PELA
Newsletter
SEACSN Indonesia - Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
K esadaran
EDITORIAL
Baru saja, dunia kita digoncang
Global
Anti - Kekerasan
peristiwa dahsyat, serangan Amerika dan Inggris ke Irak. Peristiwa ini menyadarkan kita betapa beratnya tantangan yang kita hadapi. Bukan hanya konflik dalam negeri, seperti kasus Aceh, yang kini masih terus bergolak tetapi, juga konflik global. Dunia tidaklah sesempit yang dulu kita bayangkan. Kejadian di ujung dunia lain, berdampak luas pada dunia sekitar kita. Perang di Irak telah menggeser spektrum perdamaian. Bayangbayang radikalisme agama, terorisme, anti Amerika, tiba-tiba di depan mata. Namun, peristiwa itu juga membawa hikmah tersendiri. Gelombang protes anti perang tiba-tiba bangkit di seluruh penjuru dunia. Jeritan rakyat sipil Irak terhimpit perang, selain menegaskan komitmen menolak segala bentuk perang, juga membangkitkan solidaritas sipil global antikekerasan. Namun, bisakah kita menjadikan nya sebagai gerakan perdamaian baru? Tentu tidak cukup menjadi pasifis. Perlu dibuktikan menjadi gerakan aksi nir-kekerasan yang nyata.
INSIDE
-
PELA: SAYAM Development and Conflict SEACSN Indonesia Exchange Program 2003 Peace in Another Place Conflict and Peace Interfidei Ortigaz Institute Profile Reforming Security MPRK in 2nd Year Event
2 3 5 8-9 8-9 10-11 12-13 12-13 14-15 16-17 18-19 20
The invasion of USA and UK to Iraq has shocked us. It realizes us how hard the situation we are facing. Not only internal conflicts such as in Aceh, but also a global conflict we must overcome. The world is not narrow as we thought. Something that happens in one place may have a large impact on other places. Iraq war has shifted peace spectrum. Religious radicalism, terrorism, and anti-America are suddenly in front of us. However this war also brings the power of the protesting waves on antiwar in all over the world. The suffering of Iraqnese people for the war bears the commitment on refusing any forms of war and arouses civil solidarity for global anti-violence. Can we make this as a ne w peace movement? It is of course not enough to be pacifist. It needs to be proved as a real non-violent movement.
Visit us at
http://seacsn.csps-ugm.or.id
Vol. I No. 3 June 2003
PELA P E L A SAYAM
Dalam khasanah budaya Aceh terdapat sebuah adat yang dikenal dengan Sayam. Sayam merupakan suatu kearifan tradisional yang sering digunakan untuk tujuan penyelesaian pertikaian berdarah di masyarakat Aceh. Sayam merupakan sebuah resolusi konflik cara adat. Konflik kekerasan diselesaikan warga lewat upacara adat, kenduri, penyembelihan korban, dan pihak berkonflik saling mengaku salah dan memohon maaf satu sama lain. Ketika terjadi konflik antara nelayan Aceh dan Sumatera Utara di Bagan Siapi-api, misalnya, dilakukan penyelesaian damai dengan menggunakan Sayam. Melalui upacara penyembelihan korban, kenduri, mereka saling mengaku salah dan memaafkan satu sama lain. Dalam ritual Sayam termuat beberapa kearifan tradisional. Disitu diungkapkan kata-kata bijak pengakuan dan permintaan maaf dari pihak yang membuat jatuh korban. Kemudian disertai dengan penggantian kerugian. Sesudah itu, muncul komitmen pihak berkonflik untuk tidak mengulang perbuatan dan menjalin persaudaraan. Untuk memperkuatnya, hal itu ditopang dengan kesepakatan mentaati komitmen yang telah dibuat. Dengan itu, rekonsiliasi berlangsung antara pihak berkonflik. Mekanisme resolusi ala Sayam ini di tahun 1970an masih banyak kita temui di masyarakat. Namun, kini tinggal ada dalam memori masyarakat. Modernisasi telah menghancurkannya. Namun, kearifan itu bisa dihidupkan kembali. Kita bisa menghidupkannya sebagai modal dasar untuk penyelesaian konflik Aceh sekarang. Hanya memang cara ini bekerja di tingkat mikro, dalam lingkup kampung (gampong). Tapi, prinsip, spiritualitas dan caranya bisa dikembangkan. Kalau ini bisa dilakukan, tentu bisa menjadi alternatif bagi upaya penyelesaian konflik bermartabat di Aceh sekarang. Namun, tantangannya, bagaimana hal itu bisa ditransformasikan ke dalam penyelesaian konflik berskala makro seperti terjadi sekarang? Butuh komitmen, pemikiran, kearifan, dan tangantrampil untuk melakukannya (Fuad Mardhatillah, Center for Conflict Resolution and Peace Studies, IAIN Arraniry, Darussalam B.Aceh).
2
SAYAM In Acehnese culture, SAYAM is a traditional custom often used for the resolution of bloody fight. This custom manages a mechanism of conflict resolution by Acehnese society through ritual gathering and buffalo slaughter. In Sayam, the conflicting parties admit their faults and apologize one another. The conflict between the fishermen of Acehnese and North Sumatranese in Bagan Siapiapi is one example of the conflict resolved by Sayam. The ritual Sayam holds some traditional wisdom namely regret and admission of guilt through wise words followed by loss compensation from the party that causes the fall of victims. In order to avoid conflict and realize togetherness, commitment to make ties of brotherhood and not to repeat practices that can lead conflict is made among the conflicting parties. This commitment then is supported by obeying it, therefore, a reconciliation among the parties can go well. Resolution Mechanism ala Sayam in 1970s was still found in Acehnese society but not now anymore. It is only left in the memory since modernization has destroyed it. We can return the wisdom of Sayam as a basic resource for a mechanism of conflict resolution although it will work merely in Kampong (Gampong) scope as a micro level. The principle, spirituality, and ways of Sayam may be still developed at present. The challenge for us now is how Sayam can be transformed into a conflict resolution at a macro scale. Of course, commitments, thoughts, wisdoms, and skills are needed for this. (Fuad Mardhatillah, Center for Conflict Resolution and Peace Studies, IAIN Arraniry, Darussalam B.Aceh)
Juni 2003
PELA FOKUS SEACSN Pembangunan dan Konflik di Asia Tenggara Praktek pembangunan di negara-negara Asia Tenggara menunjukkan corak perubahan sosial sangat beragam. Pembangunan selama ini tidak selalu mendorong perubahan sosial secara linier menuju masyarakat industrial-modern sebagaimana diidamkan para perencana pembangunan, tetapi juga menimbulkan kontradiksi-kontradiksi dan konflik-konflik internal di dalam lingkup kehidupan sosial-politik masingmasing negara. Demikian salah satu butir kesimpulan Lokakarya Regional tentang Pembangunan di Asia Tenggara: Isu, Tantangan, dan Prospek, yang diselenggarakan Jaringan Studi Konflik Asia Tenggara (SEACSN) di Hanoi, Vietnam, 4-6 November, 2002. Lokakarya ini merupakan bagian dari seri Lokakarya Regional SEACSN disponsori SIDA-Swedia. Selain butir kesimpulan di atas, beberapa isu penting muncul dalam Lokakarya selama tiga hari yang diikuti oleh para akademis dan kalangan LSM dari negara-negara Asia Tenggara itu. Salah satu diantaranya yang terpenting adalah soal kaitan antara pembangunan ekonomi dan demokratisasi. Dalam banyak kasus yang terjadi di Asia Tenggara, demokrasi tidak muncul begitu saja sebagai konsekuensi dari kemajuan ekonomi tetapi lebih mengikuti logikanya sendiri sebagai hasil dinamika konflik internal diantara berbagai elemen dalam masyarakat sipil dan negara, akibat krisis ekonomi. Lokakarya ini sengaja mengangkat konflik disekitar isu pembangunan dengan pertimbangan khusus. Pemrakarsa lokakarya ini, koordinator SEACSN-Vietnam, Mr. Pham Cao Phong, dalam sambutannya mengatakan lokakarya ini sangat berguna bagi Vietnam yang sekarang ini baru mulai dan sedang gencar-gencarnya melancarkan pembangunan ekonomi bersifat kapitalistik, setelah negara sosialis itu mengalami perang idiologi berkepanjangan sejak tahun 1970an.
Selain itu, lokakarya ini juga menjadi ajang bagi peserta untuk mendiskusikan pengalaman mereka dengan para pemerhati masalah pembangunan dari negara-negara Asia Tenggara yang lain. Beberapa masalah pembangunan di berbagai sektor kehidupan menjadi sorotan pula dalam Lokakarya ini. Pada hari pertama, masalah keberlanjutan pembangunan dan munculnya berbagai isu sosial menjadi sorotan utama. Di hari kedua, diskusi difokuskan pada masalah lingkungan, urbanisasi, migrasi, sebagai dampak dari pembangunan. Selain itu, juga didiskusikan pembangunan ekonomi dalam konteks global, termasuk akibat globalisasi pada krisis ekonomi dan sosial-politik di negara-negara Asia Tenggara. Lokakarya ini pada akhirnya berhasil merumuskan agenda penting untuk keberlanjutan pembangunan di masa yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk kepentingan generasi yang akan datang. Pembangunan ekonomi yang membebani generasi yang akan datang, baik dalam bentuk hutang luar negeri maupun kerusakan lingkungan, merupakan pembangunan yang tidak membebaskan, meskipun di permukaan tingkat kehidupan ekonomi tampak ada kemajuan. Selain itu, pembangunan ekonomi hendaknya tidak dibaca sebagai satu-satunya kunci kemajuan (deux ex machina). Demokratisasi tidak lahir begitu saja akibat kemajuan ekonomi tetapi lahir dari dinamika konflik internal, meskipun sumbernya dari persoalan distribusi dan kesenjangan ekonomi. Karena itu, dampak pembangunan ekonomi pada dinamika konflik politik internal perlu mendapat sorotan sebanding. Bagaimana mengelola konflik politik di seputar isu pembangunan itu merupakan kunci penting dalam mendorong demokratisasi di negara-negara Asia Tenggara (Lambang Trijono, Koordinator SEACSNIndonesia).
Editorial Board Editor in Chief: Lambang Trijono, Rizal Panggabean Editors: Novri S., Ulyati R.S., Kristina S.D., Nurul A., Dody W., Diah K., Glenn F.A. Layout: Arif S. Address: Editorial Board, PELA Newsletter, Sekip K-9, Yogyakarta 55281. Phone/Fax.: 0274-520733 Email:
[email protected]. June 2003
3
PELA SEACSN FOCUS Development and Conflict in Southeast Asia The trend of the development in the Southeast Asian countries shows us that there are so many characters of social changes resulted by the development process during the last decade. Development process not merely promotes linier social changes toward modern-industrial as expected by many people, but also creates internal contradictions and conflicts in social and political spheres within the countries. This is one key issue resulted from the Regional Workshop on Development in Southeast Asian: Issues, Challenges and Prospects, held by the Southeast Asian Conflict Studies Networks (SEACSN), in Hanoi, Vietnam, 4-6 November, 2002. The Workshop is a part of regional workshop series of the SEACSN supported by SIDA-Sweden. Moreover, several important conflict issues related to development became the central issues that had been debated during the workshop attended by academicians and NGOs from the Southeast Asian countries. One of the important issues is the issues around the relations between economic development and democratization. In many cases in the Southeast Asian countries, democracy does not simply come up automatically as the result of economic progress. But, it rather follows its own logic of internal conflict dynamics among civil society elements and state as consequences of economic crisis, such as what happened in Indonesia, Philippine, and Thailand. The regional workshop intends to raise the conflict related to the development issues with the specific purposes. The Coordinator of SEACSN-Vietnam as the initiator of the workshop, Mr. Pham Cao Phong, in his opening speech said that the workshop was very useful for Vietnam which had been promoting capitalistic way of economic development progressively, after the socialist country had been involved in long ideological war since 1970s. Moreover, the workshop also became an arena for participants to share their experiences with other participants from the Southeast Asian countries concerning on development issues.
4
Some development issues of many development sectors became the main focus of the workshop. In day one, the issues related to sustainable development and social impacts of development became the central issues. In day two, discussion focused on the environment, urbanization, migration, as the impact of development. In addition, economic development in global context, including the impact of globalization on and social and political economic crises in the Southeast Asian countries was also discussed. In day three, discussion more focused on the overview of the workshop and how to formulate a comprehensive approach for sustainable development in the Southeast Asian countries. Finally, the workshop came up with agendas for sustainable development in the future. Sustainable development is basically the development for the next generation, to support the next generation life. Economic development that creates burdens for the next generation, such as foreign loan and environmental depletion, is not an empowering and liberating development, though the economic life of people seems to progress in the surface. Moreover, the economic development should not be seen as the only key for the success of development (deux ex machine). Democracy is not simply born as the result of economic progress. But, it is resulted from internal conflict dynamics, though its sources are rooted in the economic inequality problems. Therefore, the impact of economic development on internal conflict dynamics within countries should get special attention. The conflict management over the conflict issues related to development is a key issue to promote democratization in Southeast Asian countries (Lambang Trijono, Coordinator of SEACSN-Indonesia).
June 2003
PELA SEACSN-INDONESIA Mampukah Masyarakat Sipil Mengintervensi Konflik? (disarikan dari Hasil Lokakarya Nasional 2, Seacsn Indonesia)
Pertanyaan di atas bukanlah hal baru dalam dunia resolusi konflik. Jawabannya pun jelas: Ya! Yang menjadi masalah, afirmasi tersebut seringkali tidak disertai penjelasan mengenai bagaimana intervensi dapat dilakukan. Pemberitaan mengenai konflik cenderung didominasi dimensidimensi kekerasan, kerusakan, dan perpecahan, bukan inisiatif-inisiatif bina damai yang dilakukan masyarakat tempat, baik kolektif maupun perorangan. Akibatnya, publik menjadi lupa bahwa konflik tidak melulu menempatkan masyarakat sebagai korban. Tidak jarang, interaksi masyarakat dengan konflik justru melahirkan pendekatan baru dalam mengelola berbagai persoalan sosial. Bagaimana menjadikan sebuah intervensi efektif? Selain memahami akar dan dinamika konflik itu sendiri, ada beberapa hal yang harus diperhatikan: kode etik, konteks lokal, serta kesadaran akan kapasitas diri. Secara umum, prinsip-prinsip yang disepakati sebagai kode etik adalah imparsialitas, kerahasiaan, penghormatan terhadap HAM, kesetaraan jender, serta komitmen untuk tidak memunculkan dampak negatif. Mary B. Anderson mengistilahkan ini dengan do no harm. Dalam kasus-kasus yang melibatkan aktoraktor tidak seimbang (kuat lawan lemah, misalnya pemilik modal vs buruh; atau negara dan jenderal pelanggar HAM vs keluarga korban pembantaian), prinsip imparsialitas menjadi sulit diterapkan. Sebagian pekerja perdamaian akan memilih untuk terlebih dahulu memberdayakan pihak lemah guna menyeimbangkan posisi tawar antar aktor. Masihkah hal ini sejalan dengan prinsip imparsialitas? Beberapa pendapat mengiyakan, mengingat pemihakan tidak ditujukan pada aktor dan kepentingannya, melainkan pada nilai ‘kesetaraan’. Sementara itu, prinsip kerahasiaan menjadi masalah serius ketika dihadapkan pada kebutuhan untuk menghadirkan saksi dan bukti. Di satu sisi, komitmen untuk merahasiakan informasi -berikut sumbernya- merupakan prasyarat mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Juni 2003
Di sisi lain, informasi hanya dapat dijadikan ‘alat perjuangan’ jika terbuka untuk diketahui publik. Pada titik ini, perlindungan fisik dan hukum terhadap saksi dan informan menjadi hal yang harus diupayakan oleh pekerja perdamaian. Adapun prinsip kesetaraan jender tidak semata dimaknai sebagai pemberian ruang yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam melakukan kerjakerja perdamaian dan resolusi konflik. Prinsip ini secara khusus mengakui k u a l i f i k a s i perempuan (at au laki-laki) dalam melakukan kerjakerja tertentu. Di Aceh misalnya, negosiasi pembe-basan sandera –baik dengan pihak GAM maupun RI- hanya dapat dilakukan oleh perempuan. Alasannya, pihak-pihak yang berkonflik sama-sama menaruh kepercayaan terhadap perempuan, yang dianggap tidak mengejar kepentingan politik tertentu dalam konflik. Selain masalah kode etik, kepekaan membaca konteks lokal sangat menentukan efektivitas intervensi. Di Ambon, ‘merah’ dan ‘putih’ sulit diterima sebagai sesuatu yang netral. Hampir pasti, keduanya diasosiasikan dengan agama tertentu. Istilah ‘otonomi’ -yang seharusnya berarti pemerintahan atas diri sendiri- sulit diterima di Papua karena cenderung diinterpretasikan sebagai ‘integrasi’ Elise Boulding, seorang pekerja perdamaian, mengatakan bahwa kerja-kerja perdamaian harus dimulai dari hal-hal yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat atau individu. Menurutnya, akan sulit mengharapkan seorang dokter atau pengusaha angkutan umum untuk begitu saja menjadi mediator perundingan atau krisis sandera. Kerja-kerja perdamaian perlu disesuaikan dengan kapasitas masing-masing individu. Para petugas kesehatan di Maluku misalnya, dapat mengintervensi konflik dengan menyediakan pelayanan kesehatan lintas agama. Dalam konteks Maluku yang tersegregasi menurut garis agama, layanan macam ini -juga penyediaan klinik-klinik ‘netral’ merupakan sumbangan signifikan terhadap proses reintegrasi dan perdamaian.
5
PELA SEACSN-INDONESIA Seorang pengemudi angkutan umum pun dapat berkontribusi dalam upaya bina damai di Ambon. Dengan keberaniannya mengangkut penumpang melintasi perbatasan-perbatasan Muslim-Kristen, ia telah membuka kembali proses transfer manusia, barang, jasa, maupun informasi antar komunitas agama yang sebelumnya putus total. Kerja-kerja perdamaian dan resolusi konflik bukan monopoli pemerintah, aparat keamanan, praktisi LSM, akademisi, pemuka adat, atau pemuka agama saja. Setiap orang, secara individual, dapat memainkan peran yang signifikan dalam proses bina damai. Banyak p e n e l i t i berpendapat bahwa justru keberagaman aktor dan pendekatan bina damailah yang mampu mengakselerasi tercapainya perda-maian. Di antara jalur yang dapat dimanfaatkan ma-syarakat sipil adalah: media, institusi agama, lembaga adat, kelompok bisnis, kelompok profesional, donor, dan lainnya. Kasus Timor-Timur dapat mengilustrasikan bagaimana pendekatan multi aktor menjadi kunci dari efektivitas proses bina damai. Di tengah hegemoni dan diplomasi luar negeri RI yang kuat, Timor-Timur sulit menjadi perhatian dunia internasional tanpa adanya pemberitaan yang tajam dan kontinu dari kalangan media lokal maupun asing. Penggalangan opini melalui media massa ini kemudian menjadi kekuatan pendukung kampanye anti pelanggaran HAM yang disuarakan para aktivis. Aksi media dan LSM di atas tidaklah berjalan sendiri. Dukungan teknis dan finansial dari lembagalembaga donor memegang peran yang tidak kalah besar, begitu pula dengan kelompok bisnis yang melihat adanya peluang emas investasi pasca konflik. Tidak ketinggalan, pihak gereja pun aktif melobby berbagai pihak, termasuk pemerintah RI, Portugis, dan Australia, PBB, serta kalangan gereja sedunia. Akhir kata, kekuatan masyarakat sipil untuk menangani konflik dapat mulai dibangun dari tingkatan yang paling kecil: individu. Disadari atau tidak, kerja dari masing-masing individu ini nantinya akan saling berkelindan dan membuahkan kekuatan yang dahsyat. ( disarikan oleh Diah Kusumaningrum - Peneliti PSKP UGM)
6
Can Civil Society Play A Role on Resolving Conflict? (Reviewed from National Workshop II, Seacsn Indonesia) The above question is not a new one in the field of conflict resolution, and the answer to it is invariably: yes. Yet only rarely is it accompanied by explanations on how intervention can be carried out. News on conflicts tends to be dominated by issues of violence, destruction, and political divergence rather than examples of peacebuilding initiatives from local populations. As a result, the general public easily forgets that it is the civilian population that ends up paying the price of conflict. Yet close contacts and relationships with civilian populations in a conflict area have often provided new approaches to manage social aspects of the conflict. How can these initiatives become effective interventions? Temporarily placing aside issues of conflict dynamics and its roots, factors like ethics, the local context and the potential for self-awareness of local populations have to be evaluated in order to appreciate the likelihood of a positive outcome. General principles accepted as part of the code of ethics for intervention include impartiality, confidentiality, respect of human rights, gender awareness, and a commitment to avoid the emergence of negative side-effects (see M. Anderson, Do no Harm). In asymmetric conflicts (corporate body vs. workers or the state vs. civilians) the principle of impartiality becomes particularly difficult to apply. The peace worker may decide to empower the weak in order to adjust the balance of power. Is this consistent with the principle of impartiality? Some argue that impartiality implies that one should not side with a particular actor (or his/ her interests) but instead with ‘equality’. The principle of confidentiality also comes under question when the need arises for presenting witness and proof. On the one hand the peace worker has accepted confidentiality as the basis of his/her relationship with the local population, and on the other, the protection of witnesses and informants remains a priority. When it comes to gender equality, the challenge is not simply to provide equal opportunities for men and women in working on peacebuilding and conflict resolution issues, but also to recognize that specific roles are better suited to a particular gender. Juni 2003
PELA SEACSN-INDONESIA
In Aceh for example, negotiations for the liberation of hostages have proved better suited to female peace workers, because of the perception that women do not push for a particular political outcome in the conflict. In Ambon, it has also been recognized that members of the Gerakan Perempuan Peduli (Caring Women Movement-GPP) have enjoyed relative freedom in crossing the ‘Muslim-Christian’ borders, as well as in approaching victims and conflicting parties. Apart from respecting the code of ethics, sensitivity in reading the local context is a determining factor of success for any intervention. In Ambon for instance, red and white colors are potent symbols of religious allegiance that cannot be perceived as neutral. Another example would be the word ‘Autonomy’, which in a normal context could mean ‘selfgovernance’, but in the context of Papua is more likely to be associated with integration into Indonesia. Elise Boulding, one of the pioneers of peace studies, argued that local peacebuilding initiatives should start with familiar activities, and not overambitious projects. It is unlikely that a doctor or a bus driver can start intervening by becoming a mediator in negotiations or hostage situations, and so in that sense peace work should be compatible with the experience of he individuals who implement it. Health workers in Maluku can start by providing health services in a non-discriminatory way. In the context of the Maluku conflict where populations have been segregated according to religious allegiances, services that are based on humanitarian values and neutrality will constitute a significant contribution towards the process of re-integration and peace. In the same way, bus drivers can also contribute to this process by providing the means for communities to interact.
Peace work and conflict resolution are not the monopoly of governments, armed forces or NGOs, but the responsibility of every individual member of the community. According to his/ her own position and profession, every member of the community will come across significant opportunities to support the peace process. A number of peace researchers are therefore convinced that the multiplicity of levels of intervention will maximize the chances for peace. Among the different fields of possible intervention for civil society we find the media, religious institutions, business, professional groups, and activism. The case of East Timor constitutes an interesting illustration of a multi actor intervention is central to the peace process. Given Indonesian hegemony in the region, access to information was made difficult, and the work of local media and NGOs, not to mention the Church, were crucial to the process of building international support. On the other hand, business initiatives after the referendum have played a central role in reconstruction, as have donors. Finally, the strength of civil society and its potential for transforming conflict can start with the individual. Everyone has a contribution to make for resolving conflict, and it is the addition of all these individual contributions, which gives strength to the movement for peace. (Diah Kusumaningrum- Researcher, CSPS-UGM )
Coercion cannot but result in chaos in the end. One who uses coercion is guilty of deliberate violence. Coercion is inhuman. (Mahatma Gandhi) source: www.indiaspace.com
June 2003
7
PELA PROGRAM PERTUKARAN Program Pertukaran SEACSN 2003
Damai di Tempat Lain
Sejauh ini, program pertukaran peneliti dan praktisi di ASEAN telah bergulir dalam beberapa putaran. Pada putaran pertama tahun 2003, SEACSN Indonesia telah menyeleksi lima orang untuk mendapatkan kesempatan mengikuti program ini. Pada putaran kedua, SEACSNIndonesia telah menyebarkan informasi program pertukaran ini ke berbagai lembaga penelitian dan lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Hal itu dilakukan melalui internet, surat pemberitahuan, dan leaflet agar dapat diakses secara luas oleh para peneliti dan praktisi di bidang resolusi konflik dan perdamaian. Para peneliti dan praktisi dapat mengambil kasuskasus konflik di Indonesia, seperti konflik komunal di Maluku dan K a l i m a n t a n , separatisme di Aceh dan Papua, disarmament, konflik agraria, sampai dengan kekerasan antar massa partai politik. Kajian komparatif akan menjadi menarik dalam program pertukaran ini karena berbagai isu itu bersifat lintasnegara. Kasus disarmament di Cambodia, misalnya, dapat dilihat pada kasus di Aceh dan Ambon Maluku, meskipun masih berskala kecil. Separatisme di Fillipina dalam kasus Bangsa Moro juga dapat dilihat pada kasus separatisme di Aceh dan Papua, reformasi agraria di Vietnam dapat dilihat dikasus-kasus yang tersebar di Indonesia. Peserta program pertukaran putaran awal tahun 2003 ini dapat memfokuskan pada kajian perbandingan lintas-negara ini. Diharapkan, program penelitian mereka akan memberikan manfaat secara praktis dan teoritis. SEACSN Indonesia memandang partisipasi mereka adalah sebagai langkah memperluas jaringan, dan memperkuat kerja aksi advokasi dan praktek resolusi konflik ke depan di Indonesia dan Asia Tenggara(Uly-SEACSN Indonesia)
Berbicara otonomi di Aceh dan Moro (Muslim Mindanao) adalah berbicara satu proses hubungan yang panjang dan konfliktual. Di Mindanao, Presiden Marcos atas desakan Organization Islamic Conference (OIC) di tahun 1976 menawarkan gencatan senjata sekaligus konsep ‘Kawasan Otonomi Muslim’. Tawaran ini diterima para pejuang Moro. Akan tetapi, kedua kebijakan otonomi di Aceh dan Mindanao tidak pernah diwujudkan. Kekecewaan kemudian muncul kembali dan menimbulkan perlawanan lanjutan. Di Aceh diberlakukan Daerah Oparasi Militer, sedang Mindanao berada di bawah Martial Law. Otonomi “babak II” dilanjutkan dimasa reformasi. Kebutuhan dan keinginan yang dituntut masyarakat wilayah konflik atas perbaikan dan perubahan yang cepat terkendala kurangnya pengalaman, kesiapan, dan kemampuan aparat pemerintah lokal dan pusat. Perdebatan dalam otonomi daerah cenderung serupa, Pemerintah Daerah mengeluhkan pusat tak sepenuh hati melaksanakan desentralisasi, dan melakukan kontrol berlebihan atas kewenangan daerah mengelola keuangan. Pemerintah pusat mengkritik pejabat pemda sebagai kurang cakap mengelola keuangan, selain kualitas SDM mereka umumnya rendah. Perdebatan ini dapat dilihat secara terbuka antara pejabat yang berada di ARMM dan Pemerintah di Malacanang. Di Mindanao, Moro Islamic Leberation Front (MILF) di bawah Salamat Hashim, semakin yakin bahwa kemerdekaan yang dapat menyelesaikan konflik di Minadanao. Menariknya, GAM dan Jakarta menjadikan model penyelesaian konflik di Mindanao sebagai rujukan dengan cara pandang yang berbeda. Pemerintah Indonesia yang menjadi mediator penyelesaian konflik antara MNLF dan GRP (Government of Republic of Philippine) melihat Mindanao sebagai model yang ideal untuk diterapkan di Aceh, dan mempromosikan penerimaan otonomi oleh Nur Misuari sebagai sebuah langkah yang sepatutnya diikuti juga oleh GAM. GAM sebaliknya, penerimaan otonomi merupakan langkah mundur jika tidak dapat disebut sebagai “bunuh diri” ideologi dengan menjadikan Mindanao sebaga pelajaran. Otonomi yang “instant” telah menggiring ke dalam krisis post conflict. Semoga tidak hanya Aceh dan Moro yang mencoba belajar satu sama lain, tetapi juga antara pemerintah Indonesia dan Filipina dapat bergerak pada kesadaran-kesadaran baru, Kalinaw saw Mindanaw, meubek Allah bri Aceh Binasa. (De Ronnie,Senior Political Analyst - Aceh Institute for Peace and Human Security Studies-La Kasspia-).
8
Juni 2003
PELA EXCHANGE PROGRAM SEACSN Exchange Program 2003
Peace in Another Place
Until now, SEACSN exchange program for ASEAN researchers and practitioners has been conducted for several rounds. The first round of 2003, SEACSN Indonesia had selected five participants. For the second round, SEACSN-Indonesia has spread the information of the exchange program to reserach and NGO institutions of conflict and peace studies via internet, letters, and leaflets so this program can be accessed extensively by researchers and practitioners in the area of peace and conflict resolution. Researchers and practitioners can take conflict cases in Indonesia, such as communal conflict in Maluku and Kalimantan; separatism in Aceh and Papua; disarmament; agrarian conflict; and violent conflicts among political parties. Comparative study will be interesting in this program since the issues of the program are inter-state cases. A disarmament case in Cambodia, for example, can be relevant for the cases of Aceh and Ambon even though they are still in a smaller scale comparing to Cambodia. Separatism of Bangsa Moro in Philippine can be found in Aceh and Papua, while agrarian reformation in Vietnam can be found out in many cases occurring in all over Indonesia. The participants of SEACSN exchange program for the first round of 2003 can focus on this inter-state comparative study. It is expected that this study will be useful practically and theoretically. SEACSN Indonesia believes that their participationwill be mutual to broaden a network and strengthen an action work in advocacy and practice of conflict resolution for the next future in Indonesia and Southeast Asia. (Uly-SEACSN Indonesia)
Autonomy in Aceh and Moro (Muslim Mindanao) is a process of a long conflicting relation. In Mindanao, President Marcos, in response to the pressure of Organization of Islamic Conference (OIC) in 1976, offered cease-fire and concept of Muslim autonomous area. This offer was accepted by the freedom fighters of Moro. However, both autonomy policies in Aceh and Mindanao are never realized. The disappointments show up again and cause resistances. In Aceh, Military Operational District is applied, while Martial Law exists in Mindanao. Autonomy of “second stage” is continued after reformation. The need and want demanded by community in conflict areas for extreme reconstruction and changes are constrained by the lack of experience, readiness, and the ability of local and central governmental apparatus. This situation makes a complexity of the relation between the center and the local. In general, debates on local autonomy of any states tend to be similar. Local government complains about the central government that does not full-heartedly conduct decentralization and control over the authority of the local in financially managing, whereas central government criticizes the officers of local government for not having capability in managing financially, and good human resources. This debate can be seen openly between the officers in ARMM and government in Malacanang. In Mindanao, Moro Islamic Liberation Front (MILF) under Salamat Hashim becomes surer that independence can resolve the conflict in Mindanao. This resolution model seems to be interesting since it is often used by GAM and Jakarta for the reference within different view. Indonesian government becomes the mediator of conflict resolution between MNLF and GRP (Government of Republic of Philippine) and sees that Mindanao can be an ideal model to be applied in Aceh. Indonesia also promotes the autonomy accepted by Nur Misuari as a step that should be followed by GAM. On the contrary, for GAM this acceptance is a backward step called as “ideology suicide” by taking Mindanao as the lesson. Resolution Dilemma in the second region arouses questions on peaceful future. An “instant” autonomy has spurred the crisis of post conflict. Hopefully, not only Aceh and Moro may learn each other, but Indonesian government and Philippine can also work on new realizations, Kalinaw saw Mindanaw, meubek Allah bri Aceh Binasa. (De Ronnie,Senior Political Analyst - Aceh Institute for Peace and Human Security Studies (La Kasspia).)
June 2003
9
PELA KEGIATAN SEACSN Pemetaan Konflik dan Perdamaian 2003
Pada tanggal 7-9 April 2003 di Yogyakarta Plaza Hotel, satu acara penting yang mempertemukan 18 peneliti dan 13 praktisi perdamaian dan resolusi konflik diselenggarakan oleh PSKP UGM bekerja sama dengan SEACSN Indonesia dan SAREC-SIDA Swedia. Pertemuan dalam bentuk lokakarya nasional itu memfasilitasi mereka untuk melakukan eksplorasi terhadap penelitian di bidang perdamaian dan resolusi konflik, melakukan usaha penemuan hipotesis-hipotesis baru, pertanyaanpertanyaan penelitian, menelusuri ranah baru penelitian, dan juga diskursus isu-isu strategis yang penting dalam persoalan perdamaian dan resolusi konflik di Indonesia. Selain itu, dalam lokakarya ini para peneliti dan praktisi juga mencoba melakukan pemetaan topik-topik penelitian di Indonesia yang mempunyai keragaman isu dan pendekatan penelitian berbeda, serta mendiskusikan keterkaitan antara hasil-hasil penelitian dengan praktik-praktik perdamaian di lapangan. Ada 16 topik penelitian yang dipresentasikan oleh para peneliti yang topiktopiknya meliputi; Pengelolaan Konflik Kebijakan, Konflik Lingkungan, Penerapan Syariat Islam di Indonesia: Problem dan Prospek, Fundamentalisme, Konflik Agraria di Kab. Garut: Petani Vs Pengurus dan Pengelola Hutan, Potensi Komunitas dalam Mendorong Resolusi Konflik menuju Perdamaian Melalui Media dan Aksi Alternatif di Aceh (Konflik Sumber Daya Alam), Konflik Desentralisasi (ketegangan Hubungan Desa-Kabupaten), Otonomi, Desentralisasi, dan Demokratisasi, Early Warning System, Konflik Etnis Kalimantan Barat, Analisis Konflik untuk Pengembangan Strategi Transformasi Maluku, Media Massa dalam konflik Ambon, Merekonstruksi Pretorianisme dari Poso (Wacana Dalam Riset Konflik), Konflik dan Intervensi Kemanusiaan: Masalah Kedaulatan Negara dan Prinsip Kemanusiaan, serta Problematika Peredaran Small Arms di Wilayah Asia Tenggara.
10
Penelitian yang dipresentasikan menjadi starting point bagi para peserta lokakarya untuk melakukan eksplorasi mendalam tentang hipotesishipotesis baru, pertanyaan penelitian, rekomendasi ranah penelitian baru dan memberikan penekanan pada keterkaitan antara riset ilmiah dan praktik. Para peserta yang setiap sesi dibagi menjadi tiga komisi diskusi telah menghasilkan hipotesishipotesis baru, pertanyaan penelitian, dan b e r b a g a i rekomendasi penelitian baru. Hasil diskusi ini dapat dirumuskan k e d a l a m p e m e t a a n penelitian dan direkomendasi kan kepada para peneliti dan praktisi. P a r a peserta lokakarya mengusulkan agar CSPS UGM dan SEACSN Indonesia membangun jaringan antara peneliti di bidang perdamaian dan resolusi konflik di Indonesia. Jaringan itu dapat melakukan aktivitas berupa diskursus penelitian ilmiah, bertukar informasi, dan melakukan perumusan bagi strategi efektif dalam resolusi konflik. SEACSN Indonesia akan segera melakukan gerakan aktif, langkah awalnya adalah dengan menyediakan mailing-list untuk para peneliti dan praktisi. Lokakarya Penelitian Perdamaian dan Resolusi Konflik ini bisa disebutkan sebagai bagian penutup dari trilogi lokakarya nasional Perdamaian dan Resolusi Konflik SEACSN Indonesia dan PSKP UGM. Lokakarya nasional pertama bertema Perdamaian dan Resolusi Konflik: State of the Art dan Strategi Pendidikan pada tanggal 22-24 April 2002, lokakarya nasional kedua Perdamaian dan Resolusi konflik: Strategi dan Aksi Lapangan pada 17-19 September 2002, dan ditutup dengan lokakarya nasional yang ketiga dengan tema Penelitian Perdamaian dan Resolusi Konflik di Indonesia. Harapan dari trilogi lokakarya ini mampu melakukan perumusan konseptual dan praktik dalam membangun perdamaian dan resolusi konflik di Indonesia (Vri-SEACSN Indonesia).
Juni 2003
PELA SEACSN ACTIVITY Conflict and Peace Mapping 2003
On 7-9 April 2003, an important event The researches that were presented bethat met 18 researchers and 13 practitioners in came a starting point for the participants of the peace and conflict resolution was held by Cenworkshop in exploring new in-depth hypotheses, reter for Security and Peace Studies, Gadjah search questions, recommendation of new research Mada University in cooperation with SEACSN, areas, and emphasis on the relation between reand SAREC-SIDA Sweden in Yogyakarta Plaza search and practice. The participants that were diHotel. This meeting vided into three commiswas a national worksions for each session had shop that facilitated resulted in new hypothresearchers and eses, research questions, practitioners to exand any new research recplore researches in ommendations. The result peace and conflict of the discussion in the workresolution; obtain shop then can be formunew hypotheses and lated into research mapresearch questions; ping and recommended to and observe new arthe researchers and praceas of research and titioners. discourses of strateThe participants of gic issues. In this workthe workshop suggested shop, the researchers that CSPS-UGM and and practitioners SEACSN-Indonesia should also mapped reestablish the networks search topics in Indoamong researchers in nesia encompassing peace and conflict resoludifferent various istion in Indonesia. This netsues and approaches and discussed the relawork can conduct the activities, such as discourses tion between field practices on peace. on research, information exchange, and formulaThere were 16 topics presented by the tion for effective strategic in conflict resolution. researchers, namely Policy Conflict ManageTherefore, in response to this, as the beginning, ment; Environment Conflict, Fundamentalism, SEACSN- Indonesia has already provided mailing list Agrarian Conflict in Garut: Farmers vs. Managefor researchers and practitioners. ment of Forest; Implementation of Islamic Law The workshop of research on Peace and in Indonesia: Problem and Prospect; Communal Conflict Resolution is considered as the closing part Potency in Supof the trilogy of porting Connational workflict Resolution shop on Peace to Peace and Conflict Say No to Military Operation! through Media Resolution held by and AlternaSEACSN-Indonetive Action in sia and CSPS Aceh (Natural Resource); Decentralization ConUGM. This trilogy is as follows; the first national workflict (Tension in Relation of Village-Regency); Aushop on Peace and Conflict Resolution: State of the tonomy, Decentralization, and DemocratizaArt and Education Strategy was held on 22-24 April tion; Early Warning System; Ethnic Conflict in 2002; the second on Peace and Conflict Resolution: West Kalimantan; Conflict Analysis for TransforStrategy and Field Action was held on 17-19 Sepmation Strategy Development in Mollucas; Mass tember 2002; and the third on Research on Peace Media in Ambon Conflict; Reconstructing and Conflict Resolution in Indonesia. The expectaPretorianism of Poso (Discourse on Conflict Retion of this trilogy of the national workshop is ability search); Conflict and Humanitarian Intervention: in formulating peace and conflict resolution in InThe Problem of State Sovereignty and Humanidonesia conceptually and practically. (Vri-SEACSN tarian Principle; and The Problems of Small Arms Indonesia) Circulation in Southeast Asia.
June 2003
11
PELA JARINGAN SEACSN INTERFIDEI
Gaston Z. Ortigas Peace Institute (dari Fillipina)
Profil Institusi kali ini, PELANEWS mengambil satu lembaga yang telah dikenal luas oleh kalangan NGOs, yaitu Interfidei. Lembaga Interfidei berdiri sejak tahun 1991. Selama periode itu Interfidei dikepalai oleh TH. Sumarthana seorang tokoh dengan segala kesalehan humanisnya, yang pada awal tahun 2003 meninggalkan alam fana ini. Beliau kemudian mulai periode 2003 digantikan oleh Elga Sarapung.
Perdamaian tidak lebih dari sesuatu yang hanya bersifat angan belaka terutama bagi mereka yang berada di Selatan Filipina, yaitu Mindanao , di tengah kondisi itu, ada institusi yang berdiri untuk memperjuangkan perdamaian, yaitu Gaston Z. Ortigas Peace Institute (GZO). GZO merupakan sekretariat dari dua organisasi besar di bidang perdamaian di Filipina yaitu Coalition for Peace (CfP) dan National Peace Conference (NPC). GZO memiliki komitmen mendukung dan melindungi basis sektor Filipina serta menciptakan perdamaian dalam masyarakat. Organisasi ini juga membentuk konstituensi yang bergerak dalam kebebasan dan keadilan sosial serta menginstitusionalisasikan kerja-kerja di bidang peacebuilding dan peacemaking. Salah satu hal yang menarik dari upaya mereka di bidang ini adalah berpartisipasi dalam setiap “peace rallies” atau yang kita kenal dengan demonstrasi. Organisasi ini tidak segan-segan turun ke jalan, bergabung dengan kelompok masyarakat lain dan menyuarakan perdamaian dengan semboyan yang selalu mereka bawa yaitu “All Out Peace”. Tidak itu saja, organisasi ini tidak pernah absent dalam memberikan protes, atau pernyataan sikap mereka dalam konferensi pers terutama saat-saat ini ketika perang masih berlanjut di Pikit, Mindanao. Bentuk kepedulian lain dalam perdamaian dari organisasi ini adalah dengan mempelopori semacam jaringan kampanye, Philippine Action Network on Small Arms (PHILANSA). Jaringan kerjasama yang berkembang di antara organisasi-organisasi yang memiliki perhatian yang sama dalam hal small arms dan penggunaan senjata ringan dalam masyarakat. Saat ini PHILANSA sedang melaksanakan proyek pendidikan public dengan tujuan mengembangkan pengetahuan masyarakat awam dalam menyikapi isu senjata ini. Selain itu, GZO juga berperan sebagai coordinator utama dalam Southeast Asia of the Forum on Early Warning and Early Response (FEWER). Forum ini merupakan jaringan internasional dari 25 lebih NGOs yang terlibat dalam pencegahan konflik dan di bidang perdamaian. FEWER sendiri bertujuan menginformasikan dan mempromosikan respon dini yang terkoordinasi terhadap konflik melalui pengaturan dari “response-oriented analysis” kepada kelompok-kelompok kunci dari civil society dan pembuat kebijakan yang dapat mempengaruhi dinamika konflik dan perdamaian. (Dessy, Peneliti, PSKP-UGM)
Sebagai lembaga yang menitikberatkan pada persoalan-persoalan dunia sosial yang plural, Interfidei mempunyai tujuan dan misi (1) Penyebarluasan wacana agama yang toleran, demokratis, dan terbuka (2.) Pemberdayaan agamaagama berdasar pada keimanan masing-masing (3.)Pemberdayaan masyarakat sipil untuk atau agar memiliki komitmen bersama dalam soal-soal kemanusiaan. Fokus kegiatan Interfidei adalah resolusi konflik, sosial kemanusiaan, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Aktivitas lembaga ini mencakup daerah di seluruh Indonesia. Program lembaga yang dilaksanakan seperti: Studi Bersama Antariman, lokakarya, seminar, dan penelitian. Prioritas kegiatan lembaga jangka pendek, menengah, dan panjang adalah Pemberdayaan masyarakat sipil lewat workshop (jangka pendek, dan menengah), Penyebaran wacana pluralisme dan dialog (menengah dan panjang), Studi Bersama (jangka panjang). Dalam programnya, Interfidei menjalin jaringan kerja di tingkat nasional seperti FORLOG SULSEL, MADANIKA-KALBAR, ISAI-JAKARTA, LP3ESJAKARTA, MADIA-JAKARTA dan pada tingkat regional, STT Banjarmasin-Kalsel, IAIN AlauddinSulsel, The Asia Foundation-AS, dan ICCD-Belanda. Selain itu Interfidei juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang ada di Yogyakarta baik sebagai jaringan maupun panitia bersama. Contact Person: Elga Sarapung Alamat: Jl. Banteng Utama 59 Yogyakarta Banteng Baru (0274) 880-149 Email:
[email protected]
12
Juni 2003
PELA NETWORKS INTERFIDEI In this edition, Institution Profile of PELA-NEWS chooses Interfidei, a famous NGO among other NGOs. Interfidei has been established since 1991. Th. Sumarsana, a figure who was famous with his humanism until the beginning of 2003, coordinated Interfidei. As Th. Sumartana passed away, Elga Sarapung becomes a directress of Interfidei for the period of 2003. As an institution focusing on the social and pluralism, Interfidei has aims and missions, namely (1) Democratic, tolerant, and open dissemination of religion course (2.) Empowerment of the religions respectively (3.) Empowerment of the civil society in order to gain the common commitment in humanism. The focuses of Interfidei are conflict resolution, social humanism, and basic human rights. The activities of this institution cover all over areas in Indonesia. The programs of Interfidei can be done, such as interfaith studies, workshop, seminar, and research. At present, the priority of the activities in Interfidei encompasses empowerment of the civil society by conducting workshop for short and middle terms; dissemination of the pluralism discourse and the dialog for middle and long terms; and collective study for long term. To run its programs, Interfidei has established national networks, such as FORLOG of South Sulawesi, MADANIKA-West Kalimantan, ISAI-JAKARTA, LP3ESJAKARTA, and MADIA-JAKARTA and regional networks, such as STT Banjarmasin-South Kalimantan, IAIN Alauddin-South Sulawesi, The Asia Foundation-United States of America, and ICCD-Netherland. In addition, Interfidei as either the network or collective committee cooperates with institutions in Yogyakarta. Contact Person: Elga Sarapung Address: Jl. Banteng Utama 59 Yogyakarta Banteng Baru Phone: +62-274- 880 149
Gaston Z. Ortigas Peace Institute Peace seems to be an illusion, especially for those who live in Southern Philippine, Mindanao. Amid this situation, Gaston Z. Ortigas Peace Institute (GZO/GZOPI) exists to struggle for peace. It serves as a secretariat for two formations for peace in Philippine, namely Coalition for Peace (CfP) and National Peace Conference (NPC). Realizing peace in society, supporting and sheltering the basic sectors in Philippine are the commitments of GZO. This organization organizes a constituency concerning on freedom and social justice and seeks to institutionalize peace building and peace making works. One thing that is interesting from its efforts in this field is its participation in every peace rally that is known here as demonstration. The GZOPI also never hesitates to join other social groups, and express peace with its slogan “All Out Peace”. It is never absent in giving protest, or taking a position through the press conference especially right now when the war is still ongoing in Pikit, Mindanao. Another concern of GZO is on conducting a campaign network, the Philippine Action Network on Small Arms (PHILANSA). This network grows together with others that also commit on the issue of small arms and light weapons in society. Presently, PHILANSA is carrying out a public education project in order to generate communal responses to the issue of weapons in the communities. GZOPI is also a lead coordinator for Southeast Asia of the Forum on Early Warning and Early Responses (FEWER). FEWER, an international network of over twenty-five non-governmental organizations, deals with the conflict prevention and peace work. FEWER’s aims are to inform and promote early responses to conflict coordinately through coordination of “response-oriented analysis” to key civil society groups and policy makers who can influence conflict and peace dynamics. (Dessy, Researcher, CSPS-UGM).
If you want to get more beautiful world Just think and act with no violence June 2003
13
PELA
PPROFIL Latifah Anum Siregar: Ketua Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) Lahir di Port Numbay, yang lebih dikenal dengan Jayapura dari ayah etnis Tapanuli Selatan (seorang Oditur) dan mama Ambon-Menado tapi perilakunya berkarakter orang Papua. Pendidikan formal dilewati di kota Jayapura dan sangat mencintai Papua sebagai tanah air, seperti judul lagu Hai Tanahku Papua : “…. kau tanah lahirku, kau kukasihi sehingga ajalku….” Ketika sekolah, dia senang pada drama, isi iklan audio dan traveling. Sejak kuliah sering menjadi relawan lsm dan aktifis kampus- lulus jurusan hukum pidana fakultas hukum UNCEN tahun 1993. Pernah jadi ketua umum salah satu organisasi extra kampus se-Papua, karyawan Bank tapi keluar karena merasa bekerja di Bank membuat hidup seperti robot. Setelah turun dari anggota dewan termuda DPRD Papua, tahun 2002 sempat menjadi staf ahli untuk komisi F DPRD Papua komisi HAM dan Lingkungan. Tapi tidak betah juga karena model kerja di DPRD Papua memprihatinkan. Awal tahun 2000, bersama beberapa aktifis kampus, mendirikan Yayasan Aliansi Demokrasi Untuk Papua ( ALDP) yang bergerak di bidang demokrasi dan keadilan. Yayasan ini banyak dimotori oleh teman –teman kampus HMI – GMKI , secara khusus teman-teman dari Forum Mahasiswa Amber ( FMA). Amber dari bahasa Biak yang artinya “ pendatang”. Kelompok ini biasanya sangat proaktif untuk mengelola momentum-momentum konflik di Papua, menjembatani kaum pribumi dan pendatang agar perjuangan yang dilakukan tidak menimbulkan anarki kepada siapa saja yang berhak hidup di tanah Papua. Sulit memisahkan pribadi Anum dengan teman-teman di ALDP karena Anum bukan berarti apa-apa tanpa teman-teman di ALDP dan ALDP. Juga, tidaklah berarti apa-apa tanpa pengorbanan yang sudah sangat banyak dilakukan oleh bangsa Papua sendiri. Perjuangan Anum, teman-teman di ALDP dan sejenisnya harus tetap dijaga, konsisten dalam sikap dan pikiran agar tetap bermakna bagi perjuangan kemanusiaan di tanah Papua. Strategi ALDP adalah pendekatan pada tingkat basis masyarakat sipil dengan meletakkan perhatian ke komponen pemuda, mahasiswa, perempuan, adat, agama dll. Tampilan kegiatannya antara lain mapping daerah konflik pelanggaran HAM, mapping cso, penguatan sistem demokrasi lokal, pelatihan, advokasi tingkat basis pada teritori konflik dan pengembangan budaya perdamaian dengan pendekatan kultural sebagai bagian dari pencarian bentuk-bentuk manajemen konflik. Aktifitas khusus yang sedang digiatkan perempuan dengan senyum manis ini adalah
14
melakukan analisa konflik pada wilayah-wilayah berbasis kekuatan garis keras ( militer): TNI POLRI dan TPN/OPM terutama di daerah – daerah perbatasan terbuka/laut dan perbatasan darat. Bagi dia, mempelajari pola gerakan atau dinamika kekerasan para pihak bertkai ternyata menarik karena memiliki keragaman dinamika internal dan juga eksternal, sangat dipengaruhi gerakan-gerakan sipil, juga menimbulkan berbagai jenis pola gerakan bersenjata yang didomestikasi untuk kepentingan pemerintah RI. Selain aktifis HAM, Anum adalah pengacara dan konsentrasi pada kasuskasus HAM yang sebagian besar menempatkan orang Papua sebagai tertuduh, seperti para tokoh PDP: Theys Hiyo Eluay, Pdt Herman Awom ,Thaha M ALHamid dan juga Tom Benal ,Willy Mandowen (FORERI) dll. Walau Anum menjadi pengacara berdasarkan Surat Kuasa, akan tetapi banyak orang Papua menempatkannya sebagai pengacara mereka. Memang ada enaknya karena, Anum hampir tidak mengalami kesulitan untuk membangun komunikasi dengan komponen manapun. Tapi, tidak enaknya adalah ketika Anum dianggap serba bisa atau pasti bisa dalam “semua hal“. Kesulitan yang sering ditemuinya adalah saat penguasa selalu menghalangi aktifitas yang Anum dan aktifis lainnya lakukan. Bahkan berpandangan sempit dengan menuduhnya sebagai bagian kelompok perlawanan rakyat. Padahal, Anum tidak saja mendampingi non litigasi dan litigasi/pengacara orang Papua tetapi juga terhadap kelompok-kelompok rentan di masyarakat seperti kelompok pedagang tradisional dari etnis Buton, Bugis, Makasar, Jawa Timur, dan Madura yang mendapat perlakukan tidak adil dari penguasa. “Bagi saya konflik di Papua adalah bagian dari perjuangan kemanusiaan”, demikian Anum menegaskan. Karenanya, Anum percaya selalu ada mekanisme damai yang menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan. Karenanya, ia selalu menganjurkan semua orang wajib mendukung perjuangan tersebut dan harus juga tetap mengedepankan dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki oleh siapa saja yang ada di tanah Papua. Sehingga, perjuangan tidak menjadi anarki, tetapi justru memperluas solidaritas diantara mereka. (Vri-SEACSN Indonesia: Sumber tulisan dari Latifah Anum Siregar-ALDP Papua)
Juni 2003
PELA PROFILE Latifah Anum Siregar: President of Democracy Alliance for Papua (ALDP) Born in Port Numbay that was well known as Jayapura, Latifah Anum Siregar whose father from South Tapanuli (a judge advocate) and mother from Ambon-Menado, has Papuan’s character. Her formal education was from Jayapura city. She does love Papua as her homeland like a song entitled: Hai Tanahku Papua (Hi, Papua, my land): “…. kau tanah lahirku, kau kukasihi sehingga ajalku….” (You are my homeland; I love you ‘till the death comes to me). During her study in school, she liked drama, audio advertisement, and traveling. Since she was as a student at university, Latifah Anum Siregar has often become an NGO volunteer and campus activist. She graduated from Civil Law in Law Faculty of UNCEN in 1993. Latifah Anum Siregar who was also a general chair woman in one of organizations of extra campus in Papua, used to be a bank staff but then resigned since she felt that working in a bank was like a robot. After resigning from the youngest member of provincial legislative assembly of Papua in 2002, she became a specialized staff for Commission F of the provincial legislative assembly in Papua that was Human right and Environment Commission but not for long since she could not adjust with the poor way that the provincial legislative assembly of Papua worked. At the beginning of 2000, together with many campus activists, She established Democracy Alliance for Papua Foundation (ALDP) concerning on democracy and justice. This foundation is driven by activists of HMI and GMKI, particularly students from Forum for Amber Students (FMA). Amber is derived from Biaknese language that means “outsider”. This forum is proactive to manage conflict momentums in Papua and bridge between the natives and the outsiders to avoid anarchy for those living in Papua. It is difficult to differentiate between the personalities of Latifah Anum Siregar and her friends in ALDP since she feels nothing without her friends of ALDP and ALDP itself. She also thinks that she is meaningless without the sacrifice of Papuan people. The strategy of ALDP is approach on basic level, that is civil society by concerning on components of youth, student, woman, custom, religion, etc. ALDP’s activities are such as conflict of human right abuse mapping, mapping of cso, empowerment for local democracy system, training, advocacy in the basic level on conflict territory, and empowerment for peace culture, by applying cultural approach as the part of conflict management forms.
June 2003
The special activities mobilized by Latifah Anum Siregar that is usually called “Anum”, are carrying out conflict analysis in areas within hard-line basis between TNI POLRI and TPN/OPM particularly in border areas. For her, learning on movement patterns or violent dynamics of conflicting parties is interesting since these dynamics are various internally and externally. In addition, the dynamics are influenced indeed by the civil movements, so they cause any forms of armed movement domesticated by Indonesian government. Beside a human right activist, Anum is a lawyer concentrating on human right cases that mostly involve Papuan people as the suspects, such as the figures of PDP, namely Theys Hiyo Eluay, Pdt Herman Awom ,Thaha M ALHamid and Benal, and Willy Mandowen of FORERI. Even though Anum becomes a lawyer based on a letter of attorney, many Papuan people choose her as their lawyer. The nice thing for Anum regarding with this is that she does not find difficult anymore to develop a communication with any components, whereas she gets bothered as she is considered as a person who always knows everything. The difficulty often she meets is that the administrators always hinder the activities of Anum and other activists. They even accuse Anum and other activists of being the part of the opponent groups. Moreover, Anum not only guides Papuan people in both non-litigation and litigation, but also defenseless groups in the society, such as traditional trader groups of Buton, Bugis, Makasar, East Java, and Madura that are treated unfairly by administrators. “I think conflict in Papua is a part of humanitarian struggle”, Anum said. She believes that there must be a peaceful mechanism that respects human values. She also always recommends anyone to support this struggle, prioritize, and respect human values of those who are in Papua. Therefore, this struggle is expected not to be anarchic. It is even aimed at enlarging the solidarity of people in Papua. (Vri-SEACSN IndonesiaSource: Latifah Anum Siregar-ALDP Papua)
15
PELA KOLOM PSKP Reformasi Sektor Keamanan: TantanganUsaha Bina Damai Salah satu tantangan terbesar masyarakat pasca konflik adalah mereformasi sektor keamanan. Penyaluran bantuan kemanusiaan, pemulangan pengungsi internal, dan rekonsiliasi sulit dilakukan kalau kekerasan di masyarakat masih terus berlangsung. Penghentian perang juga tidak menjamin berakhirnya kekerasan. Ketersediaan senjata di masyarakat pasca konflik akan mudah dimanipulasi kelompok bersenjata. Belum lagi, banyaknya mantan milisia dan para militer yang harus diintegrasikan ke dalam masyarakat dan ketidakmampuan negara menjamin keamanan warganya. Kondisi-kondisi di atas menambah arti penting reformasi sektor keamanan (RSK) di masyarakat pasca konflik. RSK meliputi banyak kegiatan. Fokus jangka pendeknya adalah melucuti senjata mantan milisia, mengumpulkan senjata ringan, mencegah masuknya senjata, demobilisasi dan reintegrasi mantan milisia ke masyarakat, reformasi polisi, dan pelatihan personel militer. Program pengumpulan senjata dapat dilakukan dengan memberikan insentif, seperti uang dan pelatihan. Selain itu, juga menghukum orang yang tidak menyerahkan senjata. Pelucutan senjata dapat dilakukan bertahap, misalnya, mulai dengan kelompok milisia, dilanjutkan dengan pelucutan senjata di masyarakat. Usaha tersebut harus disertai kerjasama regional dan internasional untuk mencegah suplai senjata ke daerah konflik. Demobilisasi dan reintegrasi harus mengantisipasi kemungkinan meningkatnya pengangguran dan kriminalitas di masyarakat setelah demobilisasi. Karena itu, harus ada upaya membiayai pusat-pusat demobilisasi untuk membantu mantan milisia memulai hidup normal. Dalam jangka panjang, pemerintah atau lembaga internasional harus melibatkan mereka dalam proses pembangunan. Idealnya, proses reintegrasi juga mempersiapkan mantan milisia untuk mengadopsi ”mental sipil”. Artinya mereka harus melepas posisi istimewa selama konflik yang bersumber dari kepemilikan senjata dan berkompetisi secara fair, sekalipun bermodal ketrampilan dan pengalaman yang terbatas.
16
Pelucutan senjata, demobilisasi, dan reintegrasi memerlukan aparat keamaanan yang mampu menjaga ketertiban dan keamanan, termasuk bagi mantan milisi dan masyarakat biasa. Masalahnya, aparat keamanan di masyarakat pasca konflik sering menjadi bagian dari konflik, kurang berdisiplin dan tidak terlatih. Polisi yang militaristik dan terpolitisasi sulit menjalankan tugasnya secara efektif dan menurunkan legitimasi negara di mata masyarakat. Reformasi polisi dapat dilakukan dengan membentuk satuan polisi yang baru di wilayah konflik, yang beranggotakan orang-orang yang tidak terlibat pelanggaran HAM selama konflik, dan mendapat pelatihan di bidang prinsip-prinsip HAM, resolusi konflik, dan pemolisian masyarakat. Pihak ketiga, seperti pasukan perdamaian PBB atau komite keamanan bersama yang dibentuk dalam kesepakatan, misalnya, dapat membantu mengamanankan kondisi internal selama proses reformasi polisi berlangsung. Namun, ada banyak tantangan yang dihadapi RSK. Pertama, program pengumpulan senjata, demobilisasi dan reintegrasi membutuhkan biaya yang besar, dan tidak banyak organisasi internasional yang bersedia membiayainya. Kedua, lemahnya struktur politik di wilayah konflik menyulitkan donor untuk menjamin akuntabilitas program yang mereka danai. Ketiga, RSK berdasar pada asumsi bahwa ada institusi atau lembaga keamanan ‘lama’ yang akan direformasi. Padahal, konflik yang berlarut-larut biasanya menghancurkan lembaga-lembaga formal yang ada di masyarakat dan seringkali yang dibutuhkan bukan sekedar reformasi, melainkan pembangunan struktur politik yang sama sekali baru. Tantangan lain muncul dari birokrasi yang menolak inisiatif reformasi yang dimotori pihak luar. Pemerintah dan militer yang terlibat konflik mungkin menolak program pelucutan senjata dan demobilisasi anggota mereka, sementara pemberontak tidak bersedia dilucuti senjatanya karena alasan keamanan. Namun, RSK tetap perlu dan harus disertai dengan penguatan lembaga untuk mengawasi aktivitas dan akuntabilitas aparat keamanan. Dalam jangka panjang, RSK mencakup reformasi hukum atau undang-undang keamanan, demiliterisasi politik, serta transformasi budaya kekerasan aparat keamanan dan masyarakat. (Tetty Naiborhu, Peneliti, PSKP-UGM)
Juni 2003
PELA CSPS COLUMN Reforming Security Sector: Challenges to Peacebuilding Reforming the security sector is perhaps one of the most important challenges facing a post-war society. High levels of tension and threats of renewed violence often undermine the impact of humanitarian aid and efforts to resettle IDPs and to eventuate the reconciliation process. The ending of war in itself does not therefore guarantee that violence will stop and peaceful life will resume. This is due in part to an overabundance of arms, which can easily be manipulated by warlords and trigger the rise of criminal activities. In addition, postwar societies have to deal with large numbers of ex-paramilitary forces and ex-soldiers who all need to be integrated into society. When faced with a difficult integration and the reality of a competitive labor market, frustrated ex-combatants can easily be tempted to join violent political movements or mercenary groups. Protracted conflicts diminish state capacity to function and fulfill the needs of its people, and trust in the armed forces is usually low. The above situations highlight the significance of reforming security sector in peace building initiatives. Security sector reforms encompass a wide range of activities. In the short-term, reforms focus on disarming ex-soldiers or ex-combatants, collecting small arms, preventing arms from entering the conflict area, demobilizing and reintegrating ex-soldiers into society, reforming police forces, and providing human rights training for military personnel. The weapons collection programs can be carried out by creating incentives and/or by punishing those who refuse to hand over their arms. Disarmament can also be carried out in phases focusing on guerilla movements and the armed forces in the first place and then on the community at large. These efforts should be accompanied by strengthening regional and international cooperation to stop the flow of arms coming into the post-war area. Effective demobilization and reintegration programs should also deal with large numbers of exsoldiers now made unemployed. These include the funding of demobilization centers that provide basic assistance for ex-combatants to start a normal life. In the long term, government and other international organizations should involve ex-combatants in developing their own community. Ideally, the reintegration process should prepare ex-soldiers to adopt a ‘civilian mentality’, which entails renouncing former privileges afforded by the possession of weapons, and accepting to compete fairly in society despite limited skills and experience.
June 2003
Effective disarmament, demobilization, and reintegration require effective police forces to uphold law and order and provide security guarantee, both for the demobilized ex-combatants and for the rest of the civilian community. However, police forces in post war societies often suffer from a lack of discipline and training. Abusive and politicized police forces will not succeed in maintaining law and order and may threaten the legitimacy of the state and its apparatus. Reforming police forces can include the creation of new police forces whose members have no history of involvement, but more importantly, police officers should be given appropriate training in certain subjects, like human rights, conflict resolution, and policing post-conflict society.Effective police reforms could require the assistance of a third party. The UN peacekeeping force or other types of security committee can for instance help keep internal law and order while the process sof reforms is underway. There are of course important challenges to achieve the above reforms. First, collecting arms, demobilizing and reintegrating excombatants into the community are very expensive tasks that few donors will be willing to commit to fund. Second, the lack of strong institutional foundations in post-war societies also provides no accountability to donors. Third, the concept of security sector reforms assumes the presence of ‘old’ institutions in society that need to be reformed. However, post-war societies often suffer from total institutional breakdowns and require the rebuilding of entirely new institutions, while existing bureaucratic structures may resist change, particularly if it is seen as coming from the outside. Governments and armies that have been involved in the conflict are unlikely to support disarmament and demobilization, while the rebels will be reluctant to comply, as it implies a loss of power and security. The above challenges should not be seen as insurmountable obstacles. Effective security sector reforms should include both the short term activities and to strengthen civilian bodies to monitor the activities of security actors, thus ensuring the accountability of these actors. Long-term security sector reforms should ideally lead to institutional and legal reforms, the demilitarization of politics, and the transformation of cultures of violence of security apparatus and society. (Tetty Uli N., Researcher, CSPS-UGM).
17
PELA POJOK MPRK Tahun Kedua Setelah diresmikan pembukaannya tahun 2002, Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada (MPRK-UGM) tahun 2003 kembali membuka penerimaan mahasiswa baru untuk angkatan II (2003/2004). Delapan belas orang telah diterima menjadi mahasiswa baru yang datang dari berbagai daerah dan profesi, pemerintah maupun LSM. Keragaman latar belakang daerah dan profesi para mahasiswa ini diharapkan untuk lebih mampu memperkenalkan program yang masih baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Program MPRK-UGM bertujuan memberikan pengetahuan guna membantu penyelesaian konflik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Oleh karena itu, yang ditawarkan di dalam program ini mencakup pemahaman yang bersifat filosofis dan teoritis mengenai perdamaian serta resolusi konflik. Selain itu, juga memberikan kemampuan praktis dalam menghadapi konflik-konflik di masyarakat. Terlebih mengingat dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan yang rumit dalam proses menuju masyarakat yang damai dan demokratis. Kegiatan mahasiswa MPRK-UGM cukup beragam. Salah satu yang telah dilaksanakan adalah dengan membentuk Komunitas Kerja untuk Perdamaian (KKP) oleh mahasiswa angkatan I. Terbentuknya KKP ini didasari atas kepedulian mahasiswa terhadap merebaknya konflik di berbagai kawasan dunia, termasuk Indonesia yang telah menimbulkan kerugian kemanusiaan dan juga sosial yang sangat besar. Tragedi kemanusiaan dan duka sosial yang tak terkatakan ini telah menggerakkan mahasiswa untuk ikut berperan serta mengakhiri atau mengubah konflik destruktif menjadi jembatan bagi perubahan konstruksi tatanan masyarakat yang humanis. Visi yang ingin diraih dari KKP ini adalah terbangunnya nilai-nilai dan sumber-sumber perdamaian di dalam masyarakat. Sedangkan misi yang diemban adalah untuk menggalang persaudaraan antar umat manusia, membangun gerakan anti kekerasan dan mengembangkan kegiatan transformasi konflik.
18
Tiga strategi awal yang telah dirancang oleh KKP adalah mengembangkan jejaring kerja atau informasi, capacity building, melakukan kajian, upaya perdamaian dan resolusi konflik. KKP secara rutin mengadakan diskusi bulanan dengan tema-tema aktual seperti pembahasan deklarasi Malino II, penguatan masyarakat sipil di Aceh pasca perundingan Jenewa, Mei 2002, juga masalah Papua. Selain itu, bulan Oktober 2002, KKP mendapat undangan untuk memberikan beberapa materi pelatihan yang diperuntukkan bagi peserta DIKLAT Pendampingan Korban bencana Sosial di Balai Besar pendidikan dan pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Yogyakarta yang diikuti para pejabat/staf Dinas Sosial-Kesra dari wilayah Prop. DIY, Jateng, Jatim, NTB, dan NTT Saat ini mahasiswa MPRK-UGM angkatan I telah memasuki masa penulisan thesis yang akan berlangsung selama satu semester. Ada dua jenis thesis yang ditawarkan kepada para mahasiswa, yaitu thesis mayor dan thesis minor. Thesis mayor merupakan thesis reguler yang selama ini telah dikenal luas, sedangkan thesis minor adalah satu bentuk thesis yang baru diperkenalkan. Dalam thesis minor ini mahasiswa dipersilakan untuk melakukan magang ataupun praktikum yang merupakan penerapan ilmu yang telah diterima selama mengikuti perkuliahan selama minimal tiga bulan ke lembaga-lembaga yang mereka kehendaki untuk kemudian mereka membuat laporan kerja yang akan berfungsi sebagai thesis. Diharapkan dengan thesis itu para mahasiswa dapat memberi sumbangan baru bagi usaha perwujudan perdamaian di Indonesia. Untuk membantu para calon mahasiswa yang mempunyai potensi tetapi mempunyai kendala pembiayaan, Program MPRK-UGM tahun 2003 memberikan tiga buah beasiswa hasil kerjasama Program MPRK-UGM dengan Pemerintah Australia melalui Beasiswa Herbert Feith, British Council melalui Beasiswa Perdamaian, dan Ibu Izumi Harada dari Jepang. Untuk Beasiswa Izumi Harada, khusus diberikan kepada perempuan Indonesia berasal dari daerah konflik, sejalan dengan komitmen Ibu Izumi Harada untuk membantu meningkatkan kesempatan bagi para wanita untuk mendapatkan pendidikan tinggi. (Dody, Pengurus MPRK-UGM).
Juni 2003
PELA CORNER MPCR in the Second Year After the opening in 2002, Master Program for Peace and Conflict Resolution, Gadjah Mada University (MPCR-GMU) has conducted the acceptance of MPCR students for class of 2003/2004. There are 18 new students of this class from any areas of Indonesia. The diversity of where they are from is expected to socialize this new program to educational world in Indonesia. The students of this program are also from the different education and work backgrounds, for instance, NGO activists, priest, and other civil components. This program is aimed to give new understanding and strategy for contributing to social, political, and economic conflict resolution in both national and international levels of conflict resolution. Therefore, the program that is offered includes philosophical and theoretical understanding on peace and conflict resolution and practical capacity in dealing with the conflicts in society regarding with hard challenges of Indonesia towards peaceful and democratic society. Conflicts and discrepancies occur in any life sectors in Indonesia, such as social inter-groups, industrial relation, and relation between the center and the local. The activities of MPCR-GMU students are various; such as forming working community for peace (KKP) conducted by the MPCR-GMU students in the class of the first year (2002/2003). The forming of KKP is based on the concern of the students on conflicts occurring in all over the world including Indonesia that cause massive humanitarian and social lost. The humanitarian and social tragedies have driven students to participate in turning the constructive conflict to be a bridge for constructive change of human social structure. The vision of KKP is realizing peace values and sources in society, while the missions that KKP holds are supporting the brother-hood among human beings, forming anti-violent movement, and developing the activities of conflict transformation. The three beginning strategies planned by KKP are developing the network or information, building the capacity, and carrying out the studies, research, peace, and conflict resolution.
June 2003
KKP routinely carries out monthly discussion within actual themes, such as Malino Declaration II, Civil society empowerment in Aceh after Geneva Negotiation in May 2002, and the problems of Papua. In October 2002, KKP received an invitation for providing training materials for the participants of education and training program in assistance for the victims of social catastrophe. This program was conducted in the Houses of Education and Training Program for Social Welfare – Yogyakarta (BBPPKS – Yogyakarta) and participated by staffs and officials of the Social and People’s Welfare from Yogyakarta Special Province, Central Java, East Java, West Nusa Tenggara and East Nusa Tenggara. N o w a days, the MPCR-GMU students from the class of first year are in the thesis composing process for one semester. There are two kind thesis offered to students, namely: major and minor thesis. Major thesis is a regular thesis that has been already widely known, whereas minor thesis is one of new forms of thesis. In minor thesis, students are programmed to take internship or practicum that is an application during the study program. For three months, the students take internship program in their host institutions and then compose work report as their thesis. It is expected that the students within their thesis can contribute to realization effort of peace in Indonesia. To support potential student candidates who have financial problems, in cooperation with Australian Government through Herbert Feith Scholarship; British Council through Peace Scholarship; and Mrs. Izumi Harada of Japan, MPCR-UGM program in 2003 grants three scholarships. Izumi Harada scholarship is merely aimed to Indonesian women from conflict areas. It is according to the commitment of Ms. Izumi Harada in supporting the opportunity for women to be well educated. (Dody, Staff, MPCR-GMU).
19
PELA EVENTS & AGENDA Peristiwa
Events
Lokakarya Nasional III “ Penelitian di bidang Perdamaian dan Resolusi Konflik”, Yogyakarta, 4-6 April 2003
National Workshop III on Peace & Conflict Resolution Research, Yogyakarta, April 4-6, 2003
Lokakarya Asia Pasifik “Lessons Learned from Southeast Asian & Pacific Peace Building Efforts”, Bali, 5-7 Mei 2003
Workshop on Lessons Learned from Southeast Asian & Pacific Peace Building Efforts, Bali, May 5-7, 2003
Perkemahan Pelajar untuk Perdamaian , Hutan Wanagama, 711 Mei 2003
Student Camp for Peace, Wanagama Forest, May 7-11, 2003
Agenda
Agenda
Pemetaan Konflik 2003 di Indonesia, Juli-Agustus 2003
Conflict Mapping, 2003 in Indonesia, July-August 2003
Lokakarya Regional, Demokrasi dan Masyarakat Sipil, Bandung, Oktober 2003
Regional Workshop, Democracy and Civil Society, Bandung, October 2003
About Seacsn Indonesia Until now SEACSN Indonesia has been participating actively in peace and conflict resolution area for more than two years. The chaotic social and political situations in Indonesia need more concern and SEACSN Indonesia has been actively trying to realize peace and conflict resolution. Activities agenda of SEACSN Indonesia in field observation and assessment for conflict areas have met practitioners and researchers in peace and conflict resolution in order to obtain conflict resolution through SEACSN national workshop. Moreover, through publication activities of SEACSN Indonesia, Pela Newsletter is published quarterly to provide important information on conflict and peace. Other publications are the results of national and regional workshops. The activities of SEACSN Indonesia are supported by CSPS-UGM as a supporting institution in national level. Therefore, every agenda conducted by SEACSN not only involves the team of SEACSN Indonesia but also human resources of CSPS-UGM. The activities of SEACSNIndonesia can go well because of CSPS’s contributions. The basic purpose of SEACSN Indonesia is establishing the networks between practitioners and researchers in peace and conflict resolution areas in Indonesia that contribute positively to conflict problems of Indonesia in particular and Southeast Asia level in general. SEACSN Indonesia is coordinated by a General Secretary of CSPS-UGM, Drs. Lambang Trijono, M.A with the team members of SEACSN Indonesia, namely Drs. Rizal Panggabean, M.S. in national workshop agenda; Novri Susan, S.Sos in publication; Ulyati Retno Sari S.S in SEACSN exchange program; Kristina Sintia Dewi SIP supported by a researcher, Tri Susdinarjanti, SH in conflict mapping program; Liza Laela Mardiana, S.E. in financial department; and Arif Surachman, A.Md. in IT support and publication.
20
Juni 2003