan KUHPerdata. Syarat kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu dan sebab yang legal sebagaimana diatur KUHPerdata juga wajib dipenuhi dalam kontrak pengadaan tersebut. Namun demikian, keempat syarat itu disesuaikan
dengan
aturan
yang
terkait
dengan
penyelenggaraan
pemerintahan. Sebagai contoh, syarat kecakapan dalam KUHPerdata
8
diterjemahkan sebagai syarat adanya kewenangan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dalam Perpres No. 54 Tahun 2010. Dalam pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah adakalanya salah satu pihak wanprestasi sehingga merugikan pihak lain. Wanprestasi tidak hanya dapat dilakukan oleh penyedia barang/jasa, tetapi pihak Pejabat Pembuat Komitmen pun dapat wanprestasi dengan terlambat atau tidak dapat melakukan pembayaran terhadap prestasi penyedia. Kasus wanprestasi yang dilakukan PT. Ghanna Rifa selaku rekanan berupa tidak melakukan prestasi sama sekali dalam kontrak pengadaan peralatan medis gigi Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGMP) Universitas Andalas Padang tahun 2012 merupakan contoh dari wanprestasi yang dilakukan oleh Penyedia barang/jasa. Sementara itu Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah pada tahun 2011 dan 2012 digugat oleh Pihak Penyedia barang/jasa dengan dalil wanprestasi karena tidak melakukan pembayaran atas pekerjaan yang telah diselesaikan oleh rekanan dalam kontrak pengadaan buku SD/SDLB tahun 2011 serta dalam pekerjaan pengadaan meubelair ruang kelas baru dan meubelair perpustakaan SD/SDLB di Kabupaten Wonogiri tahun 2012. Wanprestasi tersebut tentu saja berakibat bagi mereka yang membuatnya, itulah sanksi yang telah diatur dalam kontrak atau diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan uraian di atas penulis ingin mengetahui lebih lanjut tentang kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah dengan melakukan
9
penelitian dengan judul ”TINJAUAN KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH MENURUT HUKUM PERDATA .”
B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas timbul beberapa permasalahan yang akan penulis jadikan permasalahan pokok dalam penulisan ini, adapun rumusan dari permasalahan tersebut adalah: a. Bagaimanakah keabsahan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? b. Bagaimanakah akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi oleh pihak dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran terhadap hasil penelitian dan karya tulis ilmiah yang telah dilakukan, sampai saat ini belum ditemukan
rumusan
masalah yang sama dengan penelitian ini. Ada beberapa hasil penelitian berupa tesis yang dilakukan oleh penulis terdahulu dalam ruang lingkup kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, namun belum ada yang secara khusus menulis mengenai tinjauan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah menurut hukum perdata seperti yang penulis lakukan. Beberapa karya tulis tersebut hanya memuat sebagian dari unsur-unsur penelitian ini yang berkaitan dengan hukum perjanjian tetapi berbeda dalam pengkajian masalahnya. Beberapa pembahasan mengenai pengadaan barang/jasa
10
pemerintah yang relevan dengan penelitian ini berupa tesis adalah diantaranya: 1. Pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Barang di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Klaten yang disusun oleh Farida Ratna Dewi, tahun 2013, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan rumusan masalah: 4 a. Bagaimana Pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Barang di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Klaten? b. Bagaimana Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dalam Hal Penyedia Barang Melakukan Wanprestasi? 2. Pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Alat-alat Non Medis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Indramayu Antara Pemerintah Daerah (PEMDA) Indramayu Dengan PT. Fast Jaya Farma yang disusun oleh Anastasia Yurintawati, tahun 2009, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan rumusan masalah: 5 a. Bagaimanakah Pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Alat-alat Non Medis Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu Antara Pemerintah Daerah Indramayu dengan PT. Fast Jaya Farma untuk kepentingan RSUD Indramayu? b. Bagaimanakah Perlindungan Hukum Bagi RSUD Indramayu sebagai pihak penerima manfaat apabila wanprestasi?
4
Farida Ratna Dewi, Pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Barang di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Klaten, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013, hlm. 9 5 Anastasia Yurintawati, Pelaksanaan Perjanjian Alat-alat Non Medis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Indramayu Antara Pemerintah Daerah (Pemda) Indramayu Dengan PT. Fast Jaya Farma, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009, hlm. 12
11
Dari penelusuran beberapa karya tulis ilmiah di atas terlihat bahwa penelitian yang penulis lakukan memiliki kajian yang berbeda dengan penelitian terdahulu meskipun sama dalam hal mengkaji dari sisi hukum perjanjian.
D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis 1)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum perdata khususnya dalam lapangan hukum perjanjian.
2)
Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian sejenis untuk tahapan berikutnya.
b. Manfaat Praktis 1)
Menambah pengetahuan dan kemampuan penulis dalam menganalisa dan memecahkan masalah hukum khususnya menyangkut tentang kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah.
2)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan masukan kepada semua pihak yang membutuhkan perihal kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah.
E. Tujuan Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini, tujuan yang ingin penulis capai adalah sebagai berikut:
12
1. Untuk mengetahui dan menganalisis keabsahan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum jika terjadi wanprestasi oleh pihak dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah.